Leica Kembali Hadirkan Kamera Mirrorless Kelas Entry, Leica TL

Leica selalu identik dengan kamera berharga selangit. Bahkan kamera mirrorless kelas entry-nya pun masih lebih mahal ketimbang kamera kelas atas dari brand lain. Salah satunya adalah Leica T yang dirilis dua tahun silam. Pun begitu, respon konsumen kurang begitu positif terhadap kamera tersebut, hingga akhirnya Leica merilis suksesornya, Leica TL.

Leica TL mempertahankan semua keunggulan pendahulunya, utamanya desain serba logam yang terkesan sangat premium. Kualitas gambar Leica T sendiri juga tidak bermasalah, sehingga TL pun masih mengemas sensor APS-C yang sama yang beresolusi 16 megapixel, dengan rentang ISO 100 – 25600 dan opsi perekaman video 1080p.

Yang berubah adalah performanya, dimana Leica mengklaim kinerja autofocus TL meningkat drastis, terutama dalam mode continuous. Performa autofocus merupakan masalah terbesar Leica T, sehingga penyempurnaan dalam bentuk apapun akan disambut dengan baik oleh para fans loyalnya.

Tidak seperti pendahulunya, Leica TL kini bisa menciptakan Wi-Fi hotspot-nya sendiri / Leica
Tidak seperti pendahulunya, Leica TL kini bisa menciptakan Wi-Fi hotspot-nya sendiri / Leica

Perubahan selanjutnya ada pada konektivitas, dimana Leica TL kini bisa tersambung ke perangkat Android maupun iOS via Wi-Fi. Leica turut menambah kapasitas memory internal milik TL menjadi 32 GB. Hampir semua pengoperasiannya mengandalkan layar sentuh 3,7 inci.

Leica TL bakal segera dipasarkan mulai bulan November ini seharga $1.695 (body only). Sejauh ini sudah tersedia 6 lensa yang dirancang secara khusus untuk TL, namun konsumen tentunya juga bisa menggunakan lensa lawas via adapter.

Sumber: DPReview.

Sony Luncurkan A6500, Kini Dilengkapi Layar Sentuh dan Image Stabilization 5-Axis

Hasil foto dan video yang berkualitas serta performa yang amat cepat menjadikan Sony A6300 sebagai salah satu kamera mirrorless terbaik yang bisa Anda beli saat ini. Hingga akhirnya tahtanya direbut oleh suksesornya sendiri, A6500, yang Sony perkenalkan kurang lebih delapan bulan setelah A6300.

Secara garis besar Sony A6500 adalah kamera yang sama seperti A6300. Desain bodinya tidak berubah, masih mengemas hand grip berukuran besar yang ergonomis. Sensor yang digunakan juga sama, APS-C 24,2 megapixel dengan kemampuan merekam video 4K yang sama pula.

Sistem autofocus-nya pun juga sama cepatnya, sanggup mengunci fokus dalam waktu 0,05 detik saja, dengan bekal 425 titik phase-detection yang akan menjamin akurasinya. Lalu apanya yang berubah? Mengapa Sony merasa perlu merilis penerus A6300 kalau kamera itu saja umurnya belum ada setahun?

Sony A6500 kini dilengkapi layar sentuh yang berfungsi bahkan ketika pengguna memakai viewfinder / Sony
Sony A6500 kini dilengkapi layar sentuh yang berfungsi bahkan ketika pengguna memakai viewfinder / Sony

Jawabannya ada dua: layar sentuh dan sistem image stabilization 5-axis. Saya pribadi sudah sejak lama mendambakan kamera mirrorless Sony yang dibekali dengan touchscreen. Kehadiran layar sentuh terbukti efektif dalam mempermudah pengguna menentukan titik fokus, seperti yang sudah saya alami selama beberapa tahun dengan kamera mirrrorless garapan Panasonic dan Olympus.

Jadi ketimbang susah-susah memakai tombol, pengguna A6500 bisa langsung menyentuh layar untuk menentukan titik fokus seperti ketika menggunakan smartphone. Fitur ini bahkan juga berfungsi saat menggunakan viewfinder, dimana layar otomatis beralih peran menjadi sebuah touchpad, lagi-lagi demi kenyamanan menentukan titik fokus secara cepat.

Spesifikasi Sony A6500 secara garis besar sama seperti A6300 / Sony
Spesifikasi Sony A6500 secara garis besar sama seperti A6300 / Sony

Setelah touchscreen, ada image stabilization 5-axis yang akan memastikan hasil foto tidak blur ketika memotret dengan shutter speed rendah tanpa memakai tripod. Efek kompensasinya setara 5 stop exposure, dan stabilization juga berfungsi dalam perekaman video.

Selebihnya, ada perubahan kecil berupa peningkatan buffer rate saat kamera dipakai untuk memotret tanpa henti. Kecepatannya sendiri masih sama di angka 11 fps, tapi buffer rate-nya meningkat menjadi sekitar 300 gambar dalam format JPEG, atau 100 gambar dalam format JPEG + RAW, sebelum akhirnya kamera menolak untuk mengambil gambar lagi kalau belum didiamkan beberapa saat.

Sony A6500 akan dipasarkan mulai akhir November seharga $1.400 (body only). Konsumen yang sudah terlanjur membeli A6300 tidak perlu minder dan tergesa-gesa ingin upgrade, budget yang tersedia mungkin akan lebih ideal jika dialokasikan ke lensa tambahan.

Sumber: DPReview.

Mirrorless Adalah Masa Depan Industri Kamera Digital

Kalender menunjuk tanggal 16 Oktober 2013. Pada hari itu, Sony membuat dunia gempar dengan memperkenalkan duo kamera mirrorless terbarunya yang amat istimewa: A7 dan A7R. Keduanya berhasil mencatatkan sejarah penting di industri kamera digital sebagai kamera mirrorless pertama yang mengusung sensor full-frame.

Sebelum A7 dan A7R, mayoritas publik masih menganggap mirrorless sebagai versi mini DSLR dengan kualitas lebih inferior. Fleksibilitasnya memang jauh melampaui kamera saku berkat lensa yang bisa dilepas-pasang, akan tetapi dimensi yang ringkas otomatis juga berarti keterbatasan ruang yang tersedia untuk sensor gambar, yang hingga saat ini masih menjadi indikator utama kualitas gambar sebuah kamera digital.

Sampai akhirnya Sony A7 dan A7R menampik anggapan tersebut. Dibandingkan dengan DSLR termurah Canon pada saat itu, EOS 100D, bodi A7 hanya sedikit lebih besar dan lebih berat, tapi tebalnya cuma 2/3 dari 100D. Di saat yang sama, kualitas gambarnya bisa disetarakan dengan DSLR full-frame Nikon D800E yang berbobot dua kali lebih berat dan berharga lebih mahal.

Singkat cerita, Sony A7 dan A7R membuktikan kalau tidak selamanya kualitas gambar mirrorless lebih buruk dari DSLR. Dan di tahun 2016 ini, saya yakin tidak ada lagi para skeptis yang masih berani meragukan kamera mirrorless. Bahkan kalau diamati perkembangannya dari tahun ke tahun, kamera mirrorless boleh dibilang merupakan masa depan industri kamera digital.

Mirrorless kini lebih unggul soal sensor dibanding DSLR

Fujifilm GFX 50S / Fujifilm

Pernyataan di atas bukannya mengada-ada. Seperti yang kita tahu, ukuran penampang sensor yang lebih besar selalu berujung pada kualitas gambar yang lebih baik, terutama di kondisi minim cahaya. Full-frame sudah berhasil dicapai oleh Sony di tahun 2013, lalu apa lagi yang bisa melampaui hal tersebut? Medium format jawabannya.

Bulan Juni kemarin, Hasselblad X1D terlahir ke dunia. Ini merupakan kamera mirrorless pertama yang mengemas sensor medium format. Memangnya ukuran medium format lebih besar lagi ketimbang full-frame? Jauh: 44 mm x 33 mm untuk medium format, dibanding 36 x 24 mm untuk full-frame – sekitar 1,7x lebih besar.

Hasselblad sendiri merupakan dedengkot kamera medium format sejak zaman digital belum eksis, dan X1D tidak luput dari keahlian dan pengalaman panjang perusahaan asal Swedia tersebut. Selain ukuran sensornya melebihi DSLR termahal sekalipun, resolusinya mencapai angka 50 megapixel, dan dynamic range-nya seluas 14 stop.

Menariknya, Hasselblad ternyata tidak sendirian dalam konteks mirrorless medium format ini. Baru pekan kemarin di ajang Photokina 2016 di Jerman, Fujifilm mengumumkan bahwa mereka selama ini diam-diam menggodok kamera mirrorless medium format bernama GFX 50S. Kamera tersebut memang baru berupa prototipe dan peluncuran resminya baru akan diadakan tahun depan, tapi ini semakin membuktikan ‘keganasan’ mirrorless dalam menghadapi DSLR.

Mirrorless kini semakin relevan di tangan fotografer olahraga

Olympus OM-D E-M1 Mark II dengan grip opsional / Olympus
Olympus OM-D E-M1 Mark II dengan grip opsional / Olympus

Tanya ke beberapa fotografer olahraga apa kriteria utama kamera yang mereka butuhkan, saya yakin jawabannya adalah performa autofocus dan continuous shooting. Itulah mengapa kamera-kamera seperti Canon 1DX Mark II dan Nikon D4s menjadi pilihan mereka; bodi kamera yang besar memungkinkan Canon dan Nikon untuk menyematkan sistem tercepat yang bisa mereka buat.

Sampai di titik ini, mirrorless sebenarnya masih belum benar-benar bisa melampaui DSLR dalam hal performa – meski gap-nya semakin tahun semakin menyempit. Contoh yang paling gampang datang dari Canon sendiri lewat kamera mirrorless terbarunya, EOS M5.

Entah apakah Canon akhirnya senewen setelah bertahun-tahun dikritik tidak serius dalam menggarap kamera mirrorless, EOS M5 akhirnya datang mengusung teknologi yang sangat istimewa: Dual Pixel AF. Teknologi ini merupakan salah satu alasan mengapa Canon 1DX Mark II tadi sangat andal dalam hal kecepatan dan akurasi autofocus, dan kini ia sudah hadir di mirrorless.

Oke, autofocus sudah teratasi, bagaimana dengan kinerja continuous shooting? 1DX Mark II sanggup menjepret foto tanpa henti dengan kecepatan 14 fps dalam posisi autofocus menyala. Mirrorless bisa apa? Bisa melampauinya, seperti yang ditunjukkan oleh Olympus OM-D E-M1 Mark II.

Sekuel dari model mirrorless terandal Olympus ini sanggup memotret tanpa henti dengan kecepatan 18 fps dengan posisi AF Tracking menyala. Lebih istimewa lagi, semua foto tersebut disimpan dalam format RAW beresolusi penuh (20,4 megapixel).

Akan tetapi performa gesit tersebut hanya bisa dicapai ketika menggunakan electronic shutter. Saat memakai mechanical shutter, kecepatannya menurun menjadi 10 fps. Itulah mengapa saya sempat menyebutkan kalau mirrorless sejauh ini masih belum bisa mengalahkan DSLR dalam hal performa, tapi setidaknya sudah sangat mendekati.

Mirrorless kian populer di kalangan videografer profesional

Gambar teaser Panasonic Lumix GH5 / Panasonic
Gambar teaser Panasonic Lumix GH5 / Panasonic

Bicara soal videografi profesional, mungkin brand yang paling populer adalah RED yang bahkan sudah memiliki kamera sinema beresolusi 8K. Pun demikian, mirrorless masih mampu menunjukkan tajinya di ranah ini, terutama berkat Panasonic Lumix GH4 yang dirilis di pertengahan tahun 2014.

Kamera tersebut mengemas hampir segala fitur yang dibutuhkan pembuat film; perekaman video 4K tanpa memerlukan recorder eksternal, jack headphone dan mikrofon, dan masih banyak lagi. Akan tetapi suksesornya nanti akan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Sejauh ini masih dalam tahap pengembangan, Lumix GH5 bermisi menjadi kamera mirrorless pertama yang bisa merekam video 4K 60 fps. Tidak cuma itu, format warna 4:2:2 10-bit juga turut didukung. Dan ini semua dilakukan tanpa ada resiko overheating.

Anda memang bisa mendapatkan kamera sinema dengan kualitas dan fitur yang lebih baik dari Lumix GH4 atau GH5 nanti, tapi perlu diingat, kedua kamera ini juga bisa menjepret foto still. Fleksibilitas seperti ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian besar konsumen.

Mirrorless punya segudang pilihan lensa berkualitas

Koleksi lensa untuk lini kamera mirrorless Fujifilm / Fujifilm
Koleksi lensa untuk lini kamera mirrorless Fujifilm / Fujifilm

DSLR mungkin masih menang soal ini, tidak heran mengingat Canon sudah memproduksi lensa EF Mount sejak tahun 1987. Kendati demikian, apa yang berhasil dicapai Panasonic dan Olympus selaku pengembang platform Micro Four Thirds dalam kurun waktu 8 tahun saja sudah cukup fenomenal: total ada 58 lensa dengan variasi yang sangat luas.

Di tempat lain, Fujifilm tidak kalah serius dalam hal pengembangan lensa untuk lini mirrorless X-Series. Sejak tahun 2012, sekarang sudah ada 21 pilihan lensa untuk kamera mirrorless Fujifilm, sebagian di antaranya bahkan memiliki kualitas optik yang luar biasa dengan aperture besar.

Mempertimbangkan semua faktor di atas, sederhananya mirrorless sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Dilihat dari sudut pandang yang paling ekstrem, kalau pabrikan kamera mau bertahan ke depannya, mereka harus mau berinovasi di ranah mirrorless. Kalau perusahaan veteran sekelas Hasselblad saja mau, kenapa yang lain tidak?

Gambar header: Hasselblad X1D.

Panasonic Perkenalkan Trio Kamera Baru, Masing-Masing Sanggup Merekam Video 4K

Saat pabrikan lain hanya muncul dengan satu atau dua produk, Panasonic mengungkap trio kamera baru sekaligus di ajang Photokina yang berlangsung selama 20 – 25 September ini. Ketiganya adalah Lumix G80, Lumix LX10 dan Lumix FZ2500.

Panasonic Lumix G80

Lumix G80 merupakan suksesor Lumix G7 yang mempunyai gaya desain serupa. Bodinya sama-sama bergaya DSLR, akan tetapi G80 tahan cipratan air dan debu, plus sedikit lebih kokoh berkat pelat depan berbahan magnesium.

Penggunaan material magnesium ini didukung oleh sistem shutter baru yang memanfaatkan mekanisme elektromagnetik, dimana perpaduan keduanya dapat mengurangi hentakan maupun suara yang timbul saat tombol shutter dijepret.

Lumix G80 / Panasonic
Lumix G80 / Panasonic

Sebagian besar spesifikasi dan fitur yang ditawarkan G80 mengingatkan saya akan Lumix GX80 yang dirilis di bulan April lalu. Kemiripannya bermula dari sensor Four Thirds 16 megapixel tanpa low-pass filter, opsi perekaman video 4K, teknologi Depth from Defocus untuk autofocus dan berlanjut sampai sistem image stabilization 5-axis.

Dirinya turut dibekali EVF berpanel OLED 2,36 juta dot, dengan tingkat magnifikasi 0,74x dibandingkan milik Lumix G7 yang hanya 0,7x. Di bawahnya terpasang sebuah layar sentuh 3 inci yang bisa dibuka ke samping dan diputar-putar.

Panasonic Lumix G80 akan dipasarkan mulai Oktober mendatang seharga $899 body only, atau $999 bersama lensa kit 12-60mm f/3.5-5.6 Power O.I.S.

Panasonic Lumix LX15

Seri LX selama ini tidak pernah lebih dari sekadar kamera saku, tapi dengan LX15 Panasonic telah membawanya masuk ke level premium yang selama ini dikuasai oleh Sony RX100. Kuncinya ada pada penggunaan sensor berukuran lebih besar dari standar kamera saku; 1 inci dengan resolusi 20 megapixel – seperti milik Lumix TZ100 – plus lensa 24-72mm f/1.4-2.8.

Lumix LX15 / Panasonic
Lumix LX15 / Panasonic

Lumix LX15 turut dipersenjatai oleh sistem Hybrid OIS+ 5-axis, dimana perekaman video dalam resolusi 1080p akan distabilkan dengan perpaduan sistem electronic dan optical. Perekaman video 4K juga menjadi nilai jual dari LX15, dan ia turut dilengkapi fitur-fitur unik khas Panasonic, seperti misalnya Post Focus dimana pengguna bisa mengatur ulang titik fokus pasca pemotretan.

Tidak ada EVF pada bodi kecil LX15, jadi semua pengoperasian mengandalkan layar sentuh 3 incinya yang bisa dimiringkan 180 derajat untuk memudahkan selfie. Kamera ini rencananya akan masuk ke pasaran mulai bulan November seharga $699.

Panasonic Lumix FZ2000

FZ2000, sesuai dugaan, merupakan penerus dari Lumix FZ1000 yang populer di kalangan videografer. Keunggulan utama FZ2000 ada pada lensa dengan jangkauan zoom yang amat jauh, 20x optical zoom, atau tepatnya 24-480mm f/2.8-4.5. Sensor yang dipakai masih sama, 1 inci dengan resolusi 20 megapixel, plus teknologi autofocus Depth from Defocus.

Menariknya, mekanisme lensa ini berbeda dengan milik FZ1000. Di sini lensanya akan keluar saat kamera dinyalakan, dan tidak akan bergerak maju-mundur saat pengguna melakukan zooming. Semuanya berjalan secara internal seperti di camcorder, dan hasilnya zooming bisa berjalan lebih mulus, krusial untuk skenario videografi.

Lumix FZ2000 / Panasonic
Lumix FZ2000 / Panasonic

Menyinggung soal video, resolusi 4K 30 fps dengan bitrate 100 Mbps adalah opsi maksimum yang bisa dipilih dengan FZ2000. Fitur lain yang akan membuat para videografer tersenyum adalah ND filter terintegrasi, dengan variasi -2EV, -4EV dan -6EV.

Desain Lumix FZ2000 tidak berubah banyak. Pengguna masih akan menjumpai sebuah EVF, tapi kini dengan panel OLED dan tingkat magnifikasi 0,74x, plus sebuah layar sentuh 3 inci yang bisa diarahkan ke samping lalu diputar-putar seperti milik G80 di atas.

Soal harga, Lumix FZ2000 dipatok $1.199 dan akan dipasarkan mulai November mendatang.

Sumber: 1, 2, 3, 4.

Olympus OM-D E-M1 Mark II Tawarkan Performa yang Luar Biasa Cepat untuk Kamera Seukurannya

Sekitar empat tahun sejak memperkenalkan kamera andalannya, OM-D E-M1, Olympus kini sudah siap dengan suksesornya. Berlabel Mark II, perubahannya hampir tidak terlihat dari luar. Meski jeroannya saja yang dirombak, apa yang ditawarkan OM-D E-M1 Mark II amat signifikan dibanding pendahulunya.

Tema utama yang hendak diangkat Olympus lewat OM-D E-M1 Mark II adalah kecepatan. Performanya sangat mencengangkan untuk kamera seukurannya: continuous shooting secepat 60 fps dalam posisi AF Lock, atau 18 fps dalam posisi AF Tracking, dan semua ini disimpan dalam format RAW beresolusi penuh.

Itu tadi menggunakan electronic shutter, tapi kinerjanya tidak kalah fenomenal meski memakai mechanical shutter: 15 fps dalam posisi AF dan AE terkunci, atau 10 fps dengan AF dan AE Tracking menyala. Digabungkan dengan sistem autofocus kelas dewa, kamera ini bisa menjadi incaran para fotografer olahraga maupun satwa liar nantinya.

Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus
Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus

Benar saja, total ada 121 titik fokus bertipe cross-type pada OM-D E-M1 Mark II. Sistem ini turut ditemani oleh sebuah prosesor yang secara khusus akan menangani kinerja autofocus, memastikan penguncian fokus berlangsung secepat mungkin dan seakurat mungkin, termasuk halnya dalam mode tracking.

Olympus OM-D E-M1 Mark II mengemas sensor Four Thirds baru beresolusi 20,4 megapixel, didampingi oleh prosesor quad-core TruePic VIII yang diyakini bisa bekerja 3,5 kali lebih kencang ketimbang versi sebelumnya. Kamera turut mendukung fitur High Res Shot 50 megapixel, sedangkan video bisa direkam dalam resolusi 4K dengan bitrate hingga 237 Mbps.

Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus
Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus

Image stabilization 5-axis yang dipopulerkan oleh Olympus sendiri tentunya masih tersedia, demikian pula dengan electronic viewfinder yang kini memiliki frame rate 120 fps. Layar sentuh tiga incinya bisa diputar-putar dan dibolak-balik sesuka hati, dan bodinya yang tahan terhadap cuaca ekstrem ini turut mengemas sepasang slot SD card.

Olympus tidak mengungkapkan kapan kamera ini akan diluncurkan secara resmi, tapi yang pasti sebelum pergantian tahun. Apa yang dikerjakan Olympus selama 4 tahun sepertinya membuahkan hasil dan perubahan yang cukup drastis – bahkan daya baterainya meningkat 37 persen dan waktu charging yang diperlukan 50 persen lebih singkat.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Fujifilm Pamerkan Prototipe Kamera Mirrorless Medium Format, GFX 50S

Penantian yang cukup lama terhadap Fujifilm X-Pro2 membuat banyak pihak berspekulasi bahwa Fujifilm akan merilis kamera tersebut bersama sensor full-frame. Tebakannya meleset, X-Pro2 masih menggunakan sensor APS-C, meski resolusi dan performanya di kondisi low-light meningkat pesat.

Lalu kapan Fujifilm akan mengikuti tren full-frame di ranah mirrorless? Jawabannya kemungkinan tidak akan pernah, sebab Fujifilm baru-baru ini mengumumkan prototipe kamera mirrorless medium format, GFX 50S. Yup, daripada full-frame, kenapa tidak langsung lompat lebih jauh ke medium format saja?

Sensor yang terdapat dalam Fujifilm GFX 50S memiliki ukuran 4x lebih besar dari sensor APS-C dan 1,7x lebih besar dari sensor full-frame / Fujifilm
Sensor yang terdapat dalam Fujifilm GFX 50S memiliki ukuran 4x lebih besar dari sensor APS-C dan 1,7x lebih besar dari sensor full-frame / Fujifilm

Fujifilm GFX 50S bukanlah kamera mirrorless medium format pertama. Gelar tersebut dipegang oleh Hasselblad X1D yang diumumkan bulan Juni lalu. Pun begitu, ini merupakan kamera medium format digital pertama yang pernah Fujifilm produksi sejak mereka meninggalkan film.

Sepintas GFX 50S terlihat seperti Fujifilm X-T2 yang disuntik steroid. Tidak heran, mengingat sensor beresolusi 51,4 megapixel di dalamnya memiliki ukuran 4x lebih besar dari sensor APS-C, atau 1,7x lebih besar ketimbang sensor full-frame. Fujifilm mengklaim mengembangkan sensor ini sendiri, jadi semestinya tone warna yang dihasilkan tidak jauh-jauh dari lini yang ditawarkan lini X-Series sekarang, tapi dengan detail berkali lipat lebih bagus.

Fujifilm GFX 50S dilengkapi EVF yang bisa dilepas-pasang, dimiringkan dan diputar posisinya / Fujifilm
Fujifilm GFX 50S dilengkapi EVF yang bisa dilepas-pasang, dimiringkan dan diputar posisinya / Fujifilm

Menemani GFX 50S nantinya adalah jajaran lensa dengan tipe mount baru (G Mount). Variasinya mencakup tipe fixed dan zoom, dan jika melihat tradisi Fujifilm selama ini, kualitas optiknya sepertinya tidak perlu diragukan. Seluruh lensa ini juga dirancang agar tahan terhadap cuaca ekstrem, sama seperti bodi GFX 50S sendiri.

Rencananya kamera ini baru akan diluncurkan secara resmi pada awal tahun depan. Harganya diperkirakan tidak lebih dari $10.000 untuk bundel bersama lensa prime 63 mm, dan Fujifilm juga bakal menyediakan beragam aksesori lain seperti misalnya EVF yang bisa dilepas-pasang, dimiringkan dan diputar.

Sumber: DPReview.

Olympus Perkenalkan Kamera Micro Four Thirds Baru yang Stylish Serta Terjangkau

Desas-desus mengenai penerus kamera mirrorless Pen E-PL7 sudah terdengar berbulan-bulan lalu. Saat itu, kabarnya kamera anyar tersebut cocok bagi mereka yang beranggapan bahwa model Pen-F terlalu besar dan mahal. Perangkat sengaja disiapkan buat memperkuat lineup Micro Four Thirds di lini entry-level, tapi tidak berarti produk ini low-end atau murahan.

Beberapa saat lalu, perusahaan spesialis produk optik dan reprografi asal Jepang itu resmi memperkenalkan Pen E-PL8 di event Photokina di Cologne, Jerman. Pen E-PL8 akan menggantikan E-PL 7, diramu sebagai ‘jembatan’ bagi para pemula serta mereka yang biasa menggunakan kamera smartphone untuk beralih ke sistem interchangeable camera lens. Dan dari sisi penampilan, ia terlihat sangat cantik.

Wujud Pen E-PL8 bisa diibaratkan seperti versi kecil Pen-F, yang pada dasarnya merupakan versi modern dari kamera 35mm legendaris Olympus. Keluarga Pen memang terkenal dengan desain khas yang stylish – bisa berperan jadi aksesori fashion. Untuk E-PL8, produsen memoles lagi sisi estetikanya, dapat kita lihat dari perhatian Olympus terhadap case dan bagian strap, tanpa melupakan aspek fungsi. Ada pilihan lapisan ‘kulit’ berwarna putih, hitam dan coklat, dipasangkan di tubuh perak matte.

Olympus Pen E-PL8 1

Olympus tahu konsumen sering kali menggunakan Pen mereka buat mengambil self-portrait. Maka dari itu penciptanya kembali menyajikan keleluasaan dalam memutar layar LCD touchscreen 3-incinya 180 derajat ke bawah, dan 90 derajat ke atas, ditambah sejumlah penyempurnaan agar proses selfie dan perekaman video jadi lebih mudah.

Olympus Pen E-PL8 dibekali sensor CMOS Four Thirds 16,1-megapixel, dipadu sistem image stabilization tiga-poros, unit baterai 8,5Wh, serta kemampuan continuous shooting 8fps dan menyajikan 81 titik autofocus. Spesifikasi tersebut memang tidak jauh berbeda dengan Pen E-PL7. Kamera turut mewarisi kesanggupakan memproses JPEG (cropping, penyesuaian bayangan, koreksi red-eye) dan file Raw.

Khusus buat Raw, prosesnya lebih detail, menawarkan Anda kebebasan untuk mengganti parameter gambar saat mengambil gambar, contohnya highlight dan bayangan atau membubuhkan beragam filter – seperti di E-M10 II. Menemani Pen E-PL8, Olympus turut menyingkap lensa-lensa baru untuk mendukung kamera Micro Four Thirds mereka: sebuah 25mm f1.2 seharga US$ 1.200, lensa 12-100mm f4 plus image stabilization dengan harga US$ 1.300, dan lensa macro 30mm f3.5 seharga US$ 300.

Pen E-PL8 sendiri ditawarkan di harga yang terjangkau, cuma separuh Pen-F, yaitu US$ 550 (hanya body) dan US$ 650 (dengan lensa kit 14-42mm). Produk akan tersedia di bulan Oktober 2016

Via The Verge. Sumber: DPreview.

Canon EOS M5 Usung Electronic Viewfinder dan Teknologi Dual Pixel AF

Ingat DSLR, ingat Canon. Ingat mirrorless, belum tentu ingat Canon. Pasalnya, Canon selama ini terkesan kurang serius dalam menghadapi persaingan di pasar mirrorless. Di saat kamera mirrorless buatan Fujifilm dan Sony terus mengejar – bahkan menyalip – kemampuan DSLR, Canon hanya bisa menawarkan EOS M3 yang tergolong biasa-biasa saja.

Sampai akhirnya kita tiba pada tanggal 15 September kemarin, dimana Canon mengumumkan kamera mirrorless terbarunya, EOS M5. M5 membawa perubahan yang signifikan dibanding pendahulunya, menunjukkan keseriusan Canon dalam berinovasi di industri fotografi.

Canon EOS M5 ditenagai oleh sensor APS-C 24,2 megapixel dengan sensitivitas ISO 100 – 25600. Menemani sensor tersebut adalah prosesor DIGIC 7 dan teknologi Dual Pixel AF yang dipinjam dari DSLR kelas atasnya, memberikan performa autofocus yang cepat sekaligus akurat.

Canon EOS M5 dibekali teknologi Dual Pixel AF untuk memberikan kinerja tracking autofocus yang cepat sekaligus akurat / Canon
Canon EOS M5 dibekali teknologi Dual Pixel AF untuk memberikan kinerja tracking autofocus yang cepat sekaligus akurat / Canon

Kecepatannya memotret secara konstan berada di angka 7 fps, atau 9 fps dalam posisi AF Lock. Video bisa ia rekam dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps – sayang masih belum 4K. Sebagai pelengkap, Canon turut menyematkan sistem image stabilization digital 5-axis.

Perdana untuk kamera mirrorless Canon adalah electronic viewfinder (EVF) beresolusi 2,36 juta dot. Tepat di bawahnya bernaung layar sentuh 3,2 inci dengan resolusi 1,62 juta dot. Uniknya, layar ini bisa dipakai untuk menentukan titik fokus meski pengguna sedang memakai EVF, dan ia juga bisa dimiringkan ke atas 85 derajat atau ke bawah 180 derajat untuk memudahkan selfie.

LCD milik Canon EOS M5 bisa dimiringkan ke bawah 180 derajat untuk memudahkan selfie / Canon
LCD milik Canon EOS M5 bisa dimiringkan ke bawah 180 derajat untuk memudahkan selfie / Canon

Wi-Fi dan NFC turut hadir menjembatani koneksi kamera dan smartphone, memberikan kemudahan untuk memindah foto dan gambar serta fitur remote control. Tidak kalah menarik adalah kehadiran Bluetooth LE sehingga kamera bisa terus tersambung ke smartphone tanpa menguras terlalu banyak daya.

Canon EOS M5 rencananya akan dipasarkan mulai bulan November mendatang seharga $980 body only. Bundel bersama lensa EF-M 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM ditawarkan seharga $1.099, sedangkan bundel dengan lensa EF-M 18-150mm f/3.5-6.3 IS STM yang sama-sama gres seharga $1.479.

Sumber: DPReview.

Andalkan Fitur Selfie, Fujifilm X-A3 Dibekali Layar Sentuh dan Sensor 24 Megapixel

Di tahun 2016 ini, Fujifilm bisa dibilang sebagai salah satu pemain paling berpengaruh di kancah mirrorless. Lewat X-Pro2 dan X-T2, Fujifilm membuktikan bahwa kamera mirrorless sangat ideal digunakan dalam kegiatan fotografi profesional. Kendati demikian, mereka juga tidak lupa dengan segmen amatir lewat model terbarunya, X-A3.

Melanjutkan jejak pendahulunya sebagai lini terbawah dari deretan kamera mirrorless Fujifilm, X-A3 menawarkan keseimbangan antara fitur dan harga. Meski tidak dibekali sensor X-Trans seperti kakak-kakaknya yang lebih mahal, X-A3 masih mengusung sensor APS-C baru beresolusi 24 megapixel, dengan rentang ISO 100 – 25.600.

Mode Film Simulation yang sangat dicintai oleh kalangan pengguna Fujifilm turut hadir, begitu pula dengan fitur Panorama dan Time Lapse. Fujifilm tidak lupa menyematkan kemampuan memotret dalam format RAW, sementara video bisa direkam dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps.

Performanya tergolong lumayan, dengan shutter speed 1/4000 detik dan continuous shooting 6 fps. Sistem autofocus-nya hanya mengandalkan contrast-detection saja, dengan total 49 titik dalam mode Single AF atau 77 titik dalam mode lainnya.

Fujifilm X-A3 mempertahankan desain retro yang sudah sangat dikenal dari lini X-Series / Fujifilm
Fujifilm X-A3 mempertahankan desain retro yang sudah sangat dikenal dari lini X-Series / Fujifilm

Sama seperti pendahulunya, X-A3 juga mengedepankan fitur selfie. LCD 3 inci di belakangnya bisa diputar hingga menghadap ke depan, dan dalam posisi ini, fitur Eye Detection akan otomatis aktif. Layar ini juga bisa dioperasikan dengan sentuhan, membantu pengguna menentukan titik fokus dengan lebih cepat ketimbang harus memakai tombol di panel belakang.

Perihal desain, aura retro masih terasa sangat kental. Pelat depan, pelat atas dan sejumlah kenopnya terbuat dari aluminium, sedangkan lapisan kulit pada grip-nya mempunyai tekstur yang lebih baik untuk memantapkan genggaman. X-A3 turut dibekali Wi-Fi, memungkinkan pengguna untuk memindah foto dengan mudah maupun mengontrol kamera memakai smartphone.

Fujifilm X-A3 rencananya bakal dilepas mulai bulan Oktober bersama lensa kit XC 16-50mm f/3.5-5.6 OIS II seharga $600. Pilihan warna yang tersedia adalah silver, coklat dan pink.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-T2 Resmi Diperkenalkan, Untuk Pertama Kalinya Mengusung Perekaman Video 4K

Tahun 2016 rupanya menjadi tahun sekuel bagi Fujifilm. Setelah merilis Fujifilm X-Pro2 di bulan Januari kemarin, produsen kamera yang berdiri sejak 82 tahun silam tersebut kini memperkenalkan Fujifilm X-T2, yang tidak lain merupakan suksesor dari Fujifilm X-T1.

Apa saja yang baru dari X-T2? Well, dilihat dari luar, sepertinya tidak ada banyak perubahan. Kendati demikian, Fujifilm telah menerapkan sejumlah revisi kecil yang membuat X-T2 semakin matang dibanding pendahulunya.

Pembaruan yang paling utama adalah pemakaian sensor anyar X-Trans CMOS III dengan resolusi 24,3 megapixel. Sensor berukuran APS-C ini sama seperti yang bernaung di dalam bodi X-Pro2, dan ketika disandingkan dengan chip pengolah gambar yang baru pula, hasil fotonya di kondisi low-light dipastikan sangat baik dan minim noise.

Sensitivitasnya terhadap cahaya turut membaik, kini mendukung hingga tingkat ISO 12800. Namun yang lebih mencengangkan lagi, X-T2 menjadi kamera mirrorless pertama Fujifilm yang mengusung opsi perekaman video 4K 30 fps. Yup, sepertinya ini merupakan langkah awal Fuji untuk memperbaiki reputasinya di bidang video.

Tombol pada kenop shutter speed dan ISO milik X-T2 kini cukup diklik satu kali untuk membuka kuncinya, tidak perlu ditahan seperti di X-T1 / Fujifilm
Tombol pada kenop shutter speed dan ISO milik X-T2 kini cukup diklik satu kali untuk membuka kuncinya, tidak perlu ditahan seperti di X-T1 / Fujifilm

Kualitas gambar dan video yang oke didukung oleh performa X-T2 yang kian gegas. Shutter speed maksimumnya kini berada di angka 1/8.000 detik, sedangkan kinerja autofocus-nya dijamin meningkat pesat dibanding pendahulunya, dengan pilihan 325 titik fokus – 91 titik di antaranya merupakan titik fokus phase detection untuk pemotretan objek bergerak.

Kinerja tracking autofocus yang semakin sempurna ini dibarengi oleh electronic viewfinder (EVF) baru yang mempunyai refresh rate 100 fps dalam mode Boost. Resolusi dan tingkat perbersarannya masih sama, yakni 2,36 juta dot dan 0,77x, namun Fujifilm memastikan objek bergerak bisa tersaji di EVF tanpa terhambat sedikitpun, bahkan di kondisi minim cahaya. Melengkapi semua itu adalah tingkat kecerahan maksimum yang meningkat dua kali lipat.

LCD milik X-T2 bisa dimiringkan ke samping kanan, berguna saat hendak mengambil gambar dalam posisi berdiri / Fujifilm
LCD milik X-T2 bisa dimiringkan ke samping kanan, berguna saat hendak mengambil gambar dalam posisi berdiri / Fujifilm

Meski desainnya sepintas terlihat identik seperti X-T1, X-T2 yang sama-sama tahan terhadap cuaca ekstrem ini telah dirancang supaya bisa lebih nyaman di genggaman pengguna. Tidak hanya dengan grip baru yang lebih besar, tetapi juga perbaikan rancangan kenop putar di panel atas serta penambahan joystick di belakang untuk memudahkan pengaturan titik fokus.

LCD 3 incinya pun kini bisa dimiringkan, tidak cuma ke atas atau bawah, tapi juga ke samping kanan – ideal ketika pengguna hendak memotret dalam orientasi portrait. Tepat di sisi kanan, tertanam sepasang slot SD card yang keduanya mendukung model UHS-2 yang berkecepatan tinggi.

Kapan Anda bisa meminang Fujifilm X-T2? Mulai bulan September besok, dengan harga $1.600 untuk bodinya saja, atau $1.900 bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4.

Sumber: Fujifilm.