[Review] Lenovo Yoga Slim 7i Fabric Cover, Beda Dari Yang Lain

Pada awal bulan November ini saya kedatangan laptop premium unik yaitu Lenovo Yoga Slim 7i versi fabric cover. Model yang satu ini limited edition, jadi ketersediaannya terbatas dan akhiran i berarti ditenagai oleh prosesor Intel Core generasi ke-10.

Lalu, apa bedanya dengan Lenovo Yoga Slim 7i versi standar? Pertama material cover-nya, sesuai namanya penutup depan laptop ini menggunakan bahan kain yang membuatnya tampil beda, mewah, dan stand out tak seperti kebanyakan laptop yang ada. Untuk versi standar, cover-nya terbuat dari full metal.

Selain itu, yang membedakan selain lapisan cover ialah bagian layarnya. Di mana khusus untuk edisi fabric cover layarnya mendukung touchscreen, sisanya secara keseluruhan tidak ada perbedaan spesifikasi.

Untuk harganya, Lenovo Yoga Slim 7i versi fabric cover dengan prosesor Intel Core i7-1065G7 generasi ke-10 ini dibanderol Rp19.599.000 atau lebih mahal Rp1.350.000 dibanding versi full metal dengan spesifikasi yang sama.

Nah karena cover-nya dari kain, kalau misalnya kotor bagaiamana boleh dicuci tidak? Buat yang penasaran, simak review Lenovo Yoga Slim 7i fabric cover selengkapnya berikut.

Desain Mewah

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-2
Fabric Cover Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Lenovo merancang fabric cover ini dengan detail dan presisi, bahan fabric/textile yang digunakan pun tahan terhadap api dan anti noda. Jadi cover kainnya bukanlah aksesori terpisah, tidak bisa dilepas maupun diganti apalagi dicuci, melainkan menyatu sepenuhnya dengan bodi aluminium.

Yang pasti perawatan Yoga Slim 7i versi fabric cover ini menuntut perlakuan khusus para penggunanya. Di dalam paket penjualannya, Lenovo memberi beberapa tips pemakian dan cara membersihkannya.

Antara lain jaga perangkat tetap kering saat digunakan dan disimpan. Hindari penggunaan di tempat yang memiliki suhu tinggi, paparan matahari secara langsung, dan hujan. Jauhkan dari benda yang rawan meninggalkan bekas noda dan simpan sebaik mungkin hindari dari benda tajam atau kasar untuk mencegah kain tergores atau sobek.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-3
Fabric Cover Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Kalau kotor bagaimana? Seka menggunakan kain lembut dan kering untuk membersihkan permukaan dan bila perlu basahkan sedikit kainnya. Menurut Lenovo, kain yang di sekitar tepi dan sudut layar relatif lebih rapuh, jadi hindari menggosok berulang kali di area tersebut.

Edisi fabric cover ini tersedia dalam warna slate grey saja, balutan warna lain seperti orchid dan dark moss tersedia untuk versi full metal. Dengan dimensi 320,6×208,18 mm dan ketebalan 14,9 mm, serta berat 1,43 kg. Ukuran bodinya sangat ringkas dan relatif cukup ringan.

Untuk konektivitas nirkabel, Yoga Slim 7i dibekali sudah WiFi 6 (2×2 802.11 ax) dan Bluetooth 5.0. WiFi 6 ini menawarkan latensi 75% lebih rendah daripada AC WiFi standar untuk streaming lebih lancar dan online surfing bebas buffering.

Untuk I/O port-nya, di sebelah kanan laptop terdapat slot microSD card reader, dua port USB-A 3.2 Gen 1, dan tombol power. Sedangkan, di samping kiri ada power in berbentuk port Type-C (PD 3.0), HDMI 2.0b, port Type-C Thunderbolt (USB 3.2 Gen 2 + DisplayPort 1.4b + PD 3.0), dan audio combo jack.

Layar & Keyboard

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-6
Layar Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Saat laptop dibuka, terbentang layar 14 inci yang sedap dipandang berkat desain edge-to-edge dalam footprint 13 inci dan engsel bisa ditekuk hingga sudut 180 derajat. Bezel tepi layarnya terutama sisi kanan kirinya sangat tipis dan memiliki screen-to-body ratio mencapai 90%.

Layar 14 incinya ini ditopang resolusi 1920×1080 piksel menggunakan panel IPS. Layarnya sudah mendukung 100% sRGB, dengan tingkat kecerahan 300 nits, dan memiliki lapisan direct-bond glass yang dapat mengurangi pantulan.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-7
Webcam Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Posisi webcam berada di sisi atas bagian tengah dan dilengkapi dengan inframerah untuk facial recognition dengan dukungan Windows Hello. Fitur ini membuat proses masuk ke dalam sistem menjadi lebih praktis, tanpa perlu mengetikkan password.

Lenovo juga menyematkan fitur-fitur tambahan Smart AI seperti Smart Display yang mengenali ketika pengguna memalingkan muka dan secara otomatis menutupi konten di layar untuk keamanan tambahan. Serta, Snap Window yang memindahkan konten dari layar ke monitor yang terhubung hanya dengan menoleh.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-8
Keyboard Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Keyboard Yoga Slim 7i memiliki desain chiclet tanpa numpad dengan tampilan khas Lenovo dan dilengkapi backlit berwarna putih. Pengalaman mengetik dengan keyboard Yoga Slim 7i terasa nyaman, punya tactile–feedback dan responsif terhadap tekanan jari.

Kemudian pada bagian tengah dari palm rest terdapat touchpad yang cukup besar, letaknya sejajar dengan tombol space sehingga tidak mudah tersentuh tangan saat mengetik. Dilengkapi dengan driver Microsoft Precision dan memiliki beberapa fungsi gesture yang bisa diaplikasikan untuk kontrol dan navigasi.

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-9
Touchpad Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Pada sisi kanan dan kiri keyboard terdapat dual speaker 4.0W yang didukung teknologi Dolby Audio menggunakan teknologi virtualiser surround untuk membuat audio tiga dimensi. Keluaran suaranya cukup lantang karena speaker tersebut menghadap ke atas sehingga tidak tertahan dan terdengar tetap jernih meski di volume tertinggi.

Hardware – Intel Core Ice-lake

Untuk spesifikasi, Lenovo Yoga Slim 7i sudah mengadopsi prosesor Intel Core Ice-lake generasi ke-10 yang lebih cerdas beradaptasi dengan para penggunanya. Sebab prosesor ini dioptimalkan dengan teknologi machine-learning untuk kinerja intuitif sesuai dengan kebutuhan.

 

Ada dua konfigurasi yang tersedia, varian dasar menggunakan prosesor Intel Core i5-1035G1 dengan RAM 8GB LP4X 3200 MHz dan storage 512GB SSD M.2 2280 NVME TLC. Varian top-nya menggunakan Intel Core i7-1065G7 dengan RAM 16GB LP4X 3200 MHz dual-channel, dan storage 1TB M.2 2280 NVME TLC.

Prosesor irit daya ini menggunakan fabrikasi 10nm dengan GPU terintegrasi Intel Iris Plus Graphics yang dapat menangani pengeditan video 4K dan pemprosesan foto beresolusi tinggi. Serta, kartu grafis diskrit NVIDIA GeForce MX350 2GB G5 yang menyediakan akselerasi grafis tambahan saat bermain game atau menjalankan tugas berat lainnya.

Khusus Lenovo Yoga Slim 7i fabric cover hanya tersedia dalam satu varian saja, yaitu dengan Intel Core i7-1065G7. Prosesor ini memiliki konfigurasi 4 core 1,3 GHz dan 8 thread, serta thermal design power 15 Watt. Berikut hasil benchmark-nya.

No Pengujian Skor
1 GeekBench 4 Single Core 1177
2 GeekBench 4 Multi Core 3877
3 PCMark 10 4275
4 Cinebench R15 705
5 Cinebench R20 1694
6 3DMark Sky Diver 12047
7 3DMark Cloud Gate 11837
8 3DMark Fire Strike 3701

Dengan baterai berkapasitas besar 60 Whr, Lenovo mengklaim daya tahan baterai laptop ini dapat bertahan hingga 14 jam. Lengkap dengan Rapid Charge Pro yang dapat mengisi baterai hingga 50% hanya dengan waktu pengisian 30 menit dan 80% dalam satu jam. Selain berkat kombinasi hardware yang hemat daya, itu juga berkat fitur Intelligent Cooling mode, cooling menggunakan AI ini dapat memperpanjang masa pakai baterai hingga rata-rata 15%-20%.

Verdict

Review-Lenovo-Yoga-Slim-7i-Fabric-Cover-16
Lenovo Yoga Slim 7i | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Lenovo merancang Yoga Slim 7i ini untuk para pekerja modern yang mencari laptop premium bodi ringkas dengan desain stylish. Namun memiliki performa yang powerful sesuai dengan lifestyle mereka yang sibuk.

Tak hanya sekedar tampil menawan dan cepat, Yoga Slim 7i juga dilengkapi fitur-fitur berbasis AI. Guna memberikan pengalaman yang lebih cerdas untuk membantu penggunanya agar lebih efektif dan efisien dalam pekerjaan sehari-hari.

Untuk Lenovo Yoga Slim 7i fabric cover merupakan limited edition, mewah dan beda dari yang lain. Seperti yang saya bilang di awal, perbedaannya dengan versi standar atau full metal terletak pada material cover dan penggunaan layar sentuh, sisa spesifikasinya identik.

Versi fabric cover atau full metal, keduanya memiliki pesonanya sendiri dan balik lagi ke selera masing-masing. Tentunya edisi fabric cover butuh perawatan ekstra untuk menjaganya tetap indah.

Untuk konfigurasi prosesor Intel Core i7-1065G7, versi fabric cover dibanderol Rp19.599.000 dan Rp18.249.000 untuk versi full metal, harganya memang tergolong sangat tinggi. Menurut saya konfigurasi Intel Core i5-1035G1 yang dibanderol Rp14.399.000 adalah opsi terbaik, performanya masih cukup kencang untuk komputasi sehari-hari.

Lagi pula, bila Anda membutuhkan performa yang lebih tinggi lagi. Saya pikir lebih cocok memilih laptop gaming seperti Lenovo Legion 5i karena menggunakan prosesor Intel Core tipe high performance graphics.

Sparks

  • Fabric cover yang tampil beda
  • Dimensi bodi ringkas dan build quality premium dengan kerangka alumunium
  • Prosesor Intel Core generasi ke-10 yang powerful dan dibekali fitur cerdas
  • Khusus edisi fabric cover memiliki panel touchscreen

Slacks

  • Fabric cover menuntut perawatan ekstra
  • Harganya tinggi

[Review] Samsung Galaxy S20 FE, Versi Hemat Bawa Fitur Inti S20 Series

Samsung Galaxy S20 series yang terdiri dari Galaxy S20, S20+, dan S20 Ultra – resmi hadir di Indonesia pada bulan Maret 2020. Namun belum lama ini, Samsung kembali memperkenalkan satu lagi anggota baru keluarga Galaxy S20 series yaitu edisi Fan Edition (FE).

Kalau kata Samsung, Galaxy S20 FE ini merangkum fitur-fitur favorit penggemar untuk mengajak lebih banyak orang mendapatkan pengalaman premium dari lini Galaxy S. Dibanderol dengan harga Rp9.999.000, selisih harganya memang cukup tipis. Sebagai pembanding, saat ini Galaxy S20 dijual Rp10.999.000, S20+ Rp11.999.000, dan S20 Ultra Rp14.999.000.

Sayangnya bila Galaxy S20 FE dibandingkan dengan Galaxy S20 original, Samsung melakukan banyak sekali penyesuaian di sana sini. Meski tetap mempertahankan beberapa bagian-bagian penting agar layak menyandang nama ‘S20’.

Jadi, mending pilih Galaxy S20 FE atau lebih baik sekalian beli Galaxy S20 original? Simak review Samsung Galaxy S20 FE selengkapnya.

Desain

Review-Samsung-Galaxy-S20-FE-2
Desain Samsung Galaxy S20 FE | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Samsung Galaxy S20 FE datang dengan pilihan enam warna vibrant, meliputi Cloud Red, Cloud Orange, Cloud Lavender, Cloud Mint, Cloud Navy, dan Cloud White. Unit yang saya review berwarna Cloud Mint, hijau muda pastel yang tampil kekinian dan minimalis.

Bagian punggungnya menggunakan material plastik dengan finishing matte dan memiliki efek textured haze yang terasa cukup premium saat disentuh, serta dapat meminimalisir noda dan bekas sidik jari. Modul kamera belakangnya agak menonjol dan dibingkai persegi panjang dengan warna senada (macam dark green).

Hadir dengan dimensi 159.8×74.5×8.4 mm dan bobot 190 gram, ukuran Galaxy S20 FE terasa klop dalam genggaman tangan. Bingkainya dari aluminium dan bodinya tetap memiliki daya tahan terhadap air dan debu berkat sertifikasi IP68.

Review-Samsung-Galaxy-S20-FE-3
Layar Samsung Galaxy S20 FE | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Balik ke depan, Galaxy S20 FE mengusung desain Infinity-O Display dengan punch hole kecil di bagian tengah atas. Bezel tepi layarnya terlihat sedikit lebih tebal dibanding Galaxy S20 dan desain layarnya ini sepenuhnya datar tidak memiliki lengkungan di sisi kanan kirinya.

Untuk atributnya, tombol power dan volume berada di sisi kanan, sisi sebrangnya polos. Slot kartu SIM dan microSD yang digunakan berbentuk hybrid, bersama mikforon sekunder di bagian atas. Sementara, mikrofon utama, port USB Type-C, dan speaker terletak di bagian bawah.

Layar Refresh Rate 120Hz

Review-Samsung-Galaxy-S20-FE-9
Layar Samsung Galaxy S20 FE | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Dari sisi layar, Galaxy S20 FE masih dibekali panel dengan refresh rate tinggi 120Hz. Bentang layarnya 6,5 inci dalam rasio 20:9, ukurannya lebih besar dibanding Galaxy S20 (6,2 inci) tetapi lebih kecil dibanding versi Plus-nya (6,7 inci).

Namun Samsung tidak menggunakan teknologi layar terbaiknya, Galaxy S20 FE belum menggunakan Dynamic AMOLED 2X, melainkan masih Super AMOLED. Resolusinya pun tidak sampai QHD (1440×3200 piksel), tetapi hanya Full HD+ (1080×2400 piksel). Perlindungan layarnya juga sebatas Gorilla Glass 3, bukan generasi ke-6.

Bukan berarti kualitasnya jelek, hanya saja spesifikasi yang diusung lebih mendekati Galaxy A series. Di pengaturan layar, terdapat opsi ‘motion smoothness‘ yaitu high 120Hz yang menyuguhkan animasi dan scrolling lebih mulus atau standard 60Hz yang dapat memberikan daya tahan baterai lebih lama.

Kemudian ada dua screen mode, vivid yang bisa diatur lagi tingkat white balance-nya atau natural bila lebih mementingkan akurasi warna. Layarnya juga sudah mendukung HDR10+ dan memiliki sertifikasi Widevine Level 1. Konten video HDR di YouTube sudah bisa dinikmati dan bisa streaming konten HD di Netflix.

Android 10, One UI 2.5

Samsung Galaxy S20 FE sudah menggunakan One UI versi 2.5 berbasis Android 10 dan di masa depan akan mendapatkan tiga pembaruan OS utama. Berbagai fitur andalan Samsung menyertainya, termasuk Samsung Dex Wireless yang memungkinkan melakukan mirror tampilan smartphone ke layar yang lebih besar seperti SmartTV yang mendukung teknologi Miracast dan Anda dapat menggunakan Galaxy S20 FE sebagai touchpad.

Kemudian Link to Windows untuk mengintegrasikan Galaxy S20 FE dengan laptop Windows 10 secara seamless. Untuk kemudahan berbagi file ada fitur Nearby Share, Quick Share, Music Share, dan Scann QR code. Fitur lainnya ialah Smart View, Secure Folder, Edge Lighting, Bixby Routines, Focus Mode, Samsung Kids, Dolby Atmos, dan banyak lagi.

Sistem keamanan biometrik smartphone ini mengandalkan sensor fingerprint yang tersemat di layar berjenis optical dan tak lupa juga opsi face recognition, proses buka kunci kedua opsi tersebut relatif cepat. Konektivitas NFC dan fitur Samsung Pay juga tersedia, Anda dapat menghubungkan dompet digital Dana dan juga mengecek kartu e-money.

Kamera

Review-Samsung-Galaxy-S20-FE-18
Kamera Samsung Galaxy S20 FE | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Sebagai bagian dari keluarga Galaxy S20 series, Samsung tetap mempertahankan kamera utama yang sama dan lengkap dengan berbagai fitur premiumnya. Terdapat tiga unit kamera di punggung Galaxy S20 FE, kamera utamanya 12MP f/1.8 dengan ukuran sensor 1/1.76 inci, piksel 1.8µm, dilengkapi sistem Dual Pixel PDAF, dan OIS.

Dua kamera lainnya mengalami penyesuaian, kamera dengan lensa ultrawide yang digunakan juga 12MP f/2.2 yang menyuguhkan bidang pandang 123 derajat. Namun menggunakan sensor kamera lebih kecil 1/3.0 inci dengan ukuran per piksel 1.12µm.

Demikian juga lensa telephoto-nya, Galaxy S20 FE mengandalkan kamera 8MP f/2.0 (1/4.5 inci, 1.0µm, PDAF, dan OIS) dengan lensa 73mm yang memberikan kemampuan memperbesar gambar 3x optical zoom dan 30x space zoom. Satu lagi kamera depannya juga berbeda, Galaxy S20 FE menggunakan sensor Sony IMX616 beresolusi 32MP f/2.2.

Dengan kamera utamanya yang sama dan dilengkapi fitur kamera Pro yang komplet, pengalaman fotografi premium berhasil disuguhkan oleh smartphone ini. Mulai dari single take, night, food, panorama, live focus, live focus video, slow motion, super slow-mo, hyperlapse, Pro, Pro video, Bixby Vision, AR Zone, dan lainnya.

Favorit saya tentu mode foto Pro, di mana kita bisa mengatur berbagai parameter seperti ISO, shutter speed, exposure compensation, manual focus, white balance, autofocus area, metering, hingga semacam profil yang memungkinkan menyetel tint, contrast, saturation, highlight, dan shadow. Kita juga bisa menyimpan foto dalam format Jpeg + Raw, sehingga potensi untuk meningkatkan kualitas foto lebih tinggi lewat post processing.

Namun yang lebih mengejutkan ialah kemampuan perekam videonya, Galaxy S20 FE memang tidak dapat merekam video 8K tetapi bisa 4K pada frame rate 60fps dan memiliki mode video Pro. Rumus seperti shutter speed harus 2x frame rate bisa diterapkan di sini, sebab bisa atur ISO, shutter speed, dan frame rate sendiri.

Biar video tampil lebih sinematik, ada opsi rasio lebar 21:9. Mikrofon yang digunakan juga bisa dipilih, selain mikrofon bawaan kita bisa memilih mikrofon eksternal yang dicolok lewat USB, atau TWS yang terhubung lewat Bluetooth.

Fitur manual focus juga mudah digunakan dan dilengkapi focus peaking. Serta, ada histogram dan fitur zoom hingga 10x untuk mendapatkan variasi gambar. Yang jelas, dengan semua fitur di atas saya cukup percaya diri bisa menghasilkan video yang layak dengan smarthphone ini.

Hardware dan Performa

Versi Samsung Galaxy S20 FE yang masuk Indonesia menggunakan chipset Exynos 990, performanya satu level seperti Galaxy S20, S20+, dan S20 Ultra. Sangat kuat untuk berbagai tugas sehari-hari, bahkan aktivitas yang menuntut seperti editing foto maupun video hingga gaming berat sekalipun.

SoC Exynos 990 ini dibangun pada proses fabrikasi 7nm+, mengemas CPU octa-core yang terdiri dari 2x 2.73 GHz Mongoose M5, 2x 2.50 GHz Cortex-A76, dan 4x 2.0 GHz Cortex-A55. Bersama GPU Mali-G77 MP11 dan ditopang oleh RAM 8GB dengan penyimpanan internal 128GB.

Galaxy S20 FE memiliki tangki baterai dengan kapasitas cukup besar, 4.500 mAh. Mendukung fast charging 25W, fast wireless charging 15W, dan reverse wireless charging 4.5W. Sayangnya dalam paket penjualan, Galaxy S20 FE ini hanya dibekali adaptor Adaptive Fast Charging tipe lawas dengan output maksimal 15W dan kabel data yang digunakan memiliki interface USB-A ke USB-C. Untuk mengisi penuh baterainya dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam lebih.

Verdict

Review-Samsung-Galaxy-S20-FE-26
Unboxing Samsung Galaxy S20 FE | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Samsung Galaxy S20 edisi Fan Edition merupakan versi terjangkau dari Galaxy S20, meski selisih harganya cukup tipis hanya sekitar Rp1 jutaan saja. Namun sangat disayangkan banyak sekali penyesuaian yang terjadi di sana sini.

Beberapa bagian inti memang masih dipertahankan oleh Samsung. Sebut saja performa yang sama kuatnya, layarnya punya refresh rate tinggi 120Hz meski tak pakai teknologi layar terbaik Samsung, dan kemampuan kameranya meski konfigurasinya mengalami perubahan tetapi masih dapat diandalkan.

Lantas apakah smartphone ini pantas menyandang nama besar lini Galaxy S? Jawabannya tetap iya, ini smartphone flagship dengan harga yang lebih bersahabat khusus untuk para penggemar Samsung. Posisinya saja yang berat, tetapi masih merupakan smartphone yang menarik. Meskipun terus terang saya akan lebih merekomendasikan Galaxy S20 original untuk mendapatkan pengalaman premium yang sebenarnya.

Sparks

  • Layar dengan refresh rate 120Hz
  • Kamera utama 12MP yang sama
  • Fitur kamera dan video lengkap
  • Chipset Exynos 990 yang powerful

Slacks

  • Banyak pemangkasan di sana sini, seperti yang dijelaskan di atas
  • Dilengkapi adaptor charging tipe lama
  • Harga terlalu dekat dengan Galaxy S20 original

 

[Review] Samsung Galaxy M51, Jagokan Baterai Jumbo 7.000 mAh & Performa Mumpuni

Lewat Galaxy M series, Samsung berupaya menghadirkan smartphone dengan titik harga dan performa terbaik. Membawa tagline #SobatAntiLowbat, kapasitas baterai besar menjadi identitas dari seri ini dan yang terbaru; Galaxy M51 mengemas baterai 7.000 mAh.

Smartphone yang dijual seharga Rp5.499.000 ini tak hanya bermodalkan baterai jumbo. Di atas kertas, aspek lain seperti layar, kamera, dan performa juga tidak akan mengecewakan, karena dicomot langsung dari Galaxy A71 yang merupakan smartphone A series paling top saat ini. Namun guna menekan harga agar lebih terjangkau, Samsung mau tidak mau harus mengorbankan beberapa hal, apa saja itu? Berikut review Samsung Galaxy M51 selengkapnya.

Desain Klasik

Desain-Samsung-Galaxy-M51-1
Desain Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Penggunaan baterai besar tentu membuat bodi Galaxy M51 cukup gemuk, ketebalannya di angka 9,5mm belum termasuk case dan bobotnya 213 gram. Bahkan tonjolan modul kamera belakangnya hampir sama rata dengan permukaan punggungnya.

Desainnya klasik, bagian muka mengemas Infinity-O display berukuran 6,7 inci dengan lubang kamera depan di dahi. Sementara, bingkai dan bagian belakangnya terbuat dari material plastik dengan finishing glossy polos tanpa motif. Saat proses foto dan syuting Galaxy M51, saya harus rajin-rajin membersihkan noda atau bekas sidik jari yang sangat mudah menempel.

Layar-Samsung-Galaxy-M51-1
Layar Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Saat dibandingkan dengan Galaxy A71, Galaxy M51 memang terlihat sedikit lebih tebal meski panjang dan lebarnya mirip. Menurut saya, ketebalan 9,5mm ini masih tergolong wajar dan justru terasa mantap dalam genggaman tangan. Meski beratnya mungkin akan sedikit merepotkan saat digunakan dalam durasi lama.

Samsung memangkas kelengkapan seperti earphone, case, dan anti gores dalam paket penjualan guna menekan harga. Menurut Samsung, meski case dan anti gores penting untuk menjaga perangkat dalam penggunaan sehari-hari, tetapi aksesori tersebut bisa dengan mudah dibeli secara terpisah.

Selain itu, Samsung juga mengambil fitur premium fingerprint under display digantikan sensor sidik jari konvensional yang terintegrasi dengan tombol power yang terletak di samping kanan. Kabar baiknya, performa kecepatan dan keakuratan dalam membuka kunci layar jauh lebih cepat.

Untuk atributnya, selain tombol power di samping kanan juga terdapat tombol volume dan SIM tray berada di sisi sebrangnya yang terdiri dari dua slot kartu SIM dan satu microSD. Di atas ada mikrofon sekunder, serta di sisi bawa ada jack audio 3,5mm, port USB Type-C, mikrofon utama, dan speaker.

Layar Terbaik di Kelasnya

Layar-Samsung-Galaxy-M51-2
Layar Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Bentang layar 6,7 inci milik Galaxy M51 mengandalkan panel Super AMOLED Plus dengan resolusi 1080×2400 piksel dalam rasio 20:9 dan diproteksi Gorilla Glass 3. Kualitas layarnya ini salah satu yang terbaik di kelas menengah, khas AMOLED yang dapat menampilkan warna hitam pekat, kontras tinggi, dan warna-warna cerah secara lebih menonjol.

Di pengaturan terdapat screen mode, bagi yang kerap edit foto di smartphone dan butuh keakuratan warna bisa memilih mode natural. Sementara, bagi penikmat konten multimedia seperti nonton video atau bermain game akan lebih dimanjakan dalam mode vivid. Dark mode dan fitur blue light filter juga tersedia untuk menyaring cahaya biru agar ramah dilihat mata.

Layarnya juga sudah dilengkapi dengan sertifikasi Widevine L1 yang memungkinkan menikmati konten HD saat streaming di aplikasi Netflix. Anda juga bisa menikmati video HDR di YouTube, pengalaman saya menonton video HDR 1080p 60fps di Galaxy M51 terasa sangat mengesankan.

Selain itu, layarnya ternyata memiliki tingkat kecerahan maksimum lebih tinggi dibanding layar Galaxy A71. Bagi yang kerap bekerja di lapangan, layar yang terang ini penting agar smartphone tetap nyaman ketika dipakai di bawah terik matahari.

Kombinasi baterai besar membuat kita tak perlu khawatir akan cepat kehabisan daya ketika menggunakan kecerahan maksimum. Lalu apa yang kurang? Samsung masih mengandalkan panel dengan refresh rate standar 60Hz, padahal di segmen ini para kompetitornya sudah mulai menawarkan layar dengan refresh rate tinggi 90Hz atau 120Hz.

One UI Core 2.1

Beralih ke antarmuka, Samsung Galaxy M51 ini menjalankan One UI Core versi 2.1 berbasis Android 10. Bedanya apa dengan One UI yang standar? Ini adalah versi yang lebih basic dari One UI, jadi beberapa fitur tidak tersedia.

Penggunaan One UI Core juga salah satu cara Samsung menekan harga dan sekaligus menjadi pembeda dengan Galaxy A series yang lebih mahal. Dibanding One UI 2.1 di Galaxy A71, saya menemukan beberapa fitur yang hilang antara lain Bixby, Secure Folder, Link to Windows, Edge Lighting, Samsung Kids, dan mungkin ada lagi yang lain.

Mungkin pemangkasan beberapa fitur bawaan Samsung ini akan mempengaruhi pengalaman pengguna, tetapi perbedaannya tidak begitu signifikan. Untuk antarmukanya juga semakin matang, sangat intuitif, dan mudah digunakan dengan ikon dan elemen menu berukuran besar.

Galaxy M51 sendiri merupakan smartphone Galaxy M series pertama yang memiliki konektivitas NFC, fitur ini dianggap semakin penting ke depannya. Fitur Samsung Pay juga tersedia yang memungkinkan lebih cepat melakukan pembayaran dengan teknologi QR menggunakan dompet digital Dana.

Quad Camera dengan Kamera Utama 64MP

Kamera-Samsung-Galaxy-M51-1
Kamera Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Beralih ke sektor fotografi, Galaxy M51 dibekali empat unit kamera belakang dengan kamera utama 64MP f/1.8 menggunakan sensor Sony IMX682 berukuran 1/1.73 inci dan piksel 0.8µm. Sensor ini mengadopsi teknologi Quad Bayer, di mana hasil optimalnya secara default 16MP dengan piksel besar 1.6µm atau 64MP jika semua piksel digunakan dengan piksel 0.8µm.

Proses pemotretannya didukung fitur HDR yang secara otomatis aktif bila dibutuhkan dan AI Scene Optimizer yang akan mengenali subjek atau adegan, kemudian mengoptimalkan pengaturan sesuai kondisi. Mode foto 64MP bisa dipilih di pengaturan aspek rasio, namun perlu dicatat mode resolusi tinggi ini tidak didukung HDR dan AI Scene Optimizer.

Kamera-Samsung-Galaxy-M51-2
Kamera Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Kamera utamanya turut ditemani kamera sekunder 12MP f/2.2 dengan lensa ultrawide yang memberikan bidang pandang seluas 123 derajat. Kemudian 5MP f/2.2 sebagai depth sensor dan juga 5MP f/2.4 dengan lensa macro. Serta, kamera depan 32MP f/2.0 menggunakan sensor Sony IMX616. Konfigurasi kameranya sangat mirip dengan Galaxy A71, bedanya kamera utama Galaxy A71 menggunakan sensor ISOCELL Bright GW1.

Meski begitu, dukungan fitur-fitur kameranya sangat identik. Ada Single Take yang mana dalam sekali tekan dapat mengambil foto dan video secara bersamaan untuk mengabadikan momen secara lebih lengkap. Peningkatan mode kamera Pro, di mana kita dapat melakukan penyesuaian mulai dari ISO, shutter speed, fokus manual, white balance, dan exposure compensation. Juga terdapat semacam profil, di mana kita bisa mengatur temperature, tint, contrast, saturation, highlight, dan shadow.

Baik kamera depan maupun belakang sudah mendukung perekaman video dari resolusi 720p, 1080p, hingga 4K pada frame rate 30fps. Dilengkapi fitur Super Steady khusus untuk kamera belakang dengan memanfaatkan kamera wide angle untuk mendapatkan pergerakan yang lebih mulus di video.

Ada dua hal yang saya harap bisa hadir di Galaxy M51 lewat update firmware berikutnya. Pertama ialah opsi untuk menyimpan foto dalam format Raw yang secara signifikan dapat meningkatkan hasil foto.

Kemudian yang kedua opsi frame rate 60fps di video yang mana memungkinkan memperlambat video hingga 40 persen untuk mendapatkan efek sinematik. Samsung memang menyematkan mode slow-mo dan super slow-mo, tapi pengaturannya tidak bisa diotak-atik dan hasilnya terbatas pada resolusi 720p.

Berikut hasil foto kamera utama dan mode wide-angle Samsung Galaxy M51:

Hardware & Performa

Dari sisi performa, Galaxy M51 ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 730G yang sedari awal dirancang untuk keperluan gaming. Kemampuan olah grafisnya disebut 15 persen lebih baik dibanding Snapdragon 730 versi standar dan dilengkapi beberapa fitur Snapdragon Elite Gaming seperti Jank Reducer yang secara signifikan mencegah terjadinya lag dan mendukung True HDR 10-bit.

SoC ini memiliki fabrikasi 8nm dengan AI Engine generasi ke-4, mengemas CPU octa-core yang terdiri dari dual-core 2.2GHz Kryo 470 Gold dan hexa-core 1.8GHz Kryo 470 Silver, serta GPU Adreno 618. Berpadu RAM sebesar 8GB dan penyimpanan internal 128GB yang bisa ditambah dengan menyisipkan microSD.

Semua fitur gaming di Galaxy M51 bisa diakses lewat Game Launcher. Pusat kontrol permainan ini memiliki fitur Game Booster yang mana salah satunya kita bisa mengatur mode game ke focus on performance bila membutuhkan tenaga ekstra. Lewat Game Launcher, game-game yang diinstal dapat dikumpulkan menjadi satu, lengkap dengan statistik, history, dan tips bermain.

Ada beberapa game yang saya coba, Genshin Impact, Honkai Impact 3, League of Legends: Wild Rift, dan Mobile Legends. Semua game tersebut dihajar habis-habisan tanpa kendala dan sebagai gambaran soal performa di atas kertas berikut hasil benchmark dari Galaxy M51.

Soal baterai, kapasitas 7.000 mAh dapat memberi ketenangan bagi para penggunanya. Untuk pemakaian yang cukup intens, Galaxy M51 dapat bertahan sepanjang hari. Menurut Samsung, bisa buat telponan hingga 64 jam, mendengarkan musik hingga 182 jam, dan hingga 34 jam buat streaming maraton nonton film series.

Baterai jumbo tersebut tentu perlu pasangan yang tepat. Dalam paket penjualan sudah dilengkapi adaptor charger dengan teknologi Super Fast Charging 25W yang dapat mengisi penuh baterai 7.000 mAh dalam waktu kurang lebih 115 menit atau hampir dua jam.

Kabel data yang disertakan sudah menggunakan USB Type-C ke USB Type-C dan dengan kemampuan Wired Powershare, Galaxy M51 bisa berfungsi layaknya power bank. Anda bisa berbagi daya dengan smartphone lain yang menggunakan port USB Type-C.

Verdict

Layar-Samsung-Galaxy-M51-7
Layar Samsung Galaxy M51 | Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Samsung Galaxy M51 adalah smartphone klasik yang berfokus pada kebutuhan pokok ber-smartphone secara umum. Anda akan mendapat baterai besar 7.000 mAh, layar besar 6,7 inci Super AMOLED Plus, kamera utama beresolusi besar 64MP yang dapat diandalkan, dan performa besar Snapdragon 730G yang powerful untuk komputasi sehari-hari bahkan untuk gaming.

Dibanderol Rp5.499.000, harga Galaxy M51 memang sangat kompetitif di kelasnya meskipun tidak bisa dikatakan ‘murah’. Namun untuk mencapai harga tersebut, Galaxy M51 datang dengan sejumlah kompromi. Seperti penggunaan One UI Core 2.1 dengan banyak fitur yang dipangkas, termasuk fingerprint under display dan layarnya juga belum memiliki refresh rate yang tinggi.

Sparks

 

  • Baterai jumbo 7.000 mAh
  • Layar lapang 6,7 inci Super AMOLED Plus 
  • Kamera utama 64MP dengan sensor Sony IMX682
  • Performa powerful berkat Snapdragon 730G
  • Harga sangat kompetitif di kelasnya

Slacks

  • Profil bodinya agak gemuk
  • Belum memiliki panel dengan refresh rate tinggi
  • Menggunakan One UI Core 2.1, beberapa fitur dipangkas
  • Fingerprint under display diganti konvensional, tetapi lebih cepat

Review Samsung Galaxy A31 – Performa Kelas Menengah, Experience Kelas Atas

Zaman sekarang, bermain game di smartphone bisa dibilang hampir menjadi salah satu kebutuhan utama. Apalagi selama masa pandemi, ketika akan hiburan digital meningkat gara-gara ada larangan berkumpul di tempat umum yang diterapkan pemerintah untuk menahan laju penularan virus. Bukti atas pernyataan tersebut mungkin bisa kita lihat dari pemberitaan hybrid.co.id pada bulan Mei 2020, yang mengatakan total download mobile games meningkat selama masa pandemi.

Maka dari itu, tidak heran jika kenyamanan smartphone untuk bermain game jadi salah satu aspek yang dipertimbangkan beberapa pembeli. Kemarin saya sempat me-review Xiaomi Black Shark 3, yang memang secara hardware dan software dirancang untuk memenuhi kebutuhan gaming.

Tapi dari sana saya jadi penasaran, kira-kira bagaimana rasanya gaming experience dari sebuah smartphone standar, yang tergolong ke dalam kelas menengah?

Samsung Galaxy A31 terbilang ada dalam kriteria kelas menengah tersebut. Memiliki harga Rp3.699.000 untuk varian RAM/ROM 6/128, dan menggunakan prosesor Mediatek Helio P65, kira-kira bagaimana rasanya bermain game di Samsung Galaxy A31? Sebelum menuju ke pembahasan, simak dahulu spesifikasi hardware dari Samsung Galaxy A31 yang saya kutip dari GSMArena.

Performa Kelas Menengah si Mediatek Helio P65

Mungkin agak sedikit njelimet jika saya menjelaskan alasan Samsung Galaxy A31 tergolong kelas menengah berdasarkan spesifikasi teknis. Maka dari itu agar lebih mudah, langsung saja saya jelaskan berdasarkan dari pengalaman gaming saya di smartphone ini. Secara umum, performa Samsung Galaxy A31 untuk bermain game benar-benar bisa dibilang mediocre atau kelas menengah.

Kelas menengah bisa berarti buruk, tapi juga bisa berarti bagus, tergantung game apa yang Anda jadikan standar performa smartphone. Kalau standar game Anda adalah PUBG Mobile, maka kelas menengah-nya Samsung Galaxy A31 berarti buruk, karena tidak bisa menjalankan game dengan pengaturan Smooth/Extreme. Tapi kalau standar game Anda adalah Mobile Legends Bang-Bang (MLBB), maka kelas menengah-nya Samsung Galaxy A31 berarti baik, karena masih bisa menjalankan game dengan pengaturan grafis High dan HFR Mode (60fps) menyala.

Skor Antutu yang saya dapatkan ketika menguji Samsung Galaxy A31. Hybrid.co.id - Akbar Priono
Skor Antutu yang saya dapatkan ketika menguji Samsung Galaxy A31. Hybrid.co.id – Akbar Priono

Sekarang mari kita kupas satu per satu. Berhubung Android tidak memiliki alat pengukur frame rate opensource (kecuali beberapa smartphone seperti Black Shark 3), maka ukuran frame rate dalam pembahasan performa gaming di Samsung Galaxy A31 berdasarkan perasaan, dan persepsi mata saya saja.

Untuk MLBB, saya merasa cukup puas dengan percobaan saya main dengan menggunakan Samsung Galaxy A31. Setelah mengunduh semua resource game, saya lalu mencoba push rank dengan pengaturan High, semua rata kanan, HFR Mode On, kecuali Outline dan HD Mode saya matikan.

Setelah bermain beberapa game Ranked Mode, pengalaman bermain terbilang mulus. Baik stutter maupun frame drop sangat jarang terjadi. Mungkin frame drop terlihat jika saya menggunakan alat pengukur frame rate. Namun jika berdasarkan dari apa yang saya lihat, semua berjalan dengan mulus tanpa gangguan.

Memang sempat ada pemberitahuan frame drop dari MLBB yang memerintahkan pemain untuk menurunkan pengaturan grafis. Tetapi, saya merasa Samsung Galaxy A31 masih menjalankan MLBB dengan mulus, walau menggunakan preset grafis High sekalipun.

Pengaturan di MLBB. Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Pengaturan di MLBB. Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono.

Apalagi suhu juga terbilang stabil dengan suhu baterai sebesar 33,9 derajat celsius, dan suhu CPU sebesar 58,5 derajat celsius, yang juga membuat kemampuan proesor memproses grafis jadi stabil. Tapi tentunya Anda bisa mengubah pengaturan ke preset grafis Smooth jika Anda ingin dapat performa lebih pasti.

Setelah MLBB, saya lalu mencoba PUBG Mobile. Game Battle Royale besutan Tencent Games dan Timi Studios tersebut berhasil memunculkan performa sesungguhnya Samsung Galaxy A31 dalam memproses grafis game, yaitu mediocre atau kelas menengah. Walau memiliki skor Antutu sebesar 150 ribuan, tapi Mediatek Helio P65 ternyata cuma bisa menjalankan PUBG Mobile dengan preset Graphics/Frame Rate Smooth/Ultra atau HD High saja.

Supaya lagak saya seperti pemain pro PUBG Mobile, saya mengutamakan percobaan dengan memaksimalkan frame rate terlebih dahulu, yaitu preset Smooth/Ultra. Menggunakan pengaturan tersebut, pengalaman saya bermain PUBG Mobile di Samsung Galaxy A31 terasa kurang nyaman.

Bukan karena Frame Rate Ultra yang hanya bisa mencapai maksimal 40 fps, tapi karena banyaknya stutter, frame drop, dan beberapa kali momen gagal render yang cukup terasa.

Dalam kemelut pertarungan, ada momen-momen frame drop yang membuat mata saya kesulitan menangkap pergerakan musuh. Tak hanya itu, ketika baru mendarat saya juga sempat mengalami momen stutter yang bikin saya deg-degan, takut bertemu musuh setelah stutter selesai. Setelah cukup puas menggunakan pengaturan default, saya lalu sedikit “bandel”, dan menggunakan GFX Tools untuk memaksa membuka pengaturan Frame Rate Extreme (60 fps).

Setelah GFX Tools  berhasil membuka pengaturan Smooth/Extreme, pengalaman permainan ternyata malah jadi semakin tidak nyaman. Samsung Galaxy A31 tetap tidak berhasil memproses PUBG Mobile sampai 60 fps walaupun sudah menggunakan preset Smooth/Extreme. Jika saya takar menggunakan mata dan persepsi, paling-paling game berjalan sekitar 35-45 fps saja.

Setelah dari lobby map Livik, saya lalu menuju pesawat, dan terjun payung ke Midstein. Pada saat mendarat, lagi-lagi terjadi momen stutter terjadi, yang kini bersatu padu dengan momen gagal render.

Untungnya saya berhasil selamat walau ada momen tersebut, lanjut looting, dan kembali berkemelut demi mendapat Chicken Dinner. Hasilnya, saya tidak merasakan mulusnya frame rate Extreme hampir di sepanjang permainan. Seperti takaran saya sebelumnya, frame rate game paling cuma ada di kisaran 35-45 fps saja sepanjang permainan. Tapi setidaknya, kali ini frame rate terbilang lebih stabil, membuat PUBG Mobile terasa lebih “playable” dibanding dengan preset default Smooth/Ultra.

Berhubung game di platform mobile bukan dua itu saja, jadi saya juga mencoba memainkan game lain, agar dapat memberikan testimoni gaming yang lebih menyeluruh. Supaya tidak kalah beken, saya mencoba Genshin Impact besutan Mihoyo, yang katanya bisa membuat smartphone apapun meleleh kepanasan.

Genshin Impact sepertinya tidak mengatur user dengan seketat seperti PUBG Mobile, yang sudah mematok smartphone apa harus menggunakan pengaturan grafis apa. Jadi pada Genshin Impact, Anda bisa menggunakan pengaturan grafis apapun yang Anda sukai, terlepas dari smartphone yang Anda gunakan. Melihat ini, langsung saja saya ajak Mediatek Helio P65 kerja rodi, saya ubah pengaturan grafis Genshin Impact jadi grafis rata kanan, kecuali Motion Blur saya ubah jadi Close.

Secara performa grafis, tentu saja Samsung Galaxy A31 jadi ngos-ngosan menghadapi grafis pengaturan rata kanan Genshin Impact. Walau menggunakan pengaturan 60 fps, nyatanya Genshin Impact mungkin hanya berjalan di kisaran 20-25 fps saja dalam environment tertutup, dan sekitar 15-20 fps di environment terbuka. Tapi saya ingatkan kembali bahwa angka fps tersebut hanya taksiran asal-asalan dari saya, dengan mengandalkan mata dan persepsi saja.

Performa mediocre chipset Mediatek Helio P65 di Samsung Galaxy A31 mungkin memang kelas menegah dan tak bisa diharapkan terlalu banyak. Tapi ternyata, ada sisi lain pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31 yang berhasil buat saya takjub. Apakah itu? Mari kita lanjut ke pembahasan berikutnya.

 

Experience Kelas Atas Dari Super AMOLED dan Optimasi Samsung

Pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31 itu, ibarat punya mobil mewah yang mesinnya ketinggalan zaman. Pada satu sisi, saya merasa kurang nyaman dengan performa chipset yang dibawa. Frame rate terbatas, kualitas grafis pun burik, tak bisa dibuat rata kanan. Tapi pada sisi lain, ada unsur lain di Samsung Galaxy A31 yang memberikan pengalaman kelas atas, dan sedikit banyak melipur lara atas performa mediocre dari sang chipset.

Pengalaman kelas atas yang saya maksud datang dari layar Super AMOLED, dan optimasi software Samsung. Optimasi software terlihat dari sisi performa thermal Samsung Galaxy A31. Masih melanjutkan dari percobaan Genshin Impact, Samsung Galaxy A31 berhasil menampik perkataan orang-orang yang bilang bahwa game tersebut bisa membuat smartphone apapun jadi panas layaknya setrikaan.

Suhu Samsung Galaxy A31 memainkan Genshin Impact terbilang cukup stabil. Panas? Tentu saja, tetapi saya tidak merasakan panas berlebihan di tangan ketika memainkan game RPG besutan Mihoyo tersebut. Tangan kiri saya yang berada di bagian dekat kamera hanya merasakan hangat yang terasa jelas, sementara tangan kanan yang berada di bagian bawah smartphone terasa adem.

Setelah menyelesaikan Temple pertama, indikator suhu dari aplikasi Antutu menunjukan suhu baterai ada di 36,6 derajat celsius, sementara suhu CPU ada di 66,6 derajat celsius. Suhu tersebut terbilang lebih adem, dibanding Black Shark 3 yang di-branding smartphone gaming, tapi bisa mencapai 38,2 derajat celsius pada suhu baterai saat memainkan game kelas berat seperti PUBG Mobile atau Asphalt 9.

Tetapi, bisa jadi hasil performa thermal tersebut saya dapatkan karena software atau chipset Samsung Galaxy A31 dirancang berjalan pada clock speed aman, yang mementingkan optimasi suhu dibanding performa kencang. Kesimpulan tersebut saya ambil setelah saya penasaran mencoba mencari opsi untuk meningkatkan performa Samsung Galaxy A31 lebih tinggi lagi.

Saya pergi ke aplikasi Setting, memilih opsi Device Care, lalu Battery, dan di sana saya menemukan Power Mode. Pada bagian tersebut, opsi Power Mode paling maksimal adalah Optimized, dengan deskripsi sebagai opsi yang menyeimbangkan antara performa dengan konsumsi daya baterai.

Masih penasaran, saya lalu membuka aplikasi khusus gaming dari Samsung, Game Launcher, dan mencari opsi untuk menggenjot performa. Pada aplikasi tersebut, opsi untuk mengatur performa ada di hamburger menu (tiga garis horizontal berjajar vertikal) yang ada di pojok kanan atas. Dari sana, akan ada opsi menu Game Performance, yang akan membuka pengaturan Game Booster.

Di dalam menu , ada opsi Game Performance yang berisi tiga pilihan, Focus on performance, Balanced, dan Focus on power saving. Ternyata, selama saya bermain, opsi tersebut sudah secara default berada di “Focus on performance”. Setelah selesai dengan pencarian tersebut akhirnya saya berasumsi, bahwa optimasi Samsung memang adalah menyeimbangkan antara performa chipset, suhu, dan daya hidup baterai.

Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Dari kiri ke kanan, Power Mode, aplikasi Game Launcher, dan pengaturan performa Game Booster di Samsung Galaxy A31. Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono

Berita baiknya, optimasi tersebut berjalan dengan baik, seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Berita buruknya, performa Samsung Galaxy A31 cenderung terbatasi yang mungkin jadi alasan atas performa gaming yang mediocre dari smartphone ini .

Walaupun begitu, optimasi suhu sebenarnya tak kalah penting dalam pengalaman gaming. Selain membuat tangan terasa tidak nyaman, suhu panas  juga bisa memberi efek frame drop pada game yang dijalankan. Contoh, pada smartphone Poco F1 kesayangan saya. Poco F1 sebenarnya bisa menjalankan PUBG Mobile pada preset Smooth/Extreme dalam keadaan default. Tapi kalau sudah panas, siap-siap saja diserang frame drop dan stutter yang mengganggu pengalaman bermain.

Bagaimana dampak optimasi thermal terhadap pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31? Anda mungkin bisa scroll ke atas lagi, dan baca penjelasan pengalaman saya ketika bermain Mobile Legends. Seperti yang saya sebut di atas, walau game sempat memberi notifikasi untuk menurunkan opsi grafis, tapi game berjalan lancar dan stabil dengan preset grafis High dan HFR Mode-On.

Selain stabilitas performa, optimasi suhu juga membuat baterai Samsung Galaxy A31 cenderung lebih awet. Saat saya menguji pengalaman gaming di Samsung Galaxy A31, saya melakukan maraton gaming mulai dari baterai 100%, sampai saya pegal. Tidak sepenuhnya maraton sih, karena saya melakukan pengujian sambil menyambi kerja… Hehe.

Tapi intinya, setelah putus-nyambung main game hampir 3 jam, baterai Samsung Galaxy A31 hanya berkurang sekitar 40an persen, yaitu dari 100% menjadi sekitar 53%. Padahal, kegiatan gaming yang saya lakukan terbilang ekstensif.

Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Baterai Samsung Galaxy A31 yang bertahan selama 7 jam 22 menit saat saya uji dengan looping video 1080p (kiri), proses charging dari 0 – 80% yang berjalan selama 1 jam 50 menit (tengah dan kanan). Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono.
Setelah gaming selama kurang lebih 3 jam, berikut detail jumlah konsumsi baterai dari masing-masing game. Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Setelah gaming selama kurang lebih 3 jam, berikut detail jumlah konsumsi baterai dari masing-masing game. Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono

Saya main Genshin Impact dengan pengaturan rata kanan selama sekitar satu jam, menyelesaikan Quest dan Temple pertama. Lalu saya lanjut push rank Mobile Legends dengan preset grafis High dan HFR Mode On selama 1 jam 4 menit, walaupun tidak berhasil ngepush karena rank saya tetap Grand Master. Terakhir menutup sesi gaming, saya bermain PUBG Mobile sekitar 40an menit dengan pengaturan Smooth/Extreme pakai GFX Tools. Anda bisa melihat hasil tangkapan gambar saya, untuk mengetahui secara lebih lengkap bagaimana dampak dari masing-masing game terhadap baterai.

Pengalaman kelas atas lain yang saya rasakan saat gaming di Samsung Galaxy A31 datang dari teknologi layar Super AMOLED.

Selain karena desain Full-Screen Display, layar Super AMOLED juga menciptakan reproduksi warna yang baik. Pengalaman layar Super AMOLED sangat terasa ketika saya bermain Genshin Impact sambil memperhatikan pemandangan sekitar. Padang rumput terlihat hijau cerah, dan langit biru terasa sangat imersif berkat reproduksi warna layar Super AMOLED. Namun demikian, reproduksi warna kontras tersebut mungkin tidak untuk semua orang, jadi Samsung juga menyertakan opsi reproduksi warna “Natural” yang akan menurunkan kontras layar.

Selain itu, layar Super AMOLED juga memberikan persepsi touch accuracy yang baik dan touch latency yang rendah.

Saya hampir jarang sekali mengalami salah sentuh, atau salah swipe pada saat bermain PUBG Mobile ataupun Mobile Legends. Setiap sentuhan terasa akurat, dan responsif, bahkan terasa hampir mirip seperti kemampuan touch layar Black Shark 3 yang juga menggunakan teknologi AMOLED. Saya berasumsi demikian karena saya sering sekali mengalami momen salah sentuh, swipe, dan touch delay ketika gaming di Poco F1 milik saya, yang menggunakan layar teknologi IPS.

Terakhir dari sisi gaming software, saya merasa Game Launcher milik Samsung terbilang cukup bersaing jika dibanding dengan gaming software di smartphone lain. Fitur Game Launcher tidak berlimpah tapi saya merasa setiap fitur yang disematkan dipikirkan dengan cukup matang sehingga terasa tepat guna.

Hybrid.co.id - Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Screenshot Oleh Akbar Priono

Beberapa fitur Game Launcher Samsung sebenarnya juga ada di gaming software lain. Beberapa contohnya seperti kemampuan menyembunyikan game dari App Drawer dan mengelompokkannya di dalam Game Launcher, fitur Floating Shortcut yang bisa diubah jadi tombol untuk ambil Screenshot atau Screen Record, fitur untuk membuka aplikasi lain seperti Whatsapp dalam Windowed Mode, ataupun fitur untuk mengubah level performa smartphone ketika membuka aplikasi game.

Selain semua fitur itu, ada satu yang berbeda, yang juga mencoba memaksimalkan penggunaan layar AMOLED. Fitur tersebut adalah fitur Screen Touch Lock. Fitur tersebut membuat Samsung Galaxy A31 secara otomatis mengunci layar, apabila Anda sedang idle atau AFK untuk beberapa saat.

Ya… semua smartphone sebenarnya juga begitu sih, tapi fitur tersebut menyajikan sedikit perbedaan. Pada saat Screen Touch Lock menyala, game masih tetap berjalan, namun dengan frame rate dan brightness yang jauh lebih rendah untuk menghemat konsumsi baterai. Jadi jika Anda ingin kembali main, Anda tidak perlu membuka ulang game dan menunggu loading lagi. Cukup unlock layar, maka Anda bisa lanjut bermain.

 

Kesimpulan – Gaming di Samsung Galaxy A31, Good or Bad?

Hybrid.co.id - Screenshot Oleh Akbar Priono
Hybrid.co.id – Foto Oleh Akbar Priono.

Sebenarnya agak sulit menentukan kesimpulan terhadap pengalaman saya gaming di Samsung Galaxy A31. Pada satu sisi, saya geregetan dengan kemampuan chipset memproses grafis,yang membuat pengalaman gaming jadi kurang nyaman. Frame rate rendah dan grafis burik akan jadi makanan sehari-hari jika Anda menggunakan Samsung Galaxy A31 untuk game-game kelas berat.

Tapi pada sisi lain, saya juga merasa sangat nyaman dengan optimasi suhu serta baterai Samsung Galaxy A31.

Walau bermain game selama berjam-jam, suhu cenderung stabil, sehingga tangan tetap terasa nyaman saat menggenggam smartphone. Walaupun frame rate rendah tapi performanya cukup stabil berkat optimasi software oleh Samsung. Frame drop tetap ada tapi jarang sampai di titik ekstrim.

Terlebih, jarang ada smartphone pada range harga 3 jutaan dengan layar AMOLED, yang membuat pengalaman gaming jadi lebih puas berkat reproduksi warna yang cerah dan kemampuan touch yang cenderung lebih baik dibanding IPS.

Gara-gara percobaan ini, saya jadi ngarep ada smartphone yang punya optimasi + Super AMOLED seperti Samsung Galaxy A31 tapi punya performa layaknya Snapdragon seri 8.

Tapi intinya, jika Anda adalah gamer kompetitif yang mengutamakan respon dan performa (juga menggunakan PUBG Mobile Smooth/Extreme sebagai standar gaming), saya sih kurang menyarankan menggunakan Samsung Galaxy A31 untuk gaming.

Tapi jika Anda adalah gamer casual yang bermain game ala kadarnya dan mementingkan optimasi serta produktivitas, Samsung Galaxy A31 bisa jadi pilihan yang tepat.

Karena performa Samsung Galaxy A31 sebenarnya juga enggak jelek-jelek amat. Masih lancar untuk MLBB, playable untuk Genshin Impact, dan tentunya lancar memainkan game casual ringan yang juga saya coba tapi tidak saya bahas mendalam, seperti Brawl Stars, Arknights, atau Legends of Runeterra. Bonusnya, Anda akan mendapat suhu dan performa yang stabil, dan tentunya layar Super AMOLED yang bisa dibilang jadi nilai jual Samsung Galaxy A31.

Review Black Shark 3: Smartphone Investasi Calon Pemain Esports

Rilis secara global pada Maret 2020 lalu, smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3 akhirnya resmi hadir di Indonesia pada bulan Mei 2020 lalu. Walaupun memiliki spesifikasi tinggi, segudang fitur, dan aksesori yang ditawarkan, kehadiran smartphone gaming kadang masih dipertanyakan.

Pemasukan industri mobile game memang sudah mencapai Rp540 triliun, tapi apakah smartphone gaming benar dibutuhkan oleh para pengguna? Apakah smartphone flagship saja tidak cukup digunakan untuk gaming? Lalu seberapa jauh smartphone gaming bisa memberikan pengalaman terbaik, dan memuaskan para gamers?

Setelah mengulas laptop dan built-in desktop, kali ini saya berkesempatan melakukan review terhadap smartphone gaming Xiaomi Black Shark 3. Unit yang saya review sendiri adalah varian Black Shark 3 biasa dengan konfigurasi RAM/ROM 8/128. Dibanderol dengan harga Rp9.999.000, apakah smartphone gaming ini benar layak dibeli untuk mobile gamers atau mungkin mereka yang bercita-cita jadi bintang esports?

 

Gaming Experience dan Performa

Seperti sebelum-sebelumnya, saya mencoba untuk lebih to the point dalam melakukan review. Berhubung Black Shark 3 adalah smartphone gaming, mari kita kesampingkan dahulu soal pengalaman penggunaan smartphone ini untuk sehari-hari dan fokus kepada alasan kenapa smartphone ini ada yaitu untuk gaming. Tetapi sebelum memulai review, simak dulu spesifikasi teknis dari Xiaomi Black Shark 3.

  • SOC – Qualcomm Snapdragon 865
  • CPU – Octa-core (1×2.84 GHz Kryo 585 & 3×2.42 GHz Kryo 585 & 4×1.80 GHz Kryo 585)
  • GPU – Adreno 650
  • RAM 8 GB
  • Internal 128 GB GB
  • Layar – AMOLED 6,67″ 2400×1080 90Hz
  • Dimensi – 168.7 x 77.3 x 10.4 mm
  • Bobot  – 222 g
  • Baterai – Li-Po 4720 mAh Fast Charging 65W
  • OS – Android 10 JOYUI 11

Untuk menguji kemampuan gaming dari Black Shark 3, saya menggunakan beberapa game mobile yang mungkin tidak baru, tapi saya rasa masih cukup demanding secara hardware di tahun 2020. Game tersebut adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, Fortnite, Asphalt 9, dan Arena of Valor. Dari baterai 100%, saya memainkan game tersebut secara satu per satu, sambil menangkap performa grafis, stabilitas, serta suhu smartphone. Bagaimana hasilnya? Secara singkat, pengalaman bermain game di Black Shark 3 berhasil membuat saya jadi merasa ingin meninggalkan komputer dan terus-terusan main di smartphone saja. Lebih lanjut berikut penjelasannya.

Black Shark 3 dapat menjalankan PUBG Mobile dengan pengaturan grafis Smooth dengan frame rate 90 fps, atau kualitas grafis Ultra HD dengan frame rate Ultra. Keduanya bisa berjalan dengan sangat mulus dan stabil pada Black Shark 3. Pada pengaturan grafis Ultra HD dan frame rate Ultra (40 fps maksimal), game berjalan cukup stabil di sekitaran maksimum Frame Rate yang diperkenankan. Dengan fitur Performance Monitor yang disediakan oleh JOYUI 11, tercatat bahwa penurunan fps paling jauh hanya sampai titik 38 fps saja. Namun memainkan PUBG Mobile membuat smartphone cukup hangat yaitu 38,5 derajat celsius pada suhu baterai.

Berganti ke pengaturan Smooth-90 fps, stabilitas performa Black Shark 3 juga terjaga dengan sangat baik. Kebetulan saya hampir mendapat Chicken Dinner ketika sedang menguji kemampuan Black Shark 3 dengan menggunakan pengaturan Smooth-90 fps. Hasilnya? Dari awal sampai akhir, permainan berjalan dengan sangat lancar dan hampir tanpa stuttering. Suhunya juga cenderung lebih rendah, yaitu 36,1 derajat celisius pada suhu baterai.

Berlanjut ke Call of Duty Mobile, game tersebut bisa berjalan hingga Graphic Quality Very High, Frame Rate Max (maksimum 60 fps), dengan fitur grafis tambahan seperti Depth of Field, Bloom, Real-Time Shadow, Ragdoll, dan Anti-Aliasing menyala. Mungkin Call of Duty Mobile terbilang lebih ringan jika dibanding PUBG Mobile. Saya bermain dua kali Team Deathmatch, hasilnya adalah game berjalan dengan mulus, dan suhu baterai ada di 38,2 derajat celsius.

Mencoba Fortnite, Epic Games sepertinya belum mengoptimasi game tersebut pada smartphone Android secara umum. Hasilnya Fortnite cuma bisa berjalan pada pengaturan 30 fps saja di Black Shark 3; walaupun saya cukup yakin Snapdragon 865 harusnya bisa menjalankan Fortnite dalam 60 fps. Terlepas dari itu, saya masih bisa memaksimalkan Quality Preset menjadi Epic dan 3D Resolution hingga 100%. Berhubung tidak ada server Asia Tenggara, jadi saya bermain dengan sedikit lag jaringan. Terlepas dari itu, Fortnite berjalan dengan stabil walau saya sebenarnya kurang puas dengan frame rate 30 fps saja. Suhu baterai ketika memainkan Fortnite adalah 37,5 derajat celsius, cenderung tidak melenceng terlalu jauh dari suhu rata-rata.

Asphalt 9 juga mampu dijalankan dengan pengaturan grafis maksimal, yaitu Visual Quality High dan 60 fps Enabled. Walau demikian, Asphalt 9 tidak bisa berjalan dengan sepenuhnya stabil. Game balap besutan Gameloft tersebut sempat mengalami frame drop hingga berada di angka 26 fps. Frame rate juga tidak selalu stabil di 60 fps, kecuali dalam kondisi minim efek-efek grafis. Jika Anda menghadapi lompatan atau adu tabrak dengan mobil lain, frame rate kadang-kadang bisa turun jadi sekitar 40an fps. Tapi saya cenderung masih merasa nyaman memainkan Asphalt 9, walau ada frame drop seperti demikian. Suhu baterai ketika memainkan Ashpalt 9 adalah 38,2 derajat celsius, lumayan membuat tangan saya jadi lebih hangat.

Selanjutnya Arena of Valor. Awalnya saya merasa game ini punya grafis yang cukup berat, karena visual megah yang disajikan. Grafis saya atur rata kanan, mulai dari HD Display, Display Quality, sampai Particle Quality. Saya juga tidak lupa menyalakan High Frame Rate Mode, dan Dynamic Cloud Shadow agar kualitas gambar jadi semakin ciamik. Setelah dimainkan, Arena of Valor ternyata tidak berhasil membuat Black Shark 3 kerja terlalu keras. Game berjalan stabil 60 fps, dan hampir tanpa ada frame drop ataupun stuttering. Suhu baterai cenderung rendah, yaitu 36,6 derajat celsius, masih adem di tangan.

Setelah kurang lebih sekitar 2 jam saya mencoba semua game tersebut, baterai Black Shark 3 yang memiliki kapasitas 4720 mAh tersebut berkurang dari awalnya 100% menjadi tinggal 39% saja. Cukup takjub dengan hasil yang diperoleh tersebut. Kalau melakukan skenario yang sama pada Pocophone F1 yang sudah sekitar 2 tahun saya gunakan, baterai mungkin jadi tinggal sisa 20% saja.

Hasil benchmark menggunakan Antutu setelah 3 kali percobaan. Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Hasil benchmark menggunakan Antutu setelah 3 kali percobaan. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Setelah mencobanya untuk bermain game, saya lalu menguji performa Black Shark 3 dengan menggunakan Antutu Benchmark. Total Score tertinggi yang saya dapatkan adalah sebesar 570.168. Merupakan skor yang cukup tinggi, walau masih kalah jika dibandingkan dengan ROG Phone 3 yang memiliki Total Score sebesar 615.289, mengutip dari laman resmi Antutu Benchmark.

 

Shark Space dan Fitur Gaming Lainnya

Selain performa, nilai jual lain dari sebuah smartphone gaming adalah fitur-fiturnya yang fokus kepada gamers. Untuk itu, saya lalu mencoba beberapa fitur-fitur gaming unggulan yang ada di Black Shark 3. JOYUI 11 memiliki beberapa fitur yang fokus kepada segmen gaming. Secara garis besar fitur yang tersedia adalah Gamer Studio dan Shark Space. Di dalam fitur tersebut, masih ada fitur-fitur lain lagi yang akan kita bahas selanjutnya.

Jika Anda adalah pengguna MIUI 11, Anda mungkin tahu fitur Game Turbo. Secara singkat, fitur Gamer Studio dan Shark Space sebenarnya mirip dengan Game Turbo namun dengan lebih banyak opsi pengaturan. Secara default, Gamer Studio dapat diaktifkan dengan menggunakan gesture swipe dari pojok kanan atau kiri atas. Setelahnya akan keluar tampilan seperti Notification Bar yang berisikan berbagai pengaturan untuk kebutuhan gaming Anda.

Gamer Studio berisikan berbagai pengaturan, mulai dari yang paling mendasar seperti mengatur level suara atau brightness, sampai yang lebih advanced seperti Master Touch, Edge Anti-Mistouch, Master Touch, Touch Adjustment, Shark Time, Performance Monitor, bahkan Anda bisa melakukan semacam “mini-overclock” dalam Gamer Studio.

Dari fitur-fitur yang ada di Gamer Studio, yang paling saya gunakan tentunya fitur Performance Monitor (ya iya dong, kan untuk benchmark… Hehe). Tapi selain itu, saya masih merasa belum ada satu fitur pun dalam daftar tersebut yang membuat saya sreg menggunakannya.

Master Touch memungkinkan Anda menekan layar bagian kiri dan/atau kanan, dan membuatnya sebagai tambahan input ketika bermain game. Posisi tambahan input bisa Anda atur sesuka hati, sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan Anda. Selain itu, level tekanan juga diatur, dan ada Vibration Feedback yang akan memberi efek getar jika tekanan ke layar masuk menjadi input.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya mencoba menggunakannya pada PUBG Mobile, namun masih belum menemukan cara penggunaan ternyaman. Master Touch kiri saya atur untuk menembak, sementara Master Touch kanan saya gunakan untuk mengaktifkan ADS atau membidik. Hasilnya saya malah kelimpungan ketika bertemu musuh. Saya jadi kagok, apakah harus tekan layar atau touch ke tombol yang sudah saya set sebelumnya. Kebetulan saya adalah tipe pemain yang menggunakan Gyroscope dan mengaktifkan scope dengan cara Hold.

Mungkin karena itu, saya cenderung kesulitan ketika ingin menembak dengan menggunakan Master Touch. Setelah menekan, saya harus menahan tingkat tekanan tersebut di layar sebelah kanan. Kalau pertempuran sedang panas, saya malah lupa menekan layar, sehingga bidikan scope saya jadi lepas.

Mungkin karena saya terlalu terbiasa menggunakan touch untuk gaming di smartphone, membuat saya merasa fitur Master Touch justru cuma menambah kerepotan saja. Saya merasa bahwa dalam baku tembak tempo cepat, touch cenderung lebih efisien dibandingkan menekan. Tapi juga perlu diingat, saya baru mencoba fitur tersebut dalam skenario bermain PUBG Mobile saja.

Fitur berikutnya, Shark Time, memperkenankan pengguna merekam highlight singkat permainan, sampai dengan durasi 30 detik. Setelah diaktifkan di Gamer Studio, Shark Time akan muncul dalam bentuk tombol kecil yang bisa Anda pindah-pindah, mirip seperti aplikasi Screen Recorder pada tampilan antar-muka MIUI. Secara teori, fitur ini akan membantu Anda menangkap momen-momen penting di dalam permainan, entah itu clutch adu tembak 1 vs 5 dalam game shooter atau momen Penta Kill ketika bermain MOBA.

Masalahnya ketika sudah fokus bermain, kita tidak akan tahu kapan momen itu datang, karena Clutch atau Penta Kill tidak bisa disiapkan. Alhasil, saya yang terlanjur fokus bermain jadi lupa menyentuh tombol Shark Time, sehingga momen penting permainan saya jadi tidak terdokumentasikan. Mungkin akan lebih bagus jika Shark Time bisa merekam dan memilih momen secara otomatis seperti fitur NVIDIA Highlight gitu?

Fitur-fitur lain seperti Anti-Mistouch, Touch Adjustment, atau Performance Adjustment juga terbilang kurang terpakai secara maksimal. Kenapa? Karena dengan pengaturan default dan tanpa ada tweak di sana dan sini, gaming di Black Shark 3 sebenarnya sudah nyaman. Kontrol touch baik-baik saja, walaupun saya tidak mengaktifkan Anti-Mistouch dan Touch Adjustment. Jarang ada momen salah input, walaupun dua fitur tersebut tidak saya gunakan. Tanpa Performance Adjustment, kemampuan gaming Black Shark 3 juga sudah mumpuni, seperti yang saya bahas pada bagian sebelumnya.

Namun demikian, Performance Adjustment sebenarnya bisa jadi berguna, terutama jika Anda ingin bisa bermain game lebih lama lagi. Selain bisa meningkatkan performa, Performance Adjustment juga bisa menurunkan performa. Jadi jika Anda ingin hemat baterai, dan mendapat suhu yang lebih adem, Anda bisa melakukan “underclock” atau menurunkan tingkat utilisasi CPU.

Fitur Shark Space justru menjadi keunikan bagi Black Shark 3. Fitur ini dapat Anda aktifkan dengan cara menjentikkan tombol yang ada di kiri bawah smartphone. Setelahnya Black Shark 3 akan membuka Shark Space, dan hanya menampilkan game yang ter-install saja. Secara umum, tampilan Shark Space mirip-mirip dengan tampilan antar-muka konsol game. Saya merasa fitur ini yang membuat Black Shark 3 benar-benar semakin terasa seperti smartphone gaming.

Shark Space seakan ingin aktivitas produktivitas, dipisah dengan aktivitas gaming. Jadi bila Anda sedang membutuhkan Black Shark untuk kebutuhan produktivitas seperti membalas chat, email, atau pekerjaan lainnya, Anda bisa menikmati tampilan JOYUI 11 yang punya dengan tampilan antar-muka seperti MIUI pada kebanyakan smartphone Xiaomi.

Sementara bila sudah memasuki waktu gaming, jentikkan Shark Button, dan voila! Black Shark 3 akan menjadi mobile gaming console yang akan menyembunyikan notifikasi chat, email, dan aplikasi-aplikasi lainnya untuk sementara waktu.

Shark Space juga memiliki Observer Mode yang akan mematikan fungsi telepon, sehingga Anda tidak akan terganggu selama gaming dengan menggunakan konektivitas mobile data. Observer Mode sepertinya agak sedikit ekstrim, jadi pastikan Anda benar-benar sedang tidak dicari oleh siapapun, baik itu pacar, bos, driver delivery makanan, atau tukang tagih hutang ketika ingin menyalakan fitur tersebut.

 

Desain

Oke, setelah panjang lebar membahas soal kemampuan gaming si Black Shark 3, mari kita beralih ke hal-hal fundamental dari sebuah smartphone. Dari sisi depan, Black Shark 3 mengusung rancangan layar Full Screen Display dengan screen-to-body ratio 82,4%. Rancangan tersebut berarti layar tampil penuh, tanpa ada gangguan notch, waterdrop, atau punchhole. Sebagai pengganti, Black Shark 3 memiliki bezel atas dan bawah yang cenderung lebih tebal dibanding rancangan Full Screen Display lainnya, untuk menempatkan kamera depan.

Berpindah ke bagian belakang, Black Shark 3 yang saya review memiliki warna hitam yang sangat elegan dan khas gaming. Pada bagian atas dan bawah, ada sebuah bump atau tonjolan berbentuk diamond, yang bersifat simetris. Bump atas berisikan 3 kamera, dan bump bagian bawah berisi magnetic charging contacts, yang bisa dipasangkan dengan aksesori charger magnetic. Untuk menambah kesan gaming, Xiaomi tidak lupa menambah RGB lighting dengan logo “S” khas Black Shark, yang secara default mengeluarkan cahaya warna hijau. Selain hal yang saya sebut, tidak ada hal lain lagi di bagian belakang Black Shark 3. Fingerprint scanner sudah diletakkan ke bawah layar di bagian depan, sehingga bagian belakang smartphone jadi lebih rapi.

Beralih ke bagian sisi, Black Shark 3 dibalut oleh alumunium metal frame yang membuat Black Shark 3 terasa sangat kokoh ketika dipegang. Pada bagian kanan ada tombol power dan Shark Button, yang diaktifkan dengan cara dijentik, mirip seperti ring/silent mode button pada Apple iPhone. Sementara itu di bagian kiri ada tombol Volume Up/Down dan sim-card tray.

 

Display

Mengutip dari laman spesifikasi resmi, Black Shark 3 memiliki layar AMOLED sebesar 6,67 inci dengan rasio 20:9, resoulsi 2400 x 1080, refresh rate 90Hz, dan kepadatan pixel sebesar 394 PPI. Sejauh saya menggunakan Xiaomi Black Shark 3, saya merasa reproduksi warna yang dihasilkan sudah cukup. Ketika digunakan untuk gaming, saya pun merasa warna yang dikeluarkan sudah cukup cerah sehingga memudahkan saya untuk menemukan musuh-musuh yang bersembunyi di PUBG Mobile.

Memiliki tingkat kecerahan sebesar 500nit, Black Shark 3 terbilang cukup nyaman digunakan dalam kondisi terik matahari walau kecerhannya agak kalah dengan cahaya matahari. Untungnya JOYUI 11 menyematkan fiitur DSP display Enhancement dan Sun Screen, yang akan meningkatkan kontras warna, sehingga layar tetap jelas walau dalam kondisi terik matahari.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Walaupun Black Shark 3 adalah smartphone gaming, namun Xiaomi masih tidak lupa menyematkan fitur always-on display dalam JOYUI 11. Berkat fitur ini, Black Shark 3 dapat menampilkan waktu, tanggal, serta informasi baterai walaupun sedang dalam keadaan tertidur. Ketika smartphone di angkat, Black Shark 3 secara otomatis menampilkan ikon fingerprint, yang memudahkan Anda untuk unlock smartphone.

Refresh rate 90Hz tak hanya bagus untuk gaming, tetapi juga bagus dalam membuat membuat animasi demi animasi saat smartphone dioperasikan terlihat lebih mulus. Namun demikian, selain untuk sehari-hari, tingkat utilisasi layar 90Hz untuk gaming cenderung sangat rendah. Sampai saat ini belum ada game yang dapat dijalankan lebih dari 60 fps, kecuali PUBG Mobile yang baru saja merilis frame-rate 90 fps. Tambahan lainnya soal refresh rate 90Hz, saya jadi merasa video YouTube 60 fps berjalan lebih mulus. Entah benar atau tidak, mungkin hanya perasaan saya saja.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Fitur lain dari display Black Shark 3 adalah 270Hz touch reporting rate, yang katanya membuat setiap input yang dilakukan jadi lebih minim delay. Tapi jujur saja, saya sendiri tidak merasakan perbedaan yang signifikan dibanding dengan smartphone lain, ketika menggunakan touchscreen display Black Shark untuk gaming.

 

Daya Tahan Baterai

Black Shark 3 memiliki baterai sebesar 4720 mAh Dual Battery. Pada saat pengujian gaming, saya sudah sedikit membahas bagaimana baterai Black Shark berkurang dari 100% ke 39% setelah sekitar 2 jam bermain game secara intensif.

Agar lebih teruji, saya lalu melakukan pengujian daya tahan baterai Black Shark dengan cara menyetel video YouTube HD 1080p yang sudah saya download secara berulang-ulang, dari baterai 100% hingga tersisa 20%. Hasilnya, Black Shark 3 bisa bertahan selama 8 jam lebih (tepatnya 8 jam 16 menit 55 detik screen time on).

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
(dari kiri ke kanan), screen on time, durasi smartphone menyalah setelah di charge, dan hasil baterai setelah 2 jam 59 menit digunakan untuk gaming intensif. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Jika daya tahan baterai Black Shark 3 sudah membuat berhasil membuat kagum, Anda mungkin bisa lebih kagum lagi ketika mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk charging. Laman resmi mengatakan bahwa Black Shark 3 memiliki 65W Hyper Charge dan bisa charging sampai 50% dalam 12 menit, atau 100% dalam 38 menit.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
(dari kiri ke kanan) perkiraan proses charge dari 21% hingga 80  menurut AccuBattery, besar arus listrik yang masuk menurut Ampere, dan catatan proses charging menurut AccuBattery. Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Untuk menguji hal tersebut, saya lalu mencoba melakukan charging dari 20% hingga 99% dengan menggunakan charger bawaan. Memulai charging dari 20% pada pukul 17:32, Black Shark 3 sudah terisi penuh 99% pada pukul 18:06 (20 – 99% dalam 36 menit). Selain display dan fitur tambahan yang disajikan, saya juga merasa ketangguhan serta durasi charging baterai, membuat Black Shark 3 pantas mengemban gelar sebagai smartphone gaming. Kenapa? Karena dari catatan waktu tersebut, Anda jadi bisa bermain game dengan lebih lama.

 

Kamera

Black Shark 3 memang dijual dengan titel smartphone gaming, tetapi saya merasa kamera yang disematkan di dalamnya cukup mumpuni. Black Shark 3 mengusung desain triplecamera yang terdiri dari: Kamera utama 16MP dengan bukaan lensa f/1.8, kamera wideangle 13MP dengan bukaan lensa f/2.25, dan kamera ketiga 5MP dengan depthsensor dan bukaan lensa f/2.2.

Dalam kondisi outdoor dan pencahayaan cukup, Black Shark 3 bisa menghasilkan foto yang tajam, walau reproduksi warnanya terbilang agak kurang. Terlepas dari itu, melakukan foto pada keadaan outdoor dengan fitur auto terbilang berjalan sangat mulus. Keluarkan smartphone, buka aplikasi kamera, cekrek! Hasilnya langsung seperti contoh foto-foto outdoor yang saya ambil.

Dalam kondisi indoor dan pencahayaan cukup, pengalaman mengambil foto juga terbilang masih mirip seperti saat berada di dalam kondisi outdoor. Anda bisa lihat sendiri gambar bagian depan outletoutlet mall yang saya ambil, begitu tajam, dengan tingkat exposure foto yang merata.

Namun demikian, pengambilan gambar menjadi masalah jika berada di dalam pencahayaan yang kurang. Saya mencoba mengambil foto bagian depan sebuah restoran pada malam hari. Hasilnya seperti yang Anda lihat, ada over-exposure pada pencahayaan nama restoran yang saya foto. Untungnya masalah tersebut bisa sedikit diobati dengan menggunakan Night Mode sehingga exposure foto jadi lebih merata.

Kamera depan dengan resolusi 20MP, dan bukaan lensa f/2.2, juga terbilang bisa menghasilkan foto yang cukup. Memang ada over-exposure jika Anda melakukan selfie pada kondisi cahaya berlebih. Terlepas dari itu, saya suka sekali dengan fitur Potrait Mode, yang menghasilkan foto bokeh, dengan processing yang sangat rapi.

 

Apakah Xiaomi Black Shark 3 Layak Untuk Dibeli?

Memiliki banderol harga Rp9.999.000 untuk varian RAM/ROM 8/128, saya merasa ada beberapa hal dan kondisi yang membuat Black Shark 3 jadi layak dibeli. Jika Anda punya keinginan untuk menjadi pemain esports game mobile, saya merasa Black Shark 3 dapat menjadi investasi jangka panjang yang layak untuk Anda beli.

Ada beberapa alasan kenapa Black Shark 3 jadi investasi yang bagus bagi calon pemain esports game mobile. Salah satunya adalah refresh-rate 90Hz . Walau saat ini baru PUBG Mobile saja yang bisa menjalankan 90 fps, tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak game dengan refresh-rate di atas 60 fps untuk mobile platform di masa depan. Performa Xiaomi Black Shark 3 juga patut diacungi jempol dengan stabilitas performa dan suhu yang baik. Terakhir, daya tahan baterai 4720mAh dan kecepatan charge 65W Hyper Charge juga jadi alasan lain yang bisa membuat Anda “berlatih” game dengan durasi yang lebih lama.

Tapi, apakah Black Shark 3 cocok untuk dijadikan sebagai smartphone utama? Walau tidak sepenuhnya saya rekomendasikan, saya merasa tidak ada salahnya, apalagi jika Anda memang suka bermain mobile game di waktu sengang.

AMOLED Display yang diberikan membuat Black Shark 3 jadi enak dipandang. Refresh rate 90Hz juga jadi nilai tambah Black Shark 3 secara umum, karena membuat animasi untuk operasional smartphone sehar-hari menjadi semakin terasa sedap. Apalagi dengan fitur Shark Space, Anda bisa memisahkan antara produktivitas dengan hobi gaming di waktu sengang. Kamera? Dengan banderol harga yang ditawarkan, saya merasa Black Shark 3 punya kamera yang sedikit kurang maksimal walau sudah cukup. Mungkin satu hal yang membuat Black Shark 3 kurang layak beli adalah desainnya secara, yang terlalu mencerminkan gaming dan belum tentu semua orang suka.

Review Acer Nitro N50-110: Performa Tangguh Dengan Fitur yang Terlampau Sederhana

Selama masa pandemi, banyak perusahaan menerapkan protokol kerja dari rumah sebagai sarana mendukung usaha pemerintah untuk menanggulangi wabah COVID-19. Maka dari itu tak heran, jika kebutuhan akan komputer jadi meningkat, entah sebagai alat produktivitas maupun sebagai sarana hiburan untuk bermain game.

Saya melihat sendiri bagaimana kebanyakan teman-teman saya, yang juga gamers dan pekerja digital, belakangan terlihat menunjukkan baru saja berbelanja PC terbaru; yang tentunya bikin saya jadi iri melihatnya… Huhuhu. Jika Anda seperti saya, yang sedang terpikirkan untuk membeli PC baru untuk kebutuhan “produktivitas”, dan tidak mau kerepotan merakit, mungkin Anda bisa mempertimbangkan memilih pre-built desktop Acer Nitro N50-110.

Namun, agar Anda lebih yakin, simak dulu review Pre-built Desktop Acer Nitro N50-110 berikut ini. Oh iya, di sisi lain, jika Anda lebih butuh monitor gaming, Anda bisa membaca review BenQ Zowie XL2746s.

Performa

Ketika membeli sebuah perangkat PC, entah itu laptop maupun desktop, performa sepertinya menjadi pertanyaan pertama yang harus dijawab. Apalagi para gamers, yang mungkin akan serta-merta bertanya, “Bang, PC atau laptop spek dengan sekian-sekian-sekian kuat nggak ya untuk main game ini dan itu?”

Maka dari itu, saya sengaja meletakkan pembahasan soal performa di bagian paling depan, agar Anda tidak perlu scroll terlalu jauh untuk mengetahui seberapa tangguh Acer Nitro N50-110. Namun sebelum menuju pembahasan soal performa, mari kita lihat dulu spesifikasi hardware dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini:

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono
  • AMD Ryzen™ 7 3700X
  • 2x8GB DDR4 2666 MHz
  • X570 Chipset
  • NVIDIA® GeForce® GTX 1660Ti 6GB GDDR6
  • 512GB SSD NVMe + 1 TB HDD

Untuk menguji performa dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini saya menggunakan dua metode. Pertama adalah dengan synthetic benchmark dengan menggunakan dua program, ada 3D Mark FireStrike Ultra dan Uningine Superposition untuk menguji kemampuan pre-built desktop ini dalam memproses grafis 3d yang intensif. Lalu untuk menguji performa CPU, saya menggunakan Cinebench R20, dan menjalankan uji kemampuan CPU multi-core dan single-core.

Untuk FireStrike Ultra, konfigurasi dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini mendapatkan skor sebesar 3359. Skor tersebut bisa dibilang cukup normal untuk GeForce seri GTX 1660 Ti. Anda bisa melihat perbandingannya sendiri dengan pengujian terhadap seri 1660 Ti yang dilakukan oleh reviewer lainnya seperti guru3d atau kitguru. Lalu untuk pengujian dengan Uningine Superposition skor yang dihasilkan adalah sebesar 3260. Hasil ini juga masuk akal untuk GeForce GTX 1660 Ti jika dibandingkan dengan hasil benchmark dari legitreviews dan guru3d.

Lalu bagaimana dengan performa CPU? AMD lewat seri Ryzen memang terkenal sebagai salah satu CPU dengan performa yang baik. Bahkan seri prosesor AMD ini kerap kali dianggap sebagai “Intel Killer” karena performanya. Bagaimana dengan performa Ryzen 7 3700X yang memiliki base clock speed 3,6GHz yang bisa TurboBoost 1 core hingga 4,4 GHz, dan memiliki konfigurasi 8 core 16 threads ini?

Menggunakan Cinebench R20, skor yang didapatkan untuk performa multi-core processor ini adalah sebesar 4512. Hasil ini memang memuaskan mengingat performa procie lain yang ada di atas 3700X memang sudah sekelas workstation atau server. Lalu untuk performa single-core, Ryzen 7 3700X berhasil mendapatkan skor 478. Kali ini berhasil sedikit membalap skor Intel i7-7700K yang punya base clock speed lebih besar, yaitu 4,2GHz.

Setelah melalui synthetic benchmark dengan menggunakan beberapa tools di atas, bagian benchmark yang satu ini mungkin akan lebih menarik, terutama untuk Anda para gamers. Untuk metode kedua, saya melakukan real-world benchmark dengan menggunakan game. Saya membagi real-world benchmark ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah real-world benchmark menggunakan game AAA dengan menggunakan fitur in-game benchmark. Lalu pada bagian kedua saya melakukan real-world benchmark pada game multiplayer.

Untuk game AAA saya menggunakan Far Cry 5 (2018) dan Shadow of The Tomb Raider (2018). Jika melihat konfigurasi yang disajikan pre-built desktop Acer Nitro N50-110, harusnya pengaturan rata kanan dengan resolusi 1080p tidak menjadi masalah bagi kedua game tersebut. Benar saja, untuk Far Cry 5 hasil frame per second yang didapatkan adalah 78 min FPS, 108 max FPS, dengan 88 average FPS. Walau awalnya terlihat meyakinan, namun Far Cry ternyata bisa membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi keteteran. Jika Anda mengatur Resolution Scale di dalam game menjadi 2 (default 1), maka torehan FPS yang didapatkan akan turun setengah jadi 29 min FPS, 40 max FPS, dengan 33 average FPS.

Sementara itu untuk Shadow of The Tomb Raider Anda juga bisa mendapatkan FPS yang terbaik dengan menggunakan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p. Pada game tersebut, Anda bisa mendapatkan 86 min FPS, 164 max FPS, dan 120 avg FPS. Mengingat dua game tersebut terbilang sebagai dua game yang cukup berat, bahkan sampai sekarang, maka bisa dibilang kita tidak perlu terlalu khawatir jika ingin memainkan game AAA lainnya dengan menggunakan pada Acer Nitro N50-110 ini.

Untuk skenario kedua saya menggunakan game multiplayer alat uji. Saya menggunakan dua game yang terbilang paling berat dan cukup populer belakangan ini, yaitu PlayerUnkown’s Battleground dan Apex Legends. Untuk melakukan pengujian, saya memainkan 3 kali sesi permainan, lalu merekam FPS yang didapatkan dengan menggunakan MSI Afterburner. Hasil FPS yang didapatkan (min, max, dan average) dijumlahkan, dan dibagi 3 untuk mendapatkan angka rata-rata FPS keseluruhan.

Seperti pada game AAA, dua game tersebut juga tidak memberi banyak masalah kepada Acer Nitro N50-110. Dengan menggunakan penghitungan tersebut, pengaturan rata kanan, dan resolusi 1080p, PUBG berhasil mendapatkan 61 min FPS, 95 max FPS, dengan 80 average FPS.

Rata-rata game PUBG sebenarnya masih bisa mempertahankan 60an min FPS. Tetapi sempat pada satu sesi saya mendapatkan 54 min FPS. Catatan tersebut saya dapatkan pada saat saya bermain di map Vikendi, dan berhasil mencapai peringkat 3 dengan torehan 8 kill (maaf pamer… Hehe). Mengingat pertarungan cukup intens ketika itu, mungkin banyaknya efek ledakan, serta bom asap yang dilemparkan pemain lain, jadi alasan kenapa min FPS yang saya dapatkan turun ke angka di bawah 60.

Lalu untuk Apex Legends, masih dengan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p, saya mendapatkan 42 min FPS, 145 max FPS, dengan 96 average FPS. Untuk min FPS, angka yang rendah tersebut saya dapatkan sepertinya karena terjadi sedikit anomali pada sesi ketiga permainan saya. Saat itu, Apex Legends mencatatkan 17 min FPS. Mungkin ini terjadi karena lag koneksi yang terjadi pada saat saya bermain di sesi ketiga. Tetapi secara keseluruhan, torehan min FPS Apex Legends memang selalu di bawah 60.

Saya sendiri sebenarnya kurang tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena konfigurasi Acer Nitro N50-110 yang memang kurang tangguh untuk memainkan Apex Legends, atau bisa jadi juga game tersebut yang masih kurang optimal. Namun secara keseluruhan average FPS yang didapatkan sudah lebih dari rata-rata, yang membuat pengalaman bermain jadi sangat menyenangkan.

Tampilan, Desain, dan Fitur Tambahan

Setelah kita kupas tuntas soal performa jeroan Acer Nitro N50-110, sekarang mari kita beralih ke kulit luar. Walau punya performa dan jeroan yang sangar, tampilan luar Acer Nitro N50-110 ini malah terbilang terlalu sederhana. Tidak ada kesan gamer yang berlebihan, selain warna hitam doff dengan motif brushed alumunium, ditambah aksen merah tua yang membuatnya terlihat sporty namun tetap elegan.

Anda juga tidak bisa mengharapkan lampu RGB kelap-kelip yang biasanya menjadi ciri khas bagi gaming PC. LED Backlit pada Acer Nitro N50-110 hanya ada satu, berwarna merah dan berbentuk huruf V di bagian depan casing, yang akan menyala (tapi kurang terang) pada saat PC dinyalakan.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Secara ukuran, casing Acer Nitro N50-110 terbilang cukup compact dibanding dari kebanyakan PC. Menurut saya design compact sebenarnya bisa berarti menguntungkan atau merugikan. Pada satu sisi PC ini akan mudah dibawa-bawa jika Anda harus pindah rumah dan memberi kesan minimalis serta sleek. Namun pada sisi lain design compact akan memberikan kekhawatiran tersendiri dari sisi air flow.

Terlebih dari apa yang saya lihat hanya ada dua lubang air flow dan dua fan tersedia untuk sebuah PC yang punya performa tinggi ini. Jadi, apakah design compact pada Acer Nitro N50-110 ini diterapkan dengan tanpa mengorbankan performa thermal-nya? Agak sulit sebenarnya untuk menjawab ini, sebagai gambaran Anda bisa melihat penjelasan saya saja seputar performa thermal pre-built desktop ini.

Pada saat melakukan benchmark dengan Superposition dan Cinebench, suhu maksimum CPU mencapai angka 79 derajat celsius, sementara suhu maksimum GPU mencapai angka 85 derajat celsius. Sementara itu pada saat saya menggunakan pre-built desktop ini untuk kebutuhan sehari-hari, suhu CPU-nya bisa mencapai suhu maksimum 68 derajat celsius. Untuk melakukan pekerjaan sehari-hari saya sebagai penulis, saya tidak banyak melibatkan GPU, sehingga suhunya aman di kisaran 40an. Sebagai catatan juga, suhu tersebut saya dapatkan saat melakukan pengujian di dalam kamar kos saya, tanpa menggunakan AC. Lebih detil, Anda bisa lihat sendiri galeri di bawah ini yang berisikan bentuk bagian dalam Acer Nitro N50-110, beserta catatan performa thermal yang saya dapatkan.

Seperti Anda lihat di atas, bagian dalam Nitro N50-110 ini tidak bisa dibilang bagus. Jika hanya melihat bagian casing luar, skor-nya mungkin 70/100, tapi saat melihat ke dalam saya jadi terpaksa memberi skor 40/100. Bagian dalam Acer Nitro N50-110 ini terlihat sempit. Hal ini berarti Anda akan memiliki banyak sekali keterbatasan jika ingin mengupgrade desktop ini satu hari ini, misalnya seperti menggunakan kartu grafis yang berbadan bongsor.

Konsisten seperti bagian luar, bagian dalam juga minim dekorasi. Manajemen kabel juga tidak sepenuhnya bagus, karena kabel masih menggeliat ke bagian luar, dan terlihat tidak ditata dengan rapih. Untungnya casing ini tidak transparan, yang membuat jeroan Acer Nitro N50-110 jadi bisa disembunyikan.

Untuk port colokan, bisa dibilang semua hampir semua colokan tersedia di dalam Acer Nitro N50-110. Pada bagian belakang ada 2x USB 3.1 Gen 1 Type A, 2x USB 3.1 Gen 2 Type A, 2x USB 2.0 Type A, 1x LAN Port, 1x HDMI, 1x DVI Port, 1x DisplayPort dan audio port. Sementara pada bagian depan ada optical drive, 1x USB 3.0 Type A, 1x USB 3.1 Gen 1 Type C, SD Card reader, dan audio port.

Pada bagian ini, satu yang cukup saya sayangkan mungkin adalah jumlah port USB bagian depan yang hanya satu buah saja. Selain itu, kehadiran optical drive terbilang cukup membingungkan, mengingat perangkat ini yang sudah semakin ditinggal seiring zaman. Namun optical drive yang diletakkan secara vertikal ini patut diapresiasi, membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi terlihat sleek dan modern (walau saya tetap bingung mau digunakan untuk apa… Haha).

Selain dari port tersebut, Acer Nitro ini juga dilengkapi dengan Wi-Fi card serta Bluetooth. Jadi jika Anda adalah penganut setup wireless, tidak perlu lagi membeli dongle tambahan entah Wi-Fi atau Bluetooth. Tambahan lainnya yang ada pada bagian atas PC berupa penampang Qi Wireless Charging. Walau sebenarnya bagus, mungkin ini akan kurang berguna bagi para pengguna entry (seperti saya). Tetapi mengingat MSRP Acer Nitro N50-110 ini adalah Rp22.999.000, maka kemungkinan besar pemilik pre-built desktop ini sudah menggunakan smartphone kelas atas yang punya kemampuan wireless charging, sehingga fitur ini jadi sangat handy untuk kebutuhan produktivitas sehari-hari.

Lalu bagaimana dengan paket penjualan? Paket penjualan Acer Nitro N50-110 sendiri terbilang terlalu sederhana, namun sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Acer menyertakan mouse dan keyboard standar untuk penggunaan sehari-hari di dalam paket penjualan — bukan gaming seperti Razer Basilisk V2 atau SteelSeries Apex 7. Acer Nitro N50-110 ini juga sudah menyertakan Windows 10 Home 64-bit. Jadi Anda cukup menyediakan sebuah monitor saja, dan Acer Nitro N50-110 ini sudah siap digunakan.

Kesimpulan

Sebenarnya saya agak sedikit bingung, pasar apa yang sebenarnya ingin dikejar oleh Acer Nitro N50-110 ini. Tampilannya terlalu sederhana untuk kalangan gamers, tapi juga lumayan flashy untuk kalangan pengguna profesional.

Terlebih, dari jeroan dan konfigurasi yang disajikan, Acer Nitro N50-110 seharusnya bisa menyasar gamers atau para profesional multimedia lewat paket penjualan yang lebih menarik. Padahal jika Acer Nitro N50-110 ini menyertakan bonus berupa gaming gear, para gamers mungkin jadi lebih tertarik. Atau bisa juga menyertakan bonus software multimedia, sehingga pre-built desktop ini jadi lebih menawan bagi para profesional bidang multimedia.

Dengan MSRP seharga Rp22.999.000, Acer Nitro N50-110 terbilang terlalu sederhana dan minimalis. PC ini cuma bisa menawarkan performa yang baik di kelas mid-low, belum sampai ke high-end. Dengan jumlah uang yang dikeluarkan dan apa yang didapatkan, saya cenderung masih berpikir lebih baik sedikit repot merakit PC sendiri karena bisa dapat spesifikasi serupa dengan harga yang lebih murah. Lalu sisa uangnya bisa dialihkan untuk membeli game AAA terbaru atau software multimedia untuk kebutuhan kerja.

Jadi melihat ini, bisa jadi pre-built PC ini ditujukan untuk profesional multimedia yang suka main game di waktu luang, namun tidak mau banyak repot. Mengingat spesifikasinya yang mumpuni, software multimedia kemungkinan besar bisa dilahap juga dengan Acer Nitro N50-110. Port colokan yang lengkap, Windows Home 64-bit, serta mouse dan keyboard dalam paket penjualan, juga membuat PC ini jadi sudah serba berkecukupan. Seperti yang saya bilang tadi, Anda cukup menyediakan sebuah monitor dan Acer Nitro N50-110 sudah siap digunakan.

[Review] Smartfren Andromax E2+, Kejutan di Smartphone ‘Murah’

Ketika pertama kali akan mencoba smartphone yang satu ini, harapan saya secara tidak langsung di-setting untuk perangkat low atau entry level mid karena harga yang ditawarkan. Namun, ternyata Smartfren Andromax E2+ memberi saya kejutan.

Hadir kurang lebih awal bulan Juni kemarin, dari materi promo dan kotak perangkat, smartphone ini saya lihat membawa dua misi promosi untuk menggoda para calon konsumen, yang pertama adalah ajakan bermain game dengan perangkat smartphone terjangkau serta yang satu lagi adalah fitur VoLTE dengan janji panggilan telepon dengan kualitas lebih baik.

Dua janji ini dihadirkan dengan harga yang bisa dibilang tidak mahal, yaitu seharga 1.2 juta setelah diskon di situs ecommerce (meski di situs resmi harga yang tertera adalah 1juta).

Andromax E2+
Kelengkapan Andromax E2+

Tampilan fisik Andromax E2+

Ada yang tidak biasa ketika saya pertama kali menjelajah tampilan fisik dari perangkat ini. Terutama ketika menggenggam perangkat dan melakukan beberapa skenario cara menggengman. Meski terdengar agak ‘lucu’, ternyata ada perasaan rindu dengan tampilan fisik yang terasa agak berat tetapi solid dan kokoh saat digenggam.

Andromax E2+ hadir dengan layar 4.5 inci (tampilan layar smartphone yang semakin ditinggalkan) dan body pinggiran yang tebal, mengingatkan saya pada desain iPhone 4/4s.

Sebagai pengguna smartphone layar besar (5 inci) ternyata menggenggam perangkat dengan layar lebih kecil memberikan kenyaman tersendiri. Jarak sentuh oleh jempol saat menjelajah aplikasi lebih dekat, dan ponsel bisa digenggam secara lebih utuh. Meski tentu saja, bobot ponsel ini menjadi agak berat karena bagian tebal di pinggir.

Andromax E2+
Tampilan body samping Andromax E2+

Hampir tidak ada yang terlalu spesial memang dengan body Andromax E2+ selain rasa genggam, ini bisa dimaafkan karena segmen yang ingin disasar serta bukan itu fokus utama dari ponsel ini. Bagian belakang terdapat casing plastik tipis yang dilapisi mate hitam (unit yang saya coba berwarna hitam). Kelengkapan tombol semua ada di bagian pinggir kanan (satu tombol power dan dua tombol volume), colokan untuk 35mm di bagian atas dan untuk kabel USB di bagian bawah.

Layar

Layar 4.5 inci dengan IPS dan OCA serta resolusi FWVGA yang hadir memang tidak istimewa, tetapi pengalaman saya menggunakan perangkat ini untuk bermain game cukup baik dan nyaman.

Andromax E2+
Andromax E2+ saat memainkan game Asphalt Nitro

Meski demikian, layar di bawah 5 inci memang cukup terbatas untuk urusan game. Akan lebih menyenangkan memang jika menggunakan layar yang lebih lebar dalam bermain game mobile. Namun, dari dua game yang saya sering mainkan dengan perangkat ini, Asphalt Nitro dan NBA LIVE, ukuran layar bisa ‘dimaafkan’ karena dukungan spesifikasi yang mampu melahap game ‘berat’.

Pengalaman penggunaan

Seperti biasa, saya melakukan review perangkat sesuai dengan mindset, ‘akan digunakan untuk apa perangkat yang saya review ini jika harus digunakan sehari-hari’. Dengan ‘label’ yang dibawa Andromax E2+ sebagai smarphone kelas entry level mid, maka harapan yang saya gantungkan atas perangkat memang tidak terlalu tinggi.

Dengan dukungan jaringan 4G LTE yang dibawa Smartfren, penggunaan utama perangkat ini bagi saya adalah untuk kegiatan yang membutuhkan akses internet. Baik itu langsung dari perangkat atau menggunakan Andromax E2+ dengan metode tethering untuk akses internet perangkat lain.

Andromax E2+
Tampilan belakang Andromax E2+

Untuk dua kegiatan di atas, Andromax E2+ ini cukup bisa diandalkan. Akses internet untuk browsing menjelajah informasi di internet, penggunaan media sosial bisa dijalankan dengan lancar. Penggunaan perangkat untuk tethering pun, dari pengalaman saya, tidak menemukan masalah dan bisa mendukung kerja. Kemampuan untuk tethering dari perangkat ini, dikutip dari situs resmi bisa menangani sampai 5 pengguna. Saya belum mencoba sampai 5 perangkat yang terhubung memang, hanya 1 perangkat saja.  

Satu kegiatan lain yang saya gunakan dengan perangkat ini adalah melakukan booking transportasi online untuk mendukung aktivitas saya ketika berada di Jakarta. Pengalaman untuk penggunaan ini juga cukup lancar, termasuk saat membuka aplikasi peta untuk mengetahui tujuan alamat yang saya cari. Jaringan 4G LTE Smartfren bisa diandalkan untuk kegiatan ini.

Kejutan yang saya maksud dalam awal tulisan adalah pengalaman menggunakan Andromax E2+ untuk gaming. Ternyata kemampuan untuk menjalankan beberapa game yang saya coba, termasuk game ‘berat’, perangkat ini tidak menemui masalah. Game yang saya coba antara lain Skyward lalu Asphalt Nitro, dan game yang sampai saat ini rutin terus saya mainkan adalah NBA Live.

Andromax E2+
Tampilan UI Andromax E2+

Dua game terakhir mulus berjalan di Andromax E2+, efek yang ada di game Asphalt cukup terasa meski tentunya masih di bawah smartphone high-end, tetapi saya pikir cukup untuk merasakan serunya bermain Asphalt dengan berbagai efek balap mobil yang ada.

Game NBA Live juga terasa mulus dan tanpa masalah saat saya mainkan di perangkat ini, bahkan untuk beberapa kondisi berjalan lebih mulus dibandingkan saat mencoba di perangkat lain yang spesifikasinya lebih tinggi (dari sisi RAM). Tidak ada delay saat bermain dan tampilan gambar permainan di layar pun terasa cukup meski tidak istimewa.

Tentu saja seperti yang sudah saya singgung di atas, tampilan layar 4.5 inci memang teras terbatas untuk bisa menikmati permainan secara lebih menyenangkan, di sisi lain ukuran yang kecil juga memberi keunggulan tersendiri. Terutama bagi saya yang smartphone utama berukuran 5 inci. Jadi satu ponsel yang ukuran kecil untuk bermain game dan satu lagi untuk kegiatan sehari-hari.

Kenyamanan bermain game di perangkat E2+ tentunya tidak lepas dari dukungan spesifikasi yang ada, yaitu prosesor Snapdragon 212 quad core 1.3 GHz Cortex A7 dan RAM sebesar 2GB.

Fitur lain yang juga cukup menarik disematkan di Andromax E2+ adalah touch screen command atau Smartfren menyebutkan smart screen feature. Dengan fitur ini Anda bisa menjalankan beberapa perintah di layar saat ponsel terkunci untuk menjalankan fungsi tertentu. Misalnya huruf O untuk membuka ponsel, S untuk membuka aplikasi kamera dan lain sebagainya.

Andromax E2+
Tampilan slot SIM dua buah dan micro SD.

Tambahan ini mungkin tidak istimewa karena menjadi fitur ‘standar’ di smartpohone mid – high end, tetapi akan jadi fitur yang menambah daya tarik jika dihadirkan di ponsel seharga di bawah 1.4 juta rupiah.

Fasilitas yang sebenarnya jadi unggulan E2+ adalah VoLTE atau fitur suara yang memungkinkan pengguna untuk melakukan panggilan dengan lebih cepat untuk tersambung serta suara lebih jernih. Fitur ini harus diaktifkan dan kartu yang digunakan juga sudah harus mendukung.

Seperti review rekan saya untuk perangkat Andromax A, Anda bisa langsung melakukan video call tanpa aplikasi tambahan tetapi langsung dari aplikasi dialer bawaan. Saat mencoba, akses sambung telepon memang terasa lebih cepat, suara yang dihasilkan juga terasa lebih baik dibandingkan dengan telepon tanpa VoLTE.

Fitur lain yang berguna antara lain dual SIM dan slot micro SD. Sayang untuk dual SIM, yang pertama bisa akses 4G LTE (Smartfren) sedangkan yang kedua tidak sampai HSDPA.

Andromax E2+
Menu aplikasi kamera Andromax E2+

Untuk foto sendiri saya tidak banyak menggunakannya karena memang bukan peruntukkan yang saya butuhkan, namun spesifikasi E2+ menghadirkan flash bagi kamera depan dan belakang, kamera belakang 5MP AF BSI Sensor LED Flash serta kamera depan 5MP Wide angle FF LED Flash.

Untuk suara sendiri, di atas kertas perangkat ini memberikan fitur Dolby Digital Plus Audio Enhancer, dari pengalaman saya menggunakan, suaranya memang tidak terlalu buruk, lagi-lagi kita harus melihat segmentasi produk ini ditempatkan.

Andromax E2+
‘Bantalan’ untuk speaker Andromax E2+

Satu hal yang menarik, meski speaker di tempatkan di bagian belakang, Hisense sebagai pabrikan perangkat ini, menenpatkan sedikit penahan agar speaker tidak tertutup saat digunakan terlentang (layar di bagian atas).

Andromax E2+ membawa Android 5.1.1 sebagai sistem operasinya, meski bukan sistem operasi terbaru, tampilan UI cukup standar dengan beberapa aplikasi bawaan. Salah satu keluhan yang saya dapatkan saat menggunakan perangkat ini, tombol home yang biasanya digunakan untuk kembali ke menu awal setalah membuka aplikasi, agar sering bekerja terlalu lambat.

Kesimpulan

Dengan harga yang ditawarkan Smartfren Andromax E2+ bisa menjadi pilihan jika Anda mencari perangkat entry level untuk kelas ponsel menngah dengan jaringan 4G LTE dari Smartfren. Perangkat ini juga akan memberikan Anda bonus VoLTE, spesifikasi yang memungkinkan untuk menangani game ‘berat’ serta dual flash kamera dengan kualitas yang cukup. Sayang memang baterai di perangkat ini tidak terlalu istimewa, yaitu 1900 mAh saja.

Informasi tentang Smartfren bisa didapatkan di sini. Untuk membeli secara online bisa di toko online berikut.

Galeri lebih lengkap untuk foto Andromax E2+.


Koreksi: Ada perbaikan judul yang dilakukan, serta perbaikan lain untuk memperjelas maksud tujuan artikel, tanpa mengubah tujuan artikel.