The Future of Indonesia’s Education System Under Nadiem Makarim

Nadiem Makarim officially announced as education and culture minister for 2019-2024. President Joko Widodo stated one of the main focus of the Indonesia Maju cabinet is the development of human resources and it’s to be solved together. Nadiem is expected to come up with a significant breakthrough in order to achieve the goal.

“We’ll have significant breakthroughs in terms of human resource development, to deliver talents prepared for work, linked and matched the education with the current industry,” he said on Wed (10/23).

Nadiem also said on this, the President chooses him because he was previously worked for the company with vision. Therefore, there’s a belief that he can make it for what the country’s need for the future.

“The requirements for the future’s job vacancy will be very different. I’ll try to make it parallel between the educational institution with what’s needed in the industry,” he said.

The next reason is, on his behalf, to make the vision comes true not through monotonous ways. It requires breakthroughs and innovations.

“The authority given is very serious and further will be very challenging. I need support from all millennials as I represent them for future innovations.”

In the interview session, Nadiem also said he is soon to have farewell with Gojek and the little family he build within the ecosystem. “Honestly, it was the hardest part to leave Gojek.”

New breakthrough awaits

Unemployment and talents that link and match the industry are still our current homework from the previous minister.

BPS data per February 2019 showed the decreasing number of unemployed to 5.01% within the last one year. Meanwhile, the unemployment number (TPT) is at 6.82 million people.

Even the number falls down, there are other concerns at the education level. Vocational school graduates still dominate the unemployment rate at 8.92% of the total labor force. Followed by 7.92% of diploma graduates.

In fact, the total workforce has reached 136.18 million or increased by 2.24 million from the same period in the previous year. Based on educational level, most of the workforce are elementary graduates and below (40.51%). Followed by junior high school graduates (17.75%), high school graduates (17.86%), vocational school graduates (11.31%), and university and diploma graduates (9.75% and 2.82%).

The government finally takes this issue seriously by increasing the state budget allocation (APBN) for education from IDR 429.5 trillion this year, up to 20% at IDR 506 trillion in 2020. The number is incredible, therefore, it requires on-target strategies due to the non-optimal experiences.

Speaking of the digital economy, unemployment has affected startup leaders’ decision to import overseas talents because the supply does not match the demand. Nadiem’s previous company also had a special office in India to acquire digital talent.

If the concern left unclear, Indonesian HR will soon lose competitiveness. The correlation lies here, according to e-Conomy SEA, Indonesia’s digital economy this year is projected to touch $ 40 billion, increasing to $ 133 billion in 2025.

Nadiem’s expertise is expected to be a support of his obligations, most likely the breakthrough that is going to be tech-related. Nonetheless, Chairman of the Indonesian Teachers Association (IGI) Muhammad Ramli Rahim has doubts upon Nadiem’s appointment, because he isn’t an educational expert nor have professor title.

He also said the lack of productive teachers and its development, especially in accordance with their educational background is the main problem that is quite blurred to the minister’s eyes. “[..] It may be that after trusting many Professors, Jokowi decided to choose a freshman without much theory,” he said as quoted from Republika.

Public can have pros and cons with Nadiem’s appointment and its leadership system in the next five years. His experience in building Gojek from scratch to its fruition might be the provision to revolutionize our education industry.

Opportunity for edtech companies

Nadiem’s entrance to the new cabinet, representing millennials, has created opportunities for startup players, especially those in the edtech industry. Moreover, Nadiem has quite an expertise in the tech-company.

The number of edtech startup players is increasing. Some are locals and some overseas. They penetrated into various segments. We have some particularly focused on vocational, pre-school, academic and non-academic education, and so on.

They offer various educational content, such as video on demand, direct learning through video calls, tutors on-demand, online to offline, and Q&A portals. The business model is a subscription. This method is claimed to be the most profitable way of monetization because one content is available for many people.

Ruangguru, as the largest edtech startup in Indonesia, is reported to be profitable. “Education is a sustainable business sector, and this is our plan to build a sustainable company,” Ruangguru’s CEO, Belva Devara said.

Technology is said to democratize people in accessing educational content. The impact on consumers is the far price gap to conventional tutoring. As an example, Quipper’s regular package subscription for six months is set to Rp540 thousand. If you take a yearly subscription, the price will be much cheaper.

In terms of Ruangguru, a complete subscription package for a year costs Rp1.3 million. However, companies often give discounts to attract more users. Meanwhile, conventional tutoring can have multiple cost per year.

We’re kind of waiting for Nadiem’s breakthroughs. And wishing for improvement in Indonesia’s educational industry.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Harapan Masa Depan Pendidikan di Tangan Nadiem Makarim

Nadiem Makarim sah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk periode 2019-2024. Presiden Joko Widodo menyebut salah satu fokus kabinet yang diberi Indonesia Maju ini adalah pembangunan sumber daya manusia dan bakal digarap secara bersama. Nadiem diharapkan bisa membawa terobosan yang signifikan untuk mewujudkan visi tersebut.

“Kita akan membuat terobosan signifikan dalam pengembangan SDM, yang menyiapkan SDM yang siap kerja, yang link and match pendidikan dengan industri,” terangnya, Rabu (23/10).

Nadiem turut memberi tanggapan. Menurutnya, Presiden mengutus dirinya karena sebelumnya dia bekerja di perusahaan yang memiliki visi di masa depan. Sehingga ada keyakinan, dirinya mampu apa yang dibutuhkan negara untuk masa depan.

“Kebutuhan lingkungan kerja di masa depan sangat beda. Saya akan coba sambung apa yang dibutuhkan di institusi pendidikan dengan apa yang dibutuhkan industri,” katanya.

Alasan Presiden berikutnya, menurutnya, mewujudkan visi besar yang tidak bisa dilakukan dengan cara yang itu-itu saja. Butuh gebrakan dan inovasi.

“Amanah ini sangat serius dan tantangan ke depannya akan sangat luar biasa. Saya mohon bantuan kepada teman-teman milenial karena saya ini sekaligus mewakili kaum milenial untuk inovasi yang akan kita lakukan ke depannya.”

Di sela-sela wawancara, Nadiem juga mengucapkan akan segera berpamitan kepada mitra Gojek dan keluarga besarnya di Gojek. “Jujur sangat sedih meninggalkan keluarga Gojek.”

Menunggu gebrakan baru

Pengangguran dan ketersediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri adalah pekerjaan rumah yang hingga kini belum kelar di bawah kepemimpinan menteri sebelumnya.

Data BPS per Februari 2019 memperlihatkan angka pengangguran turun menjadi 5,01% selama satu tahun terakhir. Sementara, tingkat penggangguran terbuka (TPT) berjumlah 6,82 juta orang.

Meski secara agregat turun, tapi ada kekhawatiran lain melihat dari tingkat pendidikan. Lulusan SMK masih mendominasi angka pengangguran 8,92% dari total tingkat partisipasi angkatan kerja. Disusul 7,92% dari lulusan diploma.

Adapun total angkatan kerja mencapai 136,18 juta atau meningkat 2,24 juta dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Menurut tingkat pendidikan, mayoritas tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah (40,51%). Disusul SMP (17,75%), SMA (17,86%), SMK (11,31%), universitas dan diploma ada di urutan terakhir (9,75% dan 2,82%).

Isu tersebut akhirnya dijawab oleh pemerintah dengan meningkatkan alokasi APBN untuk pendidikan dari Rp429,5 triliun di tahun ini, naik menjadi 20% senilai Rp506 triliun pada 2020. Nilai Angka ini bukan main besarnya, makanya perlu strategi agar tepat sasaran karena selama ini dianggap belum optimal.

Bicara ekonomi digital, pengangguran berdampak pada keputusan para petinggi startup untuk impor talenta dari luar Indonesia karena supply tidak sesuai dengan demand. Perusahaan Nadiem sebelumnya bahkan punya kantor khusus di India untuk mengakuisisi talenta digital.

Kekhawatiran ini bila dibiarkan terus menerus akan membuat SDM Indonesia kehilangan daya saing. Ini ada korelasinya, menurut e-Conomy SEA, ekonomi digital Indonesia pada tahun ini diproyeksi sentuh angka $40 miliar, meningkat hingga $133 miliar di 2025

Kiprah Nadiem dianggap mampu mengemban tugas tersebut, kemungkinan besar gebrakan yang bakal ia lakukan bakal erat berbau unsur teknologi. Meskipun demikian, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim masih sangsi dengan kepemimpinan Nadiem karena bukan datang ahli pendidikan dan bergelar profesor.

Ramli bilang, minimnya guru produktif dan minimnya produksi guru produktif sesuai bidang keahlian di SMK adalah gunung masalah yang cukup menutup mata menteri. “[..] Boleh jadi setelah mencoba Profesor berulang kali, kini pak Jokowi ingin memilih yang segar dan tidak banyak teori,” terangnya dikutip dari Republika.

Publik tentu boleh pro dan kontra dengan Nadiem dan cara kepemimpinannya pada lima tahun mendatang. Bisa jadi pengalaman Nadiem membangun Gojek dari bayi sampai sekarang menjadi bekal untuk merevolusi dunia pendidikan.

Peluang buat pemain edtech

Masuknya Nadiem di kabinet, yang mewakili kaum milenial, menjadi suatu peluang buat para pegiat startup, khususnya yang bergerak di edtech. Terlebih latar belakang Nadiem kental dengan pengalamannya di perusahaan teknologi.

Jumlah pemain startup edtech semakin ramai. Ada yang dari lokal maupun luar negeri. Mereka merambah ke berbagai segmen edtech. Ada yang khusus ke vokasi saja, pra sekolah, pendidikan akademis dan non akademis, dan sebagainya.

Konten edukasi yang ditawarkan beragam, seperti video on demand, pembelajaran langsung lewat video call, panggil guru les, online to offline, dan portal tanya jawab. Model bisnis yang ditawarkan adalah berlangganan. Diklaim cara monetisasi ini paling menguntungkan karena sekali buat konten bisa dibeli oleh banyak orang.

Ruangguru, sebagai startup edtech terbesar di Indonesia, dikabarkan sudah mencetak keuntungan. “Edukasi itu adalah sektor bisnis yang sustain, dan ini sudah jadi plan kita untuk bangun perusahaan yang sustainable,” ucap CEO Ruangguru Belva Devara.

Teknologi dianggap mendemokratisasi masyarakat dalam mengakses konten edukasi. Dampak bagi konsumen adalah harga yang terpaut jauh dibandingkan bimbel konvensional. Ambil contoh, harga berlangganan Quipper untuk paket reguler selama enam bulan dipatok harga Rp540 ribu. Kalau berlangganan sampai setahun tentu harga jauh lebih murah.

Untuk Ruangguru, paket berlangganan lengkap buat setahun biayanya Rp1,3 juta. Namun perusahaan sering memberi potongan harga untuk menarik lebih banyak pengguna. Sedangkan, biaya bimbel konvensional relatif bisa berkali-kali lipat biayanya per tahun.

Patut ditunggu gebrakan apa saja yang akan dilakukan Nadiem. Semoga ada angin segar di dunia pendidikan Indonesia.

Preparing Prominent Programmers, Preparing the Future

During the awarding night of ICT Award 2015 (INAICTA) last Wednesday, the Ministry of Communication and Information Rudiantara expressed that his team are currently working on having programming inducted into school’s curriculum. He further claimed that he had discussed about the idea with the Ministry of Education Anies Baswedan. Programming skill indeed is crucial as it’s one of sources of innovation that Indonesia sorely needs to build a better future. Continue reading Preparing Prominent Programmers, Preparing the Future