Platform Social Commerce Berbasis Syariah “Berkahi” Resmi Meluncur [UPDATED]

Pelaku startup memanfaatkan momentum kebangkitan pasar social commerce di tengah pandemi Covid-19. Kali ini, platform Berkahi resmi hadir di Indonesia untuk membantu pelaku UMKM meningkatkan skala bisnisnya berbasis syariah.

Berkahi memampukan pelaku usaha di tanah air untuk meningkatkan penghasilan dengan memasarkan produk lokal dan halal lewat jaringan reseller. Target pasar Berkahi adalah UMKM, terutama yang berada di area pedesaan.

Berkahi didirkan oleh Rowdy Fatha, Turina Farouk, dan Andre Raditya Makmur. Ide pengembangan Berkahi telah diinkubasi sejak November 2021.

Dalam acara peluncurannya, Co-founder & CEO Rowdy Fatha mengatakan pandemi berimbas signifikan terhadap penurunan bisnis UMKM. Di situasi tersebut, banyak pelaku usaha yang sulit bertahan karena tak sedikit di antaranya yang minim kemampuan dan pengalaman dalam membangun bisnis.

Di sisi lain, ia menilai nilai-nilai syariah cocok diterapkan dalam berbisnis. Pihaknya juga ingin berperan dalam mendorong pemerataan inklusi keuangan dan digital di Indonesia. Adapun, Berkahi juga membentuk dewan penasihat syariah untuk memastikan kegiatan bisnis Berkahi sesuai dengan nilai-nilai syariah.

“Kami ingin all out dalam membantu masyarakat UMKM, tak cuma dari sisi bisnis saja, tetapi juga promosi, operasional, fulfillment, hingga logistik. Kami bahkan ikut terlibat dalam mengedukasi UMKM. Insya Allah, tahun ini kami bisa hadirkan [fasilitas] pendanaan syariah tahun ini,” tutur Rowdy.

Bentuk dukungan all out yang dimaksud adalah, Berkahi mendukung kegiatan usaha lewat sejumlah fasilitas, di antaranya aktivitas promosi melalui Key Opinion Leader (KOL), operasional melalui akses fulfillment (stokis) di 15 kota, dan mitra logistik.

Saat ini, Berkahi telah memiliki 400 UMKM yang terhubung dengan 20.000 reseller (disebut sebagai Mitra Berkahi). Sejumlah mitra strategis Berkahi di antaranya adalah SiCepat, SiBeku, Komunitas TanahAbang, Pijar, dan Koperasi XL, IWAPI, Haistar, Belanjarutin.com, Shipdeo, dan Komunitas Pijar.

“Kami tengah memperkuat jaringan agar dapat mencapai target kami untuk menjangkau 20 negara. Secara bertahap, kami akan membawa pelaku usaha yang selama ini aktif di media sosial atau berjualan secara offline untuk beralih ke platform ini,” tambah Rowdy.

Sementara, Co-founder Turina Farouk menargetkan dapat menjangkau 20 negara, memiliki 1.000 UMKM dan 30.000 mitra di akhir 2022. Untuk itu, pihaknya akan memanfaatkan momentum seasonal terdekat, yakni Ramadan dan Idul Fitri, untuk mendongkrak target yang ingin dicapai tahun ini.

Social commerce merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Dengan pengalaman saya bekerja di industri telekomunikasi, ilmu-ilmu yang saya dapatkan dapat menjadi bekal untuk belajar dan membangun Berkahi ke depan,” tutur Turina.

Mitra Berkahi memiliki akses ke ribuan produk halal dari UMKM lokal maupun luar negeri, di mana pengemasan dan pengiriman dilakukan dari gudang ke konsumen langsung. Bagi pelaku UMKM, fasilitas gudang dan operasional tidak dikenakan biaya.

Pendanaan dari VC

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Rowdy mengatakan Berkahi masih mengandalkan pendanaan dari angle investor untuk menjalankan bisnisnya. Kendati begitu, pihaknya juga akan mencari pendanaan tahap awal ke Venture Capital (VC).

Pendanaan ini akan digunakan untuk memperluas skala bisnis Berkahi dengan target jangkauan hingga ke 20 negara. Salah satunya adalah fasilitas pinjaman usaha lewat skema chanelling yang ditargetkan meluncur pada semester II 2022.

“Pendanaan awal Berkahi akan dialokasikan pada seed funding dari VC,” ujar Rowdy dalam pesan singkatnya, Rabu (30/3).

Menurut laporan DealStreetAsia, Berkahi mengincar pendanaan tahap awal sebesar $1 juta untuk memperkuat teknologi, menambah SDM, dan ekspansi bisnisnya.

Pasar social commerce

Mengacu data Bain & Co, total GMV e-commerce di Indonesia mencapai $47 miliar di 2020, di mana transaksi dari social commerce berkontribusi sebesar $12 miliar. Angka tersebut menunjukkan besarnya potensi pertumbuhan social commerce di masa depan.

Menurut laporan McKinsey, Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku belanja masyarakat dari offline ke online. Di samping itu, social commerce menawarkan kesempatan kerja dengan memberdayakan jaringan distribusi atau reseller. McKinsey memproyeksi bisnis social commerce mencapai $25 miliar di 2022. 

Faktor lainnya, masyarakat di pedesaan masih mengalami keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh secara online, dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan.

Tren social commerce berkembang juga sejalan dengan semakin banyak pelaku startup yang masuk ke vertikal ini untuk produk fashion, F&B, atau kebutuhan sehari-hari. Beberapa di antaranya adalah Evermos, Dagangan, dan RateS. Adapula Raena yang mengusung konsep reseller, tetapi khusus untuk produk kecantikan.

Kemudian, KitaBeli mengambil posisi berbeda dengan platform social commerce kebanyakan, yakni tidak membangun jaringan reseller. KitaBeli memampukan pengguna akhir memesan barang langsung lewat aplikasi dan memungkinkan mereka berpartisipasi dalam pembelian berkelompok untuk mendapatkan harga yang lebih efektif.

Produk Digital Bisa Jadi Pendukung Ekonomi Syariah di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memiliki master plan ekonomi syariah 2019-2024. Di dalamnya terdapat gambaran, tantangan, peluang, dan hal lain pendukung pertumbuhan perekonomian syariah. Yang menarik, ekonomi digital dan produk syariah digital masuk dalam kategori yang berpeluang merangsang pertumbuhan.

Pada 2019 silam, Cambridge Institute of Islamic Finance dalam laporan bertajuk Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 menempatkan Indonesia di posisi teratas dalam hal kepemimpinan dan potensinya dalam perbankan dan keuangan islam global. Mengalahkan dominasi Malaysia sejak tahun 2011.

Di laporan State of Global Islamic Economy Report 2019/2020, Indonesia berada di posisi 5 (skor 49) dari total 73 negara. Penilaian laporan ini dihitung dari sejumlah sektor pendukung ekonomi syariah, seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, hingga farmasi dan kosmetik.

Keseriusan pemerintah Indonesia juga ditandai dengan adanya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dan program-program yang dijalankannya. Lembaga ini ditugasi untuk menjadi katalisator dalam upaya mempercepat, memperluas dan mengembangkan ekonomi syariah.

Posisi digital di ekonomi syariah

Dalam dokumen master plan ekonomi syariah yang dikeluarkan pemerintah industri digital diposisikan sebagai sesuatu yang bisa memberikan dampak positif. E-commerce misalnya, bisa dinilai menjadi satu hal yang mengakselerasi pertumbuhan UKM syariah, baik itu untuk produk halal, wisata halal, fesyen muslim, dan semacamnya.

Termasuk juga produk keuangan syariah, dalam hal ini produk/layanan teknologi finansial. Baik itu produk pinjaman, pembiayaan, atau lainnya.

Fintech syariah di Indonesia menyimpan potensi sendiri di Indonesia. Tentu tidak hanya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tetapi sistem atau nilai-nilai yang ditawarkan cukup banyak diminati masyarakat Indonesia.

Berkaca pada produk finansial syariah yang lebih dulu hadir produk syariah bisa diposisikan sebagai pilihan lain dari produk-produk yang ada. Masyarakat bisa dengan bebas menimbang, memperhatikan, dan memilih produk yang dirasa cocok dan sesuai. Produk perbankan misalnya, tidak sedikit yang memilih produk perbankan syariah karena akad, perhitungan, dan sistem yang ada di dalamnya.

Industri fintech dalam lima tahun ke belakang memang terus mengalami pertumbuhan. Selain ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai akrab dengan layanannya pertumbuhan ini juga ditandai dengan berbagai macam bentuk produk dan layanan yang hadir. Kini tak hanya soal pinjaman dan investasi, tetapi juga merambah sistem pembayaran, e-money, POS system, dan lainnya.

Di Indonesia sendiri sudah Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). Berdiri sejak tahun 2017 asosiasi ini terdiri dari kalangan startup, institusi, akademisi, dan pakar yang memiliki tujuan mendorong pertumbuhan teknologi keuangan syariah.

Di samping itu produk digital lainnya juga mulai muncul dan semakin siap menggarap peluang. Sebut saja industri travel umroh digital, industri makanan halal, layanan pembayaran, hingga produk gaya hidup. Tercatat beberapa nama yang mulai menghadirkan layanan produk atau layanan syariah antara lain Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, Akulaku, Alami, Duha Syariah, Bsalam, Syarfi, GoHalalGo, Umra, Hijup, PergiUmroh, Hijabenka, dan lainnya.

Langkah pemerintah

Ada tiga langkah quick wins yang disusun pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, khususnya dalam sumbangsihnya dalam ekonomi digital. Yang pertama adalah mengembangkan online marketplace dan sistem pembayaran halal. Dalam hal ini berupaya untuk mengembangkan marketplace yang secara spesifik menjual produk baik itu barang maupun jasa halal, lengkap dengan transaksi menggunakan sistem pembayaran halal.

Yang kedua, menyediakan panduan usaha digital dan panduan kepatuhan syariah yang da[at diakases oleh publik. Sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan informasi sebuah produk sekaligus mendorong pengusaha yang ingin mengembangkan produk atau jasa yang mengikuti nilai-nilai syariah.

Yang terakhir adalah meningkatkan literasi digital terkait dengan industri halal  dan halal value chain bagi pelaku ekonomi syariah melalui beberapa kegiatan.

Jika dilihat dari segi peluang bisnis Ini bisa jadi waktu yang tepat bagi startup atau perusahaan teknologi untuk masuk ke pasar syariah dan mengisi peluang yang sudah mulai bermunculan. Industri yang semakin matang, masyarakat mulai terbiasa dengan produk keuangan digital, dan dukungan komunitas atau asosiasi bisa jadi kendaraan untuk bersama-sama mengembangkan industri.