Justin Wong Utarakan Keresahannya Terhadap Masalah Netcode di Game Fighting

Jika Anda pemain game fighting, Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Justin Wong. Pemain yang satu ini bisa dibilang sebagai salah satu pemain paling gemilang di antara komunitas FGC internasional, salah satunya berkat torehan prestasi juara EVO sebanyak 9 kali. Pemain ini juga terkenal begitu mengayomi komunitas FGC. Contoh paling jelas terlihat pada Juni 2019 lalu, ketika ia mensponsori 5 pemain game fighting untuk mengikuti turnamen CEO 2019.

Tahun 2020, skena game fighting mulai berevolusi sedikit demi sedikit, situasi pandemi bisa dibilang jadi salah satu penyebabnya. Situasi ini pada satu sisi mungkin menjadi sedikit ‘berkah’ bagi FGC Indonesia, yang membuahkan pencapaian dari Aron Manurung di cabang Street Fighter V, dan Andrew Widjaja (Wahontoys) di cabang Soulcalibur VI.

Namun pada sisi lain, situasi pandemi juga memunculkan masalah bagi komunitas FGC. Pertandingan yang dibatalkan sudah menjadi satu masalah, tapi masalah baru muncul ketika pertandingan diubah menjadi online. Mengapa demikian? Persoalan netcode bisa dibilang jadi salah satu alasan terbesar kenapa bertanding game fighting secara online adalah suatu masalah tersendiri.

Sumber: WelshGaming
Training Stage atau “The Grid”. Stage ini bisa dibilang sebagai stage paling stabil untuk bermain Street Fighter V secara online. Sayang, penggunaan stage tersebut malah dilarang dalam babak 16 besar pada turnamen resmi Capcom manapun. Sumber: WelshGaming

Justin Wong sempat menyatakan pendapatnya soal masalah netcode ketika ia diwawancara oleh Dot Esports, membicarakan alasan kenapa ia tidak mengikuti turnamen game fighting online. “Street Fighter adalah permainan yang sangat menyenangkan untuk dimainkan secara offline, tapi jadi beda cerita kalau harus bermain online.” Jawab Justin membuka pembahasan.

Justin lalu menjelaskan. “Jika kalah dalam pertandingan offline, kami sadar masalahnya cuma satu, yaitu lawan kami yang bermain secara lebih baik. Tapi dalam pertandingan online, kami seringkali tidak tahu apakah kami kalah karena perbedaan kemampuan, atau faktor eksternal seperti netcode, atau masalah gara-gara Stage yang tidak stabil.”

https://twitter.com/iDomNYC/status/1274839976618983431

“Salah satu contoh nyata hal ini adalah pada Capcom Pro Tour NA East, di top 8 iDom kalah satu game melawan MetroM, menyerah, lalu mengatakan ‘Saya tidak bisa melawan orang ini, gara-gara netcode yang sangat…’ Menurut saya ini sudah parah, tidak bisa dimainkan, dan membuat pertandingan jadi tidak adil. Gara-gara ini akhirnya saya memilih untuk menghindari turnamen online. Saya tahu bahwa game fighting cenderung memiliki pengalaman bermain online yang buruk, sehingga turut serta dalam turnamen online, mungkin akan membuat saya menjadi marah.” Justin menjelaskan lebih lanjut bagaimana masalah netcode menciptakan kebuntuan bagi dirinya, serta beberapa sosok pemain kompetitif game fighting lainnya.

Dalam situasi pandemi, bermain secara online menjadi sangat dianjurkan. Namun amat disayangkan melihat FGC jadi kesulitan beradaptasi dengan keadaan ini, karena kebanyakan game fighting cenderung tidak begitu menyenangkan untuk dimainkan secara online. Semoga saja di masa depan, game fighting generasi terbaru bisa dikembangkan secara lebih sempurna, sehingga menyenangkan ketika dimainkan secara offline maupun online.

Hasil EVO Japan 2020, Dominasi Jepang dan Kemunculan Juara Asia Tenggara Pertama

EVO Japan 2020 telah usai digelar. Petarung dari berbagai belahan dunia datang ke Jepang dalam ajang unjuk kemampuan fighting game yang berlangsung mulai 24 Januari sampai 26 Januari 2020 kemarin. Pada gelaran puncaknya, jagoan-jagoan fighting game dinobatkan menjadi raja atas masing-masing game yang dipertandingkan.

EVO Japan 2020 mempertandingkan enam game, yaitu Street Fighter V: Arcade Edition, Tekken 7, Super Smash Bros. Ultimate, Samurai Showdown, Soulcalibur VI, dan BlazBlue: Cross Tag Battle. Masing-masing game punya cerita petarungnya sendiri-sendiri dalam mencapai kejayaan tersebut. Berikut Hasil EVO Japan 2020.

Tekken 7

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Satu narasi besar di kejuaraan Tekken 7 EVO 2020 adalah berkeliarannya karakter Leroy dalam turnamen ini. Pada babak-babak awal, karakter ini masih tidak terlalu sering muncul di pertarungan. Puncaknya adalah ketika kompetisi sudah mencapai babak 8 besar. Ketika itu 6 dari 8 petarung di babak perdelapan final bahkan menggunakan Leroy sebagai karakter utama.

Babak perdelapan final berlangsung begitu menegangkan. Berbagai pertarungan menarik terjadi, salah satunya adalah rematch TWT Finals antara Ulsan melawan Chikurin. Sayang, keduanya berakhir gagal mencapai babak final. Pada akhirnya babak Grand Final mempertemukan Nopparut Hempamorn (Book) dengan Ryoto Ikeda (Mikio).

Foto yang menggambarkan kekecewaan Ulsan setelah gagal lolos ke babak final EVO Japan 2020. Sumber: EVO
Foto yang menggambarkan kekecewaan Ulsan setelah gagal lolos ke babak final EVO Japan 2020. Sumber: EVO

Pada babak Grand Final, Book sang petarung asal Thailand, ternyata menjadi salah satu pemain yang turut menggunakan Leroy. Lawannya adalah Mikio petarung asal Jepang, pemain Julia, yang berangkat dari loser bracket. Ronde awal, Book berhasil memenangkan pertarungan dengan cukup mulus. Setelahnya, Mikio mulai menemukan celah di permainan Leroy dari Book.

https://twitter.com/EVO/status/1221258916023005184

Petarung asal Jepang berhasil mendesak Mikio sampai poin kemenangan menjadi 2-1. Seakan baru tersadar, Book mulai bangkit setelah memasuki ronde ke empat. Berkali-kali ia berhasil membaca gerakan Mikio, menangkis, lalu membalasnya. Setelah skor menjadi 2 sama, pertarungan jadi semakin menegangkan. Book langsung menang 2 poin, tapi Mikio sempat membalasnya satu kali. Walau Mikio hampir berhasil melakukan reset bracket, Book akhirnya berhasil menjadi juara. Kemenangan ini memberikan gelar bagi Book sebagai pemain Asia Tenggara pertama yang memenangkan EVO. Berikut hasil EVO Japan 2020 Tekken 7 peringkat 3 besar:

1. Talon | Book (Leroy)
2. ITO | Mikio (Julia)
3. COOASGAMES | Noroma (Leroy, Steve)

Street Fighter V

Sumber: EVO NEws
Sumber: EVO News

Pertarungan Street Fighter V menjadi derby antar petarung Jepang. Dari bracket atas ada Ryo Sato (Nauman) bermain menggunakan Sakura. Penantangnya adalah Kenryo Hayashi (Mago), datang dari lower bracket, bertarung menggunakan Karin. Nauman berhasil mendapatkan satu ronde dengan cukup mulus, namun demikian Mago tidak menyerah begitu saja.

Ia berkali-kali memberikan perlawanan berarti kepada Nauman. Setelah 4 ronde, Mago bahkan berhasil melakukan reset bracket, mengulang poin kemenangan Nauman dari nol lagi. Kisah perjuangan Nauman jadi terasa mirip seperti Book di Tekken 7, ia seperti baru bangkit setelah masuk fase reset bracket.

https://twitter.com/EVO/status/1221378724899090433

Nauman memenangkan 2 ronde dengan cukup mulus. Mago yang sudah kelimpungan masih sempat melawan walau didesak habis-habisan oleh Sakura dari Nauman. Pada ronde penentuan Mago seperti kehilangan fokusnya, dua kali terkena serangan kombinasi yang mematikan. Terdesak habis, Mago kembali melawan, tapi berhasli ditangkis dan segera dibalas oleh Nauman. Dengan ini, berikut hasil EVO Japan 2020 Street Fighter V peringkat 3 besar:

1. DNG | Nauman (Sakura)
2. Mago (Cammy, Karin)
3. FAV | Sako (Menat, Kage)

Super Smash Bros. Ultimate

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Seperti SF V, cabang Super Smash Bros. Ultimate di EVO Japan 2020 mempertemukan all-japanese final. Pertarungan mepertemukan Shuto Moriya (Shuton) yang menggunakan Olimar. Penantangnya datang dari lower bracket adalah Seisuke Komeda (Kome) yang menggunakan Shulk.

Olimar dari Shuton memang terbukti membuat Kome jengkel. Namun demikian lawannya bukan pemain sembarangan, sang shoutcaster Vikkikitty bahkan menyebut Kome sebagai salah satu pemain Shulk terbaik, setidaknya dalam gelaran EVO Japan 2020 kemarin.

Pertarungan berjalan dengan seimbang antar kedua pemain ini, sampai akhirnya Shuton berhasil mendapatkan ronde pertama. Pada ronde kedua, Kome mencoba memberi perlawanan terkuatnya. Namun satu momen penting terjadi di ronde dua, Kome melakukan blunder sangat besar. Niatnya adalah untuk membuang Shuton lebih jauh lagi agar bisa menyamakan kedudukan ronde tersebut. Tetapi Kome seperti terlalu cepat menekan tombol. Serangannya luput, Kome terjatuh, Shuton menang mudah di ronde kedua.

https://twitter.com/EVO/status/1221323615037034497

Ronde penentuan, Kome berhasil membuat kedudukan jadi satu sama. Namun serangan Shuton berkali-kali tepat sasaran, membuat persentase damage Kome meningkat dari 0 menjadi 85% dengan sangat cepat. Momen penentuannya adalah ketika Kome terlempar yang membuatnya berada di ujung tanduk. Kome sudah terjebak, Shuton memanfaatkan keadaan dengan melakukan eksekusi serangan Smash yang membuang Shulk keluar dari layar. Shuton keluar sebagai juara EVO Japan 2020 cabang Smash Ultimate. Berikut hasil EVO Japan 2020 Smash Ultimate peringkat 3 besar:

1. SST | Shuton (Olimar)
2. Kome (Shulk)
3. Tea (Pac-Man)

Dari cabang lain, Jepang ternyata masih mendominasi jalannya pertandingan di EVO Japan 2020. Dari BlazBlue ada Kubo yang muncul sebagai juara. Samurai Showdown ada Gamera yang menjadi juara. Hanya satu cabang lain yang tidak dimenangkan oleh pemain asal Jepang, yaitu Soul Calibur VI. Pada pertandingan tersebut ada BlueGod, petarung asal Amerika Serikat, berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Yuttoto. Dengan ini, berikut hasil EVO Japan 2020 peringkat 3 besar dari cabang-cabang lainnya:

BlazBlue: Cross Tag Battle
1. YG | Kubo (Yumi, Seth)
2. GRPT | DoraBang (Naoto S., Merkava | ν -No.13-, Naoto K. | Others)
3. nk_P (Chie, Vatista)

Samurai Shodown
1. Gamera (Shiki)
2. Emujima (Shizumaru)
3. AMTRS | Score (Haohmaru)

Soul Calibur 6
1. BDG | BlueGod (Azwel)
2. Yuttoto (Voldo, Zasalamel, Raphael, Azwel)
3. Illusion | Linkorz (Geralt, Siegfried)

Selamat bagi para pemenang! Dengan ini maka tersisa gelaran EVO utama yang diselenggarakan di Amerika Serikat. Akankah muncul kejutan lain di gelaran EVO selanjutnya? Ikuti media sosial Hybrid untuk informasi seputar komunitas fighting games baik lokal ataupun internasional.

Jadwal EVO Japan 2020, Panggung Petarung Fighting Game Kelas Dunia

Sebagai salah satu panggung pertandingan fighting game paling bergengsi, aneh rasanya jika kita para pecinta game fighting melewatkan gelaran EVO Japan 2020. Walau sempat mengalami sedikit kontroversi, namun keseruan EVO tetap menjadi sesuatu yang tidak boleh dilewatkan oleh para pecinta fighting game.

Namun demikian, satu yang mungkin akan membuat Anda cukup kebingungan adalah jadwal pertandingannya. Apalagi EVO terkenal mempertandingkan banyak cabang game fighting sekaligus.

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Tahun ini, EVO Japan 2020 mempertandingkan enam game, yaitu Street Fighter V: Arcade Edition, Tekken 7, Super Smash Bros. Ultimate, Samurai Showdown, Soulcalibur VI, dan Blazblue Cross Tag Battle. Jadwal pada laman resmi EVO Japan menggunakan zona waktu Japan Standart Time (JST), berikut jadwal EVO Japan 2020 yang sudah dikonversi ke waktu WIB.

Jadwal EVO Japan 2020 Hari Pertama – 24/01/2020 (Waktu dalam WIB)

Sumber: IndoTekken
Sumber: IndoTekken

07:30 – 20:30 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Qualification
08:00 – 14:00 ❘ Samurai Shodown – Qualification
08:00 – 17:00 ❘ Soulcalibur VI – Qualification
09:00 – 20:30 ❘ Blazblue Cross Tag Battle – Qualification
10:00 – 19:00 ❘ Street Fighter V – Qualification
10:00 – 17:00 ❘ Tekken 7 – Qualification
14:30 – 17:30 ❘ Samurai Shodown – Semi-Final
17:30 – 20:30 ❘ Soulcalibur VI – Semi-Final

Jadwal EVO Japan 2020 Hari Kedua – 25/01/2020 (Waktu dalam WIB)

Sumber: IndoTekken
Sumber: IndoTekken

07:00 – 17:20 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Qualification
07:00 – 11:00 ❘ Tekken 7 – Qualification
07:00 – 09:30 ❘ Blazblue Cross Tag Battle – Semi-Final
09:40 – 12:30 ❘ Soulcalibur VI – Final
11:00 – 13:30 ❘ Tekken 7 – Semi-Final
11:30 – 16:30 ❘ Street Fighter V – Qualification
13:20 – 15:30 ❘ Samurai Shodown – Final
15:20 – 18:20 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Semi-Final
16:20 – 19:00 ❘ Blazblue Cross Tag Battle – Final
16:30 – 19:00 ❘ Street Fighter V – Semi-Final

Jadwal EVO Japan 2020 Hari Ketiga – 26/01/2020 (Waktu dalam WIB)

Sumber: IndoTekken
Sumber: IndoTekken

07:00 – 10:00 ❘ Tekken 7 – Final
10:30 – 14:00 ❘ Super Smash Bros. Ultimate – Final
14:30 – 18:00 ❘ Street Fighter V – Final

Semua pertandingan EVO Japan 2020 akan ditayangkan via livestream di kanal resmi EVO di Twitch. Berikut beberapa tautan penting terkait EVO Japan 2020:

Tahun lalu pada EVO Japan 2019, berbagai kejutan hadir di dalam pertandingan. Salah satu yang paling besar datang dari cabang Tekken 7. Di sana Arslan Ash, petarung asal Pakistan pertama yang berhasil memenangkan Tekken 7 EVO lewat gelaran EVO Japan 2019. Kemenangan tersebut berhasil mengubah peta kekuatan skena kompetitif Tekken, membuat Pakistan jadi satu regional yang sangat dipandang. Kemenangan tersebut berhasil memberikan Arslan Ash gelar Esports Player of the Year versi ESPN.

Akankah pemain Pakistan kembali memberi kejutan di Tekken 7 EVO Japan 2020? Akankah muncul kejutan di cabang game lain pada EVO 2020 ini?

Gachikun: Pemain Tua Punya Tanggung Jawab Merangkul yang Lebih Muda

Bulan Desember semakin mendekat, dan itu artinya puncak kompetisi Capcom Pro Tour (CPT) juga akan segera digelar. Acara puncak itu, Capcom Cup 2019, berlangsung pada tanggal 13 – 15 Desember nanti, bersamaan dengan ajang Street Fighter League World Championship yang mempertemukan jawara Amerika melawan jawara Jepang untuk pertama kalinya.

Pemain yang menjadi sorotan banyak pihak kali ini salah satunya tentu adalah Gachikun alias Tsunehiro Kanamori, juara Capcom Cup 2018 yang terkenal ahli menggunakan karakter Rashid. Saat ini memegang peringkat 15 di CPT Global Leaderboard, Gachikun harus membuktikan apakah ia mampu mempertahankan gelarnya atau harus menyerahkan takhta ke pemain lain.

Baru-baru ini, Gachikun berbincang-bincang dengan media Critical Hit tentang pengalamannya berkarier di dunia esports Street Fighter, perannya sebagai pro player, serta apa yang dibutuhkan oleh fighting game community (FGC) yang sedang tumbuh. Berikut poin-poin menarik yang mereka diskusikan.

Peran para “pemain tua”

Komunitas fighting game secara umum terkenal sebagai komunitas yang selalu passionate terhadap kegemaran mereka. Karena itulah sejak dulu iklim kompetitif sudah ada di komunitas ini. Namun untuk menjadi seorang pemain fighting game yang hebat tidaklah mudah. Butuh latihan, kerja keras, dan ketekunan untuk waktu yang lama. Tidak semua orang betah melakukannya.

Gachikun sendiri pernah merasakan ketika pemain-pemain “hilang” dari komunitas fighting game. Ia merasa bahwa untuk mencegah hal itu terjadi, komunitas harus memastikan bahwa para pemain ini dirangkul, diajak berkomunikasi, serta dilatih. Tanggung jawab ini terutama jatuh pada para anggota komunitas yang sudah senior.

Gachkun saat menjuarai Capcom Cup 2018 | Sumber: Fox Sports Asia
Gachkun saat menjuarai Capcom Cup 2018 | Sumber: Fox Sports Asia

“Ada suatu tanggung jawab yang muncul ketika Anda menjadi salah satu pemain yang telah ‘berhasil’. Kita jujur saja, tanpa ada komunitas yang bisa mandiri maka sebagian besar olahraga akan layu dan mati. Bukan hanya pemain baru yang bertanggung jawab untuk ikut terlibat, tapi juga pada para pemain yang lebih tua untuk mendukung mereka,” ujar Gachikun.

Industri esports bukan bubble?

Saat ini esports tengah menjadi sebuah tren yang ramai, dan banyak gamer bisa sukses menjadikannya lahan mata pencaharian. Namun mereka yang sukses itu jumlahnya sedikit dibandingkan mereka yang ikut berpartisipasi. Tidak semua pemain bisa jadi atlet terkenal, dan ada beberapa pihak khawatir bahwa industri esports saat ini adalah bubble yang bisa pecah sewaktu-waktu.

Akan tetapi, menurut Gachikun kekhawatiran itu tidak benar. Ia merasa bahwa esports ini adalah sebuah perubahan kultur di dunia gaming, terutama di kalangan gamer generasi baru. Bagi para gamer muda ini, game bukan hanya sesuatu untuk dimainkan, tapi juga sesuatu untuk ditonton.

Gachikun berkata, “Saya merasa bahwa di kalangan generasi muda ada sebuah budaya yang kuat tentang menonton siaran internet. Saya rasa hal itu hanya akan tumbuh membesar di masa depan, dan seperti halnya sepak bola atau rugbi, akan ada culture base yang stabil.”

Mengejar ketertinggalan

Walaupun esports sudah menjadi tren, sebetulnya pertumbuhan esports ini masih belum merata di semua negara. Critical Hit adalah media yang berbasis di Afrika Selatan, dan di sekitar mereka, komunitas fighting game masih memiliki skala yang kecil. Sementara genre lain seperti shooter atau MOBA sudah lebih populer. Bagaimana bisa ekosistem seperti ini mengejar ketertinggalannya terhadap negara-negara lain?

Gachikun mengakui bahwa akan sulit bila ingin mengejar popularitas cabang-cabang esports yang lebih mainstream. Tapi menurutnya hal itu tidak membuat fighting game lebih rendah atau inferior dibanding cabang-cabang esports lain. Yang terpenting adalah para penggemarnya mau terus bermain dan bekerja sama untuk membesarkan komunitas.

Ia kemudian bercerita tentang kondisi FGC di Jepang sebelum era esports meledak. “Di Jepang, FGC sudah populer bahkan sebelum istilah esports diciptakan. Ini karena ada banyak lokasi di seluruh Jepang di mana para pemain bisa berkumpul untuk bermain dan berkompetisi di turnamen. Tak peduli sekecil apa pun skalanya, ketika ada event yang digelar untuk menyatukan orang-orang, hal itu akan memotivasi dan merangsang para pemain untuk berpartisipasi secara aktif,” paparnya.

Esports memang punya potensi sebagai sebuah bisnis, tapi sebelum itu, esports adalah ekosistem yang dibangun oleh kekuatan komunitas. Menumbuhkan ekosistem yang besar memang tidak bisa instan, dan bila mengandalkan kekuatan grassroot, bisa jadi prosesnya akan lama. Tapi justru atas dasar kecintaan itulah ekosistem esports bisa menjadi kekuatan yang solid dan tak akan mati walau harus berjuang sendiri.

Saran-saran yang diberikan Gachikun rasanya bisa juga diterapkan di Indonesia, karena di negara ini sudah ada komunitas-komunitas fighting game yang aktif namun statusnya masih niche. Dengan menularkan kegembiraan yang kita rasakan dalam momen-momen kompetitif serta merangkul dan memelihara pemain-pemain baru, mudah-mudahan saja ekosistem fighting game di negara ini nantinya bisa tumbuh besar dan kuat seperti Jepang yang merupakan “kampung halaman” FGC.

Sumber: Critical Hit, Red Bull

Glico Gandeng Capcom untuk Adakan Pocky K.O. Challenge di Street Fighter V

Ezaki Glicothe, perusahaan yang dikenal sebagai pembuat Pocky, mengumumkan kerja samanya dengan Capcom dengan mengadakan Pocky K.O. Challenge untuk para pemain Street Fighter V: Arcade Edition. Untuk mendapatkan Pocky K.O., Anda harus dapat mengalahkan musuh ketika health bar Anda memiliki rasio yang sama dengan komposisi cokelat dan biskuit pada Pocky, lapor Happy Gamer. Untuk memeriksa apakah Anda memang berhasil mendapatkan Pocky K.O., Anda bisa mengambil screenshot kemenangan Anda dan mengunggahnya ke situs Pocky K.O. Checker.

Semua orang bisa ikut serta dalam challenge ini. Glico juga mendorong para pemain untuk mengunggah video ketika mereka berhasil mendapatkan Pocky K.O. ke Twitter dengan tagar #PockyKO. Sebanyak 11 video dari Pocky K.O. akan dipilih untuk ditampilkan dalam Capcom Cup 2019 yang akan diadakan pada 13-15 Desember mendatang. Sayangnya, tidak diketahui apakah pemain yang videonya terpilih akan mendapatkan hadiah lain. Selain itu, pada 15 Desember, para pemain Street Fighter profesional juga akan ikut serta dalam Pocky K.O. Challenge. Pertandingan mereka akan disiarkan melalui akun Twitch dan YouTube resmi Capcom.

Gaming memberikan pengalaman unik yang menyatukan berbagai komunitas di dunia dan kami senang bekerja sama dengan Capcom untuk memberikan pengalaman bermain yang unik,” kata Hirohisa Tamai, Assistant Global Brand Manager, Ezaki Glico, lapor The Esports Observer. “Kami di Pocky memiliki semangat untuk berbagi kebahagiaan. Esports membuat semua penonton merasa senang dan kami ingin ikut serta dalam membagikan kesenangan itu.”

Ini adalah pertama kalinya Glico masuk ke ranah esports. Selain mengadakan Pocky K.O. Challenge, kerja sama antara Glico dan Capcom juga meliputi peluncuran Street Fighter V Pocky Chocolate edisi terbatas. Sayangnya, edisi terbatas tersebut hanya akan tersedia di Amerika Serikat. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak merek non-endemik yang ingin ikut serta. Di Indonesia, Dua Kelinci menjdai salah sastu merek makanan yang ikut mendukung esports.

Capcom Cup adalah turnamen fighting game yang fokus pada Street Fighter. Dalam Capcom Cup 2019, akan ada 32 pemain profesional yang bertanding untuk memperebutkan total hadiah US$250 ribu. Pemenang dari Capcom Cup 2018 akan secara otomatis masuk dalam Capcom Cup 2019. Sebanyak 26 orang akan dipilih berdasarkan Global Ranking Point Leaderboard, 4 orang merupakan pemenang dari babak kualifikasi Regional Finals, dan 1 pemain terakhir merupakan pemenang dari Last Chance Qualifier.

Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

Capcom Ungkap Street Fighter V: Champion Edition di CPT 2019 NA Regional Finals

North America Regional Finals (NARF) 2019 adalah ajang terakhir Capcom Pro Tour 2019 sebelum kita menyambut Capcom Cup di bulan Desember nanti. Di samping itu, NARF 2019 juga menyediakan sebuah turnamen terbuka (open tournament) dengan tingkatan Super Premier. Bisa ditebak bahwa ajang ini akan menjadi salah satu kompetisi paling seru di CPT 2019, dan NARF 2019 benar-benar tidak mengecewakan.

Digelar di Las Vegas HyperX Esports Arena pada tanggal 16 – 17 November kemarin, NARF 2019 menghadirkan 8 pemain Street Fighter di wilayah Amerika Utara untuk memperebutkan tiket ekspres ke Capcom Cup. Di antara mereka semua, NuckleDu merupakan favorit juara sebab ia menduduki peringkat 1 di North America Regional Leaderboard. Dan benar saja, pria yang dalam waktu dekat akan menjadi seorang ayah itu berhasil meraih trofi NARF 2019 setelah mengalahkan Punk di Grand Final.

CPT 2019 NARF - NuckleDu
NuckleDu, juara CPT 2019 NARF | Sumber: NuckleDu

Akan tetapi posisi NuckleDu di Global Leaderboard sebetulnya sudah cukup tinggi untuk membuatnya lolos ke Capcom Cup 2019. Karena itu, jatah slot Capcom Cup dari NARF 2019 ini diberikan ke pemain lain sesuai dari urutan Global Leaderboard. Pemain yang beruntung mendapat jatah tersebut adalah Smug (Bryan Huggins).

Terkenal sebagai pemain R. Mika dan Guile, musim ini NuckleDu mampu tampil meyakinkan dengan karakter G. Lucunya, bila Anda menonton pertandingan NARF 2019 maka Anda akan melihat NuckleDu tampil dengan nama sponsor “My Wallet”. Sebetulnya saat ini NuckleDu tidak memiliki sponsor, dan untuk candaan maka ia berkata bahwa ia disponsori oleh dompetnya sendiri. “Sponsor” itu bahkan memiliki akun media sosial, dengan nama NuckleDu’s Wallet.

Hasil akhir CPT 2019 North America Regional Finals:

  • Juara 1: My Wallet | NuckleDu
  • Juara 2: RECIPROCITY | Punk
  • Juara 3: END | Shine
  • Juara 4: SONICBOXX | 801 Strider
  • Juara 5: UYU | JB
  • Juara 5: iDom
  • Juara 7: Terrence
  • Juara 7: El Chakotay

Penampilan NuckleDu di turnamen Super Premier juga tak buruk. Ia berhasil lolos hingga Grand Final, namun akhirnya kalah oleh pemain Hong Kong yaitu HotDog29 (Yeh Man Ho). Di Super Premier ini NuckleDu menggunakan berbagai karakter, mulai G, Cammy, R. Mika, hingga Guile yang ia mainkan di Grand Final. NuckleDu menunjukkan dirinya mampu menguasai banyak karakter sekaligus, tapi ia tetap harus mengakui bahwa kali ini, M. Bison milik HotDog29 lebih unggul.

CPT 2019 NARF - HotDog29
HotDog29 pulang membawa hadiah US$50.000 | Sumber: Capcom Fighters

Di samping kedua finalis, NARF 2019 Super Premier juga dihadiri oleh banyak sekali pemain hebat dari negara-negara lain. Termasuk di antaranya Fuudo, Tokido, Gachikun, Xian, Bonchan, Kichipa-mu, Big Bird, dan banyak lagi.

Peringkat Top 8 NARF 2019 CPT Super Premier:

  • Juara 1: TALON | HotDog29
  • Juara 2: My Wallet | NuckleDu
  • Juara 3: MOUSESPORTS | Problem X
  • Juara 4: Red Bull | Bonchan
  • Juara 5: SONICBOXX | 801 Strider
  • Juara 5: RECIPROCITY | Punk
  • Juara 7: LIQUID | Nemo
  • Juara 7: FAV | Sako

Seperti sudah dijanjikan oleh Yoshinori Ono bahwa akan ada sesuatu yang baru di NARF 2019, Capcom telah menyiapkan pengumuman besar di sini: peluncuran edisi terbaru Street Fighter V, dengan judul Street Fighter V: Champion Edition! Versi ini akan mengandung nyaris seluruh konten Street Fighter V yang pernah ada, termasuk 40 karakter, 34 arena pertarungan, dan lebih dari 200 kostum. Konten yang tidak masuk ke Champion Edition hanya kostum edisi terbatas (Fighting Chance), kostum Capcom Pro Tour, dan kostum kolaborasi dengan brand lain.

Secara gameplay, Champion Edition ini akan menghadirkan mekanisme baru berupa V-Skill alternatif untuk seluruh karakter. Seperti perubahan dari Street Fighter versi vanilla ke Arcade Edition, perubahan gameplay ini juga akan diberikan pada seluruh pemain secara gratis. Kita hanya perlu membayar/membeli bila ingin memperoleh karakter-karakter dan kostum barunya.

Street Fighter V: Champion Edition akan dirilis pada tanggal 14 Februari 2020, dengan harga yang cukup murah yaitu US$29,99 saja (sekitar Rp422.000). Para pemain yang sudah memiliki Street Fighter V versi apa pun bisa membeli DLC Upgrade Kit dengan harga US$24,99. Mungkin terasa agak aneh karena perbedaan harga membeli baru dengan Upgrade Kit tidak terpaut jauh, tapi menurut saya sendiri US$24,99 untuk mendapat seluruh karakter dan ratusan kostum itu bukan harga yang buruk. Anggap saja semacam subsidi silang.

Capcom juga merilis trailer untuk karakter baru yaitu Gill yang sebelumnya telah muncul di Street Fighter III: 3rd Strike. Gill bisa dibeli secara terpisah dengan harga US$5,99 mulai Desember 2019, tapi ia juga akan masuk ke dalam roster Street Fighter V: Champion Edition pada Februari 2020 nanti. Gill merupakan karakter ke-39 dalam game ini. Karakter ke-40 tampaknya akan diumumkan dalam ajang Capcom Cup 2019, tanggal 13 – 15 Desember nanti.

Sumber: Capcom Unity, Capcom Pro Tour

Capcom Rilis Siaran Street Fighter League Japan untuk Audiens Internasional

Bila kita berbicara tentang esports Street Fighter, kompetisi pertama yang muncul di pikiran pastilah Capcom Pro Tour. Akan tetapi sebenarnya game ini memiliki satu wadah kompetisi lain yang baru diluncurkan pertama kali di tahun 2019, yaitu Street Fighter League. Liga ini digelar di dua negara, terdiri dari Street Fighter League Pro-US di Amerika, dan Street Fighter League Pro-JP di Jepang.

Keunikan Street Fighter League (SFL) adalah bahwa liga ini bukan berisi pertandingan satu lawan satu, melainkan team battle tiga lawan tiga. Setiap tim terdiri dari satu orang pemain profesional—seperti Punk, Daigo, atau Tokido—sebagai kapten, ditambah dua orang pemain semi profesional atau amatir. Nantinya, juara SFL Pro-US akan berhadapan dengan juara SFL Pro-JP dalam ajang Street Fighter League World Championship yang digelar berbarengan dengan Capcom Cup 2019.

Street Fighter League Pro-JP - Strategy Time
Unsur strategi dalam SFL memberi keseruan tersendiri | Sumber: Capcom Fighters TV

Kita bisa menikmati tayangan SFL Pro-US lewat channel YouTube resmi Capcom Fighters atau lewat Facebook Live di official page Street Fighter. Sementara untuk SFL Pro-JP, tayangannya ada di channel YouTube terpisah yaitu di channel Capcom Fighters JP. Masalahnya, karena liga ini disiarkan live, kita yang tak fasih berbahasa Jepang tentu kurang bisa menikmati siaran tersebut. Memang menonton pertarungan saja tanpa paham apa yang dibicarakan juga sebenarnya sudah cukup seru, tapi kita jadi tidak bisa mencerna unsur strategi, diskusi, dan wawancara yang juga jadi bagian dari Street Fighter League.

Kini, di momen yang sudah semakin dekat dengan SFL World Championship, Capcom akhirnya merilis siaran SFL Pro-JP dengan subtitle bahasa Inggris untuk audiens internasional. Keseruannya jelas berbeda karena kita tidak menonton secara live, tapi bila Anda tak masalah dengan tayangan ulang, maka saya sangat merekomendasikan Anda menonton SFL Pro-JP ini. Sebab SFL Pro-JP dihadiri oleh banyak sekali pemain “dewa” sehinga level kompetisinya pun tinggi sekali.

Berikut ini adalah daftar tim dan pemain yang berpartisipasi dalam SFL Pro-JP:

  • Umehara Gold: Daigo Umehara, Fujimura, Kawano
  • Itazan Ocean: Itabashi Zangief, Moke, Dogura
  • Mago Scarlet: Mago, Machabo, Yuji
  • Fuudo Gaia: Fuudo, Bonchan, Shuto
  • Nemo Aurora: Nemo, Kichipa-mu, John Takeuchi
  • Tokido Flame: Tokido, Gachikun, Haku

Satu hal lagi yang membuat Street Fighter League seru adalah, sebelum pertandingan masing-masing tim punya kesempatan untuk melakukan ban terhadap satu karakter. Jadi Anda akan melihat kombinasi pemain dan karakter apa yang paling ditakuti oleh para pemain Jepang, serta bagaimana mereka beradaptasi ketika karakter andalan mereka tidak bisa dipakai.

Untuk sekarang Capcom baru mengunggah video SFL Pro-JP sebanyak dua episode. Semoga saja masih akan terus bertambah hingga ajang SFL World Championship nanti. Bila Anda punya waktu senggang selama satu setengah jam dan butuh hiburan esports berkualitas, Anda harus mencoba menonton SFL Pro-JP. Dijamin tidak rugi.

Sumber: Capcom Fighters TV, EventHubs

Pengaruh Olimpiade Tokyo 2020 pada Roadmap Pengembangan Street Fighter V

Street Fighter V, di antara sekian banyak judul fighting game yang beredar di generasi console PS4, mungkin adalah yang paling banyak mengalami naik-turun dalam perjalanannya. Ketika pertama dirilis pada tahun 2016, banyak pihak yang kecewa dengan game ini karena berbagai hal, mulai dari roster yang kurang padat, netcode bermasalah, hingga minimnya konten dan fitur. Namun Capcom terus memberikan update dan konten baru dalam wujud DLC (gratis maupun berbayar), hingga kini Street Fighter V sudah jadi game “gemuk” yang layak bersanding dengan judul-judul populer lainnya.

Yoshinori Ono, Executive Produser seri Street Fighter, belum lama ini menceritakan beberapa hal menarik dari perjalanan seri tersebut di era Street Fighter IV dan Street Fighter V dalam wawancara bersama Eurogamer. Ia juga mengungkap kendala yang sedang dihadapi Capcom saat ini, rencana untuk Street Fighter V ke depannya, serta bagaimana ekosistem esports mempengaruhi roadmap pengembangan game tersebut. Terutama ajang Intel World Open yang merupakan acara pembuka Olimpiade Tokyo 2020. Berikut ini beberapa poin yang ia sampaikan.

Capcom sempat menolak pengembangan Street Fighter IV

Hal yang satu ini mungkin sudah jadi pengetahuan umum di kalangan penggemar berat Street Fighter. Yoshinori Ono adalah tokoh yang sudah lama sekali berkecimpung di Capcom, bahkan ia mendapat julukan “Mr. Street Fighter” di perusahaan itu. Ia sempat merasakan masa jaya fighting game di era 90an, tapi kemudian fighting game mengalami masa penurunan di era tahun 2000an.

(Anda bisa membaca pembahasan lengkap sejarah ini di artikel berikut: Fighting Game Esports – Sejarah, Tokoh, dan Perkembangannya)

Ketika dunia fighting game sedang “gersang” itu, Capcom sama sekali tidak berminat merilis Street Fighter IV. Karena itulah ada rentang waktu yang sangat panjang antara perilisan Street Fighter III: 3rd Strike ke Street Fighter IV, hampir 10 tahun. Ono bahkan berkata, “Sebagai sebuah perusahaan, Capcom secara umum sudah tidak membuat fighting game lagi. Sudah 99,9% diputuskan bahwa era fighting game telah tamat dan kami pun bergerak ke hal-hal lain.”

Ultra Street Fighter IV
Street Fighter IV, era kebangkitan fighting game modern | Sumber: The Fighters Generation

Tapi kemudian Ono melihat fenomena yang aneh. Ketika ia sedang mengerjakan game Onimusha, ia menemukan bahwa ke mana pun ia pergi, orang-orang selalu bertanya tentang Street Fighter baru. Ono pun berusaha meyakinkan petinggi-petinggi Capcom pada masa itu (termasuk salah satunya Keiji Inafune) untuk membuat Street Fighter lagi. Ono punya ide bagaimana cara menghadirkan Street Fighter dan membuatnya populer.

“Andai hasilnya tidak sebagus itu, mungkin saya sudah dipecat… Saya bersyukur Street Fighter IV bisa sedemikian laris,” ujar Ono.

NetherRealm Studios ingin karakter Street Fighter masuk Mortal Kombat

Ed Boon, Creative Director di NetherRealm Studios, ternyata sempat meminta izin kepada Capcom untuk memasukkan salah satu karakter Street Fighter ke Mortal Kombat. Ia juga pernah bertemu dengan Yoshinori Ono di Brasil dan membicarakan hal tersebut. Tapi sayang, akhirnya Capcom memutuskan untuk menolaknya. Menurut Ono, alasan utamanya adalah karena dunia Street Fighter kurang cocok untuk digabungkan ke dalam dunia Mortal Kombat.

Ono berkata bahwa keputusan itu bukan datang dari dirinya, namun dari Capcom secara keseluruhan. Tapi bukan berarti Capcom tertutup sama sekali pada kemungkinan kolaborasi. Lagipula mereka sudah sering melakukan kolaborasi dengan pihak lain, seperti di franchise Marvel vs. Capcom, atau Tatsunoko vs. Capcom. “(Usulan) itu tidak berhasil saat ini, tapi Capcom tertarik melakukan hal sejenis. Jika kami bisa mendapatkan sesuatu yang kami rasa bagus, kami bisa bergerak cukup cepat untuk mewujudkannya,” cerita Ono.

Tatsunoko vs. Capcom
Saya masih berharap suatu saat Tatsunoko vs. Capcom akan muncul di console selain Wii | Sumber: Polygon

Persiapan menyambut Intel World Open (IWO)

Street Fighter V jelas bukan pendatang baru di dunia esports, akan tetapi ajang Intel World Open tahun 2020 nanti punya peran yang lebih signifikan daripada turnamen esports biasanya. Ono mengaku bahwa saat ini mereka sedang sibuk mempersiapkan berbagai hal untuk menyambut ajang tersebut, dan belum mau berpikir tentang console next gen (PS5) yang kabarnya juga akan dirilis di tahun 2020.

Seperti apa persiapan yang dimaksud? Hal pertama yang diinginkan Ono adalah stabilitas Street Fighter V di versi yang sekarang. Ia ingin semuanya bisa berjalan dengan baik. Ono juga ingin bisa memfasilitasi Intel World Open yang babak kualifikasinya digelar secara online. Oleh karena itu Street Fighter V telah mendapat fitur baru yaitu mode turnamen online yang saat ini masih sedang berada dalam status beta.

“Sekarang kita sudah punya turnamen grup, kira-kira 8 orang bisa diundang masuk ke lobby. Mode baru ini nanti akan punya skala yang jauh lebih besar. Kami masih mengerjakan detailnya di fase beta, tapi yang jelas nantinya lusinan, bahkan ratusan orang akan bisa berpartisipasi di sebuah turnamen dalam waktu yang sama. Kami sedang melakukan penyetelan akhir dan mode ini akan siap dalam beberapa bulan ke depan,” papar Ono.

Selain mode baru di atas, Ono tidak memberikan detail lebih lanjut. Tapi rumor yang beredar, Capcom akan menghentikan perubahan balance dan perilisan karakter baru sampai Intel World Open berakhir. Update akhir 2019 akan menjadi update besar terakhir untuk sementara, dan setelahnya Street Fighter V akan berubah judul dari Street Fighter V: Arcade Edition menjadi Street Fighter V: Tournament Edition. Namun semua ini masih rumor, kita tunggu saja konfirmasinya setelah Capcom Cup 2019 nanti.

Harapan Yoshinori Ono untuk Intel

Hal unik lain dari Street Fighter V adalah kemauan Capcom untuk memupuk ekosistem esports di dalamnya hingga terus tumbuh subur. Meskipun ada judul-judul fighting game lain yang booming seperti Dragon Ball FighterZ atau Mortal Kombat 11, Yoshinori Ono tak ambil pusing. Ono sadar bahwa pemain fighting game biasanya tidak hanya memainkan satu judul, tapi mereka akan mencoba-coba hal baru termasuk di luar genre fighting juga.

Saat ini Street Fighter V masuk peringkat 13 dalam “Platinum Titles” (peringkat game terlaris) di Capcom, dengan total penjualan 3,9 juta unit. Angka tersebut berada di bawah Dragon Ball FighterZ dan Tekken 7 yang sama-sama sudah melebihi angka 4 juta unit, apalagi bila dibandingkan dengan Super Smash Bros. Ultimate (15,38 juta unit). Akan tetapi Ono sadar bahwa Street Fighter punya sejarah yang panjang, dan masih akan terus menciptakan sejarah di masa depan. Ia merasa tidak perlu mengekor judul-judul lain, dan lebih baik fokus pada visi Street Fighter itu sendiri.

Satu hal saja yang menurut Ono masih jadi kendala besar adalah soal penyimpanan data. Street Fighter V memiliki fitur untuk menyimpan berbagai data, termasuk replay setiap pertandingan yang dilakukan pemain. Replay ini bisa diakses secara online lewat jaringan yang disebut Capcom Fighters Network. Kemudian Capcom bisa menganalisis data tersebut untuk riset, lalu menentukan karakter mana yang butuh buff atau nerf.

Masalahnya, saat ini dalam sehari bisa ada lebih dari 500.000 pertandingan di Street Fighter V. Capcom menyimpan backup data tersebut di server Amazon Web Service dan Google, tapi penggunaan layanan-layanan ini butuh banyak biaya. Ono berkata, “Itu hal yang ingin saya coba perbaiki di masa depan. Jadi misal ajang IWO ini berhasil, saya bisa mendatangi Intel dan berkata, tolong beri kami server space untuk menyimpan backup.”

Sumber: Eurogamer

Dua Kali Tumbangkan Oil King, Tokido Raih Gelar Canada Cup 2019

Bulan November telah tiba, dan itu artinya jumlah turnamen yang tersisa di sirkuit kompetisi Capcom Pro Tour hanya tinggal hitungan jari. Lebih tepatnya hanya tinggal tiga event lagi yang perlu kita lalui. Pertama yaitu Canada Cup 2019 di tanggal 1 – 3 November, North America Regional Finals 2019 pada tanggal 16 – 17 November, dan terakhir adalah turnamen puncak yaitu Capcom Cup 2019 di tanggal 13 – 15 Desember.

Turnamen pertama di bulan November ini adalah Canada Cup 2019 yang baru saja dilaksanakan akhir pekan lalu. Selain merupakan wadah turnamen CPT tingkat Premier, Canada Cup juga menjadi bagian dari kualifikasi untuk SNK World Championship yang mempertandingkan game Samurai Shodown dan The King of Fighters XIV. Tekken World Tour 2019 juga hadir di acara ini dalam wujud turnamen tingkat Dojo.

Tokido - Canada Cup 2019
Tokido memamerkan trofi Canada Cup 2019 | Sumber: Capcom Pro Tour

Mengingat Capcom Cup sudah semakin dekat, wajar bila kemudian Canada Cup dihadiri oleh banyak atlet hebat Street Fighter yang berusaha mengumpulkan CPT Point di saat-saat terakhir. Termasuk di antaranya adalah GamerBee, Justin Wong, Dogura, John Takeuchi, Nemo, Daigo, NuckleDu, dan lain-lain.

Menariknya lagi, ketika turnamen sudah mencapai babak Top 8, seluruh karakter tampil mengandalkan karakter yang berbeda. Salah satu pemain yaitu Mago bahkan memainkan Cammy di Top 8, sebuah pemandangan yang jarang terjadi di kancah Street Fighter V kompetitif. Sementara itu Justin Wong membuktikan bahwa Poison bukan karakter “low tier” seperti anggapan banyak orang.

Pada akhirnya, dua pemain yang bertemu di Grand Final adalah dua veteran yang sudah tak asing, yaitu Tokido dan Oil King. Mereka sebelumnya sudah berhadapan di babak Winners Final, namun di sana Oil King kalah dengan skor 2-3. Setelah mendaki Losers Bracket, Oil King datang kembali untuk membuat perhitungan, tapi ia masih belum bisa mengalahkan permainan Tokido. Oil King pun menyerah dengan skor 1-3 di Grand Final, tanpa sempat melakukan bracket reset.

Peringkat Top 8 Canada Cup 2019 Street Fighter V: Arcade Edition:

  • Juara 1: ROHTO Z! | Tokido (Akuma)
  • Juara 2: UYU | Oil King (Rashid)
  • Juara 3: RAZER | Xian (Ibuki)
  • Juara 4: Mago (Karin/Cammy)
  • Juara 5: CAG | Dogura (M. Bison)
  • Juara 5: Justin Wong (Poison)
  • Juara 7: FAV | Sako (Menat)
  • Juara 7: LIQUID | Nemo (Urien

Sementara itu di cabang Samurai Shodown dan The King of Fighters XIV, seorang pemain Jepang bernama Akihito “Score” Sawada dari tim Amaterasu berhasil meraih double winner. Artinya ia berhak berkompetisi di SNK World Championship, tanggal 28 – 29 Maret 2020 nanti, di dua game sekaligus. Ini bukan pertama kalinya Score meraih double winner di satu event. Di ajang REV Major 2019 kemarin pun, Score jadi juara di Samurai Shodown dan KOF XIV.

https://twitter.com/score33333/status/1191106594584399878

Kemenangan Tokido di Canada Cup memberikannya hadiah senilai US$7.000 (sekitar Rp98,1 juta), dan 700 CPT Global Point. Saat ini Tokido menduduki peringkat 3 di CPT Global Leaderboard dengan 3.125 poin, di bawah Bonchan (3.845 poin) dan Punk (4.655 poin). Tokido juga menjadi pemain Street Fighter pertama yang berhasil meraih gelar juara CPT Premier sebanyak 10 kali. Bisakah Tokido meraih prestasi serupa di Capcom Cup 2019 nanti?

Sumber: Capcom Pro Tour, EventHubs, Canada Cup