Pengalaman Pribadi Bisa Menjadi Ide Startup

The way to get startup ideas is not to try to think of startup ideas. It’s to look for problems, preferably problems you have yourself.

– Paul Graham, Founder Y Combinator.

Bagaimana cara memulai sebuah startup? Jangan memulainya dari solusi. Mulailah dari permasalahan. Kadang bisnis besar berasal dari pemecahan masalah sehari-hari. Uber, Airbnb, atau Gojek sekalipun berangkat dari isu yang sama. Masalah yang dihadapi founder-nya dan keinginan untuk menyelesaikannya dalam bentuk produk.

Carilah permasalahan yang Anda miliki, kemudian validasi ke orang-orang sekitar kita jika memang masalah tersebut juga menjadi perhatian mereka.

Menurut Paul Graham, pendiri  Y Combinator, ide-ide startup terbaik cenderung memiliki tiga kesamaan, yaitu sesuatu yang diinginkan pendirinya sendiri, yang dapat mereka bangun sendiri, dan yang hanya disadari oleh sedikit orang namun layak untuk dilakukan.

Perjalanan Panjang Proses Validasi Pasar

Tantangan mendirikan startup sudah ada sejak awal, bahkan sebelum sebuah produk diciptakan. Ada tahapan bernama market validation yang harus dilewati. Tahapan ini memberikan kesempatan startup untuk mengevaluasi produk mereka, sekaligus menjadi tahapan apakah sebuah produk bisa lanjut atau tidak.

Pastikan konsumen mau membayar

Kami sempat menanyai Co-Founder Paxel, Zaldy Ilham Masita, tentang bagaimana Paxel memvalidasi pasarnya. Zaldy bercerita bahwa ide awal Paxel dimulai pada tahun 2017 untuk mencari model yang cocok untuk delivery last mile di Indonesia, terutama untuk memenuhi perkembangan industri e-commerce yang pesat.

Paxel sejak awal mencoba untuk membuat model baru untuk last mile delivery dengan model relay atau estafet dengan memanfaatkan smart locker sebagai mini sorting center pada akhir 2017, dan dengan memberikan service pick up dan flat rate. Fokus Paxel ada pada bagaimana memberikan layanan same day delivery dalam kota dan antar kota–pasar yang selama ini masih sepi pemain sehingga Paxel bisa langsung memimpin pasar tanpa ada perang harga.

“Selama dua tahun, Paxel mencoba model baru ini, ternyata memberikan SLA yang tinggi untuk same day delivery dengan biaya yang terjangkau. Bahkan same day delivery bisa ditawarkan sampai ke semua kota besar di Jawa dan Bali. Model last mile delivery dengan sistem relay, menggunakan smart locker, dan berbasis aplikasi untuk customer membutuhkan sistem dan teknologi yang sangat besar. [..] Sebagian besar investasi dilakukan di [sektor] teknologi dengan 4 IT center yang dibangun di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Chennai dengan [sebanyak] 60+ engineer,” terang Zaldy.

Zaldy melanjutkan, selama tiga tahun terakhir banyak hal yang ia dan tim pelajari. Salah satunya same day delivery service antar kota membuka pasar baru untuk market last mile delivery yang sebelumnya belum pernah ada, yakni pengiriman makanan, produk perisable antar kota, dan juga frozen food. Market baru ini ternyata bisa mendorong UMKM di daerah untuk meluaskan pasarnya ke kota-kota lain.

Bagi Zaldy dan tim Paxel, melakukan market validation perlu mempertimbangkan banyak hal, termasuk inovasi model bisnis untuk tidak mudah ditiru pemain yang sudah besar atau pemain baru.

“[Memastikan] konsumen memang butuh service tersebut dan bersedia untuk membayar. Kadang-kadang model bisnis sangat innovative dan sangat bagus tapi konsumen masih tidak mau memakai kalau bayar. Roadmap yang jelas untuk masuk ke segmen pasar yg lain yg lebih besar dengan tetap fokus pada core competency sehingga bisa memberikan service all-in pada konsumen,” imbuh Zaldy.

Sejauh ini layanan same day delivery Paxel diklaim meroket hingga 250 persen. Dengan jumlah pengguna mencapai 1 juta, Paxel sudah memiliki lebih dari 50 mitra untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Ciptakan kesan

Perjalanan panjang menemukan pasar dan produk yang sesuai juga dialami  Flip. Salah satu perusahaan teknologi finansial yang inovasinya cukup penting bagi banyak orang dengan memangkas biaya transfer antar bank.

Flip berawal dari keresahan Rafi Putra Arriyan (Ari), Ginanjar Ibnu Solikhin, dan Luqman Sungkar tentang biaya transfer bank yang cukup besar. Untuk sekali transfer antar bank biayanya setara dengan sepiring nasi dan telur.

Layanan pertama Flip dibuat menggunakan formulir Google Form dan domain sendiri. Pengguna yang ingin melakukan transfer bank harus mengisi formulir tersebut lalu para founder akan melakukan transfer manual melalui internet banking. Tak disangka, Flip mendapatkan popularitas di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia. Kala itu ada 30 permintaan transfer per harinya. Kewalahan, akhirnya mereka merekrut tim operasional sendiri. Kisah tersebut adalah validasi pertama market dan produk dari Flip.

Ada beberapa hal yang kemudian dipelajari Flip pada tahap tersebut. Salah satunya, banyak ragu menggunakan Flip saat pertama kali mencoba, tapi setelah mendapatkan pengalaman pertama mereka pengguna tersebut kembali menggunakannya. First impression.

“Pertama-tama sebaiknya mulai memvalidasi market dari sesuatu yang benar-benar kita rasakan permasalahannya. Setelah melakukan validasi masalah, baru masuk lagi ke tahap validasi solusi. Setiap validasi yang dilakukan sebaiknya dengan effort yang sedikit dan waktu yang cepat. Semakin cepat kita melakukan validasi, semakin cepat juga kita mendapatkan wawasan untuk membangun solusi yang kita inginkan,” jelas CEO Flip Rafi Putra Arriyan.

Saat ini Flip sudah memiliki aplikasi sendiri. Jumlah bank yang bekerja sama dengan Flip juga terus bertambah. Demikian pula fiturnya. Sekarang mereka juga menghadirkan solusi transfer hemat biaya untuk korporasi melalui BigFlip.

Sesuaikan dengan kebutuhan pasar

Cerita perjuangan menemukan market validation yang tepat juga dialami oleh Netflix, perusahaan teknologi yang sekarang menjadi fenomena. Sebelum menemukan bentuk terbaik sebagai layanan streaming video on demand Netflix memiliki sejarah yang panjang. Salah satunya sebagai layanan penjualan CD/DVD secara online.

Permasalahan kemudian mulai muncul, seperti risiko kerusakan ketika pengiriman CD/DVD dan semacamnya. Dari sana Netflix mulai melakukan penyewaan film berbasis online. Cerita lainnya mengenai bagaimana Netflix dimulai disampaikan Reed Hastings, salah satu pendiri Netfilix pada gelaran MWC Barcelona 2017 silam.

Dalam sebuah sesi presentasi Hastings menjelaskan, mereka memulai bisnis pengiriman DVD ke pelanggan pada tahun 1997, kemudian memperkenalkan layanan streaming pada 2007. Tiga tahun berselang, jumlah pengguna layanan streaming melebihi jumlah pelanggan DVD mereka.

Perubahan model bisnis yang dilakukan Netflix sejalan dengan adopsi kebiasaan pengguna dan teknologi yang semakin maju saat itu. Dengan mempertahankan budaya terus beradaptasi, Netflix saat ini tak hanya sebagai perusahaan penyedia layanan streaming film tetapi juga memproduksi film dan serialnya sendiri. Netflix adalah bukti bahwa bisnis harus dinamis dan tetap rajin untuk melihat peluang-peluang yang ada di pasar.

Di Indonesia misalnya, Netflix melakukan kolaborasi kreatif dengan insan film di Indonesia dengan memproduksi dan mempublikasikan film karya dalam negeri.

Bukan pekerjaan instan

Berdasarkan pengalaman Paxel, Flip, dan Netflix, ide harus divalidasi dulu berdasarkan keresahan atau permasalahan yang nyata. Kemudian mereka terjun ke lapangan untuk mengukur seberapa besar masalah tersebut dan solusi apa yang dibutuhkan.

Memvalidasi pasar juga bukan pekerjaan yang bisa selesai dengan segera. Dalam keberlangsungan bisnis, proses validasi pasar harus terus dilakukan–menggali potensi inovasi baru dan, yang paling penting, mencari sumber pendapatan baru.

[Founders Library] Mencari dan Memvalidasi Ide untuk Bisnis Startup

Jika mengembangkan bisnis diibaratkan sebuah perjalanan, ide dan validasi adalah hal pertama yang harus dilakukan, baik untuk memulai perjalanan atau ketika bertemu persimpangan. Semua orang bisa memiliki ide, beberapa di antaranya bisa jadi sama. Yang membuatnya berbeda sejak awal adalah bagaimana “memeras” ide menjadi sesuatu yang bisa diterima dan penuh perhitungan untuk selanjutnya dieksekusi.

Kami merangkumkan beberapa tulisan, video, dan podcast yang ada di DailySocial terkait ide dan validasi. Semoga daftar ini bisa membantu Anda yang saat ini ada pada tahap kebingungan mencari ide atau butuh sudut pandang lain untuk memandang sebuah permasalahan.

Artikel:

Video dan Podcast:

Pentingnya Membangun Kerangka Validasi Ide Startup

Memvalidasi ide startup lebih penting untuk dilakukan oleh seorang founder dan timnya, bahkan lebih penting daripada hal lainnya. Tanpa hal itu orang-orang tidak akan ada yang mau membeli produk. Hasil kerja keras Anda bersama tim akan terbuang percuma apabila hal itu sampai terjadi.

Dalam tulisannya di laman Medium, Michell Harper berbagi tips langkah-langkah apa yang perlu dilakukan saat membangun sebuah kerangka untuk validasi ide pasar sebelum mengucurkan dana. Menurutnya, tips ini sama persis dengan apa yang pernah ia dan timnya lakukan saat pertama kali membangun Bigcommerce di 2009 silam.

1. Tulis masalah, bukan solusi secara spesifik

Anda ingin mengutarakan dengan jelas permasalahan apa yang setiap orang rasakan setiap harinya. Untuk itu, fokuslah pada masalahnya, bukan solusinya. Anda bisa menuliskan masalah dalam sebuah pernyataan sederhana.

Contohnya: Tidak mungkin untuk melakukan follow up terhadap pelanggan yang sudah meninggalkan restoran atau terlalu sulit untuk merancang grafis berkualitas profesional di media sosial.

Intinya, Anda mendapatkan ide, tapi haruslah masalah yang sangat dasar, sehingga Anda perlu terus perbaiki sampai terbentuk satu kalimat permasalahan yang sudah utuh.

2. Tentukan apakah itu termasuk masalah tier 1 atau bukan

Mencari masalah itu pekerjaan mudah, tapi menentukan apakah itu masalah tier 1 (utama) atau bukan adalah pekerjaan yang tidak mudah karena artinya Anda sedang berusaha menyelesaikan satu dari tiga tingkat masalah yang dihadapi konsumen potensial Anda.

Bila Anda tidak memberikan solusi terhadap masalah tier 1 mereka, berarti apapun produk yang ditawarkan tidak akan berguna. Untuk tahu bagaimana memvalidasi masalah Anda itu adalah masalah tier 1 atau bukan, pertama-tama Anda perlu memetakan jenis konsumen. Caranya dengan membuat profil dasar.

Mulai dengan membuat skala perusahaan, jabatan yang dituju, jenis industri, dan lokasinya. Ini bisa dicari lewat LinkedIn. Berikutnya, membuat janji telepon lewat email. Bentuknya harus to the point, jangan sampai waktu calon konsumen terbuang percuma. Anda bisa langsung menuliskan tujuan menghubungi mereka sebagai penelitian awal, sebutkan dengan rinci kapan waktunya, dan durasinya.

Dalam proses ini, berlaku hukum probabilitas. Artinya, dari sekian banyak orang yang Anda hubungi hanya sekian persennya akan membalas pesan. Jadi, bila Anda ingin mendapat 20 responden paling tidak perlu hubungi sekitar 60 orang.

3. Menentukan solusi yang ada

Setelah mendapat koresponden, Anda akan mendapat bayangan ide baru bagaimana strategi mereka menyelesaikan masalah tier 1. Ada baiknya, menurur Harper, untuk tidak menanyakan produk apa yang membantu mereka menyelesaikan masalah itu, karena sudah pasti mereka tidak akan memberi tahu. Sebaliknya Anda tanyakan bagaimana caranya.

Seringkali, ketika Anda ingin menyelesaikan masalah, ada perusahaan lainnya yang sedang melakukan hal yang sama. Akan tetapi, hal ini juga bisa jadi bumerang. Apabila tidak ada perusahaan yang berusaha memecahkan masalah yang juga sedang Anda selesaikan bisa jadi ini dikarenakan tidak ada pasar atau masalah Anda terlalu spesifik bagi sedikit orang saja.

Oleh karena itu, Anda perlu menyeimbangkan antara masalah yang spesifik dengan kondisi pasar.

4. Cari kelemahan dari solusi yang ada

Entah koresponden menggunakan produk yang ada di pasaran atau tidak. Anda perlu identifikasi apakah ada kelemahan dari produk tersebut. Tanyakan ke mereka, apakah suka dengan produk yang ada saat ini, bila tidak apa yang mereka inginkan.

Ini berguna agar produk yang Anda luncurkan tidak memiliki solusi dengan kesamaan yang identik dengan kompetitor. Kira-kira dengan persentase perbedaan minimal 20% adalah ambang batas terbaik bagi produk Anda untuk dipilih calon konsumen dibandingkan produk lainnya.

5. Cek kembali budget

Jika Anda memiliki kompetitor dengan tujuan memecahkan masalah yang sama, perhatikan traksi mereka. Apakah berkembang pesat? Bagaimana volumenya? Apakah mereka sudah mendulang profit? Coba Anda cari petunjuk dari semua pertanyaan itu.

Kebanyakan, bila kompetitor tidak memiliki produk yang baik tapi memiliki profit dan ada pembelinya, ini menandakan ada orang yang yang memiliki alokasi budget untuk membelanjakan produk yang sama seperti Anda.

Dari responden yang Anda hubungi, tanyakan ke mereka bila ada produk yang lebih baik dari yang sudah ada diluncurkan ke pasar berapa harga yang pantas mereka rela bayarkan. Bila responnya tidak akan membeli, Anda perlu gali lebih dalam alasannya.

6. Gunakan responden sebagai penentu roadmap Anda

Dengan memakai asumsi Anda sudah memecahkan masalah tier 1 dalam produk yang sedang Anda buat, artinya akan ada orang yang akan membeli produk Anda. Setelah Anda menyelesaikan keenam langkah ini, secara harafiah Anda belum mengeluarkan uang sepeser pun.