10 Soundtrack Kolaborasi GameDev dan Musisi Lokal untuk Penikmat Senja

Video game dan musik adalah dua hal yang dari dulu sudah tak bisa dipisahkan. Lewat bantuan musik lah, medium ini bisa menjadi penghantar emosi yang kuat lagi serta memberi kenangan yang melekat lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa musik dan emosi memiliki peran dalam membentuk ingatan dalam otak manusia, sehingga kadang dengan mendengar suatu musik kita bisa langsung terngiang suatu adegan dalam game meski game itu sendiri sudah tidak kita mainkan untuk waktu lama.

Developer-developer game di Indonesia pun belakangan ini semakin getol memasukkan musik sebagai aspek penting dalam karya mereka. Tak jarang pula ada game yang mengandung kolaborasi dengan musisi lokal untuk mengisi track lagu di dalamnya.  Untuk mengisi akhir pekan Anda, mari kita sejenak menikmati beberapa soundtrack yang telah menjadi bahan kolaborasi antara developer dan musisi lokal berkualitas. Sebetulnya bila harus membuat versi lengkap, daftar ini tentu akan panjang sekali karena kolaborasi itu jumlahnya sangat banyak. Tapi setidaknya kami mencoba memilihkan beberapa yang menarik dan cocok untuk Anda nikmati sambil bersantai di kala senja. Check them out!

Ikkubaru – Love Me Again

Band asal Bandung yang satu ini mungkin sudah tak asing lagi di kalangan para pecinta musik indie dan penggemar lagu-lagu Jepang. Melantunkan lagu-lagu bergenrey city pop, Ikkubaru mengajak kita bernostalgia ke era 80an namun dengan sentuhan modern. Warna musik yang mereka hasilkan cukup unik karena mendapat influence dari gaya barat dan Indonesia juga. Lagu “Love Me Again” dapat Anda temukan dalam album musik pertama mereka, Amusement Park, dan muncul sebagai soundtrack dalam game Rage in Peace.

Pathetic Experience feat. Christabel Annora – Purna

Lantunan gitar akustik dengan suasana musik tradisional nusantara adalah karakter yang akan Anda temui di karya-karya Pathetic Experience. Karena itulah karya mereka cocok untuk jadi bagian dari game She and the Light Bearer. Dipadu dengan vokal Christabel Annora yang sendu, lagi ini seolah-olah mengantar Anda bercengkerama dengan sosok ibu pertiwi. Simak juga ulasan She and the Light Bearer kami di sini.

The Panturas – Queen of the South

The Panturas adalah salah satu dari beberapa musisi yang mengisi trek lagu untuk film DreadOut. Film adaptasi game karya Digital Happiness itu baru tayang di layar perak di awal 2019 kemarin, namun lagu “Queen of the South” ini sebetulnya sudah dirilis sejak Februari 2018. Tema dan lirik lagunya memang sedikit mistis karena terinspirasi kisah Nyi Roro Kidul, tapi jangan tertipu. Lagu ini sangat fun dan dijamin membuat tubuh bergoyang!

L’Alphalpha – Future Days

Band yang katanya merupakan salah satu favorit bos Hybrid ini tergolong senior di kancah permusikan indie dalam negeri. Maklum, mereka sudah berkarier selama kurang lebih 13 tahun sejak dibentuk. “Future Days” pun sudah terbit di dalam album mereka pada tahun 2013, Von Stufe Zu Stufe (yang artinya kira-kira adalah “Dari Waktu ke Waktu”). Seperti hangatnya sore, lirik lagu ini mengajak kita merenung banyak dalam kesederhanaan. Anda dapat menemukannya dalam game Rage in Peace.

Vesuvia – Memories Yet to Come

Sejak masih berkecimpung di komunitas Touhou dan Vocaloid, Vesuvia sudah terkenal sebagai salah satu musisi dengan warna unik dan kualitas produksi yang tinggi. Karya-karya mereka pun memiliki variasi yang cukup luas, dari nuansa jaz, EDM, hingga orkestra. Sayangnya, “Memories Yet to Come” yang merupakan lagu ending Valthirian Arc: Hero School Story ini masih belum tersedia di platform musik seperti iTunes atau Spotify. Tapi Anda dapat mendengar cuplikannya lewat trailer di bawah. Valthirian Arc: Hero School Story dapat Anda mainkan di PC, PS4, dan Switch.

Polka Wars – Mapan

Puitis, sendu, dan baper. Kira-kira demikian kesan yang saya dapatkan saat mendengar lagu ini. Di balik susunan katanya yang penuh rima, lirik “Mapan” menyimpan kesedihan yang mungkin sangat relatable dengan kondisi banyak kaum Millennial perkotaan. Ketika impian-impian bertabrakan dengan seramnya realita, terkadang kita terpaksa (atau sebenarnya tidak terpaksa?) mengambil pilihan yang tak sesuai kata hati demi sebuah label, “mapan”. Lagu ini menjadi salah satu pengisi di film DreadOut.

Okky Ade Chandra & Various Artists – In Peace

Sekali mendengar suara berat dan petikan gitar akustik Okky Ade Chandra, pasti rasanya sulit untuk dilupakan. Apalagi dengan lirik-lirik yang biasa berbahasa Inggris, orang yang tak tahu siapa penyanyinya bisa mengira pria ini bukan orang Indonesia. Dalam lagu “In Peace”, ia berkolaborasi dengan beberapa musisi lain, yaitu Novi Purnama, serta Ezza dan Koi dari band post-rock UnderTheBigBrightYellowSun (UTTBBYS). Dari judulnya, tentu Anda bisa menebak lagu ini muncul dalam game apa, bukan?

Peonies – Thin Holidays

Grup musik asal Jakarta yang satu ini cukup unik karena mengusung formasi tiga orang tanpa memiliki drummer. Dalam proses penciptaan lagunya mereka kerap dibantu oleh additional drummer, tapi bila Anda menonton mereka live, nuansanya akan berbeda. Peonies membawakan lagu alternative pop yang enak untuk didengar secara santai, sambil ngemil donat atau milk tea. Contohnya seperti lagu “Thin Holidays” ini. Lagi-lagi lagu indie keren yang mengisi soundtrack Rage in Peace.

North to East feat. Faishal Tanjung – Sky

Satu lagi lagu keren pengisi film DreadOut. Dentuman lembut kick drum diselingi akor piano sesekali, dan langit biru yang baru selesai menyibak mendung, adalah resep mujarab untuk menghibur Anda ketika mengalami patah hati. Tapi langit biru pun pada waktunya akan pergi, berganti dengan ufuk jingga atau malam yang penuh kerlip bintang. Kehidupan pun begitu. Ada waktunya cerah, tapi tak boleh enggan memberi ruang bagi masa yang lebih kelam. Mari hadapi dengan terus berjalan ke depan.

Sajama Cut – Rest Your Head on the Day

Satu lagi band senior yang telah aktif sejak tahun 1999, Sajama Cut sudah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia serta mengisi soundtrack untuk beberapa film populer. Dan kini mereka bekerja sama dengan Rolling Glory Jam untuk mengisi game Rage in Peace. Seperti judulnya, “Rest Your Head on the Day” sangat cocok sebagai lagu penutup hari, sekaligus penutup dari playlist artikel ini. Apalagi sambil menonton video dokumenter di bawah. Selamat mendengarkan, selamat beristirahat. Mari jumpa lagi ketika mentari terbit esok hari.

Sumber Gambar: Pexels

[Review] She and the Light Bearer – Tenggelam di Buai Hangat Ibunda

Sesekali, satu dalam beberapa lusin purnama, dunia punya kesempatan untuk menerima kunjungan dari sebuah game yang sulit dijadikan bahan review. Tiap orang bisa punya alasan masing-masing mengapa game yang dimaksud menyandang status demikian. Mungkin karena ulasan, seringkas dan segenerik apa pun akan menghilangkan unsur kejutan di dalamnya sehingga merusak pengalaman bermain. Atau sebab game itu terlalu divisive, hanya bisa diapresiasi kalangan tertentu sehingga penilaian dari seorang pengulas akan sulit diterima penggemar.

She and the Light Bearer, bagi saya, termasuk dalam kelompok karya dengan karakteristik di atas—sulit untuk diulas. Namun dengan alasan berbeda. Memainkan She and the Light Bearer, saya merasa seperti sedang berhadapan dengan seorang manusia, atau katakanlah, seorang wanita. Di dalam hati saya bisa saja menyimpan penilaian, bahwa dia memiliki kelebihan, apakah itu dari kecantikan, sikap, dan cara berpikir, namun juga karakteristik lain yang dapat kita sebut sebagai kekurangan.

Tapi memangnya siapa saya, sampai bisa menghakimi seseorang berdasarkan hitung-hitungan karakteristiknya? Siapa saya, sampai merasa berhak melabelinya dengan angka-angka, lalu merasa seolah angka-angka itu menjadi penentu nasib sesuatu yang berada di luar kekuasaan saya? Lagi pula apa yang saya perhatikan dan nilai, semuanya hanyalah terdiri dari hal-hal yang terlihat. Padahal nilai seorang manusia lebih banyak ditentukan oleh apa yang ada di dalamnya.

She and the Light Bearer - Screenshot 1

Seperti halnya kekurangan yang ada di diri manusia tidak membuatnya kurang sebagai seorang manusia karena ciptaan Tuhan begitu agung, kekurangan dalam She and the Light Bearer tidak membuatnya kurang sebagai sebuah karya karena karya ini adalah karya yang agung. Karya yang membuat saya bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran penciptanya, mengapa dan bagaimana ia membayangkan, merancang, lalu mengejawantahkan angan-angannya dari alam imajinasi menjadi kata-kata dan ilustrasi. Yang mana, mungkin bila saya bertanya langsung ke si pencipta pun, ia tidak akan bisa mendeskripsikan dan membuat saya merasakan seluruh hal yang menjadi inspirasinya.

Hal terbaik yang bisa saya coba adalah menerka-nerka.

Mengintip lubuk di balik lalang

Ketika saya pertama kali meluncurkan aplikasi She and the Light Bearer, saya langsung disambut sebuah kalimat yang sepertinya sengaja diletakkan di depan untuk membentuk atau mengontrol ekspektasi pemain. “Sebuah cerita dari Mojiken Studio diterbitkan oleh Toge Productions,” katanya. Sebuah cerita. Bukan sebuah game. Walaupun secara teknis ini memang berwujud game, dan bukan hal aneh bila sebuah game punya bobot yang dominan di sisi cerita, kalimat itu membuat saya paham bahwa She and the Light Bearer, lebih penting dari identitasnya sebagai sebuah game, adalah sebuah cerita.

Alih-alih mencari-cari unsur permainan interaktif atau aksi mendebarkan, She and the Light akan lebih menyenangkan bila Anda memainkannya sambil membayangkan sebuah pop-up book berisi dongeng anak-anak. Lepaskan sejenak masa dewasa, lalu ingat kembali perasaan gembira yang muncul ketika kita melihat gambar warna-warni muncul mencuat dari atas lembar-lembar kertas, biasanya tak lebih dari sebuah bidang datar tapi ternyata bisa mengambil wujud lebih nyata.

She and the Light Bearer - Screenshot 2

Selaras dengan kisahnya tentang seekor Kunang-Kunang yang harus pergi ke dalam hutan dan mencari sosok “Ibu”, sebagian besar objek yang akan Anda lihat dalam tiap adegan She and the Light Bearer terdiri dari makhluk-makhluk hidup. Memang ada juga batu, tanah, serta benda-benda diam lainnya, namun lebih banyak dari itu adalah rumput, dedaunan, ranting, serta sulur-sulur yang memenuhi lingkungan rimba.

Yang dilakukan Mojiken Studio terhadap makhluk-makhluk hidup tadi adalah membuat mereka tampil selayaknya diri mereka di dunia nyata: hidup dan bergerak. Objek-objek di layar, yang wujudnya sudah seperti lembaran-lembaran pop-up book tadi, nyaris seluruhnya dianimasikan dengan begitu rajin. Satu helai rumput dengan helai lainnya punya bentuk dan goyangan yang berbeda-beda. Kabut, cahaya matahari, yang menerobos sela-sela kanopi seolah bisa Anda rasakan langsung sejuk dan hangatnya.

Bila berbicara tentang kualitas visual suatu karya, sering kita mewakili gambaran keseluruhannya dengan satu kata saja. Bagus. Atau mungkin dua kata, bagus banget. Tapi sepatah dua patah kata itu tak cukup untuk menjabarkan hal-hal kecil seperti di atas. Hal-hal yang biasanya taken for granted padahal penting untuk membuat dunia jadi lebih hidup, tak hanya di dalam karya tapi di kehidupan nyata juga.

She and the Light Bearer - Screenshot 3

Sementara desain dekoratif keseluruhan dalam game ini lekat akan nuansa etnik, yang sungguh sayang saya tak tahu terinspirasi dari kebudayaan mana karena saya bukan pakarnya. Warna-warna pastel yang digunakan menghadirkan nuansa ceria, namun tidak berarti keseluruhan ceritanya berisi ceria saja. Di saatnya, Anda juga akan menemukan si Kunang-Kunang berada dalam posisi berbahaya, sedih, suram, mencekam. Sebagaimana sudah seharusnya kisah petualangan seorang pahlawan.

Kepingan-kepingan cermin hati

She and the Light Bearer adalah cerita yang singkat. Dengan bermain secara santai, Anda bisa menyelesaikannya dalam lebih kurang empat jam saja. Tapi singkat bukan berarti tak mengesankan. Selama perjalanan singkat itu, Kunang-Kunang akan bertemu para penghuni belantara yang, mungkin beda dari bayangan Anda, eksentrik dan istimewa dengan kejenakaannya masing-masing. Berpisah dengan makhluk-makhluk ini seiring tamatnya cerita agak menyedihkan, karena rasanya saya masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercengkerama bersama mereka.

Yang mengherankan, meski dengan waktu yang singkat dan gaya penceritaan yang cenderung berkelakar, tokoh-tokoh penghuni hutan itu bisa terasa hidup, bukan sekadar pemeran anekdot satu dimensi. Maka dari itu ketika berlangsung adegan penting yang melibatkan mereka, empati juga emosi yang dibangkitkan cukup terasa. “Jangan nilai buku dari sampulnya,” ungkapan demikian cocok sekali untuk menggambarkan para penghuni hutan. Lebih dari sekali saya dibuat terkejut oleh bagaimana mereka berperan dalam petualangan si Kunang-Kunang.

She and the Light Bearer - Screenshot 4

Kekuatan para tokoh She and the Light Bearer semakin dipertegas oleh penyulihan suara yang sama eksentriknya dengan karakter mereka. Padahal semua percakapan menggunakan ucapan racau serupa bahasa Simlish, tapi penyulihan suaranya tetap dilakukan dengan akting yang serius. Terkadang di tengah cerita saya berhenti lalu bertanya-tanya, seberapa banyak kerja keras yang dibutuhkan Mojiken untuk menciptakan produk seni seperti ini. Juga seberapa banyak kesenangan yang mereka rasakan selama prosesnya.

She and the Light Bearer dapat dimainkan dalam berbagai bahasa. Secara pribadi sih, saya berpendapat bahwa Anda sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia sedari awal. Setelah itu bila berminat baru cobalah versi bahasa Inggrisnya (atau bahasa lain sesuai kemampuan). Alasannya, karena nuansa yang ditimbulkan oleh naskah versi Indonesia dengan versi Inggris cukup jauh berbeda.

Mana yang lebih bagus itu jelas subjektif. Tapi mengingat para kreator game ini adalah orang-orang Indonesia, ada rasa autentik di naskah Indonesia yang tidak akan Anda dapatkan di versi Inggris. Selera humor asli sang penulis, muatan-muatan dan referensi lokal, juga gaya bahasa yang mungkin akan familier bagi penikmat buku-buku cergam terjemahan, baru akan muncul seluruhnya di pilihan bahasa ini. Pun dalam personalitas tokoh-tokoh, ada selisih yang lumayan memengaruhi nuansa cerita.

She and the Light Bearer - Screenshot 5

Satu saja kritik/masukan yang ingin saya sampaikan dari seluruh ulasan, saya pikir Mojiken Studio perlu editor naskah lebih ketat lagi. Tidak terlalu mengganggu pengalaman keseluruhan sebetulnya, tapi naskah versi Indonesianya mengandung kesalahan ketik yang jumlahnya cukup terasa, juga kurang konsisten dalam tata penulisan ejaan dan tanda baca. Mengingat She and the Light Bearer sebagian besarnya adalah cerita, alangkah sempurna apabila standar penulisan mendapat perhatian sama besarnya dengan unsur audio visual.

Melankolia

Mampirlah ke halaman Steam game ini, niscaya Anda melihat tulisan bahwa She and the Light Bearer dipersembahkan oleh Mojiken Studio, Toge Productions, dan Pathetic Experience. Nama yang disebut terakhir adalah grup musik akustik asal Surabaya, terdiri atas dua gitaris yaitu Dhimas Zoso dan Bagussatya. Tidak umum bukan, penyebutan nama grup musik sebagai salah satu kreator utama dalam deskripsi sebuah game? Akan tetapi setelah Anda memainkan She and the Light Bearer, pencantuman itu sangat dapat dimengerti, musik mereka merupakan salah satu faktor sentral dalam game ini.

Tanpa mengecilkan peran kru lainnya seperti produser, pemrogram, atau pemasar, hasil jadi She and the Light Bearer adalah suguhan lengkap yang memanjakan indera-indera kita lewat kata-kata, gambar, dan suara sekaligus secara kontinu. Lantunan dawai kental akan melodi tanah air, disandingkan beberapa instrumen lain yang sebagian modern tapi sebagiannya lagi masih tradisional, membuat telinga terasa teduh. Saya tak ingat sudah berapa kali saya tertidur ketika memainkannya! Bukan sebab bosan, tapi tak kuat menahan buaian nada bak ninabobo nan begitu damai.

She and the Light Bearer - Screenshot 6

Yang teramat menarik, semakin cerita mendekati titik puncak kontribusi segi suara terhadapnya justru semakin besar. Termasuk integrasinya ke dalam aspek interaktif permainan yang buat saya tidak tertebak, bahkan hingga layar kredit selesai bergulir. Dan penggambaran adegan di detik-detik klimaks dirancang begitu apik sehingga membuat kita merasa sedang terlibat dalam sesuatu yang besar. Mengingatkan bahwa di dunia ini ada hal-hal lain di luar diri kita, hal-hal yang lebih besar, atau bisa jadi lebih penting, daripada egoisme individu-individu.

Saya tidak tahu She and the Light Bearer ini metafora tentang apa, juga tidak mau berkontemplasi tentang apa pesan moral yang ingin si penciptanya sampaikan. Hal-hal seperti itu mungkin lebih baik kita biarkan menjadi ide yang bebas berkembang dalam kepala masing-masing. Saya hanya tahu bahwa kisah si Kunang-Kunang Pembawa Cahaya, Tuan Jamur Yang Maha Agung, Kembang Kelam, Jenderal Kentang, serta penghuni-penghuni hutan lainnya, adalah kisah yang layak diingat dan disampaikan kepada sebanyak-banyaknya insan. Seperti Nenek Putih yang mendongengkan cerita ini pada anak-anak kecil di awal cerita, kini saya pun menjadi pengantar pesan yang merekomendasikan game ini kepada Anda.

Melewati kaki langit

Perjalanan si Kunang-Kunang mengemban misi mulia telah selesai. Cerita She and the Light Bearer sudah berakhir. Selanjutnya apa? Apa yang akan dibuat oleh Mojiken Studio berikutnya, dan akan ke arah mana perkembangan industri game Indonesia di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan demikian adalah hal yang muncul di kepala saya selepas selesai bermain.

She and the Light Bearer - Screenshot 7

Seiring nama-nama para kreator muncul bergantian di layar, saya tidak bisa tidak berpikir bahwa orang-orang ini akan menjadi tokoh industri game lokal yang penting di masa depan. Saya membayangkan bahwa suatu hari nanti para gamer Indonesia akan merasakan hype bersama-sama ketika mendengar adanya game baru yang di dalamnya tercantum nama Brigitta Rena, Elwin Lysander, Masdito Bachtiar, dan kawan-kawan. Sama seperti kita bersemangat menyambut sebuah judul baru hanya gara-gara di sampulnya ada tulisan “A Hideo Kojima Game”. Malah kalau bisa, tidak hanya gamer Indonesia tapi juga di seluruh dunia.

Tidak banyak studio game bervisi seperti Mojiken Studio, yang ingin mendorong medium interaktif ini ke cakrawala baru sebagai sarana penyampaian cerita. Dan hal itu sepenuhnya wajar, sebab menciptakan sesuatu yang baru jelas punya risiko lebih tinggi daripada mengikuti selera pasar arus utama. Tapi justru studio seperti inilah yang membuat industri game menjadi menarik.

Saya tak sabar menunggu karya besar keluaran Mojiken Studio berikutnya. Hingga saat itu tiba, saya akan coba mengajak orang-orang—termasuk Anda—untuk mencicipi She and the Light Bearer terlebih dahulu. Pengalaman di dalamnya tidak cukup sekadar diceritakan lewat ulasan, harus dirasakan sendiri. Bila tulisan ini berhasil membuat Anda mencobanya, akan saya hitung sebagai satu catatan kesuksesan kecil dalam hidup.

Selamat bertualang, Pembawa Cahaya. Titip salam untuk Ibu.

She and the Light Bearer - Screenshot 8

Sparks:

  • Desain visual bergaya etnik dengan tampilan menyerupai pop-up book, benar-benar serasa membuka lembaran-lembaran buku cerita
  • Cerita singkat bermakna, sering kali humoris namun juga berhasil membuat kita merenung
  • Musik nuansa folk yang kental akan melodi nusantara, teduh di telinga dan dramatis pada waktunya
  • Karakterisasi para penghuni hutan mengesankan, mereka bukan hanya tokoh tapi juga terasa seperti teman
  • Adegan ending yang indah luar biasa

Slack:

  • Standar penulisan naskah versi bahasa Indonesia kurang konsisten

She and the Light Bearer dan My Lovely Daughter Resmi Dirilis untuk Switch

Semakin banyak saja produk karya anak bangsa yang dirilis di console Nintendo Switch. Maklum, dengan total penjualan hardware mencapai lebih dari 34 juta unit, serta jumlah game yang belum terlalu ramai, platform ini memungkinkan game indie untuk mendapatkan visibilitas tinggi. Apalagi Switch itu sendiri memang merupaka console/handheld yang keren dan asyik untuk dimainkan.

Kali ini, Toge Productions menerbitkan dua game andalan mereka ke Switch dalam waktu yang hampir berdekatan. Pertama yaitu My Lovely Daughter, game bertema alchemist simulator yang dikembangkan oleh perusahaan asal Tangerang, Gamechanger Studio. Kedua yaitu She and the Light Bearer, game bergenre point-and-click adventure karya Mojiken Studio, yang dikenal suka membuat karya dengan nilai artistik tinggi.

My Lovely Daughter sudah dirilis pada tanggal 23 Mei 2019 lalu, dan bisa Anda dapatkan melalui Nintendo eShop dengan harga US$14,99 (sekitar Rp213.000). Game ini menceritakan tentang seorang pria bernama Faust yang kehilangan ingatan, yang tiba-tiba terbangun dan menemukan bahwa anak gadisnya telah meninggal dunia. Sebagai Faust, Anda harus melakukan berbagai eksperimen alkimia untuk berusaha menghidupkan sang anak tercinta. Menghidupkan orang mati adalah ilmu terlarang dalam alkimia, jadi bisa ditebak bahwa cerita ini tidak akan berisi pelangi dan bunga-bunga saja.

Sementara She and the Light Bearer dibanderol dengan harga sedikit lebih murah, US$9,99 (sekitar Rp142.000). Game kedua ini dirilis pada tanggal 6 Juni 2019 lalu, dan menceritakan perjalanan seekor kunang-kunang kecil dalam mencari sosok yang disebut The Mother. Keunikan game terletak pada desain visual dan dialognya yang dirancang agar menyerupai buku-buku dongeng.

Selain merilis kedua game tersebut, Toge Productions juga baru saja meluncurkan demo untuk game baru mereka yang berjudul When the Past Was Around. Game ini juga merupakan hasil karya Mojiken Studio, jadi sudah barang tentu akan memiliki estetika menarik juga. When the Past Was Around menceritakan kisah seorang gadis dan monster di dunia misterius yang terdiri dari ruangan-ruangan berisi memori berbagai masa. Anda dapat mengunduh demonya secara gratis untuk PC Windows dan MacOS di situs itch.io.

Sumber: Toge Productions

Game Indonesia Sabet Dua Penghargaan di SEA Game Awards Malaysia

Para developer game Indonesia semakin gencar menunjukkan tajinya di dunia internasional. Selain banyak merilis game di console modern seperti PS4 dan Switch, mereka juga meraih berbagai penghargaan di pameran luar negeri. Di antara para pengukir prestasi itu adalah perusahaan asal Tangerang yang sudah cukup lama berkecimpung di industri game, yaitu Toge Productions.

Anda mungkin mengenal nama Toge Productions dari seri game zombi andalan mereka, Infectonator. Namun sejak tahun 2017 lalu Toge Productions juga membuka divisi penerbitan game yang kini membawahi beberapa studio, antara lain Rolling Glory Jam, Mojiken Studio, Tahoe Games, dan GameChanger Studio. Dalam ajang SEA Game Awards di acara Level Up KL 2018 Malaysia akhir Oktober kemarin, Toge Productions berhasil meraih dua gelar penghargaan.

Coffee Talk
Coffee Talk

Game pertama yang memenangkan penghargaan adalah Coffee Talk, sebuah visual novel buatan Toge Productions sendiri. Mengambil inspirasi dari game indie terkenal VA-11 Hall-A, Coffee Talk menempatkan pemain dalam posisi seorang barista yang harus piawai meracik minuman sambil mendengar keluh kesah pelanggan di dunia fantasi modern. Coffee Talk meraih gelar Best Storytelling di SEA Game Awards.

Sementara itu, She and the Light Bearer karya Mojiken Studio menyabet penghargaan Best Visual Art berkat tampilannya yang mengambil nuansa estetika kisah dongeng. Mojiken memang memiliki visi untuk menciptakan game bernilai seni tinggi, sebuah visi yang akhirnya menarik minat Toge Productions untuk berinvestasi di perusahaan tesebut.

She and the Light Bearer
She and the Light Bearer

Malaysia sendiri sebagai tuan rumah juga tak kalah “garang”. Dari sepuluh penghargaan yang ada, enam di antaranya jatuh ke tangan developer asal Malaysia, sedangkan dua sisanya diterima oleh perusahaan asal Singapura. Berikut adalah daftar penghargaan lengkapnya:

  • Grand Jury Award – No Straight Roads (Metronomik/Malaysia)
  • Audience Choice Award – Iteno (Why Creative/Malaysia)
  • Rising Star Award – Songbird Symphony (Joysteak Studios/Singapore)
  • Best Technology – Nightstream (Streamline Games/Malaysia)
  • Best Visual Art – She and the Light Bearer (Mojiken Studio/Indonesia)
  • Best Game Design – Re: Legend (Magnus Games/Malaysia)
  • Best Audio – Songbird Symphony (Joysteak Studios/Singapore)
  • Best Storytelling – Coffee Talk (Toge Productions/Indonesia)
  • Best Innovation – Simulacra: Pipe Dreams (Kaigan Games/Malaysia)
  • Best Student Game – Terminus Lockdown (Glenmarie Games KDU University/Malaysia)

Mengingat terdapat lebih dari seratus game yang bersaing di ajang SEA Game Awards, apa yang dicapai Toge Productions adalah prestasi yang membanggakan. Apalagi She and the Light Bearer sebelumnya juga mendapat penghargaan di Busan Indie Connect Festival 2018 untuk kategori Excellence in Art. Mojiken Studio berhasil menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia punya SDM industri game yang layak diperhitungkan.

Sayangnya saat ini belum ada kepastian tentang jadwal rilis dua game pemenang penghargaan tersebut. Toge Productions hanya memberi perkiraan bahwa Coffee Talk akan dirilis pada tahun 2019, dan She and the Light Bearer pada tahun 2018. Sebentar lagi tahun 2018 akan segera berakhir. Bisakah She and the Light Bearer rilis sesuai waktu yang dijanjikan?