OverActive Media Kolaborasi dengan Universal Music Canada

Musik memiliki peran penting dalam game dan esports karena ia bisa digunakan untuk membangun atmosfer. Dengan tujuan untuk menggabungkan musik dan esports, OverActive Media bekerja sama dengan Universal Music Canada.

OverActive Media adalah perusahaan yang memiliki tim dari Overwatch League, Toronto Defiant serta Toronto Ultra, tim yang akan berlaga di Call of Duty League. Dengan kerja sama ini, para pemain dari masing-masing tim dapat membuat playlist sendiri. Memang, sebelum ini, para pemain Toronto Ultra dan Defiant menggunakan Twitter untuk meminta saran pada para fans mereka tentang musik yang harus mereka masukkan dalam playlist mereka. Playlist itu kini sudah bisa didengarkan melalui Spotify, Apple Music, dan YouTube. Selain itu, tim Toronto Defiant dan Ultra juga mendapatkan musik saat tim melakukan walk-out.

President dan CEO OverActive Media, Chris Overholt menyambut hangat kolaborasi ini. Dia percaya, kerja sama tersebut akan memberikan dampak positif untuk industri esports dan musik. “Musik adalah bagian penting dari para pemain kami, baik dalam kehidupan pribadi atau profesional mereka, dan kami senang  melihat tim kami dapat membuat konten original dan bekerja sama bersama superstar dan musisi berbakat asal Kanada,” kata Overholt, menurut laporan Daily Esports.

Mengingat Call of Duty League akan dimulai dalam waktu dekat dan Overwatch League juga akan memulai season baru sebentar lagi, para fans dari Toronto Defiant dan Ultra mengharapkan, musisi Universal Music Canada akan melakukan konser live dalam saat pertandingan berlangsung. Ini bukan kali pertama OverActive Media bekerja sama dengan Universal Music Canada. Tahun lalu, mereka juga mengundang rapper NAV dan Zach Zoya saat membuat pengumuman tentang keberadaan tim Call of Duty mereka, Toronto Ultra.

Chairman dan CEO Universal Music Canada, Jeffrey Remedios juga menyambut kerja sama ini dengan senang hati. “Kolaborasi kami dengan OverActive Media memungkinkan kami untuk memperkenalkan para musisi kami dan musik mereka ke komunitas gaming yang sangat interaktif,” ujarnya.

Musik tampaknya mulai menjadi perhatian perusahaan game dan esports. Pada awal bulan ini, Tencent Music Entertainment memimpin konsorsium untuk membeli saham dari Universal Group Music. Ini memungkinkan Tencent untuk mengakses lebih banyak musik buatan musisi negara-negara Barat.

MonteCristo Bergabung dengan Cloud9 sebagai Content Creator

Christopher “MonteCristo” Mykles mengumumkan dirinya bergabung dengan organisasi Cloud9 sebagai content creator. MonteCristo sendiri memutuskan untuk keluar dari Overwatch League karena perbedaan visi antara dia dan manajemen Overwatch League. MonteCristo memang sudah beberapa kali bekerja sama dengan Cloud9 dalam pembuatan konten. Ia sempat muncul di konten milik Cloud9 yaitu The 9’s yang digabung dengan Summoning Insight . Cloud9 sepertinya memang sedang gencar membuat konten-konten yang berhubungan dengan esports. 

 

“Artinya, saya akan membuat konten yang sesuai dengan keinginan saya bersama Cloud9. Saya sangat menghargai kepercayaan mereka terhadap visi dan tujuan saya.” Ujarnya.

Orang sehebat MonteCristo memang seharusnya tidak dikurung kreativitasnya. MonteCristo dipersilahkan oleh Cloud9 untuk membuat kontennya sendiri sesuai keinginannya. Konten pertama yang sudah dia umumkan berjudul Summoning Insight. Acara ini pertama kali dimulai pada tahun 2014 silam. Karena kesibukan MonteCristo di Overwatch League, ia dan Thorin tidak melanjutkan acara tersebut. Melalui akun twitter-nya, MonteCristo dan Duncan “Thorin” Shields mengumumkan bahwa Summoning Insight akan berjalan selama setahun penuh.

Dalam videonya, MonteCristo mengatakan bahwa Summoning Insight yang baru akan dijalankan dengan kualitas produksi studio. Melihat ke belakang, Summoning Insight hanya memiliki produksi seadanya dengan webcam. Nantinya Summoning Insight bukan hanya berupa video, acara ini juga akan dikemas dalam bentuk podcast di Spotify dan iTunes. Tetapi melihat Cloud9 adalah pemilik dari tim Overwatch London Spitfire, seharusnya konten-konten dari MonteCristo akan berada di sekitar tim Overwatch-nya.

MonteCristo juga menyebutkan dirinya akan membantu Cloud9 dalam mendesain competitive product. Belum ada informasi mengenai apa yang dimaksud dengan competitive product. Tetapi perkiraan saya, cakupannya akan meliputi produk-produk merchandise untuk dijual kepada para penggemar Cloud9.

Terjebaknya MonteCristo selama bertahun-tahun di Overwatch League memang membuat karirnya hanya berpaku pada game Overwatch. Padahal MonteCristo adalah tokoh esports yang memiliki pengetahuan besar dari banyak game seperti League of Legends, CS:GO, dan Dota 2. Karir sebagai caster-nya pun akan terbuka luas sekarang. MonteCristo bisa kembali untuk melakukan cast di game League of Legends kembali atau CS:GO ke depannya.

Lima Shoutcaster Overwatch League Mengundurkan Diri

Caster memegang peran yang krusial ketika siaran berlangsung. Para caster talent inilah yang bertanggung jawab untuk menjadi “muka” dari acara dan menemani para penonton di venue ataupun livestream. Untuk penyiaran liga yang memakan waktu panjang, penonton akan terbiasa untuk melihat para caster talent yang ada di siaran liga tersebut. Apabila digantikan, penonton akan merasa aneh melihat sesuatu yang berbeda dari yang biasa mereka tonton.

Sumbas: Facebook Bro Pasta
Sumbas: Facebook Bro Pasta

Dalam hal ini, saya akan berikan contoh kasus dari Riantoro “Bro Pasta” Yogi dan Florian “Wolfy” George di PUBG Mobile. Mereka menemani penonton setia PUBG Mobile Club Open selama sebulan penuh dalam siarannya. Setiap hari, ketika penonton membuka siaran tersebut, mereka sudah punya ekspektasi akan melihat Bro Pasta dan WolfyKetika satu turnamen besar PUBGM berjalan di Indonesia, tidak adanya Bro Pasta di lineup caster membuat para penonton geram. Hasilnya adalah, para penonton yang melakukan spam di livestream chat meminta Bro Pasta untuk melakukan cast sembari mengejek caster yang sedang siaran.

Di Overwatch League yang akan memasuki musim ketiganya, mereka kehilangan 5 orang shoutcaster yang memutuskan untuk mengundurkan diri dengan alasan masing-masing. Banyak yang mempertanyakan Blizzard mengenai hal ini. Overwatch League sendiri sedang kesulitan untuk mempertahankan viewership mereka. Dengan segala cara mereka lakukan untuk mendapatkan penonton. Salah satu sumber bahkan mengatakan bahwa Overwatch League menaruh siaran mereka di homepage beberapa website media terkenal. Dengan adanya caster talent yang berpengalaman saja mereka masih kesulitan untuk mengembangkan viewership, apalagi tanpa caster tersebut?

Sumber: TSN
Sumber: TSN

Caster talent yang meninggalkan Overwatch League adalah Christopher “MonteCristo” Mykles, Erik “DoA” Lonnquist, Chris Puckett, Auguste “Semmler” Massonnat, dan Malik “Malik” Forté.

MonteCristo merupakan salah satu caster pertama yang bergabung dengan Overwatch League. Pengalaman dia di esports sudah panjang sekali. Menjadi pelatih di Counter Logic Gaming, shoutcaster League of Legends Korea Selatan dan menjadi co-owner dari organisasi esports. Yang saya maksud di sini adalah, bagaimana Blizzard rela untuk kehilangan orang seperti MonteCristo di Overwatch League. Melalui Twitter-nya, MonteCristo menjelaskan kepergiannya didasari oleh perbedaan pendapat dengan para petinggi di Overwatch League setelah hengkangnya Nate Nanzer selaku Commissioner of the Overwatch League.

“Saya merasa para petinggi Overwatch League saat ini tidak ada yang mengerti esports sama sekali. Kepergian Nate berdampak sangat besar, karena dialah orang yang mengerti Overwatch dan para penontonnya.”

Sama seperti MonteCristo, DoA juga menyebutkan perbedaan pendapat menjadi penyebab dirinya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Overwatch League. DoA berencana untuk melanjutkan karir sebagai freelance caster. Ia menginginkan untuk bisa melakukan cast di banyak game. Sebelumnya DoA tidak bisa melakukan hal ini karena memiliki kontrak dengan Overwatch League.

Chris Puckett melalui video di Twitter-nya mengabarkan kepergiannya bukan karena Blizzard. Istrinya yang mendapatkan kenaikan pangkat di pekerjaannya memaksa Chris untuk menetap di New York bersama istrinya. Sebelumnya mereka sempat menetap di New York, tetapi karena pekerjaan Chris di Overwatch League mereka berpindah ke Los Angeles. Chris juga menambahkan bahwa ia sekarang berencana untuk menjadi freelancer lalu ingin melakukan casting game Overwatch dan Call of Duty.

Semmler juga mengumumkan bahwa ia tidak lagi bekerja full time di Overwatch League. Tetapi ia tidak mengatakan alasannya keluar dari OWL tersebut.

Sumber: Zimbio
Sumber: Zimbio

Yang paling terakhir meninggalkan Overwatch adalah Malik. Ia sudah menjadi bagian dari Overwatch League ketika menjadi host saat inaugural season 2018. Keputusannya untuk keluar dari Overwatch League sedikit berbeda dengan DoA dan MonteCristo. Mengutip dari Kotaku, Malik mengakui bahwa ia tidak puas dengan gaji yang ditawarkan oleh Blizzard dan memutuskan untuk keluar. “Saya merasa banyak sekali yang sudah saya lakukan di Overwatch League, dan saya berharap angka yang lebih dibandingkan musim sebelumnya. Tetapi sepertinya Blizzard tidak setuju dengan angka yang saya inginkan.”

Seperti yang saya jelaskan di awal artikel, kehilangan caster talent yang sudah lama menemani acara tersebut berjalan bisa memberikan dampak negatif. Kita bisa melihat kebenarannya nanti di Overwatch League yang akan memulai musimnya pada bulan Februari mendatang. Anda juga bisa melihat artikel mengenai penjelasan musim baru Overwatch League di sini.

Berbagai Perubahan Overwatch League Musim 2020

Persiapan Overwatch League 2020 dimulai pada pembukaan transfer window di bulan September 2019 kemarin. Tim-tim yang akan berlaga di musim 2020 mulai mempersiapkan kontrak dengan pemain lama atau melakukan negosiasi dengan calon pemain baru. Tenggat waktu untuk para tim menyelesaikan kontrak pemainnya adalah pada bulan November 2019. Selain pengumuman minimal 8 pemain untuk satu tim, Overwatch League Season baru akan dimulai pada bulan Februari 2020.

Overwatch League 2020 akan menerapkan pertandingan kandang-tandang, yang berarti tim-tim peserta Overwatch League akan berkeliling dunia untuk bertanding. Masing-masing tim ini berkewajiban untuk menjalankan minimal dua local weekend events. Mereka juga bertugas menjalankan dan memilih venue acara tersebut. Walaupun pada akhirnya pihak Overwatch League yang akan bertugas dalam hal penyiarannya.

Pembagian divisi baru

Overwatch League Musim 2020 juga memunculkan divisi baru pada sistem turnamennya. Pacific conference dibagi menjadi Eastern dan Western, sedangkan Atlantic Conference dibagi menjadi Northern dan Southern.

Sumber: Ginx
Sumber: Ginx

Pacific Conference berisikan tim-tim unggulan yang membuat grup ini jadi yang paling seru. Easter division-nya terdiri dari Chengdu Hunters, Guangzhou Charge, Hangzhou Spark, Seoul Dynasty, dan Shanghai Dragons. Sedangkan di Western Division, ada Dallas Fuel, Los Angeles Gladiators, Los Angeles Valiant, San Fransisco Shock, dan Vancouver Titans.

Pada Atlantic Conference, Southern Division diisi oleh Atlanta Reign, Florida Mayhem, Houston Outlaws, Philadelphia Fusion, dan Washington Justice. Dari Northern Division, Anda bisa melihat Boston Uprising, New York Excelsior, Toronto Defiant, London Spitfire, dan Paris Eternal.

Fokus pada penggemar lokal

Menyasar ke penggemar lokal memang sudah menjadi janji Overwatch League kepada para pemilik tim saat acara perkenalan Overwatch League di Blizzcon tahun 2016 silam. Banyak pemilik tim di Overwatch League juga memiliki tim Olahraga, seperti New England Patriots milik Krafts Sports Group, Los Angeles Rams milik Stan Kroenke, dan New York Mets milik Wilpon Family. Para pemilik tim ini ingin menggabungkan fanbase yang mereka miliki dari kedua tim olahraga dan Overwatch mereka.

Sumber: Ocregister
Sumber: Ocregister

Minggu pertama dari Overwatch League akan dimulai pada tanggal 8 Februari 2020 yang dibuka oleh pertandingan New York Excelsior di New York dan Dallas Fuel di Dallas. Tahun ini, pertandingan Overwatch League hanya diadakan pada hari sabtu dan minggu saja. Dengan format baru, berarti akan ada dua pertandingan di kota yang berbeda pada hari yang sama.

Selain itu, dengan perbedaan waktu yang akan membingungkan bagi para penggemar Overwatch League (OWL), mereka mungkin hanya akan menonton tim-tim favorit mereka saja.

Menariknya, para pemain OWL akan bepergian setiap minggu dan hal ini akan menambah stress mereka. Berarti ada pekerjaan tambahan bagi manajemen tim untuk mengatur pemainnya agar selalu dalam keadaan prima. Namun demikian, untuk para penggemar lokal di kota pertandingan, perubahan ini tentu sangat menguntungkan bagi mereka yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk melihat pertandingan Overwatch League secara langsung.

Pasalnya, waktu pertandingan akan menyesuaikan waktu di kota tersebut juga dan akan memudahkan para penggemar untuk datang ke acara pertandingan. Meski memang,yang dikorbankan di sini adalah penonton online yang harus menyesuaikan diri dengan wilayah waktu yang berbeda-beda. Setidaknya, hari pertandingan di musim ini hanya ada di sabtu dan minggu. Hal ini akan mempermudah penonton live stream Overwatch League untuk mengatur waktunya guna menonton pertandingan.

 

Immortal Gaming Jual Tim Overwatch League, Houston Outlaws

Immortals Gaming Club menjual Houston Outlaws, tim yang berlaga di Overwatch League (OWL) pada perusahaan media multi-platform, Beasley Media Group. Immortals mendapatkan hak kepemilikan atas Houston Outlaws ketika mereka mengakuisisi Infinite Esports and Entertainment, yang saat itu masih menjadi perusahaan induk Outlaws. Sejak awal, Immortals memang berencana untuk menjual Outlaws karena mereka telah memiliki tim Los Angeles Valiant, yang juga berlaga di Overwatch League. Sayangnya, tak diketahui berapa jumlah uang yang dikeluarkan Beasley untuk mendapatkan Outlaws. Diperkirakan, nilai franchise untuk Overwatch League mencapai sekitar US$40 juta sampai US$60 juta. Organisasi esports yang membeli franchise ketika Overwatch League pertama kali diadakan hanya perlu mengeluarkan uang sekitar US$20 juta. Namun, sejak saat itu, harga franchise OWL telah naik.

“Sebagai pemilik tim franchise Overwatch League, Los Angeles Valiant, kami senang untuk menyambut Beasley Media Group, Caroline Beasley, Chris Roumayeh, dan keseluruhan grup Beasley/Team Renegades ke Overwatch League,” kata CEO Immortal Gaming Club, Ari Segal, seperti dikutip dari VentureBeat. “Mereka memiliki rencana yang menarik untuk memperkuat hubungan antara Outlaws dan para penonton di Houston dan mereka merupakan pemilik yang strategis dari aset ini. Kami juga ingin berterima kasih pada Bobby Kotick, Dennis Durkin, Pete Vlastelica, dan keseluruhan tim Activision Blizzard karena telah memfasilitasi transaksi ini.”

Logo Houston Outlaws| Sumber: VentureBeat
Logo Houston Outlaws| Sumber: VentureBeat

Sebelum manajemen Houston Outlaws dipindahtangankan ke Beasley, Activision Blizzard bertanggung jawab atas bisnis dan operasi tim tersebut. Beasley Broadcast Group adalah perusahaan yang mengoperasikan sejumlah jaringan radio di Amerika Serikat, negara asalnya. Sebelum mengakuisisi Houston Outlaws, Beasley telah masuk ke ranah esports dengan mengakuisisi Team Renegades pada April 2019 dan CheckpointXP pada 2018. Checkpoint adalah siaran radio esports selama dua jam yang dibuat dua minggu sekali. Saat ini, acara tersebut disiarkan di 70 stasiun radio di Amerika Serikat. CheckpointXP juga memiliki podcast harian di Twitch. CEO Beasley Media Group, Carolina Beasley mengatakan, pengalaman dan investasi perusahaan di divisi khusus esports — BeasleyXP — akan menjadi kunci yang membuat perusahaan mendapatkan untung dari esports.

“Akuisisi Houston Outlaws memperluas platform esports kami yang memang terus berkembang,” kata Beasley. “Mengakuisisi Houston Outlaws adalah kesempatan investasi yang jarang bisa kami dapatkan, karena hanya ada 20 tim yang berlaga di Overwatch League. Dan transaksi ini juga membuat Beasley menjadi rekan dari Blizzard Entertainment dan perusahaan induk mereka, Activision Blizzard, developer dan publisher konten dan layanan interaktif yang ternama di dunia.” Memang, saat ini, semakin banyak investor yang tertarik untuk mendukung esports. Misalnya, Artist Capital Management, investor dari organisasi esports 100 Thieves, minggu lalu mengumumkan bahwa mereka telah menyiapkan dana sebesar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk investasi khusus di ranah esports.

Akankah Model Franchise di Liga Esports Jadi Tren di Masa Depan?

Saat ini, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mendukung esports, baik sebagai sponsor ataupun investor. Salah satu hal yang membuat investor berani untuk berinvestasi besar-besaran di industri esports adalah penggunaan model franchise pada turnamen esports. Di Indonesia, model franchise hanya digunakan oleh Moonton pada Mobile Legends Professional League Season 4. Meski memiliki sejumlah kelebihan, penggunaan model franchise menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pelaku esports. Dalam liga yang menggunakan sistem franchise, sebuah tim harus membayar sejumlah uang untuk ikut serta dalam sebuah turnamen. Di kasus MPL Season 4, masing-masing tim harus membayar Rp15 miliar. Salah satu argumen pihak yang mendukung penggunaan sistem franchise adalah model franchise membuat struktur liga esports menjadi lebih mudah dimengerti oleh calon investor dan pengiklan, yang berarti akan semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor atau pengiklan.

“Penggunaan model franchise memberikan kestabilan pada para tim dan menjamin komitmen tim pada penyelenggara turnamen,” kata Bryce Blum, pendiri ESG Law dan Theorycraft, yang sering menjadi pengacara dari banyak tim ternama di Amerika Utara, menurut laporan The Esports Observer. “Model franchise menawarkan framework yang memudahkan semua pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan dan kejelasan dalam pembagian pendapatan — bagi penyelenggara liga, model franchise memberi jaminan bahwa sebuah tim tidak akan mendadak mengundurkan diri. Komitmen ini bisa sangat berharga.” Di luar Indonesia, ada sejumlah liga yang menggunakan sistem franchise, seperti Overwatch League dan League of Legends Championship Series yang merupakan liga di kawasan Amerika Utara. Tahun depan, Activision Blizzard juga akan menggunakan model franchise untuk Call of Duty League. Namun, juga banyak game yang turnamennya tidak menggunakan model franchise, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Fortnite.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Bagi tim esports, penggunaan model franchise menawarkan jaminan bahwa mereka akan tetap dapat ikut serta dalam sebuah turnamen, tak peduli bagaimana performa mereka sepanjang liga. Misalnya, sebelum Riot menggunakan model franchise untuk LCS, mereka menggunakan sistem terbuka yang memungkinkan sebuah tim mendapatkan promosi atau terdemosi, tergantung pada performa mereka. Ini membuat tim enggan untuk menanamkan investasi besar dan membuat rencana jangka panjang karena sebuah tim bisa mendadak terdemosi keluar dari liga jika performa mereka tidak cukup baik. Walau model franchise memiliki sejumlah kelebihan, itu bukan berarti semua turnamen esports harus menggunakan model franchise. Jeremy Dunham, Vice President Psyonix Studios, publisher Rocket league mengatakan bahwa ada banyak model lain yang bisa digunakan pada turnamen esports.

“Kita tidak bisa mengatakan bahwa model franchise adalah model yang tepat untuk digunakan pada semua scene esports profesional di dunia karena akan ada beberapa game dan liga yang tidak cukup besar untuk menggunakan sistem franchise, yang memerlukan dana dan peraturan yang ketat,” kata Blum. Dia juga mempertanyakan apakah biaya yang dikeluarkan oleh tim esports pada awal turnamen memang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Tim Hybrid membuat perhitungan tentang apakah investasi yang dikeluarkan tim MPL Season 4 memang pantas. Blum juga membahas tentang motivasi sebuah publisher dalam mengembangkan esports dari game mereka. Misalnya, Epic Games dianggap lebih tertarik untuk mengembangkan Fortnite sebagai game untuk gamer individual daripada sebagai game esports. Karena itu, mereka tak segan untuk mengubah berbagai elemen dalam game dan memasukkan hal-hal random pada game, sehingga game ini sulit untuk dikuasai oleh para pemain profesional.

Sumber: Epic Games
FOrtnite World Cup | Sumber: Epic Games

Sementara itu, sebagian pelaku esports percaya, tak semua liga esports cocok untuk menggunakan model franchise. Para fans juga merasa, menggunakan model franchise menghilangkan elemen akar rumput dari ekosistem esports. Dengan model franchise, tim yang dapat berlaga dalam sebuah turnamen hanyalah tim yang bisa membayar investasi di awal. Itu artinya, meskipun sebuah tim profesional memiliki kemampuan yang mumpuni, bisa jadi mereka tak bisa ikut serta dalam sebuah liga karena tak bisa atau tak mau membayar biaya investasi di awal. Sementara pada sistem terbuka (non-franchise), semua orang berhak untuk mencoba ikut serta dalam sebuah turnamen atau liga esports. Inilah alasah mengapa Epic Games bisa mengklaim bahwa ada 60 juta orang yang mencoba untuk lolos kualifikasi Fortnite World Cup. Tak hanya itu, sistem turnamen terbuka juga biasanya memiliki jaringan distribusi dengan lebih luas. Biasanya, penggunaan model franchise akan memunculkan kontrak eksklusif untuk hak siar media. MIsalnya, hak siar Overwatch League dipegang oleh ABC/ESPN dan Twitch. Jadi, konten turnamen tersebut tak akan muncul di YouTube.

Masalah lain akibat penggunaan model franchise adalah ada beberapa tim esports yang mengundurkan diri dari liga. Hal ini terjadi pada Call of Duty League. Tim 100 Thieves memutuskan untuk mundur setelah Activision Blizzard mengumumkan mereka akan menggunakan sistem franchise pada liga Call of Duty pada tahun depan. Dalam sebuah video, pendiri 100 Thieves, Matt “Nadeshot” Haag menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk ikut serta yang dianggap terlalu mahal. Selain itu, 100 Thieves juga ingin untuk membangun fanbase secara global. Sementara sistem Call of Duty didasarkan pada kota asal tim esports, seperti Overwatch League.

Owner Dallas Mavericks: Uang Esports Adanya di Eropa dan Asia, Bukan Amerika

Sebagai salah satu investor dan pebisnis yang sudah malang-melintang di dunia olahraga, akan sangat wajar apabila Mark Cuban juga turut terjun ke dunia esports. Apalagi ia merupakan pemilik tim NBA Dallas Mavericks, dan NBA memiliki keterkaitan yang kuat dengan esports. Beberapa atlet/mantan atlet NBA seperti Kevin Garnett dan Rudy Gobert pun sudah berinvestasi di esports.

Tapi dalam acara talk show berjudul Fair Game baru-baru ini, Cuban ternyata berpendapat bahwa esports adalah investasi yang buruk. Secara spesifik, ia berpendapat bahwa menjadi pemilik tim esports di Amerika Serikat adalah sebuah kesalahan besar, dan ia tidak tertarik berinvestasi, setidaknya untuk sekarang.

Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang ia kemukakan. Pertama, Cuban berkata bahwa esports adalah dunia persaingan yang brutal. Dalam esports, meta permainan sering sekali berganti. Dan ketika meta berganti, maka game itu akan berubah seolah menjadi sebuah game yang benar-benar baru.

https://twitter.com/FairGameonFS1/status/1187051530614034432

“Anda tahu, (esports) sangat kompetitif, dan sangat menyiksa secara fisik maupun mental, sangat brutal,” ujar Cuban. Memang benar, jika dibandingkan dengan olahraga konvensional seperti sepak bola atau basket, olahraga-olahraga ini punya aturan yang jarang sekali berubah. Seorang pemain sepak bola yang sekarang hebat, kemungkinan akan tetap hebat juga dalam waktu relatif lama. Tapi di dunia esports, pemain bintang hari ini bisa jadi payah esok harinya hanya gara-gara sebuah patch.

Alasan kedua, Cuban berpendapat bahwa banyak orang yang berinvestasi ke dalam tim esports tidak paham bahwa kondisi bisnisnya sebetulnya sedang jelek. “Secara agregat, ini bisnis yang bagus. Apakah sedang tumbuh? Ya. Tapi secara domestik di Amerika Serikat, ini adalah bisnis yang parah. Memiliki sebuah tim (esports) adalah bisnis yang parah,” paparnya.

Cuban melanjutkan, “Anda melihat banyak konsolidasi, orang-orang berusaha keluar dan menjual (timnya), Anda lihat banyak orang berusaha meraih lebih banyak pendanaan dan Anda lihat valuasi menurun. Dan saya pikir banyak orang yang membeli (tim esports) tidak paham perbedaan antara stream dan viewer di Eropa, di Asia, dengan stream dan viewer di sini.”

Menurut Cuban, jumlah penonton siaran esports di Amerika Serikat terbilang kecil. Bahkan untuk liga franchise besar seperti Overwatch League, jumlah viewer terbanyaknya pun hanya sekitar 300.000 viewer secara global, dan itu sebetulnya angka yang kecil.

Bukan berarti secara keseluruhan investasi di esports adalah hal buruk. Cuban berkata bahwa “ada uang” di Eropa dan Asia. “Jika Anda di Korea, ada banyak uang di sana, itu nyata. Jika Anda di Tiongkok, ada uang di sana. Di sini? Tidak begitu banyak,” kata Cuban.

Ia kemudian mencontohkan betapa susahnya menjadi streamer di Amerika Serikat. Ninja misalnya, memang sukses dan kaya raya dari streaming di Twitch. Tapi untuk bisa menjadi sukses seperti itu, ia harus melakukan streaming selama 10 jam setiap harinya dan “tidak punya kehidupan”. Karena itulah akhirnya Ninja hijrah ke Mixer.

Andy Miller
Andy Miller, Co-CEO NRG Esports yang baru menjual tim CS:GO mereka | Sumber: Robert Paul via Esportz Network

Buruknya kondisi esports Amerika Serikat juga pernah diungkapkan oleh Co-CEO NRG Esports, Andy Miller. Miller membahas secara spesifik kondisi esports Counter-Strike: Global Offensive, di mana standar gaji pemain telah melambung begitu tinggi sehingga menimbulkan kerugian bagi organisasi. “Para pemain ingin mendapat (keuntungan) sebanyak mungkin sekarang, itu sudah seharusnya, karena memang itulah cara mereka mencari nafkah. Tapi sebagai sebuah organisasi itu membuat segalanya sangat sulit,” kata Miller dalam wawancara bersama Dexerto.

Berkaca dari pandangan Mark Cuban, tidak heran jika akhir-akhir ini pasar esports Asia semakin banyak diminati. NBA 2K League misalnya, baru saja melebarkan franchise mereka ke negara Tiongkok. Di kompetisi The International 2019 kemarin pun jumlah sponsor tim-tim Tiongkok tercatat naik, baik itu sponsor endemic maupun non-endemic.

Sumber: DSResearch
Platform penonton esports di Indonesia | Sumber: DSResearch

Akan tetapi para investor juga harus jeli dalam mengambil langkah di sini, karena pasar Asia terbukti punya perilaku konsumen yang berbeda jauh dari pasar barat. Di Indonesia misalnya, angka Twitch nyaris tidak ada artinya karena mayoritas penonton esports ada di platform lain. Setiap wilayah punya tantangan tersendiri, oleh karena itu investor butuh riset yang mendalam sebelum memutuskan untuk menggelontorkan dana di tim esports tertentu.

Sumber: Dexerto

Mengapa Investasi Esports tak Akan Balik Modal Dalam Waktu Dekat?

Industri esports diperkirakan akan bernilai US$3 miliar pada 2022, menurut laporan Goldman Sachs dan Newzoo. Memang, industri esports kini tengah berkembang pesat. Salah satu indikasinya adalah besar gaji para pemain esports profesional. Sejak 2010, gaji pemain esports telah naik dua kali lipat setiap dua atau tiga tahun. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen esports kini juga tak kalah dengan kompetisi olahraga tradisional. Apa yang membuat esports bisa tumbuh dengan cepat?

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri esports adalah jumlah penonton. Semakin banyak orang yang menonton turnamen esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor, baik sponsor liga esports atau sponsor tim profesional. Memang, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama di industri esports dengan kontribusi sebesar 38 persen. Pada tahun lalu, ada sekitar 167 juta orang yang menonton esports setiap bulannya. Diperkirakan, pada 2022, angka itu akan naik menjadi 276 juta. Hal lain yang menarik minat perusahaan untuk masuk ke dunia esports adalah umur penonton yang relatif muda. Sebanyak 79 persen penonton esports berumur di bawah 35 tahun. Dengan menjadi sponsor pelaku esports, perusahaan bisa mendekatkan diri dengan generasi milenial dan gen Z. Inilah yang dilakukan oleh Honda ketika mereka mensponsori liga League of Legends.

Sumber: Goldman Sachs
Sumber: Goldman Sachs

Sayangnya, jumlah penonton yang banyak tak menjamin keuntungan bagi para pelaku industri esports. Masih ada berbagai masalah yang harus mereka hadapi, seperti rendahnya pengetahuan masyarakat akan esports. Para pelaku industri esports masih harus sering melakukan kegiatan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan menghilangkan sentimen negatif terkait esports. Selain itu, tak semua orang bisa menikmati pertandingan esports, terutama game dengan pace cepat seperti Overwatch. Saat ini, biasanya, konten yang dilihat penonton adalah apa yang dilihat oleh para pemain. Jadi, penonton awam menggantungkan diri pada komentator untuk mengerti jalannya pertandingan. Orangtua dari pemain esports profesional sekalipun mengaku mengalami masalah ini. Karena itulah, Activision Blizzard berusaha untuk memberikan pengalaman menonton yang lebih baik.

The Motley Fool melaporkan, dalam laporan keuangan Q2 2019, CFO Activision Blizzard, Dennis Durkin berkata, “Pengalaman menonton esports masih bisa dibuat menjadi lebih baik lagi. Ini adalah fokus kami karena kami percaya, membuat siaran esports tak hanya menarik tapi juga mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah hal yang penting.” Sejauh ini, Activision Blizzard telah mengadakan penyesuaian. Hanya saja, perubahan ini masih bersifat trial-and-error.

Kontribusi esports ke pendapatan Activision Blizzard

Salah satu turnamen esports yang terbilang sukses adalah Overwatch League milik Activision Blizzard. Liga tersebut menggunakan model franchise, yang berarti, tim yang hendak ikut serta harus membayar sejumlah uang untuk bisa ikut serta. Saat pertama kali diluncurkan pada Januari 2018, liga tersebut hanya memiliki 12 tim. Sekarang, ada 20 tim yang bertanding di liga itu. Satu hal yang menarik tentang Overwatch League adalah tim yang bertanding mewakili kota asalnya, layaknya liga sepak bola. Selain itu, Activision Blizzard juga menetapkan model kandang-tandang mulai tahun depan. Semua ini dilakukan dengan tujuan agar tim esports akan bisa mengembangkan fanbase mereka. Jika tim esports berhasil mengembangkan fanbase mereka, mereka akan bisa mendapatkan pendapatan dari penjualan merchandise.

Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard
Penonton di Overwatch League | Sumber: Activision Blizzard

Salah satu hal yang membuat Overwatch League dianggap sukses adalah karena ia berhasil menarik berbagai perusahaan besar seperti Coca-Cola. Percaya diri dengan format liga yang mereka gunakan, Activision Blizzard juga akan mengadakan Call of Duty League mulai tahun depan dengan format yang sama. Meskipun begitu, esports belum memberikan kontribusi nyata pada total pendapatan perusahaan. Faktanya, pada semester pertama 2019, pendapatan dari divisi Blizzard — yang menyertakan pendapatan dari Overwatch League — justru mengalami penurunan. Ini menunjukkan, meskipun Overwatch League dapat menarik berbagai sponsor besar, turnamen itu belum dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Itu bukan berarti perusahaan harus berhenti menyokong industri esports. Satu hal yang harus diingat, esports adalah industri yang masih sangat baru jika dibandingkan dengan olahraga tradisional sudah ada sejak lama. Jadi, jangan heran jika para pemilik tim esports membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menemukan formau yang tepat sehingga bisnis mereka bisa menjadi menguntungkan. Selain sponsorship, indsutri esports juga bisa mendapatkan pemasukan dengan menjual tiket turnamen, iklan, hak siar media, dan merchandise. Satu hal yang pasti, tim dan liga esports harus bisa mendapatkan fanbase yang cukup besar terlebih dulu. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dalam waktu singkat.

Bagaimana Rasanya Jadi Orangtua dari Gamer Profesional?

Game masih menjadi momok bagi orangtua. Tak sedikit orangtua yang percaya, game bisa menyebabkan kecanduan dan membuat anak menjadi lebih agresif. Di negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, game masih sering dijadikan kambing hitam akan tragedi penembakan massal. Padahal, menurut Rachel Kowert, peneliti game online dan penulis buku “A Parent’s Guide to Video Games”, dugaan bahwa game menyebabkan kecanduan atau membuat pemain menjadi lebih agresif telah terbantahkan. “Jika Anda membaca ribuan studi tentang efek game pada sesuatu, baik positif atau negatif, hasil studi biasanya netral,” kata Kowert yang telah meneliti hubungan game dengan kecanduan dan perilaku agresif selama lebih dari 20 tahun, lapor The Washington Post. “Game tidak memberikan dampak apa-apa, atau terkadang, game memberi dampak positif walau tak signifikan.”

Manusia biasanya menakuti apa yang mereka tidak mengerti. Bagi orangtua yang tidak paham, tak heran jika game dan esports terlihat seperti sesuatu yang menakutkan. “Jika Anda tidak tahu tentang teknologi atau apa yang anak Anda lakukan, tentu saja itu membuat Anda merasa takut,” kata Kowert. “Itu bisa dimengerti. Tapi, semakin Anda memahami dan membiasakan diri Anda, rasa takut itu akan terkikis.” Inilah alasan mengapa Christine Yankel, ibu dari seorang pemain profesional Overwatch League, mencoba untuk mengerti pekerjaan anaknya, Ethan “Stratus” Yankel. Christine menjelaskan, Ethan mengungkap rencananya untuk menjadi gamer profesional dua tahun lalu, ketika dia masih berumur 16 tahun. Christine memberikan izin dengan beberapa syarat. Salah satunya, Ethan harus menyelesaikan SMA terlebih dulu. Selain itu, saat latihan di malam hari bersama tim semi-profesionalnya, Ethan juga diawasi.

Sumber: The Washington Post / Ian Cunningham
Ethan “Stratus” Yankel. Sumber: The Washington Post / Ian Cunningham

“Rasanya sulit untuk dipercaya,” kata Christine pada The Washington Post. “Anda sering dengar tentang gamer profesional dan bagi kami, menjadi pemain profesional seperti mimpi yang tak mungkin jadi nyata, seperti jika anak Anda menjadi pemain sepak bola profesional. Rasanya seperti itu.” Sekarang, Ethan telah berumur 18 tahun. Dia merupakan bagian dari tim Washington Justice, salah satu dari 20 tim yang bertanding di Overwatch League.

Christine mengaku, pada awalnya, banyak orangtua yang tidak paham dengan keputusan Ethan untuk berkarir sebagai pemain profesional. Namun, belakangan, sentimen akan gamer profesional mulai menjadi positif. “Dua tahun lalu, ketika Ethan pertama kali bermain, ada banyak sentimen negatif tentang esports,” ujar Christine. “Sekarang, anggapan orang-orang telah menjadi lebih positif karena esports adalah industri yang tengah berkembang dan masyarakat akhirnya mengenal orang-orang di balik tim-tim besar.”

Christine berkata, gaming adalah bagian dari budaya keluarga Yankel. Ini memudahkannya untuk memahami esports. Christine sendiri memainkan Clash Royale dan game mobile lainnya, sementara nenek Ethan, Kay Yankel memainkan Candy Crush. Ethan dan kakaknya pernah memainkan Counter-Strike: Global Offensive sebelum Ethan memutuskan untuk bermain Overwatch. Untuk memahami pekerjaan Ethan, Christine bahkan mencari nasehat dari para pengacara, ahli industri esports, dan orangtua dari pemain esports lainnya. Dia juga mencoba untuk mengerti gameplay dari Overwatch. “Awalnya, sulit untuk mengerti siapa yang bermain dengna baik dan siapa yang mati,” akunya. “Saya perlu waktu agak lama, tapi saya mulai mengerti sekarang.”

Sumber: overwatchleague.com
Sumber: overwatchleague.com

Bagi Christine, momen yang membuka matanya tentang esports adalah ketika dia menghadiri turnamen esports di Montreal. Ketika itu, dia menyadari besarnya industri game dan esports serta potensi dari karir Ethan sebagai gamer profesional. “Saat kami melihat para fans di sana, kami melihat panggung yang disediakan, kami melihat para profesional di balik tim esports, itu semua membuat esports terasa semakin nyata bagi kami,” kata Christine. “Tak lama setelah itu, Ethan mendapatkan kontrak untuk masuk dalam tim profesional. Para pengacara turun tangan. Dan pemain profesional menjadi karir yang masuk akal.”

Walau gaming merupakan bagian dari budaya keluarga Yankel, Ethan dan Christine mengerti bahwa karir sebagai gamer profesional tak berlangsung lama. Menurut CNBC, rata-rata pemain esports mengundurkan diri pada akhir 20-an atau awal 30-an. Bagi pemain esports yang telah mengundurkan diri, salah satu opsi karir yang bisa mereka ambil adalah menjadi streamer.

Namun, Ethan mengatakan, dia mempertimbangkan untuk kembali berkuliah setelah dia mengundurkan diri sebagai pemain profesional. Alasannya, karena semakin banyak universitas yang menawarkan beasiswa bagi pemain esports. “Saudara saya berkata, Carnegie Mellon University telah memulai jurusan Overwatch,” kata Ethan. “Jika saya bisa masuk ke universitas itu dengan beasiswa, saya akan melakukan itu. Tergantung pada kesempatan apa yang ada untuk saya.”

Sumber header: The Washington Post / Ian Cunningham

Jumlah Rata-Rata Penonton Overwatch League Naik 16 Persen

Pada awal bulan lalu, Activision Blizzard mengumumkan kerja samanya dengan Nielsen. Tujuannya adalah untuk memberikan data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan pada sponsor dan rekan mereka. Dengan data dari Activision Blizzard, Nielsen akan menyajikan data dalam bentuk Average Minute Audience (AMA) alias jumlah rata-rata penonton pada setiap menit selama siaran berlangsung. AMA dihitung dengan cara membagi total menit ditonton dengan total durasi siaran. Metrik ini telah digunakan oleh industri olahraga tradisional sejak lama. Dengan menggunakan metrik ini, Activision Blizzard berharap, Overwatch League bisa dibandingkan dengan turnamen olahraga konvensional.

Data Nielsen menunjukkan, babak final dari Overwatch League yang diadakan pada akhir September lalu mendapatkan 1,12 juta AMA, naik 16 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Seluruh pertandingan Overwatch League disiarkan melalui Twitch setelah Activision Blizzard membuat perjanjian eksklusif dengan platform streaming itu pada 2018. Selain disiarkan melalui Twitch, babak final Overwatch League juga disiarkan melalui ABC. Hanya saja, ABC tidak menyiarkan semua pertandingan di Overwatch League. Mereka hanya menyiarkan babak playoff, semi-final, dan final. Dexerto menyebutkan, keputusan Activision Blizzard untuk memindahkan saluran siaran dari ESPN menjadi ABC, yang memiliki jangkauan lebih luas, merupakan salah satu alasan kenaikan jumlah penonton rata-rata dari Overwatch League.

Dalam Overwatch League kali ini, ada lebih banyak tim yang berasal dari luar Amerika Serikat. Tampaknya, inilah salah satu alasan mengapa durasi menonton liga Overwatch mengalami kenaikan di tingkat global. Keberadaan tiga tim asal Tiongkok di liga itu juga memberikan dampak positif pada jumlah penonton. Karena, pada tahun ini, Overwatch League juga disiarkan di Bilibili, layanan streaming di Tiongkok. “Tiga tahun sejak game Overwatch dibuat, dan dua tahun sejak liga dimulai, kami telah bisa bersaing dengan liga olahraga besar yang membutuhkan waktu 60 atau 70 tahun untuk sampai di titik ini,” kata CMO Activision Blizzard Esports, Daniel Cherry, seperti dikutip dari Dexerto.

Nielsen juga memberikan data yang lebih detail terkait Overwatch League. Di Amerika Serikat, jumlah rata-rata penonton babak final Overwatch League mencapai 472 ribu, naik 41 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara pada demografi 18-34 tahun, AMA di Amerika Serikat adalah 182 ribu, naik 13 persen dari tahun lalu. Activision Blizzard mengaku puas dengan pencapaian Overwatch League, terutama jika dibandingkan dengan olahraga tradisional. Mereka mengklaim, liga Overwatch adalah satu-satunya liga yang jumlah penonton di rentang umur 18-34 tahun mengalami kenaikan. Memang, menurut laporan Kepiosesports populer di kalangan anak muda pada umur 16-24 tahun. Pada demografi itu, jumlah orang yang tertarik untuk menonton turnamen esports sedikit lebih tinggi dengan jumlah orang yang tertarik menonton pertandingan olahraga tradisional.

Sumber; Dexerto
Sumber; Dexerto

Selain untuk memudahkan sponsor dan potensial sponsor untuk memahami data dari esports, alasan lain Activision Blizzard mulai menggunakan AMA sebagai metrik adalah untuk meyakinkan sponsor, rekan, dan masyarakat bahwa data yang mereka berikan tidak dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat lebih besar dari yang sebenarnya. Misalnya dengan memasang video Twitch sebagai iklan di situs-situs besar seperti The Verge dan Eater. Strategy and Analytics Lead, Activision Blizzard Esports, mengatakan, memasang video Twitch di situs besar memang memengaruhi beberapa metrik data seperti viewership dan unique viewer. Kedua metrik itu akan naik bahkan jika seseorang hanya menonton untuk satu menit. Meskipun begitu, ini tidak akan memberikan dampak besar pada AMA karena AMA dihitung berdasarkan total durasi siaran ditonton. “Salah satu hal penting bagi kami adalah kami ingin  memiliki metrik viewership murni,” kata Cherry, menurut laporan Variety. “Kami ingin menghitung jumlah fans yang memang serius menonton Overwatch League.”

Sumber header: overwatchleague.com