Andalkan Zeku dan Kolin, Momochi Raih Gelar Juara EVO Japan 2019

Ketika melihat beberapa video-video permainan Yusuke Momochi di awal season 4 Street Fighter V: Arcade Edition, saya langsung berharap Momochi akan menjadi juara turnamen EVO berikutnya. Pasalnya, permainan Momochi terlihat begitu kreatif, apalagi ketika menggunakan karakter dengan banyak tools seperti Kage. Tiga bulan kemudian, harapan saya jadi kenyataan. Tapi ternyata bukan Kage-lah yang mengantarkan Momochi menuju gelar juara.

Akhir pekan lalu merupakan hari yang besar bagi komunitas fighting game dunia, terutama di Jepang. EVO Japan 2019 mencapai klimaksnya, dengan berbagai turnamen seru di berbagai fighting game populer. Street Fighter V: Arcade Edition masih menjadi hidangan utama, dan kali ini EVO Japan berhasil menghadirkan pertarungan-pertarungan yang mengejutkan.

Posisi Top 8 diisi oleh nama-nama pemain yang pasti sudah akrab di telinga penggemar esports Street Fighter. Selain Momochi, ada Nemo, Punk, OilKing, serta Fuudo. Mereka juga ditemani oleh Jyobin, Powell, dan Crusher. Menariknya, banyak di antara mereka yang ternyata bermain mengandalkan karakter yang lain dari biasanya.

Momochi misalnya, selama ini dikenal sebagai pakar karakter-karakter Shoto, terutama Ken dan Evil Ryu. Karakter itu pula yang ia jagokan ketika menjuarai EVO di tahun 2015 lalu. Tapi ternyata kini Momochi justru memainkan Zeku dan Kolin. Fuudo, yang sudah sangat lekat dengan Rainbow Mika, justru memainkan Birdie. Tiga karakter ini memang belakangan tengah naik daun, bahkan beberapa pemain Jepang meletakkan Birdie di posisi tertinggi dalam tier list.

Momochi maju ke babak Grand Final dengan meyakinkan lewat jalur Winners’ Bracket. Kolin dikenal sebagai karakter agresif yang ahli melakukan bermacam-macam setup, akan tetapi Momochi tak takut untuk bermain sabar jika dibutuhkan. Apalagi ia berhadapan dengan Fuudo yang merupakan seorang pemain veteran. Persaingan dua orang ini memunculkan ronde-ronde yang berjalan ketat dan panjang, bahkan nyaris Time Over.

Pada set pertama, Fuudo akhirnya berhasil mengalahkan Momochi dengan skor 1-3 dan melakukan bracket reset. Tapi Momochi tak gentar. Ia dengan cepat beradaptasi, memanfaatkan celah-celah kecil dalam pertahanan Fuudo untuk melakukan beberapa Crush Counter krusial.

Fuudo sebetulnya sempat unggul dalam footsies dan berhasil menekan Momochi ke ujung arena berkali-kali. Tapi Momochi selalu memanfaatkan V-Trigger II milik Kolin di waktu yang tepat. Ketika Kolin melakukan combo dengan V-Trigger II (Absolute Zero), ia dapat melakukan corner carry yang dahsyat, bahkan mendorong lawan dari ujung arena ke ujung yang satu lagi. Setelah pertarungan-pertarungan panjang, Momochi akhirnya berhasil membalas kekalahan di set pertama, dan mengirim Fuudo pulang dengan skor persis sama, 3-1.

https://twitter.com/EVO/status/1097118615189372928

Momochi berhak pulang membawa hadiah uang senilai 1.500.000 Yen, atau sekitar Rp191,5 juta. EVO Japan 2019 bukan turnamen EVO utama yang akan digelar di Las Vegas bulan Agustus nanti. Juga bukan bagian dari Capcom Pro Tour (CPT) 2019 yang baru akan dimulai pada bulan Maret mendatang. Tapi gelar ini menunjukkan bahwa Momochi memang layak menyandang predikat salah satu pemain Street Fighter terbaik dunia. Mudah-mudahan saja ia dapat menunjukkan level permainan yang tak kalah tinggi di turnamen-turnamen CPT 2019 nanti.

Sumber: EventHubs, EVO Japan News

Turnamen Fight Fest 2019 Telah Selesai, Ini Dia Para Juaranya

Kompetisi Fight Fest 2019 baru saja selesai dipertandingkan di Jakarta beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 26 – 27 Januari 2019. Acara ini merupakan hasil kerja sama banyak pihak, antara lain Advance Guard, Indonesia Esports Games (IEG), Dfox Dojo, MyRepublic Indonesia, Technosolution, serta didukung langsung oleh SNK.

Fight Fest merupakan ajang yang cukup penting, karena bukan hanya acara ini mempertandingkan enam fighting game berbeda, tapi Fight Fest juga mewadahi kompetisi Tekken 7 yang jadi bagian dari acara IEG 2018. Juga termasuk di dalamnya adalah kompetisi The King of Fighters XIV dan The King of Fighters 98 sebagai bagian dari rangkaian acara global yaitu Neo Geo World Tour 2.

Seluruh acara Fight Fest telah selesai, menghasilkan berbagai pertarungan seru, tidak terprediksi, serta diisi dengan kemunculan pemain-pemain baru yang tampil mengejutkan. Berikut ini hasil seluruh turnamennya.

Fight Fest 2019 - Tekken 7 Winners
Tekken 7 memiliki prize pool terbesar dalam ajang Fight Fest 2019 | Sumber: Advance Guard

Tekken 7

Tekken 7 bisa dibilang merupakan salah satu “menu utama” Fight Fest. Setelah babak kualifikasi yang diadakan di MyRepublic Jakarta pada tanggal 26 Januari, para petarung kemudian harus menjalani babak final dalam acara Indonesia Esports Games esok harinya, bertempat di Jakarta Convention Center. Turnamen Tekken 7 kali ini diikuti cukup banyak petarung senior Indonesia, termasuk di antaranya R-Tech dari tim Alter Ego Esports, M45T4Z (mastaz) dari tim Bigetron Esports, serta TJ dari DRivals.

Di luar dugaan, R-Tech yang merupakan langganan juara justru tidak berhasil maju ke babak final di JCC. Ia kalah oleh TJ yang terkenal ahli menggunakan banyak karakter, termasuk Geese Howard dan Lee Chaolan. TJ ditemani oleh Mishima Boy dan M45T4Z di babak final, kemudian akhirnya Mishima Boy berhasil menjadi juara berkat karakter andalannya yaitu Heihachi.

Peringkat Tekken 7:

  • 1st: Mishima Boy
  • 2nd: DRivals | TJ
  • 3rd: Bigetron | M45T4Z
  • 4th: Alter Ego | R-Tech
  • 5th: Chaos | hero
  • 5th: lee_yo
  • 7th: D2Station | USH
  • 7th: WIF | Silver

The King of Fighters XIV

Selain Tekken 7, kompetisi The King of Fighters XIV dan The King of Fighters 98 juga memiliki pertaruhan yang besar. Dua game ini masuk ke dalam Neo Geo World Tour 2, dan pemain yang menjuarai Fight Fest akan dikirim bertanding dalam Neo Geo World Tour 2 Global Finals, melawan petarung-petarung dari berbagai negara seperti Jerman, Singapura, dan sebagainya.

Juara KOF XIV kali ini diraih oleh KentutBerdahak yang terkenal sebagai ahli karakter Goro Daimon. Ia bertarung di Grand Final melawan navets yang memiliki gaya pertarungan cukup bertolak belakang. Bila KentutBerdahak cenderung menggunakan heavy hitter seperti Daimon dan Clark, navets justru mengandalkan karakter-karakter ringan seperti Shun’ei dan Yuri Sakazaki. KentutBerdahak juga memainkan karakter cepat yaitu Nelson, tapi Daimon-lah yang mengantarkannya menuju puncak.

Peringkat The King of Fighters XIV:

  • 1st: KentutBerdahak
  • 2nd: navets
  • 3rd: Zephy
  • 4th: Aming
  • 5th: Sweet_Martabak
  • 5th: YOLO-man
  • 7th: AnggaGilbert
  • 7th: GAMEBOX

The King of Fighters 98

Meski game ini usianya sudah 20 tahun, The King of Fighters 98 tetap jadi salah satu favorit para pecinta seri KOF. Level pertarungan yang terjadi di sini pun tidak kalah tinggi dari KOF XIV yang lebih modern. Apalagi di KOF 98 belum ada teknik-teknik baru seperti Climax Cancel atau Just Defend. Kemampuan fundamental para pemain betul-betul diuji.

KentutBerdahak juga menampilkan performa kuat dengan Daimon andalannya, namun penantangnya di Grand Final bukanlah navets melainkan Aming. Menariknya, baik KentutBerdahak maupun Aming sama-sama pengguna Daimon. Daimon milik Aming juga sempat mengalahkan Daimon milik KentutBerdahak, memaksa lawannya itu untuk berganti karakter ke Ralf. Strategi ini berhasil, Ralf menghancurkan pertahanan Aming sehingga KentutBerdahak meraih double winner di Neo Geo World Tour 2 ini.

Peringkat The King of Fighters 98:

  • 1st: KentutBerdahak
  • 2nd: Aming
  • 3rd: Sweet_Martabak
  • 4th: Stanxz
  • 5th: navets
  • 5th: VrgKof
  • 7th: Andrikebot
  • 7th: fg_meiji

Street Fighter V: Arcade Edition

Street Fighter V: Arcade Edition saat ini tengah mengalami masa segar kembali berkat balance patch baru di Season 4. Menariknya, selain diisi oleh pemain-pemain Street Fighter Indonesia, posisi Top 8 ternyata juga diisi oleh pemain dari luar negeri, yaitu Asher yang berasal dari Singapura. Asher juga menggunakan karakter yang cukup jarang dipilih yaitu Vega (Claw).

Dua orang yang berhasil lolos ke Grand Final adalah AronManurung (Zeku) dan Burung (Birdie). Keduanya dikenal sangat senior di kancah Street Fighter, bahkan AronManurung memegang peringkat Grand Master di Capcom Fighters Network. Pertarungan mereka berdua berjalan sangat seru dan saling kejar-mengejar angka. Namun pada akhirnya AronManurung dapat mengalahkan Burung, termasuk mencetak Perfect di ronde paling terakhir!

Peringkat Street Fighter V: Arcade Edition:

  • 1st: AronManurung
  • 2nd: Burung
  • 3rd: Dion
  • 4th: Asher
  • 5th: Roxas32
  • 5th: Shamwow
  • 7th: Botanpon
  • 7th: Raja DingDong

Soulcalibur VI

Untuk turnamen Soulcalibur VI cukup disayangkan karena tidak ada video replay sebab kurangnya operator di lapangan. Akan tetapi itu tidak mengurangi keseruan game “bacok-bacokan” ini. Bahkan ada dua pemain luar negeri yang ikut berpartisipasi, yaitu Asher dari Singapura dan Grimrst dari Malaysia. Asher dan Grimrst juga tidak saling bertemu di bracket, jadi semua lawan mereka adalah pemain asal Indonesia.

Fabiozwei yang merupakan pemain muda sekaligus pendatang baru di sini tampil dengan peningkatan signifikan. Ia sempat unggul 2-0 atas Wah On (alias Wahontoys) yang jauh lebih senior. Akan tetapi ia termakan trik ring out yang juga digunakan Wah On saat melawan tim HK SCBA beberapa waktu lalu sehingga kalah. Fabiozwei meraih peringkat tiga, dibawah runner-up Wah On dan juara yaitu sinarkimia.

Peringkat Soulcalibur VI:

  • 1st: sinarkimia
  • 2nd: Wah On
  • 3rd: Fabiozwei
  • 4th: Permac
  • 5th: Asher
  • 5th: HotmanFiras
  • 7th: Ampasmon
  • 7th: Kl3mot
Fight Fest 2019 - Soulcalibur VI Winners
Fabiozwei (Fabio), sinarkimia (David), dan Wah On (Andrew), para juara Soulcalibur VI | Sumber: Advance Guard

BlazBlue: Cross Tag Battle

Kompetisi BlazBlue: Cross Tag Battle berjalan seru berkat usaha dari komunitas Dfox Dojo yang turut meramaikan. Tak sia-sia rupanya Asher datang jauh-jauh dari luar negeri, karena di turnamen ini akhirnya ia berhasil menunjukkan permainan yang gemilang. Asher memanfaatkan kombinasi dua karakter yang sama-sama bertipe rushdown, yaitu Ruby Rose dan Carmine.

Di Grand Final, Asher bertemu dengan BattleCatsPlayer yang mengandalkan kombinasi karakter cukup kompleks, yaitu Nu-13 (zoner) dan Waldstein (grappler). Menarik sekali melihat gaya pertarungan berbeda saling berbenturan, apalagi dalam game ini setiap hit confirm bisa berakibat fatal. Keahlian BattleCatsPlayer melakukan command grab sempat memunculkan momen-momen hype, namun Asher dapat menguasai pertandingan dan menutup turnamen ini dengan sebuah Astral Finish!

Peringkat BlazBlue: Cross Tag Battle:

  • 1st: Asher
  • 2nd: BattleCatsPlayer
  • 3rd: Forte
  • 4th: D2Station | USH
  • 5th: DD | FujiwaraLunasa
  • 5th: KDC
  • 7th: Acruis
  • 7th: Kelcroze

Anda dapat menonton replay turnamen BlazBlue: Cross Tag Battle di sini.

Rencana Neo Geo World Tour ke depannya

Demikianlah keseruan yang terjadi di sepanjang turnamen Fight Fest 2019, yang juga merupakan bagian dari Indonesia Esports Games 2018 dan Neo Geo World Tour 2. Setelah ini KentutBerdahak akan maju ke Neo Geo World Tour Global Finals, namun untuk saat ini lokasi pastinya belum ditetapkan. Maurice, salah satu panitia NGWT 2, berkata bahwa kemungkinan lokasinya adalah di kota Shanghai pada bulan Juli 2019, tapi ia belum yakin 100%.

Fight Fest 2019 - KOF 98 Winners
Maurice bersama para juara KOF 98 | Sumber: Advance Guard

“Mereka (komunitas KOF Indonesia) sangat passionate, jadi kami mendapat banyak dukungan dari komunitas lokal dan sangat senang karenanya,” ujarnya dalam wawancara singkat dengan Hybrid, “Saya yakin kami akan kembali lagi di Season 3. (Turnamen) ini adalah pemberhentian Indonesia untuk NGWT Season 2. Season 3 akan mulai kemungkinan bulan Agustus, dan saya yakin kami akan kembali untuk menemukan perwakilan Indonesia di NGWT Season 3.”

NGWT Season 2 hanya menghadirkan The King of Fighters XIV dan The King of Fighters 98, namun Maurice juga berencana mengadakan turnamen Samurai Spirits (Samurai Shodown) setelah game itu sudah terbit nanti. Tantangannya adalah menemukan wilayah dengan komunitas penggemar yang kuat. “Wilayah yang biasanya sulit bagi kami biasanya adalah Amerika Serikat dan Eropa. Saat ini (game buatan SNK) di sana tidak begitu populer, tapi mungkin itu bisa berubah di masa depan,” jelas Maurice.

Wilayah yang banyak memiliki penggemar SNK adalah Tiongkok, Timur Tengah, Asia, dan Amerika Latin. Menurut Maurice, Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah partisipan bagus, begitu juga dengan level permainannya. Tapi apakah gaya permainan pemain Indonesia bisa bersaing melawan pemain-pemain negara lain, itulah yang harus kita buktikan di Neo Geo World Tour Global Finals nanti. Mari kita dukung KentutBerdahak agar dapat mengharumkan nama fighting game Indonesia!

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Advance Guard

Angkatan Bersenjata Amerika Bentuk Tim Esports untuk Tarik Minat Kawula Muda

Tahun 2019 ini adalah tahun di mana esports merambah ke segala lembaga. Anda mungkin sudah mendengar bahwa grup idola JKT48 telah membentuk tim esports sendiri, begitu juga dengan lembaga lain seperti PT Kereta Api Indonesia. Tak hanya di dalam negeri, di seluruh dunia pun hal serupa telah terjadi. Salah satunya yang baru-baru ini diluncurkan adalah pembentukan tim esports angkatan bersenjata Amerika Serikat (U.S. Army).

U.S. Army mengambil langkah ini bukan semata-mata untuk mencari untung, tapi bagi mereka, esports adalah sarana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran angkatan bersenjata di negaranya. Esports sendiri sudah memiliki banyak cabang permainan yang bertema militer, misalnya Counter-Strike: Global Offensive atau Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege. Mereka yakin bahwa program esports ini bisa menjadi sarana untuk menjangkau dan merekrut audiens baru, utamanya kawula muda.

U.S. Army Esports - Player
6.500 orang telah mendaftar ke program esports U.S. Army | Sumber: U.S. Army/Staff Sgt. Ryan Meaux

“Bila kita ingin sukses dalam merekrut, maka kita harus berada di tengah-tengah para pemuda – dan mereka beroperasi di dunia digital,” kata Major General Frank Muth, commanding general U.S. Army Recruiting Command, dilansir dari FedScoop. Hingga saat ini sudah ada lebih dari 6.500 peserta yang mendaftar untuk masuk ke tim esports U.S. Army. Nantinya dari sekian banyak pendaftar itu akan diambil 30 orang sebagai pemain inti tim dan juga cadangan.

Para peserta yang lolos kemudian akan mengikuti program pelatihan militer dan esports selama tiga tahun di Marketing and Engagement Brigade di Fort Knox, Kentucky. Ya, lembaga besar seperti U.S. Army juga punya divisi khusus yang menangani soal pemasaran. Peserta program, yang merupakan hibrida antara tentara dan atlet esports tersebut, nantinya bertindak sebagai penghubung antara tim rekrutmen U.S. Army dengan publik Amerika Serikat. Harapannya, program ini dapat membuat masyarakat paham bahwa ada banyak peran dalam U.S. Army, tidak hanya prajurit tapi juga peran-peran pendukung seperti ini.

Esports sendiri bukanlah sesuatu yang baru di kalangan angkatan bersenjata. Banyak prajurit U.S. Army yang di kesehariannya merupakan gamer, dan sebagian dari mereka juga gemar bermain secara kompetitif. Di bulan Januari ini pun ada beberapa prajurit yang bertanding di acara PAX South, San Antonio, bahkan meraih juara 1 dan 2 di turnamen Street Fighter V. Mereka didampingi oleh beberapa kru dari San Antonio Recruiting Batallion, dan hasilnya, mereka berhasil menemukan beberapa calon potensial untuk direkrut. Kegiatan serupa rencananya juga akan dilakukan di PAX East, Boston, bulan Maret nanti.

Dari sudut pandang militer, baik esports, olahraga konvensional, serta ilmu keprajuritan sebenarnya punya kemiripan. Kita tidak bisa tiba-tiba ahli dalam bidang ini, tapi perlu latihan yang disiplin dan terarah. Mirip seperti keahlian menembak, atau terjun payung, tidak cukup hanya satu-dua kali mencoba saja.

Tapi terlepas dari komitmen tersebut, program esports ini juga memberi suasana baru yang menyenangkan di U.S. Army. “Bagi banyak prajurit, termasuk saya, ini seperti mimpi yang jadi nyata,” kata Sergeant 1st Class Christopher Jones di situs resmi U.S. Army, “Ini hanyalah salah satu dari banyak cara untuk membuka dialog (dengan masyarakat).”

Bagaimana dengan Indonesia? Kira-kira, perlukah program serupa diterapkan di angkatan bersenjata negara kita tercinta?

Sumber: FedScoop, U.S. Army

Capcom Luncurkan Street Fighter Pro League, Liga dengan Format ala MOBA

Dunia Street Fighter sudah memiliki sirkuit kompetisi global yang berada langsung di bawah pengawasan Capcom, yaitu Capcom Pro Tour (CPT). Namun bukan berarti Capcom Pro Tour adalah satu-satunya kompetisi resmi yang boleh ada di dunia Street Fighter. Buktinya baru-baru ini Capcom meluncurkan sebuah ajang baru dengan format liga untuk wilayah Amerika Serikat dan sekitarnya. Ajang itu disebut North American Street Fighter Pro League, atau singkatnya, SFL USA.

Berbeda dari kompetisi Street Fighter yang kebanyakan adalah pertandingan individu, SFL USA justru menggunakan format team battle tiga lawan tiga (3v3). Menurut keterangan di situs Capcom-Unity, mereka ingin menghadirkan suasana kompetisi baru dengan strategi serta drama tersendiri. Capcom juga terus aktif mendengarkan masukan dari para penggemar tentang format kompetisi baru ini.

Street Fighter V - G
G, karakter yang sedang naik daun belakangan ini | Sumber: Sony

SFL USA mempertemukan enam tim yang masing-masing beranggotakan tiga orang dari seluruh wilayah Amerika Utara. Ketiga pemain itu terdiri dari satu pemain top yang diambil dari peringkat CPT 2018 sebagai kapten, ditambah satu orang pemenang online qualifiers, dan satu lagi pemain yang terpilih dari voting komunitas. Pada permulaan season, para kapten akan memilih siapa saja pemain yang masuk ke dalam tim mereka.

Pemilihan anggota tim sangat krusial karena Capcom menerapkan aturan unik: setiap tim boleh melakukan ban terhadap satu karakter sebelum pertandingan. Setiap karakter juga hanya boleh dipilih satu kali, jadi tidak mungkin ada satu tim yang semua anggotanya pemain Akuma, misalnya. Mirip seperti MOBA, dalam SFL USA adu strategi sudah dimulai bahkan sebelum pertandingan berjalan.

Street Fighter V - Zeku
Akankah Daigo Umehara bertanding menggunakan Zeku di SFV Season 4? | Sumber: Capcom

SFL USA Season 1 akan ditayangkan setiap hari Kamis mulai bulan April 2019, dengan pertandingan final pada bulan Juni. Hanya dua tim terkuat Season 1 yang berhak maju ke SFL USA Season 2. Sementara itu Season 2 akan dimulai dengan fase Draft pada bulan Agustus, dan puncaknya pada bulan November. Tim yang menjuarai SFL USA Season 2 ini akan dinobatkan sebagai penyandang gelar North American Pro League Champion.

Pertandingan berformat team battle bukan hal baru di kompetisi fighting game. Turnamen Super Smash Bros. Ultimate yang baru diumumkan Nintendo beberapa waktu lalu pun mengusung format serupa. Tapi masih ada perdebatan tentang apakah aturan baru soal character ban ini ide bagus atau tidak. Beberapa berpendapat bahwa sistem ban akan membuat SFL USA sangat seru (dan salty), juga memunculkan banyak kejutan. Sebagian sisanya beranggapan bahwa sistem ban hanya akan membuat kompetisi jadi membosankan karena kita bisa jadi tidak bisa melihat para pemain bertarung dengan performa terbaik.

Street Fighter V - Nash
Nash belakangan mendapat buff, tapi masih sulit melakukan reversal | Sumber: Steam

Saya sendiri merasa bahwa sistem ban ini seru, tapi hanya apabila SFL USA menawarkan hadiah yang besar. Itu artinya para pemain profesional akan dituntut untuk menguasai lebih dari satu karakter bila mereka ingin meraih hasil optimal. Yang mana yang benar, kita tunggu saja ketika SFL USA diluncurkan April nanti. Sementara itu, untuk mereka yang lebih gemar menonton pertarungan satu lawan satu, Capcom Pro Tour tidak akan pergi ke mana-mana.

Sumber: Capcom-Unity

Clinton “Fear” Loomis Ungkap Pengaruh Usia terhadap Performa Atlet Esports

Karier olahraga profesional dan usia adalah dua musuh abadi yang sulit dipisahkan. Di dunia olahraga, umumnya masa jaya atau puncak kehebatan seorang atlet terjadi ketika usianya berada di sekitar 20 tahun akhir atau 30 awal. Di bawah itu, kemampuan serta pembentukan tubuh atlet itu mungkin belum maksimal. Sementara di atas itu, performa tubuhnya sudah mulai menurun. Memang ada beberapa pengecualian, seperti “King Kazu” (Kazuyoshi Miura) yang tetap bermain di liga Jepang meski usianya sudah 51 tahun. Tapi kasus seperti ini jelas sangat jarang.

Dunia esports rupanya menunjukkan tren serupa soal usia, namun lebih parah. Fear alias Clinton Loomis beberapa waktu mengungkapkannya dalam sebuah tulisan di media sosial. Fear adalah atlet Dota 2 profesional yang kini telah berusia 30 tahun. Sepanjang kariernya, ia sudah memenangkan banyak kejuaraan ternama, bahkan mengantar tim Evil Geniuses menjadi juara dunia di The International 2015. Namun ia tidak selalu menjadi pemain.

Fear pernah “pensiun” dari roster Evil Geniuses, dan beralih menjadi pelatih. Namun pada akhirnya ia kembali menjadi pemain. Kini pun, meski sudah tidak bersama Evil Geniuses, Fear masih merupakan pemain aktif di tim J.Storm. Peraihan posisi pertama Chongqing Major North America Qualifier membuktikan bahwa usia tua tidak membuat taring dan cakarnya tumpul. Sesuai namanya, Fear tetaplah pemain yang ditakuti di dunia Dota 2. Sayangnya, tidak semua atlet esports punya jalan hidup seperti Fear.

Fear - J.Storm
Fear kini berusia 30 tahun dan bermain untuk tim J.Storm | Sumber: J.Storm

Usia 30 di esports, waktunya pensiun?

“Saat ini, banyak pemain, penggemar, bahkan organisasi memperlakukan para pemain berusia 20an akhir sebagai pemain tua yang sudah hampir pensiun. Karena itulah, menjadi pemain profesional di esports, dibandingkan olahraga lainnya, adalah investasi yang buruk untuk masa depan—bahkan meskipun Anda sukses. Saya melihat banyak pemain kehilangan kepercayaan diri dan pensiun karena miskonsepsi yang muncul di kalangan komunitas ini,” demikian tulis Fear.

Bila kita bandingkan dengan dunia sepak bola misalnya, kita tidak akan bilang Cristiano Ronaldo sudah waktunya pensiun ketika usianya menginjak 30. Pesepak bola asal Portugal itu justru meraih puncak kariernya di usia 31, ketika ia memenangkan Euro 2016 dan menjadi top scorer nomor satu sepanjang masa di Real Madrid. Ronaldo di usia 31 adalah masa keemasan, tapi mengapa Fear di usia yang sama malah dianggap sudah waktunya pensiun?

“Ekspektasi karier di olahraga tradisional punya jangka waktu satu dekade lebih panjang daripada di esports,” lanjut Fear. Alasannya, salah satunya, adalah karena olahraga tradisional dari masa ke masa hampir tidak pernah berubah. Sementara esports selalu berubah, dan game yang saat ini populer bisa saja tenggelam dalam beberapa tahun ke depan.

“Wajar bila sebagian besar pemain hanya hebat di satu game tertentu saja, dan begitu game itu mati, mati pulalah masa depan mereka yang memainkannya. Saya percaya bahwa lebih mudah untuk mempelajari sebuah game ketika Anda masih muda, dibanding ketika sudah tua,” jelasnya. Ini sangat masuk akal. Meski Fear sangat ahli bermain Dota 2, belum tentu dia bisa punya prestasi yang sama bila berpindah ke League of Legends. Sama halnya seperti Cristiano Ronaldo belum tentu jadi juara Eropa bila ia pindah jadi pemain basket.

Cristiano Ronaldo - Juventus
Cristiano Ronaldo mencapai puncak kejayaan di usia 31 | Sumber: Goal.com

Pensiun karena suatu game mati itu wajar, misalnya seperti yang terjadi di dunia Heroes of the Storm baru-baru ini. Tapi menurut Fear, tidak ada alasan bagi seorang pemain untuk pensiun karena alasan usia. Hanya saja memang jarang sekali ada atlet esports yang cukup beruntung bisa memainkan satu game yang sama hingga mereka berusia 30 tahun lebih.

Dota adalah game yang sangat spesial karena game ini telah bertahan hidup selama 15 tahun lebih, sejak era Warcraft III di tahun 2003 dulu. Jadi Dota bisa menjadi lahan karier bagi atlet-atlet esports yang sudah berusia cukup tua. Dan menurut Fear, usia tidak akan membuat performa permainan seorang atlet esports menurun. Asalkan game yang dimainkan masih hidup, ia tetap terus bisa berkompetisi.

“Saya pernah mendengar argumen bahwa refleks Anda di video game menurun seiring usia bertambah, tapi saya sering memainkan tes reaksi melawan pemain yang lebih muda seperti Sumail, dan saya tetap bisa mengalahkan mereka walau dengan perbedaan usia 11 tahun,” cerita Fear.

“Saya mungkin salah satu pemain pertama yang masih bermain Dota di usia 30 tahunan, tapi saya berharap lebih banyak pemain mengikuti jejak saja karena saya percaya ini baik untuk Dota maupun esports secara keseluruhan. Penting bagi kita untuk tidak merasa terbatas atau tertekan oleh rentang usia fiktif yang dibuat-buat oleh orang yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”

Komunitas esports perlu belajar dari fighting game

Menariknya, bila kita memandang esports bukan sebagai MOBA saja, ucapan Fear justru telah terbukti benar sejak lama. Ada dunia esports di mana pemain tua sama sekali bukan hal yang langka. Dota boleh bangga karena sudah hidup selama 15 tahun, namun sebenarnya ada game kompetitif lain yang bahkan sudah hidup selama lebih dari 30 tahun: Street Fighter.

Salah satu pemain Street Fighter terbaik dunia, yang hingga kini masih bermain di level kompetitif yang tinggi, adalah Daigo Umehara dengan usia 37 tahun. Pemegang peringkat 1 Capcom Pro Tour 2018, sama-sama dari Jepang, adalah Hajime Taniguchi alias Tokido dengan usia 33 tahun. Dan masih banyak nama legenda lainnya di dunia Street Fighter seperti Justin Wong, Momochi, atau Infiltration, yang semuanya berusia di atas 30 tahun dan masih aktif, bahkan sangat ditakuti.

Tokido - Murderface
Tokido masih terlihat muda, tapi usianya sudah kepala tiga | Sumber: Echo Fox

Tren “pemain tua” ini tidak terjadi di Street Fighter saja, namun juga di fighting game lain. Di dunia Guilty Gear/BlazBlue, kita mengenal nama Ogawa Zato dan Dogura. Di dunia Dragon Ball FighterZ, ada GO1 dan Kazunoko. Di Tekken pun ada legenda-legenda seperti Qudans dan JDCR. Semuanya berusia 30an.

Fighting game punya tingkat kesulitan tinggi dan membutuhkan refleks luar biasa cepat, apalagi di dunia profesional. Oleh karena itu tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa pemain-pemain “tua” di atas punya refleks yang buruk. Persis seperti ucapan Fear, dunia fighting game sudah menunjukkan bahwa usia sama sekali bukan patokan bagi akhir karier seorang atlet esports, setidaknya untuk sekarang.

Bisa saja memang ada titik di mana refleks seorang atlet esports bisa menurun. Tapi kita belum tahu kapan itu akan terjadi. Usia 30 tahun terbukti salah, tapi bagaimana dengan usia 40? Atau mungkin 50? Tidak ada yang tahu, dan mungkin kita baru bisa mengetahuinya lewat statistik jauh di masa depan.

Keberadaan video game dan esports sendiri masih cukup baru, jadi kita belum bisa melihat dengan pasti di mana titik penurunan tersebut. Lain dengan olahraga tradisional yang sudah punya sejarah berabad-abad. Saat ini, pandangan masyarakat tentang batas usia dalam karier esports masih sebatas asumsi, dan tugas para atletlah untuk mematahkan asumsi-asumsi negatif itu. Bila atlet fighting game bisa, mengapa atlet MOBA tidak?

Sumber: Clinton “Fear” Loomis, VPEsports

Street Fighter V Season 4 Dibuka dengan Kehadiran Karakter Baru, Kage

Kejuaran tertinggi Street Fighter, Capcom Cup 2018, telah berakhir. Gachikun dari Jepang keluar sebagai juara setelah mengalahkan Itabashi Zangief dengan karakter andalannya, Rashid the Turbulent Wind. Setelahnya, seperti biasa Yoshinori Ono naik ke atas panggung. Produser Street Fighter V yang terkenal sangat menyukai karakter Blanka itu memberi sebuah pengumuman bagi para penggemar.

Bila Anda masih ingat, tahun lalu Capcom membuat kehebohan karena langsung mengumumkan enam karakter baru sekaligus. Namun kali ini mereka tampaknya sedikit menahan diri. Sebagai pembuka tahun 2019 yang juga merupakan Season 4 dari Street Fighter V, Capcom hanya mengumumkan satu karakter baru, yaitu Kage.

Sekilas Kage sangat mirip dengan Evil Ryu. Bahkan, bila Anda menonton langsung pengumuman pertamanya, mungkin Anda tidak akan menyangka bahwa ternyata dia adalah karakter baru. Selama ini kita kenal Evil Ryu sebagai wujud jahat dari Ryu yang telah teracuni oleh kekuatan Satsui no Hado. Akan tetapi, sebetulnya Evil Ryu tidak pernah masuk ke dalam cerita canon Street Fighter. Ia hanya skenario “what if”, seperti apa jadinya bila Ryu gagal melawan godaan kekuatan jahat dalam dirinya.

Di Street Fighter V kali ini, dikisahkan bahwa Ryu berhasil menolak Satsui no Hado dan meredamnya dengan bantuan The Power of Nothingness (Mu no Ken). Namun ternyata kekuatan itu memberontak keluar, membentuk wujud fisik sebagai petarung manusia. Dialah Kage, personifikasi Satsui no Hado sekaligus bayangan dari Ryu. Nama “Kage” sendiri dalam bahasa Jepang berarti “bayangan”.

Kage - Screenshot
Kage, mirip Evil Ryu tapi berbeda | Sumber: Capcom

Kage memiliki beberapa gerakan yang mirip dengan Ryu, dua yang paling jelas adalah gerakan Shoryuken dan Hadoken. Bedanya, Hadoken milik Kage tidak memunculkan proyektil bila dilakukan di darat, melainkan pukulan energi jarak dekat saja. Ini artinya Kage berbeda dengan karakter tipe shoto lainnya yang bisa melakukan zoning dengan mudah. Alih-alih ahli proyektil, Kage justru lebih fokus pada serangan jarak dekat dengan combo dan damage mematikan.

Kage juga tidak memiliki gerakan Tatsumaki Senpu Kyaku (tendangan berputar). Sebagai gantinya ia memiliki tendangan kuat yang disebut Kurekijin. Ia juga memiliki tendangan Ryusokyaku (axe kick), serupa dengan Evil Ryu di Street Fighter IV.

Kage - V-Skill
V-Skill milik Kage | Sumber: Capcom

V-Skill milik Kage adalah pukulan kuat yang memiliki kekebalan, mirip dengan Focus Attack di Street Fighter IV. Sementara itu V-Trigger I yang disebut Taigyaku Mudo memberikan keahlian teleportasi (Ashura Senku) seperti Akuma, namun lebih cepat dan dapat digunakan di udara! Ya, Kage adalah karakter yang sangat berpusat pada combo, termasuk air combo yang sebetulnya bukan ciri khas seri Street Fighter.

Kage - V-Trigger I
Ashura Senku versi Kage dapat dilakukan di udara | Sumber: Capcom

V-Trigger II miliknya yang disebut Rikudo Osatsu adalah serangan yang sangat menakutkan. Kage melakukan teleportasi ke atas musuh, lalu melancarkan pukulan kuat ke darat. Teleportasi ini bisa dilakukan kapan saja, termasuk di udara, dan dapat menyerang musuh yang sedang terjatuh (off the ground). V-Trigger II juga memberi akses ke jurus Shun Goku Satsu (Raging Demon) seperti Akuma. Bedanya, Kage dapat mengeluarkan Shun Goku Satsu di tengah combo! Capcom menyebut Kage sebagai seorang “glass cannon”, dan tampaknya ia memang memiliki potensi combo yang cukup mengerikan.

Kage - V-Trigger II
Mirip seperti V-Trigger I milik Akuma, tapi lebih fleksibel | Sumber: Capcom

Kage sudah bisa dimainkan mulai hari ini. Anehnya, Capcom tidak merilis Season Pass seperti biasanya. Menurut Andy Wong di situs Capcom-Unity, mereka akan “mencoba sesuatu yang baru” di Season 4 ini, entah apa yang dimaksud. Kage dapat Anda beli secara standalone dengan harga US$5,99 atau dengan Fight Money senilai 100.000 FM.

Sumber: Capcom-Unity

Bawa “Tuah” dari Indonesia, Gachikun Sabet Gelar Juara Capcom Cup 2018!

Akhir pekan ketiga di bulan Desember ini merupakan akhir pekan yang “panas” bagi para penggemar Street Fighter. Selama tiga hari dari tanggal 14 hingga 16 Desember, Capcom menggelar acara puncak kompetisi Street Fighter V tingkat dunia, yaitu Capcom Cup 2018, di HyperX Esports Arena Las Vegas. Dengan total hadiah senilai US$400.000, Capcom Cup 2018 tidak hanya merupakan pertaruhan gelar dan harga diri tapi juga pertaruhan uang yang cukup besar.

Pemain yang bertanding di Capcom Cup 2018 datang dari beberapa jalur. Selain MenaRD sang juara bertahan, Capcom juga mengadakan kualifikasi regional di empat wilayah yaitu Eropa, Asia/Oseania, Amerika Latin, dan Amerika Utara. Kemudian mereka mengambil 27 pemain Street Fighter V dengan perolehan poin Capcom Pro Tour tertinggi sepanjang 2018.

Sayangnya, salah satu partisipan yaitu Infiltration (Seon-woo Lee) akhirnya mengundurkan diri karena terlibat suatu skandal. Capcom pun membuka satu slot kualifikasi terbuka, atau “Last Chance Qualifier” untuk mencari pemain ke-32. Last Chance Qualifier ini kemudian dimenangkan ZJZ (Chia Chen) dari Taiwan.

Para unggulan gugur di 32 besar

Pertandingan 32 besar memberikan hasil yang cukup mengejutkan. Nama-nama unggulan berguguran di sini, termasuk Daigo “The Beast” Umehara, Tokido yang memegang peringkat 1 Capcom Pro Tour, MenaRD yang berusaha mempertahankan gelar, hingga Punk yang baru saja juara Capcom Pro Tour North American Finals.

Capcom Cup 2018 2

Singkat cerita, babak 32 besar merupakan babak penuh kejutan, menghasilkan jajaran kontenstan Top 8 yang cukup berbeda dari turnamen pada umumnya. Pemegang posisi delapan besar itu adalah:

  • Gachikun
  • Bonchan
  • Fujimura
  • Justin Wong
  • AngryBird
  • Itabashi Zangief
  • Xian
  • Momochi

Capcom Cup 2018 seolah jadi ajang “comeback” wajah-wajah lama yang beberapa waktu terakhir sedang tenggelam. Momochi yang sempat juara EVO 2015, di era Street Fighter V ini cukup terpuruk dan jarang memenangkan turnamen. Gachikun adalah nama yang sudah familier di dunia Street Fighter, namun ia baru mulai bermain secara profesional sejak 2017 ketika ia bergabung dengan tim Red Bull Esports. Bonchan sempat digadang-gadang sebagai salah satu pemain Nash terbaik di Street Fighter V, akan tetapi sejak Nash mendapat nerf ia pun ikut terseok.

AngryBird (Amjad Alshalabi) yang berasal dari Uni Emirat Arab tampil cukup mengejutkan dengan karakter Zeku yang termasuk mid tier. Begitu pula Momochi dengan Kolin, karakter yang juga jarang terlihat menjadi juara turnamen. Peserta paling mengejutkan mungkin Xian. Sepanjang 2018 ini karier Xian tergolong redup, ia hanya berhasil meraih juara di satu turnamen saja. Karena itu, melihat Xian maju ke Top 8, apalagi akhirnya meraih peringkat empat Capcom Cup, rasanya cukup mengesankan.

Grand Final dihiasi ronde-ronde Time Over

Grand Final mempertemukan Gachikun dengan Itabashi Zangief, alias “Itazan”. Gachikun mengandalkan Rashid, sementara Itazan kini menjagokan Abigail. Sebetulnya Itazan dikenal sebagai pemain Zangief terbaik di dunia, namun di Street Fighter V ini Zangief sangat sulit digunakan apalagi secara kompetitif. Keputusan Itazan berpindah ke Abigail wajar, mengingat Abigail punya beberapa ciri khas Zangief namun dengan potensi combo serta tools yang lebih banyak.

Rashid sendiri juga jarang digunakan oleh pemain profesional. Selain Gachikun, pemain lain yang mengandalkan Rashid mungkin hanya John Takeuchi, dua-duanya berasal dari Jepang. Di babak Grand Final ini, Itazan yang datang dari Losers’ Bracket harus meraih kemenangan dua set melawan Gachikun untuk jadi juara.

Set pertama dimenangkan oleh Itazan dengan cukup telak. Itazan dapat memanfaatkan celah-celah serangan Gachikun untuk melakukan serangan balik ber-damage luar biasa besar, dan ini tampaknya membuat Gachikun sedikit panik. Ia banyak melakukan kesalahan yang berujung pada Crush Counter, membuatnya kehilangan banyak nyawa dengan sia-sia. Gachikun yang biasanya bermain sangat menekan, kini justru tampak kebingungan menembus pertahanan Itazan. Beberapa kali Gachikun kalah gara-gara Time Over sebelum akhirnya takluk dengan skor 3-0.

Untungnya, Gachikun berhasil mendapatkan kembali konsentrasinya di set kedua. Ia kembali menunjukkan serangan-serangan agresif serta mixup yang membingungkan. Selain itu, Gachikun sangat cerdik menjaga jarak dan melakukan whiff punish di saat-saat yang tepat. Itazan sempat meraih angka, tapi akhirnya Gachikun keluar sebagai juara dengan skor 3-1.

Berkah kemenangan di Indonesia?

Sebagai juara Capcom Cup 2018, Gachikun berhak membawa pulang piala serta uang hadiah senilai US$250.000 (sekitar Rp3,6 miliar). Sebuah pencapaian yang mengagumkan, menjuarai turnamen puncak Street Fighter V hanya setahun setelah debutnya di dunia profesional. “Saya yakin bisa jadi juara dunia. Tidak menyangka secepat ini, tapi saya yakin saya bisa,” demikian ungkap Gachikun dalam wawancara di tayangan live streaming selepas pertandingan.

Gachikun - Capcom Cup 2018 Prize
Yoshinori Ono menyerahkan gelar juara pada Gachikun | Sumber: Capcom

Menariknya, sepanjang 2018 Gachikun hanya punya dua gelar juara. Gelar pertama Gachikun diraih di Indonesia pada bulan Juli lalu, dalam kompetisi Abuget Cup 2018. Abuget Cup memang merupakan bagian dari Capcom Pro Tour, jadi banyak pemain luar negeri yang datang ke acara tersebut untuk berebut CPT Point. Mungkin keberhasilan Gachikun di Capcom Cup 2018 kali ini berkat “tuah” yang ia dapat dari kemenangan di Indonesia tersebut.

Ketika ditanya oleh James Chen, akan digunakan untuk apa uang hadiah tersebut, Gachikun sempat berpikir lama. Tapi kemudian ia menjawab, “Saya akan membangun rumah.” Beda dari pemain-pemain profesional Jepang yang kebanyakan datang dari Tokyo, Gachikun tinggal di wilayah pinggiran Hiroshima. Jadi kemenangan ini merupakan kebanggan tersendiri bagi kampung halaman Gachikun. Selamat untuk Gachikun, dan sampai jumpa di Capcom Pro Tour 2019!

Disclosure: Artikel telah diubah pada tanggal 17-12-2018 untuk memperjelas gambaran pertandingan

Digelar Minggu Ini, Simak Segala Hal yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Capcom Cup 2018

Capcom Cup ialah turnamen game fighting tahunan yang diselenggarakan oleh Capcom sejak 2013. Di ajang esports tersebut, sang publisher/developer Jepang itu mempersilakan para jawara Street Fighter untuk saling menguji kemampuan satu sama lain. Acara tahun ini rencananya akan dilangsungkan di HyperX Esports Arena Las Vegas selama tiga hari, dari tanggal 14 sampai 16 Desember 2018.

Mendekati digelarnya event puncak dari Capcom Pro Tour 2018 tersebut, Capcom menyingkap sejumlah detail yang perlu diketahui mengenai Capcom Cup 2018. Di sana, para peserta akan memperebutkan porsi terbesar dari total hadiah sebesar US$ 400 ribu. Penyelenggara masih mempersilakan penonton dan komunitas untuk berkontribusi menambah total prize pool dengan membeli DLC CPT 2018 buat permainan Street Fighter V: Arcade Edition.

Capcom Cup 2018 dimulai pada hari Jumat besok melalui penyisihan ‘Last Chance Qualifier’. Babak ini akan menjadi sesi yang paling ketat kompetitif karena Capcom membuka kesempatan bagi 200 pemain untuk memperebutkan kursi ke-32. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, sangat sulit memprediksi siapa yang akan keluar jadi delapan besar, dan Last Chance Qualifier membuat perhitungannya bertambah rumit lagi.

Ambil contohnya Capcom Cup 2017. Saat itu, Liquid Nemo berhasil memenangkan sesi LCQ dan ternyata pro gamer asal Jepang ini juga keluar sebagai juara ketiga.

Selanjutnya, pertarungan ronde pertama akan dilaksanakan hari Sabtu 15 Desember, pukul 10:00 pagi waktu Pasifik. Babak ini akan mempertandingkan 32 pemain – termasuk pemenang Last Chance Qualifier 2018. Daftar peserta lengkapnya bisa Anda simak di bawah, tapi penyelenggara juga mengingatkan bahwa susunan bracket sewaktu-waktu dapat berubah.

Capcom Cup 2018 2

Hari minggu tanggal 16 Desember akan menjadi momen puncaknya. Tapi sebelum babak perempat final berlangsung, Capcom terlebih dulu menggelar pertandingan ekshibisi Street Fighter 30th Anniversary Collection: Champions Collide yang memperlombakan game Super Street Fighter II Turbo dan diikuti oleh Alex Valle, John Choi, Afrolegends, serta Damdai.

Capcom Cup 2018 1

Lalu tepat jam 13:00, barulah pertarungan memperebutkan Top 8 dimulai. Dengan total hadiah mendekati US$ 400 ribu, pemenang pertama berkesempatan membawa pulang sebesar US$ 250 ribu – atau lebih dari Rp 3,6 miliar.

Capcom Cup 2018 3

Capcom Cup 2018 di HyperX Esports Arena Las Vegas baru akan terbuka untuk publik pada hari Sabtu dan Minggu. Selain menonton pertandingan dan pertunjukan dari Super Cr3w serta DJ Qbert, Capcom mempersilakan para pengunjung buat mencicipi demo game yang tengah developer garap, yaitu remake dari Resident Evil 2 serta Devil May Cry 5.

Sumber: CapcomProTour.com.

Toxic Behavior in Online Gaming, Is it Necessary?

Toxic behavior has become a persistence issue in online gaming industry, especially online gaming competitive. If you often play games, such as Dota 2, Mobile Legends, or Overwatch, you must have seen people with this habit. Emotional, blaming others, using bad words, and selfish are only some of the toxic characteristics.

What actually causes toxic behavior to arise? Is it inevitable? What’s the impact? is it always positive or negative? Through this article, I’ll invite you to reflect. Not to patronize or judge, but to create a game ecosystem that can be enjoyed by everyone. Let’s go!

MLBB Official Forum
Source: MLBB Official Forum

Toxic is a choice

There’s no standard definition of toxic behavior, generally we define it as a behavior that intentionally disturb other people’s convenience. The type of toxic behavior in each game can be vary, but generally, it’s a social interaction that includes cyber-bullying, disturbing other players, acting nosy, cheating, and many more.

As the slogan from one of the popular private tv shows, toxic behavior occurs not only because of the intention but also an opportunity. Based on the research conducted by the Haewoon Kwak (Qatar Computing Research Institute), there are some things that make online game is a place for toxic behavior, such as:

  • Competitive Element. The nature of competitive online games makes us put the victory over everything and feels like the game is not fun if we didn’t win.
  • Anonymous. Because we use nickname, and most likely won’t meet directly with the other players, we kind of feel free to say anything or act like there’s no consequence in online gaming.
  • Counterfactual thinking. A psychological phenomenon where unwanted things happened, we tend to imagine the alternate event. For example, “If only our marksman had attacked the Lord, we must’ve been win by now!” Counterfactual thinking can have positive impact (evaluation material), it can also trigger us to blame others.
  • Negative social culture. When we grow up in an individualist society, where there’s no empathy, or having fun watching other people suffer, it’s a matter of time to get those bad things arise in us. Online gaming offers the opportunity.
Blizzard always watch out for toxic players in Overwatch
Blizzard always watch out for toxic players in Overwatch | Source: Blizzard

We can say the toxic behavior will not happen if all the team members play fair. In fact, no matter how good the team plays, there’ll be winner and loser in competitive games. Dota 2 statistics for example, shows the average players in the world has a win ratio around 50%. It means, losing five of ten matches is normal. If you have win rate up to 60% or 70%, you are worthy to be a professional esport player.

The question is, how do we react to the defeat? Accepting well that your opponent is better, or angry about it, like certain supporters making riot when their favorite team lose? We might not be able to control the result, but at least ourselves.

Toxic is fun, but…

“Trash talk is part of the game, bro,” said one of the players I met on a Dota 2 match in Southeast Asia. There are some people who enjoy toxic behavior, regardless of the game results. This type of person might be happy to see other people suffer, at least in cyberspace.

Better focus on battling than cursing
Better focus on battling than cursing | Source: Microsoft

I can’t stop or control what makes people happy, and I think it makes sense if someone gets a pleasure from being toxic. Maybe they’re being exposed to a superiority complex phenomenon – bring other people down and being arrogant to cover the flaws in cyberspace. One thing they didn’t aware is the pleasure obtained from sacrificing greater pleasure: victory.

Let’s ask ourselves. When our team play bad, do we act like toxic to make them play better? When our team losing, do we say bad words to make them win? I think we all know the answer. No. Then why do we act like toxic?

One thing that might be an explanation to this behavior is, we act like toxic to create some happiness even if we’re losing. Losing is not good, and toxic behavior can help us reduce the bad feeling. Anyhow, this is a mental for losers.

A champion will not go down by hard times
A champion will not go down at hard times | Source: PGL esports

There’s a popular jargon in MOBA world, “Comeback is real.” No matter how bad the game is, if we keep fighting, there’ll always possibility to reverse the situation. The same thing mentioned by a popular Street Fighter athlete, Daigo Umehara, in its book titled The Will to Keep Winning. Even though the opponent is way stronger, as long as the screen doesn’t say K.O, there’s always a chance for victory.

In my opinion, winning the hard way until a comeback like this is the most satisfying victory. Not only satisfied of the win, but also the way to escape from unfortunate situation. Winning against strong enemies is more valuable than winning against those weaker players.

Competitive is fine, just stay sportive and positive

Think of playing the competitive game as a marshmallow test. Toxic behavior might help us feel great or happy for a moment, but in the long run, it’ll accumulate and bring harm to ourselves. For example, I often heard people complain about their favorite MOBA game is dull, as one of the reasons is the toxic players.

MOBA, but...? (fill the blank)
MOBA, but…? (fill the blank) | Source: Nintendo

Spending time for cursing or insulting people in cyberspace can spread into real life. Moreover, the words used by toxic players in Mobile Legends are kind of harsh. Not only telling people stupid, but they often bring up parents or SARA. We didn’t know, whether they’re teenagers, folks, or elementary children, everyone is similar under the shield of anonymity.

There are some things we can do to reduce toxic behavior in competitive gaming. E.g:

  • Frequently play fighting games. Although competitive, fighting game is different with team-based game, such as MOBA or some first-person shooter. In fighting game, the only person responsible of the game is ourselves. It’ll train our mental to accept defeat and introspection, rather than blaming external factors.
  • Following influencers with positive behavior. In the current informatics era, parents role in educating children is getting smaller. Influencers like Youtuber or streamer have a big influence in building someone’s character. In order to gain the positive habit, it’s best to avoid toxic YouTubers, and often watch the humble and cool ones.
  • Play with friends. One of the reason why toxic behavior arise is because we play anonimously. Play with people we knew will eliminate the anonymity, so we can be motivated to help each other. On average, online games have a kind of guild or lobby feature, we have to use this better.
  • Turn off chat. Sometimes we act like toxic as a form of revenge. There’s nothing wrong with turning off chat feature to avoid it. Without chat feature, it might help us to focus on the game to win.
Hurt? Your fault
Hurt? Your fault | Source: Steam

Currently, the esports industry is getting popular in Indonesia. However, it won’t happen without support from non-professional gamers community as loyal fans. We need to continue growing positive culture so that our favorite game can be more popular and attract new players.

Eliminating old habit is not easy, but I’m sure we can do it. How about you? Have you been playing sportive today?


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

[Opini] Sikap Toxic Saat Bermain Game Online, Perlukah?

Perilaku toxic sudah lama menjadi masalah yang persisten di dunia game online, terutama game online kompetitif. Anda yang sering bermain game sejenis Dota 2, Mobile Legends, atau Overwatch pasti pernah bertemu dengan orang-orang dengan sikap seperti ini. Emosional, menyalahkan orang lain, menggunakan kata-kata kasar, dan merasa benar sendiri adalah beberapa karakteristik gamer yang toxic.

Tidak hanya pemain lain, jangan-jangan mungkin Anda sendiri pun pernah bersikap toxic ketika bermain game. Saya juga termasuk salah satu gamer yang memikul beban kesalahan ini. Sebagian orang menganggap bahwa sikap toxic adalah bagian dari permainan, dan mereka mendapat kesenangan dari melakukannya. Sebagian lainnya, seperti saya, tahu bahwa sikap ini salah, tapi tetap saja terkadang tidak bisa menahan diri untuk tak melakukannya.

Sebetulnya apa sih yang menyebabkan perilaku toxic muncul dalam diri kita? Apakah memang sikap ini tak bisa dihindari? Apa dampak yang ditimbulkannya, apakah selalu negatif atau ada sisi positifnya? Melalui tulisan ini saya akan mencoba mengajak Anda untuk merenung bersama. Bukan untuk menggurui atau menghakimi, tapi demi menciptakan ekosistem game yang lebih asik dan dapat dinikmati semua orang. Mari.

Mobile Legends
Sumber: MLBB Official Forum

Toxic adalah pilihan

Tidak ada definisi yang baku tentang apa itu perilaku toxic, tapi secara umum kita dapat mengartikannya sebagai perilaku yang merusak kenyamanan orang lain secara sengaja. Tipe perilaku toxic di setiap game bisa berbeda-beda, namun secara umum perilaku toxic di game online adalah interaksi sosial yang meliputi cyberbullying, mengganggu pemain lain, bertingkah usil/ngawur, main curang, dan sebagainya.

Seperti slogan salah satu acara televisi swasta populer dulu, perilaku toxic terjadi tidak hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Menurut riset yang dilakukan oleh Haewoon Kwak (Qatar Computing Research Institute), ada beberapa hal yang membuat game online rawan menjadi tempat munculnya perilaku toxic, antara lain:

  • Elemen kompetitif. Natur berbagai game online yang kompetitif membuat kita terdorong untuk mengutamakan kemenangan di atas segala-galanya, dan kita akan merasa bahwa game itu tidak fun bila kita tidak menang.
  • Anonimitas. Karena kita berlindung di balik nickname, dan kemungkinan besar tidak akan bertemu langsung dengan orang-orang yang bermain bersama kita, kita jadi merasa bahwa semua ucapan atau perbuatan kita di game online tidak memiliki konsekuensi.
  • Counterfactual thinking. Sebuah fenomena psikologi di mana ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, kita cenderung membayangkan kejadian alternatifnya. Sebagai contoh, “Andai tadi Marksman kita menyerang Lord, saat ini kita pasti sudah menang!” Counterfactual thinking bisa berdampak positif (bahan evaluasi), tapi juga bisa mendorong kita untuk menyalahkan orang lain.
  • Kultur sosial negatif. Ketika kita tumbuh di kalangan masyarakat yang individualis, tidak mengajarkan empati, atau senang melihat orang lain susah, tinggal menunggu kesempatan saja sebelum keburukan-keburukan itu muncul dari diri kita. Game online menawarkan kesempatan tersebut.
Overwatch
Blizzard selalu berusaha menjaga agar Overwatch jauh dari pemain toxic | Sumber: Blizzard

Kita bisa saja beralasan, bahwa perilaku toxic tidak akan terjadi apabila semua anggota tim bermain dengan baik. Tapi pada kenyataannya, sebaik apa pun permainan tim, dalam game kompetitif pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Statistik Dota 2 misalnya, menunjukkan bahwa rata-rata pemain di seluruh dunia hanya memiliki rasio kemenangan sekitar 50%. Itu artinya, kalah lima kali dari sepuluh pertandingan adalah hal yang normal. Bila Anda mempunya win rate hingga 60% atau bahkan 70%, Anda sudah layak jadi pemain esports profesional.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita bereaksi terhadap kekalahan tersebut? Menerima dengan lapang dada bahwa permainan lawan memang lebih baik, atau malah marah-marah, seperti pendukung olahraga tertentu yang membuat kerusuhan saat tim kesayangannya kalah? Kita mungkin tidak bisa mengendalikan hasil permainan, tapi setidaknya kita harus bisa mengendalikan diri.

Toxic itu asik, tapi…

“Trash talk is part of the game, bro,” demikian kata salah seorang pemain yang saya temui di sebuah match Dota 2 server Asia Tenggara. Ada sebagian orang yang menikmati perilaku toxic, terlepas dari hasil permainan itu sendiri apakah dia atau kalah. Mungkin tipe orang seperti ini juga senang melihat orang lain susah, setidaknya di dunia maya.

Tekken 7
Lebih baik fokus adu skill daripada adu makian | Sumber: Microsoft

Saya tidak bisa melarang atau mengatur apa yang membuat seseorang senang, dan saya rasa masuk akal bila ada orang yang mendapat kesenangan dari bersikap toxic. Mungkin dia sedang terkena fenomena superiority complex—dia menjatuhkan orang lain dan bersikap sombong di dunia demi menutupi kelemahannya di dunia nyata. Tapi satu yang mungkin dia tak sadar, kesenangan itu didapatkannya dengan mengorbankan kesenangan yang lebih besar: kemenangan.

Coba kita tanya kepada diri sendiri. Ketika ada tim kita yang bermain buruk, apakah dengan kita bersikap toxic maka dia akan bermain lebih baik? Ketika tim kita sedang kalah, apakah dengan memaki-maki teman setim maka kita akan berbalik menang? Saya rasa kita semua sudah tahu jawabannya. Tidak. Lalu mengapa kita tetap berlaku toxic?

Satu hal yang mungkin bisa jadi penjelasan atas perilaku ini, adalah bahwa kita bersikap toxic agar setidaknya kita mendapat suatu kesenangan meskipun sedang kalah. Kalah itu tidak enak, dan perilaku toxic bisa jadi pelampiasan untuk sedikit mengurangi rasa tidak enak tersebut. Tapi mental seperti ini adalah mental orang yang mudah menyerah.

Virtus.pro - Kuala Lumpur Major
Mental juara itu tidak putus asa di saat sulit | Sumber: PGL Esports

Ada sebuah jargon yang populer di dunia MOBA, yaitu, “Comeback is real.” Segawat apa pun kondisi permainan, selama kita tidak putus asa, selalu ada kemungkinan kita bisa mengembalikan keadaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh atlet Street Fighter terkenal, Daigo Umehara, dalam bukunya yang berjudul The Will to Keep Winning. Walaupun lawan punya keunggulan jauh, selama layar belum menunjukkan kata K.O., selalu ada peluang untuk meraih kemenangan.

Menurut saya, kemenangan yang diraih dengan susah payah hingga comeback seperti ini justru adalah kemenangan yang paling memuaskan. Tidak hanya puas karena menang, namun ada tambahan kepuasan karena kita berhasil lepas dari sebuah kondisi yang tidak menguntungkan. Menang melawan musuh yang kuat itu lebih berharga daripada menang melawan musuh yang jelas-jelas lebih lemah dari kita.

Boleh kompetitif, tapi tetap sportif dan positif

Anggaplah bermain game kompetitif sebagai sebuah marshmallow test. Perilaku toxic mungkin bisa membuat kita merasa senang atau hebat sesaat, tapi di jangka panjang, perilaku itu akan menumpuk dan mendatangkan kerugian bagi kita sendiri. Sebagai contoh, saya sering dengar orang mengeluh bahwa game MOBA kesukaannya sepi pemain, padahal salah satu penyebab sepinya adalah karena banyaknya pemain toxic yang membuat tidak betah.

Arena of Valor
MOBA kok…? (isi sendiri) | Sumber: Nintendo

Terlalu sering memaki atau menghina orang di dunia maya, lama-kelamaan juga bisa menular ke kehidupan nyata kita. Apalagi kata-kata kasar yang digunakan oleh para pemain toxic di game semacam Mobile Legends sudah cukup keterlaluan. Tidak hanya mengatai bodoh saja, sudah banyak yang sering memaki dengan membawa-bawa orang tua atau bahkan isu SARA. Dan kita tidak tahu, apakah pemain toxic itu remaja, bapak-bapak, atau anak SD, semuanya sama di balik perisai anonimitas internet.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kebiasaan toxic di game kompetitif. Contohnya seperti:

  • Sering-sering main fighting game. Meski sama-sama kompetitif, fighting game berbeda dengan game berbasis tim seperti MOBA atau beberapa first-person shooter. Dalam fighting game, satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas permainan adalah diri kita sendiri. Ini akan melatih mental kita untuk berani menerima kekalahan dan berintrospeksi, daripada menyalahkan faktor luar.
  • Mengikuti influencer dengan kepribadian positif. Di era informasi sekarang ini peran orang tua dalam mendidik anak semakin menipis. Sadar atau tidak, influencer seperti YouTuber atau streamer punya pengaruh besar dalam menumbuhkan kebiasaan seseorang. Agar kita tertular kebiasaan positif, sebaiknya hindari YouTuber yang toxic, dan sering-seringlah menonton YouTuber yang humble dan santai.
  • Bermain bersama teman. Sikap toxic muncul salah satunya karena kita bermain secara anonim. Bermain dengan orang-orang yang sudah kenal akan menghilangkan anonimitas tersebut, sehingga kita akan lebih terdorong untuk saling membantu. Rata-rata game online memiliki fitur semacam guild atau lobby, ini harus kita manfaatkan sebaik mungkin.
  • Mematikan chat. Terkadang kita bersikap toxic sebagai bentuk balasan atas pemain lain yang bersikap toxic duluan. Tidak ada salahnya kita matikan fitur chat untuk menghindari hal tersebut. Bisa jadi, tanpa chat justru kita akan bisa bermain lebih fokus sehingga lebih mudah memenangkan permainan.
Street Fighter V - Alex
Sakit? Salah sendiri | Sumber: Steam

Saat ini iklim esports Indonesia sedang tumbuh pesat. Namun pertumbuhan itu tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari komunitas gamer nonprofesional yang menjadi penggemar setia. Kita perlu terus menumbuhkan kultur positif agar game yang kita sukai bisa semakin menyebar luas dan menarik minat para penggemar baru.

Menghilangkan kebiasaan yang sudah berjalan lama memang tidak mudah, tetapi saya yakin kita bisa melakukannya. Bagaimana dengan Anda? Sudah sportifkah Anda hari ini?