Tak Perlu Remote Control, Drone Airdog ADII Bakal Terus Mengikuti ke Mana pun Anda Pergi

DJI boleh memimpin pasar drone dengan segala kecanggihan yang ditawarkannya. Namun sejatinya adalah Airdog yang memelopori tren fitur Follow Me yang sekarang ini sudah menjadi standar mayoritas drone. Diperkenalkan via Kickstarter pada tahun 2014, Airdog saat itu merupakan satu dari segelintir drone yang dapat bergerak mengikuti seseorang dengan sendirinya.

Tiga tahun berselang, Helico Aerospace Industries selaku pengembangnya sudah siap dengan sekuel Airdog, yaitu Airdog ADII. Premis yang ditawarkan ADII secara garis besar masih sama: ditujukan buat penggemar olahraga ekstrem, dengan kemampuan bergerak mengikuti secara otomatis tanpa mengandalkan remote control sama sekali.

Airdog ADII

Komponen kunci Airdog sejak versi pertamanya adalah perangkat pendamping bernama AirLeash. AirLeash inilah yang bertugas mengirim data posisi ke drone secara wireless. Tidak seperti computer vision, kombinasi drone dan tracker semacam ini lebih superior dalam hal memantau posisi, terutama saat objeknya sedang tertutupi sesuatu – pepohonan atau ombak misalnya.

Sama seperti versi orisinilnya, AirLeash untuk ADII juga tahan air dan dilengkapi sejumlah tombol untuk mengganti mode maupun mengaktifkan sederet fitur drone. Yang baru dari ADII adalah layar LED milik AirLeash kini dibekali backlight sehingga jauh lebih mudah dilihat di bawah terik matahari.

Airdog ADII

Pengembangnya kini juga percaya diri melabeli ADII “all-terrain ready”, sebab di bagian perutnya kini terdapat sensor LIDAR yang bertugas untuk mendeteksi rintangan sehingga drone bisa menghindarinya secara otomatis, terutama ketika ada perubahan tingkat elevasi selagi drone melesat dalam kecepatan tinggi – ADII mencatatkan kecepatan maksimum 72 km/jam.

Pembaruan lainnya ada pada gimbal-nya, yang kini beroperasi dalam tiga axis sehingga video bakal terlihat lebih stabil dan mulus. Tentu saja, gimbal ADII sekarang menerima action cam GoPro Hero5 ketimbang Hero4. Bonus: kamera akan otomatis merekam saat ADII lepas landas, dan sebaliknya berhenti merekam saat drone mendarat.

Fisik ADII sendiri masih cukup ringkas sekaligus perkasa; selain tahan terhadap cuaca tak bersahabat, ADII yang berbobot cuma 2 kg ini juga bisa menstabilkan diri meski diterjang angin sekencang 30 knot. Ini penting karena ADII dapat mengudara hingga setinggi 3.500 meter di atas permukaan laut, meski jarak maksimum koneksinya dengan AirLeash hanya 150 meter.

Airdog ADII

Baterainya berkapasitas 5.550 mAh, dan diestimasikan bisa bertahan selama 10 – 20 menit pemakaian, tergantung kecepatan drone. Soal pemasaran, Helico rupanya kembali berkunjung ke Kickstarter untuk mengumpulkan pendanaan buat ADII.

Di Kickstarter, Airdog ADII dibanderol seharga $1.099, sedangkan harga retail-nya diperkirakan berkisar $1.500. Kecuali Anda benar-benar penggemar olahraga ekstrem sejati, mungkin drone besutan DJI bisa jadi alternatif lain yang lebih menarik – plus lebih terjangkau.

Sumber: The Verge.

Lebih Kecil dari Mavic Pro, Drone DJI Spark Bisa Dikendalikan Hanya dengan Menggunakan Gesture

Rumor bahwa DJI akan meluncurkan drone yang lebih kecil dari Mavic Pro ternyata tidak meleset. Raja drone asal Tiongkok itu baru saja memperkenalkan Spark, sebuah quadcopter yang ukurannya tidak lebih besar dari iPhone 7 Plus.

Begitu mungilnya DJI Spark, Anda bisa menyimpannya di dalam kantong jaket dengan mudah, apalagi mengingat bobotnya cuma sekitar 300 gram. Namun jangan sekali-kali meremehkan kapabilitasnya, sebab DJI telah membekalinya dengan teknologi-teknologi yang sama canggihnya dengan milik kakak-kakaknya yang lebih besar.

Meski berukuran sangat kecil, DJI Spark tetap dilengkapi teknologi computer vision untuk mengenali objek sekaligus menghindari rintangan dengan sendirinya / DJI
Meski berukuran sangat kecil, DJI Spark tetap dilengkapi teknologi computer vision untuk mengenali objek sekaligus menghindari rintangan dengan sendirinya / DJI

Yang paling utama adalah ActiveTrack, dimana Spark dapat mengenali suatu objek dan mengikutinya ke mana pun objek itu bergerak selagi menempatkannya di tengah-tengah frame kamera. Anda pun tak perlu khawatir Spark bakal menabrak pohon, sebab ia bisa mendeteksi rintangan di sekitarnya dan menghindar dengan sendirinya.

Selain menggunakan remote control, DJI juga merancang Spark untuk dioperasikan dengan smartphone. Berkat fitur TapFly, Anda bisa menyentuh bagian manapun pada layar dan Spark akan bergerak ke titik yang Anda tunjuk tersebut. Namun yang lebih istimewa lagi, Spark juga bisa Anda kendalikan hanya dengan mengandalkan gesture.

Cara kerjanya begitu intuitif: begitu Spark lepas landas dari tangan Anda, ia akan otomatis masuk dalam Gesture Mode. Setelahnya, Anda tinggal mengarahkan telapak tangan untuk menentukan posisi Spark di udara. Kalau sudah pas, selfie bisa diambil juga menggunakan gesture, dan Spark pun dapat Anda panggil kembali cukup dengan lambaian tangan.

Dengan gesture seperti ini, DJI Spark akan langsung mengambil selfie / DJI
Dengan gesture seperti ini, DJI Spark akan langsung mengambil selfie / DJI

Kualitas kamera Spark juga tidak boleh Anda sepelekan. DJI telah menanamkan sensor 1/2,3 inci – persis seperti yang mayoritas kamera pocket miliki – beresolusi 12 megapixel, dengan kemampuan merekam video 1080p 30 fps. Selagi merekam, video akan tetap kelihatan mulus berkat kehadiran gimbal 2-axis.

Buat pilot drone yang sudah mahir, Spark turut dilengkapi Sport Mode, dengan kecepatan maksimum hingga 50 km/jam. Dalam mode ini, Anda bisa mengendalikan pandangan kameranya menggunakan kepala Anda dengan bantuan aksesori DJI Goggles selagi kedua tangan Anda berfokus untuk mengeksekusi berbagai macam manuver.

DJI saat ini telah menerima pre-order untuk Spark dengan banderol harga $499. Kalau Anda menginginkan remote control, baterai cadangan serta sejumlah aksesori lainnya, DJI juga menyediakan bundel seharga $699. Oh ya, tidak seperti drone DJI lainnya, Spark tersedia dalam lima pilihan warna yang berbeda: putih, kuning, merah, biru dan hijau.

Sumber: DJI.

MIT Kembangkan Drone dengan Kemampuan Sinematografi Otomatis Lebih Canggih dari Milik DJI

Terbang dan merekam video dengan sendirinya sudah bukan perkara besar untuk drone generasi terkini. Lihat saja Phantom 4 Advanced atau Mavic Pro dari DJI yang dibekali teknologi ActiveTrack, dimana keduanya dapat mengudara selagi menempatkan suatu objek di tengah pandangannya, lalu mengikutinya ke manapun objek itu bergerak.

Namun bagaimana dengan manuver-manuver khusus seperti ketika harus merekam adegan balap mobil di salah satu seri franchise Fast & Furious? Kalau ini mungkin masih dibutuhkan operator drone yang berpengalaman, akan tetapi hasil riset tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) asal MIT berkata sebaliknya.

Mereka mengembangkan sebuah sistem yang memungkinkan seorang sutradara untuk mengirimkan instruksi spesifik pada drone, menetapkan parameter-paramter tertentu supaya drone bisa mengerjakan tugas sinematografinya sendiri secara mandiri selagi mengacu pada teknik yang kerap digunakan oleh operator drone pada umumnya.

Secara garis besar sistem ini merupakan versi lebih advanced dari ActiveTrack itu tadi. Perbedaannya dideskripsikan seperti ini: kalau dengan ActiveTrack, drone memang bisa mengikuti pergerakan seorang aktor, tapi ketika aktor tersebut membalikkan badannya 180 derajat, drone bakal terus merekam punggungnya.

Dengan sistem besutan MIT ini, drone dapat mendeteksi aktor yang membalikkan badannya itu, lalu bergerak mengitarinya supaya fokus kameranya tetap ada pada wajah sang aktor. Semua ini tentu saja dilakukan tetap dengan memperhatikan kondisi sekitar, sehingga drone tidak akan menabrak sebuah pohon atau rintangan lain begitu saja ketika bermanuver.

Selebihnya, sistem bernama real-time motion planning for aerial videography ini menitikberatkan pada aspek kontrol yang merinci. Seorang sutradara bisa menetapkan parameter seperti misalnya komposisi dengan sudut pandang lebar atau sempit, orientasi sang aktor, sehingga pada akhirnya drone dapat memprioritaskan variabel-variabel ini dengan sendirinya selama sesi syuting.

Singkat cerita, apa yang ingin tim CSAIL MIT ini tawarkan adalah sinematografi drone yang lebih mudah diakses sekaligus yang lebih bisa diandalkan. Anda bisa menyimak video di bawah untuk mendapat gambaran terkait cara kerjanya secara umum.

Sumber: MIT.

DJI Luncurkan Aplikasi Smart TV untuk Pamerkan Hasil Karya Penggunanya

Tahun demi tahun, video hasil rekaman drone DJI terus bertambah sempurna. Bukan cuma dari aspek resolusi saja, tapi juga kualitas gambar secara menyeluruh. Tidak percaya? Coba intip channel DJI Creator di YouTube, dan tonton sendiri kumpulan video menakjubkan karya para pengguna DJI yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Begitu percaya dirinya DJI dengan kualitas video yang dapat dihasilkan drone besutannya, pabrikan asal Tiongkok tersebut memutuskan untuk merilis aplikasi perdananya untuk smart TV. Kehadiran aplikasi ini memungkinkan kita untuk menikmati seabrek video udara dalam resolusi 4K selagi bersantai di atas sofa ruang tamu.

DJI Smart TV App pada dasarnya juga membuka pintu yang lebih luas bagi para kreator untuk membagikan karya-karyanya ke mata dunia, dan pada akhirnya bisa menginspirasi orang-orang untuk beranjak dari rumahnya dan menikmati keindahan alam Bumi dari perspektif yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Untuk sekarang, DJI Smart TV App baru tersedia untuk platform Apple TV dan Samsung Tizen TV. Belum ada informasi apakah DJI juga akan merilisnya ke platform lain, seperti misalnya webOS milik LG.

Sumber: DJI. Gambar header: Unsplash.

Parrot Alihkan Segmentasi Drone-nya ke Pasar Profesional

DJI adalah penguasa pasar consumer drone, itu adalah fakta yang tidak bisa dilawan. Kualitas lini Phantom, ditambah inovasi kelas wahid yang ditunjukkan oleh Mavic Pro bisa dianggap sebagai pukulan pamungkas pada pabrikan drone pesaing.

Akan tetapi Parrot sebagai pemain lama tidak mau tinggal diam. Ketimbang mengejar ketertinggalan yang sudah terlalu jauh, pabrikan asal Perancis tersebut lebih memilih untuk mengalihkan segmentasi drone-nya ke pasar yang lebih sesuai, yakni pasar profesional.

Parrot juga sebenarnya sudah lama bermain di segmen ini, namun sekarang mereka memutuskan bahwa drone Bebop dan Disco juga bisa diikutkan pada segmen profesional, asalkan didampingi oleh software dan aksesori yang sesuai. Secara spesifik, Parrot menarget ranah 3D modeling, 3D mapping dan agrikultur.

Alhasil, Parrot pun bakal memasarkan bundel baru untuk Bebop dan Drone. Bebop sekarang tersedia bersama sebuah software untuk pemetaan tiga dimensi seharga $1.099, dan Parrot yakin drone ini sangat ideal untuk pemilik bisnis real estate maupun konstruksi.

Disco di sisi lain bakal tersedia dalam bundel yang lebih bervariasi lagi. Bersama aksesori Parrot Sequioa misalnya, drone bergaya pesawat ini siap ‘menyisir’ lahan pertanian seluas 80 hektar selama 30 menit selagi memetakan dan mengambil gambar multi-spektrum untuk keperluan inspeksi. Paket semacam ini rencananya bakal tersedia mulai bulan Juni seharga $5.000.

Apa yang Parrot lakukan ini sejatinya merupakan langkah bijak. DJI memang sedang di atas angin, dan inovasi teknologinya memang sudah jauh melewati pesaing-pesaingnya. Tapi itu hanya berlaku di segmen consumer, sedangkan di segmen profesional ceritanya sudah berbeda.

Sumber: TechCrunch.

Hasil Studi Qualcomm Indikasikan Penerapan Drone Bertenaga LTE dalam Waktu Dekat

Dari beberapa berita tentang drone pengirim barang yang kami publikasikan, hampir semuanya masih memiliki radius yang terbatas. Salah satu cara untuk memperluas jangkauannya adalah dengan menyematkan koneksi internet, sehingga pada akhirnya drone bisa berkomunikasi via jaringan 4G LTE.

Namun kalau smartphone saja bisa tiba-tiba kehilangan sinyal, tidakkah hal ini berbahaya buat drone? Pastinya, akan tetapi hasil penelitian Qualcomm menunjukkan bahwa ini bukan masalah besar untuk drone bertenaga LTE.

Setelah melakukan pengujian dan simulasi selama sekitar 1.000 kali, Qualcomm menemukan bahwa drone masih bisa menerima sinyal LTE yang sangat kuat meski sedang mengudara pada ketinggian sekitar 120 meter. Coverage-nya pun tidak kalah dengan smartphone, malahan koneksinya tidak perlu terlalu sering ‘melompat’ dari satu menara BTS ke yang lain seperti di darat.

Yang sejauh ini belum begitu sempurna adalah interference sinyal yang terkadang masih cukup besar, namun Qualcomm berniat untuk memperbaikinya. Selain itu, optimalisasi daya juga akan diterapkan supaya bisa ada lebih banyak drone bertenaga LTE yang mengudara secara bersamaan.

Qualcomm pun juga berencana membenahi algoritma pemilihan jaringan seluler supaya drone bisa langsung terhubung ke menara BTS dengan sinyal terkuat. Singkat cerita, drone yang selalu online dan dikendalikan via jaringan LTE bukan lagi suatu khayalan, melainkan ide yang sangat viable dan siap diimplementasikan dalam waktu dekat.

Sumber: Engadget dan Qualcomm. Gambar header: Pixabay.

Dengan DJI Goggles, Anda Bisa Mengendalikan Drone Menggunakan Kepala

DJI akhirnya resmi memasarkan DJI Goggles, sebuah head-mounted display (HMD) yang diumumkan bersamaan dengan drone Mavic Pro tahun lalu. Perangkat ini bukan cuma sekadar menempatkan penggunanya pada sudut pandang pertama drone, tapi juga memberikan cara baru dalam mengendalikan drone.

Desainnya sepintas mengingatkan saya pada PlayStation VR. Headband yang mengitari kepala pengguna telah ditanami sejumlah antena, memastikan koneksi yang tetap stabil meskipun drone sedang terbang di belakang Anda. Koneksi antara Goggles dan drone juga tanpa perantara, sehingga latency-nya diklaim tidak lebih dari 110 milidetik.

DJI membekali Goggles dengan sepasang layar full-HD, masing-masing dengan sudut pandang seluas 85 derajat – kalau menurut DJI, pengalamannya mirip seperti menonton TV seukuran 216 inci dari jarak 3 meter. Video dari drone akan di-stream secara real-time dalam resolusi 1080p 30 fps (kalau jaraknya dekat), sedangkan sisanya dalam resolusi 720p 60 fps.

Bagian layarnya ini juga dapat didongakkan ke atas supaya pengguna bisa melihat kondisi di sekitarnya maupun di mana drone yang ia kendalikan berada. Cara ini tentu saja jauh lebih praktis ketimbang melepas Goggles secara menyeluruh.

Sisi kanan DJI Goggles dibekali touchpad supaya pengguna dapat langsung mengakses fitur-fitur drone seperti ActiveTrack atau TapFly / DJI
Sisi kanan DJI Goggles dibekali touchpad supaya pengguna dapat langsung mengakses fitur-fitur drone seperti ActiveTrack atau TapFly / DJI

Akan tetapi hal yang paling menarik dari DJI Goggles adalah bagaimana pengguna dapat mengendalikan drone menggunakan kepalanya, tanpa bantuan controller sama sekali. Jadi ketika Anda menoleh ke kiri, drone juga akan membelok ke kiri. Kalau menghadap ke depan, ya drone juga akan bergerak lurus.

Lebih lanjut, cara yang sama juga bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan pandangan kamera drone. Skenario ini menurut saya adalah yang paling ideal: pengguna mengendalikan pergerakan drone menggunakan controller, lalu kameranya menyesuaikan dengan pandangan pengguna.

Dalam konteks profesional, satu drone bahkan bisa dihubungkan dengan dua Goggles sekaligus. Jadi satu orang bisa mengendalikan pergerakan drone, sedangkan satu lagi bisa berfokus pada pandangan kameranya – semuanya tanpa menggunakan controller bawaan drone.

Satu orang dapat mengendalikan drone menggunakan controller, dan satu lagi mengontrol pandangan kamera dengan DJI Goggles dan kepalanya / DJI
Satu orang dapat mengendalikan drone menggunakan controller, dan satu lagi mengontrol pandangan kamera dengan DJI Goggles dan kepalanya / DJI

Di sisi kanan perangkat, terdapat touchpad untuk menavigasikan menu dan mengaktifkan sejumlah fitur drone macam ActiveTrack, TapFly, Terrain Follow, Cinematic Mode maupun Tripod Mode secara langsung. Soal baterai, Goggles diklaim bisa bertahan selama 6 jam dalam satu kali charge.

Sebagai bonus, Goggles juga dilengkapi input HDMI sehingga pengguna dapat memakainya untuk sekadar menonton video atau bermain video game. Goggles bahkan mengemas speaker untuk menyajikan audio, atau pengguna juga dapat menyambungkan headphone lewat jack 3,5 mm.

DJI Goggles akan tersedia mulai 20 Mei mendatang. Banderol harganya tidak murah, tepatnya $449, hampir separuh harga Mavic Pro itu sendiri. Selain Mavic, perangkat ini juga kompatibel dengan seri Phantom 4 dan Inspire 2.

Sumber: New Atlas dan DJI.

PolarPro Katana Sulap Drone DJI Mavic Pro Menjadi Kamera Handheld

Berbekal sensor 4K dan gimbal 3-axis, DJI Mavic Pro boleh dianggap sebagai salah satu kamera video terbaik di pasaran. Kebetulan saja kamera itu bisa terbang dan menghindari rintangan dengan sendirinya, dan lagi dimensinya cukup ringkas untuk bisa digenggam dengan satu tangan.

Melihat hal ini, wajar apabila ada yang berpikiran untuk menggunakan Mavic Pro sebagai kamera video biasa. Satu perangkat untuk mengambil video aerial sekaligus video di darat, kira-kira begitu premis sederhananya. Masalahnya, DJI mendesain Mavic Pro untuk terbang, bukan untuk dipegangi.

PolarPro Katana tak akan terasa efektif tanpa dimensi ringkas Mavic Pro sendiri / PolarPro
PolarPro Katana tak akan terasa efektif tanpa dimensi ringkas Mavic Pro sendiri / PolarPro

Tanpa grip yang mantap, sulit rasanya untuk menciptakan video yang menawan. Beruntung ada perusahaan seperti PolarPro yang punya ide unik, yakni aksesori untuk mengubah Mavic menjadi sebuah kamera handheld untuk digunakan dalam skenario sehari-hari.

Buah pemikiran mereka adalah PolarPro Katana, sebuah perangkat yang mereka sebut dengan istilah “Mavic Tray”. Cara kerjanya sederhana: selipkan drone Mavic ke tengahnya (dalam posisi lengan-lengannya terlipat tentu saja), lalu pasangkan smartphone di atas sebagai viewfinder, dan perangkat pun siap dioperasikan dengan sepasang gagang di kiri-kanannya.

Jangan sia-siakan kapabilitas kamera DJI Mavic Pro untuk video aerial saja / PolarPro
Jangan sia-siakan kapabilitas kamera DJI Mavic Pro untuk video aerial saja / PolarPro

Kehadiran kedua gagang ini, ditambah gimbal 3-axis bawaan kamera Mavic, menjadi jaminan atas hasil video yang stabil dan mulus. Satu-satunya hal yang menurut saya bakal menjadi kendala hanyalah daya tahan baterai. Namun karena baling-balingnya tidak beroperasi, saya kira Mavic dalam skenario ini bisa bertahan lebih dari 27 menit.

PolarPro Katana mungkin tidak termasuk sebagai aksesori esensial untuk Mavic Pro, akan tetapi banderol harganya yang cuma $50 menurut saya wajib menjadi pertimbangan setiap pengguna Mavic Pro. Pemikiran sederhana saya: jangan sia-siakan kapabilitas kamera Mavic Pro untuk video aerial saja.

Sumber: DPReview.

DJI Phantom 4 Advanced Gantikan Phantom 4 dengan Kamera dan Performa Lebih Superior

Sudah lewat setahun sejak DJI memperkenalkan Phantom 4, dan kini raja consumer drone tersebut sudah siap untuk merilis suksesornya. Memang bukan Phantom 5, tapi pembaruan yang dibawanya cukup signifikan hingga DJI memutuskan untuk memensiunkan Phantom 4 standar per 30 April mendatang.

Pembaruan yang paling utama terletak pada sektor kamera. Phantom 4 hanya mengemas sensor 1/2,3 inci beresolusi 12 megapixel, sedangkan Phantom 4 Advanced telah menggantinya dengan sensor 1 inci beresolusi 20 megapixel. Selain itu, Phantom 4 Advanced juga sudah dibekali dengan mechanical shutter, komponen yang absen pada Phantom 4 standar.

Phantom 4 Advanced dapat mengaktifkan lima mode penerbangan otomatis seperti yang ditawarkan Phantom 4 Pro / DJI
Phantom 4 Advanced dapat mengaktifkan lima mode penerbangan otomatis seperti yang ditawarkan Phantom 4 Pro / DJI

Meski Phantom 4 sudah bisa merekam video 4K, frame rate-nya cuma terbatas pada angka 30 fps saja. Phantom 4 Advanced rupanya juga lebih superior dalam hal ini, sanggup merekam video 4K 60 fps dengan codec H.264, atau 4K 30 fps dengan codec H.265 yang lebih efisien soal ukuran file – semuanya dalam bitrate sebesar 100 Mbps.

Bicara soal ukuran file, DJI juga sudah meningkatkan dukungan microSD pada Phantom 4 Advanced dari 64 GB menjadi 128 GB. Daya tahan baterainya juga naik sedikit dari 28 menit menjadi 30 menit.

Khusus varian Phantom 4 Advanced+, controller-nya dilengkapi layar 5,5 inci 1080p terintegrasi / DJI
Khusus varian Phantom 4 Advanced+, controller-nya dilengkapi layar 5,5 inci 1080p terintegrasi / DJI

Fitur unggulan lain Phantom 4 Advanced adalah sistem FlightAutonomy yang terdiri dari lima sensor ‘penglihatan’, obstacle avoidance system, ultrasonic rangefinder, serta GPS dan GLONASS. Sederhananya, Phantom 4 Advanced dapat mengaktifkan lima mode penerbangan otomatis (Draw, ActiveTrack, TapFly, Gesture dan Tripod), sama seperti yang ditawarkan Phantom 4 Pro.

DJI Phantom 4 Advanced bakal dipasarkan mulai tanggal 30 April dengan banderol $1.349 – lebih murah ketimbang Phantom 4 pertama kali diluncurkan. DJI juga akan menawarkan varian lain, yakni Phantom 4 Advanced+ seharga $1.649 yang datang bersama controller yang dilengkapi layar 5,5 inci 1080p terintegrasi.

Sumber: DJI.

DJI Siapkan Drone yang Lebih Kecil Lagi dari Mavic Pro

DJI Mavic Pro adalah salah satu drone berukuran mini terbaik yang bisa Anda beli di pasaran sekarang. Ia memang bukan yang paling kecil, akan tetapi DJI tampaknya sedang mempersiapkan model lain yang lebih mungil lagi berdasarkan sejumlah bocoran gambar yang beredar di jagat maya.

Drone super-mungil itu kabarnya bakal dinamai Spark, dan DJI sudah mendaftarkan trademark-nya. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, ukurannya jauh lebih kecil dari Mavic, yang notabene sudah sangat ringkas jika dibandingkan lini Phantom.

Desainnya semakin menunjukkan kalau ini benar merupakan produk DJI. Bentuk baterainya pun mirip, bahkan penutup rotornya persis seperti yang terdapat pada Mavic. Yang agak berbeda adalah gimbal tempat kameranya menancap.

Gimbal milik Spark ini kelihatannya cuma bisa bergerak ke atas atau bawah, seperti yang bisa Anda lihat pada bocoran video di bawah ini, sehingga untuk melakukan aksi panning pengguna perlu menggerakkan drone secara menyeluruh. Spesifikasi kameranya sendiri belum diketahui.

Sejauh ini belum ada kejelasan apakah DJI menempatkannya dalam kategori selfie drone atau racing drone. Informasi yang beredar baru sebatas spekulasi. Saya pribadi lebih sreg dengan ide bahwa Spark ini merupakan selfie drone karena saya kira DJI bisa menjangkau pasar yang lebih luas ketimbang racing drone.

Faktor lain yang mendukung identitas DJI Spark sebagai selfie drone adalah absennya controller dalam seluruh bocoran foto yang beredar. Bisa jadi controller-nya memang tidak sampai di tangan sang pembocor info, tapi bisa juga Spark memang tidak didampingi controller khusus dan bisa dikendalikan menggunakan smartphone.

Foto selengkapnya bisa Anda lihat langsung di situs TechCrunch di bawah ini.

Sumber: TechCrunch.