Tyler “Ninja” Blevins Muncul Kembali di Platform Streaming Twitch

Setelah platform layanan streaming Mixer dinyatakan ditutup, Ninja, sebagai salah satu streamer yang mengantongi kontrak siar ekslusif bersama Mixer, sejenak menghilang dan tidak melakukan aktivitas streaming. Seteleh beberapa lama tidak terpantau, untuk pertama kalinya Tyler “Ninja” Blevins melakukan kembali streaming di platform Twitch, tempat yang membesarkan namanya sejak awal.

Kemunculan kembali Ninja di platform layanan streaming Twitch memberikan kejutan dan disambut baik oleh penggemarnya sekaligus Twitch sebagai penyedia layanan. Dalam sebuh tweet, Twitch menyapa Ninja yang kembali melakukan streaming di paltformnya. Sebelum kembali melakukan streaming di Twitch, Ninja juga sudah pernah muncul dan melakukan streaming di platform YouTube.

https://twitter.com/Twitch/status/1291067489246298112

Adapun kemunculan kembali Ninja melakukan streaming bisa saja menjadi salah satu bentuk usahanya untuk menyatakan bahwa dirinya masih menjadi persona yang bisa berpengaruh bagi komunitas gaming dan esports. Sampai sejauh ini tampaknya Ninja masih nyaman dengan status sebagai free agent dan terbuka bagi siapa saja yang berminat untuk melakukan kerja sama.

Seperti yang sudah pernah tercatat sebelumnya, Tyler Blevins meninggalkan platform Twitch dengan menerima tawaran dari Mixer dengan nilai kontrak yang fantastis. Kemunculan kembali Ninja di Twitch dilakukan dengan melakukan streaming bersama Dr Lupo yang juga salah satu streamer veteran di platform Twitch.

Seiring berkembangnya teknologi yang tentu saja turut mendukung aktivitas gaming dan esports, streaming perlahan dapat diterima sebagai pekerjaan profesional, medium baru, dan mungkin saja menjadi bentuk entertainment yang baru. Dari sisi bisnis, seorang streamer sangat berpotensi menjadi influencer untuk kelompok viewersnya.

Tyler "Ninja" Blevins | via: businessinsider.com
Tyler “Ninja” Blevins | via: businessinsider

Bekerja sama dengan streamer akan memungkinkan brand untuk mempromosikan produk dan layanan mereka secara lebih tertarget dan spesifik. Streamer dengan kontrak eksklusif seolah menjadi aset dan turut memperkuat brand image dari platform layanan streaming maupun sebuah produk.

Kesuksesan yang berhasil diraih Ninja sepertinya belum juga terasa cukup, namun tetap patut diacungi jempol. Dengan melakukan streaming di beberapa platform berbeda Ninja masih berusaha unutk membuktikna bahwa dirinay tetap relevan dan merawat interaksi dengan viewers yang mendukungnya sejak dari platform Twitch dan memang cukup setia meninkmati konten yang dibuatnya sekalipun berpindah platform. Ke mana akhirnya Ninja akan berlabuh masih menjadi misteri yang belum terungkap.

Twitch Perbarui Sistem Blokir, Mudahkan Streamer Saring Penonton Toxic

Twitch memperketat sistem pemblokiran mereka. Memang, seorang streamer dapat memblokir pengguna Twitch sejak dulu. Namun, sekarang, jika mereka memblokir seseorang, maka orang yang diblokir tersebut tidak lagi masuk dalam daftar Follower sang streamer. Tak hanya itu, pengguna yang diblokir juga tidak dapat melihat kolom chat streamer. Dengan begitu, para streamer tidak perlu khawatir mereka akan menemukan penonton yang telah mereka blokir di kolom chat.

Selain itu, seorang pengguna yang telah diblokir juga akan terkena shadowban pada IP mereka. Itu artinya, meskipun seseorang membuat akun baru, mereka tetap tidak bisa mengikuti streamer yang telah memblokir mereka. Semua larangan ini berlaku sampai seorang streamer atau moderator di sebuah channel melakukan unban alias membatalkan pemblokiran pada pengguna.

“Pengguna yang telah diblokir tidak bisa mengikuti streamer kembali — selain itu, mereka tidak bisa mengirimkan pesan, menjadi host, mengajak berteman, atau memberikan Gift Subscriptions,” kata Twitch, menurut laporan VP Esports. “Pengguna yang telah diblokir tidak akan tampil di kolom chat dan mereka juga tidak bisa melihat komentar dari para pengguna lain.”

Devin Nash, CMO dari N3RD Fusion dan rekan Twitch menjelaskan tentang bagaimana sistem pemblokiran baru ini akan memberikan kuasa lebih pada para streamer. “Agar lebih jelas, kami telah menguji sistem pemblokiran ini menggunakan akun utama dan akun alternatif. Melakukan unban akan menghilangkan shadowban pada semua akun pengguna yang diblokir,” ujar Nash. “Saya mendukung keputusan Twitch untuk memberikan kuasa lebih pada para streamer. Berbagai tool baru ini memungkinkan kami untuk menghilangkan para penonton toxic dari komunitas kami.”

Dengan sistem pemblokiran yang lebih ketat ini, seorang streamer bisa memastikan bahwa mereka tidak diganggu oleh para troll yang senang mencaci maki para streamer atau berlaku semena-mena. Sementara bagi moderator dari channel yang menyiarkan kegiatan esports besar, mereka bisa memastikan channel mereka bebas dari penonton yang toxic.

Pada Oktober 2019, Michael  “Shroud” Grzesiek memutuskan untuk pindah ke Mixer dari Twitch. Mengingat Twitch masih menjadi platform streaming game nomor satu, jumlah penonton Shroud langsung menurun setelah dia pindah ke Mixer. Namun, dia mengaku tetap puas karena dia merasa, komunitas Mixer lebih baik daripada penonton di Twitch.

Sumber header: The Next Web

Logitech StreamCam Andalkan AI untuk Mengatur Fokus, Exposure dan Framing Secara Otomatis

Semakin populernya tren live streaming terus mendorong produsen periferal untuk menciptakan perangkat yang dikhususkan buat para kreator konten. Produk yang masuk di kategori ini pada dasarnya dirancang untuk menyederhanakan proses kreasi konten secara umum.

Salah satu contoh yang pas adalah produk terbaru dari Logitech berikut ini. Melihat namanya saja – Logitech StreamCam – kita sudah bisa menebak bahwa ia merupakan sebuah webcam untuk generasi streamer.

Logitech StreamCam

Secara teknis, kamera ini bisa merekam video dalam resolusi maksimum 1080p 60 fps, akan tetapi potensi sebenarnya baru akan kelihatan jika dipadukan dengan software Logitech Capture. Kombinasi keduanya mewujudkan sejumlah fitur cerdas, salah satunya face recognition berbasis AI.

Kemampuan StreamCam mengenali wajah berdampak langsung pada pengaturan fokus, exposure, serta framing. Tiga parameter tersebut pada dasarnya bakal disesuaikan secara otomatis oleh StreamCam, sehingga pengguna bisa berfokus secara penuh pada konten yang dibuatnya. Selain Capture, StreamCam tentu juga kompatibel dengan software populer macam OBS, XSplit dan Streamlabs.

Logitech StreamCam

Ini berarti StreamCam diciptakan untuk platform seperti YouTube, Facebook atau Twitch. Namun menariknya, StreamCam juga ditujukan buat kreator yang memilih Instagram sebagai rumahnya. Ini dikarenakan StreamCam bisa kita lepas dari dudukannya, lalu diputar 90° guna merekam video berformat vertikal.

Dudukannya pun sangat fleksibel. Di atas monitor, StreamCam bisa ditolehkan ke kiri-kanan, serta didongakkan atau ditundukkan. Kalau perlu, StreamCam bahkan bisa dipasangkan ke tripod.

StreamCam menyambung ke komputer atau laptop via sambungan USB-C. Ia mengemas lensa f/2.0 dengan sudut pandang seluas 78°, dan performa audionya ditunjang oleh sepasang mikrofon omnidirectional. Logitech StreamCam saat ini telah dipasarkan seharga $170.

Sumber: Logitech.

Pokimane Gelontorkan Rp600 juta Untuk Beasiswa Esports

Esports dan pendidikan mungkin memang sedang jadi topik yang hangat diperbincangkan belakangan. Dalam kasus Indonesia saja, setidaknya sudah ada 20 sekolah yang punya program pendidikan game dan juga esports di dalamnya. Apalagi kehadiran esports di lembaga pendidikan punya beberapa keuntungan, salah satunya seperti bisa membuat siswa jadi lebih jarang bolos.

Terkait topik tersebut, salah satu yang sedang hangat dibahas adalah kehadiran beasiswa esports yang diberikan oleh salah satu selebriti gamers yaitu Imane Anys (Pokimane). Sosok yang terkenal sebagai streamer League of Legends dan Fortnite meugumumkan hal ini pada 13 Januari 2013 lalu. Ia mengatakan bahwa dirinya bersama dengan University of California Irvine (UCI) membuat sebuah inisiatif bernama beasiswa ‘Poki’.

Untuk program beasiswa ini, Pokimane sendiri memberikan US$50.000 (sekitar Rp600 juta) kepada UCI. Beasiswa ini akan diberikan kepada para mahasiswa UCI yang tergabung ke dalam program kegiatan esports. Tak hanya sampai situ saja, Pokimane juga mengatakan bahwa ia juga akan beasiswanya akan mengutamakan empat jurusan eksakta yaitu sains, teknologi, teknik, dan matematika.

“Saya senang sekali pada akhirnya bisa memberikan sesuatu kepada dunia gaming, yang mana dunia tersebut sudah banyak memberikan sesuatu kepada saya.” Ucap Pokimane dalam rilis resmi kampus UCI. “Saya suka sekali dapat berbagi pengalaman tentang bagaimana saya bisa mencapai karir saya sekarang ini, dengan harapan hal tersebut bisa membantu siapapun yang sedang berada dalam perjalannanya. Saya juga teramat senang bisa mendukung program esports UCI, karena para mahasiswa di sana dapat secara selaras fokus di bidang gaming sambil mengejar gelar sarjana mereka; yang tentunya tidak mudah berdasarkan pengalaman yang saya alami.” ucapnya.

Sumber: UCI Esports
UCI Esports jadi salah satu tim universitas yang dilirik karena kemenangannya di kejuaraan nasional League of Legends antar kampus di tahun 2018. Sumber: UCI Esports

“Ini sungguh berkah yang luar biasa dari Pokimane, membuat kami jadi sangat senang.” Mark Deppe Director of UCI Esports memberikan pendapatnya. “Komunitas gaming telah bekontribusi menunjukkan passion dan energinya ke dunia esports, dan kami sangat ingin bisa mengakui dan menghadiahi mereka yang sangat berkomitmen untuk hal ini. Lagi-lagi saya berterima kasih banyak atas kemurahan hati dari Poki, dan saya berharap beasiswa ini bisa menginspirasi serta menciptakan gamers dan streamer yang sukses di masa depan.”

UCI merupakan salah satu kampus besar di Amerika Serikat yang aktif di bergeliat di tengah perkembangan esports yang pesat di sana. Kampus ini memiliki program kegiatan esports resmi di dalam kampus yang diberi nama UCI Esports. Berkat unit kegiatan tersebut, mereka memiliki tim League of Legends tersendiri yang sempat menjuarai kejuaraan nasional League of Legends antar kampus di tahun 2018. Tak hanya itu, dua tahun sebelum itu (23 September 2016) kampus ini juga membuat UCI Esports Arena, yang membuat mereka menjadi salah satu yang pertama kali membuat arena esports di area kampus.

Sumber header: dualshockers

Walau Penonton Mixer Meningkat, Twitch Masih Merajai Pasar

Bisnis streaming memang sedang menjadi buah bibir belakangan. Berkat hal tersebut, Ninja bisa menerima pemasukan tahunan lebih besar dibanding dengan pemain bola liga Inggris. Tak hanya dari sisi para talentanya, platform yang menjadi wadah streamer juga mengalami kenaikan besar di tahun 2019 ini.

Salah satu sorotan yang menarik adalah, peningkatan jumlah hours watched dari platform Mixer. Tahun 2019, Mixer memang terlihat sedang berusaha keras menantang bos besar platform streaming di barat, yaitu Twitch. Terlihat mereka menggunakan strategi agresif, lewat tindakan akuisisi dua talenta streamer paling panas tahun ini, Shroud dan Ninja.

Kehadiran Ninja memang terbukti meningkatkan jumlah streamer dan konten yang disiarkan. Tapi, apakah ini artinya Mixer sudah berhasil menyaingi Twitch? Mengutip data yang dilangsir oleh StreamElements dan Arsenal.gg, ternyata angka total jam ditonton Mixer masih sangat kerdil jika dibandingkan dengan Twitch.

Sumber: StreamElement
Sumber: StreamElement

Mixer hanya menerima proporsi sebesar 3% dari total market share hours watched platform streaming besar di dunia. Twitch sebagai yang terbesar mendapat proporsi 73%, disusul Youtube Gaming sebesar 21%, dan Facebook Gaming yang juga cuma 3%.

Namun demikian semua platform streaming ternyata sedang mengalami pertumbuhan secara year-on-year dari 2018 ke 2019. Walau demikian, Facebook Gaming dan Mixer jadi dua platform stream dengan pertumbuhan terbesar.

Menariknya, angka pertumbuhan total jam ditonton Mixer terbilang lebih kecil jika dibanding Facebook Gaming. Mixer tumbuh 149%, dari 142.223.690 total jam ditonton pada tahun 2018, menjadi 353.777.685 di tahun 2019. Sementara Facebook Gaming tumbuh dengan signifikan 210% dari 114.754.621 jam ditonton di tahun 2018, menjadi 356.242.965 jam ditonton pada tahun 2019.

Sumber: StreamElement
Sumber: StreamElement

StreamElements mengatakan, bahwa pertumbuhan signifikan yang dialami Mixer terjadi karena beberapa hal. Akusisi talenta streamer papan atas adalah satu hal. Namun selain itu peningkatan ini juga melibatkan faktor lain seperti teknologi dengan fitur menarik, pendekatan berlapis dalam membangun komunitas, ditambah dukungan platform terhadap komunitas pihak ketiga yang memungkinkan sang streamer bisa hidup lewat melakukan apa yang dia suka.

Walau menjadi ujung tombak, namun talenta bukanlah segalanya dalam persaingan platform streaming ini. Shroud, yang juga pindah ke Mixer, sempat mengatakan bahwa Mixer punya komunitas yang lebih baik dibanding dengan Twitch. Selain dari itu, Mixer juga hadir dengan fitur-fitur mutakhir yang bisa membuat penontonnya betah. Protokol Faster Than Light contohnya, yang mengutamakan optimasi latency dan kegiatan interaktif dalam proses pengembangan Mixer.

Tahun depan, pertarungan platform streaming sepertinya belum akan berhenti. Pertumbuhannya juga belum, karena penontonnya mungkin akan bertambah seiring dengan semakin majunya teknologi. Pertanyaannya? Akankah ada platform streaming yang mampu menggeser Twitch dari singasananya?

Sumber header: Unpause.Asia

Pendapatan Tahunan Ninja dan Shroud Kini Lebih Besar dari Pemain Bola

Industri gaming di luar negeri sana kini membengkak menjadi segitu besarnya. Tahun 2019 ini saja, Newzoo memprediksi nilainya akan mencapai US$152,1 miliar. Jumlah ini bahkan mengalahkan valuasi gabungan industri film, musik, liga American Football NFL, liga basket NBA, liga baseball MLB, dan liga hoki es NHL.

Melihat ini, maka tak heran jika superstar di dunia gaming juga bisa punya pendapatan melebihi dari superstar di bidang industri hiburan lainnya. Baru-baru ini salah satu media asal Inggris Raya, The Sun, melaporkan bahwa pendapatan tahunan Ninja dan Shroud, duo superstar streamer, sudah melebihi pendapatan pemain bola ternama, Harry Kane dari Tottenham Hotspurs dan Virgil van Dijk dari Liverpool.

Sumber: The Sun
Pendapatan tahunan Ninja dan Shroud mencapai 10,3 juta Poundsterling atau sekitar US$13,3 juta. Sumber: The Sun

Laporan ini dibuat berdasarkan laporan dari Bloomberg yang mengatakan bahwa Ninja mendapatkan US$40 juta (Rp559 miliar) untuk kontrak selama tiga sampai lima tahun. Ini artinya pendapatan Ninja sekitar US$13,3 juta (Rp185 miliar) setiap tahunnya. Jumlah tersebut terpaut cukup tipis jika dibandingkan dengan kontrak milik Harry Kane yang sejumlah US$13,2 juta per tahun (Rp184 miliar), dan beda cukup besar dibanding van Dijk yang menerima US$12,2 juta (Rp170 miliar) per tahun.

Pendapatan streamer sebagai seorang entertainer di kalangan gamers memang terbilang cukup besar. Sebelumnya, Hybrid juga sudah sempat melaporkan, bahwa Ninja bisa menerima Rp700 juta per jam, hanya untuk mempromosikan dengan memainkan sebuah game di dalam streaming yang ia lakukan.

Laporan itu tersebut muncul setelah Ninja dan Shroud ramai-ramai memainkan Apex Legends sebagai bagian dari usaha Electronic Arts untuk mempromosikan game Battle Royale bertempo cepat besutannya.Tak hanya di luar negeri sana, streamer di Indonesia juga terbilang cukup makmur dengan pendapatan yang cenderung lebih besar dibanding rata-rata gaji pekerja di ekosistem esports. Dalam perbincangan saya dengan salah seorang streamer, ia mengatakan bahwa dirinya menerima pendaptan bersih sekitar Rp14 juta setiap bulannya.

Ninja
Sumber: Ninja

Namun itu tidak didapatkan lewat mitos yang selama ini ramai tersebar di kalangan awam, yaitu main game lalu dapat uang. Sang streamer harus konsisten terlihat ceria dan menghibur penontonnya selama kurang lebih 3 jam setiap harinya. Belum lagi selalu ada evaluasi untuk setiap streaming yang ia lakukan, dengan kemungkinan bayarannya menurun jika angka engagement atau viewership yang dia dapatkan menurun.

Terlepas dari semua hingar bingar soal uang yang didapatkan seorang streamer, nyatanya tetap butuh usaha yang keras untuk dapat mencapai hal tersebut, bahkan untuk seorang Ninja. Ia sendiri sudah malang melintang di dunia gaming sejak dari 2009 lalu. Mengawali karirnya sebagai seorang pemain profesional Halo 3, ia lalu mulai menjajaki karir sebagai streamer di 2011, dan baru mulai populer awal 2018 saat Fortnite baru rilis.

Jadi anggapan awam “main game lalu dapat uang” sebenarnya tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Karena di baliknya ada sebuah proses yang tidak bisa didapatkan secara instan, dan butuh berbagai macam pengorbanan untuk mencapainya.

Sumber header: The Verge

Kini Terbuka untuk Publik, Twitch Studio Dirancang untuk Memudahkan Pekerjaan Para Streamer

Agustus lalu, Twitch kehilangan salah satu streamer paling tersohornya, Tyler Blevins atau yang lebih dikenal dengan nama Ninja. Streamer yang menghabiskan sebagian besar waktunya bermain Fortnite itu rela meninggalkan hampir 15 juta follower-nya di Twitch atas ajakan Microsoft, yang pada dasarnya mengontrak Ninja untuk streaming secara eksklusif di platform mereka, Mixer.

Ninja memang hanya satu dari segudang streamer yang membangun reputasinya di Twitch. Kehilangan satu sosok terbesarnya bukan berarti Twitch harus terus berkecil hati. Sebaliknya, mereka malah sedang melancarkan misi untuk mencetak lebih banyak streamer profesional di platform-nya.

Twitch Studio

Caranya adalah dengan merilis broadcasting software-nya, Twitch Studio, ke hadapan semua orang. Sebelum ini, Twitch Studio sudah lebih dulu menjalani tahap closed beta, dan berbekal sejumlah penyempurnaan yang didasari oleh masukan dari para penguji, Twitch Studio pun akhirnya sudah siap dikonsumsi publik, meski tetap ada label “Beta” di belakangnya.

Kenapa masih ada label “Beta”? Mungkin karena sejumlah fiturnya masih akan terus dibenahi. Terlepas dari itu, Twitch Studio dirancang untuk memudahkan pekerjaan para streamer, baik yang sudah berpengalaman maupun yang masih amatir. Selama PC kita menjalankan Windows 7 atau yang lebih baru, kita sudah mengunduh dan menggunakan Twitch Studio.

Twitch Studio

Buat para streamer amatir, Twitch Studio siap memandu mereka mulai dari tahap persiapan awal. Live streaming pada dasarnya tidak jauh berbeda dari live video production, dan itu berarti ada beberapa peralatan pendukung yang harus mereka siapkan. Twitch Studio memastikan prosesnya berjalan seamless dengan mendeteksi secara otomatis webcam yang digunakan, mikrofon, resolusi monitor, sekaligus bitrate video yang optimal.

Selanjutnya, Twitch Studio turut menghadirkan sederet pilihan template layout video yang dapat langsung dipakai oleh streamer, atau dikustomisasi lebih lanjut sesuai dengan preferensi dan kebutuhannya masing-masing. Untuk urusan berinteraksi dengan komunitas, Twitch Studio juga menyediakan akses ke fitur chat maupun activity feed.

Buat yang selama ini tertarik mendalami dunia live streaming tapi selalu dipusingkan dengan proses yang melibatkan beberapa software sekaligus, tidak ada salahnya mencoba Twitch Studio.

Sumber: Twitch.

Logitech Akuisisi Streamlabs Senilai $89 Juta Tunai

Berkiprah hampir empat dekade, Logitech sudah melakukan cukup banyak pengambilalihan strategis demi memperkaya portfolio produknya: pemasok in-ear monitor Ultimate Ears, penyedia produk komunikasi visual Mirial, produsen gaming gear Astro, lalu sempat mengumumkan rencana untuk membeli perusahaan spesialis perangkat audio Blue Microphones. Dan ada satu nama lagi yang resmi bergabung bersama Logitech di akhir September ini.

Lewat rilis pers, Logitech mengumumkan bahwa mereka setuju untuk mengakuisisi produsen software serta perkakas khusus live-streaming Streamlabs senilai US$ 89 juta tunai. Lewat aplikasi Streamlabs OBS, para streamer dimudahkan buat berinteraksi dengan pemirsa, mengekspansi channel dan brand, serta memonetisasi siaran di platform-platform populer semisal Twitch, YouTibe, Mixer dan Facebook.

Sebelum adanya keputusan akuisisi ini, Logitech sempat bermitra bersama Streamlabs dua tahun silam. Dan sejak saat itu, software buatan Streamlabs telah menjadi favorit Logitech. Perusahaan asal Swiss ini menyediakan begitu banyak varian aksesori komputer, dari mulai keyboard, mouse sampai webcam. Dengan menggandeng Streamlabs, secara teori akan lebih mudah bagi mereka untuk mengintegrasikan software stream ke produk hardware-nya.

CEO Streamlabs Ali Moiz menjelaskan bagaimana perusahaan yang dirintisnya dan Logitech sama-sama memiliki antusiasme tinggi di ranah gaming dan sangat berdedikasi untuk melayani baik komunitas gamer maupun streamer. Dengan bergabung bersama Logitech, Streamlabs bisa terus melakukan apa yang mereka cintai, secara lebih berani dan di skala lebih besar – dibantu oleh jangkauan brand, sumber daya dan pengalaman Logitech.

Meski demikian, pengguna Streamlabs OBS tidak perlu cemas. Tak ada yang berubah dari cara perusahaan menyajikan layanannya. Developer akan terus mendukung segala macam platform, hardware dan software seperti sekarang dan akan memperluasnya di masa depan. Tool tersebut tetap dapat diunduh dan digunakan secara gratis. Nantinya, Streamlabs akan terintegrasi lebih baik ke produk-produk Logitech G, Astro Gaming dan Blue Microphones.

Pembayaran sebesar US$ 89 juta dilakukan Logitech secara tunai dengan tambahan US$ 29 juta lagi dalam bentuk saham jika Streamlabs berhasil mencapai target pertumbuhan ‘yang signifikan’.

Selain layanan yang dihidangkan secara gratis, Streamlabs OBS juga menjanjikan proses setup yang mudah, hanya memakan waktu kurang dari 60 detik. Di sana Anda bisa memilih lebih dari 250 theme, serta menggunakan fitur-fitur semisal smart recording, in-game overlay, serta 4-screens-in-1. Saat ini, Streamlabs telah menghimpun 1,6 juta pengguna aktif per bulan. Dan terhitung sejak bulan Januari 2018, user sudah men-stream konten sepanjang 161 juta jam via Streamlabs OBS.

Tambahan: Streamlabs.

Menjadi Game Streamer: Bukan Sekadar Main Game, Bersenang-senang, lalu Dapat Uang

Terbentuknya kompetisi game menjadi industri esports, telah menurunkan suatu kultur di kalangan komunitas gamers. Kultur tersebut adalah menonton orang bermain game. Walau sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak lama, perkembangan teknologi internet dan riuh rendah industri esports membuatnya semakin populer. Kalau Anda sempat mengalami masa-masa bermain game di warnet, Anda mungkin pernah mengalami keseruan menonton seseorang memainkan game baru, atau memainkannya sangat mahir.

Seiring perkembangan zaman, teknologi internet kini membantu memfasilitasi kegiatan tersebut, membuatnya jadi lebih mudah dilakukan. Anda tak perlu lagi datang ke suatu tempat untuk menonton orang yang jago tersebut bermain. Anda cukup duduk menatap layar komputer yang sudah terkoneksi internet, untuk menonton sang jagoan main lewat platform berbagi video. Populernya fenomena ini juga menurunkan sebuah pekerjaan yang bernama streamer atau game streamer.

Pada dasarnya streamer dengan esports tak beda jauh; menjadikan kegiatan bermain game jadi varian hiburan baru buat para penontonnya. Bedanya mungkin esports lebih terorganisir dan masif, lebih banyak pemangku kepentingan untuk menyajikan tontonan kepada khalayak gamers. Ditambah lagi, esports biasanya punya aura kompetitif yang lebih kental.

Streamer di sisi lain, biasanya punya skala yang kecil, dengan hanya seorang individu menampilkan wajah, personalitas, dan keahliannya bermain game di dalam platform berbagi video demi memberi hiburan kepada para penontonnya.

Kendati pekerjaan ini lebih sering terlihat sisi menyenangkannya saja, namun bagaimana sebenarnya kenyataan di balik hal tersebut? Bagaimana senang susahnya menggeluti pekerjaan ini? Apakah bayarannya sepadan? Bagaimana dengan keberlanjutan pekerjaan ini di masa depan?

Jadi Streamer, Main Game, Lalu Tiba-Tiba Dapat Uang? 

Sumber: Red Bull Esports Official Media
Sumber: Red Bull Esports Official Media

Bicara soal streamer di luar sana, nama yang mungkin langsung terbersit di benak Anda adalah Tyler “Ninja” Blevins atau Michael “Shroud” Grzesiek. Dua nama tersebut berhasil menjadi top of mind khalayak gamers, terutama para pemain game FPS. Kita mungkin melihat mereka mengerjakan pekerjaan impian mereka; cukup main game dengan santai dan dapat uang dari hal tersebut.

Tetapi apa iya menjadi streamer hanya soal main game lalu ketiban rejeki? Tidak sesederhana itu tentunya.

Mengutip dari British Esports Associationstreamer game disebut sebagai seseorang yang merekam permainan game, lalu menayangkannya secara langsung lewat platform live-streaming yang ada di internet. Unsur live, adalah garis tegas pembeda antara streamer dengan content creator; atau yang mungkin lebih Anda kenal dengan nama YouTuber. Kalau content creator harus melewati proses editing video agar konten buatannya jadi lebih menarik. Streamer biasanya tidak perlu melewati proses editing video, karena konten yang mereka sajikan sifatnya adalah tayangan langsung.

Oke, kita sekarang sudah paham teknis pekerjaan streamer atau game streamer. Lalu, kalau saya sudah bermain game, menayangkannya secara langsung pada live streaming platform tertentu yang ada di internet, bagaimana cara mendapat uang dari sini?

Ada proses yang cukup panjang untuk sampai akhirnya Anda bisa mendapat uang dari menayangkan permainan Anda di platform streaming yang ada di internet. Pekerjaan ini sebenarnya mirip seperti kebanyak pekerjaan performer (musisi, aktor, artis, dan lain sebagainya) di dunia hiburan. Hal yang perlu Anda ingat, tugas streamer adalah menghibur para penonton. Jadi bisa dibilang, Anda baru bisa mendapatkan sesuatu setelah banyak orang terhibur dengan apa yang Anda tampilkan.

Lalu, apa modal penting yang harus dimiliki seorang streamer agar dapat menggaet para penonton. Apakah seorang streamer harus lucu? Harus jago? Atau harus punya personalitas yang unik?

Bicara soal ini kami bicara dengan Agree Cory, Public Relation & Social Media Executive dari Game.ly. Sebagai salah satu platform streaming yang sedang berkembang di Indonesia, ia sempat menceritakan soal kriteria streamer yang banyak dicari pengguna Game.ly. Menurutnya, selain kriteria-kriteria yang saya sebutkan di atas, seorang streamer juga wajib memiliki passion terhadap game yang dimainkan.

Grand Launch Game.ly. Sumber: Hybrid
Game.ly salah satu layanan streaming game di Indonesia. Sumber: Hybrid

Memang, apapun bidang pekerjaan yang Anda geluti, passion adalah bahan bakar yang membuat Anda tetap punya alasan atas apa yang Anda lakukan. Cory juga melanjutkan bahwa dengan passion, maka kecintaannya terhadap game yang dimainkan akan terpancar lewat cara ia membawakan tayangan live streaming yang sedang dilakoni.

Tetapi lebih lanjut, Cory mengatakan bahwa personalitas adalah salah satu modal penting yang perlu dimiliki seorang streamer. “Tonjolkan kelebihan dari karakter yang dimiliki, keunikan atau ciri khas dari masing-masing diri sendiri tanpa menduplikat orang lain. Sebab, hal itulah yang membuat Anda seorang streamer jadi diingat oleh banyak orang.” Jadi sebenarnya, memang menjadi jago saja tidak cukup untuk menjadi sukses di bidang ini; Anda bisa jadi atlet esports kalau memang Anda hanya modal jago saja.

Kalau Anda sadar, Shroud yang sangat jago sekalipun juga tidak serta merta terkenal karena kemampuannya bermain game saja. Beberapa sifat dan sikap yang dia miliki juga membantunya menjadi dikenal lebih banyak orang. Salah satu yang membuat dirinya jadi semakin dikenal adalah nilai hidup sederhana, jujur, suka membantu orang, dan blak-blakan yang selalu dia pegang teguh.

Nilai hidup tersebut terpancar, sehingga hal tersebut kerap menjadi konten secara spontan, yang berhasil menarik hati para penonton. Contoh nyata hal ini adalah ketika Shroud mendorong para penontonnya untuk berdonasi kepada seorang streamer perempuan yang menampilkan tayangan musik di Twitch, agar sang streamer dapat membayar tagihan pengobatannya.

Jika Anda sudah memiliki penonton setia, sudah semakin dikenal banyak orang, dari titik ini Anda sudah bisa mendapatkan keuntungan dari menjadi seorang streamers. Jalur yang punya pendapatan paling pasti adalah teken kontrak dengan platform streaming tertentu.

Kalau di luar negeri salah satu kontrak kerja sama streaming yang paling menjanjikan adalah dengan Twitch.tv. Selain karena Twitch adalah wadah utama komunitas gamers menyaksikan streamer favoritnya, menjadi Twitch Partner juga akan memberikan keuntungan tertentu seperti: mendapat uang dari setiap iklan yang ditayangkan oleh Twitch kepada para pemirsa, mendapat uang untuk setiap penonton yang subscribe pada kanal streaming milik seorang streamer, dan juga berhak mendapat uang dari setiap Bits (mata uang virtual saweran dari penonton) yang didapatkan.

Kalau di Indonesia, pilihan streaming partner terbilang cukup beragam. Ada Game.ly yang sempat menggelar ajang pencarian bakat dengan hadiah berupa kontrak tahunan. Ada juga beberapa platform streaming lain yang menyediakan kesempatan partnership dengan sang streamer, seperti NimoTV ataupun Facebook (FB) Gaming.

Tetapi, peluang pendapatan Anda tidak berhenti sampai situ saja. Anda bisa juga menerima pendapatan lewat kontrak endorse, iklan, sumbangan dari penonton, atau mungkin menjadi bintang iklan seperti Tyler “Ninja” Blevins.

Suka Duka Menjadi Streamer

Di balik dari keceriaan sang streamer, menyambut dan berinteraksi dengan para penonton, pekerjaan ini tentu bukan melulu tentang tertawa bahagia setiap saat saja. Ada saja sisi sulit atau sisi kelam dari suatu pekerjaan. Salah satu yang paling kelam yang tercatat oleh sejarah adalah, ketika pekerjaan streamer ternyata sempat membuat pelakunya meninggal dunia.

Memang, ide Brian “PoshHybrid” Vigneault menciptakan konten streaming yang menarik agak sedikit berlebihan. Ia melakukan streaming maraton selama 24 jam penuh, demi menggalang dana untuk Make-A-Wish Foundation. Mengutip artikel New York Times terbitan Maret 2017 lalu, tujuan streaming PoshHybrid ternyata tidak tercapai, dan terhenti pada durasi 22 jam. Setelah itu ia menghilang dari stream, baru setelahnya ia ditemukan telah meninggal dunia oleh kepolisian setempat.

2
Brian “Poshhybrid” Vigenault, sosok yang sempat menggemparkan komunitas game, karena kasusnya yang meninggal gara-gara streaming selama 24 jam. Sumber: Kotaku.com

Tetapi itu adalah contoh paling ekstrim. Walaupun memang punya tantangannya tersendiri, namun pekerjaan ini tidak akan menyebabkan kematian jika dilakukan sesuai dengan kadarnya.

Membahas topik ini, saya mencoba berbincang dengan Jessica “Jelly” Azali. Anda penggemar esports PUBG Mobile mungkin sudah tidak asing dengan sosok cici cantik yang satu ini. Sosoknya yang ceria kerap membuat pertandingan-pertandingan PUBG Mobile di Indonesia jadi lebih seru lewat komentar-komentar yang diberikannya. Tetapi selain menjadi shoutcaster, kini Jelly juga aktif melakukan streaming lewat platform Facebook, dan juga merupakan streamer partner dari FB Gaming.

Lalu, bagaimana sebenarnya cerita di balik layar dari seorang streamer seperti Jelly ini. Kalau soal suka-duka, ia bercerita bahwa sebenarnya ada banyak hal yang terjadi sepanjang pengalaman dirinya menjadi seorang streamer. “Suka duka sih banyak banget! Kayak roller coaster!” kata Jelly. Namun, dari semua suka-duka tersebut, menurutnya salah satu yang selalu membuatnya bahagia adalah ketika penonton sedang ramai dan kebanyakan mereka memberikan komentar-komentar positif.

streamer #3
Sumber: Jessica Azali Official Page

“Seneng banget kalau misalnya ketika streaming ramai, udah gitu banyak yang support dan memberi komentar positif.” Lalu bagaimana dengan komentar negatif? Kalau Anda adalah pengguna internet, terutama Facebook, Anda tentu paham bagaimana para warganet itu terkenal buas. Jelly sendiri mengakui kerap menerima komentar-komentar negatif yang bersifat toxic, bahkan kadang komentar-komentar yang dilontarkan menjurus ke pelecehan seksual.

Kendati demikian, Jelly cerita bahwa komentar-komentar tersebut tidak pernah ia terima sampai hati. “Komentar toxic, walaupun ada, tapi itu bukan merupakan duka bagiku, malah jadi hiburan tersendiri. Sebab, kalau ada komentar toxic biasanya malah aku balas lagi jadi komentar lucu-lucu. Intinya sih, kalau jadi streamer memang nggak boleh baper sama netizen.” Jawab Jelly, mencoba melihat sisi positif. Begitupun jika ada komentar-komentar cabul. Jelly tak pernah sampai hati menerima komentar tersebut dan membalasnya dengan becandaan saja.

Jelly, lewat pengalamannya menjadi seorang streamer juga bercerita soal apa-apa saja yang harus ditonjolkan agar penonton tetap tertarik untuk menonton. Kalau bicara soal modal awal, menurutnya jago bisa jadi salah satu hal, tapi bukan satu-satunya hal yang harus ditonjolkan.

“Karena viewer punya selera yang macam-macam, jadi wajar kalau streamer juga biasanya punya modal atau daya jual sendiri-sendiri. Ada yang modal jago, modal cantik atau tampan, atau modal personalitas entah karena dia orang yang jenaka atau memang asik diajak berbincang dengan viewers.” kata Jelly.

“Sementara kalau aku, selama perjalanan menjadi streamer, yang aku fokus adalah menjadi diriku sendiri dan tak lupa selalu berinteraksi sama penonton. Jadi kalau lagi streaming, aku ngelawak iya, becandaan toxic iya, tapi tentunya yang tidak kelewat batas, becandain viewer atau temen main juga suka aku lakukan. Intinya sih memang be yourself, percaya diri, senyum depan kamera, interaksi sama penonton, dan fokus menghibur penonton.” Jelly lebih lanjut menjelaskan senjata utama yang kerap ia gunakan dalam menggaet penonton.

Selain soal sikap yang ceria dan suka berinteraksi, Jelly menambahkan soal pentingnya kreatif berimprovisasi. Ia menceritakan ini lewat satu momen pengalaman ketika tayangan streaming yang ia tampilkan saat itu sebenarnya tidak sebegitu menarik. “Waktu itu aku pernah, 3 jam streaming cuma dapat too soon (mati terlalu cepat di PUBG). Tapi aku nggak sedih atau kecewa, malah hal tersebut aku alihkan menjadi konten. Saat akhir live aku buat kuis, aku suruh penonton hitung, ‘berapa kali Jelly too soon pada live hari ini’. Terus aku suruh penonton untuk DM ke akun Instagramku, nanti yang jawabannya benar dan yang tercepat aku kasih hadiah UC. Alhasil jadinya penonton tetap terhibur, walaupun sebenarnya aku too soon terus selama streaming.

Now It’s Live! Tapi Bagaimana Masa Depan Menjadi Streamer?

Lalu bagaimana dengan kewajiban seorang streamer yang terafiliasi dengan streaming platform tertentu? Bagaimana juga dengan pendapatannya? Apakah sebanding? Menurut salah satu streamer yang saya wawancarai (yang menolak untuk disebutkan namanya), KPI atau beban kerja seorang streamer sebenarnya lumayan.

Ada seorang steramer yang kewajiban kerjanya adalah melakukan live streaming minimal 20 video atau 20 kali per bulan, dengan durasi 3 jam setiap pada setiap video atau streaming. Angka ini mungkin kurang lebih hampir mendekati seperti kerja kantoran Senin sampai Jumat, hanya bedanya kewajiban ini bisa Anda penuhi dengan lebih fleksibel.

Jadi mungkin Anda bisa saja tidak melakukan streaming pada hari Senin, namun Anda langsung streaming selama 4 atau mungkin 6 jam pada hari esoknya. Lalu, sebenarnya seberapa berat memenuhi kewajiban tersebut? Menurut cerita streamer yang saya wawancara, sebenarnya lumayan berat memenuhi kewajiban tersebut. Jadi agar dapat terpenuhi, Anda harus cermat mengatur waktu dan tentunya juga tidak memaksakan diri untuk streaming, agar nasib Anda tidak seperti sosok PoshHybrid.

Cory dari Game.ly juga turut angkat bicara soal kewajiban streamer dari sudut pandang Game.ly. Menurutnya, streamer yang dikontrak oleh Game.ly punya kewajiban untuk streaming 80-100 jam per bulan (sekitar 3 sampai 3,5 jam setiap harinya).

Tetapi selain itu Game.ly juga punya ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh sang streamer. Salah satunya seperti memastikan konten streaming bersifat interaktif, tidak boleh bicara SARA, merokok selama live-streaming, dan terakhir juga harus memancarkan aura positif kepada khalayak yang sedang menonton.

Kalau kewajibannya terbilang cukup berat, apalagi Anda harus konsisten terlihat ceria di depan kamera selama kurang lebih 3 jam setiap hari, apakah pendapatan seorang streamer sepadan dengan beban kerjanya? Menurut cerita dari streamer lokal yang saya wawancarai tersebut, ia bisa menerima US$1500 (sekitar Rp21 juta) setiap bulannya. Namun itu belum pendapatan bersih, karena masih dipotong biaya agensi sebesar 30%. Jadi, pendapatan bersih yang ia terima adalah US$1050 (Sekitar Rp14 juta).

Angka pendapatan tersebut cukup mengagumkan bukan? Secara lokal, memang iya. Tetapi secara internasional, angka tersebut seperti butiran debu…

Kalau kita mengacu kepada streamer internasional, hasil yang mereka dapatkan bisa berkali lipat lebih besar dari streamer lokal yang saya wawancara tersebut. Pada salah satu pembahasan Hybrid contohnya, artikel tersebut menyebut Tyler “Ninja” Blevins bisa menerima sampai dengan US$1 juta dalam satu kali kontrak. Itu pun merupakan kontrak jangka pendek yang diterima Ninja ketika ia diminta untuk mempromosikan battle royale besutan EA, Apex Legends.

Apex Legends, pada saat perilisannya menggunakan jasa streamer untuk mempromosikan game mereka di kalangan komunitas gamers. Sumber: EA Official Media
Apex Legends, pada saat perilisannya menggunakan jasa streamer untuk mempromosikan game mereka di kalangan komunitas gamers. Sumber: EA Official Media

British Esports Association juga memberi contoh lain, yaitu streamer asal Inggris yang bernama Ali “GrossGore” Larsen. Menurut artikel tersebut, GrossGore bisa menerima sampai dengan 100.000 Poundsterling (sekitar Rp1,8 miliar). Itu pun hanya pendapatan yang berasal dari donasi yang diberikan para penonton saja. Belum termasuk kontrak streaming dengan platform tertentu, ads Youtube, serta banyak kontrak kerjasama lainnya.

Tapi tentunya, pendapatan tersebut hanya diterima beberapa streamer yang memang sangat populer saja. British Esports Association juga mengatakan, bahwa pendapatan sebesar GrossGore hanya diterima oleh streamer yang punya puluhan ribu penonton reguler. Jadi jika Anda baru merintis, jangan harap bisa langsung terima puluhan juta Rupiah setiap bulannya.

Selain soal pendapatan, dalam konteks Indonesia, kekhawatiran dari pekerjaan ini adalah soal infrastruktur internet yang belum sebegitu mapan. Menanggapi soal ini, Cory mengatakan bahwa di sinilah pemerintah berperan penting untuk memajukan dan menjaga kemajuan industri ini. “Pengakuan dan dukungan pemerintah memberi sinyal positif terhadap pertumbuhan industri game dan esports. Karena hal ini, kami juga yakin bahwa  pemerintah punya rencana besar untuk industri ini, yang dilakukan seiring dengan terus digarapnya pemerataan infrastruktur internet di Indonesia.”

Membahas soal industri streaming dan infrastruktur internet, saya kembali teringat dengan apa yang dikatakan Izzudin Al-Azzam, CEO Emago Cloud Gaming dalam saat membahas soal Cloud Gaming bersama Hybrid. Ketika itu ia mengutip kata-kata dari Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, mengatakan bahwa infrastruktur yang belum siap adalah saat yang tepat untuk membangun sebuah industri. Sebab kalau Anda membuat suatu teknologi atau industri saat infrastrukturnya sudah siap, kemungkinan besar Anda sudah telat.

Jadi sebenarnya, membangun brand diri Anda sendiri lewat menjadi streamer di saat infrastruktur internet Indonesia yang belum sebegitu mapan adalah saat yang tepat. Jadi nantinya brand diri Anda akan mapan berbarengan seiring dengan mapannya infrastruktur internet di Indonesia. Siapa tahu, mungkin the next Ninja dari Indonesia.

Jelly juga sempat bercerita bagaimana internet juga menjadi salah satu tantangan baginya ketika melakukan streaming. Jadi walaupun hal tersebut masih jadi kendala sampai sekarang, harapannya adalah industri streaming nantinya bisa mapan berbarengan dengan infrastruktur internet di masa depan.

Menutup pembahasan ini, patut diingat bahwa pekerjaan ini seperti banyak pekerjaan depan layar lainnya. Anda bisa dapat keuntungan yang sangat banyak dari pekerjaan ini dalam jangka waktu yang pendek, namun jangan harap popularitas tersebut bisa bertahan dengan sangat lama. Ada masanya ketika brand personal Anda sudah tidak lagi nyambung dengan zamannya.

Maka dari itu, soal nilai kreatif berimprovisasi dari cerita Jelly juga bisa Anda petik untuk menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat ini.

Elgato Luncurkan Versi Baru Cam Link dengan Dukungan Resolusi 4K

Setahun yang lalu, Elgato mengungkap periferal yang sangat menarik bernama Cam Link. Ditujukan buat para streamer, Cam Link pada dasarnya mampu mengalihfungsikan beragam kamera (DSLR, mirrorless, action cam) menjadi sebuah webcam untuk keperluan live streaming.

Bagi para streamer yang memang sudah mempunyai kamera, Cam Link merupakan alternatif yang lebih terjangkau untuk meningkatkan kualitas konten bikinannya tanpa harus beralih ke webcam kelas premium macam Logitech C922 Pro. Namun Cam Link bukanlah tanpa kelemahan: meski kamera yang Anda gunakan kapabel untuk merekam video 4K, output yang bisa dihasilkan Cam Link hanya terbatas di 1080p 60 fps.

Itulah mengapa Elgato baru saja merilis model anyar, yakni Cam Link 4K. Sesuai namanya, output video yang disiarkan bisa dalam resolusi 4K 30 fps, dan Elgato memastikan latency-nya masih sangat minimal seperti sebelumnya. Lebih lanjut, Cam Link 4K juga mendukung teknik interlacing video, membuatnya kompatibel dengan lebih banyak kamera.

Elgato Cam Link 4K

Selebihnya, Cam Link 4K mirip seperti pendahulunya. Wujudnya identik, masih seperti flash disk yang menyambung ke port USB 3.0 milik laptop atau komputer, lalu di ujung satunya ada port HDMI untuk menyambungkan kamera yang hendak digunakan. Software yang didukung pun juga masih bervariasi, mencakup yang populer seperti OBS Studio, Discord maupun Skype.

Bagian terbaiknya, banderol harga Elgato Cam Link 4K sama persis seperti pendahulunya: $130. Sekali lagi, daripada harus membeli webcam baru, kenapa tidak dimanfaatkan saja kamera yang sudah ada?

Sumber: Corsair.