Telkomsel Mitra Inovasi Reportedly Involved in the Funding of EVOS Esport

Telkomsel Mitra Innovation (TMI) is reportedly involved in the series B round for the local esports team “EVOS Esports”. This is TMI’s debut to invest outside tech-based service startups.

DailySocial has contacted TMI and EVOS representatives to confirm, but they neither willing to comment on the issue.

In a general note, EVOS Sports is a Jakarta-based esports organization founded by Ivan Yeo, Hartman Harris, and Wesley Yiu in 2016. Apart from Indonesia, EVOS has esports teams in Singapore, Thailand, Malaysia, and Vietnam. In addition, EVOS has entered the content, merchandise, event, and Head of Talent (KOL) business under WHIM Management.

Meanwhile, Telkomsel Mitra Innovation is an investment arm founded by Telkomsel in 2019. The company focuses on investments in the IoT, big data, and entertainment (music, games and video) verticals. The goal is none other than to improve the digital business ecosystem, especially in the telecommunications industry. Some of TMI’s portfolios include PrivyID, Qlue, Roambee, Sekolahmu, and TADA.

Community as the new target user

EVOS ha received funding from venture capital several times, both domestic and foreign. Based on Hybrid data, Attention Holdings Pte. Ltd., EVOS’ parent company, raised $12 million in series B funding in October 2020.

The funding round was led by Korea Investment Partners and several other investors, including Mira Asset Ventures, Woowa Brothers, and IndoGen Capital. Also involved are Insignia Ventures Partners, which previously led the EVOS series A funding round in 2019.

IndoGen Capital’s Managing Partner Chandra Firmanto said, Indonesian esports fan base is very large that it attracts companies to enter this industry. “The Indonesian esports team will be successful as we have strength in the community. This is also due to the number of young Indonesians and their quite large spending,” he said.

In the context of TMI, Telkomsel already has its own esports team, Dunia Games (DG) Esports. However, referring to the above thesis, and if Telkomsel confirms this investment, there is a chance that the cellular market leader intend to target a wider new market segment.

Telkomsel can expand its telco business by targeting EVOS’ large community base. Quoting Kompas.com, Esports Charts data named EVOS as the most popular esports team in Southeast Asia. EVOS’ high reputation is reinforced by a total of 6.4 million followers on various social media platforms, including TikTok, Instagram, YouTube, Twitter, and Facebook.

In addition, EVOS also provide membership programs, both free and subscription, which have been released since mid 2020. EVOS Esports’ Co-founder & CEO, Ivan Yeo said this program is the company’s strategy to win the millennial and gen Z market. EVOS is also known to collaborate with TikTok to grow their influencer business.

In fact, the Newzoo report states that the value of the global esports industry is estimated to reach $1.1 billion or Rp15.4 trillion in 2020. Meanwhile, the largest esports market is still controlled by China with a value of $385.1 million, followed by North America at $252.8. million.

In Indonesia, the mobile esports market continues to grow rapidly. Newzoo 2019 data states that 52 million of the total 82 million smartphone users are mobile game players. Revenue from the mobile game industry in Indonesia is estimated to contribute $624 million or equivalent to Rp8.7 trillion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Telkomsel Mitra Inovasi Dikabarkan Terlibat dalam Pendanaan EVOS Esports

Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dikabarkan terlibat dalam putaran pendanaan seri B tim esports lokal “EVOS Esports”. Ini menjadi debut awal bagi TMI untuk berinvestasi di luar startup pengembang layanan teknologi.

DailySocial sudah mencoba menghubungi perwakilan TMI dan EVOS untuk meminta konfirmasi, namun masih enggan memberikan komentar.

Sebagaimana diketahui, EVOS Sports merupakan organisasi esports berbasis di Jakarta yang didirikan oleh Ivan Yeo, Hartman Harris, dan Wesley Yiu sejak 2016. Selain Indonesia, EVOS memiliki tim esports di Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Tak hanya itu, EVOS juga masuk ke bisnis konten, merchandise, event, serta Head of Talent (KOL) di bawah naungan WHIM Management.

Sementara itu, Telkomsel Mitra Inovasi merupakan perusahaan investasi yang didirikan Telkomsel pada 2019 lalu. Perusahaan fokus pada investasi di vertikal IoT, big data, dan industri hiburan (musik, game, dan video). Tujuannya tak lain untuk meningkatkan ekosistem bisnis digital, terutama di industri telekomunikasi. Beberapa portofolio TMI antara lain PrivyID, Qlue, Roambee, Sekolahmu, dan TADA.

Komunitas jadi sasaran pengguna baru

EVOS telah beberapa kali menerima pendanaan dari venture capital, baik dalam maupun luar negeri. Berdasarkan data yang dihimpun Hybrid, perusahaan induk yang menaungi EVOS, Attention Holdings Pte. Ltd., memperoleh pendanaan seri B senilai $12 juta pada Oktober 2020.

Putaran pendanaan tersebut dipimpin oleh Korea Investment Partners dan beberapa investor lain, yaitu Mira Asset Ventures, Woowa Brothers, dan IndoGen Capital. Turut terlibat juga Insignia Ventures Partners yang sebelumnya memimpin putaran pendanaan seri A EVOS di 2019.

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, basis penggemar esports di Indonesia sangat besar sehingga mendorong perusahaan untuk menjajal industri ini. “Tim esports Indonesia akan sukses karena kita punya kekuatan di komunitas. Ini juga karena jumlah penduduk usia muda Indonesia banyak dan spending mereka cukup besar,” ungkapnya saat itu.

Kembali lagi dalam konteks TMI, sebetulnya Telkomsel sudah memiliki tim esports sendiri, yaitu Dunia Games (DG) Esport. Namun, mengacu tesis di atas, dan jika Telkomsel mengonfirmasi investasi ini, ada peluang penguasa pasar seluler tersebut ingin membidik segmen pasar baru yang lebih luas.

Telkomsel dapat memperluas pangsa bisnis telekomunikasi dengan menyasar basis komunitas besar yang dimiliki oleh EVOS. Mengutip Kompas.com, data Esports Charts menobatkan EVOS sebagai tim esports terpopuler di Asia Tenggara. Tingginya reputasi EVOS diperkuat dari total 6,4 juta pengikut di berbagai platform media sosial, yaitu TikTok, Instagram, YouTube, Twitter, dan Facebook.

Selain itu, EVOS juga telah memiliki program keanggotaan (membership), baik gratis dan berbayar yang dirilis sejak pertengahan 2020. Menurut Co-founder & CEO EVOS Esports Ivan Yeo, program ini menjadi strategi perusahaan untuk memenangkan pasar milenial dan gen Z. EVOS juga diketahui telah berkolaborasi dengan TikTok untuk mengembangkan bisnis influencer mereka.

Sekadar informasi, laporan Newzoo menyebutkan bahwa nilai industri esports global diperkirakan mencapai $1,1 miliar atau sebesar Rp15,4 triliun di 2020. Adapun, pasar esports terbesar masih dikuasai Tiongkok dengan nilai $385,1 juta, kemudian diikuti oleh Amerika Utara sebesar $252,8 juta.

Di Indonesia, pasar mobile esports terus berkembang pesat. Data Newzoo 2019 menyebutkan bahwa sebanyak 52 juta dari total 82 juta pengguna smartphone adalah pemain mobile game. Pemasukan dari industri mobile game di Indonesia diperkirakan menyumbang $624 juta atau setara Rp8,7 triliun.

Diskursus untuk Timnas Esports Indonesia di SEA Games 2021 dan Asian Games 2022

Menjelang akhir tahun 2020 lalu, para penggemar esports dihadapkan dengan dua berita gembira. Dua berita tersebut adalah kehadiran esports di dua festival olahraga besar Asia yaitu SEA Games 2021 (Asia Tenggara) dan Asian Games 2022. Memang belum ada kepastian soal game apa yang akan dipertandingkan pada cabang esports baik SEA Games ataupun Asian Games. Namun satu yang sudah dipastikan adalah posisi esports sebagai cabang bermedali.

Kehadiran medali dalam dua festival olahraga tersebut tentu bukan suatu hal yang bisa disepelekan. Para gamers kini akhirnya memiliki kesempatan untuk berkontribusi dan membanggakan negara Indonesia dengan kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian, kunci kesuksesan Indonesia dalam jalan menuju SEA Games 2021/Asian Games 2022 tentunya akan tetap dipegang para pemangku kepentingan esports Indonesia. Yang paling utama mungkin adalah dua lembaga resmi esports Indonesia sejauh ini yaitu IESPA dan PB ESI. Tanpa bermaksud menggurui ataupun sok tahu, saya ingin mencoba mengajak Anda para pembaca berdiskusi soal apa saja hal-hal yang mungkin perlu dilakukan esports Indonesia agar dapat lebih sukses lagi di dua festival olahraga tersebut. Hal-hal yang perlu dilakukan tersebut adalah seperti berikut ini:

 

Belajar dari Asian Games 2018/SEA Games 2019

Panggung pertandingan esports di SEA Games 2019 - Sumber: Esports Observer
Panggung pertandingan esports di SEA Games 2019 – Sumber: Esports Observer

Esports Indonesia sudah cukup membuktikan bahwa kita mampu menorehkan prestasi yang baik ketika harus dipertandingkan di panggung besar. Indonesia berhasil mendapat 1 Emas dan 1 Perak, masing-masing dari Clash Royale dan Hearthstone di eksibisi esports Asian Games 2018. Lalu pada SEA Games 2020, esports Indonesia kembali menyumbangkan prestasi berupa 2 medali perak yang datang dari cabang esports Arena of Valor dan Mobile Legends: Bang-Bang.

Namun bukan berarti esports Indonesia sudah boleh puas dengan prestasi yang didapatkan tersebut. Sejauh ini, saya selaku jurnalis yang mengamati kerap kali melihat proses seleksi dan pelatnas esports untuk kedua festival olahraga tersebut masih belum bisa dikatakan rapih. Proses seleksi pun kadang berbeda-beda antar satu cabang game dengan yang lain. Soal seleksi tersebut akan saya jelaskan pada poin berikutnya. Namun demikian yang ingin saya soroti di sini adalah, soal prosesnya. Tanpa persiapan yang matang pun esports Indonesia sudah bisa mendapatkan prestasi cukup baik. Kini, dengan waktu persiapan yang cenderung lebih panjang, saya berharap esports Indonesia bisa melakukan persiapan yang lebih matang lagi. Harapan akhirnya tentu agar esports Indonesia bisa mendapat prestasi yang lebih baik di dua festival olahraga tersebut.

 

Standarisasi Proses Seleksi ataupun Proses Seleksi yang Lebih Transparan


Kehadiran esports di Asian Games 2018 dan SEA Games 2019 mungkin menjadi satu-satunya momen saya dan kebanyakan gamers yang notabene adalah anak muda jadi lebih peduli dengan prestasi negaranya. Karena hal tersebut, jadi tidak heran apabila anak muda yang lebih terpapar teknologi cenderung akan lebih aktif mencari informasi dan mengharapkan banyak kepada terhadap Indonesia untuk SEA Games ataupun Asian Games.

Seperti yang saya sebut pada poin sebelumnya, proses seleksi menjadi hal yang paling disorot dari proses jelang perhelatan tersebut. Polemik sempat terjadi pada SEA Games dan Asian Games sebelumnya. Banyak yang bingung, kenapa proses pemilihan timnas bisa berbeda-beda pada masing-masing cabang game? Ada yang melakukan seleksi terbuka, ada yang dipilih langsung, ada yang menggunakan gabungan dua metode tersebut. Belajar dari hal tersebut, lembaga terkait sepertinya perlu melakukan standarisasi terhadap metode seleksi. Standarisasi seleksi dengan metode seleksi terbuka mungkin jadi hal paling ideal untuk diterapkan dan banyak diharapkan oleh banyak gamers Indonesia. Namun, kalaupun memang tidak bisa distandarisasi, saya sendiri berharap tahun ini proses seleksi bisa lebih transparan. Dengan proses yang lebih transparan, evaluasi jadi bisa kita lakukan bersama-sama demi mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi apabila esports kembali hadir di festival-festival olahraga lainnya.

 

Talent Scouting yang Lebih Luas, Dalam, dan Menyeluruh

Ridel dan Richard
Ridel Yesaya Sumarandak dan Richard Permana | Sumber: IESPA

Masih berkutat pada proses, hal lain yang saya pikir perlu lebih dipersiapkan mungkin adalah proses talent scouting atau pencarian bakat. Asian Games 2018 lalu, mengingat prosesnya yang cukup dadakan, tidak heran emas yang didapatkan oleh Ridel Simanjuntak di cabang Clash Royale terbilang tidak terduga. Jelang SEA Games 2021 dan Asian Games 2022, akan lebih baik tentunya apabil instansi terkait bisa melakukan pencarian bakat hingga ke berbagai daerah di Indonesia dan untuk berbagai macam game yang mungkin dipertandingkan.

Karena siapa yang tahu, mungkin League of Legends akan kembali dipertandingkan lagi? Mungkin juga game yang tergolong lebih minoritas lagi seperti StarCraft atau Clash Royale akan kembali hadir? Mencari bakat untuk game yang cukup mainstream seperti MLBB mungkin akan jadi perkara yang cukup mudah. Tapi untuk game minoritas seperti yang saya sebut di atas. Tentunya akan butuh usaha lebih dari instansi terkait apabila memang tujuannya adalah untuk mendapatkan prestasi yang terbaik.

 

Memaksimalkan Talenta Muda yang Masih Hijau?


Pendapat saya yang satu ini mungkin akan kontroversial karena opini “mending-ini-mending-itu” yang sepertinya sudah mendarah daging di antara para netizen Indonesia. Jangankan memainkan talenta muda, mencampur talenta yang jelas-jelas berbakat untuk cabang MLBB di SEA Games 2019 saja sempat mengudang diskusi yang sengit di antara komunitas gamers MLBB. Namun demikian, saya merasa ada beberapa alasan memaksimalkan talenta esports yang masih muda dan baru akan membuahkan hasil yang lebih baik dibanding menggunakan talenta-talenta yang sudah ada.

Alasan yang paling utama menurut saya adalah soal kesibukan. Seperti yang sudah kita ketahui, talenta-talenta yang sudah ada di esports cenderung memiliki kesibukannya masing-masing. Pada MLBB di SEA Games 2019 kemarin misalnya, beberapa pemain punya jadwal latihan dengan timnya masing-masing, jadwal kewajiban streaming, jadwal bertanding di liga utama, yang bertabrakan dengan jadwal persiapan menuju SEA Games 2019. Dengan segala jadwal tersebut, untungnya tim Indonesia masih bisa mendapatkan medali perak pada kesempatan tersebut.

Berbeda dengan talenta muda. Talenta muda belum punya kesibukan-kesibukan tersebut sehingga mereka diharapkan bisa fokus berlatih dan mempersiapkan diri hanya untuk SEA Games ataupun Asian Games. Dengan persiapan yang lebih fokus, harapannya adalah pemain-pemain muda tersebut bisa lebih bersinar dan mendapat hasil yang lebih baik lagi. Namun tentunya ada juga risiko bahwa talenta baru ini malah mendapat prestasi yang buruk mengingat kondisi mental dan kemampuan mereka yang cenderung masih mentah.

 

Belajar dari Negara Lain yang Akan Jadi Lawan Indonesia

Sumber: IGN SEA
Sumber: IGN SEA

Selain fokus pada persiapan, mempelajari negara-negara lain tentunya juga jadi proses yang tak kalah penting untuk dilakukan. Pada SEA Games ada Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang terbilang selalu jadi musuh berat bagi Indonesia. Sementara untuk Asian Games, Korea Selatan dan Tiongkok kemungkinan besar akan menjadi raksasa yang menghalangi jalan Indonesia untuk meraih medali. Mungkin hal yang paling bisa dipelajari adalah dari cara negara-negara tersebut mempersiapkan atlet-atletnya untuk menghadapi dua festival olahraga tersebut. Dalam kasus Asia Tenggara, Indonesia mungkin bisa belajar dari Filipina yang segitunya mempersiapkan esports untuk festival olahraga bahkan sampai membentuk branding Team Sibol.

Pada akhirnya saya tetap percaya instansi-instansi terkait sudah melakukan yang terbaik dalam mempersiapkan esports Indonesia menghadapi SEA Games 2021 ataupun Asian Games 2022. Semoga artikel ini bisa menjadi diskursus tersendiri bagi komunitas demi esports Indonesia yang lebih baik dan demi prestas terbaik di SEA Games ataupun Asian Games nantinya.

Akankah Indonesia Menjadi Kiblat Esports Mobile Dunia?

Perkembangan esports di Indonesia terbilang begitu cepat. Salah satu perubahan yang cukup terasa datang dari sisi sistem kompetisi. Sekitar tahun 2016-2017 model kompetisi liga cukup jarang ditemukan di skena esports lokal. Tanpa liga rutin, para pemain terpaksa loncat dari satu turnamen ke turnamen lain untuk bisa terus bertanding dan menyambung hidup.

Tayangan esports juga terbilang kurang “seksi” bagi sponsor karena tayangannya tidak konsisten dan cuma berlangsung sesekali. Satu-satunya kompetisi liga esports di masa itu mungkin cuma League of Legends Garuda Series, liga utama League of Legends skena lokal. Walau menjadi salah satu pionir yang cukup sukses, sayangnya liga tersebut tutup usia tahun 2018 pasca Garena pamit undur diri mengurus server League of Legends lokal.

Lompat beberapa tahun ke depan, Indonesia kini punya tiga liga esports yang terbilang liga primer di tahun 2020. Tiga liga esports tersebut adalah yaitu MPL ID untuk Mobile Legends: Bang-Bang, PMPL ID untuk PUBG Mobile, dan FFML untuk Free Fire.

Dari tiga liga tersebut, Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) terbilang sebagai salah satu yang berandil besar terhadap hidupnya kembali ekosistem esports lokal. MPL ID tak hanya membuat pasar esports lokal bergeliat, tetapi juga menunjukkan potensi pasar esports lokal Indonesia untuk menjadi pusat perkembangan game mobile. Bukti pernyataan tersebut bisa kita lihat dari laporan data Esports Charts. Laporan turnamen esports terpopuler bulian September dari Esports Charts menunjukkan bagaimana MPL ID memiliki jumlah penonton yang bersaing, bahkan dengan League of Legends World Championship 2020 ataupun liga LoL primer seperti LCK Korea Selatan ataupun LEC Eropa.

Berangkat dari data tersebut saya jadi ingin mencari tahu lebih, kira-kira sudah sampai sejauh mana tren perkembangan esports Indonesia saat ini? Dengan menggunakan liga MPL ID sebagai sampel, Indonesia ternyata punya potensi untuk menjadi pusat perkembangan esports game mobile di masa depan. Apa benar? Inilah argumentasi saya.

 

Melihat Perkembangan Esports Indonesia tahun 2020 dari Tren Penonton Babak Regular Season MPL ID 2020 Season 6

MPL Indonesia memulai musim pertamanya pada tahun 2018. Ketika itu belum banyak orang tahu game Mobile Legends. Bahkan saya ingat game ini sempat cuma jadi pengisi dadakan di salah satu event gaming/esports terbesar di tahun 2017, yaitu Indonesia Games Championship. Tetapi semenjak final MPL ID Season 1, pandangan orang-orang terhadap Mobile Legends berubah. Turnamen yang diselenggarakan di Mall Taman Anggrek tersebut menarik begitu banyak pengunjung, membuat orang-orang jadi tertarik dengan potensi bisnis gaming/esports. Kini MPL ID sudah mencapai musim ke-6. Banyak hal berubah di MPL ID selama dua tahun-lima musim perjalanannya, termasuk model liga MPL yang berubah jadi model franchise sejak Season 4 tahun 2019 lalu.

MPL ID bergulir sebanyak 2 Season setiap tahun. Awal tahun 2020 dibuka dengan pertandingan MPL ID Season 5 yang diumumkan 30 Januari 2020 kemarin. Setelah babak Grand Final MPL ID Season 5 usai bulan April 2020, MPL ID lalu berlanjut ke Season 6 yang berlangsung di paruh kedua tahun 2020. MPL ID Season 6 diumumkan tanggal 23 Juli 2020. Tim pesertanya masih sama yaitu Rex Regum Qeon, EVOS Esports, ONIC Esports, Genflix Aerowolf, Geek Fam ID, Bigetron Esports, dan AURA Esports, yang merupakan 8 organisasi esports investor liga franchise MPL ID.

Pertandingan perdana babak Regular Season MPL ID Season 6 dimulai tanggal 14 Agustus 2020. Pertandingan bergulir selama 8 pekan dengan format double Round-Robin hingga 4 Oktober 2020. Pertandingan Regular Season MPL ID sempat dilaksanakan secara offline pada Season 5 lalu namun regulasi pembatasan berkumpul dari pemerintah membuat MPL ID Season 6 digelar secara online selama masa pandemi.

MPL ID di tahun 2020 terbilang punya jumlah views yang cukup stabil. Sebelum laporan ini, Hybrid.co.id sudah melaporkan tren viewership liga esports primer Indonesia pada bulan Agustus 2020 lalu. Ditulis oleh rekan saya Ellavie Ichlasa Amalia, laporan tersebut berisi tren viewership tiga liga esports utama Indonesia di paruh pertama 2020, termasuk MPL ID Season 5.

Sumber: Hybrid.co.id
Sumber: Hybrid.co.id

Berdasarkan dari catatan Ellavie, MPL ID Season 5 berhasil mendapatkan jumlah total views sebanyak 73,6 juta views jika menyertakan jumlah views babak Playoff, dan 59,6 juta views jika hanya menjumlahkan babak Regular Season saja. Jumlah views MPL ID Season 5 di YouTube tak pernah kurang dari 1 juta, dengan catatan views tertinggi di musim itu ada pada babak Playoff, yaitu 2,4 dan 2,8 juta views.

Lalu bagaimana dengan Season 6? Seperti musim sebelumnya, MPL ID Season 6 sebenarnya menghadapi banyak tantangan. Secara teknis, koneksi internet masih menjadi momok terbesar bagi pertandingan online. Kontroversi pause pun tak terhindarkan gara-gara hal tersebut. MPL ID juga menghadapi perebutan penonton dengan skena esports lain di kancah lokal, yaitu PMPL, dan FFML.

Sementara dari sisi internasional, tayangan MPL ID pekan-pekan terakhir juga sempat bersinggungan dengan League of Legends World Championship 2020. Terlepas dari itu tren jumlah views babak Regular Season MPL ID Season 6 masih mirip dengan musim sebelumnya, yaitu tidak pernah kurang dari 1 juta, kecuali di satu week 3 day 1. Tren jumlah views saya kumpulkan dari kanal YouTube resmi Mobile Legends: Bang-Bang dan merupakan jumlah views dari tayangan berbahasa Indonesia.

Sumber: Hybrid.co.id
Tren penonton tayangan Regular Season MPL ID Season 6 Bahasa Indonesia (YouTube). Sumber: Hybrid.co.id – Akbar Priono.

Seperti saya sebut sebelumnya, Week 3 Day 1 menjadi satu-satunya pertandingan Regular Season MPL ID yang jumlah views-nya turun ke bawah satu juta. Jumlah views pertandingan hari itu hanya 980.605 saja. Alasan fenomena tersebut adalah karena ada masalah teknis dalam pertandingan antara ONIC Esports melawan EVOS Legends. Ketika itu ONIC Esports menang sempurna 2-0 gara-gara EVOS Legends kehabisan waktu pause ketika masih dalam kendala teknis. Keadaan tersebut membuat para fans kecewa, sehingga jumlah views menurun drastis. Walaupun begitu kejadian tersebut tidak menurunkan semangat penggemar di hari berikutnya, jumlah views pun kembali melejit menjadi 2.116.934 pada pertandingan Week 3 hari kedua.

Jumlah views babak Regular Season MPL ID Season 6 berangsur stabil pasca kejadian tersebut, bahkan kembali melejit di Week 6. Pertandingan pekan tersebut menyajikan matchup menarik seperti ONIC Esports vs Alter Ego, dan EVOS Legends vs Genflix Aerowolf. Berkat hal tersebut, pertandingan Week 6 Day 2 menjadi pertandingan dengan jumlah views terbanyak sepanjang babak Regular Season, dengan total sebanyak 2.298.721 views.

MPL ID 2020 Season 6 juga memiliki tayangan bahasa Inggris seperti pada beberapa musim sebelumnya. Namun tayangan bahasa Inggris babak Regular Season MPL ID Season 6 terbilang underperform, kalah jauh dari tayangan berbahasa Indonesia dari segi viewership. Bahkan tren penonton tayangan bahasa Inggris MPL ID Regular Season 6 malah berangsur menurun.

Puncak keramaian tayangan bahasa Inggris hanya ada di pekan-pekan awal. Jumlah views terbanyak tayangan bahasa Inggris mentok di angka 299.001 views, yang terjadi di pertandingan Week 2 Day 3. Setelah itu jumlah penonton tayangan bahasa Inggris turun ke angka 58.034 views di Week 3 Day 1 dan terus stabil pada kisaran 50 sampai 135 ribu views hingga week 8 day 2.

Sumber: Hybrid.co.id
Perbandingan viewership tayangan bahasa Indonesia vs bahasa Inggris babak Regular Season MPL ID Season 6 (YouTube). Sumber: Hybrid.co.id – Akbar Priono.

Lewat perbandingan jumlah views tayangan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris pertandingan Regular Season MPL ID Season 6, kita dapat melihat bagaimana kuatnya esports mobile Indonesia dari segi penonton. Tentunya kesimpulan tersebut saya ambil dengan asumsi bahwa tayangan bahasa Indonesia ditonton oleh orang Indonesia dan tayangan bahasa Inggris ditonton oleh khalayak internasional.

Tapi fakta menarik yang saya temukan adalah tayangan bahasa Inggris yang ternyata masih ramai dipenuhi oleh komentar bahasa Indonesia. Memang tayangan bahasa Inggris babak Regular Season MPL ID Season 6 menggunakan shoutcaster lokal Indonesia. Juga sejauh yang saya tahu, usaha Moonton mempromosikan tayangan bahasa MPL berbahasa Inggris ke khalayak internasional masih terbilang kurang getol.  Alhasil jumlah views terbanyak tayangan bahasa Inggris MPL ID Regular Season 6 (299.001 views) pun jadi cuma seperempat dari jumlah views terendah tayangan bahasa Indonesia MPL ID Regular Season 6 yaitu sebanyak 980.605 views.

Namun hal tersebut tidak menghilangkan fakta bahwa jumlah views tayangan esports berbahasa Indonesia memiliki jumlah yang sangat besar, bahkan hampir menyaingi tayangan internasional. Tetapi perlu dicatat bahwa statistik views terbilang kurang reliabel untuk dijadikan patokan karena satu orang bisa menyumbang beberapa views. Terlepas dari itu, data jumlah views bisa dibilang sebagai satu-satunya yang tersedia secara umum di internet. Jadi jika Anda hanya ingin mendapat gambaran kasar saja, data jumlah views terbilang jadi salah satu patokan.

 

Potensi Indonesia Menjadi Pusat Perkembangan Esports Mobile Asia Tenggara

Sejak Juli hingga September 2020 kemarin, pasar esports Indonesia ramai dibahas oleh salah satu perusahaan statistik viewership esports, yaitu Esports Charts. Selain Mobile Legends, khalayak Indonesia di pertandingan PUBG Mobile World League 2020 East Season Zero juga turut menjadi pembahasan.

Laporan bulan Juli 2020 mengatakan bahwa Indonesia adalah konsumen tayangan PMWL 2020 East Season Zero – Opening Weekend terbesar kedua setelah India. Catatan Esports Charts mengatakan bahwa konsumsi orang Indonesia terhadap tayangan menonton PMWL 2020 East Season Zero adalah selama 1,18 juta watch hour. Jumlah tersebut terpaut tips dengan penonton India yang mencatatkan total konsumsi sebesar 1,23 juta watch hour.

Setelah itu di akhir musim pertandingan PMWL 2020 Season Zero East Region, penonton Indonesia malah mencatatkan jumlah konsumsi yang lebih tinggi lagi, kali ini lebih tinggi dari jumlah konsumsi penonton dari India.

Dalam laporan yang diterbitkan tanggal 13 Agustus 2020, Indonesia mencatatkan konsumsi tayangan PMWL 2020 Season Zero East selama 14 juta watch hour. Jumlah tersebut adalah sebesar 37% dari total watch hour keseluruhan dan merupakan nomor 1 terbanyak. Kemenangan Bigetron RA melalui pertarungan sengit di ronde-ronde akhir bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa penonton Indonesia begitu getol menonton PMWL 2020 Season Zero East Region. Sementara di sisi lain, India kali ini hanya mengisi peringkat 2 dengan proporsi sebesar 35,8% dari total watch hour keseluruhan.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Dari segi jumlah viewers, pertandingan ronde 24 di PMWL 2020 Season Zero East Region juga berhasil menyodok di posisi pertama dalam daftar turnamen esports paling populer bulan Agustus menurut Esports Charts. Data tersebut tidak menjelaskan secara spesifik asal negara penonton, namun pertandingan dengan peak viewers sebanyak 1.153.865 orang tersebut menampilkan pertarungan dramatis tim Bigetron RA dari Indonesia dalam usahanya merebut titel juara Asia.

Esports Charts juga kembali menampilkan catatan menarik pada tanggal 9 Oktober 2020 lalu, yang lagi-lagi menampilkan superioritas Indonesia di kancah esports mobile lewat sebuah artikel blog yang bertajuk Most popular mobile esports teams in SEA. Laporan tersebut cenderung tidak komprehensif karena hanya menunjukkan data-data yang tersedia secara umum di internet. Data yang ditunjukkan adalah data jumlah followers media sosial yang ramai digunakan oleh masyarakat digital Asia Tenggara, yaitu data followers TikTok, Twitter, YouTube, Instagram, dan Facebook digabung menjadi satu.

Hasilnya empat besar dari 10 tim esports terpopuler di Asia Tenggara yang dipaparkan oleh Esports Charts berasal dari Indonesia. Organisasi Esports Indonesia yang mengisi posisi empat besar adalah EVOS Esports di peringkat 1 dengan 6,4 juta total followers, AURA Esports di peringkat 2 dengan 5,8 juta followers, RRQ di peringkat 3 dengan 4,1 juta total followers, dan Bigetron Esports di peringkat 4 dengan 2,3 juta total followers.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

ONIC Esports juga masuk dalam daftar, berada di peringkat 6 dengan total 1,2 juta total followers. Selain jumlah followers, proporsi perwakilan Indonesia dalam daftar ini juga sangat mendominasi negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari 10 tim yang masuk daftar, 5 tim berasal dari Indonesia, 2 tim dari Thailand (POPS Bacon Time dan Buriram United Esports), 2 tim dari Vietnam (Heavy dan Team Flash), dan 1 tim dari Malaysia (Team Boskurr).

Potensi lain juga cukup terlihat jika kita mencoba membandingkan jumlah penonton MPL ID dengan jumlah penonton League of Legends World Championship 2020. Saya tahu perbandingan ini mungkin sedikit terdengar konyol atau malah terasa kurang apple-to-apple. Tapi kenyataan yang tidak bisa saya tampik adalah temuan saya yang mengatakan bahwa jumlah views tayangan bahasa Indonesia MPL ID yang memang bersaing dengan jumlah views tayangan Group Stage Worlds 2020.

Perbedaan jumlah views tertinggi Group Stage League of Legends World Championship 2020 dengan jumlah views tertinggi babak Regular Season MPL ID 2020 Season memang terpaut sangat jauh, hampir dua kali lipat jumlahnya. Jumlah views tertinggi Group Stage Worlds 2020 adalah 4.101.334 views, sementara jumlah views tertinggi babak Regular Season MPL ID Season 6 adalah 2.298.721 views, keduanya terpaut sekitar 1,8 juta views. Namun satu yang menarik adalah, jumlah views tertinggi babak Regular Season MPL ID Season 6 yang ternyata menempel cukup tipis dengan jumlah views terendah Group Stage Worlds 2020.

Sumber: Hybrid.co.id - Akbar Priono
Tren Viewership Group Stage League of Legends World Championship 2020 (Twitch) Sumber: Hybrid.co.id – Akbar Priono

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, jumlah views terendah Group Stage Worlds 2020 ada pertandingan day 6 yang mempertandingkan grup B. Tim pengisi grup B sendiri mungkin terbilang kurang menarik bagi penonton internasional. Grup tersebut memiliki dua tim kuat yaitu Damwon (LCK Korea Selatan) dan JD Gaming (LPL Tiongkok), namun dua tim sisanya adalah tim-tim yang terbilang kurang bersaing di kancah internasional yaitu PSG Talon (PCS Asia Pasifik) dan Rogue Esports (LEC Eropa). Dengan melihat pesertanya, hasil pertandingan grup B terbilang 80% bisa ditebak. Alhasil pertandingan Day 6 hanya berhasil mengumpulkan 2.315.843 views saja. Jika membandingkan jumlah views tersebut dengan pertandingan Week 6 Day 2 Regular Season MPL ID Season 6 (2.298.721 views), maka perbedaan views antar keduanya jadi hanya terpaut 17 ribu views saja.

Kenapa perbandingan jumlah views antara babak Regular Season MPL ID Season 6 dengan Group Stage Worlds 2020 menjadi penting untuk pembuktian pasar esports Indonesia? Alasan terpentingnya menurut saya adalah karena perbedaan bahasa antar dua tayangan tersebut.

2 juta penonton yang menonton babak Regular Season MPL ID Season 6 tersebut adalah penonton yang menonton tayangan berbahasa Indonesia. Sementara tayangan Group Stage Worlds 2020 menggunakan bahasa Inggris. Karena bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa internasional, maka asumsi saya tayangan Worlds 2020 dapat ditonton dan dimengerti oleh lebih banyak orang dari seluruh dunia.

Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka kita mendapat kesimpulan sementara bahwa jumlah viewers esports Indonesia hampir membalap jumlah viewers esports dunia. Kesimpulan sementara tersebut tentunya berdasarkan asumsi lain bahwa penonton tayangan esports berbahasa Indonesia adalah orang Indonesia. Karena bisa saja ada orang Malaysia atau orang negara lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia menonton tayangan, cuma gara-gara penasaran.

Tetapi asumsi saya soal tayangan Group Stage Worlds 2020 yang ditonton oleh khalayak internasional juga bisa jadi salah. Bisa jadi tayangan Group Stage Worlds berbahasa Inggris hanya ditonton oleh negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama atau sekunder, seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa.

Kenapa bisa demikian? Karena tayangan Group Stage Worlds 2020 sebenarnya juga diproduksi dalam bahasa lokal, khususnya untuk negara-negara di Asia. Contoh dari hal tersebut adalah channel YouTube LCK Korea Selatan, yang juga memproduksi tayangan pertandingan Worlds 2020 namun dengan bahasa Korea.

Jadi apakah bisa dibilang jumlah penonton esports Indonesia sudah hampir mengalahkan penonton esports internasional? Belum tentu, karena statistik views yang tidak sepenuhnya reliabel dan juga faktor-faktor lain, seperti tayangan bahasa Indonesia yang tidak ditonton oleh orang Indonesia, atau tayangan bahasa Inggris yang hanya ditonton oleh penonton berbahasa Inggris.

Tetapi satu hal yang pasti, jumlah views tertinggi Regular Season MPL ID Season 6 sedikit banyak membuktikan kekuatan jumlah penonton tayangan esports berbahasa Indonesia yang ternyata jumlahnya bisa mengalahkan tayangan bahasa Inggris, yang seharusnya bisa lebih diterima oleh masyarakat dunia secara umum.

Masih penasaran, saya lalu juga mencoba membandingkan jumlah penonton MLBB dengan penonton internasional Dota 2. Agar sebanding, saya mencoba membandingkan antara jumlah penonton M1 MLBB World Championship 2019 dengan Dota 2 The International 2019. Untuk kali ini data yang saya ambil adalah data dari Esports Charts, demi memastikan pencatata yang sedikit lebih akurat. Walupun viewership Regular Season MLBB hampir menyaingi babak grup League of Legends Worlds, tetapi pertandingan internasional MLBB ternyata masih belum sebanding dengan pertandingan internasional Dota 2.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Data Esports Charts mengatakan bahwa Peak Viewers Dota 2 The International 2019 adalah sebanyak 1.968.497 orang, dengan total 88.418.374 total watch hours dari 120 jam tayangan mengudara. Lalu bagaimana dengan M1 World Championship? Peak Viewers M1 World Championship adalah sebanyak 648.069 orang, dengan 9.914.215 total watch hours dari 60 jam tayangan mengudara. Perbedaan viewership Dota 2 The Internationals 2019 dengan M1 World Championship ternyata terpaut cukup jauh. Dari segi Peak Viewers keduanya terpaut sekitar 1,3 juta peak viewers, dengan selisih total konsumsi konten mencapai 78,5 watch hours.

Asumsi saya terkait data M1 vs TI 9 masih mirip seperti asumsi saya soal tayangan bahasa Inggris MPL ID Season 6, yaitu usaha Moonton memasarkan MLBB ke tingkat internasional yang terbilang masih kurang getol. Kekalahan ini juga jadi hal yang wajar, mengingat M1 World Championship adalah kali pertama Moonton mengadakan pertandingan MLBB tingkat internasional sementara The International 2019 adalah kali ke-9 Valve mengadakan pertandingan Dota 2 tingkat internasional.

Jadi apa kesimpulan sementara yang bisa kita tarik dari pembahasan ini? Pembuktian potensi Indonesia sebagai pasar esports mobile games terbesar di Asia Tenggara adalah salah satunya. Dulu atau malah mungkin sampai sekarang, banyak yang nyinyir mengatakan “Mobile Legends hanya terkenal di Indonesia saja”.

Namun menurut saya “hanya terkenal di Indonesia” bisa menjadi hal yang baik. Berkat Moonton Indonesia jadi bisa membuktikan bahwa negara kita adalah pasar esports mobile dengan potensi yang besar. Apa buktinya? Lihat saja viewership tertinggi tayangan bahasa Indonesia babak Regular Season MPL ID Season 6 yang jumlahnya hampir menyaingi tayangan Worlds 2020. Indonesia juga terbilang superior di kancah mobile esports Asia Tenggara jika dilihat dari segi jumlah followers media sosial. Data dari Esports Charts sedikit banyak membuktikan hal tersebut, yang menampilkan 4 organisasi esports Indonesia sebagai pengisi peringkat teratas.

Namun penting untuk dicatat jika developer/publisher ingin memaksimalkan potensi tersebut, maka lokalisasi jadi satu elemen penting. Seperti kebanyakan negara di Asia, Indonesia terbilang lebih mengutamakan khasanah lokal. Bukan hanya bahasa, tetapi juga termasuk sosok-sosok personal ataupun brand esports, yang lebih mengutamakan lokal dulu. Maka dari itu penting bagi developer/publisher untuk menggandeng kerja sama entitas esports lokal jika ingin lebih memaksimalkan pasar esports Indonesia yang jumlahnya bersaing dengan pasar esports internasional.

Moonton terbilang menjadi salah satu developer yang berhasil menerapkan strategi tersebut, sehingga MPL ID bisa berkembang sampai sebesar ini di musimnya yang ke-6. Tencent Games juga jadi contoh lain yang berhasil membuat PUBG Mobile menjadi salah satu game/esports primer di Indonesia berkat strategi lokalisasi. Melalui inisiatif-inisiatif lokal, PMPL ID menjadi liga esports lain di Indonesia yang berhasil menyentuh jutaan views di setiap tayangan, dengan puncaknya ada di pekan ketiga yang mencatatkan total views sebanyak 2,3 juta di platform Facebook Gaming.

Karena potensinya yang besar, tidak heran jika developer/publisher lain jadi semakin melirik pasar esports lokal. Riot Games adalah salah satu developer/publisher lain yang terlihat sedang gencar melakukan pedekate terhadap pasar Indonesia. Usaha-usaha tersebut terlihat lewat sajian bahasa Indonesia untuk game terbaru besutan mereka yaitu VALORANT dan Wild Rift. Bahkan jika kita bicara Wild Rift, Riot Games juga memperlakukan pasar Indonesia dengan cukup istimewa lewat sajian Official Page berbahasa Indonesia dan mendahulukan Indonesia untuk sesi Early Access walaupun durasinya terbilang singkat.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, sepertinya belum ada tanda-tanda perlambatan perkembangan pasar esports Indonesia. Malah jika teknologi semakin mudah diakses dan ekonomi makro terus meningkat, bukan tidak mungkin jika Indonesia akan menjadi pusat perkembangan esports mobile Asia Tenggara di masa depan.

RRQ Hoshi Juara MPL Invitational 2020, Libas Resurgence 3-0

Hari Minggu, 5 Juli 2020, menjadi gelaran final dari MPL Invitational. Merupakan pengganti gelaran MSC 2020, turnamen ini memperebutkan 1 miliar Rupiah, dan mempertandingkan empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Pekan lalu kita melihat bagaimana tim Indonesia mendominasi babak grup. Dominasi Indonesia sulit sekali dihentikan, sampai akhirnya 3 tim yang lolos ke babak Playoff adalah tim Indonesia.

Pekan lalu menjadi pertandingan babak Playoff. Pada babak Playoff, RRQ Hoshi yang merupakan tim undangan bertanding di Upper Bracket dan berhasil libas tim asal Singapura Resurgence pada fase Upper Bracket Final. Sementara itu di bagian Lower Bracket, persaingan menjadi semakin liar dan sengit. Tim Indonesia saling kanibal setelah EVOS Legends kalahkan ONIC Esports. Masuk babak selanjutnya, EVOS Legends tumbang oleh Burmese Ghouls, sampai akhirnya babak Lower Final mempertemukan Resurgence dengan Burmese Ghouls.

Sumber: Youtube MLBB Esports
Sumber: Youtube MLBB Esports

Setelah berhasil menang, Resurgence kembali menghadapi RRQ Hoshi di babak Grand Final. Game pertama Grand Final, RRQ Hoshi menunjukkan permainan tanpa ampun, langsung amankan hero agresif seperti Ling, Esmeralda, dan Selena. Berkat hal tersebut, RRQ Hoshi langsung ungguli Resurgence sejak menit 5. Dalam dua kali momentum push, RRQ Hoshi berhasil menembus jantung pertahanan Resurgence, memenangkan pertandingan secara telak di bawa 10 menit.

Game kedua, RRQ Hoshi lagi-lagi mengamankan Ling yang kali ini melakukan duet dengan Khufra. Lemon, Xin dan kawan-kawan kembali menunjukkan permainan yang eksplosif. Resurgence kembali kelabakan, tidak siap menahan gempuran tanpa henti dari RRQ Hoshi. Akhirnya RRQ Hoshi kembali menang mudah dalam 16 menit saja dengan skor 26-6.

Game terakhir menjadi penentu apakah RRQ akan menang, atau Resurgence masih bisa menyambung nyawa. Kali ini RRQ Hoshi bermain sedikit unik dengan mengandalkan R7 denga menggunakan Balmond. Walau demikian, hero tersebut ternyata terbukti efektif dengan gameplay tim RRQ Hoshi. Resurgence sempat memberikan perlawanan yang sepadan, namun pada akhirnya tim asal Singapura tersebut tetap kebobolan, tidak bisa menghentikan farming dari Lemon yang merupakan salah satu Carry tim RRQ Hoshi. Game ini pun kembali diamankan oleh RRQ Hoshi, yang juga memberikan mereka kemenangan atas turnamen MPL Invitationals 4 Regions Cup.

Ini menjadi kemenangan turnamen besar kedua bagi RRQ Hoshi, setelah mereka sebelumnya menjadi juara dalam gelaran MPL ID Season 5. Jika situasi pandemi sudah membaik, seharusnya M1 World Championship menjadi turnamen besar selanjutnya. Dengan memenangkan turnamen tersebut, gelar RRQ Hoshi akan lengkap, dan mungkin menjadi tim pertama yang meraih Treble Winners dalam satu musim. Namun pertanyaannya, dapatkan mereka melakukan hal tersebut? Apakah EVOS akan bangkit lagi di MPL ID musim berikutnya? Atau akan ada penantang baru?

Simposium Esports Oleh KONI Rencanakan Pengurus Besar Esports Indonesia

Pada 3 Oktober 2019 lalu, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) telah menyelenggarakan Simposium Esports Indonesia. Gelaran Simposium ini dilaksanakan sebagai sarana pemaparan dari berbagai macam pemangku kepentingan di dalam ekosistem esports kepada KONI sebagai calon payung bersama dari ekosistem esports Indonesia.

Dalam acara Simposium ini, berbagai elemen ekosistem esports Indonesia hadir untuk melakukan pemaparan tersebut. Termasuk di dalamnya ragam Asosiasi Esports mulai dari Indonesia Esports Association (IESPA), Asosiasi Olahraga Video Game Indonesia (AVGI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI).

Lalu ada juga perwakilan organisasi esports yang juga turut memaparkan soal keadaan ekosistem esports saat ini. Turut hadir di dalamnya termasuk perwakilan dari tim Rex Regum Qeon, Alter Ego, GGWP.ID, Aerowolf, dan EVOS Esports.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Terakhir, elemen lain yang juga turut hadir untuk memaparkan keadaan ekosistem esports saat ini adalah dari elemen penyelenggara liga yang diwakili oleh SEACA, publisher yang diwakili oleh Lyto, dan elemen masyarkat umum.

Tak hanya itu saja, ajang pertemuan KONI dengan ekosistem esports Indonesia ini juga sekaligus memberi penghargaan sebagai apresiasi kepada atlet esports yang telah membanggakan Indonesia di kancah dunia. Dua tim yang mendapat apresiasi tersebut adalah tim RRQ.TCN yang menjadi juara PBWC 2019 dan EVOS Esports yang menjadi juara di Free Fire World Cup 2019.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Dalam Simposium ini, ada beberapa poin yang disampaikan. Pertama adalah soal tantangan esports dalam perkembangannya. Tantangan tersebut, salah satu yang paling besar adalah soal persepsi masyarakat umum mengenai esports , terutama dari sisi orang tua. Terkait soal ini, Eddy Lim selaku ketua IESPA juga kembali menegaskan tentang beda bermain game dengan esports, yang juga terus menerus coba disosialisasikan oleh IESPA.

Poin tantangan selanjutnya adalah soal esports yang belum menjadi cabang olahraga resmi di Indonesia, yang membuat kompetisi esports masih bersifat sporadis atau terpisah-pisah. Terkait ini, KONI juga mencoba kembali menegaskan soal ruang lingkup olahraga yang dijelaskan pada BAB IV Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Pada UU tersebut dijelaskan bahwa ruang lingkup olahraga meliputi 3 kegiatan yaitu olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Dalam hal ini esports sebetulnya bisa menjadi bagian dari olahraga prestasi, namun esports sebagai olahraga butuh regulasi yang jelas agar dapat berkembang dengan baik. Regulasi yang dimaksud salah satu contohnya adalah seperti esports perlu membuat kompetisi berjenjang sesuai kelompok umur agar mampu mencetak atlet esports kelas dunia.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Letjen TNI (Purn) Marciano Norman, ketua umum KONI Pusat. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Setelah simposium panjang ini, salah satu kesimpulan yang dirumuskan adalah bahwa KONI akan membentuk pengurus besar Esports Indonesia. Hal ini disampaikan langsung oleh Letjen TNI (Purn) Marciano Norman selaku ketua umum KONI Pusat pada akhir . “KONI bertekad untuk menata persiapan pembentukan Pengurus Besar Esports Indonesia. Kita bekerja sama dengan Kementrian Pemuda dan Olahraga, Kementrean Komunikasi dan Informatika, Komite Olimpiade Indonesia, dan seluruh stakeholer esports di Indonesia.” ujar Marciano

Secara konsep, satu pengurus besar untuk menaungi berbagai asosiasi yang ada di esports tersebut tentunya diharapkan memberikan hasil yang positif. Harapannya masing-masing asosiasi dan stakeholder bisa bekerja sesuai dengan porsinya masing-masing, dan saling bekerja sama serta kolaborasi untuk memajukan esports di Indonesia.

PG.Barracx Menjadi Kontingen Esports Indonesia Cabang Dota 2 Untuk SEA Games 2019

SEA Games 2019 sudah semakin dekat, esports Indonesia pun harus segera mempersiapkan kontingen untuk 5 game yang akan dipertandingkan nanti. Kalau proses pembentukan timnas Mobile Legends dengan menggunakan campuran pemain terbaik, cabang Dota 2 punya cara yang sedikit berbeda.

Setelah 15 Agustus 2019 kemarin, seleksi kontingen timnas sudah mencapai titik Final Showdown. Setelah melalui pertandingan yang sengit, tim PG.Barracx akhirnya menjadi juara dan akan mewakili Indonesia untuk cabang esports Dota 2 di SEA Games 2019 .

Untuk proses kualifikasi, cabang Dota 2 memang memiliki cara yang berbeda dengan Mobile Legends. Kalau pada Mobile Legends, tim-tim peserta saling beradu, nantinya yang dipilih oleh sang pelatih adalah pemain-pemain terbaik yang bisa saling melengkapi.

Sementara pada cabang Dota 2, PG.Barracx yang telah menjadi yang terbaik di antara para kontestan lainnya akan langsung mewakili Indonesia. “Namun tim yang lolos mendapat hak mengajukan dua orang pemain cadangan untuk SEA Games 2019 nanti. Prosesnya setelah diajukan ke IESPA, pemain lalu akan diundang oleh IESPA untuk bermain.” ujar Yuri Kurniawan Liem, Co-Owner tim PG.Barracx.

Pada The Final Showdown, pertarungan dilakukan dalam format satu kali round robin antara empat tim yang sudah lolos: PG.Barracx, EVOS Esports, Freak Esports, Binus University. Pertarungan penentu antara PG.Barracx melawan EVOS menjadi pertandingan yang sangat sengit.

Game pertama, EVOS sudah sempat mencuri poin dari PG.Barracx. Namun masuk game kedua, mereka sedikit keteteran. Memanfaatkan celah tersebut, kepercayaan diri PG.Barracx meningkat, sehingga mereka bisa memenangkan game kedua.

Masuk game ketiga, EVOS yang dibantu Kenny “Xepher” Deo sebagai stand-in ternyata masih cukup kewalahan melawan PG.Barracx. Vishery dan kawan-kawan yang main dengan strategi push berhasil menjadi snowball dengan cepat. Walau EVOS sempat memberontak, namun mereka tak lagi mampu membendung serangan di menit 40 dan terpaksa harus ketik GG.

Sumber: ESL Official Website
Roster tim PG.Barracx terkini. Sumber: ESL Official Website

Terpilihnya PG.Barracx sebagai kontingen Dota 2 untuk cabang Esports SEA Games 2019 mungkin akan menimbulkan kekhawatiran di komunitas Dota. Prediksi dari Dimas “Dejet” Surya Rizky dan Yudi “JustInCase” Anggi soal ESL Indonesia Championship salah satu alasannya.

Mari bicara statistik terlebih dahulu. Sebagai satu-satunya liga Dota 2 kancah lokal untuk saat ini, ESL Indonesia Championship S2 sebenarnya bisa jadi gambaran peta kekuatan tim Dota lokal. Secara klasemen, sementara ini PG.Barracx masih berada di peringkat keempat, tertinggal cukup jauh dari tim-tim seniornya.

Dejet dan JustInCase juga mengatakan, bahwa mereka masih kurang percaya dengan performa PG.Barracx. Tetapi kehadiran Hidayat “Lawlesshy” Narwawan yang bermain semakin baik dari pekan ke pekan liga ESL Indonesia Championship, membuat mereka kembali percaya dengan PG.Barracx.

Sumber: Facebook Page Alter Ego
Sumber: Facebook Page Alter Ego

“Saya juga dapat informasi dari manajemen, divisi Dota PG.Barracx sempat tryout dengan kandidat timnas Filipina, Malaysia, dan tim kuat dari Malaysia. Hasilnya ternyata cukup memuaskan. Mereka juga sudah mulai mempelajari strategi-strategi musuh. Jadi, berharap yang terbaik saja, semoga semua berjalan lancar dan bisa dapat medali untuk Indonesia.” Yuri bercerita kepada Hybrid.

Lagi-lagi, siapapun yang mewakili Indonesia, satu hal yang pasti mereka sudah lolos dari proses seleksi yang panjang dan melalui pertarungan yang sengit. Mereka yang mewakili, sudah membuktikan bahwa dirinya yang terkuat.

Kita selaku pengamat pastinya harus terus memantau dan mendukung agar esports Indonesia bisa mendapat hasil terbaik di SEA Games 2019.

Chaos Theory Ungkap Roster Clash Royale Untuk CRL Asia Season 2

Chaos Theory umumkan roster terbaru mereka untuk Clash Royale League Asia 2019 Season 2. Roster terbaru yang beranggotakan Ridel “BenZer” Yesaya Sumarandak, Rifqi “Carrollus” Azmi Azza, Mohammad “Dexterz” Fabian, dan Fransiskus “JayTV” Ananda Wijaya, adalah percobaan kedua tim asal Singapura ini menggunakan roster all-Indonesia.

Berdiri sejak tahun 2017, Chaos Theory merupakan salah satu organisasi esports yang selalu mengandalkan atlet esports Indonesia untuk kancah kompetisi Clash Royale. Salah satu pemainnya adalah “BenZer” Ridel, peraih medali emas eksebisi cabang esports Clash Royale dalam gelaran Asian Games 2018 lalu.

Kendati BenZer mendapatkan medalinya pada tahun 2018, kekuatan Chaos Theory justru baru muncul di kancah Asia mulai tahun 2019 ini. Tahun 2018 lalu, prestasi mereka di CRL Asia terbilang kurang memuaskan. Season 1 tahun 2018 mereka harus puas terhenti di peringkat 12, lalu pada musim berikutnya terhenti di peringkat 5-6.

Masuk CRL Asia 2019 Season 1, prestasi mereka secara mengejutkan semakin meningkat lagi. Pada musim tersebut, mereka mendapatkan peringkat ketiga di dalam kompetisi berformat liga tersebut. Mereka menantang keras dua tim asal Jepang yang jadi jagoan Clash Royale di Asia, yaitu PONOS Sports dan juga GameWith.

“Bicara dari komposisi pemain, gue menganggap ini adalah komposisi terbaik dari 4 musim belakangan.” ucap Rosesa, manajer tim Chaos Theory yang juga terkenal sebagai observer Dota ternama, mengatakan kepada kami. “Tidak ada lagi language barrier, ditambah pelatih mereka saat WCG, Carrollus, kini juga turut bermain. Dengan hal itu, menurut saya akan membuat roster ini jadi lebih klop dan punya peluang menang yang lebih besar.” Rosesa melanjutkan.

Dengan sebelumnya berada di peringkat ketiga, sepertinya tinggal konsistensi yang menjadi kunci roster all-Indonesia Chaos Theory ini. “Bicara target, Insya Allah target kita adalah juara Asia dan lolos ke World Finals.” Rosesa menjawab, bicara soal target untuk CRL Asia 2019 Season 2. “Untuk persiapan kompetisi ini kita akan bootcamp di Korea Selatan, karena juga kebetulan memang CRL Asia diadakan di sana.”

Sumber: Chaos Theory Official Page
Tim Indonesia di bawah bendera Chaos Theory saat bertanding di dalam gelaran WCG. Sumber: Chaos Theory SG Official Page

Sementara waktu, jadwal pertandingan CRL Asia 2019 Season 2 masih menunggu pengumuman resmi dari sang pengembang, Supercell. Tetapi, melihat jadwal tahun sebelumnya, yang mana musim kedua CRL Asia masuk ke dalam season “fall”, maka kemungkinan besar CRL Asia akan mulai digelar pada Oktober mendatang.

Mari kita dukung agar para pemain Clash Royale Indonesia tersebut bisa mendapatkan hasil yang terbaik dan membanggakan Indonesia di kancah internasional. Jika Anda ingin tahu bagaimana perjuangan BenZer dan kawan-kawan di CRL Asia Season 2 nanti, anda bisa langsung saja subscribe kanal Youtube Clash Royale League Asia.

 

 

Pekan 3 Big League IGL 2019: Usaha SFI.Kenny Menumbangkan Quarantine Egi

Pekan keempat, pertandingan Big League dari IGL 2019 menjadi semakin ketat. Pekan ini, IGL menjadi panggung bagi Kenny “Rainesual” Prasetyo dan Quarantine Egi untuk saling unjuk gigi siapa yang terbaik. Jelang pertandingan ini, Quartantine Egi masih jadi pemuncak klasemen ketika itu. Sementara pada sisi lain, SFI.Kenny masih sedang berjuang membuktikan diri untuk dapat menyodok ke puncak klasemen.

Benar saja, karena perebutan klasemen yang terjadi ini, pertandingan antar keduanya pun berjalan dengan sangat sengit. Pada babak pertama, pertandingan berjalan sangat alot. Namun semua berubah saat jelang akhir babak pertama, SFI.Kenny berhasil melakukan tendangan manis yang langsung memberikan skor 1-0 bagi dirinya.

Masuk babak kedua, Quarantine Egi sebenarnya punya kesempatan menyamakan kedudukan. Ketika itu SFI.Kenny secara tidak sengaja membuat pelanggaran di kotak penalti. Tendakan penalti tersebut berhasil digagalkan oleh SFI.Kenny dengan tebakan sempurna dari sang kiper, kesempatan emas pun hilang. Akhirnya skor 1-0 terus bertahan sampai menit 90, kemenangan di game 1 bagi SFI.Kenny.

Pertandingan game 2, aura permainan terasa berubah. Walau SFI.Kenny tetap menguasai bola, namun berkali-kali Quarantine Egi juga memberikan serangan-serangan yang mengejutkan. Terlebih lagi, kendati banyak mengendalikan bola, sayangnya SFI.Kenny kerap mengalami kebuntuan saat tinggal melakukan finishing. “Memang jelang akhir game 1, Egi mengganti formasi jadi 3-5-2. Karena hal tersebut aku jadi mulai kewalahan menahan serangan dia.” kata Kenny menceritakan pengalamannya.

Gempuran tajam Quarantine Egi pada akhirnya membuahkan hasil pada menit 21, ketika Lacazette melakukan tendangan geledek yang langsung mengoyak gawang SFI.Kenny. Gol pertama tersebut sepertinya menggoyahkan mental SFI.Kenny. Gol kedua dari Quarantine Egi tercipta setelah umpan lambung ciamik yang langsung disambut tendangan first touch keras dari Sadio Mane. Babak pertama berakhir dengan skor 2-0.

Babak kedua, SFI.Kenny sebenarnya beberapa kali mendapatkan kesempatan emas. Salah satu yang cukup disayangkan adalah ketika kiper Quarantine Egi sudah luput, namun tendangan dari SFI.Kenny terlalu keras, jadi menghantam mistar gawang, menghilangkan kesempatan untuk menyamakan skor.

Sumber: Instagram @IGL
Pertandingan pekan ini yang wajib Anda saksikan. Sumber: Instagram @igl.id

“Game kedua, Egi memang bermain lebih baik daripada aku. Aku sebenarnya merasa seharusnya bisa cetak 1 atau 2 gol. Tapi apa mau dikata tendangan yang harusnya jadi gol malah kena tiang. Setelah kejadian tersebut, aku jadi kehilangan fokus.” Kenny menceritakan soal pengalamannya di game kedua.

Kegagalan tersebut segera dimanfaatkan oleh Egi. Jelang akhir babak, ia melakukan satu serangan lagi. Kali ini Serge Gnabry menjadi eksekutor. Dengan mengandalkan skill dribling yang presisi, ia seorang diri berhasil membawa bola masuk ke kotak penalti dan membuat gawang SFI.Kenny lagi-lagi terkoyak. Pertandingan game 2 ditutup dengan kemenangan bagi Quarantine Egi.

Indonesia Gaming League masih berlanjut pada pekan ini. Pertandingan kembali digelar pada esok hari, tanggal 21 Juni 2019 mulai pukul 19.00. Bagi Anda yang ingin menyaksikan, Anda dapat langsung pergi ke kanal Youtube resmi Indonesia Gaming League.

 

Menjadi Game Streamer: Bukan Sekadar Main Game, Bersenang-senang, lalu Dapat Uang

Terbentuknya kompetisi game menjadi industri esports, telah menurunkan suatu kultur di kalangan komunitas gamers. Kultur tersebut adalah menonton orang bermain game. Walau sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak lama, perkembangan teknologi internet dan riuh rendah industri esports membuatnya semakin populer. Kalau Anda sempat mengalami masa-masa bermain game di warnet, Anda mungkin pernah mengalami keseruan menonton seseorang memainkan game baru, atau memainkannya sangat mahir.

Seiring perkembangan zaman, teknologi internet kini membantu memfasilitasi kegiatan tersebut, membuatnya jadi lebih mudah dilakukan. Anda tak perlu lagi datang ke suatu tempat untuk menonton orang yang jago tersebut bermain. Anda cukup duduk menatap layar komputer yang sudah terkoneksi internet, untuk menonton sang jagoan main lewat platform berbagi video. Populernya fenomena ini juga menurunkan sebuah pekerjaan yang bernama streamer atau game streamer.

Pada dasarnya streamer dengan esports tak beda jauh; menjadikan kegiatan bermain game jadi varian hiburan baru buat para penontonnya. Bedanya mungkin esports lebih terorganisir dan masif, lebih banyak pemangku kepentingan untuk menyajikan tontonan kepada khalayak gamers. Ditambah lagi, esports biasanya punya aura kompetitif yang lebih kental.

Streamer di sisi lain, biasanya punya skala yang kecil, dengan hanya seorang individu menampilkan wajah, personalitas, dan keahliannya bermain game di dalam platform berbagi video demi memberi hiburan kepada para penontonnya.

Kendati pekerjaan ini lebih sering terlihat sisi menyenangkannya saja, namun bagaimana sebenarnya kenyataan di balik hal tersebut? Bagaimana senang susahnya menggeluti pekerjaan ini? Apakah bayarannya sepadan? Bagaimana dengan keberlanjutan pekerjaan ini di masa depan?

Jadi Streamer, Main Game, Lalu Tiba-Tiba Dapat Uang? 

Sumber: Red Bull Esports Official Media
Sumber: Red Bull Esports Official Media

Bicara soal streamer di luar sana, nama yang mungkin langsung terbersit di benak Anda adalah Tyler “Ninja” Blevins atau Michael “Shroud” Grzesiek. Dua nama tersebut berhasil menjadi top of mind khalayak gamers, terutama para pemain game FPS. Kita mungkin melihat mereka mengerjakan pekerjaan impian mereka; cukup main game dengan santai dan dapat uang dari hal tersebut.

Tetapi apa iya menjadi streamer hanya soal main game lalu ketiban rejeki? Tidak sesederhana itu tentunya.

Mengutip dari British Esports Associationstreamer game disebut sebagai seseorang yang merekam permainan game, lalu menayangkannya secara langsung lewat platform live-streaming yang ada di internet. Unsur live, adalah garis tegas pembeda antara streamer dengan content creator; atau yang mungkin lebih Anda kenal dengan nama YouTuber. Kalau content creator harus melewati proses editing video agar konten buatannya jadi lebih menarik. Streamer biasanya tidak perlu melewati proses editing video, karena konten yang mereka sajikan sifatnya adalah tayangan langsung.

Oke, kita sekarang sudah paham teknis pekerjaan streamer atau game streamer. Lalu, kalau saya sudah bermain game, menayangkannya secara langsung pada live streaming platform tertentu yang ada di internet, bagaimana cara mendapat uang dari sini?

Ada proses yang cukup panjang untuk sampai akhirnya Anda bisa mendapat uang dari menayangkan permainan Anda di platform streaming yang ada di internet. Pekerjaan ini sebenarnya mirip seperti kebanyak pekerjaan performer (musisi, aktor, artis, dan lain sebagainya) di dunia hiburan. Hal yang perlu Anda ingat, tugas streamer adalah menghibur para penonton. Jadi bisa dibilang, Anda baru bisa mendapatkan sesuatu setelah banyak orang terhibur dengan apa yang Anda tampilkan.

Lalu, apa modal penting yang harus dimiliki seorang streamer agar dapat menggaet para penonton. Apakah seorang streamer harus lucu? Harus jago? Atau harus punya personalitas yang unik?

Bicara soal ini kami bicara dengan Agree Cory, Public Relation & Social Media Executive dari Game.ly. Sebagai salah satu platform streaming yang sedang berkembang di Indonesia, ia sempat menceritakan soal kriteria streamer yang banyak dicari pengguna Game.ly. Menurutnya, selain kriteria-kriteria yang saya sebutkan di atas, seorang streamer juga wajib memiliki passion terhadap game yang dimainkan.

Grand Launch Game.ly. Sumber: Hybrid
Game.ly salah satu layanan streaming game di Indonesia. Sumber: Hybrid

Memang, apapun bidang pekerjaan yang Anda geluti, passion adalah bahan bakar yang membuat Anda tetap punya alasan atas apa yang Anda lakukan. Cory juga melanjutkan bahwa dengan passion, maka kecintaannya terhadap game yang dimainkan akan terpancar lewat cara ia membawakan tayangan live streaming yang sedang dilakoni.

Tetapi lebih lanjut, Cory mengatakan bahwa personalitas adalah salah satu modal penting yang perlu dimiliki seorang streamer. “Tonjolkan kelebihan dari karakter yang dimiliki, keunikan atau ciri khas dari masing-masing diri sendiri tanpa menduplikat orang lain. Sebab, hal itulah yang membuat Anda seorang streamer jadi diingat oleh banyak orang.” Jadi sebenarnya, memang menjadi jago saja tidak cukup untuk menjadi sukses di bidang ini; Anda bisa jadi atlet esports kalau memang Anda hanya modal jago saja.

Kalau Anda sadar, Shroud yang sangat jago sekalipun juga tidak serta merta terkenal karena kemampuannya bermain game saja. Beberapa sifat dan sikap yang dia miliki juga membantunya menjadi dikenal lebih banyak orang. Salah satu yang membuat dirinya jadi semakin dikenal adalah nilai hidup sederhana, jujur, suka membantu orang, dan blak-blakan yang selalu dia pegang teguh.

Nilai hidup tersebut terpancar, sehingga hal tersebut kerap menjadi konten secara spontan, yang berhasil menarik hati para penonton. Contoh nyata hal ini adalah ketika Shroud mendorong para penontonnya untuk berdonasi kepada seorang streamer perempuan yang menampilkan tayangan musik di Twitch, agar sang streamer dapat membayar tagihan pengobatannya.

Jika Anda sudah memiliki penonton setia, sudah semakin dikenal banyak orang, dari titik ini Anda sudah bisa mendapatkan keuntungan dari menjadi seorang streamers. Jalur yang punya pendapatan paling pasti adalah teken kontrak dengan platform streaming tertentu.

Kalau di luar negeri salah satu kontrak kerja sama streaming yang paling menjanjikan adalah dengan Twitch.tv. Selain karena Twitch adalah wadah utama komunitas gamers menyaksikan streamer favoritnya, menjadi Twitch Partner juga akan memberikan keuntungan tertentu seperti: mendapat uang dari setiap iklan yang ditayangkan oleh Twitch kepada para pemirsa, mendapat uang untuk setiap penonton yang subscribe pada kanal streaming milik seorang streamer, dan juga berhak mendapat uang dari setiap Bits (mata uang virtual saweran dari penonton) yang didapatkan.

Kalau di Indonesia, pilihan streaming partner terbilang cukup beragam. Ada Game.ly yang sempat menggelar ajang pencarian bakat dengan hadiah berupa kontrak tahunan. Ada juga beberapa platform streaming lain yang menyediakan kesempatan partnership dengan sang streamer, seperti NimoTV ataupun Facebook (FB) Gaming.

Tetapi, peluang pendapatan Anda tidak berhenti sampai situ saja. Anda bisa juga menerima pendapatan lewat kontrak endorse, iklan, sumbangan dari penonton, atau mungkin menjadi bintang iklan seperti Tyler “Ninja” Blevins.

Suka Duka Menjadi Streamer

Di balik dari keceriaan sang streamer, menyambut dan berinteraksi dengan para penonton, pekerjaan ini tentu bukan melulu tentang tertawa bahagia setiap saat saja. Ada saja sisi sulit atau sisi kelam dari suatu pekerjaan. Salah satu yang paling kelam yang tercatat oleh sejarah adalah, ketika pekerjaan streamer ternyata sempat membuat pelakunya meninggal dunia.

Memang, ide Brian “PoshHybrid” Vigneault menciptakan konten streaming yang menarik agak sedikit berlebihan. Ia melakukan streaming maraton selama 24 jam penuh, demi menggalang dana untuk Make-A-Wish Foundation. Mengutip artikel New York Times terbitan Maret 2017 lalu, tujuan streaming PoshHybrid ternyata tidak tercapai, dan terhenti pada durasi 22 jam. Setelah itu ia menghilang dari stream, baru setelahnya ia ditemukan telah meninggal dunia oleh kepolisian setempat.

2
Brian “Poshhybrid” Vigenault, sosok yang sempat menggemparkan komunitas game, karena kasusnya yang meninggal gara-gara streaming selama 24 jam. Sumber: Kotaku.com

Tetapi itu adalah contoh paling ekstrim. Walaupun memang punya tantangannya tersendiri, namun pekerjaan ini tidak akan menyebabkan kematian jika dilakukan sesuai dengan kadarnya.

Membahas topik ini, saya mencoba berbincang dengan Jessica “Jelly” Azali. Anda penggemar esports PUBG Mobile mungkin sudah tidak asing dengan sosok cici cantik yang satu ini. Sosoknya yang ceria kerap membuat pertandingan-pertandingan PUBG Mobile di Indonesia jadi lebih seru lewat komentar-komentar yang diberikannya. Tetapi selain menjadi shoutcaster, kini Jelly juga aktif melakukan streaming lewat platform Facebook, dan juga merupakan streamer partner dari FB Gaming.

Lalu, bagaimana sebenarnya cerita di balik layar dari seorang streamer seperti Jelly ini. Kalau soal suka-duka, ia bercerita bahwa sebenarnya ada banyak hal yang terjadi sepanjang pengalaman dirinya menjadi seorang streamer. “Suka duka sih banyak banget! Kayak roller coaster!” kata Jelly. Namun, dari semua suka-duka tersebut, menurutnya salah satu yang selalu membuatnya bahagia adalah ketika penonton sedang ramai dan kebanyakan mereka memberikan komentar-komentar positif.

streamer #3
Sumber: Jessica Azali Official Page

“Seneng banget kalau misalnya ketika streaming ramai, udah gitu banyak yang support dan memberi komentar positif.” Lalu bagaimana dengan komentar negatif? Kalau Anda adalah pengguna internet, terutama Facebook, Anda tentu paham bagaimana para warganet itu terkenal buas. Jelly sendiri mengakui kerap menerima komentar-komentar negatif yang bersifat toxic, bahkan kadang komentar-komentar yang dilontarkan menjurus ke pelecehan seksual.

Kendati demikian, Jelly cerita bahwa komentar-komentar tersebut tidak pernah ia terima sampai hati. “Komentar toxic, walaupun ada, tapi itu bukan merupakan duka bagiku, malah jadi hiburan tersendiri. Sebab, kalau ada komentar toxic biasanya malah aku balas lagi jadi komentar lucu-lucu. Intinya sih, kalau jadi streamer memang nggak boleh baper sama netizen.” Jawab Jelly, mencoba melihat sisi positif. Begitupun jika ada komentar-komentar cabul. Jelly tak pernah sampai hati menerima komentar tersebut dan membalasnya dengan becandaan saja.

Jelly, lewat pengalamannya menjadi seorang streamer juga bercerita soal apa-apa saja yang harus ditonjolkan agar penonton tetap tertarik untuk menonton. Kalau bicara soal modal awal, menurutnya jago bisa jadi salah satu hal, tapi bukan satu-satunya hal yang harus ditonjolkan.

“Karena viewer punya selera yang macam-macam, jadi wajar kalau streamer juga biasanya punya modal atau daya jual sendiri-sendiri. Ada yang modal jago, modal cantik atau tampan, atau modal personalitas entah karena dia orang yang jenaka atau memang asik diajak berbincang dengan viewers.” kata Jelly.

“Sementara kalau aku, selama perjalanan menjadi streamer, yang aku fokus adalah menjadi diriku sendiri dan tak lupa selalu berinteraksi sama penonton. Jadi kalau lagi streaming, aku ngelawak iya, becandaan toxic iya, tapi tentunya yang tidak kelewat batas, becandain viewer atau temen main juga suka aku lakukan. Intinya sih memang be yourself, percaya diri, senyum depan kamera, interaksi sama penonton, dan fokus menghibur penonton.” Jelly lebih lanjut menjelaskan senjata utama yang kerap ia gunakan dalam menggaet penonton.

Selain soal sikap yang ceria dan suka berinteraksi, Jelly menambahkan soal pentingnya kreatif berimprovisasi. Ia menceritakan ini lewat satu momen pengalaman ketika tayangan streaming yang ia tampilkan saat itu sebenarnya tidak sebegitu menarik. “Waktu itu aku pernah, 3 jam streaming cuma dapat too soon (mati terlalu cepat di PUBG). Tapi aku nggak sedih atau kecewa, malah hal tersebut aku alihkan menjadi konten. Saat akhir live aku buat kuis, aku suruh penonton hitung, ‘berapa kali Jelly too soon pada live hari ini’. Terus aku suruh penonton untuk DM ke akun Instagramku, nanti yang jawabannya benar dan yang tercepat aku kasih hadiah UC. Alhasil jadinya penonton tetap terhibur, walaupun sebenarnya aku too soon terus selama streaming.

Now It’s Live! Tapi Bagaimana Masa Depan Menjadi Streamer?

Lalu bagaimana dengan kewajiban seorang streamer yang terafiliasi dengan streaming platform tertentu? Bagaimana juga dengan pendapatannya? Apakah sebanding? Menurut salah satu streamer yang saya wawancarai (yang menolak untuk disebutkan namanya), KPI atau beban kerja seorang streamer sebenarnya lumayan.

Ada seorang steramer yang kewajiban kerjanya adalah melakukan live streaming minimal 20 video atau 20 kali per bulan, dengan durasi 3 jam setiap pada setiap video atau streaming. Angka ini mungkin kurang lebih hampir mendekati seperti kerja kantoran Senin sampai Jumat, hanya bedanya kewajiban ini bisa Anda penuhi dengan lebih fleksibel.

Jadi mungkin Anda bisa saja tidak melakukan streaming pada hari Senin, namun Anda langsung streaming selama 4 atau mungkin 6 jam pada hari esoknya. Lalu, sebenarnya seberapa berat memenuhi kewajiban tersebut? Menurut cerita streamer yang saya wawancara, sebenarnya lumayan berat memenuhi kewajiban tersebut. Jadi agar dapat terpenuhi, Anda harus cermat mengatur waktu dan tentunya juga tidak memaksakan diri untuk streaming, agar nasib Anda tidak seperti sosok PoshHybrid.

Cory dari Game.ly juga turut angkat bicara soal kewajiban streamer dari sudut pandang Game.ly. Menurutnya, streamer yang dikontrak oleh Game.ly punya kewajiban untuk streaming 80-100 jam per bulan (sekitar 3 sampai 3,5 jam setiap harinya).

Tetapi selain itu Game.ly juga punya ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh sang streamer. Salah satunya seperti memastikan konten streaming bersifat interaktif, tidak boleh bicara SARA, merokok selama live-streaming, dan terakhir juga harus memancarkan aura positif kepada khalayak yang sedang menonton.

Kalau kewajibannya terbilang cukup berat, apalagi Anda harus konsisten terlihat ceria di depan kamera selama kurang lebih 3 jam setiap hari, apakah pendapatan seorang streamer sepadan dengan beban kerjanya? Menurut cerita dari streamer lokal yang saya wawancarai tersebut, ia bisa menerima US$1500 (sekitar Rp21 juta) setiap bulannya. Namun itu belum pendapatan bersih, karena masih dipotong biaya agensi sebesar 30%. Jadi, pendapatan bersih yang ia terima adalah US$1050 (Sekitar Rp14 juta).

Angka pendapatan tersebut cukup mengagumkan bukan? Secara lokal, memang iya. Tetapi secara internasional, angka tersebut seperti butiran debu…

Kalau kita mengacu kepada streamer internasional, hasil yang mereka dapatkan bisa berkali lipat lebih besar dari streamer lokal yang saya wawancara tersebut. Pada salah satu pembahasan Hybrid contohnya, artikel tersebut menyebut Tyler “Ninja” Blevins bisa menerima sampai dengan US$1 juta dalam satu kali kontrak. Itu pun merupakan kontrak jangka pendek yang diterima Ninja ketika ia diminta untuk mempromosikan battle royale besutan EA, Apex Legends.

Apex Legends, pada saat perilisannya menggunakan jasa streamer untuk mempromosikan game mereka di kalangan komunitas gamers. Sumber: EA Official Media
Apex Legends, pada saat perilisannya menggunakan jasa streamer untuk mempromosikan game mereka di kalangan komunitas gamers. Sumber: EA Official Media

British Esports Association juga memberi contoh lain, yaitu streamer asal Inggris yang bernama Ali “GrossGore” Larsen. Menurut artikel tersebut, GrossGore bisa menerima sampai dengan 100.000 Poundsterling (sekitar Rp1,8 miliar). Itu pun hanya pendapatan yang berasal dari donasi yang diberikan para penonton saja. Belum termasuk kontrak streaming dengan platform tertentu, ads Youtube, serta banyak kontrak kerjasama lainnya.

Tapi tentunya, pendapatan tersebut hanya diterima beberapa streamer yang memang sangat populer saja. British Esports Association juga mengatakan, bahwa pendapatan sebesar GrossGore hanya diterima oleh streamer yang punya puluhan ribu penonton reguler. Jadi jika Anda baru merintis, jangan harap bisa langsung terima puluhan juta Rupiah setiap bulannya.

Selain soal pendapatan, dalam konteks Indonesia, kekhawatiran dari pekerjaan ini adalah soal infrastruktur internet yang belum sebegitu mapan. Menanggapi soal ini, Cory mengatakan bahwa di sinilah pemerintah berperan penting untuk memajukan dan menjaga kemajuan industri ini. “Pengakuan dan dukungan pemerintah memberi sinyal positif terhadap pertumbuhan industri game dan esports. Karena hal ini, kami juga yakin bahwa  pemerintah punya rencana besar untuk industri ini, yang dilakukan seiring dengan terus digarapnya pemerataan infrastruktur internet di Indonesia.”

Membahas soal industri streaming dan infrastruktur internet, saya kembali teringat dengan apa yang dikatakan Izzudin Al-Azzam, CEO Emago Cloud Gaming dalam saat membahas soal Cloud Gaming bersama Hybrid. Ketika itu ia mengutip kata-kata dari Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, mengatakan bahwa infrastruktur yang belum siap adalah saat yang tepat untuk membangun sebuah industri. Sebab kalau Anda membuat suatu teknologi atau industri saat infrastrukturnya sudah siap, kemungkinan besar Anda sudah telat.

Jadi sebenarnya, membangun brand diri Anda sendiri lewat menjadi streamer di saat infrastruktur internet Indonesia yang belum sebegitu mapan adalah saat yang tepat. Jadi nantinya brand diri Anda akan mapan berbarengan seiring dengan mapannya infrastruktur internet di Indonesia. Siapa tahu, mungkin the next Ninja dari Indonesia.

Jelly juga sempat bercerita bagaimana internet juga menjadi salah satu tantangan baginya ketika melakukan streaming. Jadi walaupun hal tersebut masih jadi kendala sampai sekarang, harapannya adalah industri streaming nantinya bisa mapan berbarengan dengan infrastruktur internet di masa depan.

Menutup pembahasan ini, patut diingat bahwa pekerjaan ini seperti banyak pekerjaan depan layar lainnya. Anda bisa dapat keuntungan yang sangat banyak dari pekerjaan ini dalam jangka waktu yang pendek, namun jangan harap popularitas tersebut bisa bertahan dengan sangat lama. Ada masanya ketika brand personal Anda sudah tidak lagi nyambung dengan zamannya.

Maka dari itu, soal nilai kreatif berimprovisasi dari cerita Jelly juga bisa Anda petik untuk menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat ini.