Olympus Umumkan Lensa Sapu Jagat 12-200mm f/3.5-6.3 dengan Zoom 16.6x

Rekan seperjuangan Olympus dalam mengembangkan sistem Micro Four Thirds (MFT) yakni Panasonic, telah berpaling dan terjun ke segmen mirrorless full-frame dengan jagoan Lumix S1 dan S1R. Bagaimana dengan Olympus?

Tampaknya tidak dalam waktu dekat, karena belum lama ini Olympus telah meluncurkan mirrorless flagship baru dengan sensor Micro Four Thirds yakni Olympus OM-D E-M1X.

olympus-umumkan-lensa-sapu-jagat-12-200mm-f3-5-6-3-1

Lalu, sekarang mereka juga baru saja mengumumkan lensa zoom baru super-telephoto M.Zuiko Digital ED 12-200mm f/3.5-6.3 untuk sistem Micro Four Thirds yang menawarkan pembesaran hingga 16,6x.

Ya, lensa sapu jagat ini memiliki rentang fokal dari 12mm yang sangat wide sampai telephoto 200mm, setara dengan 24-400mm di full-frame. Tentu saja, sangat serba guna mencakup untuk segala jenis fotografi. Sangat cocok untuk dibawa traveling, karena cukup membawa satu lensa saja.

Lensa M.Zuiko Digital ED 12-200mm f/3.5-6.3 memiliki body yang tahan terhadap debu (dustproof) dan anti percikan (splashproof). Namun lensa ini tidak memiliki stabilisasi bawaan, sehingga akan sangat bergantung pada IS di body kamera.

Jarak fokus minimumnya 22cm dan menggunakan mekanisme pemfokusan Olympus MSC. Pengoperasian fokus manual yang tenang ini sangat berguna saat merekam video. Untuk harganya, Lensa M.Zuiko Digital ED 12-200mm f/3.5-6.3 dibanderol US$900 atau sekitar Rp12,6 juta dan tersedia mulai bulan Maret.

Sumber: Petapixel

Tidak Tergoda dengan Segmen Full-Frame, Olympus Luncurkan OM-D E-M1X

Panasonic membuat kejutan beberapa bulan lalu dengan mengumumkan kamera mirrorless full-frame perdananya. Mengejutkan karena Panasonic selama ini sangat percaya diri dengan platform Micro Four Thirds yang dikembangkannya bersama Olympus, namun ternyata godaan untuk mencicipi peruntungan di lahan yang didominasi oleh Sony tidak bisa terbendung lagi.

Lalu bagaimana dengan Olympus? Apakah mereka juga bakal menyusul jejak Panasonic ke segmen mirrorless full-frame? Sepertinya tidak dalam waktu dekat, sebab mereka baru saja memperkenalkan kamera Micro Four Thirds baru, yaitu Olympus OM-D E-M1X.

Olympus OM-D E-M1X

OM-D E-M1X bukanlah penerus langsung OM-D E-M1 Mark II, melainkan lebih pantas dianggap sebagai varian yang sedikit lebih advanced. Sensor yang digunakan sama persis dan tetap beresolusi 20,4 megapixel, akan tetapi E-M1X mengemas dua prosesor TruePic VIII sekaligus demi mewujudkan peningkatan performa yang signifikan.

Kehadiran satu prosesor tambahan ini memungkinkan Olympus untuk merealisasikan fitur seperti Intelligent Subject Detection, sehingga E-M1X mampu mendeteksi sekaligus mengikuti pergerakan berbagai macam kendaraan, mulai dari sepeda motor sampai kereta api dan pesawat, di samping sebatas face dan eye detection.

Olympus OM-D E-M1X

Sistem autofocus-nya sendiri belum diubah, masih mengandalkan 121 titik phase detection bertipe cross-type, yang dapat dinavigasikan via layar sentuh maupun joystick 8 arahnya. Menggunakan shutter elektronik, E-M1X sanggup menjepret tanpa henti dengan kecepatan 18 fps dalam posisi continuous AF aktif, atau 60 fps dengan AF dan AE terkunci.

Sistem image stabilization 5-axis yang terdapat pada E-M1X diklaim sudah lebih disempurnakan lagi. Mode Pro Capture yang akan mengambil deretan gambar sebelum tombol shutter ditekan penuh, kini semakin ngebut lagi dengan kemampuan mengambil 35 gambar sekaligus.

Olympus OM-D E-M1X

Secara visual, E-M1X tampak identik dengan E-M1 Mark II yang dipasangi aksesori vertical grip. E-M1X sendiri mengemas dua baterai sekaligus, dan keduanya dapat diisi ulang tanpa perlu dilepas dari kamera, melainkan langsung dengan menggunakan charger USB-C. Juga berjumlah dua adalah slot SD card-nya, dan keduanya sama-sama mendukung tipe UHS-II.

Selebihnya, E-M1X tidak jauh berbeda dari E-M1 Mark II. Olympus sejatinya hanya mendongkrak kinerja kamera yang sudah sangat cepat di kelasnya, dan itulah mengapa E-M1 Mark II masih akan dijual sebagai alternatif yang lebih terjangkau dari E-M1X, yang dibanderol $2.999 saat dipasarkan pada akhir Februari nanti.

Sumber: DPReview.

Olympus PEN E-PL9 Hadir Membawa Penyempurnaan Desain dan Kemampuan Merekam Video 4K

Olympus PEN Lite (E-PL) merupakan salah satu lini kamera mirrorless tertua. Generasi pertamanya (E-PL1) diumumkan di tahun 2010, jauh sebelum segmen mirrorless bisa dikategorikan mainstream. Selama kiprahnya, seri E-PL selalu diposisikan sebagai kamera mirrorless berharga terjangkau dengan penampilan yang atraktif, dan itu masih dipertahankan hingga kini.

Buktinya bisa kita lihat dari Olympus PEN E-PL9, penerus E-PL8 yang diumumkan di tahun 2016. Perawakan ringkas bergaya rangefinder-nya masih menjadi daya tarik utama, lengkap dengan balutan kulit imitasi yang tak cuma menambah kesan elegan, tapi juga membantu memantapkan genggaman.

Bicara soal grip, tonjolan di bagian depan kanan E-PL9 jauh lebih besar ketimbang pendahulunya, dan ini sudah pasti berpengaruh positif terhadap kenyamanan pengoperasiannya. Mengintip panel atasnya, kenop untuk mengganti mode kamera juga bertambah besar, dan tidak seperti pendahulunya, E-PL9 dibekali pop-up flash.

Olympus PEN E-PL9

Terkait spesifikasinya, E-PL9 mengemas sensor 16 megapixel sekaligus prosesor TruePic VIII yang sama persis seperti milik OM-D E-M10 Mark III, yang secara hierarki masih duduk di atas E-PL9. Sistem autofocus-nya pun sama, dengan total 121 titik dan dukungan face sekaligus eye detection.

Yang membedakan kedua kamera ini adalah sistem image stabilization-nya. E-PL9 mengusung sistem 3-axis, sedangkan OM-D E-M10 Mark III lebih superior dengan sistem 5-axis. Kendati demikian, sistem 3-axis saja sebenarnya sudah cukup efektif mengompensasi guncangan selama pengguna menggenggam kamera.

Sensor dan prosesor baru ini juga memungkinkan E-PL9 untuk merekam video 4K 30 fps, menjadi yang pertama dari seri E-PL yang menembus pencapaian ini. Juga baru adalah konektivitas Bluetooth, yang belakangan memang menjadi prioritas produsen-produsen kamera demi memudahkan proses menyambungkan kamera ke smartphone atau tablet. Dalam kasus E-PL9, gambar bisa dipindah ke ponsel meski kamera dalam keadaan tidak menyala.

Olympus PEN E-PL9

Selebihnya, pengguna seri E-PL masih akan dimanjakan oleh gaya pengoperasian yang sama. Layar sentuh 3 incinya masih bisa diputar 90 derajat ke atas, atau 180 derajat ke bawah, sedangkan baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 350 jepretan.

Olympus berencana melepas E-PL9 ke pasaran mulai pertengahan bulan Maret mendatang. Harganya dipatok 699 euro bersama lensa power-zoom 14-42mm f/3.5-5.6, atau 549 euro untuk body-nya saja.  Pilihan warna yang tersedia ada tiga: hitam, coklat dan putih.

Sumber: DPReview.

12 Kamera Terbaik di Tahun 2017

2017 adalah tahun yang cukup menarik buat industri kamera. Tidak tanggung-tanggung, Sony meluncurkan dua kamera mirrorless kelas high-end sekaligus tahun ini, demikian pula Panasonic. Lalu ada Fujifilm yang terus mengimplementasikan fitur-fitur modern ke kameranya, demi menuruti permintaan pasar.

Di sisi lain, Nikon mengungkap DSLR paling komplet dan paling cekatan sepanjang sejarah, sedangkan Canon, well, Canon tetaplah Canon. Tahun ini juga menjadi saksi atas action cam baru GoPro yang mengemas prosesor buatan mereka sendiri. Tidak ketinggalan pula DJI yang terus menciutkan ukuran drone-nya sampai ke titik di mana kita bisa menganggapnya sebagai sebuah kamera.

Tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, berikut adalah 12 kamera terbaik yang dirilis di tahun 2017.

Sony a7R III

Sony a7R III

Mungkin inilah salah satu kamera yang paling dinanti kehadirannya tahun ini. Sony a7R III melanjutkan jejak a7R II yang dirilis dua tahun sebelumnya, membawa sederet peningkatan yang tidak kelihatan secara kasat mata. Utamanya peningkatan performa continuous shooting dan autofocus dalam kondisi low-light, serta opsi perekaman video 4K dalam format RAW.

Namun kalau menyimak ulasan-ulasan yang beredar di internet, fitur baru a7R III yang paling disukai adalah baterainya yang kini berkapasitas dua kali lebih besar. Pengoperasiannya juga lebih mudah berkat kehadiran joystick kecil di sebelah layar, serta layar sentuh yang bisa difungsikan sebagai touchpad untuk mengatur titik fokus.

Sony memang hampir tidak menyentuh sensor full-frame yang tersematkan padanya, tapi hasil foto maupun dynamic range-nya masih tetap merupakan yang terbaik saat ini, bahkan melampaui sejumlah DSLR kelas premium sekalipun.

Sony a9

Sony a9

Kalau a7R III sudah lama dinantikan, Sony a9 malah muncul di luar dugaan. Hasil fotonya memang tidak sefenomenal a7R, tapi toh sensor yang digunakan masih full-frame. Yang justru diunggulkan a9 adalah performanya, yang di titik tertentu bahkan bisa mengungguli DSLR.

Bagaimana tidak, a9 sanggup mengambil 362 gambar JPEG atau 241 gambar RAW tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Begitu cepatnya kinerja a9, foto-foto hasil ‘berondongannya’ dapat disatukan dan disimak sebagai video yang mulus. Tidak percaya? Tonton sendiri video di bawah ini.

Performa selama ini kerap dinilai sebagai kekurangan utama kamera mirrorless jika dibandingkan dengan DSLR, namun Sony a9 berhasil mematahkan anggapan tersebut.

Panasonic Lumix GH5

Panasonic Lumix GH5

Diperkenalkan secara resmi di awal tahun, Lumix GH5 meneruskan peran Lumix GH4 sebagai kamera mirrorless favorit para videografer. Kelebihannya? Ia mampu merekam video 4K dalam kecepatan 60 atau 50 fps secara internal dan tanpa batas waktu, alias sampai sepasang SD card yang terpasang terisi penuh.

Kedengarannya memang sepele, tapi hampir semua videografer pasti tahu kalau sampai sekarang pun belum banyak kamera lain yang sanggup melakukannya. Lumix GH5 juga masih mempertahankan gelar sebagai salah satu kamera dengan kemampuan mengunci fokus tercepat di hampir segala kondisi.

Panasonic Lumix G9

Panasonic Lumix G9

Seperti Sony a9, Lumix G9 juga diumumkan di luar ekspektasi. Tidak seperti GH5, kamera ini didedikasikan buat para fotografer, utamanya fotografer olahraga maupun satwa liar, yang mendambakan kamera mirrorless dengan kinerja yang amat ngebut.

Sebanyak 50 foto berformat RAW sanggup ia jepret tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Itu dengan continuous autofocus. Dengan single autofocus, kecepatannya malah naik tiga kali lipat menjadi 60 fps.

Sebagai bagian dari keluarga Lumix, G9 tentu saja masih mewarisi sistem autofocus super-cepat serta kemampuan merekam video 4K 60 fps, meski itu tak lagi menjadi prioritas utamanya. Seperti yang saya katakan, fotografer satwa liar adalah salah satu target utama G9, terlebih karena sasisnya sudah memenuhi standar weather resistant.

Fujifilm X-E3

Fujifilm X-E3

Sebagai pengguna Fujifilm X-E2, X-E3 jelas mendapat tempat spesial di hati saya. Desainnya masih mempertahankan gaya rangefinder yang dicintai banyak orang, tapi di saat yang sama ukurannya sedikit menciut sampai-sampai kita bisa tertipu dan menganggapnya sebagai kamera pocket saat tidak ada lensa yang terpasang.

Namun yang lebih penting untuk disorot dari X-E3 adalah bagaimana Fujifilm mendengarkan dan mewujudkan banyak masukan dari konsumen. Kalau sebelumnya hampir semua pengguna X-E2 tidak ada yang mau memakainya untuk merekam video (termasuk saya), X-E3 menghadirkan opsi perekaman video 4K 30 fps, lengkap dengan efek Film Simulation.

Navigasinya juga turut disempurnakan berkat kehadiran layar sentuh, plus joystick kecil yang sepenuhnya menggantikan tombol empat arah. Komitmen Fujifilm untuk mengadopsi teknologi-teknologi modern terus berlanjut sampai ke konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkan X-E3 untuk terus terhubung ke perangkat mobile demi memudahkan proses transfer gambar.

Nikon D850

Nikon D850

Diumumkan tidak lama setelah Nikon merayakan ulang tahun yang ke-100, satu-satunya DSLR yang masuk dalam daftar ini bisa dibilang merupakan DSLR terkomplet sepanjang sejarah. Hilang sudah kebiasaan Nikon untuk menyisihkan fitur-fitur tertentu pada kamera termahalnya; D850 menawarkan hampir segala yang terbaik yang bisa diberikan oleh Nikon.

Resolusinya sangat tinggi (45,7 megapixel), performa autofocus-nya menyamai Nikon D5 yang dihargai nyaris dua kali lipatnya, serta konstruksinya tahan banting dan tahan terhadap cuaca buruk. Nikon bahkan mengambil langkah yang lebih jauh lagi dengan tidak melupakan aspek perekaman video, di mana D850 menawarkan opsi perekaman 4K 30 fps.

Juga jarang ditemukan pada DSLR kelas atas adalah layar sentuh, plus konektivitas Bluetooth LE yang menjadi rahasia di balik teknologi SnapBridge yang inovatif. Singkat cerita, D850 bukanlah kamera termahal Nikon, tapi Nikon terkesan tidak mau melewatkan satu fitur pun untuknya. Ini jelas berbeda dari apa yang Canon lakukan dengan 6D Mark II, yang bahkan tidak bisa merekam video 4K.

Canon G1 X Mark III

Canon G1 X Mark III

Tanpa ada maksud menjelek-jelekkan Canon, mereka sebenarnya merilis satu kamera yang cukup mengesankan tahun ini, yaitu G1 X Mark III, yang masuk ke kategori kamera pocket premium. Label premium sejatinya belum bisa menggambarkan kapabilitas kamera ini sebenarnya, sebab pada kenyataannya G1 X Mark III mengemas jeroan DSLR.

Bukan sebatas “ala DSLR”, tapi benar-benar spesifikasi milik DSLR, mulai dari sensor APS-C 24 megapixel, teknologi Dual Pixel AF, continuous shooting dalam kecepatan 9 fps, sampai viewfinder OLED beresolusi 2,36 juta dot. Semua ini dikemas dalam wujud yang tidak lebih besar dari mayoritas kamera mirrorless.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Jujur sebenarnya OM-D E-M10 Mark III kurang begitu bersinar jika dibandingkan kamera mirrorless lain yang ada dalam daftar ini, akan tetapi hanya sedikit yang bisa menyainginya dalam hal keseimbangan harga dan performa. Yup, dengan modal $650 saja (atau $800 bersama lensa), Anda sudah bisa mendapatkan kamera yang bisa dibilang amat komplet.

Dibandingkan generasi sebelumnya, pembaruannya memang tergolong inkremental, namun setidaknya ia masih menyimpan opsi perekaman video 4K seperti kakaknya, OM-D E-M1 Mark II, yang berlipat-lipat lebih mahal. Lebih lanjut, sistem image stabilization 5-axis Olympus saya kira masih belum tertandingi sampai saat ini, dan itu pun juga hadir di sini.

GoPro Hero6 Black

GoPro Hero6 Black

Tampangnya sama seperti pendahulunya, akan tetapi Hero6 Black pada dasarnya bisa menjadi bukti atas kebesaran nama GoPro di ranah action cam. Ini dikarenakan Hero6 merupakan kamera pertama yang mengemas prosesor buatan GoPro sendiri, bukan lagi buatan Ambarella seperti sebelum-sebelumnya.

Perubahan ini penting dikarenakan belakangan mulai banyak action cam lain yang memakai chip buatan Ambarella, yang pada akhirnya menghadirkan peningkatan kualitas gambar dan performa yang cukup signifikan. Dengan menggunakan prosesor buatannya sendiri, GoPro setidaknya punya nilai jual unik yang tak bisa ditawarkan kompetitornya.

Keseriusan GoPro tampaknya terwujudkan cukup baik. Hero6 Black menjanjikan performa yang belum tersentuh rival-rivalnya, yang mencakup opsi perekaman video 4K 60 fps, serta 1080p 240 fps untuk slow-mo. Sampai detik ini masih belum banyak kamera atau smartphone yang mampu merekam 4K 60 fps ataupun 1080p 240 fps.

Rylo

Rylo

Satu-satunya kamera dalam daftar ini yang berasal dari pabrikan tak dikenal, Rylo sebenarnya dikembangkan oleh sosok yang tidak asing dalam perkembangan teknologi kamera. Mereka adalah pencipta Hyperlapse, teknologi image stabilization berbasis software yang efektivitasnya tidak kalah dibandingkan tripod.

Mereka memutuskan untuk memanfaatkan teknologi Hyperlapse pada kamera buatannya sendiri, dan dari situ lahirlah Rylo. Sepintas ia kelihatan seperti kamera 360 derajat pada umumnya, akan tetapi hasil rekaman beresolusi 4K-nya jauh lebih stabil dan mulus dibandingkan kamera lain di pasaran.

Tidak kalah menarik adalah kemampuan Rylo untuk mengesktrak video 1080p standar dari hasil rekamannya, sehingga pada dasarnya pengguna dapat menentukan ke mana ia harus membidikkan kamera setelah video selesai direkam. Fitur ini sama seperti yang diunggulkan GoPro Fusion, kamera 360 derajat perdana GoPro yang diumumkan bersamaan dengan Hero6 Black.

DJI Spark

DJI Spark

Oke, ini sebenarnya merupakan sebuah drone, tapi dengan dimensi yang tidak lebih besar dari iPhone 8 Plus (saat baling-balingnya terlipat), saya kira wajar apabila Spark dikategorikan sebagai kamera – kamera yang kebetulan saja bisa terbang, sekaligus bergerak dengan sendirinya, menghindari rintangan-rintangan yang ada tanpa input dari pengguna sama sekali.

Di sisi lain, saya pribadi melihat Spark sebagai drone pertama yang bisa digolongkan sebagai gadget mainstream. Pertama karena dimensinya yang mungil, kedua karena kemudahan pengoperasiannya yang berbasis gesture, dan ketiga karena harganya yang cukup terjangkau di angka $499.

Dengan modal yang sama, Anda memang sudah bisa mendapatkan kamera mirrorless yang cukup andal. Namun apakah kamera itu bisa terbang dan mengambil potret keluarga Anda bersama background pemandangan yang menawan dari ketinggian? Pastinya tidak, dan saya kira itulah yang menjadi nilai jual utama Spark sebagai sebuah kamera.

Google Pixel 2

Google Pixel 2 XL

Anggap saja ini sebagai honorable mention, tapi menurut saya Google Pixel 2 membawa pengaruh yang cukup besar pada peran smartphone sebagai kamera secara menyeluruh. Coba Anda telusuri berbagai ulasan atau video perbandingan kualitas kamera smartphone di internet, saya yakin hampir semuanya mengatakan bahwa Pixel 2 adalah yang terbaik saat ini.

Hasil fotonya sangat bagus, oke. Namun yang lebih penting lagi menurut saya adalah bagaimana Pixel 2 bisa membuktikan bahwa itu semua bisa diwujudkan melalui software, termasuk efek foto bokeh yang diandalkan oleh deretan smartphone berkamera ganda tahun ini.

Ya, Pixel 2 hanya dibekali masing-masing satu kamera saja di belakang dan di depan, tapi keduanya sama-sama bisa menghasilkan foto dengan efek blur yang tidak kalah dibanding smartphone lain yang berkamera ganda. Hardware memang penting, dan ini juga tidak mungkin terwujud tanpa teknologi Dual Pixel pada kamera Pixel 2, namun software dan AI memegang peranan penting dalam kinerjanya secara keseluruhan.

Ketergantungannya pada software juga berarti semuanya bisa ditingkatkan dengan mudah seiring berjalannya waktu. Poin lain yang menurut saya tidak kalah penting, Pixel 2 termasuk spesies yang cukup langka karena dua modelnya yang berbeda ukuran menawarkan kinerja kamera yang sama persis. Ini jelas berbeda dari tren yang diadopsi pabrikan lain, yang mengistimewakan kualitas kamera pada satu model tertentu.

Olympus Luncurkan Smart Glasses ala Google Glass

Baru bulan Juli kemarin, Google Glass resmi berkiprah kembali di dunia enterprise. Salah satu keunggulan utama Glass versi baru ini adalah desainnya, di mana ia kini dapat dilepas dan dipasangkan ke kacamata apapun, sehingga penggunaannya bisa disesuaikan dengan beragam skenario.

Empat bulan berselang, rival potensialnya sudah mulai bermunculan. Salah satunya datang dari pabrikan kamera ternama, Olympus. Pelopor segmen kamera mirrorless itu baru saja memperkenalkan smart glassess-nya sendiri yang diberi nama lengkap Olympus EyeTrek Insight EI-10.

Olympus EyeTrek Insight

Sama seperti Google Glass EE, Olympus EI-10 juga dirancang untuk dipasangkan ke berbagai kacamata maupun pelindung mata. Dari situ penggunanya bisa menyimak informasi yang ditampilkan oleh layar OLED beresolusi 640 x 400 pixel, selagi mengambil video atau foto beresolusi 2,4 megapixel.

Melihat spesifikasi kameranya, Anda mungkin bakal langsung berpaling ke Google Glass yang lebih superior. Kendati demikian, Olympus mengklaim bahwa mereka telah menerapkan sistem optik khusus agar display milik EI-10 bisa terlihat jernih dan tajam terlepas dari dimensinya yang sangat kecil.

Wi-Fi dan Bluetooth sudah menjadi suatu keharusan, sedangkan pengoperasiannya mengandalkan sentuhan pada panel sampingnya. Olympus sengaja memilih sistem operasi Android guna mendorong developer untuk mengembangkan aplikasi yang dibutuhkan oleh target pasar EI-10, yakni kalangan enterprise.

Olympus EyeTrek Insight

Sepintas desainnya mungkin tidak seringkas Google Glass versi baru, akan tetapi bobotnya masih cukup ringan di angka 66 gram. Baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 1 jam penggunaan, dan yang menarik, pengguna dapat melepas dan menggantinya dengan unit baterai lain agar perangkat bisa terus digunakan.

Satu hal krusial lain yang membedakan perangkat ini dengan Google Glass adalah, besutan Google itu sudah dipasarkan ke perusahaan dari berbagai industri, sedangkan Olympus masih menawarkannya ke kalangan developer seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel dan Olympus.

Olympus OM-D E-M10 Mark III Datang dengan Desain Lebih Ergonomis dan Perekaman Video 4K

Olympus OM-D E-M1 Mark II adalah salah satu kamera mirrorless terbaik saat ini, tapi dengan kisaran harga Rp 28 juta untuk bodinya saja, ia jelas bukan untuk semua orang. Itulah mengapa seri OM-D E-M10 eksis, dan Olympus baru saja memperkenalkan generasi ketiganya yang membawa sejumlah penyempurnaan.

Pembaruannya tergolong minor, tapi masih bisa membuat E-M10 Mark III terdengar menarik. Sensor yang digunakan masih sama, yaitu sensor Micro Four Thirds 16 megapixel, akan tetapi prosesor yang mendampinginya telah di-upgrade menjadi TruePic VIII, yang pada akhirnya memungkinkan kamera untuk merekam video dalam resolusi 4K 30 fps, sama seperti kakaknya yang jauh lebih mahal itu.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

E-M10 Mark III dilengkapi sistem autofocus 121 titik, naik dari 81 titik pada generasi sebelumnya. Performanya juga ikut naik meskipun sangat tipis; burst shooting dapat dilakukan dalam kecepatan 8,6 fps, selisih 0,1 fps saja dibandingkan pendahulunya.

Desainnya secara keseluruhan masih sama, namun Olympus sudah membenahi sejumlah elemen agar perangkat bisa menjadi lebih ergonomis lagi. Yang paling utama, handgrip-nya kini sedikit melengkung agar lebih pas dengan kontur tangan, kemudian deretan dial pada pelat atasnya sedikit diperbesar ukurannya untuk memudahkan akses.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Selebihnya, E-M10 Mark III masih mempertahankan fitur-fitur unggulan pendahulunya, di antara lain viewfinder OLED beresolusi 2,36 juta dot, layar sentuh 3 inci yang dapat di-tilt, dan image stabilization 5-axis yang dapat diaktifkan selagi merekam video 4K sekalipun.

Olympus OM-D E-M10 Mark III rencananya akan dipasarkan mulai akhir September mendatang seharga $650 untuk bodinya saja, atau $800 bersama lensa M.Zuiko 14–42mm EZ.

Sumber: DPReview.

Olympus Tough TG-5 Siap Abadikan Momen di Segala Medan

Lini kamera Olympus Tough merupakan salah satu alternatif terbaik jika Anda mengincar kamera saku untuk travelling yang siap menghadapi segala medan. Model terbarunya, Olympus Tough TG–5, baru saja diperkenalkan, dan bersamanya datang sederet pembaruan yang signifikan dibanding pendahulunya.

Tepat di jantungnya bernaung sensor 12 megapixel dengan ISO maksimum 12800 dan kemampuan memotret dalam format RAW. Buat yang mengikuti perkembangan lini Olympus Tough, Anda mungkin sadar kalau resolusi sensor pendahulunya malah lebih besar di angka 16 megapixel, akan tetapi Olympus menjamin kualitas gambar TG–5 tetap lebih baik.

Panel atasnya kini dilengkapi sebuah control dial, sedangkan mekanisme zoom-nya kini diganti menjadi lebih konvensional / Olympus
Panel atasnya kini dilengkapi sebuah control dial, sedangkan mekanisme zoom-nya kini diganti menjadi lebih konvensional / Olympus

Kok bisa? Sederhana saja: ukuran penampang sensor yang digunakan masih sama, yakni 1/2,3 inci, tapi berhubung jumlah pixel-nya lebih sedikit, maka ukuran masing-masing pixel-nya jadi lebih besar. Hasilnya, kualitas gambar TG–5 dalam kondisi low-light bisa lebih bagus karena cahaya yang masuk lebih banyak. Ini sangat penting diingat supaya kita tidak selalu mengukur kualitas kamera berdasarkan resolusinya.

Peningkatan kualitas gambar ini juga didukung oleh prosesor quad-core TruePic VIII, persis seperti yang terdapat pada kamera mirrorless unggulan Olympus, OM-D E-M1 Mark II. Soal video, TG–5 siap merekam dalam resolusi 4K 30 fps, atau 1080p 120 fps jika Anda hendak mengabadikan aksi slow-motion.

Lensa yang digunakan masih sama seperti TG–4, yaitu 25–100mm f/2.0–4.9. Lensa ini sendiri sebenarnya cukup istimewa karena dapat mengunci fokus meski objek hanya berada 1 cm di depannya.

Tough TG-5 mengemas fitur Field Sensor System yang dipinjam dari action cam TG-Tracker / Olympus
Tough TG-5 mengemas fitur Field Sensor System yang dipinjam dari action cam TG-Tracker / Olympus

Desainnya tidak berubah banyak, akan tetapi Olympus rupanya sudah membuat TG–5 jadi lebih ‘berotot’. Ketahanan airnya kini naik jadi 15 meter – bisa ditingkatkan lagi menjadi 45 meter dengan bantuan underwater housing – dan perangkat masih tetap tahan banting dari ketinggian 2,1 meter, plus tetap bisa beroperasi meski mendapat tekanan sebesar 100 kg. Suhu dingin sampai –10º Celsius juga bukan masalah besar buat TG–5.

Fitur unik lain dari TG–5 adalah Field Sensor System, yang sejatinya dipinjam dari action cam TG-Tracker. Fitur ini memungkinkan kamera untuk merekam informasi seperti lokasi, suhu, ketinggian maupun arah, yang kemudian bisa ditambatkan pada foto atau video sebelum dibagikan ke media sosial.

Olympus Tough TG–5 bakal tersedia di pasaran mulai bulan Juni mendatang seharga $449. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni hitam atau merah.

Sumber: DPReview.

Olympus Siap Kembangkan Sensor Micro Four Thirds dengan Kemampuan Merekam Video 8K

Dibanding Panasonic, menurut saya Olympus kurang begitu populer di kalangan konsumen kamera mirrorless, meskipun keduanya sama-sama merupakan pencetus platform Micro Four Thirds. Kamera seperti Lumix GH4 dan GH5 bisa menjadi salah satu alasan dari argumen saya ini, dimana publik tak hanya mengakui kualitas jepretannya, tetapi juga bagaimana kedua kamera tersebut berhasil menetapkan standar baru di segmen videografi.

Ke depannya, tampaknya Olympus juga akan mengejar hal yang sama. Berdasarkan wawancara salah satu petingginya dengan media Perancis, Focus Numerique, dijelaskan bahwa Olympus sudah punya niatan untuk mengembangkan sensor Micro Four Thirds yang sanggup merekam video beresolusi 8K.

8K berarti paling tidak harus ada 33 juta pixel yang tertanam pada sensor tersebut, dan Olympus percaya diri mereka bisa mengatasinya. Pasalnya, saat mulai merintis Micro Four Thirds di tahun 2003, resolusi yang ditawarkan hanya sebatas 5 megapixel, tapi sekarang kamera-kamera terbarunya menawarkan resolusi 20 megapixel dengan kualitas gambar yang lebih superior.

Selain video 8K, Olympus juga tertarik untuk mengembangkan teknologi konektivitas berbasis Bluetooth seperti Nikon Snapbridge. Snapbridge pada dasarnya memadukan sambungan Wi-Fi dan Bluetooth LE supaya kamera bisa terus tersambung ke ponsel atau tablet, sehingga setelahnya pengguna pun tak perlu repot-repot mengulangi proses pairing.

Terakhir, Olympus juga akan semakin mematangkan sistem image stabilization kamera-kameranya, sehingga pada akhirnya nanti mode pemotretan High Resolution bisa dilakukan tanpa harus mengandalkan tripod. Saya pribadi cukup yakin Olympus bisa melakukannya, sebab merekalah yang memulai tren image stabilization 5-axis ketika kamera-kamera lain masih mengandalkan sistem berbasis lensa.

Sumber: DPReview dan 4/3Rumors.

Olympus OM-D E-M1 Mark II Tawarkan Performa yang Luar Biasa Cepat untuk Kamera Seukurannya

Sekitar empat tahun sejak memperkenalkan kamera andalannya, OM-D E-M1, Olympus kini sudah siap dengan suksesornya. Berlabel Mark II, perubahannya hampir tidak terlihat dari luar. Meski jeroannya saja yang dirombak, apa yang ditawarkan OM-D E-M1 Mark II amat signifikan dibanding pendahulunya.

Tema utama yang hendak diangkat Olympus lewat OM-D E-M1 Mark II adalah kecepatan. Performanya sangat mencengangkan untuk kamera seukurannya: continuous shooting secepat 60 fps dalam posisi AF Lock, atau 18 fps dalam posisi AF Tracking, dan semua ini disimpan dalam format RAW beresolusi penuh.

Itu tadi menggunakan electronic shutter, tapi kinerjanya tidak kalah fenomenal meski memakai mechanical shutter: 15 fps dalam posisi AF dan AE terkunci, atau 10 fps dengan AF dan AE Tracking menyala. Digabungkan dengan sistem autofocus kelas dewa, kamera ini bisa menjadi incaran para fotografer olahraga maupun satwa liar nantinya.

Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus
Wujud Olympus OM-D E-M1 Mark II hampir tidak berubah jika dibandingkan pendahulunya / Olympus

Benar saja, total ada 121 titik fokus bertipe cross-type pada OM-D E-M1 Mark II. Sistem ini turut ditemani oleh sebuah prosesor yang secara khusus akan menangani kinerja autofocus, memastikan penguncian fokus berlangsung secepat mungkin dan seakurat mungkin, termasuk halnya dalam mode tracking.

Olympus OM-D E-M1 Mark II mengemas sensor Four Thirds baru beresolusi 20,4 megapixel, didampingi oleh prosesor quad-core TruePic VIII yang diyakini bisa bekerja 3,5 kali lebih kencang ketimbang versi sebelumnya. Kamera turut mendukung fitur High Res Shot 50 megapixel, sedangkan video bisa direkam dalam resolusi 4K dengan bitrate hingga 237 Mbps.

Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus
Cukup jarang kita menemui kamera mirrorless dengan layar sentuh yang fully articulated seperti ini / Olympus

Image stabilization 5-axis yang dipopulerkan oleh Olympus sendiri tentunya masih tersedia, demikian pula dengan electronic viewfinder yang kini memiliki frame rate 120 fps. Layar sentuh tiga incinya bisa diputar-putar dan dibolak-balik sesuka hati, dan bodinya yang tahan terhadap cuaca ekstrem ini turut mengemas sepasang slot SD card.

Olympus tidak mengungkapkan kapan kamera ini akan diluncurkan secara resmi, tapi yang pasti sebelum pergantian tahun. Apa yang dikerjakan Olympus selama 4 tahun sepertinya membuahkan hasil dan perubahan yang cukup drastis – bahkan daya baterainya meningkat 37 persen dan waktu charging yang diperlukan 50 persen lebih singkat.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Olympus Perkenalkan Kamera Micro Four Thirds Baru yang Stylish Serta Terjangkau

Desas-desus mengenai penerus kamera mirrorless Pen E-PL7 sudah terdengar berbulan-bulan lalu. Saat itu, kabarnya kamera anyar tersebut cocok bagi mereka yang beranggapan bahwa model Pen-F terlalu besar dan mahal. Perangkat sengaja disiapkan buat memperkuat lineup Micro Four Thirds di lini entry-level, tapi tidak berarti produk ini low-end atau murahan.

Beberapa saat lalu, perusahaan spesialis produk optik dan reprografi asal Jepang itu resmi memperkenalkan Pen E-PL8 di event Photokina di Cologne, Jerman. Pen E-PL8 akan menggantikan E-PL 7, diramu sebagai ‘jembatan’ bagi para pemula serta mereka yang biasa menggunakan kamera smartphone untuk beralih ke sistem interchangeable camera lens. Dan dari sisi penampilan, ia terlihat sangat cantik.

Wujud Pen E-PL8 bisa diibaratkan seperti versi kecil Pen-F, yang pada dasarnya merupakan versi modern dari kamera 35mm legendaris Olympus. Keluarga Pen memang terkenal dengan desain khas yang stylish – bisa berperan jadi aksesori fashion. Untuk E-PL8, produsen memoles lagi sisi estetikanya, dapat kita lihat dari perhatian Olympus terhadap case dan bagian strap, tanpa melupakan aspek fungsi. Ada pilihan lapisan ‘kulit’ berwarna putih, hitam dan coklat, dipasangkan di tubuh perak matte.

Olympus Pen E-PL8 1

Olympus tahu konsumen sering kali menggunakan Pen mereka buat mengambil self-portrait. Maka dari itu penciptanya kembali menyajikan keleluasaan dalam memutar layar LCD touchscreen 3-incinya 180 derajat ke bawah, dan 90 derajat ke atas, ditambah sejumlah penyempurnaan agar proses selfie dan perekaman video jadi lebih mudah.

Olympus Pen E-PL8 dibekali sensor CMOS Four Thirds 16,1-megapixel, dipadu sistem image stabilization tiga-poros, unit baterai 8,5Wh, serta kemampuan continuous shooting 8fps dan menyajikan 81 titik autofocus. Spesifikasi tersebut memang tidak jauh berbeda dengan Pen E-PL7. Kamera turut mewarisi kesanggupakan memproses JPEG (cropping, penyesuaian bayangan, koreksi red-eye) dan file Raw.

Khusus buat Raw, prosesnya lebih detail, menawarkan Anda kebebasan untuk mengganti parameter gambar saat mengambil gambar, contohnya highlight dan bayangan atau membubuhkan beragam filter – seperti di E-M10 II. Menemani Pen E-PL8, Olympus turut menyingkap lensa-lensa baru untuk mendukung kamera Micro Four Thirds mereka: sebuah 25mm f1.2 seharga US$ 1.200, lensa 12-100mm f4 plus image stabilization dengan harga US$ 1.300, dan lensa macro 30mm f3.5 seharga US$ 300.

Pen E-PL8 sendiri ditawarkan di harga yang terjangkau, cuma separuh Pen-F, yaitu US$ 550 (hanya body) dan US$ 650 (dengan lensa kit 14-42mm). Produk akan tersedia di bulan Oktober 2016

Via The Verge. Sumber: DPreview.