Xiaomi Umumkan Mi Air Charge, Teknologi Pengisian Daya via Udara

Perlahan tapi pasti, teknologi wireless charging terus dikembangkan hingga mampu menyalurkan energi secara lebih efisien ketimbang sebelumnya. Kendati demikian, metode charging-nya sendiri masih belum berubah dibanding ketika teknologinya pertama kali diimplementasikan di tahun 2008, dan perangkat masih harus menempel pada charging pad setiap kali baterainya hendak diisi ulang.

Jadi ketimbang sebatas menyempurnakan teknologi yang sudah ada, jangan heran seandainya sejumlah pabrikan terus berusaha untuk mencari metode wireless charging yang lebih baik daripada yang ada sekarang. Salah satunya adalah Xiaomi. Mereka baru saja mengumumkan teknologi yang sangat menarik bernama Mi Air Charge.

Sesuai namanya, Mi Air Charge dirancang agar bisa meneruskan energi dari sebuah base station ke perangkat via udara. Xiaomi mengklaim jangkauannya bisa sampai beberapa meter, jadi begitu perangkat berada dalam radius base station-nya, baterainya pun otomatis akan terisi.

Untuk sekarang, kecepatan charging-nya memang terbatas di angka 5 W saja, namun hebatnya Xiaomi mengklaim teknologi ini masih bisa bekerja secara normal meski ada sesuatu yang menghalangi. Bukan cuma itu, Xiaomi juga bilang bahwa beberapa perangkat sekaligus dapat di-charge dengan menggunakan satu base station saja (masing-masing perangkat akan menerima output daya sebesar 5 W).

Dari perspektif sederhana, Mi Air Charge pada dasarnya menggunakan basis teknologi yang sama seperti 5G mmWave. Base station-nya yang berbentuk seperti kulkas kecil yang umum kita jumpai di kamar hotel itu memancarkan gelombang frekuensi lewat 144 antena yang tertanam, kemudian perangkat menerima gelombang sinyalnya dan mengonversikannya menjadi energi listrik.

Itu berarti tidak sembarang perangkat bisa di-charge dengan metode ini. Spesifiknya, perangkat harus dibekali dua jenis antena; satu untuk memancarkan sinyal yang mengindikasikan posisi perangkat, satu lagi dalam jumlah yang lebih banyak untuk menerima sinyal yang dipancarkan oleh base station.

Sejauh ini, Mi Air Charge masih berstatus prototipe di laboratorium riset dan pengembangan Xiaomi, dan belum ada satu pun perangkat yang dijual yang sudah menggunakan teknologi tersebut. Terlepas dari itu, Xiaomi sendiri sudah punya niatan untuk mengaplikasikannya ke bermacam perangkat, bukan cuma smartphone saja.

Sumber: Xiaomi.

Vivo Pamerkan Smartphone 5G Versi Konsumen, Kacamata AR, dan Teknologi Charging Generasi Terbaru

Ajang MWC Shanghai tahun ini mengambil tema “Intelligent Connectivity”, dan itu Vivo manfaatkan untuk mendemonstrasikan sejumlah inovasinya terkait konektivitas 5G. Yang pertama tentu saja adalah smartphone 5G yang siap menembus pasar komersial mulai kuartal ketiga nanti.

Vivo sejauh ini belum menamai smartphone tersebut, dan spesifikasinya pun juga sama sekali belum dirincikan. Vivo memilih menggunakan kesempatan ini untuk memberikan gambaran terkait faedah-faedah yang bisa konsumen nikmati dari teknologi 5G.

Yang paling menarik menurut saya adalah penggunaan 5G untuk konteks cloud gaming atau game streaming. Nantinya, smartphone 5G ini dapat menjalankan beragam game tanpa perlu mengunduh apa-apa. Semuanya berjalan di cloud (server) dan di-stream oleh smartphone dalam kecepatan sangat tinggi sekaligus latency yang amat rendah.

Vivo 5G smartphone for cloud gaming

Berhubung yang diandalkan hanya sebatas koneksi saja, tentunya game bisa berjalan dengan mulus tanpa harus terbatasi oleh performa smartphone itu sendiri. Menariknya kalau menurut saya, kita mungkin membayangkan bahwa konektivitas 5G yang begitu cepat bakal semakin memudahkan kita untuk mencoba banyak game, mengingat waktu download yang dibutuhkan sangat pendek.

Namun skenario yang lebih ideal justru adalah dengan metode streaming seperti ini, sebab kapasitas penyimpanan smartphone jadi bisa dimaksimalkan untuk hal lain, semisal koleksi foto dan video. Menurut saya ada korelasi yang cukup kuat antara dimulainya implementasi teknologi 5G dan maraknya layanan cloud gaming macam Google Stadia.

Vivo AR Glass

Produk kedua yang Vivo pamerkan adalah sebuah prototipe kacamata augmented reality yang dijuluki Vivo AR Glass. Perangkat ini mengemas sepasang display, serta teknologi tracking 6DoF (six degrees of freedom) yang sudah bisa dianggap sebagai standar di ranah ini.

Vivo tidak berbicara terlalu banyak soal perangkat ini, tapi yang pasti mereka memproyeksikan kegunaan kacamata AR-nya di lima skenario yang berbeda: mobile gaming, mobile office, “5G theatre”, facial recognition dan object recognition.

Vivo Super FlashCharge 120W

Terakhir, MWC Shanghai 2019 juga menjadi saksi atas pengungkapan teknologi Vivo Super FlashCharge 120W. Sesuai namanya, teknologi charging ini sanggup menghasilkan output sebesar 120 W (20V/6A) via sambungan USB-C yang telah dimodifikasi.

Dalam konteks sehari-hari, Vivo mengklaim teknologi charging ini mampu mengisi ulang 50% dari baterai smartphone berkapasitas 4.000 mAh dalam waktu 5 menit saja, atau 13 menit untuk charging hingga penuh. Jujur saya pribadi sama sekali tidak tertarik dengan wireless charging kalau memang proses pengisian ulang ponsel bisa dilakukan secepat ini.

Sumber: Vivo via Mashable.

Wi-Charge Adalah Wireless Charger Berbasis Infra Merah yang Tak Memerlukan Kontak Fisik

Meski jauh lebih praktis ketimbang menggunakan kabel, wireless charging masih memerlukan kontak fisik antara handset dan charger. Pertanyaan saya, adakah metode wireless charging yang tidak memerlukan kontak fisik seperti ini? Continue reading Wi-Charge Adalah Wireless Charger Berbasis Infra Merah yang Tak Memerlukan Kontak Fisik