Canon EOS R5 Bakal Tawarkan Perekaman Video 8K 30 fps Tanpa Crop Factor

Bulan lalu, Canon mengumumkan bahwa mereka tengah menggarap kamera mirrorless full-frame baru, yakni EOS R5. Tidak banyak yang dibeberkan ketika itu, dan ini mendorong publik untuk berspekulasi terkait kapabilitas EOS R5, terutama mengenai kemampuannya merekam video.

Mungkin agak geregetan mendengar rumor yang simpang siur, Canon memutuskan untuk sedikit menguak EOS R5 lebih jauh sebelum peluncuran resminya. Lewat sebuah siaran pers, Canon mengonfirmasi dua fitur yang bakal diunggulkan kamera barunya tersebut: perekaman video 8K dan “Advanced Animal AF”.

Bukan sembarang 8K, EOS R5 siap melakukannya dengan memanfaatkan seluruh penampang sensor, alias tanpa sedikitpun crop factor. Video beresolusi 7680 x 4320 pixel 30 fps itu dapat direkam dan disimpan langsung ke memory card tanpa perlu mengandalkan bantuan external recorder.

Lebih istimewa lagi, Canon mengklaim fitur Dual Pixel AF tetap bisa dipakai selama merekam video dalam resolusi 8K. Singkat cerita, EOS R5 menawarkan kapabilitas video yang nyaris tanpa kompromi, dan ini merupakan sesuatu yang cukup langka di luar lini kamera sinema Canon.

Canon EOS R5

Mungkin Canon akhirnya sadar betapa besar pengaruh lini kamera mirrorless Sony a7 di bidang videografi dalam beberapa tahun terakhir, dan mereka memutuskan sudah waktunya bagi mereka untuk ikut menyeriusi bidang ini lewat lini kamera mirrorless-nya.

Fitur unggulan yang kedua sebenarnya juga tidak kalah menarik. Berkat Advanced Animal AF, Canon mengklaim EOS R5 mampu mengenali beragam jenis hewan (anjing, kucing, dan burung). Secara default yang dideteksi adalah matanya, tapi Canon bilang EOS R5 juga mampu mengenali wajah dan tubuh binatang di situasi-situasi tertentu, semisal ketika matanya tidak kelihatan.

Lalu kapan Canon EOS R5 akan hadir? Sayangnya itu belum diketahui. Kemungkinan kita masih harus bersabar menunggu lebih lama lagi jika melihat kondisi terkini terkait penyebaran virus corona yang telah ‘melumpuhkan’ banyak industri.

Sumber: DPReview.

Autel EVO II Siap Memulai Era Drone Berkamera 8K

Apa tren drone baru yang bakal populer di tahun 2020 ini? Salah satu yang sudah tercium adalah kemampuan merekam video beresolusi 8K. Namun yang memulai rupanya bukan DJI, melainkan Autel Robotics.

Di CES 2020 kemarin, Autel memperkenalkan EVO II, suksesor dari drone bikinannya dua tahun lalu. Seperti halnya DJI Mavic 2, Autel EVO II hadir dalam lebih dari satu model yang dibedakan berdasarkan kameranya: EVO II, EVO II Pro, dan EVO II Dual.

Autel EVO II

EVO II standar inilah yang akan memulai era drone berkamera 8K. Ia mengemas sensor berukuran 1/2 inci yang mampu merekam video beresolusi 7720 x 4320 pixel, serta menjepret foto 48 megapixel. Kameranya juga dapat melakukan zooming hingga sejauh 4x.

EVO II Pro, sesuai namanya, menarget kalangan profesional dengan sensor 1 inci, perekaman video 6K dan pemotretan 20 megapixel. Selain mengemas sensor berukuran besar, kameranya juga istimewa berkat aperture yang dapat disesuaikan dari f/2.8 sampai f/11, tidak ketinggalan juga sensitivitas ISO 100 – 12800.

EVO II Dual di sisi lain ditujukan untuk kebutuhan komersial berkat kamera thermal FLIR Boson beresolusi 640 x 512 pixel yang mendampingi kamera 8K-nya. Ketiga model EVO II ini siap merekam video dengan bitrate maksimum 120 Mbps maupun video berformat HDR.

Autel EVO II

Kemampuan mengudara ketiga model EVO II ini juga tidak kalah mengesankan. 12 sensor optik beserta 2 sensor sonar mewujudkan kapabilitas obstacle avoidance yang menyeluruh (360 derajat). Autel mengklaim EVO II dapat mendeteksi rintangan dari jarak sejauh 30 meter, lalu mengatur sendiri kecepatannya demi menghindari rintangan tersebut sehingga pilotnya bisa tetap berfokus mengendalikan kameranya.

EVO II mampu mentransmisikan sinyal menuju controller-nya sampai sejauh 9 kilometer. Autel pun tidak lupa mempertahankan salah satu keunggulan EVO generasi sebelumnya, yakni remote control yang dibekali layar, sehingga pengguna dapat mengoperasikan EVO II tanpa perlu mengandalkan smartphone sama sekali.

Autel EVO II

Juga mengesankan adalah ketahanan baterai 7.100 mAh yang terpasang pada EVO II. Dalam sekali pengisian, Autel mengklaim EVO II sanggup mengudara hingga 40 menit nonstop. Memang masih kalah dari V-Coptr Falcon yang juga baru dirilis, tapi tetap impresif mengingat drone lain yang sekelas umumnya hanya bisa terbang selama 20 – 30 menit saja.

Semua ini ditawarkan dalam harga yang cukup kompetitif: EVO II seharga $1.495, EVO II Pro seharga $1.795, sedangkan EVO II Dual berdasarkan pesanan.

Sumber: DPReview dan Autel.

QooCam 8K Buktikan Bahwa Kamera 360 Derajat Beresolusi 8K Tidak Harus Sebesar Bola Basket

Insta360 One X dan GoPro Max sudah membuktikan bahwa ukuran bukanlah penghalang bagi kamera 360 derajat untuk bisa memaksimalkan potensinya. Dua kamera tersebut sama-sama mudah disimpan dalam kantong, akan tetapi output video yang dihasilkan tetap memuaskan di resolusi 5,6K 30 fps.

Kalau yang dikejar adalah resolusi yang lebih tinggi lagi, opsi yang tersedia sayangnya tidak ada lagi yang masuk kategori pocketable, melainkan yang sebesar bola basket atau termos. Benarkah demikian? Tidak kalau menurut pabrikan asal Tiongkok bernama Kandao.

Bantahan itu mereka buktikan lewat QooCam 8K, sebuah kamera 360 derajat berdimensi ringkas yang sanggup merekam dalam resolusi 8K (7680 x 3840 pixel). Pocketable tapi beresolusi amat tinggi, QooCam jelas merupakan spesies kamera 360 derajat yang masih langka sejauh ini. Andai diperlukan, ia pun juga siap merekam video dalam resolusi 4K 120 fps.

QooCam 8K

Output video sebesar itu datang dari sensor yang berukuran besar pula, 1/1,7 inci, dengan kemampuan memotret di resolusi 30 megapixel. Ia bahkan mewarisi fitur image stacking ala smartphone, dan yang ditumpuk di sini adalah gambar dalam format RAW, sehingga hasil akhir fotonya diyakini punya detail dan dynamic range yang lebih baik.

Mengikuti tren stabilization internal yang begitu efektif yang dipopulerkan oleh Insta360 dan GoPro, QooCam 8K turut mengemas gyroscope 6-axis untuk menstabilkan video yang tengah direkam tanpa harus bergantung pada gimbal. Sistem stabilization ini juga membuatnya ideal dipakai untuk vlogging, dan ia memang dibekali mode khusus untuk vlogging layaknya GoPro Max.

Dalam mode tersebut, lensa dan sensornya cuma berfungsi di satu sisi saja. Di sisi sebaliknya, layar sentuh 2,4 inci bertugas menampilkan preview yang tengah direkam secara real-time. Tentu saja layar ini juga berguna untuk meninjau hasil rekaman atau jepretan tanpa harus menyambungkannya terlebih dulu ke smartphone.

Urusan editing, aplikasi pendampingnya ternyata tidak kalah cerdas. Sebuah fitur bernama 8K Express Edit memungkinkan pengguna untuk menyunting video 8K langsung di smartphone. Bukankah itu merupakan tugas yang amat berat untuk hardware sekelas ponsel? Betul, akan tetapi ini bisa diakali dengan metode proxy editing.

Jadi yang dilihat dan disunting sebenarnya bukanlah video aslinya, melainkan salinannya yang sudah di-downgrade menjadi resolusi 4K supaya tidak memberatkan ponsel. Setelahnya, aplikasi secara otomatis akan menerapkan semua penyesuaian pada video aslinya, sehingga hasil akhirnya tetap di resolusi 8K.

Buat yang lebih suka menyiarkan rekamannya secara langsung, QooCam 8K mendukung live streaming ke berbagai platform, akan tetapi resolusi maksimumnya cuma 4K. Kandao berencana melepas QooCam 8K ke pasaran mulai bulan Desember mendatang dengan banderol $599.

Sumber: Digital Trends.

Bereksperimen dengan Dua Canon EOS 5DS, Storm Chaser Hasilkan Video Timelapse Beresolusi 16K

Coba Anda putar salah satu video 8K di YouTube, lalu pilih opsi resolusi tertingginya: 4320p alias 8K. Saya cukup yakin videonya akan menolak untuk berjalan. Kalaupun internet Anda sedemikian cepat sehingga dapat memutarnya tanpa buffering, kemungkinan besar videonya bakal terlihat patah-patah.

Ini dikarenakan begitu besarnya performa grafis yang dibutuhkan untuk mengolah pixel dalam jumlah luar biasa banyak itu. Maka dari itu, kreator yang menggunakan kamera 8K seperti bikinan RED misalnya sering kali hanya mengincar detail dan fleksibilitas ekstra ketika hasil akhirnya dikonversi menjadi 4K.

Singkat cerita, 8K mustahil bakal menjadi mainstream dalam waktu dekat. Namun hal itu tidak mencegah seorang storm chaser bernama Martin Lisius untuk bereksperimen, dan pada akhirnya mencoba merekam video dalam resolusi 16K. Ya, bahkan YouTube maupun Vimeo yang menjadi tempat videonya diunggah pun belum mampu menampilkannya dalam resolusi sebenarnya.

Kamera yang sanggup merekam video 16K belum eksis, akan tetapi Martin tidak kehabisan akal. Ia menjejerkan dua Canon EOS 5DS, kamera full-frame dengan sensor 50 megapixel, di atas sebuah tripod dengan dudukan khusus, lalu memosisikannya secara presisi agar hasilnya bisa di-stitch menjadi satu gambar super lebar, dengan jumlah pixel yang luar biasa banyak.

Prairie Wind 16K

Hasil stitching-nya adalah foto berukuran 15.985 x 5.792 pixel. Foto-foto ini kemudian digabung lagi menjadi video timelapse, dan prosesnya jelas sangat memakan waktu. 700 foto yang digabung menjadi klip berdurasi 23 detik memakan waktu pengerjaan sekitar dua hari.

Sama seperti fleksibilitas penyuntingan yang ditawarkan rekaman 8K yang diedit menjadi 4K, rekaman 16K pun juga demikian ketika diedit menjadi video 8K berdasarkan pengakuan Martin. Detail ekstra menurutnya juga kelihatan pada hasil akhir video beresolusi 8K-nya.

Seperti yang saya bilang, videonya masih belum bisa kita tonton dalam resolusi penuh 16K. Di Vimeo, videonya dapat diputar dalam resolusi 8K, tapi di YouTube rupanya hanya dalam resolusi full-HD saja.

Sumber: Digital Trends.

HP Z8 Adalah PC Workstation Monster yang Dibekali Prosesor 56-Core dan RAM 3 TB

Judul di atas bukanlah salah ketik, tapi ini benar-benar PC kelas workstation paling gila yang pernah HP ciptakan. Seri Z selama ini memang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan kalangan profesional, dan HP Z8 begitu memprioritaskan performa di atas segalanya.

Di dalam bodi serba hitamnya, bernaung sebuah motherboard berukuran masif yang dapat dijejali dua prosesor Intel Xeon sekaligus yang masing-masing mengemas 28-core. Slot RAM-nya ada 24, dengan kapasitas maksimum yang didukung 3 TB alias 3.000 GB – hard disk PC saya saja kalah besar.

Soal storage, Z8 bisa diisi dengan beberapa hard disk hingga memberikan total kapasitas penyimpanan sebesar 48 TB. Melengkapi semua itu adalah sepasang kartu grafis Nvidia Quadro Pro yang mungkin lemah untuk gaming, tapi belum ada tandingannya untuk urusan rendering.

HP Z8 Workstation

Pada kenyataannya, HP memang merancang Z8 buat mereka yang sehari-harinya perlu mengedit video beresolusi 8K, atau yang kerap berkutat dengan special effect seperti di film-film blockbuster. Untuk sebagian besar konsumen, daya komputasi seheboh ini mungkin terkesan overkill. Itulah mengapa HP juga menawarkan dua model lain, yakni Z6 dan Z4.

Namun Z6 dan Z4 sendiri juga masih bisa digolongkan ekstrem jika dibandingkan dengan mayoritas PC kelas workstation. Z6 dapat dikonfigurasikan dengan RAM sebesar 384 GB, sedangkan Z4 ‘hanya’ 256 GB dan cuma bisa menggotong satu prosesor Intel Xeon saja.

Spesifikasi kelas monster ini tentu saja harus ditebus dengan harga selangit. Konfigurasi terendah Z8 dihargai $2.440 dan akan dipasarkan mulai Oktober, tapi konfigurasi tertingginya seperti yang disinggung di atas pasti dipatok di kisaran puluhan ribu dolar. Z6 juga akan meluncur di bulan yang sama dengan harga mulai $1.920, sedangkan Z4 menyusul pada bulan November dengan banderol mulai $1.240.

Sumber: PetaPixel dan HP.

Philips Sedang Garap Monitor 8K yang Dikhususkan Bagi Profesional

Diujungtombaki oleh cepatnya perkembangan teknologi grafis di ranah PC gaming, resolusi 4K dengan 60 frame per detik dianggap sebagai standar hiburan next-gen, dan saat ini para kreator koten dan penyedia hardware berlomba-lomba untuk memenuhinya. Namun perhatian sejumlah perusahaan, terutama produsen monitor, telah mulai melirik tingkatan yang lebih tinggi lagi.

Menyusul pengungkapan monitor gaming 49-inci dari Samsung dan panel curved 35-inci 200Hz buatan Acer, kali ini giliran TPV Technology memamerkan Philips 328P8K di IFA 2017. Perbedaan terbesar antara Philips 328P8K dengan produk Samsung dan Acer tersebut terletak pada target konsumennya. Philips 328P8K diramu untuk para profesional, menjanjikan keakuratan warna yang tinggi dan resolusi mencapai 8K.

Philips 328P8K merupakan monitor berjenis IPS dengan luas 31,5-inci, menyuguhkan resolusi 7680x4320p, memiliki refresh rate 60Hz serta tingkat kecerahan 400-nit – produsen menyebutnya dengan istilah HDR 400. Philips sudah mengonfirmasi dukungan AdobeRGB serta sRGB 100 persen, sehingga 328P8K siap menemani para desainer grafis dan fotografer profesional dalam bekerja.

Philips 328P8K menyuguhhkan viewing angle seluas 178 derajat, ditunjang dua buah DisplayPort 1,3, sebuah USB type-A dan type-C, serta dibekali sepasang speaker 3W. Berdasarkan info sementara, Philips 328P8K mempunyai rasio kontras 1.300 banding 1. DisplayPort 1.3 lebih dipilih dibanding DP 1.4 (dengan Display Stream Compression 1.2) untuk memastikan output warnanya akurat serta sempurna.

Melihat dari spesifikasinya di atas, Philips 328P8K tampaknya disiapkan untuk menyaingi monitor LCD 8K punya Dell, UltraSharp UP3218K yang telah dipasarkan sejak enam bulan lalu. Dan berdasarkan pengamatan AnandTech, ada cukup besar kemungkinan Philips 328P8K menggunakan panel buatan LG Display – juga dipakai oleh Dell UP3218K.

Di versi retail-nya nanti, TPV Technology berencana buat membubuhkan webcam (tidak tersedia di unit demo yang dipamerkan di IFA 2017). Monitor dirancang agar mudah disambungkan ke laptop, sembari mengisi baterainya via fitur  USB charging. Syaratnya, notebook harus siap mendukung mode alternatif DisplayPort 1.4 (saat ini belum ada di produk-produk PC yang telah dipasarkan).

TPV Technology memiliki agenda untuk meluncurkan Philips 328P8K di paruh pertama tahun depan, namun buat sekarang mereka belum bisa menentukan tanggal pelepasannya secara pasti. Proses penyempurnaan produk high-end seperti ini sudah pasti memakan banyak waktu.

Harga Philips 328P8K juga belum diketahui, tapi ada kemungkinan berada di kisaran Dell UltraSharp UP3218K – yang dibanderol US$ 3.900.

Olympus Siap Kembangkan Sensor Micro Four Thirds dengan Kemampuan Merekam Video 8K

Dibanding Panasonic, menurut saya Olympus kurang begitu populer di kalangan konsumen kamera mirrorless, meskipun keduanya sama-sama merupakan pencetus platform Micro Four Thirds. Kamera seperti Lumix GH4 dan GH5 bisa menjadi salah satu alasan dari argumen saya ini, dimana publik tak hanya mengakui kualitas jepretannya, tetapi juga bagaimana kedua kamera tersebut berhasil menetapkan standar baru di segmen videografi.

Ke depannya, tampaknya Olympus juga akan mengejar hal yang sama. Berdasarkan wawancara salah satu petingginya dengan media Perancis, Focus Numerique, dijelaskan bahwa Olympus sudah punya niatan untuk mengembangkan sensor Micro Four Thirds yang sanggup merekam video beresolusi 8K.

8K berarti paling tidak harus ada 33 juta pixel yang tertanam pada sensor tersebut, dan Olympus percaya diri mereka bisa mengatasinya. Pasalnya, saat mulai merintis Micro Four Thirds di tahun 2003, resolusi yang ditawarkan hanya sebatas 5 megapixel, tapi sekarang kamera-kamera terbarunya menawarkan resolusi 20 megapixel dengan kualitas gambar yang lebih superior.

Selain video 8K, Olympus juga tertarik untuk mengembangkan teknologi konektivitas berbasis Bluetooth seperti Nikon Snapbridge. Snapbridge pada dasarnya memadukan sambungan Wi-Fi dan Bluetooth LE supaya kamera bisa terus tersambung ke ponsel atau tablet, sehingga setelahnya pengguna pun tak perlu repot-repot mengulangi proses pairing.

Terakhir, Olympus juga akan semakin mematangkan sistem image stabilization kamera-kameranya, sehingga pada akhirnya nanti mode pemotretan High Resolution bisa dilakukan tanpa harus mengandalkan tripod. Saya pribadi cukup yakin Olympus bisa melakukannya, sebab merekalah yang memulai tren image stabilization 5-axis ketika kamera-kamera lain masih mengandalkan sistem berbasis lensa.

Sumber: DPReview dan 4/3Rumors.

Dell Luncurkan XPS 27 AIO PC dan Monitor Beresolusi 8K

Seperti di tahun-tahun sebelumnya, Dell cukup sibuk memperkenalkan sejumlah perangkat baru dalam ajang Consumer Electronics Show yang dihelat di kota Las Vegas. Mulai dari XPS 13 2-in-1, Dell Latitude 5285 2-in-1, dan kini sebuah AIO PC baru bernama XPS 27.

Namun sejak Microsoft memperkenalkan Surface Studio Oktober silam, Dell sejatinya butuh dari sekadar AIO biasa untuk bisa bersaing di segmen ini. Dell pun mengambil rute yang tidak biasa, menitikberatkan sektor audio guna menciptakan AIO yang benar-benar all-in-one, alias tidak membutuhkan speaker tambahan untuk bisa menyajikan pengalaman multimedia yang maksimal.

Total ada 10 unit speaker yang tertanam dalam bodi Dell XPS 27; enam menghadap ke depan, sedangkan sisanya dihadapkan ke bawah, serta meliputi sepasang passive radiator guna menyuguhkan dentuman bass yang membahana.

Dell tidak segan menyebut kualitas audio XPS 27 sebagai yang terbaik di kategori AIO. Mereka bahkan mengklaim suara yang dihasilkan XPS 27 dua kali lebih keras ketimbang Apple iMac 27 inci, dan bass-nya 10 kali lebih mantap ketimbang HP Envy 27.

Berbekal 10 unit speaker, Dell XPS 27 mengklaim kualitas suara paling superior di kategori AIO PC / Dell
Berbekal 10 unit speaker, Dell XPS 27 mengklaim kualitas suara paling superior di kategori AIO PC / Dell

Beralih ke layar, Dell tetap mempertahankan teknologi Infinity Edge yang dipopulerkan oleh lini laptop XPS. Layar 27 inci yang nyaris tidak ber-bezel tersebut bisa dikonfigurasikan dengan panel beresolusi 4K. Dell pun juga menawarkan varian XPS 27 yang tidak dibekali layar sentuh, tapi dengan tingkat kecerahan layar lebih tinggi.

Untuk varian yang mengusung layar sentuh, posisi layarnya bisa diubah-ubah dan dimiringkan hingga hampir mendatar layaknya Microsoft Surface Studio. Konsekuensinya, varian berlayar sentuh ini berbobot jauh lebih berat; 17 kg dibanding 13 kg untuk yang non-sentuh.

Pada konfigurasi termahalnya, dapur pacunya dihuni oleh prosesor Intel Core i7-6700 (bukan Kaby Lake), RAM DDR4 32 GB (bisa ditambah lagi hingga 64 GB), dan SSD berkapasitas maksimum 2 TB plus M.2 SSD hingga 1 TB ekstra. Di sektor grafis, XPS 27 mengandalkan GPU AMD R9 M470X, lalu menyusul ke depannya adalah R9 M485X yang lebih kencang lagi.

Konektivitasnya meliputi sepasang port USB-C/Thunderbolt 3, lima USB 3.0, HDMI, Ethernet, SD card reader dan jack headphone. XPS 27 saat ini sudah mulai dipasarkan seharga $1.499 untuk konfigurasi terendahnya.

Dell UP3218K

Dell UP3218K / Dell
32 inci, 7680 x 4320 pixel, 280 ppi / Dell

Selain XPS 27, Dell juga mengungkap sebuah monitor yang super-istimewa. Istimewa karena monitor bernama UP3218K ini mengemas panel 32 inci beresolusi 8K, dengan 1,07 miliar warna yang mencakup 100 persen spektrum warna AdobeRGB dan sRGB. Semuanya dikemas dalam konstruksi aluminium yang tampak premium.

Panel 8K yang dimaksud memiliki resolusi tepatnya 7680 x 4320 pixel, dengan kerapatan pixel 280 ppi. Jika ditotal, jumlah pixel yang disajikan sama dengan empat monitor 4K sekaligus, atau 16 monitor full-HD, Tentu saja, Anda membutuhkan PC dengan spesifikasi yang tidak kalah istimewa untuk bisa memroses semua pixel tersebut, utamanya di sektor GPU.

Tentu saja, monitor kelas berat ini tidak untuk semua orang. Banderol harganya adalah indikasinya, dimana Dell akan memasarkan monitor ini mulai 23 Maret mendatang seharga $4.999. Yup, dengan harga segitu, Anda bisa mendapatkan gaming PC paling high-end dari merek sekelas Alienware.

Sumber: The Verge 1, 2.

Stasiun TV Jepang NHK Siarkan Channel Khusus Berisi Konten 8K

Ketika video 4K sudah bisa dikonsumsi dan diciptakan dengan mudah menggunakan ponsel, mungkin sudah saatnya dunia menapak ke tahapan baru, yaitu 8K. Di Jepang, stasiun TV NHK sudah siap untuk menyiarkan channel khusus berisi konten video-video 8K untuk umum.

NHK yang awalnya berdiri sebagai stasiun radio ini sebenarnya sudah mengembangkan format 8K sejak lama. Mereka bahkan sempat mendemonstrasikannya di tahun 2002, dimana pada saat itu televisi HD pun masih belum umum dijumpai di rumah konsumen.

Secara teknis 8K merujuk pada resolusi 7680 x 4320 pixel. Jumlah pixel-nya 4x lipat lebih banyak dari 4K, atau 16x lebih banyak jika dibandingkan dengan resolusi full-HD. Jadi bisa dibayangkan sendiri ketajaman gambarnya seperti apa.

Perbandingan ukuran display 8K sampai dengan standard definition (SD) / Wikipedia
Perbandingan ukuran display 8K sampai dengan standard definition (SD) / Wikipedia

Lebih lanjut, format 8K yang NHK sebut dengan istilah “Super Hi-Vision” ini juga mengemas audio surround 22.2 channel. Bukan salah ketik, tetapi suara benar-benar datang dari puluhan titik di sekitar penonton. Besarnya data yang ditransfer selama siaran juga fenomenal, bisa mencapai angka 100 Gbps.

Semua itu harus dilakukan secara real-time. NHK memastikan semua perlengkapan yang mereka gunakan memenuhi standar. Pun demikian, yang belum bisa memenuhi adalah perlengkapan milik konsumen. Atau dengan kata lain, sejauh ini konsumen belum bisa memutar video 8K di rumahnya sendiri.

Untuk itu, NHK sudah menyiapkan jadwal penyiaran di tempat-tempat umum di Jepang. Channel-nya sendiri berisikan perpaduan konten 8K dan 4K, dengan fokus pada topik seni, musik, dokumenter dan olahraga. Ya, NHK memang sengaja meluncurkan channel 8K ini menjelang Olimpiade 2016, dimana harapannya di tahun 2020 nanti mereka bisa benar-benar menyiarkan Olimpiade di Tokyo dalam format 8K secara penuh.

Sumber: PC World dan NHK.

Surround 360 Ialah Kamera 360 Berwujud Seperti Piring Terbang Ciptaan Facebook

Disebut-sebut sebagai tahunnya virtual reality, 2016 membawa sejumlah tantangan nyata bagi para produsen perangkat VR: memenuhi ekspektasi konsumen terutama dari sisi teknis serta ketersediaan konten. Dengan memiliki Oculus VR, Facebook menjadi salah satu pemain besar di ranah itu. Dan kini sang raksasa sosial media ingin memastikan investasi mereka tidak sia-sia.

Dalam konferensi developer tahunan F8 di kota San Francisco, Facebook memperkenalkan Facebook Surround 360, sebuah kamera untuk merekam video 360 derajat berkemampuan me-render otomatis. Melaluinya, Facebook mengikuti jejak Google (Odyssey) dan Samsung (Gear 360). Namun langkah mereka tak sekedar ikut-ikutan, Surround 360 katanya memberikan solusi atas kendala teknis yang ada di device sejenis.

Facebook Surround 360 02

Surround 360 berpenampilan seperti piring terbang. Ia memiliki 17 buah kamera – 14 mengelilingi sisi sampingnya, satu fish-eye di atas dan sepasang lagi di bawah. Desain tersebut tentu saja ada maksudnya: dengan penempatan kamera seperti ini, Surround 360 dapat mengabadikan video secara utuh, tanpa memperlihatkan tiang/mount. Tiap kamera dibekali shutter global sehingga objek-objek cepat tidak menimbulkan efek artefak.

Kamera ini diramu agar tangguh serta kuat, dan produsen juga menemukan cara supaya Surround 360 tidak overheat dalam penggunaan di waktu lama. Rangkaian kamera itu dipasangkan ke chassis aluminium secara kokoh, sehingga rig dan unit kamera tidak bergerak saat dipakai. Di bagian luarnya, Facebook memanfaatkan shell dari baja power-coated untuk memproteksi komponen internal.

Facebook Surround 360 03

Facebook Surround mampu menyajikan output video 4K, 6K, sampai 8K. Khususnya buat 6K dan 8K, produsen menggunakan codec Dynamic Streaming, hasilnya bisa dilihat dari Oculus Rift serta Gear VR. Menariknya, output tersebut tidak eksklusif cuma untuk headset virtual reality saja. Rekaman dapat di-share ke News Feed Facebook (monoscopic), dan teman-teman Anda dipersilakan mengunduh video stereonya.

Device turut ditopang software stitching jempolan supaya bekerja selaras dengan hardware. Exposure, shutter speed, dan sensor, semuanya diatur di sana. Buat mengendalikan kamera-kameranya, Facebook memilih PC berbasis Linux agar sistem mudah dimodifikasi.

Facebook Surround 360 04

Facebook tidak berniat mengerjakannya sendiri. Mereka berencana buat merilis Surround 360 sebagai proyek open-source (baik unit kamera serta software) di GitHub pada pertengahan tahun ini. Developer bisa mengutak-atik desain dan kodenya, sedangkan pencipta konten dapat memakainya untuk produksi video 360. Versi awal Surround 360 tersusun atas komponen-komponen kustom, membutuhkan modal yang sangat banyak: US$ 30.000.

Via The Verge. Sumber: Facebook.