idEA dan Kemenkominfo Sosialisasikan “Safe Harbour Policy”

Dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2016 yang diterbitkan akhir tahun 2016 lalu, secara jelas tertulis mengenai aturan untuk penyelenggara e-commerce, baik penyedia platform e-commerce yang bersifat user generated content (UGC) maupun pedagang (merchant) atau yang disebut Safe Harbour Policy.

Meskipun bentuknya masih dalam bentuk Surat Edaran, pemerintah melalui Kementerian Kominfo belum bersedia untuk membuat Peraturan Menteri serta memberikan sanksi atau hukuman kepada pelaku dalam hal ini penjual yang secara ‘nakal’ mengunggah konten (barang/jasa) yang dilarang di platform e-commerce atau marketplace.

“Saya melihat tidak bisa secara langsung dibuat Peraturan Mentri terkait dengan Safe Harbour Policy ini, karena dinamika layanan e-commerce yang kerap berubah. Peraturan Menteri sifatnya adalah mutlak dan jelas, sehingga agak sulit diterbitkannya Peraturan Menteri segera. Dengan adanya Surat Edaran diharapkan bisa menjadi langkah awal,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara kepada media hari ini.

Surat Edaran ini berusaha memberikan rasa aman dan memberikan jaminan bagi pengguna layanan e-commerce (UGC). Surat edaran ini secara spesifik mengatur kewajiban dan tanggung jawab penyedia platform layanan e-commerce dan merchant dalam mengunggah konten dagangan produk atau jasa mereka.

“Dengan Surat Edaran ini secara langsung bisa ditetapkan batasan tanggung jawab secara jelas, sehingga pihak layanan e-commerce seperti Tokopedia tidak lagi menjadi pihak yang bertanggung jawab, ketika ada penjual yang menjual barang atau jasa yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku,” kata CEO Tokopedia William Tanuwijaya selaku Pengawas Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA)

Penyedia platform diwajibkan menyediakan sarana pelaporan, melakukan tindakan terhadap aduan, hingga memperhatikan jangka waktu penghapusan dan/atau pemblokiran terhadap pelaporan konten (penjual) yang dilarang.

“Dengan adanya Surat Edaran ini adalah satu langkah untuk edukasi kepada seluruh stakeholder di Indonesia, sehingga kalau misalnya ada masalah, tidak perlu dipanggil secara offline para pendiri dari layanan e-commerce ke kantor polisi atau pihak terkait lainnya, namun ada prosedur online yang bisa ditempuh terlebih dahulu,” kata William.

Sosialiasi dan edukasi kepada anggota idEA

Sebagai asosiasi yang menjadi wadah para pelaku layanan e-commerce di Indonesia, idEA bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi kepada anggota untuk selalu memperhatikan konten yang tidak sesuai dengan ketentuan serta membuat pilihan laporan di masing-masing platform. Aulia E. Marinto selaku CEO Blanja sekaligus Ketua Umum idEA menghimbau pelaku layanan e-commerce lebih agresif melakukan sosialisasi dan edukasi.

“Dengan adanya Surat Edaran ini artinya sudah ada pintu untuk melaporkan jika adanya barang-barang yang dijual dengan memanfaatkan platform terkait tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan berisiko membahayakan. Nantinya laporan tersebut bisa diteruskan kepada pihak terkait [Polisi, BPOM] untuk kemudian ditindaklanjuti,” kata Aulia.

Aulia kembali menegaskan karena sifatnya adalah laporan, idEA maupun Kementerian Kominfo tidak bisa langsung memberikan sanksi atau hukuman kepada penjual nakal tersebut. Masing-masing layanan e-commerce berhak untuk menerapkan prosedur masing-masing mulai dari memberi peringatan hingga penurunan konten.

“Dengan adanya Safe Harbour Policy ini setidaknya kami dari pelaku industri merasa lebih nyaman untuk mengembangkan industri, sehingga kami bisa fokus untuk berinovasi dengan beragam layanan,” kata Aulia.

Saat ini Surat Edaran belum mengatur bagi pemain user generated content (UGC) asing seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Platform tersebut tidak bersifat lokal sehingga masih belum bisa disertakan dalam Surat Edaran yang ada saat ini. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bakal dibuat aturan lebih jelas untuk platform UGC asing tersebut.

Bank Indonesia Longgarkan Aturan Layanan Keuangan Digital

Pemerintah tampaknya sangat mendukung layanan keuangan digital (LKD). Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang mendukung LKD ini adalah Surat Edaran Nomor 18/21/DKSP tentang Kemudahan Layanan Keuangan Digital yang dikeluarkan BI. LKD atau yang merupakan bagian dari teknologi finansial ini merupakan salah satu sektor yang dinilai bisa memberikan banyak dampak positif. Seperti menunjang transaksi cashless dan juga kemudahan untuk berbagai macam transaksi.

Surat edaran ini secara garis besar mengandung tujuh aspek mengenai LKD. Aspek-aspek tersebut meliputi peningkatan batas tertinggi uang elektronik terdaftar yang semula 5 juta menjadi 10 juta Rupiah, penyesuaian pengaturan pelaksanaan uji coba penyelenggaraan uang elektronik, kemudahan dari BI untuk penyelenggara uang elektronik yang telah mendapat izin, dan beberapa hal lainnya.

Dari beberapa poin yang tertuang dalam surat edaran tersebut bisa disimpulkan BI sedikit melonggarkan aturan-aturan mengenai LKD ini. Terbitnya surat edaran ini disambut positif oleh bankir. Mereka yang terjun dalam LKD berharap dengan adanya pelonggaran aturan ini bisa meningkatkan jumlah dan nilai transaksi uang elektronik.

Direktur Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) memprediksi kenaikan batas plafon uang elektronik ini akan mampu meningkatkan transaksi dan juga semakin mendorong invasi produk uang elektronik. Hal senada juga dilontarkan Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso Liem. Ia menilai bisnis uang elektronik akan semakin berpeluang tumbuh lebih cepat dengan adanya penambahan plafon ini. Efek lain yang bisa ditimbulkan adalah semakin leluasanya para nasabah dalam bertransaksi.

Dalam surat edaran yang diterbitkan BI ini juga disebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan penggunaan uang elektronik dan mendorong peningkatan transaksi non tunai.

Menkominfo Terbitkan Surat Edaran, Wajibkan OTT Bayar Pajak

Menkominfo Rudiantara akhirnya menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Melalui Internet atau yang lebih dikenal dengan Over the Top (OTT). Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa OTT asing memiliki kewajiban berbentuk badan usaha tetap di Indonesia dan berkontribusi dalam pembayaran pajak.

Surat edaran yang diterbitkan Kamis (31/3) tersebut diunggah di laman resmi milik Kemkominfo. Selain mengharuskan OTT asing untuk membentuk badan usaha tetap dan berkontribusi dalam pembayaran pajak, surat edaran tersebut juga mengharuskan para pemain OTT untuk menaati peraturan perundang-undangan di bidang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, perdagangan, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penyiaran, perfilman, periklanan, pornografi, anti terorisme, perpajakan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Selain itu dalam penjelasan poin 5.5.2 hingga 5.5.5 para penyedia OTT wajib untuk melakukan perlindungan data, melakukan filter konten, melakukan mekanisme sensor dan menggunakan sistem pembayaran nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Belum ada keterangan lebih lanjut mengenai hukuman atau sanksi yang dijatuhkan apabila ditemukan pemain OTT yang tidak patuh pada surat edaran tersebut. Salah satu tindakan yang mungkin diambil adalah pemblokiran.

Surat edaran ini memang bisa ditarik kapan saja, hanya saja aturan mengenai badan usaha tetap dan kewajiban pajak tampaknya akan menjadi sesuatu yang pasti diterapkan. Sejauh ini belum ada berita lebih lanjut mengenai apakah pihak WA, Facebook, Twitter dan OTT lainnya akan “patuh” dengan aturan ini.