OnlinePajak Luncurkan API untuk Platform E-Commerce

OnlinePajak diluncurkan untuk memudahkan kegiatan perpajakan untuk UKM dengan sistem yang dijalankan secara online. Baru-baru ini, untuk memfasilitasi kebutuhan wajib pajak e-commerce dalam menuntaskan kewajiban pajaknya dan juga untuk mengantisipasi pemberlakuan revisi peraturan pajak e-commerce, OnlinePajak meluncurkan API Pajak khusus untuk transaksi e-commerce.

Dengan API Pajak ini para pelaku e-commerce bisa dengan mudah membangun sistem perpajakan sendiri. Cukup fokus pada bisnis utama mereka, selebihnya OnlinePajak yang akan menangani urusan pajaknya. Saat ini OnlinePajak tercatat telah terintegrasi dengan berbagai mitra, mulai dari bank sampai dengan penyedia aplikasi, semua pajak dalam satu sistem API.

“Kami ingin menawarkan pelaku e-commerce keuntungan menuntaskan administrasi perpajakan dengan lebih efisien secara online. Itulah alasan kami meluncurkan API pajak yang dapat mempermudah semua pelaku e-commerce dalam menangani pajak. Baik dari sisi penjual atau pembeli barang dan jasa mereka,” demikian tutur CEO sekaligus Direktur OnlinePajak Charles Guinot dalam ajang di Indonesia E-Commerce Summit and Expo 2017.

Sebagai informasi, ada 15 jenis pajak badan di Indonesia dan sebagian besar harus dibayarkan setiap bulan dan ditangani dengan sistem yang tidak terhubung satu sama lain. Kondisi inilah yang menjadi semangat OnlinePajak menyatukan dan mempermudah proses pelaporan pajak melalui sistem OnlinePajak yang mengusung teknologi terbaru.

Saat ini layanan OnlinePajak telah disahkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyedia jasa aplikasi pajak resmi dan menjadi aplikasi alternatif selain e-SPT, e-Faktur, dan e-Filing. Hal tersebut tertuang dalam Surat Keputusan No. KEP-193/PJ/2015 & No. KEP-72/PJ/2016.

Ada dua hal utamanya yang tengah diupayakan OnlinePajak. Pertama membantu pemerintah mengumpulkan pajak dan yang kedua mempermudah proses administrasi pajak sehingga dapat menghemat waktu dalam penuntasan kewajiban pajak perusahaan.

Selain menyediakan API Pajak bagi e-commerce OnlinePajak juga menyediakan fasilitas penghitungan dan penyetoran PPh Final bagi UKM, yakni pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima, atau diperoleh selama tahun berjalan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengenakan PPh Final atas penghasilan-penghasilan tertentu.

Atau sederhananya UKM yang memiliki peredaran bruto tertentu (omzet di bawah Rp 4,8 miliar) wajib menyetorkan 1% PPh Final atas transaksi penjualan yang telah dilakukan, termasuk mereka yang menjadi merchant di marketplace.

“OnlinePajak adalah satu-satunya penyedia jasa aplikasi yang menyediakan fasilitas penghitungan dan penyetoran PPh Final. Fitur PPh Final tidak dipungut biaya alias gratis, 1% yang Anda setorkan ke negara sangat berarti untuk pembangunan Indonesia,” ujar Charles.

Sejak didirikan pada September 2014, OnlinePajak yang berdiri di bawah payung PT Achilles Advanced Systems telah berhasil mendapatkan ratusan ribu pengguna. Termasuk Telkomsel, Tokopedia, Gojek, Kawan Lama Group, PT Astra Otoparts Tbk, Huawei Tech Investment, dan beberapa lainnya. OnlinePajak sendiri disebut memiliki misi untuk membantu Indonesia meningkatkan penerimaan negara dari pajak dan mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Keseriusan Pemerintah Tanggapi Pajak Google Mengarah Ke Kesiapan Regulasi Bisnis Digital

Isu perpajakan yang menyeret raksasa internet Google di Indonesia masih terus bergulir. Kendati mediasi khusus telah dilakukan, namun belum menemukan kesepakatan final antara pemerintah (dalam hal ini Ditjen Pajak) dan pihak Alphabet, induk perusahaan Google. Disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah kesempatan, pihaknya optimis kesepakatan akan segera dicapai sebelum akhir 2016.

Dari pemberitaan yang dilansir The Wall Street Journal, muncul nilai pajak yang akan dibayarkan Google. Jauh lebih kecil dari perkiraan, yakni sekitar $73 juta, atau senilai Rp 988,7 miliar. Sebelumnya disampaikan oleh Ditjen Pajak pendapatan Google (umumnya dari iklan) di Indonesia mencapai Rp 5 triliun, dengan asumsi margin 35 persen dari total pendapatan, maka laba kena pajak ditaksir sebesar Rp 1,75 triliun.

Penyelesaian pajak Google ini tentu mendatangkan sebuah pertanyaan, apakah perusahaan lain (khususnya digital) akan mendapatkan perlakukan yang sama. Hal tersebut dijawab tegas oleh Menkeu Sri Mulyani, seperti yang terkutip di Liputan 6 berikut ini:

“Pokoknya semua yang memiliki kegiatan ekonomi memiliki value added di sini, tentu merupakan objek dan subjek pajak. Bagi kami perusahaan apa pun yang memiliki aktivitas sehingga menciptakan objek pajak, dia harus memiliki suatu entitas dalam negeri. Oleh karena itu, menjadi subjek pajak, maka dia tunduk undang-undang perpajakan kita.”

Saat ini statusnya masih dalam tahap perhitungan matang, baik oleh tim Ditjen Pajak maupun auditor pajak internal dari perusahaan Google.

Urgensi pemerintah mengejar pajak Google di Indonesia

Proses tax settlement atau perundingan antara kedua belah pihak sedang intensif dilakukan. Proses ini dinilai lebih menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv, dengan proses tersebut kedua belah pihak tidak perlu menghitung secara rinci, ibarat seperti jalan damai. Tax settlement ini berbeda dengan proses pemeriksaan biasa yang memperhitungkan utang pajak dari PPN, PPh, dan pajak lainnya.

Kasus ini sebenarnya tidak hanya menyangkut tentang bagaimana perusahaan OTT memberikan income bagi negara, namun jika melihat dari sudut pandang lain, yakni perkembangan bisnis digital nasional, sangat naif jika pemerintah tidak tegas. Perkara ini turut membuat Menkominfo akhirnya berinisiatif untuk menyiapkan aturan terkait operasi layanan OTT. Salah satu materi yang diatur adalah soal kepatuhan dalam membayar pajak.

Berkaitan dengan pajak perusahaan digital, pertumbuhan e-commerce yang dewasa ini kencang di Indonesia juga menjadi salah satu pokok perbincangan pemerintah, aturannya masih terus digencarkan. Selain itu masih banyak proses bisnis digital yang masih berusaha diregulasi oleh pemerintah dalam kaitannya dengan perpajakan, contohnya layanan ride-sharing.

Semua pemain bisnis digital lokal pasti berharap, jangan sampai pemerintah lunak dengan perusahaan asing dalam kaitannya dengan regulasi (pajak dan peraturan lain), namun sangat ketat kepada pemain lokal. Kesan tersebut setidaknya yang dapat ditunjukkan pemerintah melalui keseriusannya dalam menangani kasus seperti yang dihadapi Google.

Indonesia Disarankan Tiru Inggris dalam Mengejar Pajak Google

Google belum selesai dengan urusan pajak di Indonesia. Meski sudah ada kabar bahwa Google setuju untuk memenuhi kewajiban pajaknya di Indonesia, nyatanya masih ada permasalahan yang tersisa pada perpajakan Google di Indonesia. Google juga dikabarkan tengah mengajukan beberapa persyaratan sebelum mereka melunasi kewajiban pajak mereka.

Dilansir dari Kontan, saat ini pemerintah Indonesia masih mencari jalan keluar dari permasalahan pajak Google ini. Disebutkan Kepala Staf Wakil Presiden Sofjan Wanandi ada itikad Google untuk membayar pajak-pajaknya kepada pemerintah Indonesia, namun demikian Google meminta sejumlah persyaratan, mengenai regulasi untuk memudahkan Google dalam membayar pajak.

Perbaikan aturan tersebut diminta Google dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Tak hanya itu, negosiasi antara Google dan pemerintah Indonesia masih terus dilakukan terutama kaitannya dengan tarif pajak yang harus dibayarkan.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah Indonesia sejatinya bisa meniru cara-cara yang dilakukan negara-negara Eropa untuk mengejar pajak dari Google. Salah satunya Inggris. Hal ini juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Pranowo.

Menurut Yustinus salah satu keberhasilan pemerintah Inggris mendapatkan pajak dari Google adalah data yang akurat tentang pendapatan Google di negaranya. Ini juga yang seharusnya di lakukan pemerintah Indonesia untuk “memaksa” Google untuk membayar pajak.

Selain data pemasukan yang akurat jenis pajak baru juga bisa dimunculkan untuk mengakomodasi wajib pajak seperti Google dan perusahaan-perusahaan sejenis yang kemungkinan juga akan dikejar pajaknya. Di Inggris, untuk mengelola pajak dari Google sampai dibuatkan jenis pajak baru yang disebut dengan diverted profit tax. Jenis pajak tersebut ditujukan untuk keuntungan yang sudah di bawa ke luar negeri, dengan begitu perusahaan (seperti Google) tidak bisa mengelak lagi.

“Kalau ingin menarik pajak dari Google dengan model yang sekarang, itu rawan kalah kalau dibawa ke pengadilan. Caranya ya dengan membuat skema pajak baru seperti di Inggris, yaitu pajak atas hasil keuntungan yang dibawa ke luar negeri. Ini yang harus segera kita buat,” ujar Yustinus.

Ditjen Pajak Sebut Sudah Kantongi Cara Tagih Pajak dari Google

Permasalahan Google dan sistem perpajakan Indonesia tampaknya memasuki titik terang. Direktorat Jenderal Pajak dikabarkan telah memastikan Google Indonesia berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga akan dibebankan pajak perusahaan sebesar 25%. Kepastian status Google ini didapat Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv saat melakukan pertemuan intensif dengan pihak Google Indonesia selama beberapa pekan terakhir.

“Jadi mereka kan menempatkan server di Indonesia, baik oleh dia maupun orang lain, itu Badan [Bentuk] Usaha Tetap. Penegasan bentuknya dan ini juga berlaku surut ke belakang,” ujar Haniv.

Jika melihat aturan di Indonesia, tarif pajak perusahaan di Indonesia adalah sebesar 25% dari laba kena pajak. Berdasar perkiraan Haniv pendapatan iklan Google di Indonesia mencapai Rp 5 triliun, dengan asumsi margin 35% dari total pendapatan maka laba kena pajak Google bisa mencapai Rp 1,75 triliun. Sehingga perkiraan pajak perusahaan Google bisa mencapai Rp 437,5 miliar.

Memang dalam beberapa bulan terakhir Ditjen Pajak beberapa kali memeriksa Google Indonesia karena dianggap tidak membayar pajak sesuai dengan pendapatan iklan mereka di Indonesia. Bahkan sempat disebutkan bahwa Ditjen Pajak “menggerebek” kantor Google. Berita ini ditepis oleh Haniv. Menurutnya apa yang dilakukan pihaknya tersebut adalah sebagai bentuk preliminary investigation untuk mengumpulkan data-data.

Mnurut Haniv pendapatan iklan internet di Indonesia bisa mencapai $830 juta atau Rp11 triliun dengan diperkirakan setengahnya berasal dari Google. Namun jumlah pajak tersebut belum sepenuhnya dibayar pihak Google.

Sejauh ini disebutkan Google Indonesia hanya membayar pendapatan iklan sebesar 4% dari pendapatan iklan keseluruhan di Indonesia atau yang disebut sebagai bayaran kepada Google Indonesia sebagai kantor perwakilan Google yang berpusat di California.

Selain menjelaskan tentang besaran pajak yang harus ditanggung Google, masih dari sumber yang sama, Haniv juga menjelaskan bahwa pihaknya sudah mempunyai cara untuk menagih atau “memaksa” Google untuk membayar pajak dengan besaran yang seharusnya.

“Saya sudah punya jurus untuk membuat mereka bertekuk lutut. Saya sudah punya datanya. Saya sudah punya caranya dan mereka tidak bisa lari lagi,” pungkas Haniv.

Kantor Google Indonesia Dikabarkan “Digerebek” Karena Tolak Audit Pajak

Diberitakan Bloomberg, kantor Google di Indonesia digerebek oleh pihak berwenang setelah diperingatkan beberapa kali terkait pemeriksaan pajak. Belum ada informasi lebih jauh apa yang dilakukan Pemerintah di kantor Google tersebut. Hal ini sedikit banyak mengulangi kejadian di Perancis beberapa waktu lalu.

Google memang menjadi sorotan di Indonesia karena dianggap tidak mematuhi aturan terkait dengan pajak. Di sisi lain pemerintah Indonesia tengah getol mengumpulkan pendapatan dari pajak, termasuk kampanye amnesti pajak saat ini. Salah satu yang menjadi sasaran adalah perusahaan-perusahaan OTT global seperti Google.

Dalam pemberitaan Bloomberg, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv menyebutkan bahwa petugas pajak sudah beberapa kali mendatangi kantor Google yang bertempat di Jakarta dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Dia juga mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengejar siapa pun yang tidak mematuhi aturan, dalam hal ini pajak termasuk Google.

Permasalahan Google dengan pemerintah Indonesia memang terkesan berlarut-larut. Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah mewajibkan semua perusahaan OTT global yang masuk ke Indonesia untuk membuat Bentuk Usaha Tetap (BUT) agar bisa turut memberikan pemasukan dari segi pajak.

Keagresifan pemerintah Indonesia dalam mengejar pajak dari Google ini menyusul apa yang dilakukan negara-negara Eropa seperti Inggirs dan Perancis. Pemerintah Inggris melakukan penyelidikan selama enam tahun sebelum akhirnya membebankan pajak kepada Google kurang lebih sebesar Rp 2,2 triliun, terhitung sejak tahun 2005.

Cara dan agresivitas pemerintah Inggris tampaknya ditiru pemerintah Indonesia. Sampai saat ini belum ada informasi lebih lanjut mengenai penggerebekan kantor Google di Indonesia saat ini, termasuk informasi mengenai “hukuman” seperti apa jika Google tetap tidak membayar kewajibannya.

Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.

Kasus Pajak untuk OTT Akan Dibawa Menkeu ke Forum Internasional

Pemerintah sekarang tampaknya tengah getol menggenjot pendapatan dari sektor pajak hingga ke ranah bisnis online. Salah satu berita yang hilir mudik di media beberapa hari ini adalah pemberitaan Google yang masih enggan membayar pajak kepada pemerintah. Padahal sejak beberapa tahun belakangan pemerintah sudah mewanti-wanti agar seluruh layanan digital yang beroperasi di Indonesia diharuskan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan wajib membayar pajak agar dapat restu untuk beroperasi di Indonesia. Atas kasus Google ini Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana mengangkat hal ini ke forum internasional dan juga memberikan sinyal akan membawa kasus ini ke pengadilan pajak.

Disebutkan dalam pemberitaan Sindonews yang dipublikasi hari ini, (16/9), Menkeu Sri Mulyani mempunyai inisiatif untuk membawa masalah pajak e-commerce yang sedang ramai dibahas ke forum internasional.

“Mungkin kita akan bawa ini ke forum internasional, agar semuanya lebih jelas dan gamblang,” ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa Google tidak membayar pajak sesuai dengan seharusnya. Meski hal ini dibantah pihak Google, namun pihak Direktorat Jendral Pajak (DJP) menyatakan tetap akan memeriksa perusahaan yang berpusat di Mountain View ini.

Sri Mulyani sendiri disebutkan akan terus mengejar pajak dari Google dan penyedia layanan lainnya. Untuk tidak mengulangi penolakan pembayaran dan pemeriksaan oleh Google, Sri Mulyani telah meminta tim Ditjen Pajak untuk melakukan kajian terhadap perusahaan global penyedia OTT yang beroperasi di Indonesia.

“Dan kalau kami (pemerintah dan Google) sepakat atau tidak sepakat, juga ada pengadilan pajak,” terang Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga mengakui bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia dengan perusahaan global penyedia layanan OTT ini juga menjadi permasalahan di banyak negara. Oleh karena itu pihaknya perlu berhati-hati dan melakukan perbandingan dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia membuat rezim yang kemudian dianggap tidak kompetitif atau sebaliknya dianggap tidak mampu mengoleksi potensi penerimaan negara.

Masalah BUT ini sebenarnya tidak hanya mengancam Google tetapi juga semua perusahaan OTT global yang beroperasi di Indonesia. Argumentasi dan keputusan Sri Mulyani yang menginginkan kehati-hatian dalam menghadapi permasalahan ini patut diapresiasi, mengingat sejauh ini OTT seperti Google masih dibutuhkan di Indonesia.

Permasalahan Perpajakan Google di Indonesia

Sejak beberapa waktu lalu PT Google Indonesia menjadi perbincangan hangat terkait dengan penolakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak). Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Muhammad Hanif selaku Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Khusus, dalam konferensi pers di kantor Ditjen Pajak hari Kamis (15/9) lalu.

Kendati demikian, menurut Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana, pihaknya mengklaim selalu kooperatif dalam urusan perpajakan. Sebagai sebuah PT yang telah berdiri di Indonesia sejak tahun 2011, Goole Indonesia mengaku telah taat menunaikan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia. Lalu sebenarnya apa permasalahan yang membuat Ditjen Pajak ingin melakukan pemeriksaan terhadap Google?

Google dinilai belum berbentuk usaha tetap

Menurut Hanif, status PT Google Indonesia saat ini bukan merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Status BUT dibutuhkan oleh perusahaan multi-nasional seperti Google untuk bisa menggali penghasilan di Indonesia. Sementara itu Google dinilai oleh Ditjen Pajak telah menerima penghasilan dari dalam negeri, terutama dari jasa periklanan online yang ditawarkan.

Ketika sebuah perusahaan seperti Google telah berstatus BUT, maka setiap transaksi yang masuk ke dalamnya (dalam hal ini jual beli jasa) akan dikenakan pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditjen Pajak yakin Google saat ini belum BUT, sehingga perusahaan atau rekanan yang bertransaksi dengannya tidak wajib melakukan pembayaran PPN.

Kami sempat panjang lebar membahas soal BUT ini, yang intinya:

bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

[Baca juga: Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing]

Selain PPN, perusahaan yang belum berbentuk BUT juga tidak berkewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh). Karena syarat untuk memungkin PPh oleh sebuah perusahaan multi-nasional adalah berbentuk BUT. Menurut Ditjen Pajak penghasilan yang didapat Google di Indonesia sudah sangat besar, sehingga perlu adanya sebuah penelusuran.

Status kantor Google Indonesia sebagai kantor perwakilan

Google Indonesia saat ini sudah berstatus sebagai sebuah PT dan memiliki kantor di Indonesia. Namun menurut Ditjen Pajak, seperti disampaikan oleh keterangan pers Hanif, kantor tersebut saat ini hanya menjadi sebuah representasi atau kantor perwakilan, belum menjadi sebuah BUT. Kantor perwakilan umumnya hanya menjadi perantara menyetorkan sebagian kecil dari nilai transaksi keseluruhan. Dalam hal ini Hanif menilai yang disetor baru fee saja, nilainya cuma beberapa persen dari revenue.

Upaya untuk penelusuran terhadap Google ini tampaknya juga menjadi sebuah ambisi kuat pemerintah. Dukungan salah satunya dilontarkan oleh Komisi XI DPR RI, dalam hal ini disampaikan oleh Mukhammad Misbakhun. Pihaknya menuntut Ditjen Pajak untuk bertindak tegas, bahkan meminta otoritas perpajakan di Indonesia melakukan tindakan yang lebih tegas jika pihak Google tidak kooperatif terhadap pemeriksaan.

Penolakan Google untuk pemeriksaan kini memaksa Ditjen Pajak untuk meningkatkan ke tahap investigasi.

Bukan terjadi di Indonesia saja

Permasalahan yang dilatar belakangi pajak oleh otoritas pemerintahan terhadap Google bukan baru pertama kali ini terjadi. Sebelumnya pada bulan Mei lalu kantor Google di Paris juga diperkarakan karena pajak. Penyidik pajak setempat menggerebek kantor perwakilan yang terletak di seputaran aera Gare Saint-Lazare.

Dari pihak Google Indonesia pun belum menyatakan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi permasalahan ini. Pun demikian tanggapan terkait tuduhan pelanggaran yang dilontarkan kepadanya. Kami masih mencoba terus berkomunikasi dengan pihak Google Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini tentang langkah-langkah yang akan ditempuh Google untuk menyelesaikan masalah ini.

Pajak Cuma-cuma Tunjukkan Pemerintah Terlalu Gegabah Hadapi Ekonomi Digital

Baru-baru ini pemerintah dikabarkan sedang mewacanakan mengenai kebijakan pajak cuma-cuma terhadap model bisnis e-commerce, di antaranya model classified ads, marketplace, daily deals dan online retail. Pajak cuma-cuma ini konsepnya pemerintah akan mengenakan pajak (dalam bentuk PPN) kepada model bisnis yang disebutkan tadi.

Jika regulasi ini benar-benar diterapkan, artinya ketika ada orang yang akan mengiklankan produknya di layanan iklan baris digital atau online marketplace, seperti OLX atau Tokopedia misalnya, maka akan dikenakan pajak. Padahal selama ini proses tersebut gratis.

Sontak hal ini mendapatkan pertentangan keras dari hampir semua pemain di industri digital. Salah satunya diutarakan Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum Asosiasi eCommerce Indonesia (idEA) sekaligus CEO OLX Indonesia. Daniel mengutarakan bahwa pajak cuma-cuma tak cocok diterapkan di bisnis online.

Semangat kemunculan internet adalah memberikan efisiensi, salah satunya memberikan layanan gratis untuk berbagai hal, termasuk mengiklan. Berbeda dengan bisnis konvensional, semuanya dilakukan dalam step yang panjang, sehingga memerlukan transaksi di sana-sini, yang bisa saja dikenakan pajak.

Hal serupa disampaikan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya pajak cuma-cuma ini ujung-ujungnya akan membuat para pemain e-commerce bingung. Dalam pernyataannya ia tegas mengungkapkan, bahwa para pemain e-commerce siap untuk membayar pajak, dengan dasar hukum yang jelas dan alokasi yang tepat.

Terkait pajak cuma-cuma sendiri Hendrik menyampaikan bahwa itu sama saja tidak adil. Menurutnya proses bisnis iklan digital atau marketplace ini dari ujung ke ujung sudah gratis, artinya dari konsumen ke konsumen dalam mengiklan tidak ada yang ditarik biaya, maka tidak ada pajak yang seharusnya dibayarkan.

CEO Bukalapak Achmad Zaky turut menanggapi seputar wacana pajak cuma-cuma ini. Menurutnya jika pemerintah menerapkan peraturan tersebut, maka para pelapak (sebutan bagi pengiklan di portal marketplace Bukalapak) menjadi kurang kompetitif. Mereka bisa saja kembali ke model underground, misalnya kembali melalui Facebook atau BBM. Model seperti itu akan kembali membawa pasar pada proses jual beli yang kurang terstruktur, karena tidak ada perantara yang memastikan transaksi aman dan nyaman.

Masyarakat sudah teredukasi sejak hype internet muncul bahwa ia menawarkan berbagai layanan gratis. Hal tersebut yang ditekankan oleh Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. William mengungkapkan:

“Harapan kami jika ada pajak baru, aturan tersebut tidak sampai membunuh model bisnis tertentu yang sangat dinamis di industri internet dan memberikan ruang inovasi bagi pemain lokal agar mampu bersaing di era internet yang borderless dan global. Harapan ke depannya, Indonesia tidak hanya menjadi negara pasar, namun mampu mengambil peran dalam potensi ekonomi digital yang ditargetkan pemerintah tercapai pada 2020.”

Sebagai perantara antara pemain industri digital dan kreatif dengan pemerintah, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pun turut menyayangkan wacana pemerintah ini. Ketua Bekraf Triawan Munaf menyampaikan bahwa sejatinya pemerintah perlu melakukan diskusi lebih intensif dengan para pemain industri. Menurutnya kebijakan yang kurang pas bisa mematikan para pemula. Tugas pemerintah adalah mendukung bertumbuhnya perusahaan rintisan, bukan mengganggunya.

“Jangan sampai ekonomi kreatif yang masih bertumbuh dihambat oleh peraturan yang sebenarnya masih bisa diubah, peraturan harus dapat disesuaikan dengan perubahan zaman,” ujar Triawan.

Pemikiran konvensional tak cocok regulasikan dinamika digital

Startup men-disrupt model bisnis konvensional dan menghasilkan pemasukan besar dengan inovasi. Pemerintah men-disrupt tatanan bisnis yang sedang bertumbuh dengan regulasi yang kurang tepat sasaran.

Ungkapan itu mungkin cocok jika pajak cuma-cuma memang benar-benar diterapkan. Pola pikir yang lebih segar penting untuk menjadi bagian dalam perumusan kebijakan. Terlebih untuk mewadahi sebuah proses bisnis yang dinamis.

Regulator harus paham betul mengenai dinamika pasar yang ada. Tak bisa begitu saja menyamaratakan antara model bisnis konvensional dan digital. Internet banyak menghadirkan cara-cara baru yang memicu masyarakat untuk bisa lebih mandiri.

Kembali ke pajak cuma-cuma. Harus dilihat lebih dekat sebenarnya siapa yang menjalankan model bisnis gratis yang akan dipajaki tersebut. Ya, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). UMKM terangkat produknya berkat kemajuan internet. Mereka dengan mudah memasarkan produk mereka tanpa harus memikirkan jangkauan pasar, platform dan juga proses transaksi yang berbelit.

Masyarakat sudah dihadapkan dengan persaingan global yang tanpa batas. Jika inovasi dalam negeri banyak dihambat dengan aturan yang mempersulit, bagaimana UMKM kita, perusahaan rintisan kita, wirausahawan kita bisa tenang bersaing dan berkuasa di pasar dunia?

OnlinePajak Gandeng BNI, Mudahkan Proses Perpajakan untuk Nasabah Perusahaan

PT Bank Negara Indonesia (BNI) menjalin kerja sama dengan OnlinePajak untuk menghadirkan kemudahan proses perpajakan bagi nasabah BNI. Hasil dari kerja sama ini memungkinkan 300 ribu nasabah perusahaan BNI bisa melakukan hitung, setor, dan lapor pajak online dari layanan OnlinePajak. Sebaliknya, kemitraan ini memungkinkan 150 ribu pengguna OnlinePajak membayar pajak menggunakan akun BNI.

Penandatanganan nota kesepahaman ini dilakukan kemarin (06/4) oleh Founder OnlinePajak Charles Guinot dan General Manager Transactional Banking Services BNI Welan Palilingan. Turut hadir juga Menteri Urusan Perdagangan Luar Negeri Perancis, Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Direktur Perencanaan dan Operasional BNI, Direktur Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Direktur Tranformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP.

“Kerja sama ini membuktikan BNI menunjukkan keseriusannya dalam membantu pemerintah, karena penambahan penerimaan pajak yang signifikan akan memutar roda pembangunan jadi bergerak lebih cepat. Selain itu, kami optimis dengan kemudahan yang kami tawarkan kepada wajib pajak dengan volume besar yang mengutamakan efisiensi tinggi akan mengalihkan pembayaran pajaknya ke BNI, seiring dengan support BNI atas perubahan era ke arah paperless dan digital,” ungkap Direktur Perencanaan dan Operasional BNI Bob T. Ananta dalam sambutannya.

Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.546,7 triliun atau 80% dari APBN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014, 61,4% penerimaan negara ini berasal dari akun-akun perusahaan dan 76,8%-nya berasal dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan bukti potong pajak.

Sejauh ini, dari 22,6 juta perusahaan yang terdaftar di Indonesia, 5 juta perusahaan terdaftar sebagai Perusahaan Kena Pajak (PKP) dan hanya 2 juta yang memiliki NPWP. Dari 5 juta PKP tersebut, hanya 11% atau 0,55 juta perusahaan yang rutin membayar pajak.

Masih rendahnya angka wajib pajak badan yang mematuhi kewajiban pajaknya ini sama rendahnya dengan rasio pajak Indonesia. Dalam laporan Bank Dunia dan PwC berjudul Paying Taxes 2015, Indonesia menempati urutan 148 dari 189 negara di dunia untuk urusan kemudahan penuntasan pajak. Dibutuhkan 259 jam untuk melakukan hitung, setor, dan lapor pajak perusahaan. Di negara-negara Asia Pasifik lainnya rata-rata hanya dibutuhkan 231 jam.

Pada mulanya Charles Guinot mengembangkan aplikasi OnlinePajak sekitar 1,5 tahun yang lalu untuk menyelesaikan masalah administrasi perusahaan, terutama untuk hitung, setor, dan lapor pajak online dalam satu aplikasi terpadu. Saat ini OnlinePajak telah memiliki 150.000 pengguna.

“Kami membangun aplikasi pajak yang lengkap, untuk wajib pajak badan dan orang pribadi secara gratis. Tentu saja kami tetap perusahaan swasta yang membutuhkan pendapatan. Karena itu kami membuat fitur-fitur tambahan seperti slip gaji elektronik, profil dan katalog komersial perusahaan, iklan tertarget, dan lain-lain,” pungkas Charles.