Perusahaan Semakin Tertarik untuk Pasang Iklan Dalam Game

Masyarakat disarankan untuk tetap di rumah untuk meminimalisir kemungkinan tertular corona. Hal itu membuat semakin banyak orang menghabiskan waktunya dengan bermain game. Para pengiklan melihat tren ini sebagai kesempatan. Karena itu, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk memasang iklan dalam game atau di turnamen esports. Mereka melihat, memasang iklan dalam game merupakan bagian dari strategi marketing media sosial.

Belum lama ini, Adidas mengadakan turnamen FIFA untuk menggantikan liga sepak bola yang harus dibatalkan karena corona. Turnamen tersebut mempertemukan 12 pesepak bola dan 12 selebritas. Pertandingan dari turnamen itu lalu disiarkan di akun Facebook Adidas, IGTV, dan YouTube secara langsung di Turki.

Adidas mengatakan, jumlah penonton dari turnamen tersebut mencapai dua kali lipat dari liga sepak bola Turki. Sekitar 1,2 juta penonton menghabiskan sekitar 20-40 menit untuk menonton pertandingan sepak bola virtual tersebut. Populernya turnamen FIFA itu mendongkrak bisnis Adidas. Jumlah download aplikasi Adidas di Turki naik dua kali lipat. Hal ini berujung pada kenaikan pendapatan dari aplikasi tersebut hingga 25 persen.

Dalam turnamen FIFA ini, semua peserta menggunakan baju bermerek Adidas. Tak hanya itu, logo Adidas juga sering muncul dalam game karena mereka memang menjadi sponsor dari banyak tim sepak bola yang dimainkan. Dengan ini, Adidas berhasil menjadikan turnamen FIFA sebagai ajang untuk memperkenalkan merek mereka. Kesuksesan Adidas membuat semakin banyak pengiklan tertarik untuk memasang iklan dalam game.

iklan dalam game
Riot buat banner dalam game untuk iklan.

Pada akhir Mei lalu, Riot Games juga mulai membuat banner sponsor di League of Legends. Jadi, nama atau logo sponsor dapat ditampilkan dalam game. Dengan begitu, banner sponsor akan dilihat oleh para pemain profesional maupun para fans ketika pertandingan berlangsung. Mastercard dan Alienware menjadi dua perusahaan pertama yang memasang in-game banner dari Riot tersebut. Riot berencana untuk menampilkan merek yang berbeda di 12 liga regional mereka.

Banner dalam game akan menjadi salah satu aset paling penting di portofolio kami karena ia dapat menarik perhatian para penonton saat pertandingan berlangsung,” kata Naz Aletaha, Head of Global Esports Partnership, Riot Games, seperti dikutip dari Digiday. “Keberadaan banner tersebut membuka kesempatan baru yang selama ini hanya dapat dilakukan di dalam acara offline.” Dia menjelaskan, untuk mengukur sukses atau tidaknya in-game banner ini, Riot akan menggunakan tolok ukur yang sama dengan iklan di media sosial, seperti jumlah impresi.

Sementara itu, Electronic Arts berusaha agar turnamen esports dari game mereka disiarkan di televisi. “Nilai dari iklan dalam game akan naik seiring dengan bertambahnya jumlah penonton,” kata Todd Sitrin, General Manager of the Competitive Gaming Division, Electronic Arts. Dia menjelaskan, dalam waktu 2-6 bulan belakangan, nilai game EA naik di mata pengiklan naik karena mereka sadar, mereka bisa menjangkau generasi muda melalui iklan dalam game dan turnamen esports.

Pendapat Beberapa Sosok FPS Indonesia Terhadap Valorant

Pekan lalu, gamers di seluruh dunia dimeriahkan dengan kehadiran salah satu FPS terbaru besutan Riot Games, Valorant. Secara sekilas, Valorant terlihat biasa saja, seperti CS:GO, namun memiliki karakter dengan skill khusus layaknya Overwatch. Namun nama besar Riot Games mungkin bisa dibilang menjadi salah satu daya tarik terhadap game ini. Apalagi saat proses pengembangan, Riot Games juga mempromosikan server 128 tick-rate yang katanya banyak diinginkan oleh pemain game FPS kompetitif lainnya.

Satu pekan berlalu, banyak gamers di Indonesia juga segera mencoba game yang satu ini, tak terkecuali sosok-sosok yang bisa dibilang sudah cukup veteran di komunitas FPS Indonesia. Kira-kira apa pendapat mereka terhadap Valorant? Dalam artikel ini saya menanyakan pendapat tiga sosok, Antonius Wilson (Wooswa), Wibi Irbawanto (8Ken), dan perwakilan pemain Team Scrypt yang merupakan tim Rainbow Six: Siege profesional asal Indonesia. Berikut pendapat mereka:

Antonius Wilson a.k.a Wooswa

“Menurut gue game ini berpotensi untuk jadi besar.” Ucap sosok yang terkenal sebagai seorang shoutcaster CS:GO dan PUBG Mobile. “Tapi gue sendiri nggak mengerti, kenapa orang-orang mengatakan bahwa game ini akan membuat CS:GO mati. Karena menurut gue, ini adalah dua game yang sangat berbeda. CS:GO sudah menjadi game klasik yang sulit untuk dijatuhkan, apalagi kalau sampai mereka jadi merilis CS:GO dengan menggunakan engine Source yang baru. Yang seharusnya khawatir adalah Overwatch, karena gue rasa mereka yang akan kena dampak paling besar jika Valorant berhasil menjadi populer.”

Wooswa sendiri tidak hanya menjadi seorang shoutcaster. Belakangan ia juga sedang rajin melakukan livestream via channel Youtube miliknya, dan memainkan Valorant. Jadi tak heran jika ia sedikit banyak paham dengan seluk beluk Valorant secara gameplay. Maka dari itu saya juga menanyakan pendapat dirinya soal kesiapan Valorant untuk menjadi esports dari segi balancing Agents, Map, dan aspek lainnya.

“Masih butuh waktu bagi game ini untuk menjadi esports. Jelas, penyelenggara event bakalan sangat senang dengan game ini, karena spesifikasi hardware yang dibutuhkan relatif ringan dan mudah sekali untuk membuat custom room. Dibanding dengan CS:GO, yang secara spesifikasi lumayan berat, terutama untuk kebutuhan esports, dan juga kerumitan teknis jika ingin membuat turnamen.” Ucapnya membahas kesiapan Valorant menjadi esports dari segi teknis.

“Tapi, masih ada beberapa hero yang harus di-nerf atau buff, beberapa titik map harus di-revamp, beberapa hal dari sistem ekonomi juga harus ada yang dimodifikasi lagi. Kenapa? Karena masa iya elo bisa melihat informasi ekonomi musuh dari scoreboard? Gue rasa itu terlalu mudah, dan mengurangi tingkat kompetitif dari game ini.” tukas Wilson membahas soal kesiapan Valorant untuk esports dari sudut pandang balancing Map dan Agents.

Rixx dan Tolji dari Team Scrypt

Pembaca setia Hybrid mungkin tak asing lagi dengan nama Team Scrypt. Merupakan salah satu tim Indonesia yang bertanding di R6S: ESL Pro League musim lalu, mereka ternyata juga tidak kelewatan mencoba Valorant. Untuk membahas FPS terbaru dari Riot Games ini, Team Scrypt diwakili oleh Richard Nixon Latief (Nixx) dan Reinaldo Gilbert (Tolji).

Gamenya seru, membawa gue ke nostalgia main Counter-Strike, tapi tentu dengan mempelajari ulang mekanik game dan juga mapnya.” Ucap Rixx. “Seru bakal jadi the next CS:GO tapi fast pace.” Tolji menambahkan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Wibi
Rixx (kiri) dan Tolji (kanan) pemain profesional Rainbow Six: Siege dari Team Scrypt yang ternyata juga turut mencicipi Valorant. Sumber: Dokumentasi Pribadi Wibi

Lebih lanjut, Rixx dan Tolji lalu membahas soal kesiapan Valorant untuk jadi esports. Tolji dengan cukup jelas membahas soal balancing Valorant yang masih harus sedikit di-tweak agar jadi lebih baik. “Menurut gue map Bind itu terlalu susah untuk sisi defender. Alasannya adalah karena opsi rotasi dari B ke A cuma 2, yaitu flank atau lewat Defender Side.” ucap Tolji. “Kalau dari sisi Agents, sejauh ini sudah cukup balance. Cuma kayanya Agents entry (Duelist) agak terlalu banyak.” lanjut Tolji.

Pendapat Rixx soal kesiapan Valorant untuk esports cukup senada dengan Wilson, yaitu soal kehadiran custom map. Selain itu Rixx juga menambahkan “Walau terlihat familiar, tapi menurut gue Valorant itu berhasil membedakan dari FPS esports yang lain. Riot berhasil membuat game ini punya pace yang lebih cepat dan membuat para pemainnya harus gesit mengambil keputusan di tengah pertandingan.” ucapnya.

Wibi Irbawanto a.k.a 8Ken

Sumber: Dokumentasi Pribadi Wibi
Wibi Irbawanto (kiri) a.k.a 8Ken yang tak hanya merupakan sosok shoutcaster, tapi juga merupakan salah satu pemain game genre FPS sejak lama. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Seperti Wilson, Wibi juga adalah seorang shoutcaster yang dulu aktif di skena CS:GO dan sempat menjadi shoutcaster untuk PUBG Mobile Pro League Indonesia Season 1. Sepekan mencoba Valorant, Wibi memberikan pendapatnya yang komperhensif terhadap FPS besutan Riot Games yang satu ini.

Wibi membuka pembahasan terhadap Valorant dari sisi potensi game ini di dalam pasar game FPS yang sudah ada saat ini. “Menurut saya, game ini dibuat untuk menyentuh pasar yang menarik. Valorant dirancang untuk beberapa segmentasi pasar sekaligus, dan salah satu pasar terbesar dari game ini justru adalah orang-orang yang punya sedikit atau bahkan tidak punya pengalaman game FPS sama sekali.” ucap Wibi.

“Untuk itu saya setuju dengan apa yang sempat dikatakan Shroud dalam salah satu sesi streaming yang ia lakukan, bahwa Valorant punya skill-cap yang lebih rendah daripada CS:GO, karena memang game ini dirancang tidak serumit CS:GO. Namun di waktu bersamaan Shroud juga bilang bahwa game ini sangat menyenangkan. Saya juga sangat setuju dengan pendapat tersebut, karena gimmick berupa skill yang berbeda-beda dari masing-masing Agent membuat Valorant jadi lebih berwarna.”

Selain itu, Wibi juga menambahkan bahwa Valorant menyentuh satu titik tengah di dalam persaingan game FPS dengan menyajikan berisikan fitur-fitur terbaik dari FPS lainnya. “Dia punya elemen R6S lewat mekanik Agent, gameplay tactical-shooter ala CS:GO, dan ditambah dengan personalita serta skill masing-masing Agents Valorant yang vibrant ala Overwatch, membuat game ini jadi punya daya tarik sendiri. Walau belum sempurna, tetapi Valorant mengambil aspek terbaik dari FPS yang sudah ada, mengurangi yang buruk, dan menjadikannya suatu game tersendiri.”

Wibi juga menambahkan soal alasan kenapa Valorant punya potensi populer yang sangat besar, yaitu karena Free to Play. Jika Anda belum tahu atau mungkin baru sadar, hampir kebanyakan game FPS kompetitif yang sudah ada itu berbayar. Overwatch kini dibanderol seharga US$19.99, CS:GO dulu dibanderol seharga Rp215.999, dan Rainbow Six: Siege dibanderol seharga Rp229.000.

Lalu membahas soal esports, Wibi juga punya pendapat yang serupa dengan dua sosok sebelumnya, yaitu penyediaan custom-room yang membuat game ini satu langkah lebih jauh dibanding dengan FPS kompetitif lainnya.

“Dulu Overwatch punya isu IP clash saat ingin bergabung dalam custom-lobby, begitupun dengan Year 1 R6S, apalagi CS:GO yang memaksa penyelenggara turnamen untuk menyewa server sendiri dalam menjalankan custom-lobby. Apex Legends dan Fortnite apalagi, padahal dua game tersebut sempat populer di Indonesia, tapi gara-gara sulit membuat custom-room, game ini jadi meredup. Jadi ini sebenarnya adalah kabar baik untuk para event organizer di Indonesia! Membuat turnamen jadi lebih mudah.”

Dari pembahasan soal custom-room, Wibi lalu melanjutkan pembahasan dari segi balancing. Soal map, satu yang ia keluhkan sebenarnya adalah variasinya yang masih terlalu sedikit. Namun, satu hal yang membuat kemungkinan Valorant semakin besar untuk jadi esports lagi-lagi adalah karena mereka membuat Valorant familiar bagi pemain lama di FPS, lewat sistem 3-way lane yang mereka sajikan. “Memang sistem tersebut pun juga mereka hadirkan dengan beberapa gimmick, seperti map Bind yang punya teleporter dari A ke B dan sebaliknya, atau map Haven yang punya 3 bombsite.”

Lalu soal Agents, Wibi menganggap bahwa Riot Games memang perlu melakukan balancing lebih lanjut terhadap karakter yang ada. “Ini cukup wajar, karena selama open-beta, mereka masih fokus dalam urusan stabilitas server.” ucapnya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sedikit banyak meta Valorant sudah terbentuk, yang mana belum bisa dibilang sepenuhnya seimbang.

“Kita sudah bisa melihat bagaimana Sage jadi Agent wajib di game ini karena bisa menghidupkan Agent lain. Sementara itu, di waktu bersamaan ada juga Agent seperti Jett, yang sebenarnya adalah salah satu poster girl bagi Valorant, namun perannya di dalam pertandingan cenderung insignifikan jika dibanding Agent lain.

Sedikit menanggapi dari pendapat sosok-sosok di atas, saya sendiri kuran lebih banyak setuju dengan pendapat mereka. Dan menurut saya, yang membuat Valorant terasa lebih khas adalah kehadiran sosok-sosok Agents. Hal tersebut membuat game tactical FPS kompetitif yang cenderung kaku, jadi lebih segar dengan sajian personalita masing-masing Agents yang datang dari latar budaya yang berbeda-beda.

Jadi bagaimana dengan Anda? Sudah mencicipi Valorant? Bagaimana pendapat Anda akan game ini?

Riot Games Bakal Investasikan Rp142,8 Miliar ke Studio Game Milik Kaum Minoritas

Pembunuhan George Floyd, seorang pria berkulit hitam, menyebabkan ribuan warga Amerika Serikat turun ke jalan untuk protes, menuntut kesetaraan hak bagi orang-orang berkulit hitam. Hal ini mendorong Riot Games untuk ikut serta dalam membantu golongan minoritas tumbuh dan berkembang di dunia gaming.

“Di Riot Games, kita memiliki platform tidak hanya untuk mendukung gerakan penting, tapi juga memberikan kesempatan yang bisa mengubah hidup banyak orang. Salah satunya adalah dengan membuka akses ke modal dan sumber daya, karena peningkatan ekonomi bisa memberikan kesetaraan,” kata President Riot Games, Dylan Jadeja, seperti dikutip dari VentureBeat. Dia menjelaskan, melalui tim Corporate Development, Riot akan memberikan modal sebesar US$10 juta (sekitar Rp142,8 miliar) pada bisnis-bisnis game yang didirikan oleh perempuan dan golongan minoritas lainnya.

Tak hanya itu, Riot Games juga bekerja sama dengan Florida A&M University untuk membuat kurikulum khusus game bagi calon programmer. Mereka juga akan memberikan beasiswa bagi siswa berkulit hitam yang tertarik dengan pengembangan game. Beasiswa senilai US$50 ribu (sekitar Rp701 juta) itu akan diberikan melalui Thurgood Marshall Scholarship Fund. Riot juga akan terus memberikan investasi ke organisasi pendidikan, seperti Girls Who Code, Urban TxT, Reboot Representation, dan lain sebagainya, menurut laporan Daily Esports.

Untuk melawan rasisme, Riot memberikan US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar) dari Dana Dampak Sosial mereka ke The Innocence Project dan American Civil Liberties Union (ACLU). Sebagai lembaga nirlaba, The Innocence Project bertujuan membantu orang-orang tak bersalah yang dituduh telah melakukan kejahatan. Sementara ACLU merupakan organisasi yang melindungi hak masyarakat Amerika Serikat melalui jalur hukum.

Riot bukan satu-satunya perusahaan game yang membuat donasi dalam melawan rasisme. Sebelum ini, Electronic Arts juga telah memberikan donasi sebesar US$1 juta pada Equal Justice Initiative serta National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) Legal Defense & Educational Fund. Sementara Zynga, pembuat FarmVille, juga menyumbangkan US$1 juta ke sejumlah organsiasi, seperti ACLU, NAACP, Thurgood Marshall College Fund, Northside Achievement Zone, dan Race Forward.

Selama belasan tahun, Riot Games dikenal sebagai developer yang hanya membuat satu game, yaitu League of Legends, salah satu game esports paling populer di dunia. Namun, belakangan, mereka meluncurkan beberapa game baru, termasuk Valorant.

[Exclusive Interview] Apa Rencana Riot Games untuk Valorant di Indonesia?

Tanggal 2 Juni 2020 lalu, Riot Games akhirnya secara resmi merilis game FPS buatannya, Valorant. Antusiasme para gamers terhadap Valorant terbilang cukup tinggi. Riot Games pertama kali mengumumkannya sebagai Project A pada ulang tahunnya yang ke-10, bersama dengan League of Legends versi Mobile (Wild Rift), game kartu Legends of Runeterra, dan sebuah proyek game fighting League of Legends.

Ketika Valorant pertama kali muncul ke permukaan pada April 2020 lalu, game ini segera mendapat perhatian yang begitu besar. Bahkan, Valorant berhasil mencatatkan rekor sebagai game dengan jumlah penonton terbanyak, dengan 1,7 juta pasang mata menyaksikan konten game ini pada platform game Twitch.

Kini, setelah Valorant rilis, banyak pertanyaan muncul. Bagaimana Riot merencanakan esports untuk Valorant? Apa langkah selanjutnya setelah banyak organisasi esports dan pihak ketiga berinvestasi ke dalam ekosistem Valorant? Dan yang paling penting, akankah ada dukungan bagi para komunitas dan ekosistem esports lokal Indonesia?

Membahas hal ini, saya berkesempatan untuk mewawancara Justin Hulog, General Manager Southeast Asia and Taiwan for Riot Games. Tapi sebelum itu, mari kita bahas singkat bagaimana proses Valorant hingga menjadi seperti sekarang.

Bagaimana Riot Games Membesarkan Valorant Sejauh Ini

Anda penggemar game PC, terutama genre MOBA, besar kemungkinan Anda tahu nama besar Riot Games. Mengasuh League of Legends dari game yang bukan siapa-siapa, bahkan awalnya ditentang keras oleh komunitas pemain Defense of the Ancients, hingga jadi salah satu yang terlaris dan terbaik saat ini.

Membawa nama besar Riot Games, tak heran jika Valorant memiliki ekspektasi serupa dari komunitas. Apalagi Anna Donlon, Executive Producer di Riot Games, kerap kali mengatakan bahwa dirinya dan tim pengembang Valorant ingin membawa game tersebut bertahan untuk jangka panjang layaknya League of Legends.

Punya tujuan yang besar, usaha Riot untuk mencapai itu juga tidak main-main. April 2020, Valorant memasuki fase beta. Mereka melakukan satu strategi yang juga jadi andalan EA saat ingin memperkenalkan Apex Legends, menggandeng para streamer Twitch.

Para kreator konten diajak menjadi rekan Riot Games untuk main dan menayangkan Valorant pada kanal mereka masing-masing. Lalu bagaimana nasib gamers lain yang ingin tahu dan coba Valorant? Mereka diajak menonton channel Twitch yang sudah menjadi rekan Riot Games, agar bisa mendapatkan beta-keys Valorant. Berkat strategi tersebut, Valorant berhasil memcahkan rekor jumlah penonton Twitch, mencapai 1,7 juta concurrent viewers.

Tidak hanya dari segi promosi saja, Riot Games juga menunjukkan bahwa keseriusan mereka dalam menggarap game lewat beberapa sajian diari sang developer. Dari segi teknis, mereka menyiapkan server super responsif, bahkan sampai memiliki layanan internet khusus yang diberi nama Riot Direct. Mereka juga mempersiapkan server dengan 128 tick rate, yang dipercaya memberi respon lebih jitu di dalam permainan.

Dari segi gameplay, walau secara umum punya pengalaman bermain yang mirip dengan CS:GO, namun Riot Games juga secara serius ingin menyajikan sesuatu yang baru seraya mempertahankan apa yang mereka sebut sebagai Competitive Integrity. Semua dirancang untuk menyeimbangkan antara keseruan permainan adu tembak dengan kreativitas penggunaan skill masing-masing karakter dalam mencapai kemenangan.

Hal ini ternyata mendapat apresiasi yang positif dari komunitas. Shroud, sosok streamer kenamaan di komunitas FPS bahkan sampai berkata bahwa Valorant adalah game yang luar biasa, yang bisa membuat dirinya merasa malas untuk kembali memainkan FPS lain.

Kombinasi penggarapan yang serius dilengkapi strategi marketing yang efektif membuat bibit-bibit ekosistem esports Valorant mulai tumbuh, terutama di Amerika Serikat tempat Valorant memulai popularitasnya. Selanjutnya, banyak organisasi esports jadi mulai membentuk tim, mulai dari T1, G2 Esports, dan berbagai tim lainnya. Lalu, banyak pihak ketiga juga jadi tidak ragu membuat turnamen Valorant, mulai dari Twitch, ESPN, bahkan T1 juga tak mau kalah.

Whalen Rozelle, Riot Games Senior Director of Esports bahkan menceritakan kepada ESPN, bahwa mereka berbincang dengan lebih dari 120 tim profesional sebelum akhirnya memutuskan membuat Valorant. “Kebanyakan waktu kami dihabiskan untuk bertanya dan mendengarkan, bagaimana pengalaman mereka di esports FPS lain? Apa yang ingin mereka lihat di esports Valorant? Bahkan kami menceritakan rencana internal kepada mereka dan meminta komentarnya. Kami belajar banyak dan kebanyakan dari organisasi tersebut sekarang sudah punya tim, membuat turnamen, atau bahkan keduanya.”

Bagaimana Valorant dibuat, dipasarkan, dan dikembangkan, menunjukkan komitmen Riot Games agar mereka dapat kembali mendulang kesuksesan layaknya League of Legends. Namun kebanyakan proses tersebut terjadi di Amerika Serikat. Lalu bagaimana nasib Indonesia yang ada di regional Asia Tenggara?

Cara Riot Games Menyajikan Valorant Untuk Komunitas Indonesia

Walau Riot punya nama besar dan tersohor di seluruh dunia, tapi komunitas League of Legends Indonesia boleh jadi kecewa dengan pengembang asal Los Angeles ini. Awal 2010an League of Legends pertama rilis dan heboh di seluruh dunia. Walau cukup diantisipasi oleh pasar lokal, sayang Riot Games memutuskan tidak turun tangan langsung menangani game tersebt di Asia Tenggara.

Pengembangan komunitas League of Legends pada akhirnya diberikan kepada publisher lokal. Dukungan publisher lokal sempat membuat League of Legends cukup populer di Indonesia. MOBA ini bahkan sempat punya liga esports lokal, yang mendefinisikan apa itu esports profesional, karena menerapkan sistem gaji untuk tim peserta. Tapi akhirnya League of Legends di Indonesia tidak bertahan lama, server lokal Indonesia tutup dan digabung ke server SG/MY pada April 2019 lalu. Seiring dengan penutupan server dan berhentinya sokongan terhadap komunitas lokal, League of Legends pun meredup di Indonesia.

Ketika Valorant rilis, muncul satu tanda tanya besar yang kembali dipertanyakan. Akankah Riot Games kembali lepas tangan terhadap Valorant dan komunitasnya dengan menyerahkan game ini kepada publisher lokal?

Seakan ingin menebus dosa lamanya, berita menggembirakan muncul ketika Riot Games mengumumkan bahwa Valorant akan memiliki server Asia Tenggara lewat dukungan langsung dari sang pengembang. Tak hanya itu, Valorant bahkan menyambut hangat komunitas gamers Indonesia, dengan menyediakan opsi bahasa Indonesia di dalam game.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Alih-alih sekadar menyajikan nama skill dengan bahasa Inggris, translasi ini menjadi satu wujud keseriusan bagi Riot Games dalam menyajikan sebuah game yang bisa diterima oleh semua kalangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Membahas ini Justin Hulog lalu menjelaskan alasan kenapa sampai ada bahasa Indonesia di dalam Valorant. Ia mengatakan bahwa menyertakan bahasa Indonesia ke dalam Valorant merupakan salah satu yang hal yang didiskusikan oleh dirinya dan tim Riot Games Asia Tenggara sedari lama. “Maka dengan perilisan ini, saya bersama Riot Games dengan bangga mengatakan bahwa Valorant bisa dibilang menjadi game pertama kami yang menyertakan translasi bahasa Indonesia di dalamnya.” Ujar Justin.

Lebih lanjut Justin pun menjelaskan prosesnya. “Pada awalnya apa yang kami lakukan adalah mempelajari, kira-kira negara mana yang punya potensi, apakah negara tersebut (Indonesia) akan tertarik memainkan game tersebut jika kami menyediakan translasi? Setelah game dirilis dalam bahasa Inggris, kami lalu memulai proses translasi, entah dengan translator dari tim developer Riot ataupun translator dari vendor lokal.”

Saya paham betul kebanyakan gamers mungkin tidak perlu-perlu amat translasi bahasa Indonesia, toh sedari dulu kita juga sudah terbiasa main game dengan bahasa Inggris. Namun saran saya Anda perlu menyempatkan diri untuk mencicipi translasi bahasa Indonesia di dalam Valorant.

Bisa jadi, Anda akan terkagum sendiri melihat bagaimana usaha Riot melakukan translasi, bahkan termasuk terhadap beberapa kemampuan milik Agents. Beberapa contoh translasi yang membuat saya kagum adalah skill Blade Storm milik Jett, yang ditranslasi menjadi Badai Belati. Lalu ada juga skill ultimate milik Agents terbaru, Reyna, yang ditranslasi dari Empress dalam bahasa Inggris, menjadi Maharani dalam bahasa Indonesia.

Tentunya translasi ini bukan tanpa cacat. Ada juga beberapa bagian translasi yang membuat saya jadi kebingungan, seperti mode Spike Rush yang ditranslasi sebagai Spike Segera dalam bahasa Indonesia. Namun secara umum, saya tetap merasa bahwa translasi yang dikerjakan secara serius ini adalah salah satu bentuk komitmen Riot Games terhadap komunitas gamers Indonesia.

Tapi bukan berarti translasi bahasa Indonesia di Valorant tanpa cacat. Contoh paling terasa lansgung tampil di depan mata. Dalam bahasa Inggris ini seharusnya bertuliskan Episode 1: Ignition. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Tapi bukan berarti translasi bahasa Indonesia di Valorant tanpa cacat. Contoh paling terasa lansgung tampil di depan mata. Bertuliskan Ignition: Episode 1 dengan bahasa Inggris, translasi menjadi “Nyala: Babak 1” justru membuat tulisan tersebut seolah tak punya arti. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Translasi bahasa sudah jadi pertanda positif bagi komunitas gamers di Indonesia, lalu apa langkah selanjutnya dari Riot terhadap komunitas di Indonesia? Sejujurnya, Justin belum bisa menjelaskan secara terperinci soal apa-apa saja rencana yang akan Riot lakukan untuk komunitas di Indonesia saat saya wawancara hari Kamis 4 Juni 2020 kemarin. Selain karena game ini baru rilis 2 Juni 2020 kemarin, pandemi COVID-19 juga jadi alasan lainnya.

“Ini jujur ya, jika saja tidak ada pandemi COVID-19, saya mungkin saat ini sudah berada di Indonesia… Haha. Saya mungkin sudah berkeliaran mencoba mencari tahu kira-kira dukungan apa yang bisa diberikan oleh Riot agar Valorant mendapat penerimaan yang lebih baik di komunitas Indonesia.” Ucap Justin kepada saya.

Namun, untungnya Justin sempat membagikan beberapa pandangan dan rencana yang mungkin akan ia lakukan untuk mengembangkan komunitas Valorant di Asia Tenggara dan Indonesia. “Pertama-tama, kami ingin memastikan Valorant siap dari sisi server dan dapat menampung Anda semua yang ingin memainkan game terbaru dari kami.” Justin membuka pembahasan. “Baru beberapa bulan setelahnya kami mendorong lebih jauh, melakukan lebih banyak hal agar Valorant bisa diterima lebih banyak orang.”

Justin mengatakan, bahwa bentuk dukungan yang diberikan bisa berbeda-beda, tergantung kebutuhan dari komunitas di masing-masing negara. “Sebagai contoh, saya sadar betul bagaimana warnet atau iCafe masih memegang peran penting dalam pasar PC gaming di Indonesia dan Filipina, negara tempat saya berasal. Jadi kalau memang demikian, apa yang kami lakukan adalah dengan mengajak iCafe untuk bekerja sama agar bisa menyajikan Valorant ke lebih banyak gamers di komunitas lokal.” Ujar Justin.

Rencana Esports Valorant di Asia Tenggara dan Indonesia

Setelah kita bicara soal cara Riot Games menyajikan Valorant untuk komunitas di Indonesia, esports jadi topik lain yang tak kalah menarik untuk dibahas. Apalagi karena sampai saat ini, nama besar Riot Games tercipta karena esports untuk League of Legends. Seperti Anda, saya juga jadi berpikir bahwa kemungkinan besar Valorant dipersiapkan oleh Riot Games untuk menjadi esports kelas dunia layaknya League of Legends.

Sejak awal Riot sempat mengatakan bahwa mereka tidak akan menangani esports Valorant secara langsung untuk sementara waktu. Tetapi apakah ini artinya tidak akan ada esports untuk Valorant? Justin lalu menyatakan bahwa sustanability dan ekosistem lokal yang sehat menjadi fokus awal bagi dirinya dan tim Riot Games di Asia Tenggara, sebelum menuju ke perkara esports.

Justin Hulog (Kiri) bersama dengan Jennifer Poulson, yang tempo hari juga sempat Hybrid wawancari. Sumber: IGN SEA
Justin Hulog (Kiri) bersama dengan Jennifer Poulson (kanan) yang juga sempat Hybrid wawancarai tempo hari. Sumber: IGN SEA

“Kami mungkin bisa saja mengucurkan dana besar-besaran untuk turnamen, dan secara instan menciptakan esports global. Tetapi tanpa ekosistem lokal yang kuat, hal tersebut akan jadi tidak berarti dan mungkin jadi investasi yang tidak berarti. Yang saya maksud dengan ekosistem lokal kuat adalah termasuk, sekelompok pemain yang mencintai game tersebut dan memainkannya setiap saat ataupun kompetisi untuk sekelompok pemain amatir yang nantinya punya kesempatan untuk menjadi semi-pro lalu profesional.” Justin memberi pandangannya.

Saya mengerti apa yang dimaksud Justin di sini. Alih-alih membuat esports secara tiba-tiba, Riot Games ingin membiarkan pemain kenalan terlebih dahulu dengan game yang dibesut. Lalu jika bicara esports, Riot juga ingin membuat esports Valorant lahir dari yang paling mendasar yaitu komunitas.

“Maka dari itu fokus saya pada tahun ini untuk regional SEA adalah memastikan nantinya regional ini memilki tim dan liga lokal yang kuat. Agar jika nanti menjadi besar, esports Valorant tak hanya sukses untuk sesaat, tetapi juga bisa sustainable dan bertahan lama.” Justin memperjelas pandangannya.

Mungkin sampai saat ini, baru itu saja yang bisa dibagikan Riot Games kepada komunitas Indonesia terkait rencana mereka untuk mengembangkan Valorant. Namun, cukup melegakan mendengar bagaimana penjelasan dan pandangan dari Justin. Setidaknya kita bisa sedikit yakin dengan satu hal, yaitu Riot tidak lagi meninggalkan para gamers di Asia Tenggara dan Indonesia untuk kedua kalinya.

Jadi, bukan tidak mungkin jika Valorant nantinya akan memiliki liga atau kompetisi lokal, atau mungkin berbagai event seru yang bisa dinikmati oleh para pemain di iCafe terdekat.

Riot Games Bicara Masa Depan Pengembangan Legends of Runeterra

Sudah sekitar satu bulan sejak Legends of Runeterra dirilis untuk pertama kalinya. Menurut catatan Google Play Store, game kartu digital ini sudah diunduh oleh 5 juta lebih orang di dunia. Saat pertama kali rilis, Runeterra memang menyedot antusiasme yang cukup baik. Bahkan, sampai-sampai membuat pemain Hearthstone turun tangan mencoba game yang satu ini.

Setelah satu bulan perilisan ini, Anda mungkin sudah mulai penasaran, apa saja hal baru yang akan datang di masa depan dalam Legends of Runeterra? Konten apa lagi yang sudah disiapkan oleh Riot Games. Menjawab hal ini, Andrew Yip, Design Director for Legends of Runeterra membagikan rencananya serta pandangannya terhadap beberapa hal yang ditanyakan komunitas kepada Hybrid.co.id. 

Bicara soal konten, mungkin Anda sudah mengetahuinya lewat video yang dirilis oleh Riot Games, membahas soal rencana pengembangannya selama 2020. Dalam konten tersebut, Andrew Yip bersama dengan Jeff Jew, Executive Producer Legends of Runeterra, mengungkap apa apa saja yang akan hadir di tahun 2020. Jadi, Anda sudah tak perlu lagi kebingungan soal kapan mode baru akan hadir ataupun kapan region serta kartu Champion baru akan hadir.

Selain dari hal tersebut komunitas Legends of Runeterra Indonesia juga sempat menanyakan beberapa hal lain, yang dalam kesempatan tersebut juga dijawab oleh Andrew Yip. Pertama soal matchmaking, ini sempat menjadi pertanyaan bagi komunitas karena kebanyakan merasa mendapatkan lawan yang tidak adil.

Andrew mengatakan bahwa sistem yang diterapkan adalah menyeimbangkan waktu antrean dengan pertarungan yang seimbang. “Jadi matchmaking dimulai dari level pemain yang setara terlebih dahulu. Nantinya jika tidak mendapat permainan baru tingkat pencarian diperluas, yang bisa saja mempertemukan pemain dengan pemain lain yang punya level lebih tinggi, untuk memastikan pemain cepat dipasangkan dengan lawannya.”

Lalu selanjutnya soal Starter Bundle, ini juga menjadi pertanyaan bagi komunitas, karena dianggap memiliki isi yang kurang menguntungkan. Andrew lalu menjelaskan. “Paket ini dimaksudkan untuk memberi sampel, archetypes atau pola dasar, serta kartu populer dari masing-masing region agar dapat membawa para pemain ke petualangan baru.” 

Melihat penjelasan Andrew, jadi Starter Deck sepertinya memang dibuat sebagai bekal bagi para pemain agar dapat mengenal karakteristik masing-masing region. Namun kreativitas tetap ada di tangan pemain, untuk membuat kartu Starter Deck jadi siap main.

Terakhir, yang juga jadi pertanyaan besar adalah soal fitur battle pass dan lokalisasi Bahasa Indonesia. Soal battle pass, Andrew mengatakan bahwa hal ini masih dalam perencanaan. “Banyak game populer, termasuk TFT, mendapat tanggapan positif atas battle pass. Namun untuk LoR, kami masih merencanakan dan mencari cara terbaik untuk menyajikan battle pass dan event yang cocok, agar tetap menyenangkan seraya menjaga integritas kompetitif.”

Lalu bagaimana soal lokalisasi bahasa Indonesia? Sayangnya Andrew menjelaskan bahwa tim pengembang Legends of Runeterra di Riot Games tidak memiliki rencana untuk merilis versi lokal dalam bahasa Indonesia.

Mungkin ini jadi hal yang cukup disayangkan, apalagi mengingat Valorant saja punya lokalisasi bahasa Indonesia. Semoga saja di masa depan Runeterra juga akan memiliki bahasa Indonesia, agar bisa dimainkan oleh lebih banyak orang lagi.

Penonton Valorant Justru Menurun Setelah Rilis, Ada Apa?

Kemarin, FPS besutan Riot Games yang telah lama ditunggu-tunggu akhirnya rilis. Jelang perilisannya, Valorant memang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh para gamers. Dalam sebuah rilis Riot Games mengatakan bahwa selama fase closed-beta yang diadakan di Amerika Serikat dan Eropa, Valorant sudah ditonton total selama 470 juta jam dan dimainkan hampir oleh 3 juta pemain.

Antusiasme game ini juga menjadi semakin tinggi, apalagi setelah banyak pihak ketiga yang terjun turut meramaikan Valorant. Mulai dari T1, G2 Esports, dan beberapa organisasi esports lainnya yang segera mencari pemain untuk tim Valorant. Beberapa organisasi juga menyelenggarakan turnamen Valorant, seperti Twitch yang mengadakan Twitch Rivals, ESPN, bahkan termasuk organisasi esports seperti T1.

Terlepas dari antusiasme yang sangat tinggi saat game ini pertama kali diperkenalkan, dan diberikan aksesnya kepada para pemain secara terbatas, muncul tanda tanya besar setelah game ini dirilis. Dapatkah Riot mendapatkan kesuksesan yang sama seperti League of Legends pada Valorant?

Secara bisnis, Whalen Rozelle, Senior Director of Esports Riot Games mengatakan bahwa Riot Games berdiskusi dengan 120 organisasi dan tim profesional selama pengembangan closed-beta Valorant. Namun menariknya, terlepas tingginya antusiasme game ini pada masa closed-beta, jumlah penonton konten Valorant malah menurun pada saat rilis secara terbuka pada 2 Juni 2020 kemarin.

Mengutip dari Twitchtracker, jumlah penonton rata-rata konten Valorant di Twitch justru mencapai puncaknya pada bulan April 2020, dengan rata-rata penonton sebanyak 478.682. Jumlah rata-rata penonton menurun pada bulan Mei menjadi 194.576 orang meskipun jumlah Channel yang menyiarkan Valorant masih sama, yaitu sebanyak 6.397 channel. Jumlah ini lalu menurun lagi di bulan Juni, menjadi hanya memiliki rata-rata penonton sebanyak 76.947 orang.

Sumber: TwitchTracker
Sumber: TwitchTracker

Mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan ini, salah satunya adalah promosi dari Riot Games yang bisa dibilang cenderung menurun ketika melakukan perilisan secara global. Pada saat merilis closed-beta di bulan April, Riot memberi satu insentif yang membuat game ini bisa memecahkan rekor penonton Twitch dengan 1,7 juta concurrent viewers.

Insentif yang diberikan adalah berupa beta keys Valorant untuk mereka yang menonton beberapa channel Twitch yang bekerja sama dengan Riot Games. Sebagai game yang baru rilis, dan dibuat oleh pengembang yang sudah terkenal lewat League of Legends, tak heran jika jutaan orang jadi tertarik untuk menonton dan mencoba Valorant.

Satu hal lagi adalah, bulan Juni yang baru saja dimulai, membuat data yang terkumpul sebenarnya belum bisa sepenuhnya menggambarkan tingkat penonton Valorant di Twitch. Namun demikian Riot Games tidak tinggal diam. Mereka tetap menggenjot promosinya, salah satunya dengan mengadakan Valorant Launch Showdown dengan hadiah sebesar US$200.000.

Melihat antusiasmenya yang sangat tinggi pada saat awal perilisan, membuat banyak pihak jadi penasaran, dan bahkan mungkin sedang mempertimbangkan untuk menginvestasikan diri ke ekosistem Valorant. Apalagi bagi ekosistem esports di Asia Tenggara, yang sejauh ini masih minim dukungan secara esports dari Riot Games.

Kita lihat saja, apakah Riot Games bisa mempertahankan keberlanjutan antusiasme pemain terhadap Valorant, dan apakah Riot Games akan memberi dukungan kepada ekosistem esports di Asia Tenggara dan Indonesia untuk game yang satu ini?

Bisakah Riot Mengulang Kesuksesan League of Legends dengan Valorant?

Riot Games resmi meluncurkan Valorant pada 2 Juni 2020. Setelah sukses menjadikan League of Legends sebagai salah satu game esports paling populer, muncul pertanyaan apakah Riot akan bisa kembali sukses dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant. Satu hal yang pasti, bahkan sebelum game tactical shooter itu diluncurkan, beberapa pelaku esports, seperti Twitch, T1, G2 Esports, dan ESPN, telah membuat turnamen Valorant di Amerika Utara dan Eropa.

Sebelum ini, Riot mengatakan, mereka akan membiarkan pihak ketiga membuat turnamen Valorant. Mereka tidak akan langsung menyelenggarakan liga Valorant dengan model franchise, lain halnya dengan liga League of Legends. Sekarang, liga League of Legends di Amerika Utara, Eropa, dan Tiongkok telah menggunakan model franchise, sementara liga di Korea Selatan akan mulai mengaplikasikan model tersebut pada 2021.

“Jika kami menawarkan kerja sama permanen sejak awal, tanpa memberikan kesempatan pada gamer dan komunitas untuk mencari tahu apa yang mereka inginkan, hal ini akan menyulitkan kami untuk berubah jika kami menemukan sesuatu yang baru dalam waktu satu atau dua tahun ke depan,” kata Whalen Rozelle, Senior Director of Esports, Riot Games, menurut laporan ESPN. “Menggunakan model lisensi untuk mengadakan turnamen terbuka memungkinkan kami belajar dan melakukan penyesuaian sehingga kami dapat menemukan format terbaik untuk para fans Valorant.”

Namun, membiarkan pihak ketiga menyelenggarakan turnamen bukan berarti Riot tidak akan membuat kompetisi Valorant sendiri sama sekali. Faktanya, bersamaan dengan peluncuran Valorant, Riot mengadakan turnamen Valorant Launch Showdown.

ekosistem esports Valorant
Valorant menarik perhatian bahkan sebelum ia diluncurkan.

Rozelle berkata, dengan mengumpulkan data tentang scene esports Valorant, Riot berharap, mereka bisa mengembangkan ekosistem yang menghargai baik tim profesional maupun para sponsor. Memang, selama mengembangkan scene esports League of Legends, Riot pernah mendapatkan sejumlah kritik karena dianggap gagal memberikan insentif bagi tim yang memang serius di League of Legends.

“Setelah mengadakan turnamen League of Legends selama 10 musim, tidak bisa tidak, kami menyadari bahwa ada beberapa hal yang kami harap bisa kami ubah,” ujar Rozelle. “Misalnya, kami seharusnya menjalin kerja sama dengan tim lebih cepat.” Belajar dari kesalahan, Riot mengajak lebih dari 120 organisasi dan tim profesional untuk berdisksui sebelum meluncurkan versi beta dari Valorant.

“Tujuan kami adalah memulai kerja sama dengan organisasi-organisasi tersebut, atau mempererat hubungan kami dengan tim yang sudah terlibat dalam League of Legends,” kata Rozelle. “Kami menghabiskan banyak waktu untuk saling bertanya jawab — game esports FPS lain apa yang pernah mereka mainkan? Apa yang ingin mereka temukan di ekosistem esports Valorant? Kami juga mendiskusikan tentang rencana kami dan pendekatan kami akan kritik dan saran yang kami terima.”

Sebagai game esports, Valorant memiliki beberapa fitur unik. Salah satunya adalah keberadaan spectator mode. Para pemain mungkin tidak akan merasakan manfaat dari fitur ini. Namun, bagi penyelenggara turnamen, keberadaan fitur tersebut akan sangat membantu. Sayangnya, selama beta, spectator mode di Valorant belum bekerja sempurna. Terkait hal ini, Ryan “Morello” Scott, character designer Valorant mengatakan, specator mode memang bukan salah satu fitur utama yang mereka fokuskan pada peluncuran. Namun, Rozelle menyebutkan, timnya tengah mengusahakn untuk memperbaiki sejumlah masalah yang ada dalam game, termasuk terkait spectator mode.

Selama Fase Beta, Valorant Dimainkan Hampir 3 Juta Pemain Setiap Harinya

Valorant resmi meluncur hari ini. Setelah lebih dari satu dekade, Riot Games akhirnya punya game yang bukan berasal dari lore League of Legends. Valorant tentunya juga lebih berbobot ketimbang Teamfight Tactics yang ber-genre auto chess maupun Legends of Runeterra yang merupakan digital collectible card game (CCG).

Penggemar game first-person shooter (FPS) kompetitif tentunya juga lebih banyak daripada auto chess maupun CCG, dan ini bisa kita lihat dari data seputar fase closed beta Valorant.

Riot mengklaim bahwa kalau dirata-rata, ada hampir tiga juta orang yang memainkan Valorant setiap harinya selama fase beta. Sebagai perbandingan, CS:GO pada bulan Maret lalu sempat memecahkan rekor 1 juta concurrent player. Memang tidak apple-to-apple mengingat rekor CS:GO itu adalah untuk jumlah pemain yang online di saat bersamaan, tapi setidaknya kita punya gambaran sebesar apa hype Valorant.

Tidak kalah mengesankan adalah total durasi yang dihabiskan para penonton Valorant di Twitch. Tercatat bahwa dalam kurun waktu kurang dari dua bulan (7 April – 28 Mei), 470 juta jam habis terpakai untuk menonton sesi permainan Valorant. Pernah dalam satu hari, 1,7 juta orang menonton streaming Valorant secara bersamaan.

Dengan dirilisnya Valorant secara resmi, kita tidak perlu terkejut seandainya jumlah pemain hariannya terus bertambah banyak lagi. Demi meramaikan peluncurannya, Riot juga telah menambahkan seorang Agent baru bernama Reyna, map baru bernama Ascent, dan mode permainan baru bertajuk Spike Rush.

Sumber: PC Gamer.

Minggu Depan, Riot Games Bakal Adakan Valorant Launch Showdown

Riot Games akan meluncurkan Valorant secara resmi pada 2 Juni 2020. Dalam rangka merayakan peluncuran game tactical shooter barunya, Riot bekerja sama dengan Twitch untuk mengadakan kompetisi Valorant Launch Showdown. Total hadiah yang ditawarkan dalam kompetisi itu mencapai US$200 ribu. Sayangnya, Riot belum menentukan tanggal pasti dari turnamen tersebut. Satu hal yang pasti, kompetisi itu akan diadakan bersamaan dengan Summer Games Fest dari Twitch, yang diselenggarakan pada 5-7 Juni 2020.

Riot Games akan mengadakan turnamen Valorant Launch Showdown untuk enam kawasan, yaitu Amerika Utara, Brasil, Amerika Latin, Eropa, Korea Selatan, dan Jepang. Turnamen Valorant ini akan disiarkan di channel khusus gaming dan esports baru dari Twitch, yaitu /twitchgaming. Memang, Twitch dikenal sebagai platform streaming game. Namun, channel terbaru itu akan secara khusus menayangkan berita tentang game, berbagai event terkait game, dan konten eksklusif game. Channel ini juga akan menampilkan wawancara eksklusif dengan para developer serta menampilkan sejumlah game indie, lapor The Esports Observer.

Valorant Launch Showdown akan menjadi turnamen Valorant pertama yang diadakan oleh Riot. Sebelum ini, memang telah ada pihak ketiga yang menyelenggarakan turnamen Valorant, seperti organisasi esports Korea Selatan, T1. Valorant Launch Showdown juga akan menjadi awal dari rencana Riot untuk mengembangkan ekosistem esports dari game shooter terbarunya. Riot mengatakan, saat ini, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam penyelenggaraan turnamen Valorant. Sebagai gantinya, mereka akan membiarkan pihak ketiga bertanggung jawab atas pengembangan ekosistem esporst Valorant. Namun, Forbes memperkirakan, dalam waktu beberapa tahun ke depan, Riot akan mengadakan turnamen Valorant sendiri.

Untuk mempersiapkan peluncuran Valorant pada minggu depan, Riot akan menutup versi closed beta. Saat diluncurkan, Valorant akan menawarkan konten baru, seperti peta dan operator baru. Tak tertutup kemungkinan, Riot juga akan merilis mode baru. Sejauh ini, para fans puas dengan versi beta Valorant. Jutaan orang telah mencoba game tersebut. Namun, game ini juga memiliki sejumlah masalah, seperti ping tinggi, kesulitan untuk registrasi, dan tentu saja, orang-orang yang bermain curang. Riot mengklaim, mereka telah mengatasi masalah tersebut.

Riot Games Buat Banner Sponsor di League of Legends Jelang Liga Summer Split

Sponsorship di dalam esports datang dengan berbagai macam rupa. Video advertising, logo placement pada tayangan live-streaming mungkin jadi beberapa yang masih bisa dilakukan oleh penyelenggara pihak ketiga. Namun dari ragam sponsorship, ada satu varian yang bisa dibilang hanya jadi monopoli sang pengembang game, yaitu in-game sponsorship.

Pada skena lokal, MLBB menjadi salah satu yang menerapkan ini, dengan meletakkan banner sponsor di dalam in-game client khusus turnamen. Sementara itu pada skena internasional, ada Riot Games yang baru-baru ini mengumumkan akan melakukan hal tersebut. Lewat in-game sponsor placement, skena esports League of Legends dibuat jadi layaknya pertandingan olahraga.

Dari skena lokal, Moonton menjadi salah satu pengembang yang juga menerapkan sponsorship via banner in-game. Sumber: Youtube Channel Mobile Legends: Bang Bang
Dari skena lokal, Moonton menjadi salah satu pengembang yang juga menerapkan sponsorship via banner in-game. Sumber: Youtube Channel Mobile Legends: Bang Bang

Mengutip dari Esports Observer, sistem in-game sponsor placement yang diberi nama Summoner’s Rift Arena branding ini akan mulai dilakukan pada musim pertandingan Summer Split nanti.

Sampai saat ini sudah ada dua brand yang mengambil spot sponsor Summoner’s Rift arena branding, yaitu Mastercard dan Alienware. Lebih lanjut soal sistem sponsorship ini, dikatakan bahwa Riot Games membebaskan 12 liga LoL regional yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia untuk memiliki sponsor mereka masing-masing. Ini artinya, Mastercard dan Alienware tidak serta-merta tampil di semua liga LoL yang ada ketika mengambil spot sponsor tersebut.

Riot juga membuat visual sponsor ini hanya dapat dilihat oleh penonton saja. Pemain tidak dapat melihat banner sponsor tersebut tersebut di dalam game, demi menjaga integritas kompetisi. Untuk menilai seberapa efektif bentuk sponsorship ini, Riot juga bekerja sama dengan Nielsen. Masih dari Esports Observer, Riot Games mengatakan bahwa bentuk sponsorship ini akan menjadi salah satu branding paling efektif dan bernilai.

Naz Aletaha, Head of Global Esports Partnership Riot Games mengatakan. “Mulai dari pertandingan tatap muka, hingga tayangan online, kami berjuang keras untuk mendefinisikan esports sebagai modern sports dengan melakukan inovasi terhadap bagaimana khalayak menikmati pengalaman menonton League of Legends. Untuk pertama kalinya dalam sejarah League, kami memberikan pengalaman imersif dengan meletakkan brand di medan pertarungan League of Legends lewat SR Arena Banners, yang memberi rasa layaknya sponsor pada lapangan pertandingan olahraga.”

Naz Aletaha, Head of Global Esports Partnership Riot Games. Sumber: Riot Games
Naz Aletaha, Head of Global Esports Partnership Riot Games. Sumber: Riot Games

Raja Rajamannar, Chief Marketing & Communications Officer Mastercard menambahkan. “Mastercard telah menjadi rekan global dari League of Legends, karena game tersebut menghubungkan banyak orang di berbagai belahan dunia yang memiliki passion terhadap game tersebut. Evolusi sponsorship ini membantu kami untuk menjangkau para fans lewat cara yang secara kontekstual lebih relevan, lewat kegiatan yang sangat mereka cintai, yaitu menonton esports League of Legends.”

Bentuk sponsorship ini mungkin menjadi salah satu yang pertama dilakukan oleh tim pengembang dari game esports yang bersifat global. Sebelumnya, Dota 2 sudah memperkenankan hal ini, namun dengan cara yang sedikit berbeda.

Pada Dota 2 sistem peletakan sponsor in-game dibuat menjadi open-source oleh Valve, yang memperkenankan tim bertanding meletakkan logo tim serta sponsor mereka untuk menjadi in-game banner, yang bisa dilihat oleh penonton.

Pertanyannya, bagaimana sistem sponsorship seperti ini berdampak pada pengalaman menonton penggemar esports? Akankah pengalamannya jadi lebih buruk, lebih baik, atau tidak berdampak sama sekali?