Sony Indonesia Umumkan Lensa Full-Frame Seri G Master, FE 35mm F1.4 GM

Lensa dengan jarak fokal ekuivalen 35mm merupakan salah satu lensa populer yang banyak digemari oleh fotografer. Tidak terlalu lebar dan juga tidak begitu sempit, lebih fleksibel bila dibandingkan dengan lensa 50mm.

Untuk foto portrait atau objek jarak dekat, perspektifnya masih relatif normal dan tetap mendapatkan bokeh yang dramatis bila menggunakan aperture besar. Sementara, bila ingin memotret area yang lebih luas cukup mundur beberapa langkah.

Bagi pengguna kamera mirrorless full frame Sony, terdapat beberapa opsi lensa 35mm native. Sebut saja Sony FE 35mm F1.8, Sony Distagon T* FE 35mm F1.4 ZA, dan Sony FE 35mm F2.8 ZA Carl Zeiss Sonnar T*.

[FOTO 2] Tampilan Lensa FE 35mm F1.4 GM dengan Sony Alpha 7R IV

Kini Sony melengkapinya dengan merilis lensa 35mm seri G Master, yakni Sony FE 35mm F1.4 GM (model SEL35F14GM). Lensa ini menawarkan kualitas gambar kelas atas, bokeh yang indah, autofocus cepat untuk berbagai penggunaan seperti pemotretan landscape, portrait, dan street photography, baik still maupun video.

Sony FE 35mm F1.4 GM akan segera tersedia di Indonesia mulai bulan Februari 2021 dengan harga Rp22.999.000. Pemesanan secara pre-order dapat dilakukan mulai tanggal 21 Januari – 7 Februari 2021 di seluruh Sony Authorized Dealers dan offline stores. Setiap pembelian dalam masa pre-order akan mendapatkan hadiah bundling spesial berupa strap eksklusif peak design, Alpha special edition senilai Rp499.000.

Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia menyampaikan, “Sony memiliki misi untuk menghiasi dunia dengan kekuatan kreativitas dan teknologi, sehingga kami merancang lensa FE 35mm F1.4 GM agar dapat menangkap momen yang perlu disimpan selamanya dengan sempurna. Dengan resolusi istimewa dan teknologi fokus pintar, dibungkus oleh desain yang kecil dan ringan, FE 35mm F1.4 GM merupakan lensa esensial yang tidak akan mengurangi kualitas gambar.”

[FOTO 1] Tampilan Lensa FE 35mm F1.4 GM

Ukuran lensa ini cukup ringkas, diameternya 76x96mm dengan diameter filter 67mm dan bobotnya hanya 524 gram, sehingga sangat cocok bila dipasangkan dengan Sony A7C. Pada bodi lensa terdapat focus hold button dan tombol mode fokus untuk beralih ke AF dan MF.

Juga memiliki ring aperture dengan tombol click stops yang dapat dimatikan saat perekaman video. Focus hold button juga dapat digunakan di sejumlah fungsi lain melalui menu bodi kamera, memberikan akses langsung ke fungsi yang penting.

Totalnya punya 14 elemen dalam 10 grup, termasuk dua elemen XA (extreme aspherical) yang dapat secara efektif mempertahankan resolusi di seluruh area gambar. Serta, elemen kaca ED dan penyempurnaan optik lainnya untuk meredam aberasi kromatik dan purple fringing. Punya desain tahan debu dan kelembapan, serta lapisan elemen depan fluor yang dapat menahan air, minyak dan kontaminan lainnya.

Selain itu, lensa Sony FE 35mm F1.4 GM memiliki aperture yang nyaris melingkar berkat konstruksi 11-blade. Punya jarak pemfokusan minimum 27cm dan pembesaran maksimum 0.23x pada mode autofocus. Sistem autofocus-nya mengandalkan dua Motor Linear XD (extreme dynamic) Sony dan memiliki MF Respons Linear yang ideal untuk efek pemfokusan kreatif pada saat merekam video, karena teknologi ini dapat memastikan ring focus untuk merespon kontrol halus saat pemfokusan manual.

Olympus Menyelesaikan Transfer Bisnis Pencitraan ke OM Digital Solutions

Pada Juni 2020, salah satu pelopor tren kamera mirrorless Olympus dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) memutuskan untuk menjual bisnis pencitraannya ke Japan Industrial Partners Inc (JIP). Rincian lebih lanjut terungkap pada bulan September 2020, ketika Olympus menjabarkan kerangka kerja tentang bagaimana transfer akan dilakukan.

Kini Olympus menegaskan bahwa transisi telah selesai seperti yang diharapkan. Efektif per tanggal 1 Januari 2021, Olympus telah menyelesaikan transfer divisi pencitraannya ke OM Digital Solutions Corporation, anak perusahaan Japan Industrial Partners Inc (JIP) yang sekarang meneruskan brand Zuiko dan OM.

Olympus_JIP

Dalam pengumumannya, Olympus mengatakan Shigemi Sugimoto telah ditunjuk sebagai presiden dan CEO OM Digital Solutions di bawah bendera JIP. Bisnisnya berpusat pada kamera digital terutama mirrorless, lensa yang dapat dipertukarkan, IC recorder, dan lainnya.

Pengumuman juga menyebutkan, kepala penjualan, marketing, serta research dan development untuk produk pencitraan akan dipindahkan ke kantor pusat OM Digital Solutions Co di Takakuramachi, Hachioji-shi, Tokyo. Sementara, untuk produksi akan dilakukan di fasilitas pabrik yang ada di Provinsi Dong Nai, Vietnam.

OM Digital Solutions juga memastikan akan memberikan dukungan pelanggan untuk produk pencitraan yang dijual oleh Olympus. Pada 1 Januari 2021, OM Digital Solutions memiliki total modal 37 miliar yen dan memiliki sekitar 2.000 karyawan global. Sementara, Olympus Corporation akan berkonsentrasi pada Medical dan Scientific Solutions dalam upayanya menjadi perusahaan teknologi medis global.

Shigemi Sugimoto mengatakan akan terus mengembangkan dan memperkenalkan produk unik untuk menciptakan nilai baru sambil terus menyediakan produk berkualitas tinggi dan sangat andal. Termasuk brand Zuiko dan OM yang didasarkan pada teknologi optik dan pencitraan digital yang dikembangkan oleh Olympus selama bertahun-tahun.

Penjualan kamera digital memang mengalami penurunan dari tahun ke tahun, keadaan diperparah dengan pandemi covid-19. Faktornya lain karena pasar kamera digital tergerus oleh kamera smartphone yang meski menggunakan sensor gambar kecil tetapi pemrosesan gambarnya bisa dibilang canggih.

Sumber: DPreview

Kelebihan Leica SL2-S, Mirrorless Full Frame Hybrid Seharga Rp69 Juta

Leica telah mengumumkan kamera mirrorless full frame ketiga mereka yang menggunakan L-mount, sistem kamera L-Alliance yang terdiri dari Leica, Panasonic, dan Sigma. Adalah Leica SL2-S dengan sensor CMOS-BSI 24MP yang bisa dibilang mirrorless hybrid karena berfokus pada foto dan juga video. Seperti apa kelebihan Leica SL2-S?

Mengandalkan prosesor gambar Maestro III, Leica SL2-S dapat memotret beruntun tanpa batas waktu 5fps menggunakan continuous autofocus dan 9fps tanpa autofocus. Dilengkapi dengan sensor-shift image stabilization yang memungkinkan pengambilan multi-shot delapan bidikan menjadi satu foto dengan resolusi empat kali lipat 96MP.

Kemampuan perekam videonya mencapai resolusi 4K di 30fps yang oversampled tanpa batas waktu alias sampai baterai atau kartu memori habis, ada dua slot kartu SD UHS-II di kamera ini. Leica SL2-S juga mendukung video 4K di 60fps tetapi menggunakan mode crop APS-C.

Sebagai kamera hybrid, Leica SL2-S tidak hanya dirancang untuk fotografer tetapi juga videografer dan sinematografer. Ia dapat menangkap footage 10-bit 4:2:2 hingga frame rate 60fps dengan Leica LOG gamma profile langsung ke kartu SD atau pakai eksternal recorder yang menyuguhkan fleksibilitas color grading saat post-production.

Untuk desain, ukuran grip, dan tata letak tombol-tombolnya terlihat identik dengan Leica SL2. Bergaya SLR dengan grip yang terbilang besar dan memiliki punuk sebagai tempat tinggal EVF beresolusi 5,76 juta dot. Bodinya terbuat dari magnesium alloy dan diklaim sudah weather-sealing dengan sertifikasi IP54, serta memiliki layar tetap 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot.

Menimbang semua kelebihan Leica SL2-S, berapa harga? Leica SL2-S dibanderol dengan harga US$4.895 atau sekitar Rp69 jutaan, jauh lebih mahal dari kamera mirrorless full frame flagship dari kompetitor. Karena fokus Leica bukan menjual kamera sebanyak-banyaknya, melainkan membuat kamera dengan daya tahan jangka panjang.

Tentu saja, salah satu kelebihan lain menggunakan dudukan L-mount ialah kekayaan ekosistem lensanya. Itu karena lensa L-mount besutan Leica, Panasonic, dan Sigma juga merupakan lensa native.

Sumber: DPreview

Daftar Kamera Mirrorless yang Dirilis Tahun 2020

Saat ini penjualan kamera digital cenderung menurun dari tahun ke tahun. Keadaan ini diperparah dengan pandemi covid-19 yang terjadi di hampir sepanjang tahun 2020 dan industri fotografi salah satu yang terkena dampaknya.

Meski menurut laporan terbaru dari Camera & Imaging Products Association (CIPA) seperti yang dilansir Dailysocial dari DPreview, pada bulan Oktober menunjukkan pasar kamera digital mulai pulih dari penurunan akibat covid-19. Di mana total unit yang dikirim mencapai 1,13 juta, angka ini masih 22,8% lebih sedikit dibandingkan dengan Oktober 2019, tetapi masih lebih baik daripada enam bulan terakhir.

Persaingan kamera digital tahun ini sangat sengit seperti tahun sebelumnya, terutama pertarungan kamera mirrorless dengan sensor full frame. Bentrokan antara Canon, Nikon, Panasonic, dan Sony terjadi sangat keras. Di sisi lain, persaingan kamera mirrorless dengan sensor APS-C juga tak kalah menarik.

Berikut sederet kamera mirrorless yang dirilis di tahun 2020, daftar ini diurutkan berdasarkan abjad.

Canon

Mulai dari Canon, pada bulan Juli lalu mereka mengumumkan penerus EOS R yang merupakan kamera mirrorless full frame pertama Canon yang dirilis tahun 2018 yakni EOS R5 dan EOS R6. Fitur utama dari EOS R5 ialah resolusinya sensornya mencapai 45MP dan menggunakan prosesor DIGIC X seperti yang ditemukan pada kamera DSLR flagship Canon EOS-1D X III.

Namun fitur paling menarik dari EOS R5 ialah kemampuannya merekam video hingga resolusi 8K di 30 fps, meskipun durasinya dibatasi hanya sampai 30 menit. Sementara, EOS R6 merupakan versi terjangkau dari EOS R5 dengan sensor beresolusi 20MP dan ditenagai prosesor DIGIC X yang sama. Sedangkan perekam videonya mendukung UHD 4K/60p dengan sedikit crop atau hampir menggunakan seluruh lebar sensor.

Untuk APS-C, Canon juga menyegarkan EOS M50 dengan generasi kedua atau Mark II. Namun peningkatannya tidak banyak, ia masih menggunakan sensor APS-C 24MP dan prosesor DIGIC 8 yang sama. Pembaruan utamanya terletak pada kehadiran fitur eye tracking autofocus yang bekerja pada foto maupun video, selebihnya terbilang identik dengan pendahulunya.

Fujifilm

Lanjut ke Fujifilm, ada empat kamera APS-C yang dirilis tahun ini yaitu Fujifilm X-T200, X100V, X-T4, dan X-S10. Fujifilm X-T200 merupakan kamera mirrorless entry-level penerus X-T100, ia dapat memproses data 3,5 kali lebih cepat dan mampu merekam video 4K 30 fps, bukan lagi 15 fps.

Sementara, X100V merupakan kamera compact premium iterasi kelima seri X100 dengan hybrid viewfinder, lensa fixed 23mm f/2 yang sudah diperbarui, serta LCD-nya kini touchscreen dan bisa di-tilt dua arah. Jeroannya Sama seperti X-T4 dan X-S10, X100V hadir dengan sensor APS-C X-Trans CMOS 4 beresolusi 26MP didampingi oleh X-Processor 4.

Kalau X-T4 merupakan mirrorless flagship penerus X-T3 yang jago video dan kini hadir dengan in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop. Serta memiliki baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S.

Sedangkan, X-S10 adalah penerus X-T30 dalam bahasa desain yang berbeda. Bentuk fisiknya menyerupai kamera DSLR dengan grip besar, dengan layar
3 inci yang fully-articulating dan viewfinder elektronik di punuknya. Keistimewaan X-S10 ialah meski bodinya ringkas tetapi sudah dilengkapi IBIS.

Nikon

Seperti Canon, Nikon juga telah merilis penerus generasi pertama kamera mirrorless mereka yaitu Nikon Z6 dan Z7 yang dirilis tahun 2018. Adalah Nikon Z6 II dan Nikon Z7 II, pada generasi keduanya ini Nikon memperbarui prosesornya dengan Dual Expeed 6 sehingga performanya lebih kencang.

Hasilnya Nikon Z6 II dengan 24MP dan Nikon Z7 II dengan 47MP dapat memotret tanpa henti lebih cepat, masing-masing 14 fps dan 10 fps dengan kapasitas buffer lebih besar tiga kali dari generasi pertamanya. Serta, sudah langsung mendukung perekaman video 4K hingga 60p.

Sementara, Nikon Z5 merupakan versi hemat dari Nikon Z6 generasi pertama dengan sensor FX-format CMOS beresolusi 24MP tetapi bukan varian BSI dan menggunakan prosesor gambar yang sama yaitu Expeed 6. Hadir dengan desain yang identik dan mewarisi sejumlah fitur unggulan seperti IBIS yang diklaim dapat mengurangi guncangan hingga lima stop.

Olympus

Pada pertengahan tahun 2020, Olympus salah satu pelopor tren kamera mirrorless memutuskan menjual bisnis pencitraannya, termasuk sahamnya ke perusahaan Jepang bernama Japan Industrial Partners. Meski begitu, tahun ini Olympus merilis tiga kamera mirrorless dengan sensor Micro Four Thirds (MFT) yaitu Olympus OM-D E-M1 Mark III, OM-D E-M10 IV, dan OM-D E-M10 IIIs.

Olympus OM-D E-M1 Mark III merupakan kamera MFT kelas flagship beresolusi 20MP dengan prosesor gambar TruePic IX. Kamera ini dapat memotret 50MP dan memiliki IBIS yang dapat mengurangi guncangan hingga 7,5 stop. Olympus OM-D E-M10 IV juga sudah mengemas sensor MFT beresolusi 20MP dan IBIS. Sedangkan, OM-D E-M10 IIIs masih beresolusi 16MP dengan tambahan fitur Art Filter dan silent shooting mode.

Panasonic

Lanjut ke Panasonic, mereka masih belum mengumumkan penerus generasi kamera mirrorless full frame pertama yang dirilis tahun 2019 yaitu Lumix S1, Lumix S1R, dan Lumix S1H. Tahun ini, Panasonic hanya mengumumkan dua kamera yaitu Lumix G100 dan Lumix S5.

Lumix G100 merupakan kamera mirrorless MFT beresolusi 20MP yang ditujukan untuk para vlogger. Tampilannya seperti versi mini dari Lumix G series, dengan punuk yang menampung hot shoe di bagian atasnya dan electronic viewfinder 3.68 juta titik di depan. Serta, sudah dilengkapi port mikrofon sehingga bisa dengan mudah menggunakan mikrofon eksternal.

Sementara, Lumix S5 merupakan anggota keluarga full-frame terbaru dan diposisikan sebagai kamera hybrid yang bisa diandalkan untuk fotografi maupun videografi. Ia mengemas sensor full-frame 24MP yang sama seperti milik S1 dan S1H dan masih mempertahankan fitur IBIS.

Sony

Terakhir dari Sony, setelah berselang lima tahun Sony akhirnya mengumumkan kamera mirrorless full frame video-centric penerus A7S II yang dirilis tahun 2015 silam. Bernama Sony A7S III dengan yang seluruhnya dirancang ulang, termasuk sensor baru 12,1MP tapi dengan struktur back-illuminated dan prosesor gambar baru Bionz XR yang terdiri dari dua gabungan prosesor. Kemampuan perekam videonya mendukung resolusi 4K hingga 120 fps dan Full HD 240 fps dengan full-pixel readout tanpa pixel binning.

Kemudian bagi yang mendambakan kamera mirrorless full frame dengan bodi ringkas, maka Sony A7C bisa menjadi jawabannya. Embel-embel C ini memiliki arti Compact, bayangkan saja di dalam bodi APS-C sekecil A6600 tetapi mengemas spesifikasi seperti A7 III. Termasuk sensor 24MP dengan prosesor Bionz X, mewarisi fitur IBIS dan mekanisme layarnya sudah vari-angle seperti A7S II.

Satu lagi, Sony ZV-1 merupakan kamera compact dengan sensor 1 inci 20MP sama seperti RX100 series, tetapi telah dioptimalkan untuk pengambilan video. Dengan lensa zoom setara 24-70mm F1.8-2.8 ZEISS Vario-Sonnar T* dan beberapa modifikasi penting antara lain layar vari-angle, kualitas mikrofon internal di atas rata-rata dengan directional 3-capsule microphone, serta tetap menyediakan port mikrofon 3,5mm dan hot shoe.

Fujifilm GFX100 IR Dirancang untuk Keperluan Forensik Maupun Pelestarian Budaya

Dengan sensor medium format 100 megapixel dan banderol harga nyaris 160 juta rupiah, Fujifilm GFX100 jelas bukan untuk semua orang. Kendati demikian, Fujifilm rupanya masih punya cara untuk menyulap kamera mirrorless tersebut menjadi lebih spesial lagi.

Mereka baru saja memperkenalkan Fujifilm GFX100 IR, versi khusus GFX100 yang didedikasikan untuk keperluan fotografi inframerah. Bukan cuma 100 megapixel, kamera ini juga dapat menghasilkan gambar inframerah dalam resolusi 400 megapixel dengan memanfaatkan fitur pixel shifting – yang juga tersedia pada GFX100 standar lewat sebuah firmware update.

Menurut Fujifilm, gambar inframerah yang dihasilkan oleh GFX100 IR memungkinkan kita untuk melihat detail yang tidak tampak dengan mata telanjang. Kemampuan semacam ini tentunya dapat membantu para profesional yang bekerja di bidang forensik, semisal untuk mengidentifikasi dokumen yang dipalsukan.

Contoh lainnya adalah di bidang pelestarian budaya, di mana gambar inframerah yang dijepret oleh kamera ini dapat dipakai untuk menganalisis pigmen warna pada sejumlah karya seni maupun artefak bersejarah. Singkat cerita, kamera ini punya skenario penggunaan yang lebih spesifik lagi dibanding GFX100 standar. Berikut adalah dua contoh gambar normal beserta versi inframerahnya.

Fujifilm tidak lupa menambahkan bahwa beragam filter inframerah yang terletak di sisi depan lensa dapat dipakai untuk mengambil gambar di panjang gelombang yang berbeda guna menyingkap detail yang berbeda pula pada sebuah subjek foto. Tentu saja kamera ini juga dapat berfungsi secara normal layaknya GFX100 standar ketika dibutuhkan.

Tidak mengejutkan dari sebuah kamera profesional, GFX100 IR dapat ditempatkan di posisi yang semi-permanen, lalu disambungkan ke laptop atau komputer sehingga pengguna dapat mengambil beberapa gambar yang berbeda dari angle yang sama persis secara efisien.

Melihat sifat dasar GFX100 IR yang bisa dibilang sangat terspesialisasi, tidak heran apabila pada akhirnya kamera ini tidak akan dijual secara umum begitu saja, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang memesannya buat keperluan forensik, pelestarian budaya maupun penelitian-penelitian ilmiah.

Fujifilm juga tidak merincikan berapa harganya, tapi bisa kita tebak pasti di atas 160 juta rupiah. Penjualannya sendiri diprediksi bakal berlangsung mulai kuartal pertama 2021.

Sumber: PetaPixel.

Tips Memotret Menggunakan Lensa Manual

Sistem autofocus di kamera mirrorless generasi terbaru bisa dibilang sangat canggih, tak hanya sekedar cepat tetapi juga akurat dan konsisten dapat diandalkan bahkan untuk keperluan video. Tak diragukan lagi, fitur ini sangat membantu pekerjaan memotret selesai dengan lebih cepat.

Saking praktisnya, di satu titik terus menerus mengandalkan autofocus membuat saya jadi tak sabaran saat memotret. Akhirnya saya memutuskan untuk memisahkan pekerjaan dan membuat personal project, di mana saya bisa mengeksplorasi fotografi sekaligus menikmatinya, salah satunya menggunakan lensa manual dan pakai jendela bidik.

7Artisans 35mm F1.2 menjadi pilihan saya, karena ukurannya ringkas dan harganya juga terjangkau, bersanding dengan Sony A6400. Memotret dengan santai tanpa terburu, atur komposisi dan fokus, lalu tunggu momen dan jepret. Lantas apa saja yang perlu dipersiapkan? Berikut beberapa tips memotret menggunakan lensa manual.

1. Focus Peaking

Mengandalkan layar atau jendela bidik saja, kadang tidak cukup. Untuk membantu kita meraih fokus dengan tepat, kita perlu mengaktifkan fitur focus peaking di pengaturan kamera. Jadi, kita bisa melihat bagian mana yang tajam.

Kebanyakan kamera yang dirilis lima tahun terakhir harusnya sudah dilengkapi fitur ini. Di Sony A6400, level focus peaking-nya bisa dipilih antara tinggi, sedang, dan rendah. Serta ada empat warna, yaitu red, yellow, blue, dan white.

2. Focus Magnifier

Focus peaking memang sangat membantu untuk melihat area mana yang fokus, namun kadang kurang akurat apalagi bila menggunakan aperture besar. Focus magnifier ialah fitur untuk memastikan objek utama yang kita bidik benar-benar tajam.

Fitur yang satu ini bakal sering kita gunakan bila menggunakan lensa manual, oleh karena itu sematkan sebagai shortcut. Di Sony A6400, saya mengaturnya di tombol C1 karena lokasinya dekat dengan tombol shutter dan mudah dijangkau.

Biasanya saya akan merangkai komposisi dulu, setelah itu saya menekan tombol C1 untuk menggunakan focus magnifier dan arahkan ke objek utama. Kemudian tekan tombol di tengah navigasi untuk memperbesar 5.9x, putar cincin fokus dan lepaskan tembakan.

3. Ambil Jangan Sekali

Saat menjalankan project ini, fokus saya bukanlah untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Namun lebih ke bagaimana menikmati prosesnya, kamera pun sudah saya atur sedemikian rupa agar bisa fokus mengabadikan momen.

Menurut saya ada dua tantangan utama saat menggunakan lensa manual. Pertama saat menggunakan aperture besar, misalnya F1.2 yang mana depth of field-nya sangat dangkal. Lalu yang kedua, memotret dengan elemen subjek bergerak.

Untuk mengatasinya, jangan melepaskan tembakan hanya sekali, melainkan dua sampai tiga kali bila menggunakan single shooting. Bila perlu gunakan continuous shooting yang rendah, karena tak perlu banyak-banyak nanti bakal repot memilih hasilnya.

Berikut beberapa foto yang diambil menggunakan lensa 7Artisans 35mm F1.2:

Verdict

Memotret dengan lensa manual fokus membuat saya sadar, bahwa betapa premiumnya fitur autofocus. Saat bekerja, jelas dengan senang hati saya menggunakan fitur autofocus karena cepat dan sangat praktis.

Di sisi lain, memotret membantu saya lebih fokus melihat keadaan sekiling, sensasi ini sangat saya nikmati saat hunting. Dengan menggunakan lensa manual, bersusah payah mendapatkan fokus dan mengotak-atik pengaturan sendiri, saya berharap bisa menciptakan karya foto yang lebih berkesan.

Sony A7C Tiba di Indonesia, Mirrorless Full Frame dengan Bodi APS-C

Ketika ingin naik kelas, beralih dari kamera mirrorless dengan sensor APS-C ke full frame. Biasanya ada dua hal yang menjadi pertimbangan utama, yaitu harga dan ukuran.

Nah kalau harga bukan masalah dan membutuhkan kualitas full frame, tetapi mendambakan ukuran yang tetap ringkas. Kamera terbaru Sony yang baru saja mendarat di Indonesia yaitu Alpha 7C bisa menjadi jawabannya.

Embel-embel C ini memiliki arti Compact, bayangkan saja di dalam bodi APS-C sekecil A6600 tetapi mengemas spesifikasi seperti A7 III. Termasuk mewarisi fitur 5-axis in-body image stabilization (IBIS) 5-step dan mekanisme layarnya sudah vari-angle seperti A7S II.

Tampilan Alpha 7C dengan Warna Silver

Kami selalu memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap fotografi dan videografi, serta tren dan perkembangan teknologi dalam menghadirkan produk-produk kami. Kamera terbaru Alpha 7C ini menggabungkan berbagai teknologi pencitraan terdepan, sangat nyaman digunakan dan merupakan perangkat yang cocok untuk seluruh pecinta fotografi dan videografi, mulai dari pemula, para kreator hingga profesional,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.

Dari sisi desain, sepintas desain Sony A7C memang sangat menyerupai tampilan A6xxx series, terutama A6600. Meski detail tata letak tombol kontrolnya tidak sama persis, tombol video telah diletakan di atas kamera.

Dimensi A7C juga sedikit lebih besar 124x71x60 mm dengan bobot 509 gram, sementara A6600 120x67x69 mm dengan bobot 503 gram. Kamera ini sudah tahan terhadap debu dan kelembaban untuk mendukung kebutuhan pengambilan gambar dalam lingkungan yang menantang.

Tampilan Atas Alpha 7C dengan SEL2860

Layar sentuh vari-angle 3 incinya merupakan tipe touch-sensitive 3.0 beresolusi 921,6k dot, bisa ditarik ke samping dan diputar 180 derajat untuk keleluasaan mencari angle dan kemudahan vlogging. Viewfinder elektroniknya beresolusi 2,36 juta dot dengan tingkat perbesaran di angka 0,59x, dan sudah menggunakan baterai NP-FZ100 berkapasitas besar yang mampu menghasilkan 740 bidikan menggunakan layar atau 680 gambar pakai viewfinder.

Untuk spesifikasinya, Sony A7C mengusung sensor back-illuminated Exmor R CMOS 24MP dengan prosesor Bionz X yang sama seperti A7 III. Ia dapat menjepret gambar berturut-turut hingga 10 fps dengan AF/AE (auto exposure) menggunakan unit shutter baru, mendukung pemrosesan gambar 16-bit dan output 14-bit RAW.

Alpha 7C dengan SEL2860

Sistem autofocus Sony A7C juga cepat dan dapat diandalkan, berkat sistem AF 693-point focal-plane phase-detection yang mencakup sekitar 93% dari area gambar, dengan tambahan 425-point contrast-detection. Fungsi AF pada A7C mencakup fitur Real-time Eye AF untuk subjek manusia dan hewan.

Fitur ‘tracking on + AF-on‘ sekarang dapat dialihkan ke tombol khusus dan diaktifkan berbarengan saat menekan tombol AF-ON. Selain itu, pengguna juga dapat menentukan subjek yang diinginkan hanya dengan menyentuhnya di layar.

Untuk perekam videonya, A7C menangkap lebih dari dua kali jumlah data yang diperlukan untuk video 4K hingga 30 fps berkat pembacaan full-pixel full-frame tanpa pixel binning. Mendukung profil HDR (HLG) dan S-Log/S-Gamut, perekaman full HD 120 fps dan fitur video canggih lainnya.

Tampilan audio digital telah tersedia di Multi Interface (MI) kamera, memungkinkan pengguna untuk menyambungkan Mikrofon Shotgun ECM-B1M atau Kit Adaptor XLR-K3M XLR. Soket headphone dan mikrofon juga disediakan untuk memantau suara yang direkam secara akurat. Untuk menyederhanakan kebutuhan alur kerja, konektivitas WiFi memudahkan pemindahan gambar dan video ke smartphone. Dilengkapi pula port USB tipe-C yang mendukung SuperSpeed USB 5Gbps (USB 3.2).

Lensa Model SEL2860

Bersama A7C, Sony juga mengumumkan kehadiran lensa zoom mungil barunya FE 28-60mm F4-5.6 dan flash HVL-F28RM. Sony A7C akan segera hadir di Indonesia pada bulan Desember 2020 dengan harga Rp26.999.000 untuk body only dan Rp31.999.000 dengan lensa kit FE 28-60mm F4-5.6.

Flash HVL-F28RM akan tersedia pada bulan Desember 2020 dengan harga Rp4.299.000. Sedangkan lensa zoom FE 28-60mm F4-5.6 bisa dibeli secara terpisah dengan harga Rp7.999.000 dan akan hadir pada bulan Januari 2021.

Para konsumen dapat melakukan pemesanan secara pre-order mulai tanggal 6-22 November 2020 di seluruh Sony Authorized Dealers dan toko offline. Sony memberikan penawaran spesial untuk setiap pembelian dalam masa pre-order senilai Rp2.500.000 dalam bentuk memory card SF-M 64T, exclusive leash strap dan exclusive wrapping cloth, serta berkesempatan untuk mendapatkan tambahan cashback untuk beberapa lensa dan grip tertentu.

 

Canon EOS M50 Mark II Adalah Kamera Mirrorless Kelas Entry-Level untuk Para Vlogger

Belum lama ini, Canon mengumumkan EOS M50 Mark II. Sesuai namanya, kamera ini menawarkan pembaruan yang iteratif terhadap perangkat bernama sama yang diluncurkan dua tahun lalu. Canon EOS M50 sendiri merupakan kamera mirrorless kelas entry-level yang terbukti cukup mumpuni, terutama buat mereka yang hobi vlogging.

Lalu apa saja yang baru dari EOS M50 Mark II? Sayangnya tidak banyak, dan sepintas terkesan bisa ditawarkan melalui firmware update ketimbang harus membeli kamera baru. Pembaruan yang paling utama adalah kehadiran sistem eye tracking autofocus, baik untuk pengambilan foto maupun video.

Ini cukup krusial mengingat pendahulunya tidak bisa mengaktifkan face detection maupun eye detection dalam perekaman video, sekaligus dalam sejumlah mode pemotretan. Sistem Dual Pixel autofocus yang digunakan sebenarnya masih sama seperti sebelumnya, tapi semestinya fitur eye tracking itu bisa lebih memudahkan pekerjaan.

Yang agak mengecewakan adalah, sistem Dual Pixel AF itu tetap saja tidak bisa dipakai saat merekam video dalam resolusi 4K, dan hanya terbatas untuk perekaman dalam resolusi 1080p saja. Crop factor saat merekam video 4K 24 fps juga tetap tinggi di angka 1,5x, sehingga menyulitkan pengambilan dari sudut pandang yang lebar.

Pembaruan lainnya bisa didapati pada interface layar sentuhnya, yang sekarang dilengkapi tombol record dan self-timer untuk memudahkan sesi vlogging. Kalau perlu menyiarkan secara live, EOS M50 Mark II sekarang juga bisa melakukannya dengan bantuan koneksi milik smartphone, tapi cuma ke platform YouTube saja. Merekam video dalam format vertikal pun sekarang juga dimungkinkan.

Selebihnya, EOS M50 Mark II benar-benar identik dengan pendahulunya, terutama dari segi hardware. Bentuk luarnya tidak berubah, demikian pula jeroannya; perangkat masih ditenagai sensor APS-C 24 megapixel yang sama, lengkap beserta prosesor DIGIC 8 yang sama pula. Canon juga sama sekali tidak mengutak-atik layar sentuh maupun viewfinder elektroniknya.

Jelas sekali kamera ini bukan ditujukan buat mereka yang sudah punya EOS M50 sebelumnya, melainkan yang ingin meng-upgrade perlengkapan vlogging-nya saat ini yang masih mengandalkan smartphone.

Kabar baiknya, harga jual Canon EOS M50 Mark II justru jauh lebih rendah daripada harga pendahulunya saat pertama diluncurkan: $600 body only, atau $700 bersama lensa EF-M 15-45mm. Bundel bersama dua lensa sekaligus (EF-M 15-45mm dan EF-M 55-200mm) juga tersedia seharga $930. Pemasarannya sendiri dijadwalkan berlangsung mulai bulan November mendatang.

Sumber: PetaPixel.

Fujifilm X-S10 Adalah Penerus X-T30 dalam Bahasa Desain yang Berbeda

Dari sekian banyak kamera mirrorless bikinan Fujifilm, hampir semuanya memang mengadopsi desain yang terinspirasi oleh kamera analog. Namun ketika menggarap kamera terbarunya yang bernama X-S10 berikut ini, filosofi tersebut seakan tidak lagi berlaku.

Hasilnya adalah sebuah kamera yang fisiknya menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan. Memang X-S10 bukan yang pertama menerapkan arahan desain seperti ini, sebab sebelumnya sudah ada X-T200 yang mengambil jalur yang sama.

Bentuk grip X-S10 juga sangat berbeda dari biasanya, dan lebih menyerupai grip gemuk milik X-H1. Singkat cerita, kalau Anda mengincar desain retro khas Fujifilm biasanya, kamera ini bukan untuk Anda. Namun tentu saja desain baru sebagian dari cerita utuhnya.

Soal spesifikasi, X-S10 menambah jumlah kamera Fujifilm yang mengemas sensor X-Trans generasi ke-4 beserta chip X-Processor 4. Sensor tersebut masuk kategori APS-C, dengan resolusi 26,1 megapixel dan phase detection pixel sebanyak 2,16 juta. Fuji bilang kinerja autofocus X-S10 sangatlah mengesankan, mampu mengunci fokus dalam waktu 0,02 detik saja, serta sudah dibekali dengan kemampuan tracking mata yang amat presisi.

Berbeda dari X-T30 yang tidak dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS), X-S10 justru mengemas IBIS 5-axis terlepas dari wujudnya yang ringkas, yang bobotnya tak lebih dari 465 gram. Fuji bilang mereka harus merombak ulang IBIS milik X-T4, menyusutkan volumenya hingga sekitar 30% agar cukup dijejalkan ke bodi X-S10.

Sistem IBIS ini juga bisa bekerja selagi X-S10 merekam video. Kebetulan kapabilitas video X-S10 cukup mengesankan; video 4K 30 fps yang dihasilkannya merupakan hasil penerapan teknik oversampling. Ini berarti secara internal X-S10 sebenarnya merekam dalam resolusi 6K, sebelum akhirnya mengonversikan output-nya ke 4K tapi dengan tingkat detail yang lebih baik dan noise yang lebih rendah.

Di panel belakang, pengguna lagi-lagi akan menjumpai layar sentuh 3 inci yang fully-articulating, menjadikannya sebagai alternatif yang cukup menarik buat para vlogger. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan resolusi 2,36 juta dot; standar dan belum setajam milik X-T4.

Kalau saya ditanya di mana posisi X-S10 di lini kamera Fujifilm X-Series, maka saya akan menjawab persis di tengah-tengah X-T30 dan X-T4. Rekan saya, Lukman, yang sempat mengulas X-T30 secara mendalam, bahkan heran kenapa Fujifilm tidak menamai kamera ini X-T40 saja, tapi bisa jadi memang karena bahasa desainnya yang berbeda sendiri.

Kabar baiknya, Fujifilm X-S10 bakal mulai dipasarkan di tanah air pada akhir November 2020, berdasarkan keterangan resmi dari Fujifilm Indonesia. Harga jual resminya di sini belum ditetapkan, tapi di Amerika Serikat kamera ini dibanderol $1.000 (body only). Di AS, X-S10 juga dibundel bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4 seharga $1.400, atau bersama lensa XF 16-80mm f/4 R OIS WR seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel.

Nikon Z 7II dan Z 6II Diluncurkan, Bawa Prosesor Sekaligus Slot Memory Card Ganda

Menyusul kesuksesan Nikon Z 7 dan Z 6 dua tahun silam, Nikon pun memperkenalkan penerusnya, yakni Nikon Z 7II dan Z 6II. Label “II” pada namanya mengindikasikan pembaruan yang iteratif, dan ini juga pertama kalinya Nikon memakai model penamaan seperti itu pada lini kamera digitalnya.

Sebagian besar fitur maupun spesifikasi yang ditawarkan tidak berubah sedikit pun. Nikon bahkan tidak mengutak-atik desainnya, yang berarti kalau Anda senang dengan ergonomi Z 7 dan Z 6 sebelumnya, sudah pasti Z 7II dan Z 6II bakal terasa nyaman di tangan Anda. Sensor full-frame yang digunakan pun juga masih sama; Z 7II dengan resolusi 45,7 megapixel, Z 6II dengan 24,5 megapixel.

Yang berubah cukup drastis adalah performanya. Itu dikarenakan Nikon sudah menyematkan satu prosesor Expeed 6 ekstra. Ya, baik Z 7II maupun Z 6II sama-sama mengemas dua buah prosesor, dan itu pada akhirnya mampu mendongkrak kemampuan burst shooting Z 7II menjadi 10 fps dan Z 6II menjadi 14 fps.

Bukan cuma itu, kinerja autofocus kedua kamera pun juga diklaim lebih baik daripada masing-masing pendahulunya, baik untuk urusan tracking maupun untuk mengunci fokus di kondisi minim cahaya. Pada Z 7II dan Z 6II, fitur eye/face detection dapat digunakan selagi dalam mode AF wide-area maupun ketika merekam video.

Keberadaan prosesor kedua juga memungkinkan Z 7II dan Z 6II untuk merekam video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps setelah sebelumnya cuma terbatas di 30 fps. Satu hal yang mungkin perlu dicatat adalah, opsi 4K 60 fps ini akan tersedia di Z 7II secara langsung, sedangkan di Z 6II baru menyusul di bulan Februari 2021 melalui sebuah firmware update.

Lalu mungkin pembaruan yang paling dinanti-nanti oleh konsumen Z 7 dan Z 6 adalah slot SD card ekstra. Jadi selain slot untuk kartu XQD/CFexpress Type B, Z 7II dan Z 6II turut mengemas slot SD card yang kompatibel dengan kartu tipe UHS-II. Penambahan ini pastinya bakal membuat kedua kamera jadi lebih fleksibel dalam mengakomodasi workflow masing-masing penggunanya.

Perubahan lain yang tidak kalah bermanfaat adalah, Z 7II dan Z 6II dapat beroperasi dengan mengandalkan suplai tenaga eksternal, dengan catatan ia terhubung via kabel USB-C ke USB-C. Kedengarannya sepele memang, tapi fitur ini jelas sangat berguna terutama buat yang sering mengambil video time-lapse.

Rencananya, Nikon Z 7II akan dipasarkan mulai bulan Desember dengan harga $3.000 (body only), atau $3.600 bersama lensa 24-70mm f/4, jauh lebih terjangkau daripada harga pendahulunya saat diluncurkan pertama kali. Nikon Z 6II di sisi lain akan hadir lebih awal pada bulan November dengan banderol $2.000 (body only), atau $2.600 bersama lensa 24-70mm f/4.


Sumber: DPReview.