Siapa yang Diuntungkan dengan Model Game as a Service?

Sekarang, semakin banyak developer yang mengadopsi model Game as a Service (GaaS). Dulu, ketika Anda hendak memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Dengan model GaaS, seorang pemain bisa memainkan game secara gratis. Sebagai gantinya, akan ada microtransaction, memungkinkan pemain untuk membeli item dalam game, baik berupa item powerup atau sekedar kosmetik. Selain itu, ada juga game yang menawarkan season pass untuk para pemainnya.

Developer dan publisher tentunya menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan model GaaS. Karena, game yang menggunakan model GaaS biasanya akan terus mendapatkan update baru, mendorong pemainnya untuk terus bermain, bahkan bertahun-tahun setelah game diluncurkan. Menurut Yoshimasa Nakano, Senior Content Manager, One Esports, penggunaan model GaaS juga bisa membuat jumlah pemain sebuah game terus bertambah. Salah satu contoh game yang sukses menerapkan GaaS untuk menambah pemainnya adalah Rainbow Six Siege buatan Ubisoft. Meskipun begitu, semakin populernya model GaaS membuat persaingan di kalangan developer game menjadi semakin memanas.

Rainbow Six Siege sukses terus menambah penggunanya beberapa tahun sejak ia dirilis.
Rainbow Six Siege sukses terus menambah penggunanya beberapa tahun sejak ia dirilis.

Selain developer dan publisher, pihak lain yang bisa diuntungkan dengan game bermodel GaaS adalah pengiklan. “Berbeda dengan game yang diluncurkan untuk konsol, game yang menggunakan sistem langganan bisa mendapatkan update kapan saja, memungkinkan kolaborasi yang lebih fleksibel dengan pihak pengiklan,” kata Nakano, dikutip dari The Drum. “Itu artinya, kesempatan monetisasi menjadi lebih banyak.”

Sejumlah game yang mengadopsi model GaaS juga bisa dimainkan di berbagai platform, mulai dari PC, konsol, sampai mobile. Ini menjadi keuntungan lain yang didapat pengiklan yang ingin bekerja sama dengan kreator game. “Ketika developer membuat game yang bisa dimainkan di berbagai platform, ini membuka kesempatan bagi pengiklan untuk menjangkau berbagai kalangan konsumen melalui game yang sama,” kata Tim Lindley, Chief Experience Officer di Yup.gg, esports marketplace yang bertujuan untuk membantu perusahaan mencari kesempatan marketing di dunia esports.

Belakangan, selain bermain game, semakin banyak orang yang suka menonton konten gaming. Hal ini membuka kesempatan lain bagi sebuah merek untuk beriklan. Goh Hung Wei, Director of Global Social Marketing, Razer mengatakan, jika ingin menyasar gamer, sebuah perusahaan bisa mendekatkan diri dengan komunitas yang memang sudah ada. Hanya saja, dia memperingatkan, jika ingin sukses, perusahaan harus bisa menyesuaikan diri dengan perilaku komunitas gamer. Dia berkata, kunci memenangkan komunitas gamer adalah membuat interaksi yang otentik.

Pringles bekerja sama dengan Riot untuk masuk ke scene esports LoL. | Sumber: The Esports Observer
Pringles bekerja sama dengan Riot untuk masuk ke scene esports LoL. | Sumber: The Esports Observer

Misalnya, merek snack Pringles sukses masuk ke dunia esports dengan menawarkan kesempatan untuk memenangkan skin Hextech di League of Legends — yang terkenal sulit untuk didapatkan — dengan mengirimkan kode pada kaleng Pringles. Di sini, Pringles berusaha untuk memenangkan hati komunitas gamer dengan memanfaatkan kesukaan gamer untuk mengumpulkan item virtual dan kebiasaan mereka untuk makan cemilan saat bermain game dalam waktu lama.

Sementara bagi perusahaan telekomunikasi seperti Singtel, mereka bisa menjadikan game sebagai tambahan dari produk utama mereka, sama seperti Netflix dan Spotify. Cindy Tan, Head of Marketing, Singtel International Group mengatakan bahwa saat ini, mereka juga tengah mencari cara untuk mengintegrasikan game dalam produk mereka.

“Untuk game kasual, kami ingin bisa memasukkannya dalam beberapa produk dan layanan kami. Saya rasa, sejumlah pemain ecommerce telah melakukan itu dengan melakukan gamifikasi pada aplikasi mereka. Ini bertujuan untuk membuat pengguna membuka aplikasi lebih lama dan lebih sering,” ujar Cindy. Dia menjadikan Lazada dan Shopee sebagai contoh.

Sumber header: The Drum

Riot Games dan Nielsen Bekerja Sama untuk Menganalisa Penonton LCS

Riot Games dan Nielsen dikabarkan telah memperpanjang kerja sama mereka. Kerja sama ini bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai angka penonton di esports League of Legends. Nielsen akan menerapkan metode pengukuran data yang baru untuk esports broadcast dan video-on-demand replay yaitu Live+. Nielsen percaya bahwa metode ini akan membantu Riot Games dalam berinteraksi dengan para penggemar League of Legends.

Riot Games juga telah bekerja sama dengan Nielsen pada bulan Juni tahun lalu untuk memperjelas return of investment para sponsor penyiaran League of Legends. Laporan sebelumnya memperlihatkan LCS berada di peringkat tiga dalam liga olahraga yang paling populer di Amerika serikat bagi penonton yang berumur 18-34 tahun.

Fans League of Legends
Sumber: DotEsports

Matthew Archambult selaku Head of Esports Partnership dari Riot Games berkomentar, “data yang bisa diandalkan dan akurat adalah hal penting untuk mereka yang berkecimpung di media. Nielsen yang sudah menerapkan metode mereka di media televisi merupakan standar di industri ini. Kami sangat senang untuk membawa hal tersebut ke LCS untuk menentukan engagement dari para penggemar League of Legends.”

Metode tersebut menggunakan metrik yang sama dengan yang mereka gunakan tahun lalu ketika bekerja sama dengan Riot Games yaitu average minute audience. Metrik yang sama digunakan oleh Nielsen dalam menentukan TV ratings untuk mendapatkan angka engagement dari penonton. Nicole Pike selaku Managing Director of Esports di Nielsen berkata, “kami sangat tertarik untuk memperkenalkan cara baru dalam menganalisis penonton pertandingan esports. Penerapan metode Live+ adalah langkah selanjutnya dalam hal ini.”

Pihak dari Riot Games melihat peningkatan viewership di VOD replay pertandingan. Hal ini membuktikan bahwa content tersebut dianggap berharga oleh penggemar League of Legends. Dengan demikian, Riot Games menganggap penting penggunaan metrik yang menghitung jumlah penonton VOD. Data yang dikumpulkan akan membantu Riot Games untuk lebih mengerti bagaimana cara para penggemar League of Legends menonton konten esports mereka.

Intinya adalah, dengan Metode ini, Riot Games berharap untuk bisa mempelajari lebih dalam mengenai para penggemar mereka. Sehingga mereka bisa memberikan konten yang lebih menarik lagi guna meningkatkan viewership di liga esports League of Legends. Data yang bisa diandalkan tersebut juga membantu Riot Games untuk menjelaskan return of investment kepada para sponsornya.

Valorant, Game FPS dari Riot Games Mulai Nampak ke Permukaan

Riot Games sangat ambisius di tahun 2020 ini. Pasalnya, mereka mengumumkan akan membuat beberapa game di genre yang berbeda. Legend of Runeterra yang merupakan card game bertema League of Legends telah memasuki fase beta pada bulan Januari kemarin. Selanjutnya, Riot Games juga memperkenalkan game ber-genre FPS mereka yang dinamakan Project A. Melihat video trailer-nya, Project A bagaikan gabungan antara CS:GO dan Overwatch. Hero-based FPS memang menarik untuk dimainkan bagi penggemar genre MOBA dan FPS. Tetapi setelah pengumuman trailer-nya, Riot Games belum memberikan informasi lebih lanjut mengenai Project A mereka. Tetapi mereka memastikan akan memberikan update di tahun 2020 ini.

Dikutip dari Daily Esports, baru-baru ini ada seseorang yang mendapatkan informasi mengenai pendaftaran merek dagang “Valorant” oleh Riot Games. Belum bisa dipastikan apakah merek yang terdaftar ini untuk digunakan di game FPS Project A mereka. Bersamaan dengan penemuan ini, tiba-tiba Twitter dikejutkan dengan munculnya akun @PlayVALORANT yang sudah diikuti oleh para atlet esports CS:GO dan Rainbow Six Siege. Pada akun Twitter tersebut, terdapat banner yang menunjukkan angka 02.

 

Screenshot game Project A juga tersebar di Twitter. Akun @ValorantTheGame  menyebarkan screenshot saat fase pemilihan karakter di game Project A. Di screenshot ini terlihat beberapa karakter dan informasi mengenai skill yang dimiliki oleh Sage. Berperan sebagai support, Sage memiliki beberapa skill yaitu Barrier Orb, Slow Orb, Healing Orb dan Resurrection.

Viper juga sempat diperlihatkan di trailer Project A. Skill yang ia miliki lebih terlihat offensive dibandingkan Sage. Jumlah skill yang dimiliki para karakter ini lebih banyak dibandingkan dengan para karakter di Overwatch. Begitu banyak active skill, Project A memiliki elemen MOBA yang kental. Yang membuat saya penasaran, seberapa liar developer Project A untuk menciptakan skill mechanic di game-nya.

Update: Riot Games juga telah merilis laman resmi dari Valoran yang bisa Anda akses di tautan ini.

League of Legends Pro League Kembali Diadakan Pada 9 Maret 2020

Ketika virus Corona mewabah di Tiongkok, industri esports juga terkena dampaknya. Riot Games terpaksa harus menangguhkan penyelenggaraan liga nasional League of Legends Pro League (LPL). Pada akhir pekan lalu, akhirnya muncul kabar baru tentang penyelenggaraan liga esports tersebut. Melalui akun resmi Twitter, tim LPL mengatakan bahwa LPL akan kembali dimulai pada 9 Maret 2020. Sementara siaran pertandingan dari turnamen itu akan mulai disiarkan pada 15 Maret 2020.

Untuk memastikan bahwa para pemain profesional yang bertanding di LPL tidak terjangkit virus Corona, mereka harus dikarantina selama 14 hari terlebih dulu. Selain itu, mereka juga harus dinyatakan sehat oleh rumah sakit di tempat mereka berada. Sampai wabah virus Corona mereda, pertandingan LPL akan diadakan secara online. Sejak LPL pertama kali diadakan pada 2013, ini adalah kali pertama LPL diadakan secara online.

Para pemain diminta untuk datang ke marksa organisasi esports tempatnya bernaung untuk ikut serta dalam pertandingan online LPL. Namun, jika seorang pemain tinggal di provinsi yang memberlakukan karantina dan melarang warganya keluar dari rumah, maka mereka diperbolehkan untuk bertanding dari tempat mereka tinggal. Untuk memastikan tidak ada pemain yang beruat curang, tim LPL akan mendatangkan wasit saat memungkinkan.

League of legends pro league kembali diadakan
League of Legends Pro League sempat terhambat karena virus Corona. | Sumber: Riot Games via The Esports Observer

“Kemungkinan, akan ada masalah teknis tak terduga yang akan muncul, tapi kami akan berusaha untuk memastikan masalah itu diselesaikan secepat mungkin,” kata tim LPL dalam akun Twitter mereka.

LPL bukanlah satu-satunya turnamen esports yang terdampak oleh wabah virus Corona. Sejumlah liga esports lain juga terpaksa menunda atau bahkan membatalkan pertandingan karena kekhawatiran akan virus Corona. Activision Blizzard memutuskan untuk membatalkan pertandingan Overwatch League di Tiongkok. Tak lama kemudian, mereka juga memutuskan untuk menunda pertandingan OWL yang diadakan di Korea Selatan. Sementara League of Legends Champions Korea kini diselenggarakan di studio kosong tanpa penonton. Turnamen Intel Extreme Masters (IEM) Katowice bahkan mendadak harus membatalkan penyelenggaraan turnamen di hadapan penonton dan mengubah format turnamen menjadi online.

Sumber header: Riot Games via The Rift Herald

California Sahkan Regulasi untuk Jamin Kesejahteraan Pemain Esports

Riot Games mengatakan bahwa esports kini telah menjadi bagian dari bisnis mereka. Memang, dari sejumlah liga League of Legends, dua di antaranya telah menghasilkan untung. Pemain profesional merupakan bagian penting dari turnamen esports. Tanpa atlet esports, tidak akan ada turnamen esports.

Masalah gaji, pendapatan pemain profesional sudah memadai. Rata-rata gaji minimal yang didapatkan oleh pemain League of Legends profesional adalah US$75 ribu per tahun dan pada 2018, rata-rata gaji pemain League of Legends Championship Series, liga di Amerika Utara, mencapai US$300 ribu. Meskipun begitu, pemain profesional tidak dianggap sebagai pekerja di bawah Riot Games. Memang, seorang pemain profesional biasanya menjalin kontrak dengan organisasi esports. Namun, untuk bergabung dengan tim League of Legends profesional, seseorang harus membuat kontrak dengan Riot Games sebagai publisher game tersebut.

Ini memberi Riot kuasa yang sangat besar atas para pemain. Mereka tidak hanya menentukan besar gaji yang diterima pemain, tapi mereka juga bisa mengharuskan para pemain untuk berlatih di tempat yang telah ditentukan perusahaan atau menggunakan perangkat yang digunakan oleh tim. Selain itu, Riot juga bisa membatasi kebebasan berpendapat dari para pemain. Misalnya, ketika Hong Kong melakukan protes atas Tiongkok, John Needham, Global Head of League of Legends Esports mendorong para atlet untuk tidak mengungkap pendapat pribadi mereka terkait isu sensitif, lapor Quartz.

Per 1 Januari 2020, regulasi baru bernama Assembly Bill 5 (AB5) mulai berlaku di California, Amerika Serikat. Di bawah regulasi ini, semua orang yang bekerja demi keuntungan perusahaan akan dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Ada tiga hal yang membuat seseorang tidak dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Pertama, jika perusahaan tak memiliki kendali atas seorang individu. Kedua, jika apa yang dilakukan oleh seseorang tidak berkaitan dengan bisnis perusahaan. Terakhir, jika seseorang memiliki akses yang memadai untuk bisa mendapatkan penghasilan ekstra atau menjadi pengusaha.

Atlet esports League of Legends memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendapatan ekstra yang sangat terbatas karena Riot memiliki peraturan ketat terkait sponsorship. Mereka bahkan membatasi jenis perusahaan yang boleh menjadi sponsor para pemain. Selain itu, Riot sempat melarang para atlet esports untuk membuat konten dari game yang dianggap sebagai saingan mereka, walau untungnya, mereka akhirnya membatalkan peraturan tersebut.

Di bawah regulasi AB5, semua atlet esports League of Legends merupakan karyawan tetap dari RIot Games. Itu artinya, mereka tidak hanya berhak atas gaji minimal, tapi juga perlindungan dan benefit yang didapatkan oleh pekerja tetap, seperti cuti dan asuransi. Sebagai industri yang masih relatif baru, memang belum banyak regulasi tentang esports yang ada. Namun, perlahan tapi pasti, seiring dengan semakin besarnya industri esports, akan mulai muncul regulasi yang mengatur industri tersebut.

Di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur tentang kontrak pemain profesional. Meskipun begitu, para pelaku industri esports memiliki inisiatif untuk membentuk Federasi Esports Indonesia pada Oktober 2019 dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah di industri esports, termasuk standarisasi kontrak pekerja esports, baik pemain profesional maupun talent.

Sumber header: Red Bull

Bagaimana Industri Game Memengaruhi Fashion?

Semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk bekerja sama dengan pelaku industri game dan esports, termasuk merek fashion. Bahkan merek mewah seperti Louis Vuitton sekalipun masuk ke esports dengan bekerja sama dengan Riot Games, developer dari League of Legends. Melalui kerja sama ini, Louis Vuitton membuat travel case untuk trofi dari League of Legends World Championship, Summoner’s Cup. Tak berhenti sampai di situ, Louis Vuitton juga mendesain skin untuk karakter dalam League of Legends. Pada bulan ini, merek asal Prancis ini juga memamerkan koleksi LVxLOL dengan harga yang fantastis.

Menariknya, Louis Vuitton tidak menargetkan para gamer dengan kolaborasi mereka dengan Riot. “Koleksi LV x LoL tidak ditujukan untuk fans League,” kata Consumer Products Specialist, Mandie Roman, dikutip dari Inven Global. “Lihat berapa banyak produk yang ada dalam koleksi itu. Tapi, tidak banyak produk yang menampikan Qiyana. Demografi yang menjadi target kami tetaplah demografi yang memang biasa membeli barang mewah seperti ini.” Lebih lanjut dia menjelaskan, kerja sama antara Louis Vuitton dan Riot menjadi bahan pembicaraan di dunia marketing. “Ketika Vogue dan merek non-gamer lain membicarakan hal ini, ini memberikan dampak baik pada League,” ujarnya. Sementara itu, Louis Vuitton diuntungkan karena kolaborasi tersebut dapat meningkatkan brand awareness mereka.

Lightning menjadi model dari produk Louis Vuitton dan model yang terinspirasi oleh Lightning. | Sumber: Inven Global
Lightning menjadi model dari produk Louis Vuitton dan model yang terinspirasi oleh Lightning. | Sumber: Inven Global

Kerja sama dengan Riot bukan kali pertama Louis Vuitton masuk ke dunia game. Sebelum ini, mereka pernah membuat kolaborasi dengan Final Fantasy. Hanya saja, ketika itu, tidak ada produk Louis Vuitton yang menampilkan karakter dari game tersebut. Sebagai gantinya, Lightning — karakter dalam Final Fantasy XIII — menjadi model dari pakaian yang didesain oleh Louis Vuitton.

Louis Vuitton bukanlah satu-satunya merek fashion yang bekerja sama dengan perusahaan game. Belum lama ini, DN Handbags juga menjalin kerja sama dengan Nintendo untuk membuat koleksi tas tangan yang menampilkan karakter Super Mario dan controller NES. Produk dalam koleksi tersebut memiliki rentang harga dari US$18 (sekitar Rp250 ribu) sampai US$88 (sekitar Rp1,2 juta). Dalam koleksi LV x LoL sendiri, produk yang menampilkan gambar Qiyana memiliki harga yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan produk lainnya. Mengingat kecil kemungkinan para gamer rela menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli jaket atau sepatu, maka keputusan Louis Vuitton masuk akal.

Selain bekerja sama dengan perusahaan game, merek fashion juga mengadakan kolaborasi dengan organisasi esports. Misalnya, Puma yang menggandeng Cloud9 untuk meluncurkan koleksi khusus bagi para gamer. Masing-masing merek biasanya memiliki strategi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Nike memutuskan untuk fokus mensponsori liga esports di Tiongkok sementara Li-Ning, merek sportswear asal Tiongkok, lebih fokus untuk menjadi sponsor dari atlet esports.

Umumkan Pacific Championship Series, Riot Gabungkan LMS dan LST

Ekosistem esports League of Legends besar secara internasional, hampir tidak diragukan lagi. Terakhir kali, Riot sempat melaporkan bahwa laga final Worlds 2019 ditonton 21,8 juta orang penonton Average-Minute-Audience. Namun demikian, satu yang mungkin terlewat dari ekosistem League of Legends adalah pasar Asia Tenggara, Hong Kong dan Taiwan yang masih kurang maksimal.

Demi menggarap lebih serius ekosistem esports League of Legends di Hong Kong, Taiwan dan SEA (disebut juga GSEA alias Greater SEA), Riot Games mengumumkan akan menyelenggarakan LoL Pacific Championship Series (PCS). Ini akan jadi liga antar-regional dan multi-kota, karena diikuti oleh tim-tim berpengalaman dari Hong Kong dan Taiwan dari liga LMS, serta pendatang baru penuh potensi dari regional SEA yang datang dari LST.

PCS diselenggarakan lewat kerja sama Riot Games dengan pihlstak Fun Plus Esports selaku penyelenggara, dan Garena sebagai penerbit League di area Asia Tenggara. Chris Tran selaku Riot Games SEA Head of Esports sempat menceritakan pandangannya terhadap PCS. “Tim, pada dasarnya adalah jiwa dari suatu liga. Kami bangga bisa bekerja sama dengan tim terbaik yang dahulu bermain di LMS (liga regional Taiwan, Hong Kong, Macau), organisasi esports terbaik di Asia Tenggara, dan akhirnya meluncurkan PCS.” Cakap Chris.

Sumber: Esports Insider
Sumber: Esports Insider

“Fokus kami adalah bekerja bersama dengan tim untuk menumbuhkan fan-base tim dan meningkatkan kemampuan kompetitif mereka sambil membuka kesempatan-kesempatan bisnis secara finansial.” Untuk memastikan keberlanjutan PCS, tim peserta dipilih dan diseleksi secara seksama selama berbulan-bulan. Proses dilakukan mengikuti kebijakan operasional liga Riot Games. “Kami telah mengundang tim dari organisasi dengan kemampuan finansial yang bertanggung jawab dan punya pemahaman bersama dalam pengembangan fan-base.” Chris menambahkan.

Saat ini sudah ada 9 tim yang dipastikan bergabung ke dalam PCS. Masih ada sisa satu slot tim ke-10 yang akan dimumumkan tahun baru mendatang. Berikut tim peserta serta profil singkatnya.

  • ahq eSports Club (Taipei) – Berdiri sejak September 2012, ahq adalah salah satu tim dengan banyak penggemar di regionalnya. Mendapatkan kesuksesan prestasi secara kompetitif di berbagai titel esports, termasuk AOV. Mereka juga sempat beberapa kali mewakili regional LMS di beberapa kompetisi tingkat dunia.
  • Alpha Esports (Taipei) – Memulai debut pada season 9 LMS dengan roster baru, Alpha mencoba membuat namanya di PCS 2020 nanti.
  • G-Rex Gaming (Hong Kong) – Dimiliki Emperor Entertainment Group, G-Rex Gaming adalah salah satu perusahaan entertainment yang dihormati di Hong Kong. Walau pengalaman mereka masih muda di dunia esports, namun G-Rex sempat mewakili LMS di Worlds 2018.
  • Hong Kong Attitude (Hong Kong) – Berdiri sejak 2013, HKA kerap dianggap sebagai organisasi esports top di region Hongkong, dan telah berkali-kali mewakili di pertandingan tingkat internasional, termasuk Worlds 2019.
  • J Team (Taipei) – Memulai debut di LMS Summer Split 2016, tim ini secara konsisten menempatkan diri sebagai salah satu tim papan atas di regional. Performa mereka teramat apik di 2019, memenangkan LMS Summer Split, dan mendapatkan tempat di Worlds 2019. J Team merupakan organisasi esports yang dimiliki oleh musisi ternama Taiwan, Jay Chou.
  • Liyab Esports (Manila) – Dalam jangka waktu yang singkat, Liyab berhasil menjadi wajah esports Filipina. Walau mengalami rebrand (sebelumnya bernama Mineski) dan perubahan nama, jiwa tim ini tetaplah tim Filipina yang haus akan pengakuan di kancah regional.
  • Nova Esports (Bangkok) – Di kancah mobile esports, Nova telah memenangkan beragam kompetisi internasional selama beberapa tahun belakangan. Mereka berkomitmen untuk membawa DNA mereka sebagai juara ke dalam PCS. Dengan kultur dan playstyle yang unik, mereka berencana untuk menaklukan jagoan lama di kancah profesional League of Legends.
  • Resurgence (Singapore) – Terbentuk tahun 2017, Resurgence yang merupakan organisasi esports asal Singapura punya visi untuk mengangkat derajat skena esports Asia Tenggara di mata dunia.
  • Talon (Hong Kong) – Merupakan organisasi esports yang punya taring di beberapa titel esports, di beberapa regional, termasuk Hong Kong, Taiwan, South Korea, dan Thailand. Mereka sudah menatap kompetisi di PCS dan berkomitmen untuk memberikan fan-experience yang menggembirakan.
Sumber: Riot Games Official Worlds 2019 Documentation.
Hong Kong Attitude, salah satu tim yang sempat menyedot perhatian di gelaran Worlds 2019. Sumber: Riot Games Official Worlds 2019 Documentation

Untuk sementara, kompetisi PCS akan diselenggarakan secara online. “Memberi kesempatan kepada fans untuk menikmati kompetisi secara langsung adalah hal yang penting bagi kami. Namun kami masih mencari kesempatan untuk mewujudkan hal ini.” ucap Kevin Pai, CEO FunPlus Esports. Liga akan berjalan menggunakan format best-of-one, dengan double elimination saat Season Finals nanti.

PCS akan mulai bertanding pada 8 Februari 2020 mendatang, dan akan ditayangkan dengan menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, dan Thailand. Lebih lanjut, informasi seputar jadwal dan sebagainya akan hadir di laman resmi PCS yang akan diluncurkan jelang liga dimulai. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengikuti Facebook Page resmi LoL Pacific Championship Series.

Sumber header: LoL Pacific Championship Series Official Page

Riot Games Ungkap 21,8 Juta Orang Menonton Laga Final Worlds 2019

Riot Games baru-baru ini mengungkap angka penonton League of Legends World Championship Finals (Worlds 2019). Mengutip dari Esports Observer, Riot Games mengatakan bahwa laga final yang mempertemukan jagoan Eropa G2 Esports dengan jawara Tiongkok FunPlus Phoenix telah ditonton 21,8 juta orang, dengan jumlah penonton terbanyak pada saat bersamaan sejumlah 44 juta orang.

Menariknya, pada data yang baru diungkap ini, Riot Games menggunakan sebuah metrik atau perhitungan baru bernama Average-Minutes-Audience (AMA). Selama ini, sumber data jumlah penonton tayangan esports, biasanya mengandalkan data-data yang digunakan oleh platform streaming yang bersangkutan.

PARIS, FRANCE - NOVEMBER 10: --- during 2019 League of Legends World Championship Finals at AccorHotels Arena on November 10, 2019 in Paris, France. (Photo by Michal Konkol/Riot Games)
Pertandingan Grand Final Worlds 2019 yang menyedot perhatian gamers dari berbagai penjuru dunia. Sumber: Riot Games Official Documentation (Photo by Michal Konkol/Riot Games)

Ben Fischer, penulis Esports Observer mengatakan, bahwa data-data seperti concurrent viewers (penonton di saat bersamaan), total hours watched (jumlah total jam tayangan ditonton), ataupun unique viewers, tidak sebanding dengan rating yang dimiliki Televisi dan angkanya rentan dibuat berlebihan.

Penggunaan metrik AMA sebagai penghitung jumlah penonton bisa dibilang sebagai salah satu buah kerja sama antara Riot dengan Nielsen, selain dari penghitungan valuasi sponsorship esports.

Selain Riot, sudah ada beberapa perusahaan gaming/esports lain yang juga menggunakan AMA sebagai metrik penghitung jumlah penonton. Activision Blizzard salah satunya, menggunakan metrik tersebut sejak 2018 lalu untuk menghitung jumlah penonton Overwatch League. Pihak lainnya adalah ESL, yang menggunakannya untuk mengungkap jumlah penonton Intel Extreme Masters Katowice.

Sebelumnya Riot Games juga sempat mengungkap angka AMA League of Legends Championship Series (LCS) Amerika Serikat. LCS dianggap sebagai liga olahraga terpopuler ketiga di antara warga Amerika Serikat yang berumur 18-34 tahun dengan 124 ribu AMA. Laporan tersebut juga mengatakan, bahwa babak final LCS Summer Split memberikan dampak ekonomi sebesar US$5,44 juta (sekitar Rp76 milliar).

PARIS, FRANCE - NOVEMBER 10: --- during 2019 League of Legends World Championship Finals at AccorHotels Arena on November 10, 2019 in Paris, France. (Photo by Colin Young-Wolff/Riot Games)
Menghitung jumlah penonton online selama ini masih menjadi perdebatan tersendiri, mengingat banyaknya metrik yang bisa digunakan. Sumber: Riot Official Documentation (Photo by Colin Young-Wolff/Riot Games)

Jumlah Average-Minute-Audience ini kerap kali dianggap lebih reliabel, karena digunakan oleh dunia televisi dalam mengukur jumlah penonton, juga mengingat posisi Nielsen yang sudah bergerak dalam bidang data dan pengukuran data media sejak tahun 1923 lalu. Nielsen menjelaskan, bahwa metrik Average-Minute-Audience (AMA) adalah jumlah rata-rata penonton (program televisi) dalam waktu tertentu. Metode ini menghitung jumlah penonton untuk satu durasi program dalam setiap menitnya.

Namun demikian bukan berarti angka ini tidak dipertanyakan. Bagaimana jika penontonnya berpindah dari satu tayangan ke tayangan lain? Bagaimana jika satu penonton menonton dua tayangan sekaligus atau lebih? Itu adalah beberapa hal yang kerap dipertanyakan jika bicara soal angka penonton tayangan esports, baik menggunakan AMA ataupun data lainnya.

Sumber Header: Riot Games Official Documentation (Photo by Colin Young-Wolff/Riot Games)

Dampak Ekonomi League of Legends Championship Series Capai Rp76 Miliar

Jumlah merek non-endemik yang bekerja sama dengan organisasi atau liga esports kini terus bertambah. Sayangnya, umur industri esports yang masih sangat pendek berarti tidak ada rekam jejak yang bisa digunakan oleh perusahaan sebagai tolok ukur. Riot Games, pemilik properti intelektual League of Legends, lalu bekerja sama dengan Nielsen dengan tujuan untuk mengukur nilai kerja sama mereka dengan liga League of Legends.

Salah satu data yang didapatkan oleh Riot terkait League of Legends Championship Series, liga untuk kawasan Amerika Utara, adalah dampak ekonomi dari turnamen ini. Babak final dari LCS Summer Split diadakan di Detroit, Michigan. Riot mengatakan, keberadaan turnamen ini memberikan dampak ekonomi sebesar US$5,44 juta (sekitar Rp76 miliar). Sebelum ini, Riot juga mengungkap, babak final dari League of Legends European Championship (LEC) Spring Split memberikan dampak ekonomi sebesar US$2,25 juta (sekitar Rp31,5 miliar) pada Rotterdam, tempat turnamen tersebut diadakan, menurut laporan The Esports Observer.

Sebagai perbandingan, turnamen Major dari Rainbow Six yang diadakan di Rayleigh memberikan dampak ekonomi sebesar US$1,45 juta atau sekitar Rp20,5 miliar. Memang, turnamen esports bisa mendorong industri pariwisata lokal. Alasannya, para fans esports biasanya berasal dari seluruh dunia. Jadi, ketika sebuah turnamen esports diadakan di sebuah kota, para fans rela untuk datang meski mereka berasal dari kawasan atau bahkan negara yang berbeda.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Selain dampak ekonomi, dalam laporan tentang performa LCS, Riot juga membahas beberapa hal lain, seperti jumlah penonton. Mereka mengatakan, 53 ribu orang datang langsung ke studio LCS di Detroit dan St Louis. LCS juga disiarkan secara online. Secara total, turnamen tersebut ditonton selama 2,4 juta jam, lapor Esports Insider. Pada puncaknya, jumlah concurrent viewers mencapai 609 ribu. Sementara jumlah concurrent viewer rata-rata mencapai 433 ribu. Dengan Average-Minute-Audience (AMA) 124 ribu, Riot mengklaim bahwa LCS adalah liga olahraga terpopuler ketiga di kalangan warga Amerika Serikat yang berumur 18 sampai 34 tahun.

Terkait sponsorship, Riot mengatakan bahwa pada tahun ini, mereka mendapatkan 11 rekan baru. Mereka juga bangga karena 91 persen dari perusahaan yang menjadi rekan mereka membuat kontrak lebih dari satu tahun atau memperbarui kontrak mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka puas dengan apa yang mereka dapatkan. Beberapa sponsor LCS antara lain Honda, Alienware, dan Red Bull.

Ruined King dan Conv/rgence Adalah Dua Game Pertama di Dunia League of Legends

Sama seperti Dota 2, League of Legends (LoL) dengan segudang hero-nya memiliki lore yang kompleks. Satu dekade sudah LoL jalani, dan Riot Games menilai kini sudah saatnya mereka memperluas lore LoL melalui sejumlah game di luar LoL itu sendiri. Buah inisiatif mereka adalah Riot Forge, publishing label baru yang diresmikan belum lama ini.

Di acara The Game Awards 2019, Riot Forge akhirnya mengungkap dua game pertama yang akan mereka terbitkan, yakni Ruined King dan Conv/rgence. Meski sama-sama mengusung embel-embel “A League of Legends Story” pada judulnya, kedua game ini digarap oleh developer yang berbeda.

Ruined King dikerjakan oleh Airship Syndicate, studio yang didirikan empat tahun silam oleh empat veteran asal Vigil Games, dan yang baru-baru ini menggarap Darksiders Genesis. Vigil Games sendiri merupakan pencipta seri Darksiders, akan tetapi Ruined King rupanya tidak akan menawarkan gameplay hack-and-slash, melainkan masuk kategori RPG dengan sistem turn-based.

Kalau melihat teaser trailer-nya, Ruined King yang menitikberatkan pada aspek narasi ini bakal mengambil Bilgewater sebagai setting lokasinya, namun area mistis Shadow Isles pun juga akan ikut dilibatkan. Jadwal rilisnya belum ditetapkan, namun Riot Forge memastikan game ini akan tersedia di PC sekaligus console.

Conv/rgence / Riot Forge
Conv/rgence / Riot Forge

Untuk Conv/rgence, developer yang bertanggung jawab adalah Double Stallion Games, pencipta game Speed Brawl dan OK, K.O.! versi mobile, yang keduanya sama-sama sarat nuansa kartun. Conv/rgence sendiri juga bakal mengadopsi art style 2D kalau melihat teaser trailer-nya.

Dalam Conv/rgence, pemain bakal menjalankan Ekko, champion yang deretan skill-nya berkenaan dengan waktu, dan yang digambarkan dalam game ini sebagai pemuda jenius dengan gadget canggih untuk memanipulasi waktu. Setting lokasi yang diambil sendiri juga ada dua, yaitu Zaun dan Piltover.

Pemilihan Ekko sebagai lakon menurut saya cukup rasional, apalagi mengingat Conv/rgence bakal masuk dalam kategori action-platformer. Saya bisa membayangkan Ekko memanfaatkan kemampuannya memanipulasi waktu selagi melompat dari satu titik ke yang lain, terdengar seru sekaligus menantang.

Seperti halnya Ruined King, Conv/rgence belum memiliki jadwal rilis. Juga sama adalah ketersediaannya di PC sekaligus console.

Sumber: Riot Games via VentureBeat 1, 2.