Bocoran Foto Konfirmasi DJI Mavic 2 Bakal Tersedia dalam Dua Model yang Berbeda

Bocoran foto DJI Mavic 2 sempat beredar beberapa waktu lalu. Sekarang, bocoran lain semakin meyakinkan kita akan eksistensi drone tersebut. Semuanya berkat jaringan toko ritel asal Inggris, Argos.

Seorang konsumen baru-baru ini mengunggah sebuah foto ke Twitter yang menunjukkan Mavic 2 pada edisi terbaru katalog milik Argos. Di lembaran tersebut, tampak bahwa Mavic 2 bakal ditawarkan dalam dua model yang berbeda, sesuai rumor sebelumnya: Mavic 2 Pro dan Mavic 2 Zoom.

Berdasarkan informasi yang tercantum di lembar katalog, perbedaan terbesar di antara kedua model adalah; Mavic 2 Pro mengemas kamera Hasselblad bersensor 1 inci, sedangkan Mavic 2 Zoom dibekali lensa 24–48mm sehingga dapat melakukan zooming, macam Parrot Anafi.

Gambar DJI Mavic 2 Pro dan Mavic 2 Zoom pada lembar katalog Argos / @Chromonian (Twitter)
Gambar DJI Mavic 2 Pro dan Mavic 2 Zoom pada lembar katalog Argos / @Chromonian (Twitter)

Secara umum generasi kedua Mavic ini juga membawa sejumlah peningkatan dibanding pendahulunya. Di antaranya ada top speed hingga 72 km/jam, waktu mengudara sampai 31 menit, transmisi sinyal video 1080p sampai sejauh 8 km, Active Track 2.0, dan kemampuan menghindari rintangan dari segala arah (omnidirectional).

Rumor sebelumnya juga sempat berspekulasi mengenai kemampuan gimbal Mavic 2 yang dapat dilepas-pasang, namun tidak ada konfirmasi tentang hal itu di bocoran info kali ini. Harga jual dan jadwal peluncurannya juga belum diketahui, tapi semestinya tidak jauh dari sekarang kalau memang Argos sudah berani mencantumkannya di katalog produknya.

Sumber: DroneDJ.

Kecil, Bisa Dilipat dan Dibekali Kamera 4K, Parrot Anafi Siap Tantang DJI Mavic Air

Dua tahun terakhir pabrikan drone lain seperti dibuat bungkam oleh DJI, apalagi setelah pabrikan asal Tiongkok itu mengungkap Mavic Air yang begitu komplet tetapi amat ringkas. Namun ternyata salah besar jika kita beranggapan pabrikan lain sudah menyerah. Coba lihat Parrot, yang baru saja mengumumkan drone anyar bernama Anafi.

Dari segi fisik dan spesifikasi, kelihatan jelas bahwa Anafi dirancang untuk menjadi penantang langsung Mavic Air. Wujudnya mungil, dengan bobot total sekitar 318 gram, dan ketika sedang tidak digunakan, keempat kakinya bisa dilipat ke dalam layaknya Mavic Air.

Parrot Anafi

Tidak seperti drone buatan Parrot sebelumnya, Bebop 2, Anafi mengemas kamera yang terpasang pada gimbal, memungkinkan kameranya untuk berotasi 180° (90° ke atas atau 90° ke bawah). Image stabilization 3-axis yang merupakan perpaduan sistem mekanis dan digital memastikan hasil rekamannya tetap mulus selagi drone bermanuver.

Kameranya sendiri mengusung sensor Sony IMX230 21 megapixel, dan ditemani oleh prosesor buatan Ambarella, sanggup merekam video 4K HDR 30 fps atau 1080 60 fps. Juga unik adalah kemampuan kameranya untuk zooming: hingga 1,4x dalam resolusi 4K, atau 2,8x dalam resolusi 1080p.

Parrot Anafi

Terkait performa, Anafi dapat melesat sampai secepat 53 km/jam dalam mode Sport, serta mampu menahan hembusan angin yang cukup keras (50 km/jam). Dalam satu kali pengisian baterai, Anafi bisa mengudara selama 25 menit. Selain mengisi ulang baterai via USB-C, pengguna juga bisa melepas baterai Anafi dan menggantinya dengan baterai cadangan jika perlu.

Anafi datang bersama controller berbentuk ala gamepad Xbox yang bisa dipasangi smartphone di atasnya. Sayangnya, ponsel harus disambungkan via kabel USB ke controller demi menjaga berlangsungnya streaming video dalam resolusi tinggi secara konstan.

Parrot Anafi

Yang cukup cerdas adalah penempatan antena dual-band (2,4 GHz dan 5 GHz) di masing-masing kaki Anafi, yang bermaksud untuk mengoptimalkan koneksi antara drone dan controller, tidak peduli drone-nya sedang menghadap ke mana. Dua frekuensi ini otomatis digunakan secara bergantian tergantung kondisi di sekitar, dan jarak terjauh antara drone dan controller mencapai angka 4 km (sama seperti DJI Mavic Air).

Sejauh ini Parrot Anafi terdengar sebagai rival potensial bagi Mavic Air, terutama di telinga konsumen yang tidak terlalu mementingkan kemampuan drone untuk menghindari rintangan dengan sendirinya (Mavic Air punya, Anafi tidak). Harga jualnya pun juga lebih kompetitif: $699 saat mulai dipasarkan pada tanggal 1 Juli mendatang.

Sumber: PR Newswire dan The Verge.

Drone Canggih Skydio R1 Kini Dapat Mengikuti Pergerakan Mobil dengan Sendirinya

Terlepas dari banderol harganya yang kelewat mahal, Skydio R1 merupakan drone yang begitu mengesankan berkat kemampuannya mengudara dan bermanuver selagi mengabadikan video tanpa input secara konstan dari pengguna. Cukup tentukan apa yang hendak direkam, maka R1 bakal mengerjakan tugasnya tanpa ragu-ragu.

Sampai sejauh ini, apa yang bisa R1 rekam menggunakan kamera 4K-nya baru terbatas pada subjek manusia saja. Namun mengingat fondasi utama R1 adalah AI (artificial intelligence) dan software, Skydio selaku pengembangnya dapat dengan mudah menambahkan kemampuan-kemampuan baru lewat sebuah update.

Tanpa harus menunggu lama, Skydio pun baru saja merilis update yang menghadirkan fitur bernama Car Follow pada R1. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan R1 untuk mengikuti dan mengabadikan pergerakan kita di atas kendaraan roda empat. Tentunya semua ini R1 lakukan sembari menghindari rintangan yang menghadang di rutenya.

Skydio R1 Car Follow

Skydio bilang bahwa fitur ini ideal digunakan ketika kita sedang memacu mobil di medan off-road, bermain-main di sirkuit rally, atau sekadar menyusuri lapangan golf dengan golf cart. Satu-satunya batasan yang ada adalah jangan manfaatkan fitur ini di jalanan terbuka, melainkan hanya di lokasi-lokasi tertutup saja.

Selain Car Follow, masih ada tiga mode sinematik baru yang dijuluki Car Tripod, Quarter Follow dan Quarter Lead. Skydio pun tidak lupa mengoptimalkan sistem prediksi R1 agar kemampuannya menghindari rintangan bisa jadi lebih baik lagi. Terakhir, aplikasi pendampingnya sekarang dapat menunjukkan persis di mana drone bakal mendarat.

Sumber: Engadget dan Skydio.

DJI Phantom 4 Pro V2.0 Lebih Hening dan Lebih Superior Soal Transmisi Data

Dengan munculnya drone seperti Spark dan Mavic Air dalam setahun belakangan, DJI terkesan seperti melupakan lini Phantom yang ditujukan untuk segmen yang lebih profesional. Namun kenyataannya tidak demikian, sebab mereka baru saja meluncurkan versi baru Phantom 4 Pro.

Memang bukan Phantom 5, dan hanya Phantom 4 Pro V2.0, yang mengindikasikan pembaruannya tergolong minor. Meski begitu, dampaknya masih terbilang cukup signifikan, sebab dua pembaruan yang diusungnya melibatkan performa mengudara sekaligus transmisi datanya.

Dibandingkan versi pertamanya, Phantom 4 Pro V2.0 bisa mengudara jauh lebih hening, hingga 60% tepatnya. Kemungkinan besar ini disebabkan penggunaan baling-baling berdesain baru, sama kasusnya seperti Mavic Pro Platinum. Baling-baling baru ini sepertinya juga sedikit lebih ringkas, sebab bobot V2.0 jadi 13 gram lebih ringan ketimbang pendahulunya.

DJI Phantom 4 Pro V2.0

Kemudian yang tidak kalah penting adalah penggunaan teknologi transmisi data OcuSync, yang menggantikan sistem Lightbridge yang sudah tergolong uzur. DJI bilang bahwa OcuSync benar-benar dioptimalkan untuk meneruskan video beresolusi tinggi dan dengan latency yang sangat minim.

Berkat OcuSync, Phantom 4 Pro V2.0 pun dapat disambungkan ke perangkat DJI Goggles secara wireless, dan jarak maksimum transmisi datanya kini mencapai angka 7 kilometer. Sisanya, baik desain dan kemampuan perekamannya, masih sama persis seperti sebelumnya.

DJI saat ini telah memasarkan Phantom 4 Pro V2.0 seharga $1.769, sudah termasuk sederet aksesorinya. Konsumen juga bisa memilih varian lain seharga $2.139 yang dilengkapi controller dengan monitor 5,5 inci terintegrasi.

Sumber: PetaPixel dan DJI.

Video Tangkapan Drone Parrot Kini Bisa Diedit Secara Otomatis oleh Aplikasi Pendampingnya

Berbeda dengan kondisi beberapa tahun silam, drone masa kini begitu mudah dioperasikan. Mayoritas bahkan dibekali fitur untuk mengikuti subjek secara otomatis, sehingga konsumen pada dasarnya hanya perlu mementingkan aksi atau momen yang hendak diabadikannya.

Selesai merekam, situasinya ternyata berbalik 180 derajat. Proses mengedit video masih sama susah dan sama makan waktunya seperti dulu. Hal ini memotivasi pabrikan drone asal Perancis, Parrot, untuk merancang solusi yang lebih praktis.

Buah pemikiran mereka adalah fitur Flight Director pada aplikasi FreeFlight Pro (yang bisa digunakan untuk mengoperasikan sejumlah model drone buatan Parrot). Flight Director bertugas mengedit hasil tangkapan drone secara otomatis, berbekal algoritma yang mempelajari pergerakan dan rute drone selama mengudara.

Parrot Flight Director

Yang konsumen perlu lakukan hanya sebatas menentukan durasi hasil akhirnya (sampai 3 menit), arahan videonya (kronologis, sinematik, atau yang seperti trailer film), serta memilih tema dan musik latarnya. Cara kerjanya kurang lebih sama seperti fitur QuikStories milik GoPro.

Yang mungkin agak disayangkan, fitur ini ternyata tidak gratis. Anda bisa membuat klip video berdurasi 15 detik, tapi Anda harus membayar in-app purchase terlebih dulu sebelum bisa membuat yang durasinya lebih panjang. Perihal kompatibilitas, fitur ini bisa digunakan bersama drone Parrot Bebop orisinil, Bebop 2 dan Bebop 2 Power.

Sumber: DPReview dan Parrot.

Application Information Will Show Up Here

Tidak Punya Controller, Drone Skydio R1 Benar-Benar Bisa Terbang dan Merekam Secara Otomatis

Mundurnya GoPro dari bisnis drone adalah bukti kebesaran DJI dalam industri tersebut. Saya yakin di luar sana ada banyak startup drone yang menyerah sebelum berperang setelah melihat kondisinya dalam setahun belakangan, tapi tidak untuk startup bernama Skydio berikut ini.

Didirikan pada tahun 2014 oleh tiga jenius jebolan MIT, dari awal Skydio sudah punya visi yang cukup ambisius. Mereka ingin menciptakan drone yang benar-benar bisa bermanuver selagi merekam video dengan sendirinya. Setelah berkutat dengan computer vision, artificial intelligence dan berbagai teknologi lainnya selama kurang lebih empat tahun, Skydio akhirnya punya satu produk yang siap dipasarkan.

Skydio R1 / Skydio

Produk tersebut adalah sebuah quadcopter bernama Skydio R1. Drone kecil ini benar-benar mengedepankan aspek pengoperasian otonom, sampai-sampai Skydio sengaja tidak merancang unit controller untuknya. Cukup dengan beberapa sentuhan pada aplikasi smartphone-nya, R1 siap mengudara dengan sendirinya sampai secepat 40 km/jam, tanpa ada input secara konstan dari pengguna.

Aplikasi ponsel itu dibutuhkan untuk menentukan mode penerbangan dan perekaman yang diinginkan pengguna, serta untuk memilih subjek yang hendak direkam dan memantau hasil rekamannya secara live. Setelahnya, R1 dapat bermanuver dengan sendirinya, menghindari berbagai rintangan yang ada selagi mengunci fokus kameranya pada subjek yang telah dipilih.

Skydio R1

Rahasianya terletak pada total 13 kamera yang ditanam di seluruh sisi R1. Informasi yang dikumpulkan kemudian diolah oleh chip Nvidia Jetson TX1, yang memang dikembangkan secara khusus untuk memaksimalkan kinerja computer vision dan machine learning. Sebagai pelengkap, Skydio membubuhkan algoritma untuk mengenali beragam objek seperti manusia, pohon atau mobil, termasuk memperhatikan detail kecil seperti warna baju.

Selama mengudara, R1 akan terus memetakan lingkungan di sekitarnya dalam wujud 3D secara real-time. Segudang informasi yang diolah juga dimanfaatkan untuk memprediksi tindakan drone selama empat detik ke depan, dan semua ini berlangsung secara konstan selama sekitar 16 menit, sebelum akhirnya baterai R1 perlu di-charge kembali.

R1 dilengkapi kamera yang dapat merekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan sudut pandang seluas 150 derajat. Kamera tersebut duduk di atas gimbal 2-axis, dan semua hasil rekamannya akan disimpan di dalam storage internal sebesar 64 GB. Sasisnya sendiri terbuat dari perpaduan aluminium dan serat karbon, dengan bobot tak lebih dari 1 kilogram.

Skydio R1

Sejauh ini apa yang ditawarkan Skydio terdengar menarik, akan tetapi yang mungkin bakal menjadi masalah adalah perihal harga jualnya. Meski masih dalam jumlah terbatas, Skydio R1 saat ini sudah dipasarkan seharga $2.499. Sebagai perbandingan, DJI Phantom 4 Pro dan Inspire 2 masing-masing memiliki banderol $1.499 dan $2.999.

Kedua drone DJI tersebut mengemas kamera yang lebih superior, serta juga dilengkapi kemampuan mendeteksi rintangan dan kendali otomatis, meski tidak sekompleks yang Skydio tawarkan, dan masih harus dikendalikan dengan controller yang cukup rumit. Tidak cuma itu, keduanya juga lebih gesit dan bisa mengudara jauh lebih lama.

Selisih $500 dari Inspire 2 adalah harga yang kelewat mahal untuk Skydio R1, akan tetapi ini dikarenakan teknologinya masih baru, bukan semata Skydio ingin mencari untung besar. Mereka berharap ke depannya bisa menghadirkan teknologi otonom sekelas R1 pada produk yang lebih terjangkau, kurang lebih sama seperti “Master Plan” yang berhasil dieksekusi Tesla.

Sumber: The Verge dan Skydio.

DJI Luncurkan Mavic Air, Lebih Kecil dari Spark Saat Terlipat, Tapi Bisa Merekam Video 4K

Saat DJI merilis Mavic Pro di tahun 2016 lalu, dalam hati saya bertanya mengapa harus ada embel-embel “Pro” di belakangnya? Apakah mungkin ke depannya DJI bakal merilis Mavic tipe lain dengan embel-embel yang berbeda lagi? Semuanya akhirnya terjawab hari ini dengan diumumkannya DJI Mavic Air.

Mavic Air boleh dikatakan merupakan hasil kawin silang antara Mavic Pro dan Spark. Dari atas penampilannya terlihat seperti Mavic Pro, tapi dari depan wajahnya begitu mirip seperti Spark. Dimensinya lebih menyerupai Spark, akan tetapi spesifikasinya menjurus ke Mavic Pro.

DJI Mavic Air

Dalam posisi lengan yang terlipat, Mavic Air bahkan lebih kecil lagi dibanding Spark, meski bobotnya sedikit lebih berat di angka 430 gram. Yang cukup mencengangkan adalah bagaimana DJI berhasil menyematkan gimbal 3-axis pada tubuh mungil Mavic Air, mengingat Spark hanya dibekali gimbal 2-axis.

Pada gimbal tersebut bernaung kamera dengan sensor 1/2,3 inci beresolusi 12 megapixel dan lensa 24mm f/2.8. Video dapat ia rekam dalam resolusi 4K 30 fps dan dengan bitrate maksimum 100 Mbps. Mavic Air bahkan siap mengabadikan berbagai aksi dalam video slow-motion 1080p 120 fps.

DJI Mavic Air

Satu keunikan Mavic Air yang tak dimiliki kakak-kakaknya adalah penyimpanan internal sebesar 8 GB, yang tentu saja bisa diperluas lagi dengan bantuan microSD. Memindah file dari Mavic Air ke komputer juga bisa lebih cepat berkat kehadiran port USB-C pada body-nya.

Pengendalian berbasis gesture seperti yang menjadi andalan Spark turut tersedia di sini, dan DJI tak lupa membekali Mavic Air dengan sejumlah mode perekaman kreatif. Salah satu contohnya adalah mode baru bernama Sphere Panorama, yang akan menjepret 25 gambar sebelum menyatukannya menjadi satu gambar panoramik beresolusi 32 megapixel.

DJI Mavic Air

Kemampuan mengudara Mavic Air juga lebih baik ketimbang Spark. Kecepatan maksimumnya mencapai angka 68 km/jam dalam mode Sport, dan kalau boleh, ia juga siap terbang sampai ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut. Transmisi sinyalnya bisa sampai sejauh 4 kilometer selagi meneruskan rekaman video 720p secara real-time, sedangkan baterainya dapat bertahan sampai 21 menit waktu mengudara.

Seperti halnya Mavic Pro dan Spark, Mavic Air juga mampu mendeteksi dan menghindari rintangan dengan sendirinya. ‘Indera penglihatannya’ bahkan telah disempurnakan hingga dapat mendeteksi sejauh 20 meter. Di saat yang sama, fitur ActiveTrack pada Mavic Air juga sudah ikut disempurnakan agar dapat mendeteksi dan mengikuti lebih dari satu subjek secara otomatis.

DJI Mavic Air

Tanpa harus menunggu lama, DJI bakal memasarkan Mavic Air mulai akhir bulan Januari ini juga seharga $799. Bundel “Fly More Combo” yang mengemas lebih banyak baling-baling dan baterai dihargai $999. Soal warna, konsumen bisa memilih antara hitam, putih atau merah.

Kalau melihat harganya, posisi Mavic Air berada tepat di tengah-tengah Spark ($499) dan Mavic Pro ($999). Sekali lagi, ia berhasil mengawinkan segala kebaikan yang ditawarkan Spark (fisik super-ringkas dan pengoperasian berbasis gesture) dan Mavic Pro (kamera 4K + gimbal 3-axis dan daya tahan baterai di atas 20 menit). Bagi yang sebelumnya sudah bingung ketika disuruh memilih antara Spark atau Mavic Pro, siap-siap dibuat lebih pusing lagi.

Sumber: DJI.

Drone Autel Evo Siap Tantang DJI Mavic Pro dengan Kamera 4K 60 Fps

Tidak perlu dipungkiri, DJI sudah menjadi kiblat bagi para pesaingnya di industri drone. Hal itu begitu tersirat pada drone terbaru buatan Autel Robotics berikut ini. Dijuluki Evo, dari penampilannya saja sudah kelihatan kalau ia mengambil inspirasi dari DJI Mavic Pro.

Pada kenyataannya, cukup banyak kesamaan antara Evo dan Mavic. Keduanya dapat dilipat agar bisa disimpan dengan mudah, keduanya dapat mendeteksi sekaligus menghindari rintangan dengan sendirinya, dan keduanya pun dapat dioperasikan dari jarak sejauh 7 kilometer.

Evo bahkan bisa mengudara selama 30 menit nonstop, sama persis seperti varian baru Mavic Pro Platinum. Namun Autel tidak mau hanya sekadar meniru, mereka juga ingin Evo bisa jadi alternatif yang lebih unggul ketimbang Mavic. Pertanyaannya, apa yang bisa disempurnakan lagi dari Mavic?

Autel Evo

Yang pertama adalah kamera yang menggantung pada gimbal 3-axis-nya. Evo sanggup merekam video pada resolusi 4K 60 fps. Di saat yang sama, Mavic hanya terbatas pada resolusi 4K 30 fps. Yang kedua, Evo bisa melaju dalam kecepatan 20 meter per detik, juga sedikit di atas kemampuan Mavic.

Ketiga, Evo datang bersama remote control yang dilengkapi layar OLED 3,3 inci (bisa menerima live stream dari drone dalam resolusi 720p), yang berarti smartphone bisa Anda simpan di saku selama mengoperasikan Evo.

Autel Evo rencananya akan dipasarkan seharga $1.000, sama persis seperti Mavic Pro standar yang lebih inferior baterainya. Sayangnya Autel belum bisa memastikan jadwal perilisannya selain mengucapkan kata “segera”.

Sumber: DPReview.

Bukan Sembarang Toy Drone, Tello Dilengkapi Sistem Flight Stabilization Rancangan DJI

Drone adalah salah satu kategori produk teknologi yang punya peran paling bervariasi dalam kehidupan kita sehari-harinya. Selain menjadi alat bantu dokumentasi, drone juga digunakan untuk keperluan inspeksi di lapangan, mengirim barang – bahkan juga mengirim pizzakebutuhan militer, memudahkan pekerjaan regu penyelamat dan petani, sampai sekadar untuk balapan.

Begitu pesatnya perkembangan drone dan teknologi di baliknya, peran drone sebagai mainan anak-anak perlahan juga mulai terdengar masuk akal. Sebuah startup asal Tiongkok bernama Ryze Tech sedang mencoba untuk mewujudkan ide tersebut. Buah pemikirannya adalah Tello, yang mereka deskripsikan sebagai toy drone berotak cerdas.

Dalam hati Anda mungkin bertanya, apakah tidak bahaya membiarkan anak-anak bermain-main dengan drone? Tello bukan sembarang quadcopter, di balik tubuh mungil seberat 80 gramnya tersimpan teknologi yang amat canggih. Lebih spesifik lagi, secanggih drone ciptaan DJI.

Tello

Merupakan sebuah pencapaian bagi Ryze untuk menanamkan sistem flight stabilization DJI di dalam Tello, belum lagi sebuah VPU (vision processing unit) Intel Movidius Myriad 2 yang memungkinkan Tello untuk ‘melihat’ dunia di sekitarnya. Begitu stabil dan akuratnya kemampuan Tello mengudara, ia bahkan bisa didaratkan di atas telapak tangan.

Menerbangkannya juga semudah melemparnya ke atas, lalu gunakan aplikasi smartphone untuk mengendalikannya. Tello bisa mengudara selama sekitar 13 menit, dan ketika baterainya hampir habis atau saat koneksinya dengan smartphone terputus, Tello bakal mendarat dengan sendirinya.

Tubuh mungilnya turut mengemas sebuah kamera yang dapat mengambil foto 5 megapixel atau video HD. Pengguna pun juga bisa memantau hasil rekamannya secara live, atau menikmatinya dari sudut pandang orang pertama menggunakan FPV goggles yang kompatibel.

Tello

Di sisi lain, Tello juga ingin merealisasikan konsep belajar sambil bermain, utamanya belajar coding. Menggunakan program buatan MIT bernama Scratch, anak-anak bisa dengan mudah memprogram Tello, mulai dari merancang pola terbang tertentu sampai manuver-manuver akrobatik yang lebih kompleks.

Semua ini bisa didapat dengan modal tidak lebih dari $99. Rencananya Tello akan dipasarkan mulai akhir Januari ini di Tiongkok, lalu menyusul di negara-negara lain pada bulan Maret.

Sumber: PR Newswire.

Yuneec Luncurkan Tiga Drone Baru di CES 2018

Tidak ada drone baru dari DJI di ajang CES tahun ini, hanya stabilizer Osmo Mobile 2 saja. Kedengarannya seperti kesempatan emas bagi para pesaingnya untuk mencuri perhatian? Anggap saja begitu, sebab Yuneec baru saja mengumumkan bukan satu, tapi tiga drone anyar sekaligus di CES 2018.

Drone yang pertama adalah Yuneec Typhoon H Plus, suksesor dari Typhoon H yang diperkenalkan tepat dua tahun silam. Sama seperti sebelumnya, fitur unggulannya adalah kemampuan mendeteksi dan menghindari rintangan dengan sendirinya berkat teknologi Intel RealSense.

Yuneec Typhoon H Plus

Lalu apa yang membuatnya pantas menyandang titel “Plus”? Navigasi dan kualitas kamera yang lebih baik jawabannya. Keenam rotornya berukuran lebih besar, tapi di saat yang sama dapat beroperasi hingga 40% lebih senyap. Lebih lanjut, Yuneec juga mengklaim Typhoon H Plus bisa tetap stabil mengudara meski angin bertiup sekencang 48 km/jam.

Untuk kameranya, Typhoon H Plus mengandalkan sensor berukuran 1 inci, dengan resolusi 20 megapixel untuk foto still. Video tak hanya bisa direkam dalam resolusi 4K, tapi juga dalam kecepatan 60 fps. Di samping itu, Typhoon H Plus juga menjanjikan hasil rekaman di kondisi minim cahaya yang lebih baik.

Yuneec juga bilang bahwa mereka telah mendesain ulang controller uniknya yang berbasis Android dan mengemas layar 7 inci untuk menampilkan hasil rekaman secara real-time dalam resolusi 720p. Soal daya baterai, Typhoon H Plus diyakini mampu mengudara selama 25 menit nonstop dalam cuaca normal.

Sama seperti sebelumnya, Yuneec menarget kalangan profesional untuk Typhoon H Plus. Pemasarannya akan dimulai pada babak pertama 2018, dengan harga $1.800, sama persis seperti pendahulunya.

Yuneec HD Racer / Yuneec
Yuneec HD Racer / Yuneec

Drone yang kedua adalah HD Racer, sebuah quadcopter mini yang, sesuai namanya, ditujukan untuk penggemar balap drone. Dibekali mode yang berbeda untuk pengguna pemula atau yang sudah berpengalaman, HD Racer juga siap mengudara di ‘sirkuit’ indoor berkat konstruksinya yang tahan banting serta baling-baling yang terlindungi.

Sesi balapan bakal diabadikan dalam resolusi 1080p 60 fps, dan tentu saja sang pilot bisa memonitornya secara live dengan latency yang minimal. Yang cukup unik, drone ini bisa ‘bangun’ dengan sendirinya saat menabrak objek dan terbalik

Harganya? $180 saja, akan tetapi konsumen masih harus menunggu sampai babak kedua tahun 2018.

Yuneec Firebird FPV / Yuneec
Yuneec Firebird FPV / Yuneec

Terakhir, ada Firebird FPV yang merupakan drone tipe fixed-wing pertama dari Yuneec. Berbekal satu baling-baling di belakang, pengoperasiannya lebih mirip pesawat ketimbang helikopter. Di ujung hidungnya tertanam sebuah kamera untuk merekam dalam sudut pandang pertama.

Yuneec tak lupa menyematkan sejumlah fitur canggih seperti kemampuan untuk pulang dan mendarat di titik lepas landasnya secara otomatis, plus fitur geofencing dan fitur pengaman yang mencegah drone terbang terlalu rendah. Baterainya sendiri diperkirakan bisa bertahan selama 30 menit waktu mengudara.

Yang sedikit mengejutkan adalah banderol harganya, yakni $700. Yuneec berencana menjualnya di babak pertama tahun ini.

Sumber: The Verge dan Yuneec.