“Joint Venture” dengan iQiyi Adalah Bentuk Keseriusan MNC Group Dominasi Pasar Asia

Dominasi sepertinya sudah jadi kata teratas dalam kamus dagang pemimpin MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Sekian lama menguasai bisnis televisi teresterial dan televisi berlangganan, Hary berniat mendominasi pasar layanan streaming di Indonesia dan Asia.

Pembentukan joint venture dengan ‘Netflix Tiongkok’, iQiyi, merupakan bukti keseriusan MNC dalam menggarap pasar layanan streaming. Dalam kesepakatan itu, MNC memiliki 51 persen kepemilikan. Entitas baru ini akan diisi gabungan koleksi konten milik MNC dan iQiyi.

Dalam wawancaranya dengan KrAsia, Hary meyakini pasar layanan streaming di Asia masih hampir tak tersentuh. Melihat peluang besar itu, setidaknya menurut Hary ada 3 kunci untuk mengeruk keuntungan dari layanan streaming yakni dengan mendominasi dari aspek iklan, konten, hingga jumlah pelanggan.

Hary mengatakan belanja iklan digital sudah mendekati 20 persen dengan kemungkinan bertambah menjadi 30 persen pada tahun depan. Sementara tahun ini Hary memperkirakan MNC memperoleh pendapatan Rp750 miliar dari iklan digital.

Dari aspek konten, semua platform di bawah MNC Group menghasilkan 23.000 jam konten per tahun mulai dari drama, animasi, pencarian bakat, dan lainnya. Mereka juga memiliki rumah produksi yang sanggup menghasilkan konten asli sendiri. Sementara kerja sama dengan iQyi yang notabene berstatus pemain terbesar di Tiongkok bakal menambah kekuatan konten mereka.

“Kalau ranah digital kita sudah matang, kita bisa ekspansi ke internasional. Namun untuk saat ini kita harus kuat di Indonesia dulu,” ujar Hary dalam wawancaranya dengan KrAsia.

Sebagai tambahan bukti keseriusan MNC dalam menggarap bisnis digitalnya, Hary pun turun langsung. Mengaku tak lagi aktif di dunia politik untuk sementara, Hary menilai bisnis digital ini harus cepat dan presisi.  Ia bahkan ragu tanpa campur tangannya, semua akan berjalan lambat.

“Saya rasa kalau saya tidak terlibat, perubahannya akan lambat. Saat ini, segalanya speerti perlombaan menuju digital. Itulah alasannya saya kembali,” imbuhnya.

Kita tidak bisa menganggap enteng ambisi taipan media ini. Hingga saat ini MNC Group tercatat memiliki 4 stasiun televisi nasional dan sejumlah televisi lokal, jaringan televisi berbayar terbesar, dan menguasai 45 persen belanja iklan dari total pendapatan di sektor tersebut.

Perlu diingat juga bahwa MNC Group punya portofolio cukup padat di bisnis digital. Mereka punya MNC Now, Metube, sejumlah investasi di iFlix, dan yang terbaru adalah peluncuran free-to-air TV yakni RCTI+. Namun hal itu dianggap belum cukup jika ingin menguasai pasar di luar Indonesia.

Inilah yang melatarbelakangi kerja sama antara MNC dengan iQiyi. Layanan streaming milik Baidu itu adalah platform streaming terbesar di Tiongkok dengan 100 juta pelanggan berbayar. Hary sadar untuk merambah pasar di luar Indonesia ia harus berkongsi dengan perusahaan besar lainnya.

Sementara dari pihak iQiyi, kerja sama dengan MNC memudahkan jalan mereka merebut pasar baru di luar Tiongkok. iQiyi punya kompetitor berat di negara asal seperti Tencent Video dan Youku Tudou yang juga sudah mulai merambah pasar luar negeri. Indonesia akan jadi batu loncatan iQiyi sebelum memperluas layanan mereka ke 10 negara lain di Asia Tenggara.

Layanan streaming baru ini nantinya bakal mengadopsi sistem freemium. Dari kesepakatan kedua belah pihak, diketahui MNC akan fokus pada aspek promosi dan pemasaran, sementara iQiyi lebih fokus ke teknologi dan pengembangan di masa depan. Layanan baru ini akan dirilis pada kuartal ketiga.

Hary menolak bercerita lebih detail mengenai rencana yang akan mereka usung melalui layanan streaming baru itu. Hanya saja ia menggarisbawahi bahwa platform itu ditujukan untuk menjadi yang terbesar di seluruh Asia.

“Saya tidak bisa jelaskan sekarang, tapi ketika iQiyi umumkan detailnya, kami akan kabarkan. Tapi poinnya adalah kami ingin menjadikannya platform konten terbesar di Asia,” pungkas Hary.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Go-Play Jadi Aplikasi Terpisah Kedua di Luar Go-Jek

Gojek akhirnya merilis aplikasi Go-Play di Google Play sebagai aplikasi terpisah, mengikuti jejak Go-Life. Meski sudah bisa diunduh semua pengguna, akses untuk masuk ke dalam sistem masih terbatas untuk pengguna terpilih yang mendapatkan notifikasi dari Gojek.

Di tahap awal, fase beta konten yang ditawarkan Go-Play cukup menarik. Selain menyajikan konten ekslusif berlabel Go-Play Original seperti show stand up comedy The HAHA Club Jakarta, film Ku Lari Kepantai, Aruna & Lidahnya, dan seri Filosofi Kopi, mereka juga menghadirkan beberapa film dan seri populer seperti Cek Toko Sebelah, What’s Wrong with Secretary Kim, dan lain sebagainya. Tak hanya streaming langsung, tersedia pilihan untuk mengunduh film-film yang diinginkan untuk ditonton di lain kesempatan, dengan jangka waktu yang ditentukan.

Berdasarkan percobaan, pengalaman menonton menggunakan Go-Play cukup memuaskan karena konten yang disajikan memiliki kualitas gambar tinggi (tergantung koneksi karena belum ada pengaturan memilih resolusi).

Persaingan aplikasi konten on demand

Di Indonesia raksasa layanan on demand konten Netflix masih diblokir Telkom Group. Kendati demikian persaingan masih cukup ketat berkat hadirnya layanan lokal dan regional seperti Hooq, Iflix, Maxstream, Viu, dan Vidio.

Selain platform streaming, Gojek juga mengembangkan Go-Studio yang memproduksi konten sendiri. Go-Play dan Go-Studio termasuk dalam jajaran Gojek Entertainment yang kini dipimpin Edy Sulistyo.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Soal Bigo: Pemblokiran, Pembatasan Konten Negatif, dan Penambahan Konten Positif

Konten digital di Indonesia semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan kecepatan internet dan adopsi perangkat mobile oleh masyarakat. Tak hanya menikmati konten video secara streaming masyarakat kini juga sudah terbiasa dengan konten live streaming yang mulai tumbuh bersama dengan banyaknya layanan live streaming seperti Periscope, Cliponyu, Bigo, dan beberapa lainnya.

Dari segi konsep beberapa layanan banyak ditujukan untuk kegiatan hiburan seperti halnya Bigo. Sayangnya konsep awal yang diusung Bigo sebagai live stream untuk fashion dan hiburan justru banyak dimanfaatkan untuk konten negatif berbau pornografi. Pada akhirnya maraknya konten negatif di Bigo memaksa pemerintah melakukan “pembatasan” (yang mengarah ke pemblokiran) terhadap layanan live stream asal Singapura tersebut.

[Baca juga: Ketika Konten Platform Live Video Mulai Menjurus Ke Arah Negatif]

Bigo sebenarnya punya konsep yang positif. Bigo mencoba memberikan kesempatan penggunanya untuk menunjukkan bakat mereka mulai dari menyanyi hingga bakat dalam memilih mode pakaian. Sayangnya konsep positif dari Bigo “diselewengkan” para penggunanya. Bigo digunakan sebagai ajang untuk memproduksi konten negatif yang erat dengan pornografi. Image Bigo yang terlanjur sebagai layanan live stream negatif membuat pemerintah akhirnya mulai menutupi akses DNS Bigo.

Aksi blokir pemerintah ini memang bukan hal baru. Sudah banyak layanan yang kena blokir dikarenakan oleh konten-konten yang ada di dalamnya. Untuk kasus Bigo sendiri pemerintah disebutkan sudah memberikan surat kepada kantor pusat Bigo di Singapura. Karena tidak kunjung ada balasan, akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan aksi.

Konten negatif memperburuk citra Bigo

Sama seperti layanan user generate lainnya, Bigo sebenarnya sudah menerapkan kebijakan melarang penggunanya, terutama broadcaster untuk menayangkan konten-konten negatif. “Polisi” Bigo pun tidak segan untuk melakukan blokir permanen terhadap akun yang terbukti melanggar. Sayangnya hal ini tidak begitu efektif dalam memberikan efek jera terhadap penggunanya. Malahan citra Bigo semakin buruk akibat dipublikasikannya konten Bigo di platform video lain dengan embel-embel yang menjurus ke arah negatif.

Bigo, sama seperti layanan live stream lainnya, sebenarnya menyimpan potensi untuk digunakan dalam berbagai hal positif. Contohnya seperti menyiarkan seminar, sosialisasi program, iklan, atau hal positif lainnya.

[Baca juga: Apakah Pemblokiran Efektif Memerangi Pembajakan?]

Sangat susah sebenarnya menghapus konten negatif di sebuah platform. Media sosial populer seperti Twitter, Facebook, dan YouTube pun sebenarnya tidak lepas dari konten-konten negatif.

Executive Director Indonesia ICT Institure Haru Sutadi menilai bahwa kontrol terhadap konten negatif memang tidak mudah. Tanggung jawab pembersihan konten ini merupakan tanggung jawab penyedia platform dan juga pengguna pengisi konten.

“Sepanjang transparan, akuntabel dan nondiskrimintif, jika ada pelanggaran UU ITE, pemblokiran sah saja. Namun, sebenarnya kan yang juga tak kalah penting dilakukan adalah, pertama, sosialisasi aturan kepada penyedia platform maupun masyarakat. Kedua, menjalin koordinasi khususnya dengan penyedia platform untuk misal men-delete konten yang dilarang UU, seperti pornografi. Memang masalahnya, kadang penyedia platform susah diajak koordinasi atau bahkan cuek saja kalau layanan mereka diblokir di sini karena mungkin Indonesia bukan pasar utama,” terang Heru.

Pemblokiran sebenarnya bukan langkah bagus untuk menghentikan konten negatif. Toh selama ini pemblokiran masih belum efektif meringkus konten tersebut. Yang ada konten-konten negatif muncul dengan cara lain dan bentuk lain. Yang harusnya dilakukan untuk memerangi konten negatif adalah menambah lebih banyak konten positif sehingga menjadi highlight utama yang dicari masyarakat kita.

Persaingan Stasiun Televisi Merambah ke Platform Streaming Video

Seperti kita ketahui bersama infrastruktur internet di Indonesia terus diupayakan oleh pemerintah dan pihak operator telekomunikasi untuk terus ditingkatkan agar menghasilkan kualitas internet yang baik dengan jangkauan yang luas. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir bisa dibilang kecepatan dan kualitas internet Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.

Dampak nyata terlihat pada konsumsi streaming yang meningkat cukup pesat, baik audio maupun video. Lambat laun pihak televisi pun mulai melirik platform video streaming untuk menempatkan konten-konten siaran mereka. Mulai dari MNC Group dengan MeTube, SCTV Group dengan Vidio dan yang paling baru Net dengan Zulu.

Jika Metube dan Vidio memungkinkan pengguna umum untuk bebas mengunggah video mereka ke platform tersebut, Zulu sementara ini hanya bisa digunakan untuk menikmati konten-konten NET TV yang diunggah ke Zulu. Jika ditelusuri lebih detil, Zulu terlihat masih dalam proses pengembangan. Salah satu contohnya bisa dilihat dari pemberitahuan bahwa aplikasi mobile mereka masih dikembangkan.

Dari segi konsep Zulu memang tampak seperti Netflik, iflix, dan layanan video on demand lainnya. Hanya saja saat ini semua konten yang tersedia di Zulu merupakan konten dari NET TV, lengkap dengan siaran langsungnya.

Sangat menarik melihat para stasiun TV berlomba-lomba untuk meramaikan sektor platform video streaming di tanah air. Persaingan antara stasiun TV sekarang juga merambah sektor platform video, meski untuk Zulu sedikit dengan konsep yang berbeda.

Menurut laporan DailySocial mengenai kebiasaan konsumen online di tahun 2016, lebih dari 32% responden mengakses layanan streaming setiap hari, dengan komposisi konten video sebanyak 52%. Sebuah kebiasaan yang cukup potensial untuk layanan-layanan streaming di Indonesia.

Menarik untuk melihat inovasi ketiganya. Vidio terus menggandeng para kreator video lokal, MeTube terlihat lebih “cantik” ketimbang saat pertama kali diperkenalkan, sementara Zulu yang baru masuk ke gelanggang pasti punya strategi khusus untuk menyeruak.

Hal penting yang menjadi faktor kritis agar sebuah layanan streaming bisa bertahan dan berkembang adalah konten dan teknologi.

Sisi teknologi kaitannya dengan kecepatan akses dan pengalaman pengguna. Bagaimana sebuah layanan tersebut menghasilkan sebuah platform yang mudah diakses dengan kualitas (gambar dan audio) yang baik.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah kualitas (isi) konten. Dari ketiganya jelas Zulu yang paling ‘aman’ karena semua kontennya merupakan hasil siaran televisi yang lulus dari sensor KPI. Lain halnya dengan MeTube dan Vidio yang memungkinkan setiap pengguna bisa mengunggah video mereka sendiri. Harus ada sensor internal dari pihak-pihak penyedia platform untuk menjaga dan memastikan setiap video yang berada di platform mereka “aman” untuk ditonton semua kalangan.