Bank Indonesia Siap Terbitkan Beleid Pelaksanaan Fintech

Bank Indonesia akan kembali menerbitkan beleid terbaru untuk mengatur pelaksanaan bisnis fintech di Indonesia. Beleid tersebut akan fokus mengatur keamanan konsumen dan fintech regulation and regulatory sandbox, tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang rencananya akan dirilis pada kuartal IV tahun ini.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan bank sentral akan mengumumkan fintech regulation and regulatory sandbox sebagai platform bagi para pemula untuk meluncurkan produk inovatif, layanan, dalam model bisnis mereka.

Penerbitan fintech regulatory merupakan bagian tugas dari bank sentral sebagai regulator untuk sistem pembayaran. Semangat yang ingin disampaikan adalah bank sentral ingin memastikan sistem pembayaran khusus pelaku fintech berjalan aman dan melindungi konsumen.

Aturan sandbox regulatory akan mengatur ketentuan bagi pelaku fintech yang kebanyakan adalah perusahaan startup yang menjadi kriteria utama BI sebelum masuk ke sandbox. Tempat tersebut, dengan kata lain, akan menjadi tempat untuk mematangkan layanan startup finansial sebelum beroperasi di tanah air.

“Semoga kuartal keempat 2017 aturan BI tentang fintech akan terbit. Kemudian menyusul bersamaan dengan itu, aturan tentang sandbox. Jadi teman-teman di bidang sistem pembayaran terkait fintech bisa mengamati bagaimana perkembangannya dan bagaimana pengaturan lebih lanjut,” terang Mirza dikutip dari Kontan.

Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menambahkan, aturan terbaru ini nantinya akan menyempurnakan dari aturan sebelumnya yang menyangkut sistem pembayaran. Dia menilai, aturan tersebut akan lebih fokus pada keamanan konsumen.

Untuk masuk ke sandbox pun, sambungnya, tidak semua perusahaan bisa lolos karena mereka sebelumnya harus melakukan pendaftaran terlebih dahulu. Penilaian BI untuk startup yang ingin mendaftar, diantaranya startup tersebut dinilai layak secara profil risiko, mitigasi risiko, dan bisnis itu sendiri.

“Jadi sandbox ini adalah suatu lingkungan di mana mereka bisa berusaha membuat inovasinya, tapi tentunya dalam batas-batas yang kami buat,” terang Eni dikutip dari CNN Indonesia.

Dia mengaku saat ini sudah ada 60 perusahaan fintech yang melakukan konsultasi dengan BI untuk mendaftar secara resmi. Sehingga, ketika aturan terbaru disahkan mereka dapat segera mendaftar.

Sebelumnya, pada akhir tahun lalu bank sentral telah mengeluarkan PBI No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Aturan tersebut mengatur, memberikan izin, dan mengawasi penyelenggaraan sistem pembayaran yang dilakukan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan Penyelenggara Transfer Dana.

Maybank Luncurkan Platform Sandbox Fintech di Asia Tenggara

Dalam rangka mengawal besarnya potensi fintech di ASEAN, Maybank resmikan peluncuran regional platform sandbox fintech untuk memberikan kesempatan bagi startup menguji dan mengembangkan ide baru.

Platform ini adalah ekosistem fintech yang menyediakan semua komponen penting secara cuma-cuma, mulai dari environment, simulasi data, API, dan tools. Serta, peluang kolaborasi dengan berbagai kalangan seperti akademisi, pebisnis, dan pengembang lainnya yang berlokasi di regional bahkan di seluruh dunia, menciptakan solusi end-to-end dalam suatu ekosistem yang mendukung semua tren teknologi terbaru semisal digital, IoT, sosial, cloud, dan open source.

Ide yang ditawarkan dari Maybank Sandbox itu sendiri adalah layanan baru, produk, sarana, game atau code fix. Ide tersebut dapat dibuat oleh siapapun yang biasa menyediakan informasi penting seperti high level scope dan use cases.

Pengembang dapat mengakses sandbox dan melakukan pencarian ide yang menarik, bekerja sendiri, maupun berkolaborasi dengan berbagai pengembang. Setelah solusi ditemukan, pengembang tersebut dapat mempublikasikan solusi itu kembali kepada pembuat ide.

Group President dan CEO Maybank Datuk Abdul Farid Bin Alias mengatakan industri fintech di ASEAN memiliki banyak potensi dan talenta. Maka dari itu, Maybank Sandbox menjadi platform yang mengisi kesenjangan tersebut dengan menyediakan sarana dan kemampuan untuk berkolaborasi dengan para talenta yang cerdas di ASEAN.

Farid menyebutkan meskipun banyak negara ASEAN telah lakukan investasi dalam mengembangkan dan membesarkan fintech, pertumbuhannya masih lebih lambat dibandingkan dengan negara mapan seperti Amerika Serikat dan Eropa.

“Memiliki ide hebat saja tidak cukup untuk menjual sebuah produk. Fintech harus dapat mengembangkan Minimum Viable Product (MVP) untuk menarik investasi dan pendanaan yang tepat. Pada fase inilah, fintech banyak mengalami tantangan pada kemampuan untuk mengubah ide menjadi MVP yang berhasil,” kata Farid dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.

Tak hanya menyediakan ekosistem yang aman, Maybank Sandbox juga menyediakan pengembangan real banking API’s untuk terhubung dan memanfaatkan fungsi-fungsi perbankan yang ada. Platform ini menawarkan data perbankan simulasi untuk analisis dan simulasi, serta sarana pengembangan yang memungkinkan mereka untuk membuat web dan aplikasi mobile yang baru.

“Platform ini memungkinkan para anggota tim dari berbagai negara untuk berkolaborasi dalam sebuah virtual environment yang sama, meningkatkan kerja sama di regional melalui pertukaran ide dan keahlian. [..] Secara tampilan dikembangkan dengan UX yang intuitif, disederhanakan, dan dilengkapi berbagai fungsi demi memastikan kemudahan untuk pengguna dari kalangan non teknis dan ahli,” terang Maybank Group CTO Mohd Suhail Amar Suresh.

Terkait hal di atas, Presiden Direktur Maybank Indonesia Taswin Zakaria menuturkan pengembangan fintech adalah salah satu fokus perbankan agar bisnis dapat terus beriringan. Sejauh ini Maybank Indonesia baru ikut terlibat dalam sebagai mitra dari Endeavor Scale Up Clinic untuk coaching startup fintech.

“Kami terlibat untuk support Endeavor Scale Up Clinic untuk coaching banyak fintech startup, termasuk kerja sama pembiayaan maupun payment solution,” katanya kepada DailySocial.

Regulatory sandbox masih digodok Bank Indonesia

Di Indonesia sendiri, inisiatif fintech sandbox diwujudkan oleh Bank Indonesia dengan menerbitkan aturannya yang saat ini masih terus digodok. Regulatory sandbox adalah salah satu inisiatif regulator saat pendirian BI Fintech Office pada akhir tahun.

“[Regulatory sandbox] akhir diterbitkan dalam waktu dekat,” ucap Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng.

Sembari menggodok aturan, BI Fintech Office rutin mengadakan pertemuan dan konsultasi dengan pelaku fintech setiap minggunya. Diklaim, sejak BI FTO didirikan hingga Mei 2017 telah menerima sekitar 60 pelaku fintech yang berkonsultasi.

“Mereka kami terima untuk berkonsultasi tentang produk, layanan, dan model bisnis mereka,” tutur Head of Fintech Office BI Junanto Herdiawan.

Mengapa Bank Indonesia Perlu Mendirikan Fintech Office?

Bank Indonesia (BI) pada 14 November 2016 telah meresmikan BI Fintech Office (BI-FTO). Peresmian ini pada dasarnya dilatar belakangi oleh pertumbuhan pelaku usaha rintisan (startup) di bidang fintech yang cukup pesat.

Pelaksana Tugas Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia Junanto Herdiawan menerangkan berdasarkan dari total nilai transaksi fintech yang dihimpun oleh Statista pada tahun lalu diperkirakan telah menembus angka US$15,02 miliar atau tumbuh 24,6% secara year-on-year (yoy).

BI menilai pertumbuhan ini di satu sisi sangat baik karena dapat mendukung bergeraknya perekonomian nasional. Pasalnya fintech memiliki ciri inovatif yang dapat membantu penyelesaian masalah nasional, seperti ketahanan pangan, inklusi finansial, pengangguran, hingga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Pelaku fintech memiliki cara untuk bekerja dengan memanfaatkan teknologi dan menjawab berbagai masalah di lapangan.

“Kami memandang, pertumbuhan fintech ini perlu terus didukung dengan tetap memerhatikan unsur kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Oleh karena ini, BI meluncurkan BI-FTO untuk memberi ruang bagi inovasi di bidang fintech dengan menjaga level of playing field yang setara lewat rezim regulasi yang berimbang dan proporsional,” tuturnya kepada DailySocial.

Ada empat fungsi BI-FTO dalam bekerja, yakni sebagai fasilitator/katalisator bagi para pelaku startup, menjalankan business intelligence dengan terus meng-update perkembangan di dunia internasional, melakukan kajian dan assessment atas berbagai tema di bidang fintech, dan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pengambil kebijakan, industri, dan pelaku fintech.

Ruang lingkup kegiatan dan rencana kerja BI FTO

Pelaksana Tugas Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia Junanto Herdiawan
Pelaksana Tugas Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia Junanto Herdiawan

Ada dua regulator yang bertugas menjaga industri keuangan Indonesia, yakni BI dan OJK. Kedua pihak ini memiliki tugas yang berbeda, namun perlu koordinasi satu sama lainnya agar tidak saling tumpang tindih.

Junanto, yang lebih akrab disapa Iwan, menjelaskan jika dilihat berdasarkan jenis usahanya. Perusahaan fintech dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu (1) payment, clearing, dan settlement; (2) deposit, lending, dan capital raising; (3) market provisioning, dan (4) investment dan risk management.

Dari keempat kategori tersebut, sekitar 56% perusahaan fintech di Indonesia bergerak di kategori pertama. Adapun kategori ini termasuk dalam ranah kawasan Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran.

“Namun karena dalam praktiknya ada beberapa pelaku fintech yang bergerak di perbatasan kategori tersebut, koordinasi dengan lembaga/kementerian terkiat jadi penting. Terlihat dari peraturan yang dikeluarkan BI yakni PBI PTP mengatur (salah satunya) perkembangan penyelenggara jasa sistem pembayaran berbasis TI. Sementara OJK mengeluarkan POJK tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis TI.”

Iwan melanjutkan salah satu bentuk rill yang akan diwujudkan dari BI FTO adalah meluncurkan regulatory sandbox pada pertengahan tahun ini. Hal ini adalah semacam wahana bagi pelaku fintech untuk mencoba inovasinya secara terbatas dalam pengawasan dan monitoring BI.

Menurut Iwan, pada umumnya pelaku startup memiliki inovasi yang mungkin belum sepenuhnya berada dalam wilayah pengaturan, atau belum memenuhi kriteria tertentu.

“Dalam sandbox itu kami akan melakukan assessment dan evaluasi apakah sebuah inovasi berjalan atau tidak. Tentu saja hal-hal yang tetap kami perhatikan adalah kehati-hatian, keamanan, dan perlindungan konsumen.”

Regulatory sandbox adalah pendekatan yang dilakukan oleh berbagai negara maju dalam membendung inovasi sistem dan bisnis fintech sebelum dioperasikan secara penuh. Pelopornya adalah Inggris, kemudian ditiru oleh Australia, Hongkong, Singapura, dan Malaysia.

Iwan menjelaskan nantinya dalam implementasi regulatory sandbox tidak akan mengikuti sepenuhnya dari apa yang dilakukan berbagai negara. Akan tetapi akan ada proses perbandingan dan dipilih sesuai dengan kondisi dan inovasi yang diperlukan oleh Indonesia.

Selain regulatory sandbox, pada tahun ini BI FTO akan melakukan beberapa kajian tentang fintech, mengadakan acara edukasi, dan sosialisasi mengenai fintech kepada masyarakat di beberapa daerah.