10 Game Esports Paling Unik dan Aneh

Industri esports memang telah tumbuh menjadi industri yang besar. Namun, hal itu bukan berarti semua game bisa menjadi game esports. Biasanya, game-game esports yang populer mengusung genre-genre tertentu, seperti MOBA, FPS, dan battle royale. Meskipun begitu, ada beberapa game yang digunakan dalam kompetisi meskipun genre dari game-game itu bukanlah genre yang biasa ditemukan pada game esports.

Berikut 10 game esports paling unik sekaligus aneh, mungkin…

 

1. Farming Simulator

Seperti namanya, Farming Simulator merupakan game tentang simulasi bertani. Game ini sangat populer di kawasan Amerika Utara dan Eropa. Mengusung nama Farming Simulator Championship, kompetisi dari game simulasi bertani ini diadakan pada 2018. Kompetisi itu sukses, mendorong developer GIANTS Software untuk melanjutkan kompetisi esports dari Farming Simulator. Pada 2020, mereka mengumumkan keberadaan Farming Simulator League (FSL) Season 3. Liga dari Farming Simulator itu dimulai pada November 2020 dan akan berlangsung hingga November 2021. Total hadiah dari liga tersebut mencapai 250 ribu Euro.

FSL Season 3 akan diikuti oleh tim-tim yang mewakili perusahaan manufaktur peralatan bertani, seperti John Deere, Lindner, Krone, Trelleborg, Valtra, Manitou, dan Rudolf Hörmann. Seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer, para pecinta Farming Simulator juga bisa ikut serta dalam FSL Season 3 dengan mengunduh DLC turnamen dari Farming Simulator 19.

Pertandingan dalam Farming Simulator akan mengadu dua tim. Masing-masing tim terdiri dari tiga pemain. Mereka akan diminta untuk memanen ladang gandum dalam waktu 15 menit. Tim yang berhasil mendapatkan panen terbanyak akan keluar sebagai pemenang. Sama seperti Dota 2, di kompetisi Farming Simulator, juga ada sistem pick and ban.

 

2. Catherine

Catherine adalah game single-player buatan Atlus yang bercerita tentang seorang pria yang tengah bingung karena masalah percintaan. Kegalauannya ini lalu muncul dalam bentuk menara yang harus dia panjat. Setelah Anda menyelesaikan game ini, Anda bisa memainkan mode multiplayer, yang mengadu Anda dengan pemain lain. Di mode multiplayer, Anda juga masih harus memanjat menara yang terdiri dari blok-blok yang bisa Anda dorong dan tarik. Untuk menang, Anda harus mencapai puncak menara atau membuat lawan Anda jatuh. Kompetisi dari Catherine bahkan tampil di EVO, esports event yang fokus pada fighting game.

Skena esports dari Catherine bisa tumbuh berkat David “Dacidbro” Broweleit. Selama bertahun-tahun, dia memang dikenal sebagai pemain anime fighting game. Dia bercerita, dia mengenal Catherine dari temannya, Sean Hoang, yang punya koneksi dengan grup streaming bernama FinestKO. Keduanya lalu bermain Catherine bersama dan mengunggah video itu ke internet. Mereka juga membuat konten dari turnamen lokal bernama NorCal Install. Ketika itu, salah satu “game gimmick” yang hendak diadu adalah Catherine.

“Sambil bercanda, kami berkata bahwa kami harus latihan agar bisa memenangkan kompetisi itu,” kata Dacidbro, dikutip dari Red Bull. “Dan kami menghabiskan waktu tujuh jam untuk berlatih. Catherine adalah game yang hebat!” Pada hari pertandingan, Dacidbro dan Hoang kembali menyiarkan pertandingan mereka. Dan ternyata, ada banyak orang yang tertarik untuk menonton pertandingan itu. Dia berkata, pada 2012, mereka berhasil mendapatkan 4 ribu penonton, 10 kali lipat dari jumlah penonton mereka biasanya.

 

3. Zwift

Cycling Esports World Championships.
Cycling Esports World Championships.

Zwift merupakan program latihan bersepeda yang punya mode multiplayer. Keberadaan mode itu memungkinkan game ini digunakan untuk mengadakan balap sepeda virtual. Ialah Cycling Esports World Championship, kompetisi balap sepeda virtual yang diadakan pada 8-9 Desember 2020 lalu. Perlombaan itu diikuti oleh para atlet profesional. Pihak penyelenggara juga menyiapkan sepeda yang bisa digunakan peserta untuk menghindari kecurangan.

Satu hal yang membedakan balap sepeda virtual dengan balap sepeda sebenarnya adalah keberadaan item powerup yang akan muncul secara random. Hanya saja, dalam Cycling Esports World Championship, hanya ada dua powerups yang tersedia, yaitu Aero dan Lightweight. Pada akhirnya, Cycling Esports World Championship dimenangkan oleh Jason Osborne, atlet dayung yang akan ikut dalam Olimpiade Tokyo tahun ini.

 

4. Age of Empire II

Franchise Age of Empires telah muncul sejak Oktober 1997. Sementara Age of Empires II dirilis pada September 1999. Menariknya, meski AoE II sudah berumur lebih dari 20 tahun, kompetisi dari game itu tetap berhasil menarik ribuan penonton. Faktanya, ketika Age of Empires II diadu dalam turnamen Hidden Cup pada 2020, jumlah penonton dalam satu pertandingan mencapai lebih dari 35 ribu penonton.

Kompetisi Age of Empire II masih menarik minat ribuan penonton.
Kompetisi Age of Empire II masih menarik minat ribuan penonton.

Satu hal unik tentang Hidden Cup adalah nama peserta disembunyikan. Dengan kata lain, para peserta tidak tahu siapa lawan mereka. Nama para peserta baru akan diumumkan setelah pertandingan berakhir dan seorang pemain keluar sebagai juara. Hal ini membuat para komentator tidak hanya berceloteh tentang strategi yang digunakan para pemain, tapi juga menerka siapa pemain yang sedang bertanding. Sementara itu, para peserta harus bisa beradaptasi dengan strategi musuh dengan cepat karena mereka tidak tahu siapa yang mereka hadapi, menurut laporan Rock Paper Shotgun.

 

5. Shrek SuperSlam

Shrek Superslam
Shrek Superslam

Di dunia esports, fighting game memang kalah populer dari game-game MOBA, FPS, dan battle royale. Meskipun begitu, skena esports fighting game punya fans tersendiri. Beberapa fighting game yang populer antara lain Tekken dan Street Fighter. Shrek SuperSlam masuk dalam kategori fighting game, walau game ini jauh lebih santai jika dibandingkan dengan game seperti Tekken. Menurut The Score eSportfighting game yang diluncurkan pada 2005 itu bahkan sempat menjadi bahan meme para generasi zoomer.

Meskipun begitu, fans dari Shrek SuperLam kemudian membangun komunitas sendiri. Setelah itu, mereka mulai membuat pertandingan dari Shrek SuperSlam. Salah satu bukti keseriusan komunitas Shrek SuperSlam adalah peluncuran versi HD remaster dari game tersebut.

 

6. Shaq Fu

Versi Remake dari Shaq Fu
Versi Remake dari Shaq Fu

Dirilis pada Oktober 1994, Shaq Fu merupakan fighting game yang menjadikan pemain basket NBA, Shaquille O’Neal, sebagai tokoh utama. Dalam game ini, Shaq pergi ke Jepang agar bisa menghadiri pertandingan basket untuk kegiatan amal. Di sana, dia masuk ke dojo dan bertemu dengan seorang ahli bela diri, Leotsu. Kemudian, dia pergi ke dimensi lain untuk menyelamatkan seorang anak laki-laki bernama Nezu. Pada 2013, seorang pria yang menggunakan nama “Horse Face Killer” berhasil memenangkan kompetisi Shaq Fu. Hadiah yang dia dapatkan merupakan cartridge emas dari game Shaq Fu.

 

7. Blaston

Blaston merupakan game shooter virtual reality yang mengadu dua pemain. Developer Resolution Games menyediakan berbagai senjata di sini. Tugas Anda hanyalah untuk mengalahkan musuh. Namun, mengingat Blaston adalah game virtual reality, Anda harus menggerakkan tubuh Anda untuk menghindari peluru musuh. Turnamen dari Blaston diadakan pada Oktober 2020. Sejak itu, pihak developer berharap, ekosistem esports dari Blaston akan tumbuh sehingga menjadi sebesar Super Smash Bros.

8. The Sims 4

Electronic Arts membuat kompetisi dari The Sims 4 bernama The Spark’d pada tahun lalu. Menggunakan format reality show, EA mengundang 12 kreator konten untuk bertanding memperebutkan hadiah sebesar US$100 ribu. Dalam kompetisi itu, para kontestan akan saling beradu untuk menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh penyelenggara. Keputusan EA untuk mengadakan kompetisi dari The Sims memang sejalan dengan strategi mereka untuk menjadikan konten esports sebagai hiburan mainstream yang tidak hanya dinikmati oleh gamer dan fans esports, tapi juga orang-orang biasa.

 

9. GeoGuessr

Geoguessr
Geoguessr

GeoGuessr adalah game berbasis web yang diluncurkan pada Mei 2013. Dalam game ini, Anda akan diposisikan di sebuah tempat secara random. Setelah itu, Anda harus menebak lokasi Anda berdasarkan gambar Google Street View yang Anda lihat. Hanya saja, di game ini, Anda tidak akan melihat nama jalan, gedung perkantoran, atau bangunan khusus yang bisa menjadi ciri khas sebuah kota. Setelah Anda menebak lokasi Anda, GeoGuessr akan menampilkan posisi Anda yang sebenarnya dan membandingkannya dengan tebakan Anda. Semakin dekat tebakan Anda dengan lokasi Anda yang sebenarnya, semakin tinggi skor yang Anda dapatkan. Game GeoGuessr kini juga dilengkapi dengan fitur battle royale.

 

10. Clone Hero

Clone Hero
Clone Hero

Clone hero merupakan rhythm game yang sering disebut sebagai tiruan dari Guitar Hero. Hanya saja, Anda bisa memodifikasi Clone Hero sesuka Anda. Misalnya, Anda bisa membuat music-charts khusus dan mengunggahnya ke internet. Seperti yang disebutkan oleh ScreenRant, Clone Hero bisa disebut sebagai versi open-source dari Guitar Hero yang dibuat oleh fans dan untuk fans. Game Clone Hero juga sudah dilengkapi dengan fitur multiplayer, memungkinkan komunitas untuk membuat kompetisi dari game tersebut.

Sumber: The Score eSport, Laptop Mag

Fl1pzjder dan NXL Ligagame Dalam Menghadapi VALORANT Championship Tour 2021: SEA Masters 1

Dua pekan lalu (26-28 Februari 2021) kita menyaksikan tim VALORANT NXL Ligagame menjadi juara di pertandingan VCT 2021: Indonesia Stage 1 Challengers 2. Mereka berhasil melibas BOOM Esports 3-1 di babak Grand Final sehingga mereka mendapat kesempatan untuk bertanding di tingkat yang lebih tinggi, VCT 2021: SEA Masters Stage 1.

NXL Ligagame sendiri sudah punya beberapa pengalaman bertanding di turnamen-turnamen tingkat Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Namun VCT 20221: SEA Masters Stage 1 jadi beda cerita dengan turnamen-turnamen sebelumnya, mengingat kompetisi tersebut tergolong sebagai turnamen official dengan dukungan langsung dari Riot Games. Bagaimana persiapan NXL Ligagame menghadapi turnamen tersebut? Untuk itu saya berbincang dengan Saibani Rahmad atau Bani atau “fl1pzjder” selaku kapten NXL Ligagame membincangkan soal persiapan mereka menghadapi turnamen tersebut.

 

Fl1pzjder, Sosok Duelist Tajam Dipadu Dengan Kemampuan Memimpin Tim

Sebelum membahas soal persiapan tim, kami juga sempat berbincang singkat soal perjalanan Bani di dunia game kompetitif. Bani bercerita bahwa pengalaman dirinya bermain game secara kompetitif sebenarnya sudah cukup panjang. “Dulu sempat main Point Blank juga, terus pindah ke CS:GO, sampai akhirnya sekarang main di VALORANT ini.” ucap Bani.

Salah satu keunikan dari sosok Bani sendiri adalah peran dalam tim yang ia jalani. Bani mengambil posisi sebagai Duelist merangkap Kapten atau in-game leader. Posisi tersebut jadi unik karena pemain Duelist punya peran sebagai garda terdepan bagi pasukan penyerang, dengan tugas membuka atau membongkar pertahanan musuh. Karena perannya, kebanyakan pemain Duelist cenderung akan fokus menembaki musuh dan kesulitan memberi komando. Karenanya posisi in-game leader pada beberapa tim biasanya adalah pemain yang cenderung bermain secara lebih taktis dan menggunakan Agent tipe Control atau Initiator di dalam VALORANT.

Sumber: ONE Up Official
Sosok Fl1pzjder yang juga sempat mendapat gelarn “Sang Pemusnah” karena mendapat akumulasi KDA terbanyak di gelaran VALORANT First Strike. Sumber: ONE Up Official

Namun Bani sendiri menceritakan bahwa tidak ada kesulitan tertentu saat menjalani peran tersebut. “Jadi tidak sulit mungkin karena memang sedari dulu posisi gue di dalam tim kompetitif FPS selalu seperti itu, membongkar pertahanan lawan sambil memberi komando. Gue memainkan posisi seperti itu bahkan sejak dari dulu ketika main kompetitif Point Blank di Palembang dan usia gue masih sekitar 15 tahun. Saat sedang giat di dunia kompetitif CS:GO sekitar 2017, posisi gue pun tetap sama, pembongkar pertahanan musuh merangkap in-game leader.”

“Justru gue sendiri merasa kombinasi peran seperti itu memberi keuntungan tertentu. Gue jadi bisa melihat lebih jelas ke mana arah rotasi musuh. Juga karena gue berposisi di depan, gue bisa lebih cepat ambil keputusan pada saat ada kesempatan untuk masuk terbuka.” Bani menjelaskan lebih lanjut soal perannya di dalam tim NXL Ligagame.

 

Persiapan NXL Ligagame Dalam Menghadapi VCT 2021: SEA Stage 01 Masters

Topik selanjutnya yang menjadi obrolan bagi kami berdua adalah internal tim mereka saat menghadapi VCT 2021: Indonesia Stage 1 Challengers 2. Dalam perbincangan tersebut, Bani mengakui bahwa dia sendiri sebenarnya tidak merasa sepenuhnya siap pada saat jelang kualifikasi Indonesia kedua tersebut. “Perasaan tersebut muncul karena memang kami sempat kalah pada saat Indonesia Challenggers 1 melawan BOOM Esports.” tutur Bani.

Walau merupakan salah satu yang terkuat, tapi NXL Ligagame sendiri bukanlah tim adikuasa di skena VALORANT Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Bani, dirinya dan kawan-kawan NXL Ligagame sempat mendapat hasil yang kurang memuaskan pada Indonesia Challengers 1. Mereka kalah 0-2 lawan BOOM Esports yang memaksa NXL Ligagame harus bertanding lewat kualifikasi terbuka agar bisa ikut Indonesia Challengers 2.

“Lalu setelahnya kami mencoba melakukan pergantian pemain dan melakukan persiapan lagi. Pergantian tersebut sebenarnya juga membuat gue jadi merasa tidak sepenuhnya siap untuk Indonesia Challengers 2. Walaupun begitu, para anggota tim berusaha untuk tetap optimis dan melakukan yang terbaik untuk semuanya. Karenanya kami cukup bersyukur dengan hasil yang kami dapatkan tersebut.” Bani menceritakan di balik layar dari kemenangan NXL Ligagame dalam Indonesia Challengers 2.

Mengutip dari Liquidpedia, NXL Ligagame memang sempat mengganti satu pemainnya pada satu kali kesempatan. Pemain tersebut adalah Natz yang digantikan oleh Sayoo pada 24 Februari 2021 kemarin. “Kalau soal pergantian tersebut, sejauh apa yang gue lihat memang Natz sudah beda visi dengan kami (divisi VALORANT NXL Ligagame).” Ucap Bani membahas singkat soal pergantian pemain yang terjadi.

Setelah membahas Indonesia Challengers 2, obrolan kami berlanjut ke soal persiapan menghadapi SEA Masters 1 dan peta kekuatan skena kompetisi VALORANT baik di SEA ataupun internasional. Membicarakan soal persiapan, Bani bercerita. “Sejauh ini kalau dari hasil latih tanding, gue sendiri merasa masih banyak kurangnya sih. Terasa kurang karena lawan yang dihadapi nanti adalah tingkat SEA nantinya dan gue merasa bahwa permainan kami dijadikan bahan belajar bagi tim lain. Makanya gue merasa tim masih perlu melakukan perbaikan di sana dan sini ataupun melatih strategi baru agar permainan kami jadi tidak terlalu tertebak.” Ujarnya. “Walaupun begitu, gue sih cukup pede segala kekurangan tersebut bisa kami kejar dalam satu minggu persiapan ini.” Tambah Bani.

Membicarakan soal peta kekuatan, Bani mengatakan bahwa ada satu tim asal Thailand yang cukup diwaspadai di skala pertandingan SEA. “Waktu itu tim tersebut memang sempat mengalahkan kami dalam satu sesi latih tanding, tapi tim itu sendiri belum lolos ke SEA Masters.” Tutur Bani.

Menutup obrolan, kami pun membincangkan soal peta kekuatan VALORANT secara internasional. “Kalau secara internasional, mungkin urutannya seperti ini: Eropa (EU), Amerika Utara (NA), Korea, SEA, baru Amerika Latin (LATAM) atau Asia (Jepang dan sekitarnya).” Bani mengurutkan.

Sumber: NXL Official Website
Sumber: NXL Official Website

Lebih lanjut, Bani lalu menjelaskan alasan opininya soal ranking kekuatan skena kompetitif VALORANT secara internasional. “Kalau EU sih karena memang kuat dari dulu sejak di CS:GO. Kuat kenapa? Karena EU itu aim-nya sakit, pemainnya juga kebanyakan pintar, punya game sense (pemahaman map dan skill agent) yang kuat. Korea itu masuk di peringkat 3 karena Vision Strikers sih, tapi kalau semisal tim tersebut enggak ada, tim lainnya itu tergolong biasa aja.” Ucapnya.

Lalu bagaimana dengan SEA ataupun Indonesia sendiri? Bani pun mengatakan, “Indonesia itu sebenarnya punya skill aim yang bisa bersaing menurut gue. Tapi sayangnya enggak semua pemain punya otak.” Pernyataan Bani mungkin terdengar agak kasar, tapi saya sendiri sebenarnya cukup paham dengan apa yang dimaksud.

Dalam esports memang ada ujaran “otot dan otak” ketika membicarakan skill pemain. Maksudnya otot adalah kemampuan mikro di dalam sebuah game. Kalau dalam VALORANT, kemampuan aim bisa digolongkan sebagai skill “otot”. Sementara otak adalah kemampuan makro. Kalau dalam VALORANT, “game sense” yang di dalamnya termasuk kemampuan pemain dalam memahami map atau memahami cara kerja/cara efektif/cara pintar menggunakan skill seorang Agents adalah seperangkat skill “otak”.

 

VCT 2021: SEA Masters 1 sendiri akan diselenggarakan tanggal 19-21 Maret 2021 mendatang. Mengutip dari Liquidpedia, pertandingan tersebut akan menyertakan tim dari negara Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Selain NXL Ligagame, masih tersisa satu slot lagi untuk tim Indonesia di dalam turnamen tersebut yang akan diperebutkan dalam Indonesia Challengers 3 pada tanggal 12-14 Maret 2021 mendatang.

BOOM Esports dan Alter Ego bisa dikatakan sebagai 2 kontestan terkuat dari Indonesia Challengers 3. Tetapi apakah mungkin akan muncul kejutan dari kontestan-kontestan lainnya?

Sumber Gambar Utama – NXL Ligagame Official Website

8 Berita Bisnis Esports untuk Kawasan Asia Tenggara dan India Pada Februari 2021

Asia Tenggara dan India merupakan pasar mobile esports yang punya potensi besar. Jadi, tidak heran jika sepanjang bulan Februari 2021, ada berbagai sponsor yang tertarik untuk menjalin kerja sama dengan organisasi esports dan penyelenggara turnamen esports di dua kawasan tersebut. Berikut 8 perjanjian bisnis yang ditandatangani sepanjang Februari 2021.

 

1. OPPO Sponsori Turnamen Mobile Legends dan Wild Rift di Filipina

OPPO bekerja sama dengan Mineski di Filipina. Kerja sama ini memungkinkan perusahaan smartphone itu untuk menjadi sponsor dari Mobile Legends: Bang Bang Professoinal League di negara tersebut. Selain itu, mereka juga mendukung League of Legends: Wild Rift SEA Icon Series, khususnya untuk turnamen di Filipina. Tujuan OPPO menjadi sponsor dari dua turnamen esports itu adalah untuk memperkuat posisi mereka di dunia gaming dan esports. Memang, pasar gaming dan esports di Filipina cukup besar. Marketing Director OPPO Fliipina, Raymond Xia mengungkap, 74% netizen Filipina bermain mobile game.

“Kolaborasi kami dengan OPPO merupakan bagian penting dari rencana kami untuk mendukung gamer Filipina,” kata Country Manager Mineski Filipina, Mark Navarro, seperti dikutip dari Esports Insider. “Dukungan OPPO di liga-liga esports yang kami adakan memungkinkan para gamer dari berbagai latar belakang kehidupan akan bisa bertanding di kompetisi esports tingkat profesional.”

 

2. Recaro Gaming Dukung PSG.Talon

Talon Esports, organisasi esports asal Hong Kong, mengumumkan kerja samanya dengan divisi gaming dari Recaro. Melalui kolaborasi ini, Recaro akan menyediakan kursi gaming Recaro Exo pada tim dan staf dari PSG.Talon, tim League of Legends Talon yang berlaga di kawasan Asia Pasifik. Selain itu, PSG.Talon juga bekerja sama dengan PSG Esports. PSG.Talon berhasil memenangkan 2020 Pacific Championship Series Spring Split dan 2020 Mid-Season Showdown. Tak hanya itu, mereka juga mewakili kawasan Asia Pasifik di League of Legends World Championship 2020.

Talon bekerja sama dengan Recaro Gaming.
Talon bekerja sama dengan Recaro Gaming.

“Kami senang bisa bekerja sama dengan PSG.Talon karena mereka punya visi yang sama kami, yaitu memberikan performa terbaik,” kata Lars Schilling, Managing Director of Recaro Gaming, lapor Esports Insider. “Melalui kerja sama ini, kami kembali menekankan perhatian kami akan industri esports.”

 

3. Yamaha Generation 125 Jadi Sponsor EVOS Esports

Pada bulan lalu, EVOS Esports menyambut Yamaha Generation 125 sebagai sponsor terbaru mereka. Kerja sama ini bertujuan untuk mendukung perkembangan skena esports di Indonesia. Takeyama Hiroshi, Deputy Director of Marketing, PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing mengungkap bahwa tingginya antusiasme generasi muda akan industri esports menjadi salah satu alasan mengapa Yamaha tertarik untuk bekerja sama dengan EVOS Esports. Dia juga mengungkapkan harapannya, yaitu kolaborasi antara Yamaha dengan EVOS akan meningkatkan antusiasme dan optimisme gamer di Indonesia, menurut laporan Esports Insider.

 

4. EVOS Tunjuk Mantan Pemain sebagai Business Development Lead

Masih pada Februari 2021, EVOS Esports juga menunjuk mantan pemainnya, Stefan “EVOS.Soul” Chong sebagai Business Development Lead di Singapura. Di jabatan barunya, Chong akan bertanggung jawab untuk menjalin komunikasi dengan para pemegang kepentingan, mulai dari sponsor, badan pemerintah, sampai publisher dari Mobile Legends, Moonton Games.

Stephan "EVOS.Soul" Chong.
Stephan “EVOS.Soul” Chong.

Sebagai pemain profesional, Chong bertanding bersama tim EVOS SG, yang ikut turun di M2 World Championship pada Januari 2021. Selain itu, dia juga pernah mewakili tim nasional esports Singapura di SEA Games 2019. Di luar esports, dia memegang gelar Mechanical Design and Manufacturing Engineering dari Singapore Institute of Technology.

 

5. PGL Selenggarakan Turnamen Dota 2 Major di Singapura

Penyelenggara turnamen esports, PGL mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan Singapore Dota 2 Major. Kompetisi itu akan menjadi turnamen major pertama dari musim Dota Pro Circuit (DPC) 2021. Memang, DPC sempat terhenti pada 2020 karena pandemi virus corona. Singapore Dota 2 Major akan digelar secara offline pada 27 Maret 2021 sampai 4 April 2021. Di turnamen itu, akan ada 18 tim Dota 2 terbaik dunia yang berlaga untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$500 ribu.

“Setelah mengadakan Manila Major dan Kuala Lumpur Major, sekarang kami akan kembali mengadakan kompetisi esports besar di Asia Tenggara,” kata Silviu Stroie, CEO PGL, menurut laporan Esports Insider. “Kami akan fokus di kawasan Asia Tenggara dan kami sudah menjalin kerja sama dengan badan esports utama di Singapura, yaitu Singapore Games Association (SGGA).”

 

6. FIGHT Esports Jalin Kerja Sama dengan TikTok

FIGHT Esports — yang merupakan singkatan dari Forest Interactive Gaming Habitat Team — mengumumkan kerja samanya dengan TikTok Asia Tenggara pada Februari 2021. Kerja sama antara keduanya akan berlansung selama satu tahun. Salah satu bagian dari kerja sama ini adalah penyelenggaraan #TikTOkGGPH Creator Cup, kompetisi VALORANT yang ditujukan untuk para kreator konten. Turnamen itu diselenggarakan pada 27-28 Februari 2021.

FIGHT TikTok
FIGHT Esports bekerja sama dengna TikTok di Asia Tenggara.

Gaming bukan sekedar media hiburan. Bermain game bersama juga bisa menjadi cara untuk membangun komunitas yang positif. Karena itu, kami juga ingin punya peran dalam mengembangkan komunitas gaming,” kata John Castro, Gaming Operation Manager for Philippines, TikTok, John Castro, seperti yang dikutip dari Esports Insider.

 

7. Talon Perpanjang Kontrak Kerja Sama dengan Carnival

Selain kerja sama dengan Recaro, pada Februari 2021, Talon Esports juga mengungkap bahwa mereka akan memperpanjang kontrak kerja sama mereka dengan butik streetwear asal Thailand, Carnival. Dengan begitu, Carnival dan Talon akan bekerja sama untuk meluncurkan merchandise baru di masa depan. Berbeda dengan Recaro yang fokus pada tim League of Legends milik Talon, Carnival lebih tertarik pada tim Arena of Valor dari organisasi esports tersebut.

Sekarang, Talon Esports memegang gelar juara ROV Pro League. Selain itu, mereka diklaim sebagai tim Arena of Valor dengan jumlah penonton terbanyak ke-5 di dunia. CEO Talon Esports, Sean Zhang mengakui pentingnya kerja sama antara organisasi esports dan merek fashion. Memang, di Indonesia pun, ada beberapa kolaborasi antara merek apparel dengan organisasi esports, seperti EVOS Esports dengan Thanksinsomnia.

 

8. ASUS Buat ROG Academy di India

Pada awal Februari 2021, ASUS Republic of Gamers (ROG) meluncurkan program akademi esports untuk gamers di India, khususnya gamer Counter-Strike: Global Offensive. Semua orang bisa mendaftarkan diri di ROG Academy, asalkan mereka sudah berumur setidaknya 16 tahun. Orang-orang yang telah mendaftarkan diri lalu akan melalui berbagai proses seleksi, termasuk tes, wawancara, dan kompetisi. Tujuannya adalah menemukan kandidat terbaik untuk dilatih di ROG Academy. Peserta yang lolos kemudian akan bisa berlatih menggunakan produk ASUS ROG di bawah bimbingan para pelatih profesional di akademi, termasuk Agneya “Marzil” Koushik dan Prashant “Aequitas” Prabhakar.

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan Februari 2021

Tahun 2021 baru dimulai, begitu juga dengan berbagai turnamen esports yang memulai musim kompetisi barunya. Sejak bulan Februari 2021 lalu, beberapa game esports sudah memulai musim kompetisi mereka. Hal tersebut pun memancing rasa penasaran tersendiri, siapa turnamen esports terpopuler di bulan Februari 2021 kemarin? Mengutip data dari Esports Charts, berikut daftarnya.

 

#5 – LCK Spring 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Daftar 5 tayangan LCK terpopuler. Seperti yang Anda lihat, tayangan bulan Januari masih jadi yang paling perkasa sementara tayangan bulan Februari hanya ada di peringkat 4 saja. Sumber Gambar – Esports Charts.

Pada bulan-bulan sebelumnya, Liga LoL Korea (LCK) kerap tampil perkasa dari segi catatan peak viewers bulanan. Sayangnya LCK harus puas hanya berada di peringkat 5 saja bulan Februari ini. Pertandingan dengan peak viewers terbanyak bulan Februari 2021 ini adalah pertandingan antara T1 melawan Nongshim RedForce dengan catatan 525 ribu peak viewers lebih. Secara historis, penampilan T1 memang menjadi yang paling ditunggu dari liga LoL Korea. Hal tersebut terlihat dari kehadiran T1 di lima 5 pertandingan LCK dengan catatan peak viewers tertinggi.

Pertandingan antara T1 melawan Damwon Gaming di pekan pertama LCK masih belum bisa disalip. Pertandingan yang terselenggara bulan Januari tersebut berhasil mencatatkan 800 ribu lebih peak viewers dan mengisi peringkat 3 di daftar turnamen esports terpopuler bulan Januari 2021. Perubahan branding dan format menjadi liga franchise sepertinya tidak secara instan mendongkrak performa viewership dari LCK. Terlepas dari semua itu kehadiran LCK di dalam daftar ini masih membuktikan posisi League of Legends sebagai salah satu game esports utama secara internasional. Apalagi LCK sendiri juga hampir tidak pernah keluar dari daftar turnamen esports terpopuler bulanan.

 

#4 – BLAST Premier Spring 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

Selain League of Legends, CS:GO juga merupakan game esports lain yang bisa digolongkan sebagai game esports utama. Pada bulan ini, salah satu turnamen CS:GO yang masuk ke dalam daftar adalah BLAST Premier Spring 2021. Pertandingan yang membuat turnamen ini masuk ke dalam daftar adalah pertemuan antara FaZe Clan melawan NAVI yang mencatatkan 543 ribu lebih peak viewers pada tanggal 13 Februari 2021 kemarin.

Masih seperti sebelum-sebelumnya, bahasa Russia dan Portugis menjadi dua tayangan berbahasa lokal dengan catatan peak viewers terbanyak selain bahasa Inggris. Tayangan bahasa Russia mencatatkan 155 peak viewers lebih, sementara bahasa portugis mencatatkan 138 peak viewers lebih. Catatan tersebut jadi cukup wajar mengingat tim NAVI yang memang punya fanbase kuat di kawasan Rusia dan sekitarnya. Pada sisi lain, FaZe Clan memiliki Coldzera asal Brazil sebagai roster utama yang berpotensi banyak penonton berbahasa Portugis.

 

#3 – LEC Spring 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

Liga LoL Eropa (LEC) kali ini masuk di dalam peringkat ke-3 dari daftar turnamen esports terpopuler bulan Februari 2021. Pertandingan yang membuat liga ini masuk ke dalam daftar masih merupakan pertemuan paling ikonik dari skena kompetitif League of Legends di Eropa, yaitu G2 melawan Fnatic. Pertandingan tersebut merupakan pertandingan pekan ketiga LEC yang diselenggraakan 6 Februari 2021 kemarin dengan catatan 582 ribu lebih peak viewers.

Apabila ditilik lebih jauh, tayangan berbahasa Inggris masih menjadi primadona dari liga LEC 2021. Menurut catatan Esports Charts ada 361 ribu peak viewers lebih yang menonton tayangan LEC berbahasa Inggris. Tayangan bahasa lokal masih terpaut cukup jauh ketimbang tayangan bahasa Inggris. Pada peringkat 2 ada tayangan bahasa Prancis dengan 72 ribu peak viewers lebih dan tayangan bahasa Spanyol dengan 71 ribu peak viewers lebih di peringkat ke 3.

 

#2 IEM Katowice 2021

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts.

CS:GO kembali muncul lagi di dalam daftar ini. Kali ini ada salah satu turnamen esports CS:GO terakbar yaitu Intel Extreme Masters Katowice 2021. Pertemuan antara NAVI dengan Team Liquid adalah pertandingan yang membawa IEM Katowice ke dalam daftar ini. Pertandingan yang diselenggarakan 21 Februari 2021 kemarin mencatatkan 596 ribu peak viewers dan merupakan pertandingan babak grup.

Menariknya, pertandingan babak Grand Final dari IEM Katowice justru kalah dari segi catatan peak viewers. Pertandingan Grand Final yang mempertemukan Gambit Esports dengan VP hanya mencatatkan 417K peak viewers dan berada di peringkat 4 dari 5 pertandingan IEM Katowice 2021 terpopuler. Tapi memang, pertemuan NAVI dengan Liquid menyajikan pertandingan yang sengit bahkan sampai memaksa hadirnya babak overtime pada game 3. Sementara pada sisi lain, walaupun Virtus Pro sempat memberi perlawanan di game 1 tetapi Gambit Esports berhasil melibas 3 game sisanya dengan dominasi yang kuat pada pertandingan Grand Final.

 

#1 MPL Indonesia Season 7

Sumber Gambar - Esports Charts
RRQ vs Bigetron Alpha adalah pertandingan MPL ID paling populer. Namun pertandingan tersebut terselenggara di bulan Maret sehingga yangmasuk ke dalam daftar ini adalah RRQ vs Alter Ego yang terselenggara bulan Februari 2021. Sumber Gambar – Esports Charts.

Nama yang cukup tidak terduga kali ini ada di peringkat pertama dari daftar turnamen esports di bulan Februari 2021. Nama tersebut adalah Mobile Legends: Bang Bang Professional League: Indonesia Season 7 (MPL ID Season 7). Esports MLBB sebenarnya sudah beberapa kali masuk ke dalam daftar turnamen esports terpopuler bulanan. Tetapi bulan ini mungkin adalah bulan pertama bagi MPL Indonesia bisa menjadi pemuncak daftar turnamen esports terpopuler versi Esports Charts.

Pertandingan yang membuat MPL ID Season 7 berada di dalam daftar ini adalah pertandingan di pekan pertama antara RRQ dengan Alter Ego yang diselenggarakan 27 Februari 2021 kemarin. Pertandingan tersebut berhasil mencatatkan 613 ribu lebih peak viewers. Pertandingan itu sendiri sebenarnya merupakan pertandingan terpopuler ke-3 dari daftar 5 pertandingan MPL Indonesia terpopuler. Pada peringkat pertama ada pertandingan antara RRQ melawan Bigetron Alpha yang terselenggara pekan lalu, 7 Maret 2021. Melihat angka yang ditorehkan, MPL ID Season 7 sepertinya punya kemungkinan yang besar masuk lagi ke dalam daftar turnamen esports terpopuler bulan Maret 2021 nanti.

 

Mobile Legends: Bang Bang Telah Menjadi Bagian Dari Game Esports Utama?

Sumber Gambar - Esports Charts
Sumber Gambar – Esports Charts

Mobile Legends: Bang-Bang berhasil mempertahankan namanya di dalam daftar turnamen esports terpopuler bulanan, bahkan MPL ID berhasil mengisi peringkat pertama di daftar bulan Februari 2021 ini. Pencapaian tersebut adalah sesuatu yang patut dibanggakan oleh ekosistem esports Indonesia. Hal tersebut mengingat banyaknya jumlah penonton tayangan MPL berbahasa Indonesia berhasil menyalip liga-liga esports game PC yang sudah jadi tontonan internasional, seperti League of Legends ataupun CS:GO.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Wild Rift Esports in the Indonesian Esports Ecosystem: Players’ Views, Challenges, and Expectations

League of Legends: Wild Rift, which launched its beta phase in September 2020, has been hyped up in the gaming community for quite a while now. Furthermore, to Indonesia’s local esports ecosystem, Riot Games’ reputation as an esports company instils the belief that the game will have a promising future. Players who have failed in going pro in other MOBAs immediately grind their way to the top to attract future pro teams. Many fans simply can’t wait to see the future of Wild Rift esports. A few esports organizations also took this early bird opportunity and began recruiting players and establishing their roster.

After the beta release and running Wild Rift SEA Pentaboom title, what will be the next step for Riot in Wild Rift? Players, fans, esports organizations, and even I will continuously be curious about Wild Rift’s esports plans.

Therefore, let us investigate the extent of the development of Wild Rift esports in the local ecosystem so far. What are actions that local esports organizations are executing and planning to do with Wild Rift? What are the appropriate steps that Riot Games should take for Wild Rift’s esports in the future? Let’s try to answer these questions one at a time.

 

Regional Beta and Wild Rift Pentaboom (Development from the aspect of the game)

From investigating Wild Rift’s three-month journey since its release, we can say that they have been rapidly developing. The number of Champions has been growing consistently. Patches are also continuously released to improve and balance the game.

Riot Games is also slowly releasing Wild Rift in various other countries after the first regional beta in 7 Southeast Asian countries (including Indonesia) last October 2020. However, during the three months of its development, the game had one missing feature desired by many players: Spectator Mode.

Without this feature, the stretch of Wild Rift esports in the first few months of its release has been slightly hindered. Even though players can create a custom room, the community cannot broadcast Wild Rift matches to the public because there is no Spectator Mode.

However, several organizers from the Wild Rift community are still determined to broadcast Wild Rift tournaments. One of them is a content creator called Assassin Dave. He still organizes Wild Rift Asia Brawl even though he has to accept the limitations of the absence of spectator mode. Of course, Assassin Dave went through a lot of technical challenges to make all the broadcasting possible without spectator mode.

Tournaments initiated by Riot Games also experienced similar difficulties. Wild Rift Pentaboom, for example, also uses a similar viewing method by requiring players to stream their smartphone screens. Despite being able to broadcast matches and inviting many well-known streamer figures in the MOBA scene, the tournament is not very enjoyable to watch due to its limitations that it experiences.

Fortunately, Riot Games recognized the problem and soon responded. Riot Games announced patch 2.1 on February 1, 2021 yesterday. The patch finally provided several desired features from the Wild Rift community, including Spectator Mode. In addition, the patch also contained several regular contents such as new champions, skins, and balancing.

 

The State of the Wild Rift’s Esports Ecosystem in Indonesia 

Let’s now discuss the interest of Wild Rift in the local esports ecosystem. This discussion was important because of the presence of several well-known teams and the increase of fans’ interest in watching esports matches.

In discussing Wild Rift in the local context, four major Indonesian esports teams need to be highlighted. The teams are EVOS Esports, Bigetron Esports, BOOM Esports, and Alter Ego. I will explain why I chose these particular teams later. In addition, I also interviewed a representative from Yamisok as one of the third-party tournament organizers who have held the Wild Rift tournament in the past 2 months.

The first to be discussed is EVOS Esports. We actually have not seen the blue tiger making any moves towards Wild Rift esports. They have not held an open recruitment, let alone a roster announcement. However, their fans really hope that EVOS Esports will join the Wild Rift community in the future, especially after the AOV roster (Wirraw, Pokka, Carraway, and friends) were seen playing Wild Rift several times.

Aldean Tegar Gemilang, as Head of Esports EVOS, was my source in answering the questions regarding the team’s interest in Wild Rift. In general, Aldean said that EVOS Esports is still “waiting and observing” the whole Wild Rift esports scene play out. This strategy is quite reasonable considering that the Wild Rift ecosystem is not yet fully developed, and the game is still in its beta phase.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar, Head of Esports of EVOS Esports. Credits: YouTube Channel Jonathan Liandi.

“Honestly, we haven’t had any plans to enter the Wild Rift. We tend to observe beforehand how Wild Rift will develop in the Indonesian esports scene. If the game will have a big impact on the scene and has a promising ecosystem, we will then start diving into the game.” Aldean says.

Out of curiosity, I also asked about the possibility of the AOV roster being the pioneer of Wild Rift EVOS Esports. If the speculation is correct, then Wild Rift esports will certainly be even more exciting due to the outstanding achievements that EVOS’s AOV roster has accumulated in the past. However, Aldean said, “We still have no comment regarding this matter. The answer could be yes or no.”

Next up is Bigetron Esports. The red and white robot is the leading esports organization in the Wild Rift scene thus far. They are the first team to have a Wild Rift division in Indonesia. Their roster is also quite promising as it features former professional League of Legends PC players, such as Rully “Nuts” Sutanto.

Thomas Vetra, as Head of Esports Bigetron, is my source in examining the team’s journey in the Wild Rift scene. “We had participated in an Asian level tournament called Wild Rift Asia Brawl. We admit that the results have been considered as less than optimal.” So far, Bigetron Infinity (the name of Bigetron Esports’ Wild Rift division) has successfully passed the Wild Rift Asia Brawl group phase and is competing in the Playoff round.

Thomas Vetra, Head of Esports Bigetron. Sumber Gambar - Bigetron Esports.
Thomas Vetra, Head of Esports from Bigetron Esports. Credits: Bigetron Esports.

Because Bigetron Esports was incredibly quick to announce their Wild Rift division, I became curious about the team’s activity and their management’s view regarding this decision.

“When it comes to activities, our players are currently obliged to practice at the gaming house because most players are retirees from the last generation of esports League of Legends. When it comes to tournaments, it is not easy to find competitors to match our Wild Rift team, from what I have noticed so far. I think that investing in a premature esports ecosystem is considered a big investment instead of a loss. Moreover, I personally also feel that Wild Rift has a big opportunity in the Asian market and other regions.” Thomas said.

Next is BOOM Esports. The team with the jargon #HungryBeast has just recently announced the Wild Rift roster. BOOM Esports also plans to present the documentation of their roster selection process. BOOM Esports screened more than 3000 registrants. With insights from Leonard “OMO”, a League of Legends coach in Asia, BOOM Esports selected 5 talented young players and announced their roster on February 1, 2021 yesterday.

To investigate BOOM Esports’ decision in jumping into the Wild Rift esports scene, I interviewed Gary Ongko, Founder and CEO of BOOM Esports.

Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar - YouTube Channel HybridIDN.
Gary Ongko Putera, Owner and CEO of BOOM Esports. Credits: HybridIDN

“We strongly feel that League of Legends is a franchise that has a good reputation in the esports ecosystem. We can also observe how mobile MOBAs are doing very well in Indonesia. With these two reasons, we feel that Wild Rift has high hopes of achieving similar or even greater success than its counterparts.” Said Gary Ongko to me.

Gary Ongko then also talked about the selection process carried out by BOOM Esports, which lasted for about two months.

“Talking about recruitment, we are very fortunate to be assisted by the coach OMO who has profound knowledge in League of Legends. Thanks to him, we are able to select very talented players. Our players are still relatively new, but I feel they have great potential. Their scrim results are also excellent, and they have a high motivation to improve and learn, which is crucial for becoming a successful pro player.” Gary discusses the selected players from more than 3000 contestants.

“When talking about challenges, one of the difficult problems that we face is finding qualified people from the LoL scene. The reason behind this problem is that the game is relatively undeveloped in the Indonesian esports ecosystem. Therefore, it was difficult to hire experts in the game until finally, we decided to recruit OMO (LoL trainer from Singapore). The current pandemic situation also poses another challenge. At first, we planned to do a boot camp during the selection phase. However, due to the pandemic, we were forced to perform our screening online. ” Gary continues his story discussing the challenges he faced when building the roster.

Finally, there is Alter Ego. This team is also equally important to be highlighted because they, and ONIC Esports, have just received a direct invitation to compete in the inaugural Riot Games official Wild Rift tournament: Wild Rift SEA Icon Series: Preseason. The invitation is quite surprising because Alter Ego doesn’t have a Wild Rift division until this moment.

In an interview I conducted a few days ago (04/02), Indra Hadiyanto, as COO and Co-Founder of Alter Ego, also spoke about the Wild Rift roster and the story of Alter Ego being invited to the Wild Rift Icon Series tournament.

“We speculated that we were invited because Riot noticed our achievements in the VALORANT pro scene, which is another one of Riot’s games. When asked why Alter Ego was invited, the developers actually have their own criteria, starting in terms of players, rank, and even interviewing the team’s management. When Riot invited us, they also explained to us (the team owners) about the roadmap of their games. ” Said Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO and Co-Founder of Alter Ego.

Regarding the roster, Indra also explained that “Even though Alter Ego hasn’t made any announcement, they have actually signed an official roster since December 2020. Alter Ego has not gone public with their roster due to the combination of the COVID-19 pandemic situation, the renovation of our gaming house, and the condition of their Wild Rift players domiciled outside Jakarta. The five players from the roster all come from Indonesia, some of which are former League of Legends (PC) players. Our Wild Rift Division has also dominated the local competitive scene that has existed so far. One of them is the community tournament called IEC, which we managed to win on several occasions. ”

Finally, to complete my investigation of the state of the Wild Rift Indonesia’s ecosystem, I also interviewed one of the representatives of third-party tournament organizers, Putri Fauziah, the Project Manager of Yamisok. Yamisok is a technology-based esports tournament platform and regularly held tournaments despite not being able to broadcast Wild Rift due to the absence of spectator mode.

“The missing Spectator Mode feature has profoundly affected the community because tournaments can’t be broadcasted and players cannot interact. In fact, according to my experience, new games are usually crowded with viewers when they are live-streamed, especially if coupled with some giveaway event.” Putri told her experience.

Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.
Putri Fauziah, Project Manager from Yamisok.

“Regarding the extent of enthusiasm in the community, I observed that the reception that the game received has been overall decent. Many players are interested in participating in the tournament. When we opened the tournament slots, players and teams immediately took their opportunity to register. If there are no tournaments within the span of a month, players will immediately start asking questions. Most of the players that participate in our tournaments are ex-LoL PC players who are currently playing Wild Rift. Perhaps this is because LoL PC tournaments are becoming rare these days. As far as my observation goes, Wild Rift does have a good impact on the ecosystem because it adds some enthusiasm and variety to the MOBA game spectrum. “Putri continued her story discussing the community’s enthusiasm.

 

All Hopes for the Wild Rift in 2021.

Closing the conversation, five of my sources also expressed their hopes for the future Wild Rift scene in 2021.

“I hope that Riot Games has a solid strategy so that the community can develop and hopefully can compete with other popular Mobile MOBAs in Indonesia. I am actually quite confident that Wild Rift will be promising in the SEA region.” Aldean Tegar from EVOS mentioned.

“I think Riot Games might be able to take advantage of League of Legends’ popularity and give big prize tournaments in the Asia region. Beyond that, I feel that Riot Games already has a solid foundation in the esports ecosystem,” said Thomas from Bigetron Esports.

“In the short term, I strongly feel that Riot Games should continue to promote Wild Rift. For the long-term future, I hope that Riot Games can provide support and constantly improve the Wild Rift esports ecosystem. From what I see from LoL and VALORANT, I’m very sure that Wild Rift will also have tremendous success. Lastly, I hope that Wild Rift will keep their high skill ceiling so we can differentiate or separate the pro players from casual players.” Said Gary Ongko.

Worlds 2019
The presence of Worlds in the League of Legends scene has become a phenomenon in itself. Credits: Riot Games

“I really hope Indonesia can dominate the international Wild Rift scene in the future. Moreover, I also notice that Riot Games provides an incredibly big opportunity for SEA players in Wild Rift.” Indra from Alter Ego added.

“Personally, I only hope that the Wild Rift ecosystem can develop well and can remain popular for a long time. I also hope Riot will keep the game light so that it is compatible for all ranges of devices.” Putri also added.

League of Legends: Wild Rift itself is still in beta status at the time of writing this article. When I spoke with the Wild Rift development team last October 2020, Brian Feeney, the Design Director of Riot Games, shared how making mobile games is an incredibly challenging process. He also mentioned that Riot Games tends to prioritize game development and takes care of the esports section in a later stage

However, since the game is still far from being finished, the conversations above suggest that the Wild Rift ecosystem will develop much faster than expected. Although, indeed, most of the esports initiatives were taken by third parties. For example, many local teams are very confident in forming rosters even though Riot Games has not clearly disclosed Wild Rift’s esports plan. Moreover, several third-party organizers are also determined to host tournaments for the community despite all the limitations they will face.

Sumber: YouTube Channel League of Legends: Wild Rift
Approximately 3 months after Wild Rift was release, it’s safe to say that the game’s development process is relatively fast. Credits: League of Legends: Wild Rift YouTube Channel

Approximately 3 months after Wild Rift was released, it’s safe to say that the game’s development process is relatively fast, especially for developers with minimal mobile game development experience such as Riot Games. Image Source – YouTube Channel League of Legends: Wild Rift

In the future, as an observer and a fan, I have the same expectations as Gary Ongko: hoping that Wild Rift will have an international-level tournament like LoL and that teams from Indonesia participate in those tournaments. But from the point of view of the ecosystem, I hope that Riot Games can learn from Tencent in managing PUBG Mobile.

Tencent’s approach in closely being inlined with the community that flows towards the pro scene could be the sole reason why PUBG Mobile has managed to take root in Indonesia. Throughout its development, we can observe how the PUBG Mobile ecosystem pays attention to its pro scene and other esports’ ecosystem.

We can take the example of tournaments such as PMCO (community level) and PMCC (University level) which are accompanied by activities such as Caster Hunt and Campus Ambassador. After all, the esports ecosystem is not just about the pros. Instead, the whole community also plays a critical role in keeping the esports ecosystem at the top-level relevant and successful.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

6 Pertimbangan Sebelum Berganti ke Keyboard Mechanical 60% ataupun Ukuran Mini Lainnya

Keyboard mechanical 60% atau ukuran mini lainnya memang terlihat lebih rapih dan imut-imut — ketimbang yang ukuran full-sized (104 keys) ataupun TKL (87 keys). Saya pribadi juga terjerumus karena awalnya melihat keyboard berukuran 60-65% yang begitu sedap dipandang. Ditambah lagi, keyboard mechanical berukuran 60% juga biasanya memiliki layout dan bentuk fisik yang standard. Sehingga, Anda bisa lebih mudah berganti case untuk membuat tampilan ataupun suaranya jadi tambah unik.

Di sisi lain, brand-brand gaming besar juga menunjukkan tren ke arah sana. Razer adalah salah satu brand gaming besar yang sudah menawarkan keyboard mechanical 60% dengan Huntsman Mini. Ducky juga sebenarnya lebih dulu memiliki beberapa lini keyboard berukuran mini, seperti Ducky One 2 Mini, Mecha Mini, ataupun Mecha SF meski memang nama Ducky mungkin lebih dikenal di target pasar enthusiast ketimbang gamer.  Selain Ducky dan Razer, Cooler Master juga punya beberapa opsi produk keyboard yang berukuran compact seperti SK622 ataupun SK621. Tahun ini Cooler Master juga mengumumkan varian keyboard mini baru mereka, MK721. HyperX juga baru saja mengeluarkan varian keyboard berukuran imut dengan HyperX Alloy Origins 60.

Sayangnya, seperti yang saya rasakan sendiri, penampilan bukanlah segala-galanya — layaknya seperti saat Anda memilih pasangan hidup. Apalagi, terlalu mengikuti tren juga tak selalu berakhir baik. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu Anda pikirkan sebelum merogoh kocek untuk membeli keyboard mechanical berukuran 60% ataupun ukuran mini lainnya. Maka dari itu, tidak ada salahnya untuk sabar dan menggunakan waktu tersebut juga untuk mempertimbangkan kembali apakah Anda harus membeli keyboard yang imut-imut. Percayalah, ujaran “lebih baik menyesal membeli daripada menyesal tidak membeli” itu tidak selalu berlaku dalam semua hal — khususnya seperti saat saya melihat tagihan kartu kredit bulan ini…

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah beberapa hal yang perlu Anda pikirkan sebelum membeli keyboard 60% atau ukuran mini lainnya.

 

1. Jumlah Tombol Mechanical Keyboard

Dokumentasi: Hybrid
GK61. Dokumentasi: Hybrid

Hal inilah yang pertama kali harus Anda pertimbangkan saat ingin membeli keyboard berukuran mini. Awalnya, Anda mungkin berpikir tidak akan menggunakan sejumlah tombol-tombol yang terbuang seperti tombol-tombol Numpad, Del, F1-F12, ataupun Arrow Keys (atas, bawah, kiri, kanan).

Namun tak ada salahnya Anda menghabiskan waktu satu bulan sebelum membeli keyboard berukuran mini untuk memperhatikan kembali tombol-tombol apa saja yang penting untuk Anda. Sadari betul tombol-tombol yang Anda gunakan, bahkan yang jarang sekalipun.

Misalnya saja, saya punya koleksi film yang tak bisa saya sebutkan di sini kwkakakwakkwa… Saya pun sering menamai ulang film-film tersebut agar lebih mudah diingat (karena biasanya, namanya hanya seperti kode-kode nuklir, IYKWIM). Nah, untuk mengakses fungsi Rename dengan cepat, saya menggunakan tombol F2. Anda akan kesulitan mencari atau mengakses tombol tersebut jika menggunakan keyboard 60% dan 65%. Tombol F5 juga biasanya digunakan untuk Quick Save di banyak RPG.

Jika Anda masih kuliah ataupun bekerja yang membutuhkan banyak kegiatan mengetik (seperti jurnalis, blogger, keyboard warrior, dkk.), arrow keys juga mungkin penting untuk mempercepat pekerjaan Anda. Saya sendiri sangat merasakan kehilangan tombol-tombol arah tadi saat menggunakan keyboard dengan 61 tombol (GK61) — seperti kata orang tua saya dulu, kita baru merasa kehilangan saat orang tersebut tidak ada lagi di kehidupan kita…

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Tombol-tombol di bagian numpad pun sangat berguna sebenarnya buat Anda yang suka bermain dengan spreadsheet (Excel, Sheet, dkk.). Saya sendiri juga tak jarang membuat spreadsheet saat bermain game untuk menghitung build dan saya jadi kesulitan ketika kehilangan numpad. Saya juga sering bermain game menggunakan ReShade yang biasanya menggunakan shortcut tombol-tombol yang memang jarang dipakai seperti Insert, Home, dkk.

Sekali lagi, lebih baik sabar dan tak terburu-buru sembari memperhatikan kembali (kalau perlu dicatat) tombol-tombol apa saja yang Anda butuhkan.

Oh iya, sebagai tambahan buat Anda yang belum terlalu lama bermain di sini, keyboard mechanical berukuran compact sebenarnya punya beberapa varian ukuran dan jumlah tombol. Di bagian akhir artikel ini, saya akan membahas varian-varian apa saja yang bisa Anda pilih.

 

2. Layout Mechanical Keyboard

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, mechanical keyboard yang berukuran compact memiliki beberapa varian ukuran, jumlah tombol, dan layout. Layout keyboard jadi krusial karena hal tersebut akan sangat berpengaruh pada kecepatan Anda beradaptasi menggunakan keyboard baru.

Izinkan pengalaman buruk saya menjadi contoh bagi Anda agar tak terburu-buru dan terjebak dengan layout keyboard yang aneh. Saya punya keyboard 68% dengan 73 keys yang punya layout super aneh, yaitu GK73. Memang, saya yang terlalu impulsif saat membeli keyboard tersebut dan saya tidak memperhatikan betul ada beberapa tombol yang hilang dari layout GK73.

GK73 sebenarnya memang terlihat menarik dan sangat berguna jika hanya dilihat sekilas. Ia berukuran mini namun masih memiliki numpad, meski tanpa F rows. Namun jika Anda perhatikan lagi dengan seksama GK73 tidak memiliki tombol yang lengkap di bagian utama keyboard.

Lihat keyboard Anda sekarang. Di lajur kedua paling atas, setelah angka 0, keyboard standard punya 2 tombol lagi sebelum Backspace. Setelah tombol P masih ada 3 tombol lagi, “[” , “]”, dan “\”. Di bawahnya, setelah tombol L, ada 2 tombol lagi sebelum Enter. Di bawahnya lagi, ada 3 tombol di antara M dan Shift kanan.

Layout GK73 yang aneh.
Layout GK73 yang aneh.

Di GK73, tombol-tombol tadi tidak lengkap. Jadi, saya pribadi pusing setengah mati saat mencoba menggunakannya. Mungkin memang manusia pasti bisa beradaptasi dengan bentuk keyboard, apapun itu variasinya. Namun, satu hal yang pasti, proses adaptasi itu butuh waktu dan saya tidak punya banyak waktu untuk beradaptasi ke layout yang super aneh.

Selain GK73, saya juga punya 2 keyboard yang berukuran 60%, GK61 dan GK64. Perbedaan antara kedua keyboard tadi ada pada jumlah tombol dan layoutnya meski panjangnya sama persis. GK61 punya layout yang standard layaknya keyboard full-sized namun ia hanya mengalami pengurangan tombol. Sedangkan GK64 punya arrow keys yang berarti ada beberapa tombol lain yang harus dikecilkan ukurannya atau malah dihilangkan. Misalnya seperti ALT dan CTRL kanan hilang dan Shift kanan jadi berukuran 1u. Di keyboard standard, Shift kanan berukuran 2.75u dan jadi tombol terpanjang kedua setelah spacebar.

Untungnya, saya memang tidak pernah menggunakan tombol-tombol modifier di sebelah kanan tadi. Jadi, saya lebih cepat beradaptasi menggunakan GK64. Plus saya juga lebih butuh tombol arah ketimbang modifier kanan. Oh iya, dengan GK64, saya juga bisa mendapatkan tombol Del yang juga sangat berguna untuk merapihkan koleksi… Maka dari itu, antara GK61 dan GK64, saya lebih cepat beradaptasi dengan GK64 meski sejumlah modifier kanan jadi hilang atau menciut. Sayangnya, GK64 juga mengecilkan tombol Shift kiri yang membuat saya pegal-pegal saat lama mengetik. Jadi, pertimbangan layout ini harus benar-benar Anda perhatikan sebelum membeli keyboard yang berukuran imut-imut.

Itu tadi cerita saya beradaptasi menggunakan 3 varian layout dan sebelumnya saya selalu menggunakan keyboard full-sized. Perubahan layout dan jumlah tombol sebenarnya jadi sangat bergantung ke masing-masing pengguna. GK73 memang punya lebih banyak tombol namun layoutnya super aneh dan saya membutuhkan tombol “?”, “-“, ataupun tanda kutip dua. Memang, fungsinya bisa diakses dengan memencet kombinasi tombol namun hal tersebut berarti akan memperlambat pekerjaan dan menuntut Anda menghafalkan kombinasi tombol baru.

Anne Pro 2. Sumber: Annepro.net
Anne Pro 2. Sumber: Annepro.net

Sejumlah keyboard 60% dengan 61 keys juga menawarkan tombol arah jika dikombinasikan dengan tombol +Fn. Namun, saran saya, jangan beli yang seperti itu juga jika Anda benar-benar butuh arrow keys dan ingin mempertahankan kecepatan penggunaan yang sama. Menekan satu tombol dengan menekan kombinasi 2 tombol tentu jadi sangat berbeda kecepatannya karena Anda juga harus melatih ingatan. Apalagi jika Anda sudah sangat terbiasa dengan menekan satu tombol untuk tombol arah misalnya.

Jika Anda ingin beradaptasi dengan cepat, kombinasi layout dan dedicated buttons untuk tombol-tombol yang sering Anda akses jadi hal krusial yang wajib Anda pertimbangkan sebelumnya.

 

3. Software Mechanical Keyboard

Software GK6X Plus buatan makebyself
Software GK6X Plus buatan makebyself

Saya tahu mungkin tidak banyak pengguna keyboard yang suka bermain-main dengan software perangkat tersebut, seperti Synapse dari Razer ataupun SteelSeries Engine. Namun demikian, relevansi software jadi semakin besar di keyboard berukuran mini karena Anda tidak mendapatkan jumlah tombol yang lengkap.

Apalagi setiap kita punya kebiasaan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Saya, misalnya lebih butuh tombol arah, butuh tombol F2, F5, dkk. Tombol-tombol tersebut mungkin tidak akan terlalu signifikan untuk Anda. Dengan adanya software yang canggih, Anda bisa menyetel keyboard yang digunakan sesuai dengan kebutuhan.

Misalnya saja, saya menggunakan GK61 dan GK64 dengan software GK6x Plus buatan makebyself. Software ini memang kelihatannya sangat tidak intuitif. Namun ia memiliki fitur yang sangat lengkap. Anda bisa mengatur kombinasi Fn+tombol lainnya untuk mengatasi tombol-tombol yang hilang. Contoh, sekarang saya mengeset Fn+angka menjadi tombol F1-F12 (Fn+1 jadi F1 dan seterusnya).

Fungsi makro dari VIA/QMK yang kurang ramah buat pengguna awam.
Fungsi makro dari VIA/QMK yang kurang ramah buat pengguna awam.

Fungsi makronya juga sangat mudah digunakan, tidak seperti fungsi makro dari QMK/VIA yang mengharuskan Anda sedikit belajar soal coding. Dari pengalaman saya mencoba berbagai software, GK6x Plus buatan makebyself tadi adalah salah satu yang paling canggih dan bisa disandingkan dengan Razer Synapse.

Contoh lainnya, misalnya keyboard Rexus Daxa M71 Pro keyboard 65% yang laris manis di pasaran. Karena memang menawarkan 71 tombol, keyboard ini memang memiliki tombol arah dan beberapa tombol tambahan lainnya seperti Insert, Home, Delete, End, Pause, Page Up, dan Page Down. Namun begitu, mungkin Anda adalah pengguna yang lebih butuh tombol Tilde (`) yang biasanya digunakan untuk mengaktfikan Console Commands di game.

Tanpa software, Anda akan kebingungan mencari tombol itu nantinya. Namun dengan software, Anda bisa remapping tombol yang tak pernah digunakan (Insert misalnya) menjadi tombol Tilde tadi.

Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse
Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse

Memang, software dari pihak ketiga seperti AutoHotkey, Sharpkeys atau yang lain-lainnya bisa digunakan juga. Namun saya biasanya lebih suka menggunakan software bawaan dari perangkat yang seringnya lebih mudah digunakan — Anda yang pernah bermain-main dengan AutoHotKey mungkin tahu maksud saya.

 

4. Numpad/Macropad Terpisah

Jika Anda masih ingin mencari keyboard berukuran mini namun benar-benar tidak bisa hidup tanpa numpad, Anda bisa mencari keyboard numpad terpisah. Lebih canggih lagi, Anda bisa mencari macropad yang bisa di-remap dengan berbagai fungsi lainnya.

Magic Force 21
Magic Force 21

Mencari numpad terpisah memang lebih mudah karena ada banyak pilihan produk yang bisa Anda beli, seperti misalnya Magic Force 21 ini yang juga menawarkan switch mechanical. Numpad yang jauh lebih murah juga banyak. Silakan pilih sendiri sesuai dengan kantong Anda.

Sedangkan untuk macropad, meski memang bisa lebih canggih, aksesnya tidak semudah atau semurah yang numpad biasa. Namun demikian, ada beberapa opsi yang bisa Anda coba jika memang ingin mencari macropad. Pertama, Anda bisa belanja dari luar negeri. Sayangnya, proses pengiriman bisa mahal atau terlalu lama. Kedua, Anda bisa mencari produk bekas yang dijual oleh sesama pengguna enthusiast yang sudah bosan. Ketiga, cara yang paling ideal adalah dengan memesan sendiri macropad custom.

Saya sendiri juga sudah mencoba memesan sendiri di tautan ini dan hasilnya pun sangat baik. Sayangnya, macropad custom saya juga masih memiliki beberapa kekurangan. Ia tidak memiliki backlight. Kedua, software untuk kustomisasi tombolnya menggunakan QMK/VIA yang mungkin bukan yang paling mudah digunakan untuk pengguna awam. Meski begitu, ketimbang membeli bekas atau memesan dari luar negeri, membuat custom macropad jauh lebih cocok untuk saya — saya tak perlu pusing apakah barangnya hilang dalam pengiriman misalnya, jika dikirim dari luar negeri.

Macrodpad custom 5x5. Dokumentasi: Hybrid.
Macrodpad custom 5×5. Dokumentasi: Hybrid.

Jika Anda memesan custom macropad, Anda bahkan bisa request sendiri bentuk, layout, dan jumlah tombol yang Anda inginkan. Jika Anda benar-benar ingin berganti ke keyboard berukuran mini, saya sungguh percaya custom macropad harus Anda miliki jika satu saat Anda membutuhkan tombol-tombol yang tidak ada di keyboard utama Anda.

Meski begitu, selain Anda harus mengeluarkan dana lebih untuk membeli numpad ataupun custom macropad, satu hal yang juga sedikit menganggu untuk saya adalah soal kabel. Dengan tambahan macropad, Anda berarti harus melihat satu lagi tambahan kabel di meja — yang sebelumnya hanya dua, 1 dari mouse dan satu dari keyboard.

 

5. Kebutuhan Spesifik untuk Mechanical Keyboard Berukuran Mini

Jika Anda tanya saya, di bagian inilah yang menurut saya menjadi penentu apakah Anda harus berganti ke keyboard berukuran mini atau tidak. Jika Anda memang tak punya kebutuhan spesifik yang beberapa akan disebutkan nanti, menurut saya, lebih aman (dan murah) jika Anda tetap setia menggunakan keyboard full-sized atau minimal TKL.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Salah satu contoh pertama kebutuhan spesifik yang saya maksud adalah soal ukuran meja PC Anda. Ukuran keyboard full-sized memang paling lebar yang bisa jadi tidak muat untuk meja Anda yang berukuran kecil. Meski begitu, sebelum langsung memutuskan untuk membeli keyboard berukuran mini, ada baiknya jika Anda cari tahu harga meja yang lebih luas (jika memang ruangan yang digunakan mampu menampung meja yang lebih besar). Pasalnya, jika memungkinkan, menambah ukuran meja lebih baik ketimbang mengecilkan ukuran keyboard. Mengganti meja dengan yang lebih lebar tidak menuntut Anda untuk beradaptasi sedikitpun. Selain itu, Anda juga bisa menggunakan tambahan ruang untuk menaruh barang-barang lainnya — misalnya dengan menambahkan monitor sehingga Anda jadi menggunakan dual monitor yang bagi saya sangat berguna saat bekerja.

Contoh kebutuhan spesifik lainnya adalah mencari keyboard mechanical untuk dibawa-bawa (dipasangkan dengan laptop). Menurut saya, kebutuhan spesifik ini lebih masuk akal ketimbang ukuran meja kekecilan karena memang tidak ada solusi lain selain menggunakan keyboard berukuran kecil yang akan sangat mudah buat dibawa ke mana-mana. Plus, keyboard berukuran mini juga biasanya menawarkan fitur wireless ataupun detachable cable yang memang sangat berguna buat pengguna laptop. Ditambah lagi, keyboard laptop biasanya memang sangat tidak nyaman buat digunakan — setidaknya saya belum pernah menemukan keyboard laptop yang bisa menyuguhkan tingkat kenyamanan yang sama dengan keyboard mechanical.

Selain itu, kebutuhan spesifik lain mungkin adalah soal hotswap PCB yang memungkinkan Anda berganti switch tanpa harus belajar solder ataupun desoldering. Keyboard full-sized, setahu saya, memang tidak banyak yang menawarkan fitur hotswap PCB. Tecware Phantom Elite adalah salah satu varian keyboard full-sized yang menyuguhkan fitur hotswap yang mudah Anda dapatkan di Indonesia. Namun begitu, Tecware Phantom Elite menyuguhkan fitur hotswap untuk switch 3 pin (atau plate mount) padahal switch yang premium/high-end (seperti Durock, Gateron Ink, Tealios, Zealios, dkk.) seringnya menggunakan 5 pin (PCB mount). Anda memang bisa memotong 2 kaki plastik dari switch 5 pin namun hal tersebut berarti Anda butuh waktu luang tambahan.

Durock Linear Switch yang punya 5 pin
Durock Linear Switch yang punya 5 pin

Jika Anda memang tertarik mencoba berbagai switch high-end, pilihan Anda memang jadi 2. Jika Anda punya dana lebih, keyboard berukuran compact yang menawarkan hotswappable PCB 3/5 pin memang lebih menarik dan menghemat waktu. Namun jika Anda ingin lebih hemat, Anda bisa menggunakan waktu luang Anda untuk mengubah switch 5 pin jadi 3 pin.

Ada juga yang mengatakan bahwa menggunakan keyboard berukuran mini juga bisa memperpendek jarak antara mouse dan keyboard sehingga lebih nyaman untuk bahu dan lengan Anda. Saya sendiri, yang sudah beberapa waktu menggunakan keyboard berukuran 60%, jujur tidak merasakan perbedaan apapun di bahu dan lengan saya.

Terakhir, selain memang Anda punya kebutuhan yang spesifik kenapa harus mengggunakan keyboard berukuran kecil — misalnya seperti tampilannya yang imut-imut, mungkin Anda perlu berpikir lebih panjang lagi sebelum membeli keyboard berukuran 60% atau ukuran compact lainnya. Jika memang Anda butuh ruang lebih, misalnya jika Anda punya masalah mouse yang sering terbentur keyboard, saya juga lebih menyarankan Anda untuk memilih keyboard TKL karena benar-benar tidak butuh adaptasi untuk digunakan.

Meski begitu, jika Anda memang punya alasan-alasan lain seperti bingung bagaimana caranya menghabiskan uang, ingin mengkoleksi keyboard, mengalami sendiri rasanya keyboard 60%, khilaf, ataupun yang lainnya, saya juga tidak akan melarang Anda.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

 

6. Varian Ukuran dan Layout Mechanical Keyboard

Di bagian terakhir artikel ini, saya ingin berbagi informasi tentang pilihan ukuran dan layout keyboard mechanical yang bisa Anda pilih serta pendapat saya untuk masing-masing ukuran.

60% 

Razer Huntsman Mini. Sumber: Razer
Razer Huntsman Mini. Sumber: Razer

Keyboard berukuran 60% adalah ukuran terkecil yang digunakan banyak orang. Ada ukuran 40% juga sebenarnya namun absennya banyak tombol membuatnya tak lazim digunakan. Keyboard berukuran 60% sebenarnya memiliki beberapa varian, seperti 61 keys dan 64 keys. 61 keys menggunakan standard layout layaknya keyboard full-sized namun hanya dipotong saja bagian numpad, F-rows, dan bagian tengah tempat biasa ada arrow keys. Sedangkan 64 keys biasanya menambahkan tombol arah namun jadi harus mengorbankan beberapa modifier kanan ataupun mengecilkan ukurannya.

65% dan 68%

Rexus Daxa M71 Pro, salah satu keyboard 65% paling populer di Indonesia. Sumber: Rexus
Rexus Daxa M71 Pro, salah satu keyboard 65% paling populer di Indonesia. Sumber: Rexus

Di atas 60%, ada keyboard berukuran 65% yang biasanya memiliki 68-71 tombol. Bagi banyak orang, 65% adalah ukuran yang ideal karena biasanya ada tombol arah (arrow keys). Plus, keyboard berukuran 65% juga variannya cukup banyak sehingga cukup mudah didapatkan juga.

Untuk keyboard dengan 68%, seperti GK73 yang akan saya bahas lebih detail di bagian layout di atas, Anda harus lebih berhati-hati dalam memperhatikan tombol-tombol apa saja yang ada dan yang hilang di main area.

84 dan 87 Keys

Keychron K2. Sumber: Keychron
Keychron K2. Sumber: Keychron

Lebih panjang dari keyboard berukuran 65%, ada juga keyboard 84 keys seperti Keychron K2, AKKO 3084, KC84, Iqunix A80, dan kawan-kawannya. Keyboard dengan 84 keys, biasanya berukuran 75%, memiliki semua tombol yang dimiliki varian 65% dan ditambah dengan F-rows. Keyboard dengan 84 keys juga bisa disejajarkan dengan TKL namun dengan layout yang lebih padat sehingga ukurannya lebih kecil. Saya sendiri sayangnya belum punya yang 84 keys. Namun saya sebenarnya sangat tertarik dengan varian ini karena memiliki jumlah tombol yang cukup lengkap namun masih terlihat compact dan imut. Sayangnya, varian 84 keys memang salah satu yang paling langka yang bisa Anda temukan di pasaran.

Keyboard dengan 87 tombol lebih sering dikenal dengan TKL. Varian inilah yang paling aman untuk Anda pilih sebenarnya jika ingin keyboard yang lebih compact namun tak ingin beradaptasi terlalu jauh.

96 keys

Iqunix F96. Sumber: Iqunix
Iqunix F96. Sumber: Iqunix

Varian 96 keys bisa jadi adalah varian keyboard mechanical yang paling langka. Varian ini sebenarnya paling mirip dibandingkan dengan keyboard full-sized namun dengan layout yang lebih compact. Saya juga masih penasaran dengan varian ini karena memiliki numpad dan hampir semua bagian lainnya yang biasanya hanya ditemukan di keyboard full-sized namun dengan ukuran 1u lebih lebar ketimbang TKL.

Sayangnya, dari yang saya cari-cari, saya memang tak bisa menemukan banyak opsi untuk keyboard dengan 96 tombol. Beberapa yang bisa saya temukan adalah Leopold FC980M, Iqunix F96, Epomaker GK96, ataupun Keychron K4.

 

Penutup

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Itu tadi sejumlah pertimbangan-pertimbangan yang mungkin perlu Anda pikirkan dulu sebelum membeli keyboard berukuran compact. Satu hal yang pasti, opsi yang Anda miliki jadi lebih terbatas dibandingkan jika Anda ingin memilih keyboard full-sized ataupun TKL. Karenanya, harganya pun bisa jadi lebih mahal — apalagi jika barang tersebut impor dari luar negeri.

Namun begitu, setelah menggunakan keyboard mechanical 60%, saya sendiri bisa cukup nyaman dengan keyboard berukuran mini (asalkan ada macropad). Plus suaranya pun lebih enak didengar ketimbang keyboard full-sized. Sayangnya, pengalaman ini harus saya bayar dengan tagihan kartu kredit yang membengkak… Wkawkakawka…

Berbagai Cara yang Bisa Dilakukan Brand untuk Penetrasi ke Pasar Esports

Fenomena pertandingan esports hampir menjadi fenomena mainstream di kalangan anak muda. Bukti atas hal tersebut mungkin salah satunya bisa kita lihat dari banyaknya jumlah penonton atas tayangan-tayangan esports. Besarnya penonton esports game PUBG Mobile dan Mobile Legends Bang Bang bisa jadi dua contoh yang menunjukkan besarnya minat gamers Indonesia terhadap pertandingan esports. Kondisi tersebut secara tidak langsung membuat ekosistem esports jadi medium branding yang cukup menjanjikan. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas seputar berbagai cara brand bisa masuk ke dalam ekosistem esports serta sedikit analisis soal apa yang jadi kelebihan serta kekurangan dari masing-masing metode. Pembahasan ini juga menyertakan narasumber terkait demi mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap peluang-peluang terkait. Berikut pembahasannya.

 

Melalui Liga atau Turnamen Official

Saya sudah sempat membahas singkat metode masuk ke ekosistem esports dalam artikel skema ekosistem esports. Dari sana kita juga sudah bisa melihat elemen mana saja yang punya kesempatan berkolaborasi dengan brand. Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas lebih dalam kesempatan bagi brand untuk berkolaborasi dengan elemen-elemen terkait.

Metode pertama yang akan saya bahas adalah melalui liga atau turnamen official. Opsi ini memang saya tempatkan paling pertama karena bisa dikatakan sebagai opsi dengan nilai tertinggi. Kalau disamakan dengan industri sepak bola, mensponsori liga utama ibarat seperti mensponsori English Premiere League atau mungkin La Liga di Spanyol.

Sepanjang perkembangan esports, liga utama menjadi kasta yang paling atas di ekosistem esports salah satunya karena hanya menyajikan pertandingan tim dan pemain. Hal tersebut menjadi daya tarik yang membuat kebanyakan penggemar game terkait cenderung lebih tertarik menyaksikan liga utama ketimbang kompetisi lainnya.

Dalam esports, liga dan turnamen kasta utama biasanya melibatkan perusahaan yang mengembangkan game terkait. Sebagai contohnya yaitu Moonton dalam liga MLBB Professional League, Tencent dalam liga PUBG Mobile Professional League, atau Garena Indonesia dalam liga Free Fire Master League. Lalu apa saja bentuk kesempatan kerja sama bagi brand yang terbuka dari liga official?

Azwin Nugraha PR Manager Esports dari Moonton. Sumber Gambar - Esports.id
Azwin Nugraha PR Manager Esports dari Moonton. Sumber Gambar – Esports.id

Untuk membahas hal tersebut, saya menggunakan MPL sebagai salah satu contoh. Azwin Nugraha selaku PR Manager Esports Moonton menjadi narasumber saya dalam membahas kesempatan-kesempatan kolaborasi yang terbuka dengan MPL Indonesia. “Liga MPL membuka beberapa kesempatan kerja sama. Ada sponsorship yang memiliki beberapa tingkatan. Ada kerja sama dalam bentuk partnership dengan value yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Ada kerja sama dalam bentuk barter yang punya ragam pilihan entah itu barter dalam bentuk barang fisik ataupun media promosi.” Tutur Azwin membuka pembahasan.

Dalam hal sponsorship dengan MPL Indonesia, Azwin lalu menjelaskan lebih lanjut. “Kami punya tiga tingkatan sponsorship di MPL Indonesia. Tingkat pertama dan merupakan yang tertinggi adalah Presenting Sponsor yang hanya tersedia untuk satu sponsor saja. Tingkat kedua adalah Official Sponsor yang tersedia untuk 4 sponsor. Tingkat ketiga adalah Partner in Esports yang hanya bisa diberikan kepada beberapa brand dengan kondisi tertentu.”

Sumber Gambar - MPL Indonesia Official YouTube Channel
Mandiri Lord Cam, contoh bentuk penyajian momen penting pertandingan oleh sponsor di MPL Indonesia. Sumber Gambar – MPL Indonesia Official YouTube Channel

“Masing-masing tingkatan tersebut punya tiga aspek perbedaan. Pertama adalah standar harga yang ditawarkan dengan harga tertinggi di level Presenting Sponsor, dilanjut Official Sponsor, dan Partner in Esports. Jumlah dan frekuensi benefit yang diberikan juga berbeda tergantung dari tingkatan tersebut. Perbedaan terakhir adalah value sponsorship yang didapatkan.” Azwin melanjutkan.

Berdasarkan dari apa yang terlihat, MPL Indonesia menampilkan sponsor-sponsornya di beberapa aset media milik liga. Beberapa spot yang bisa kita lihat jelas yaitu seperti postingan media sosial, website resmi, elemen-elemen di dalam venue pertandingan (panggung, player desk, caster desk, dsb), elemen-elemen di dalam game, momen penting pertandingan (Lord Cam, MVP highlight, player highlight, dan sebagainya), serta side-content dari pertandingan itu sendiri (MPL Quickie contohnya).

Semakin tinggi tingkat sponsorship, maka akan semakin sering brand tersebut tampil di dalam pertandingan. Sejauh pengamatan saya, Bank Mandiri dan Samsung Galaxy A Series adalah dua sponsor yang mendapat jatah tersebut. Selain tampil di laman resmi, Bank Mandiri juga mempersembahkan momen Lord Cam, serta Player Highlight di dalam konten media sosial. Sementara pada sisi lain Samsung  menjadi brand yang mempersembahkan sosok MVP di dalam tayangan pertandingan dan konten media sosial.

MVP by Samsung Galaxy
Samsung Galaxy A Series juga terlihat tampil menyajikan momen penting pertandingan, yaitu pada saat menyajikan sosok pemain yang menjadi MVP. Sumber Gambar – MPL Indonesia Official YouTube Channel.

Terakhir saya juga menanyakan kelebihan MPL sebagai salah satu media kolaborasi/kerja sama/sponsorship dan hal-hal yang menjadi tantangan. Azwin lalu menjelaskan kelebihannya, terutama dari sisi segmentasi. “Salah satu bentuk kelebihan MPL Indonesia adalah kami memiliki khalayak gamers yang beragam mulai dari usia, tingkat ekonomi, gender, maupun status sosial. Tapi pada dasarnya, target khalayak MPL sendiri adalah para Gen Z dan Millenial.”

Lalu selain itu seperti yang saya sebut di awal, bahwa liga utama cenderung menjadi pertandingan yang dinanti kebanyakan penggemar game terkait. Karenanya jumlah penonton dari liga utama cenderung lebih banyak ketimbang dari bentuk kompetisi lainnya. Dalam kasus MLBB, contoh keperkasaan liga MPL bisa kita lihat pada bulan Juli 2020 lalu ketika pertandingan MPL Invitational yang penontonnya didominasi tayangan berbahasa Indonesia bisa menyalip pertandingan liga LoL Korea yang penontonnya didominasi tayangan berbahasa Inggris.

“Kalau ditanya kelebihannya, menurut saya adalah dari sisi reach dan exposure pertandingan MPL itu sendiri. Sejauh ini penayangan MPL yang dilakukan melalui berbagai macam platform digital tergolong mendapatkan hasil yang sangat baik dan menunjukkan peningkatan di setiap musim pertandingannya.” Tutur Azwin menjelaskan kelebihan MPL Indonesia sebagai salah satu media kolaborasi bagi para brand.

Namun liga kasta utama baru salah satu opsi dan MPL juga salah satu spektrum dari ragam liga utama game lain yang ada di esports. Game yang berbeda tentunya memberikan kesempatan yang berbeda lagi bagi brand untuk bisa masuk ke dalamnya. Masih ada medium kolaborasi lain sebagai opsi bagi para brand untuk bisa masuk ke dalam khalayak gaming. Berikutnya adalah melalui turnamen pihak ketiga.

 

Membuat Turnamen Sendiri (3rd Party Tournament)

Selain melebur dengan liga utama, brand juga memiliki kesempatan berkolaborasi dengan turnamen pihak ketiga. Brand juga bisa terlibat dengan turnamen pihak ketiga dalam dua bentuk, melebur dengan turnamen pihak ketiga yang diadakan oleh organizer lain atau menyelenggarakan turnamen dengan branding sendiri.

Dalam artikel ini, saya menggunakan Telkomsel sebagai contoh. Telkomsel sebenarnya bukan cuma membuat turnamen sendiri saja, tapi juga tampil dalam berbagai macam bentuk di dalam ekosistem esports. Melalui branding Dunia Games (DG), Telkomsel bisa dibilang sudah hampir punya satu ekosistem penuh di dalam esports. Telkomsel memiliki beberapa elemen sekaligus, mulai dari tim esports sendiri yang bernama DG Esports, website duniagames.co.id yang menjadi pusat aktivitas terkait gaming (berita, platform turnamen esports digital, dan digital payment untuk gaming), sampai turnamen sendiri (Indonesia Games Championship, DG League, DG Waktu Indonesia Bermain).

DG League, turnamen esports buatan Telkomsel dengan menggunakan branding Dunia Games. Sumber Gambar - DG League Official.
DG League, turnamen esports buatan Telkomsel dengan menggunakan branding Dunia Games. Sumber Gambar – DG League Official.

Membahas bagaimana dan kenapa Telkomsel memilih untuk menggaungkan branding DG ketimbang jadi sponsor di medium esports lain, saya pun berbincang dengan Rezaly Surya Afhany selaku Esports Manager Telkomsel. Membuka pembahasan, Rezaly pun menjelaskan. “Sebenarnya Telkomsel dan Dunia Games juga melakukan activity sponsorship ke mitra kerja lain. Tetapi memang kami akui kegiatannya cenderung kurang terlihat ketimbang brand activity yang kami lakukan secara mandiri.”

Lebih lanjut, Rezaly lalu menjelaskan beberapa alasan yang membuat Telkomsel memilih investasi membangun ekosistem esports sendiri ketimbang sekadar menjadi sponsor saja. “Kalau menurut saya, fleksibilitas bisa dibilang menjadi alasan kunci kami membuat ekosistem esports sendiri di luar dari sponsorship. Walaupun memang pada akhirnya, Telkomsel juga berusaha untuk hadir di industri esports dalam berbagai bentuk mulai dari sponsor, ekhibitor, media, publishing, bahkan sebagai tim esports.”

Memang pada awal-awal kemunculannya, Telkomsel juga sempat menjadi sponsor bagi beberapa ekosistem di dalam esports. Telkomsel sempat mensponsori tim lewat Elite8 yang dahulu punya reputasi kuat di kancah game Vainglory. Mereka mensponsori liga kasta utama lewat Arena of Valor Star League Season 1. Namun setelahnya Telkomsel terlihat lebih gencar membangun dan mengembangkan ekosistem Dunia Games ketimbang sekadar menjadi sponsor saja.

Selain memiliki turnamen, Dunia Games juga punya tim esports sendiri dengan nama DG Esports. Sumber Gambar - Instagram resmi DG Esports.
Selain memiliki turnamen, Dunia Games juga punya tim esports sendiri dengan nama DG Esports. Sumber Gambar – Instagram resmi DG Esports.

Rezaly lalu menjelaskan alasan lain Telkomsel membangun ekosistem serta branding Dunia Games. “Postifnya dari membuat ekosistem sendiri adalah kami bisa mengamati ekosistem esports secara lebih nyata dan lebih dalam. Kami dapat mengamati bagian apa dari value chain di esports yang bisa tumbuh secara organik ataupun mengantisipasi tantangan dari dinamika industri esport maupun games.  Di luar dari itu kami juga mencoba untuk terus menghidupkan passion atas  games dan esports di internal perusahaan, group parent company, bahkan mitra kerja. Harapannya adalah apabila semua pihak berkecimpung turut excited dalam membangun ide-idenya di esports, maka ke depannya kita jadi lebih mudah memonetisasi dan membuat ekosistem esports terus bertumbuh.”

Sebagai perusahaan telekomunikasi, Telkomsel memang tergolong sebagai brand endemik ekosistem esports. Bagaimanapun, jaringan telekomunikasi adalah kebutuhan primer para gamers untuk bisa mengakses game esports yang mereka mainkan. Namun melihat gaming dan esports yang terus berkembang, sebenarnya jadi tidak heran apabila Telkomsel berinvestasi lebih dalam di ekosistem ini. Harapan akhirnya tentu saja adalah untuk melakukan diversifikasi produk, dari sekadar menyediakan jasa telekomunikasi menjadi penyedia berbagai hal yang dibutuhkan oleh ekosistem esports.

Rezaly lalu menjelaskan lebih lanjut soal ekosistem DuniaGames. “Sebagai prominent digital telecomunication company juga digital games payment channel in the region, kami berusaha hadir di setiap lini aktivitas gaming. Beberapa contohnya seperti menyediakan paket data khusus gamers, memberi akses konversi pulsa menjadi voucher game, mem-publish beberapa judul game, sampai menyajikan esports event dan media. Setiap aktivitas tersebut sebisa mungkin kami lakukan secara terintegrasi sambil berusaha memberikan pengalaman digital dan pengalaman berkomunikasi yang terbaik serta terjangkau bagi masyarakat.”

Rezaly Surya Afhany, Esports Manager di Telkomsel. Sumber: Official Dunia Games
Rezaly Surya Afhany, Esports Manager di Telkomsel. Sumber: Official Dunia Games

Mengakhiri perbincangan saya lalu menanyakan soal keuntungan serta hal yang menjadi tantangan dengan membangun ekosistem tersendiri. “Kalau soal kelebihan membangun ekosistem sendiri, apa yang saya lihat adalah kami jadi bisa membangun pertumbuhan bisnis yang lebih organik dan diharapkan bisa sustain dalam jangka panjang. Selain itu menurut pandangan saya, membangun ekosistem sendiri juga membuat kami jadi lebih tangguh dan lebih mudah adaptasi ketika saat tren game baru ataupun tren bisnis model baru muncul di esports.”

Seperti yang disebut oleh Rezaly tadi, salah satu keuntungan menciptakan branding esports sendiri seperti apa yang dilakukan oleh Telkomsel adalah fleksibilitas. Namun juga seperti yang saya jelaskan tadi, keuntungan tersebut sebenarnya juga diperkuat oleh posisi Telkomsel yang merupakan brand endemik di ekosistem esports.

Hal tersebut mungkin akan beda cerita apabila Anda adalah brand non-endemik yang lini bisnis utamanya tidak memiliki hubungan langsung dengan ekosistem esports (bisnis fashion, food and beverage, atau kosmetik misalnya). Membuat turnamen esports dengan nama sendiri dengan dibantu oleh esports organizer mungkin masih bisa jadi opsi yang baik. Tetapi meniru seperti apa yang dilakukan Telkomsel dengan Dunia Games sepertinya akan membutuhkan modal investasi (uang, waktu, dan tenaga) yang terlalu besar bagi brand non-endemik.

 

Berkolaborasi Dengan Tim Esports

Setelah membuat atau mensponsori sebuah turnamen, menjadi sponsor tim esports juga bisa menjadi salah satu pilihan bagi brand yang ingin melakukan penetrasi ke pasar esports. Mensponsori tim di esports sebenarnya bisa jadi proses yang membingungkan bagi sebuah brand. Salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya jumlah tim di ekosistem esports dan banyaknya pilihan game yang dipertandingkan. Ditambah lagi, sudah timnya banyak, tidak semua tim tersebut juga punya roster di semua lini game esports. Beberapa tim mungkin hanya bertanding di esports PUBG Mobile saja tapi tidak bertanding di Mobile Legends. Tapi ada juga contoh paling ideal seperti RRQ dan EVOS yang punya divisi hampir pada setiap lini game esports Indonesia.

Untuk pembahasan ini saya menggunakan Alter Ego sebagai contoh. Tim Alter Ego sendiri bisa dibilang sebagai salah satu tim esports besar di Indonesia. Sejauh pengamatan saya, Alter Ego saat ini sedang cukup kuat di 3 lini game esports yaitu Mobile Legends Bang Bang, PUBG Mobile, dan VALORANT. Untuk itu saya pun mewawancara Indra Hadiyanto selaku COO dari Alter Ego.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO

Membuka pembahasan, saya pun menanyakan kesempatan kolaborasi apa yang terbuka dengan tim esports seperti Alter Ego. “Kalau bicara peluang, jawabannya sebenarnya bisa banyak sekali. Bisa sekadar branding, bisa juga konten, bisa juga buat turnamen ataupun kerja sama lainnya yang tak kalah menarik, kolaborasi membuat produk misalnya.” Indra menjelaskan.

Selain bergerak sebagai tim esports, Alter Ego sendiri memang juga memiliki sister company yang bergerak di bidang esports organizer bernama Supreme Leauge. Karenanya jadi tidak heran bila Indra menjelaskan membuat turnamen juga bisa jadi alternatif kolaborasi lainnya. Tetapi tidak semua tim esports punya lini bisnis seperti Alter Ego. Ada juga tim esports yang fokus dan melakukan diversifikasi ke arah talent management. Penasaran dengan bentuk kolaborasi spesifik yang bisa dikerjakan bersama dengan tim esports, saya pun menanyakan apa saja ragam sponsorship yang tersedia di Alter Ego.

Indra pun menjelaskan. “Sponsorship di Alter Ego punya tiga tingkat. Dalam hal penempatan logo di jersey, tiga tingkat tersebut adalah logo dada sebagai yang paling tinggi, dilanjut dengan logo pundak, lalu logo punggung sebagai tingkat yang paling rendah.” Setelahnya Indra pun melanjutkan soal variasi nilai investasi dari masing-masing bentuk sponsorship tersebut.

“Walaupun ada tingkatan posisi logo, namun biayanya tetap tergantung kepada bentuk kolaborasi yang ingin dilakukan brand bersama Alter Ego selama satu tahun ke depan. Jadi semisal ada dua brand yang sama-sama berposisi sebagai logo dada, harga sponsorship-nya bisa jadi beda. Kenapa jadi beda? Karena misalnya ada permintaan lebih dari sponsor terkait, entah itu melakukan gathering community atau pemakaian talent pemain untuk campaign besar.” Tutur Indra menjelaskan lebih lanjut.

Terakhir saya juga menanyakan soal apa yang jadi kelebihan serta tantangan dari kolaborasi-kolaborasi seperti ini. “Tentunya untuk reach ke generasi muda.” Jawab Indra membuka pembahasan. “Menurut pandangan saya esports punya tren pasar sendiri dan punya market yang cukup loyal. Ditambah market esports itu kadang juga latah. Misalnya seorang JessNoLimit pakai keyboard merk tertentu, maka followersnya juga akan ikut beli produk tersebut. Pengaruhnya pun tidak terbatas hanya kepada gaming gadget saja, tapi juga termasuk pada aspek-aspek lain, dari segi fashion misal.” Tutur Indra.

Sumber Gambar - Alter Ego Official Instagram.
Kerja sama Alter Ego dengan BonCabe. Sumber Gambar – Alter Ego Official Instagram.

“Kalau soal tantangan, menurut pandangan saya dari sisi Alter Ego sih lebih ke arah mencari cara yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan client bisa tersampaikan secara tepat kepada fans kami. Selain itu challenge lainnya juga termasuk bagaimana caranya meningkatkan branding tim Alter Ego supaya bisa menarik lebih banyak fans dengan harapan bisa meningkatkan sales, gimana juga cara membuat konten untuk brand jadi lebih berkualitas dengan sponsorship terkait, dan lain sebagainya. Kurang lebihnya sih itu tantangannya. Memang paling banyak adalah dari sisi bagaimana cara agar brand jadi suka sehingga setuju untuk kontrak jangka panjang.” Indra menjelaskan soal tantangan kolaborasi dengan brand dari sisi Alter Ego.

Ibarat mensponsori tim sepak bola, salah satu kelebihan mensponsori tim esports menurut saya adalah bentuk identifikasi yang kuat kepada brand terkait. Misalnya ketika menjadi sponsor tim yang sering menjadi juara, maka kemungkinan brand produk Anda akan dianggap memiliki ciri-ciri sebagai produk terbaik, berkualitas bagus, dan hanya para juara yang mau menggunakannya.

Namun pada sisi lain, bekerja sama dengan tim esports juga memberikan tantangan lain bagi brand. Salah satu tantangannya mungkin adalah ketidakstabilan iklim kompetisi esports. Dalam sepak bola saja, tim yang sedang bagus-bagusnya bisa anjlok kapanpun tanpa diduga. Dalam esports bisa jadi lebih parah. Tidak hanya anjlok, bahkan bisa jadi bubar, dan roster pemain terkuatnya hilang begitu saja. Untungnya tiga game esports besar di Indonesia (Mobile Legends: Bang-Bang, PUBG Mobile, dan Free Fire) masing-masing sudah punya kompetisi dengan format liga yang membuat tim esports kini jadi bisa lebih stabil posisinya. Namun tetap tidak menutup kemungkinan bagi sebuah tim yang sedang di atas angin bisa tiba-tiba menurun performanya.

 

Kerja Sama Dengan Influencer Esports

Seperti kebanyakan industri entertainment, kerja sama dengan Key Opinion Leader (KOL) juga merupakan salah satu pilihan. Kalau disamakan dengan industri olahraga, kerja sama ini ibarat Nike mensponsori Christiano Ronaldo. Dalam ekosistem esports, pilihan KOL yang sangat beragam mungkin bisa dibilang jadi keuntungan (atau justru tantangan?) bagi brand. Selain dengan pemain, Anda juga bisa melakukan kerja sama dengan shoutcasters, game streamers, ataupun cosplayers yang masih memiliki kedekatan dengan ekosistem gaming/esports.

Dalam pembahasan ini saya mewawancarai Florian “Wolfy” George, sosok shoutcaster ternama di dalam skena esports PUBG Mobile Indonesia. Membuka pembahasan, saya menanyakan soal peluang, ragam jenis, serta tingkatan kerja sama yang bisa dilakukan dengan sosok Key Opinion Leader di esports.

Wofly pun menjelaskan. “Peluang utama tentunya adalah bisa engage dengan follower KOL terkait secara langsung ataupun tidak langsung. Engagement yang dibangun bahkan bisa menjadi ciri khas tersendiri apabila dibangun berbarengan dengan berkembangnya KOL terkait. Lalu kalau bicara tingkat kerja sama, tentunya ada beberapa tingkatan mulai dari yang paling rendah adalah sekadar posting, story, atau konten, hingga yang paling tinggi adalah proyek jangka panjang seperti campaign ataupun menjadi brand ambassador.” Tutur Wolfy.

Memang kalau bicara kerja sama dengan KOL, esports punya metode yang tergolong tidak jauh beda dengan bidang KOL lainnya. Mungkin satu-satunya yang membedakan adalah dari sisi segmentasinya yang fokus kepada anak muda, terutama anak muda yang memilih gaming dan esports sebagai salah satu aktivitas pengisi waktu luang favoritnya.

“Kalau menurut saya, memang kerja sama antara satu brand dengan suatu KOL itu selalu unik. Kenapa begitu? Karena saya merasa setiap brand dan KOL memiliki warnanya masing-masing. Karenanya kalau ditanya apakah bisa bekerja sama dalam bentuk lain selain dari posting, story, ataupun campaign, maka jawabannya iya. Karenanya menurut saya bentuk kerja sama yang efektif antara KOL dengan brand yang satu bisa beda dengan yang lain.” Ucap Wolfy.

Sumber Gambar - Instagram Florian "Wolfy"
Kerja sama antara Wolfy dengan brand audio JBL dalam mempromosikan lini headset gaming terbarunya. Sumber Gambar – Instagram Florian “Wolfy” George.

Menutup pembahasan, saya juga menanyakan pendapat Wolfy soal kelebihan dan kekurangan dari bekerja sama dengan KOL esports. “Kalau bicara kelebihan, gue merasa kehadiran brand mendukung seorang KOL bisa membantu mereka (KOL) untuk meningkatkan kualitas dari ide yang memang digaungkan sejak awal. Sementara itu kalau bicara kekurangan serta tantangannya, salah satunya mungkin adalah dari segi segmentasi pasar. KOL esports cenderung besar di satu game saja. Alhasil akan menjadi tantangan tersendiri bagi brand apabila tujuannya adalah ingin mentarget beberapa game sekaligus.”

Seperti yang saya sebut di awal salah satu kelebihan (yang mungkin juga jadi kekurangan) dari KOL esports adalah spesialisasinya. Karena fokus dan spesifik, KOL esports cenderung lebih dekat dengan komunitas yang dibangunnya ketimbang medium lainnya. Tetapi seperti yang disebut Wolfy, rata-rata KOL fokus atau cenderung besar di salah satu jenis game saja.

Karenanya medium KOL mungkin akan lebih baik dilakukan untuk kerja sama kecil yang fokus dan cocok dengan segmentasi dari KOL terkait. Kalau berdasarkan bayangan saya mungkin seperti ini: Produk audio akan cocok bekerja sama dengan KOL esports PUBG Mobile. Salah satu penyebabnya adalah karena bermain PUBG Mobile butuh kualitas audio yang baik, sehingga tercipta keselarasan dari kolaborasi yang dilakukannya. Alternatif lainnya, apabila ingin menjangkau khalayak gamers secara umum, maka mungkin akan lebih tepat sasaran apabila sebuah brand menggandeng beberapa KOL gaming dengan segmentasi yang berbeda-beda sekaligus agar pesan yang diinginkan bisa menjangkau lebih banyak orang.

 

Melalui In-Game Sponsorship

Medium terakhir yang saya sebut sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk kerja sama terbaru yang ada di dalam ranah gaming/esports. Bentuk kerja sama tersebut adalah melalui in-game sponsorship. In-game sponsorship yang saya maksud di sini sebenarnya bukan sekadar meletakkan logo brand di dalam elemen permainan pada pertandingan esports. In-game sponsorship yang saya maksud adalah menyertakan brand ke dalam game-nya itu sendiri.

Salah satu contoh yang paling dekat kehadirannya mungkin adalah beberapa kolaborasi yang dilakukan Garena pada game-game yang mereka terbitkan. Garena menjadi contoh karena publisher game tersebut yang memang begitu aktif melakukan berbagai kolaborasi konten untuk game yang mereka terbitkan. Bulan Agustus 2020 lalu saya sempat membuat daftar kolaborasi apa saja yang pernah dilakukan Garena.

Dari artikel tersebut Anda bisa melihat beberapa contohnya seperti kolaborasi game AOV dengan Fruit Tea, Wiro Sableng, ataupun dengan DC Comics. Namun tidak semua kolaborasi yang saya masukan dalam daftar bisa dikatakan berbentuk sponsorship. Walaupun Garena tidak menjelaskan lebih terperinci, namun saya mengamati bahwa kerja sama tersebut sebenarnya lebih cenderung ke arah partnership.

Tetapi bukan berarti Garena tidak pernah melakukan kerja sama in-game sponsorship dengan satu brand. Salah satu contoh yang terlihat jelas adalah penampilan maskot makanan cepat saji KFC yaitu Colonel Sanders sebagai skin di dalam Arena of Valor di Taiwan. Mengutip dari Fanbyte.com, dikatakan bahwa kerja sama tersebut merupakan salah satu bentuk kerja sama promosional antar keduanya. Dalam kerja sama tersebut, pemain yang membeli paket makanan spesial dengan harga sekitar US$5 akan mendapatkan sebuah gacha box yang salah satu isinya adalah skin Colonel Sanders untuk karakter Ormarr. Selain dari skin karakter, ada juga beberapa elemen game bertema KFC lainnya yang mungkin didapatkan pemain seperti Recall Effect, Kill Effect, atau Sprinting Trail Effect.

Kerja sama Garena dengan KFC hanya salah satu contoh saja. Seiring dengan perkembangan esports, kita juga bisa melihat beberapa bentuk sponsorship ini melalui kerja sama seperti Bathing Ape (produk fashion streetwear) dengan PUBG Mobile, Tesla dengan PUBG Mobile di Tiongkok, ataupun Louis Vuitton dengan League of Legends yang juga tampil lewat skin Prestige karakter Qiyana.

Sumber: League of Legends Official
Sumber: League of Legends Official

Kolaborasi kerja sama dalam bentuk ini mungkin bisa dibilang sebagai salah satu bentuk yang paling menarik bagi brand. Bagaimana tidak, kapan lagi produk Anda bisa mendapat kesempatan tampil secara langsung di dalam game. Karenanya bentuk kolaborasi ini mungkin akan lebih cocok dilakukan bagi brand-brand yang memang memiliki produk fisik untuk dijual seperti fashion, atau mungkin food and beverage.

Namun, dalam konteks Indonesia, salah satu kekurangan dan juga tantangan dalam melakukan kolaborasi seperti ini adalah minimnya jumlah developer/publisher game yang beroperasi langsung di Indonesia. Selain itu, menurut saya belum tentu juga semua developer game mau melakukan bentuk kolaborasi seperti ini. Bagaimanapun, sponsorship seperti ini bisa dibilang sebagai bentuk “hard-selling“. Karenanya beberapa developer bisa jadi tidak ingin melakukan bentuk kerja sama terkait karena khawatir sponsorship seperti ini akan mengganggu pengalaman bermain para pelanggan setianya.

 

Poin-poin yang saya sebut di atas tentunya hanya sebagian contoh saja, namun merupakan beberapa elemen pokok di dalam ekosistem esports. Elemen terkait yang saya ajak menjadi narasumber juga hanya menjadi sebagian contoh dari berbagai spektrum dari elemen terkait yang ada di esports. Semoga artikel ini dapat membantu Anda selaku brand untuk memahami gambaran kasar dalam melakukan penetrasi pasar ke esports.

Antara Cheating di Esports, Badan Arbitrase, dan Perebutan Uang & Kuasa

Jumlah penonton esports terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2023, Statista memperkirakan, jumlah audiens esports akan mencapai 646 juta orang, dengan 351 juta orang sebagai occasional viewers dan 295 juta sisanya sebagai esports enthusiasts. Banyaknya orang yang tertarik untuk menonton esports menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak merek — non-endemik sekalipun — yang tertarik untuk mendukung esports, menjadikan industri competitive gaming bernilai hingga hampir US$1 miliar.

Integritas kompetisi punya peran penting dalam memastikan agar pertandingan esports tetap diminati, Sayangnya, seiring dengan naiknya total hadiah yang ditawarkan dalam turnamen esports, semakin menggiurkan pula bagi para peserta untuk berbuat curang. Masalahnya, jika tidak ditangani, perbuatan curang bisa merusak ekosistem esports secara keseluruhan.

 

Definisi Kecurangan Dalam Olahraga

Dalam buku Fair Play in Sport, Sigmund Loland mendefinisikan kecurangan dalam olahraga sebagai “usaha untuk mengungguli lawan dengan melanggar peraturan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak”. Sementara itu, di jurnal berjudul Cheating in Contests, Ian Preston dan Stefan Szymanski membagi jenis kecurangan dalam olahraga tradisional ke dalam tiga kategori, yaitu menyabotase musuh, menggunakan doping, dan mengatur jalannya pertandingan alias match fixing.

Esports merupakan kompetisi olahraga dengan game sebagai media pertandingan. Dengan begitu, kita bisa mendefinisikan kecurangan dalam esports sama dengan kecurangan di olahraga tradisional. Dan memang, di dunia esports, menggunakan doping merupakan salah satu bentuk kecurangan yang pernah dilakukan oleh sebagian pemain profesional. Selain itu, juga ada atlet esports yang melakukan match fixing.

Kory "Semphis" Friesen. | Sumber: 90MIN
Kory “Semphis” Friesen. | Sumber: 90MIN

Kory “Semphis” Friesen, mantan pemain Counter-Strike: Global Offensive dari Cloud9 mengaku bahwa dia dan timnya pernah menggunakan adderall ketika bertanding dalam kompetisi pada 2015. Adderall sebenarnya adalah obat yang biasa diminum oleh pengidap Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Tujuannya adalah untuk membantu mereka berkonsentrasi. Sayangnya, obat ini terkadang disalahgunakan oleh para pemain profesional. Penggunaan adderall atau doping lain tidak hanya terjadi di skena esports CS:GO, tapi juga Overwatch. Timo “Taimou” Kettunen, mantan pemain Dallas Fuel, mengungkap, ada setidaknya 20 pemain di Overwatch League yang menggunakan adderall.

Maraknya penggunaan doping ini mendorong ESL untuk membuat peraturan terkait penggunaan doping. Mereka menetapkan, pemain yang tertangkap menggunakan doping akan dikenakan ban selama 1-2 tahun. Jika ESL tahu bahwa tim juara menggunakan doping, maka gelar juara dari tim itu akan dicabut. Tak hanya itu, mereka juga tidak akan mendapatkan hadiah uang. Sementara jika seorang pemain atau sebuah tim ketahuan menggunakan doping selama turnamen berlangsung, maka mereka akan didiskualifikasi.

Bentuk kecurangan lain yang bisa terjadi di dunia esports adalah match fixing, yaitu ketika sebuah tim bermain untuk mendapatkan hasil yang sudah ditentukan. Misalnya, sengaja mengalah pada musuh. Salah satu contoh kasus match fixing terjadi di Victoria, Australia. Pada April 2020, polisi berhasil menangkap enam pemain CS:GO yang melakukan match fixing. Mereka sengaja kalah dari musuh dalam setidaknya lima pertandingan di turnamen esports. Mereka melakukan itu karena sudah memasang taruhan bahwa tim mereka akan kalah. Ketika itu, para pelaku dihadapkan pada hukuman hingga 10 tahun penjara.

Esports Integrity Commission (ESIC) bekerja sama dengan Polisi Victoria untuk menangkap para pelaku. Meskipun para pelaku berhasil tertangkap, kepada Bloomberg, Stephen Hanna, Director of Global Strategy and Partnerships, ESIC berkata, “Tidak mungkin untuk menghapuskan judi ilegal dan match fixing sepenuhnya. Tugas kita hanyalah untuk meminimalisir hal itu.”

Kecurangan lain yang bisa dilakukan oleh pemain profesional adalah menggunakan kode cheat. Memang, di industri game, keberadaan kode cheat bukanlah hal yang aneh. Namun, ketika seorang pemain profesional menggunakan kode cheat untuk unggul atau bahkan untuk bisa menang, maka hal ini akan merusak integritas pertandingan esports. Jika dibiarkan, hal itu dapat berujung pada rusaknya kepercayaan fans.

Ada berbagai kode cheat yang bisa digunakan oleh para atlet esports. Misalnya, di game FPS seperti CS:GO, ada aim bot, yang memudahkan pemain untuk membidik musuh. Kode cheat lain yang biasa digunakan adalah wall hack, yang membuat pemain bisa melihat menembus tembok, serta speed hack, yang akan memungkinkan pemain untuk bergerak dengan jauh lebih cepat.

Salah satu atlet esports yang pernah ketahuan menggunakan aim bot adalah Nikhil “forsaken” Kumawat.  Dia merupakan pemain CS:GO yang sempat menjadi anggota OpTic India. Dia tertangkap basah menggunakan aim bot di babak final eXTREMESLAND 2018 Asia. Lucunya, ketika tertangkap, dia tidak langsung mengaku dan justru berusaha untuk menghilangkan bukti dengan menghapus aim bot yang terpasang di PC-nya, yang dia namai Word.exe. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa dia juga menggunakan aim bot saat dia bertanding di ESL India Premiership 2018 Fall, lapor Essentially Sports.

Selain kode cheat, ada cara lain bagi atlet esports untuk berbuat curang di turnamen esports. Kecurangan paling simpel yang bisa pemain profesional lakukan adalah dengan melihat layar yang dihadapkan ke para penonton untuk melihat posisi lawan. Hal ini pernah dilakukan oleh Azubu Frost di League of Legends World Championship 2012. Mereka ketahuan berbuat curang karena mengalihkan pandangan dari monitor PC mereka sendiri — sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh para pemain League of Legends. Pada akhirnya, Azubu Frost mendapatkan denda sebesar US$30 ribu, walau mereka tidak didiskualifikasi dari kompetisi itu.

 

Kecurangan yang Abu-Abu

Di olahraga tradisional, seperti sepak bola misalnya, para atlet tidak akan mendadak mendapatkan kemampuan spesial karena menggunakan peralatan khusus. Pierre-Emerick Aubameyang masuk dalam daftar 10 pesepak bola tercepat karena dia sanggup berlari dengan kecepatan 35,55 km per jam. Tentu saja, jenis sepatu yang dia gunakan dan tempatnya berlari akan memengaruhi kecepatan berlarinya. Namun, Anda tidak akan bisa mendadak berlari sekencang Aubameyang hanya karena mengenakan sepatu yang sama.

Lain halnya dengan esports. Dalam pertandingan esports, kualitas perangkat dan alat yang digunakan sangat memengaruhi performa pemain. Misalnya, jika dalam pertandingan El Clasico Mobile Legends antara RRQ melawan EVOS Esports, salah satu tim memiliki koneksi internet yang lebih baik. Tentunya, tim itu akan diuntungkan. Pasalnya, refleks seorang pemain untuk bereaksi akan menjadi sia-sia jika terjadi lag dalam game.

Pemain bisa mendapatkan field of view yang lebih luas di PUBG Mobile dengan tablet. | Sumber: IDN Times
Pemain bisa mendapatkan field of view yang lebih luas di PUBG Mobile dengan tablet. | Sumber: IDN Times

Contoh lainnya, ketika memainkan game seperti PUBG Mobile, Anda akan mendapatkan field of view yang lebih luas saat menggunakan tablet atau iPad. Hal ini akan memberikan Anda keunggulan jika dibandingkan pemain yang bermain di smartphone. Hal ini memunculkan pertanyaan: pemain yang menggunakan perangkat yang lebih baik, apakah mereka bisa dianggap curang? Di sinilah pentingnya standarisasi.

Dengan memastikan semua peserta kompetisi menggunakan perangkat yang sama, hal ini akan menjamin bahwa pertandingan akan mengadu kemampuan para peserta dan bukannya beradu perangkat siapa yang lebih baik. Karena itulah, dalam beberapa turnamen esports offline, penyelenggara menyediakan perangkat yang digunakan oleh peserta. Selain agar peserta tidak memasang kode cheat, alasan lainnya adalah agar tidak ada peserta yang diuntungkan karena perangkat yang dia gunakan.

Dalam buku peraturan kompetisi resmi PUBG Mobile versi 2019, terdapat peraturan yang mengatur tentang perangkat yang boleh digunakan oleh para pemain. Ketika itu, Proxima — sebagai pemegang hak distribusi game PUBG Mobile di dunia kecuali di Jepang dan Korea Selatan — menentukan bahwa para peserta hanya bisa menggunakan smartphone berbasis Android atau iOS. Penggunaan tablet atau PC dilarang. Aturan ini kemudian dihilangkan pada buku peraturan kompetisi resmi versi 2020.

Meskipun begitu, keputusan Proxima untuk menjadikan smartphone Android atau iPhone sebagai perangkat standar kompetisi menarik untuk dibahas. Alasannya, tablet memungkinkan para pemain untuk melihat sudut pandang yang lebih luas. Dengan begitu, pertandingan bisa menjadi semakin menarik. Pertanyaannya, kenapa justru smartphone yang dijadikan perangkat standar?

Semakin banyak orang yang memainkan sebuah game, semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh publisher. Jadi, publisher punya kepentingan untuk membuat kompetisi esports tidak hanya menarik untuk ditonton, tapi juga terasa relatable bagi para pemain. Tujuannya adalah agar semakin banyak penonton yang terdorong untuk memainkan game yang diadu. Dan kompetisi esports terbukti efektif  menjual harapan demi meningkatkan jumlah pemain. Hal ini telah dibuktikan oleh Ubisoft.

Jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik berkat esports. | Sumber: Red Bull
Jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik berkat esports. | Sumber: Red Bull

Lalu, apa hubungannya dengan menjadikan smartphone sebagai perangkat standar dalam kompetisi? Harga smartphone lebih murah dari tablet, apalagi iPad. Jadi, tidak aneh jika jumlah pengguna smartphone jauh lebih banyak dari jumlah pengguna tablet. Dengan menjadikan smartphone sebagai perangkat standar kompetisi, publisher akan bisa merangkul lebih banyak fanbase. Dan pada akhirnya, hal ini akan membuat pemasukan publisher naik.

Saat ini, memang ada publisher yang langsung turun tangan dalam mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Sebut saja Riot Games, Moonton, dan Garena. Namun, juga ada perusahaan yang menjadi penyelenggara turnamen esports walau mereka bukanlah publisher. Contohnya adalah ESL. Biasanya, para penyelenggara turnamen ini punya metode sendiri untuk mengatasi kecurangan. ESL mengaku bahwa mereka punya software khusus. Penyelenggara turnamem esports lainnya, FACEIT, juga mengembangkan software anti-cheat mereka sendiri.

Kepada The Esports Observer, Marcel Menge, SVP Play & Platforms, ESL mengungkap bahwa sekitar seperlima sampai seperempat dari budget teknologi ESL digunakan untuk mengembangkan teknologi anti-cheat. Salah satu program anti-cheat yang ESL gunakan adalah ESL Wire Anti-Cheat, yang mereka mulai gunakan pada 2010. Menge mengakui, software anti-cheat yang digunakan oleh ESL memang lebih intrusif daripada sistem anti-cheat dari publisher, seperti Valve. Alasannya, karena fokus dari ESL dan Valve memang berbeda. Sebagai publisher, fokus Valve adalah untuk mencegah para pemain berbuat curang. Sementara ESL lebih fokus untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan pemain.

ESL sangat serius dalam mengembangkan teknologi anti-cheat mereka. Mereka bahkan mempekerjakan orang secara diam-diam untuk memantau forum cheating online. Tugas mereka adalah untuk mendapatkan informasi tentang software cheat terbaru dan melakukan reverse-engineer dari software cheat tersebut.

“Kami punya cheating lab,” kata Menge pada The Esports Observer. “Laboratorium ini punya jaringan internet sendiri. Jadi, alamat IP di lab itu berbeda dari alamat IP kantor kami. Hal seperti ini diperlukan untuk mengalahkan para developer software cheat, karena pasar ini memang pasar yang besar.” Kode cheat standar biasanya dihargai sekitar US$20 sampai US$35. Sementara kode cheat khusus bisa dihargai hingga ribuan dollar.

 

Selain Publisher, Siapa yang Berhak Menegakkan Hukum di Esports?

Saat ini, ada dua federasi besar yang menaungi esports di dunia, yaitu International eSports Federation (IESF) dan Global Esports Federation (GEF). Bermarkas di Busan, Korea Selatan, IESF merupakan badan nirlaba yang didirikan pada Agustus 2008. Menurut IESF Statutes, salah satu tujuan IESF adalah untuk meningkatkan kualitas industri esports dan mempromosikan nilai-nilai yang terkandung di esports, seperti edukasi, budaya, dan persatuan. Selain itu, mereka juga ingin agar anak muda belajar tentang etika dan semangat fair play dari esports.

IESF World Championship 2020. | Sumber: Revival TV
IESF World Championship 2020. | Sumber: Revival TV

Salah satu bentuk kecurangan yang menjadi perhatian IESF adalah penggunaan doping. Terkait hal ini, IESF mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh IOC, Sport Accord, WADA, dan badan lain yang relevan. Sementara daftar substansi yang tidak boleh digunakan dalam kompetisi IESF ditentukan oleh Komite Kompetisi, yang ditunjuk oleh para Dewan IESF. Jika terjadi pertikaian, maka Komite Kompetisi dan Dewan IESF akan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut. Namun, jika kedua pihak itu ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah yang muncul, maka masalah itu akan dibawa ke Court of Arbitration for Sport (CAS), yang terletak di Switzerland.

Sementara itu, GEF didirikan pada 2019 dengan dukungan Tencent. GEF bermarkas di Singapura. Dalam situs resminya, GEF mengungkap bahwa salah satu tujuan mereka adalah menjaga integritas esports dan GEF. Untuk itu, mereka membuat kode etik dan menegakkan kode etik tersebut. Pihak yang melanggar kode etik dan peraturan yang telah ditetapkan oleh GEF akan dikenakan sangsi. Sangsi yang dikenakan oleh GEF beragam, mulai dari sekedar peringatan tertulis atau verbal, pencabutan gelar atau denda, diskualifikasi, skors, sampai pemecatan.

Untuk menentukan sangsi yang diberikan para pelaku, salah satu hal yang menjadi pertimbangan GEF adalah jenis pelanggaran yang dilakukan. Beberapa faktor lain yang GEF pertimbangkan sebelum menentukan sangsi untuk pelaku adalah apakah pelaku pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, apakah pelaku mau bekerja sama saat GEF melakukan penyelidikan, tujuan pelaku, apakah pelaku merasa penyesalan, dan lain sebagainya.

Selain IESF dan GEF, esports juga punya ESIC. Badan yang didirikan pada 2016 itu bertujuan untuk melindungi integritas esports. Mereka melakukan itu dengan menyelidiki kasus kecurangan di dunia esports dan memberikan hukuman pada para pelaku. Beberapa kecurangan yang ditangani oleh ESIC adalah match fixing dan penggunaan doping. Sebelum ini, mereka telah membantu polisi Australia untuk menangkan enam pemain CS:GO yang  melakukan match fixing.

Saat ini, ada 13 penyelenggara turnamen yang menjadi anggota ESIC, termasuk ESL, DreamHack, dan WePlay Esports. Anggota tertua ESIC bergabung sejak tahun 2017, sementara anggota terbaru badan tersebut bergabung pada tahun ini. Dalam situs resminya, ESIC menjelaskan, para anggota punya hak untuk menentukan bagaimana ESIC beroperasi.

Dalam wawancara dengan The Esports Observer, Ian Smith, Integrity Commissioner, ESIC mengungkap bahwa banyak perusahaan esports yang punya sumber daya pas-pasan. Perusahaan-perusahaan itu akan kesulitan untuk menangani kecurangan dilakukan para pemain. Memang, para penyelenggara turnamen esports bisa membuat software anti-cheat sendiri, seperti yang dilakukan oleh ESL. Namun, sebagai pihak ketiga, ESIC mampu membuka komunikasi dengan penyelenggara turnamen esports lain.

Di Indonesia, badan yang menaungi game dan esports juga ada lebih dari satu. Indonesia Esports Association (IESPA) adalah yang tertua, berdiri pada 2013. Sementara Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) dibentuk pada Juli 2019 dan Federasi Esports Indonesia (FEI) berdiri pada Oktober 2019. Organisasi yang terbaru adalah Pengurus Besar Esports (PB Esports), yang terbentuk pada Januari 2020.

Federasi Esports Indonesia. | Sumber: Esports ID
Sumber: Esports ID

Kemunculan lebih dari satu badan yang menaungi esports menimbulkan masalah tersendiri. Pasalnya, hal ini akan menimbulkan kontroversi dan membuat komunitas dan pelaku esports menjadi bingung: organisasi mana yang harus mereka patuhi? Bagaimana jika peraturan yang dibuat oleh satu organisasi bertentangan dengan peraturan dari organisasi lain? Kabar baiknya, para pelaku esports bisa belajar dari dunia tinju soal ini.

Sama seperti esports, tinju juga punya lebih dari satu badan internasional. Faktanya, ada empat organisasi tinju di dunia. Keempat badan itu antara lain World Boxing Association (WBA), World Boxing Council (WBC), International Boxing Federation (IBF), dan World Boxing Organizaation. Keempat organisasi itu juga punya gelar juara dunia/sabuk masing-masing. Hal itu berarti, ada 4 juara dunia untuk masing-masing 17 kelas tinju.

Menurut laporan MK Boxing, gelar juara dunia WBC merupakan gelar yang paling populer. Alasannya, gelar inilah yang biasanya diincar oleh para petinju. Sejauh ini, ada sejumlah petinju ternama telah memenangkan gelar juara WBC, seperti Muhammad Ali, Floyd Mayweather, dan Joe Calzaghe. Menariknya, walau keempat badan ini sama-sama menaungi olahraga tinju, mereka jarang bekerja sama. Alasannya klasik: uang. Setiap organisasi tinju akan mendapatkan uang ketika pertandingan untuk memperebutkan sabuk dari organisasi itu diperebutkan.

Dari tinju, para pelaku industri esports bisa belajar satu hal: beberapa organisasi yang menaungi olahraga yang sama bisa eksis dalam satu waktu selama memang uangnya masih bisa dibagi-bagi… Pelajaran ekstra yang bisa dipetik dari industri tinju adalah uang merupakan salah satu insentif untuk menciptakan badan yang menaungi olahraga tertentu. Dan karena esports kini tengah naik daun, tidak heran jika ada banyak pihak yang tertarik untuk membuat badan esports.

 

Kesimpulan

Liga Premier merupakan salah satu liga sepak bola domestik paling sukses di dunia. Salah satu alasannya adalah liga itu sangat kompetitif. Hasil pertandingan di Liga Premier tidak selalu bisa ditebak. Misalnya, walau di atas kertas Arsenal lebih unggul dari Aston Villa — Arsenal duduk di peringkat 8 pada musim lalu, sementara Aston Villa di peringkat 17 — tapi Aston villa tetap berhasil mengalahkan Arsenal 1-0 pada 5 Februari 2021 lalu. Hasil yang terkadang tidak terduga inilah yang membuat banyak orang senang menonton Liga Premier.

Selain persaingan yang ketat, integritas juga punya peran penting untuk menjamin sebuah kompetisi olahraga bisa terus hidup. Memang, siapa yang mau menonton pertandingan olahraga yang para pemainnnya berbuat curang? Tidak ada. Dan jika jumlah penonton turun, hal ini juga akan memberikan dampak langsung pada pemasukan para pelaku di dunia olahraga, termasuk tim dan pemain. Tanpa fans, penjualan merchandise dan tiket pertandingan langsung akan turun. Dan jika tidak ada orang yang mau menonton kompetisi olahraga, hanya masalah waktu saja sebelum para sponsor ikut pergi, seperti yang disebutkan oleh Genius Sports.

Saat ini, industri esports tengah berkembang pesat. Hal ini membuat banyak perusahaan — endemik atau non-endemik — tertarik untuk mendukung para pelaku esports. Jumlah penonton esports yang mencapai ratusan juta menjadi salah satu alasan mengapa banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor di dunia esports. Masalahnya, jika tidak ada jaminan bahwa pertandingan esports bebas dari kecurangan, para penonton tentunya juga akan berpaling. Dan tanpa penonton, para sponsor juga akan kehilangan minat untuk mendukung industri esports.

Sumber header: Talk Esports

Road to Wild Rift Icon Series: ONIC Esports dan MORPH Team

Pekan lalu kita sudah membahas profil BOOM Esports dan Aerowolf Pro Team dalam menghadapi pertandingan Wild Rift: Icon Series. Dua tim tersebut terlihat sudah banyak berbenah demi memastikan tim mereka siap untuk bertanding. Contohnya seperti merekrut pelatih League of Legends profesional yaitu OMO di BOOM Esports atau melakukan berbagai latih tanding untuk terus belajar seperti pada Aerowolf Pro Team

Bagaimana dengan tim yang lainnya? Pekan lalu yang kita bahas adalah “duo serigala”. Pekan ini kita akan membahas dua tim yang sama-sama punya warna cerah, ONIC Esports dan MORPH Team. Bagaimana kesiapan mereka? Berikut hasil wawancara dari Hybrid.co.id.

 

ONIC Esports – Menanti Aksi Pemain Liga Utama yang Hijrah ke Wild Rift


View this post on Instagram

A post shared by ONIC (@onic.esports)

Si landak kuning adalah salah satu tim pertama yang diumumkan sebagai tim undangan ke dalam pertandingan Wild Rift Icon Series oleh Riot Games. Namun diundangnya ONIC Esports sempat memicu pertanyaan di tengah komunitas karena mereka terlihat belum memiliki divisi Wild Rift. Karenanya saya pun mencoba menanyakan langsung soal persiapan ONIC Esports dalam menghadapi pertandingan tersebut kepada sang CEO yaitu Shawn Liem. Pertama-tama soal roster pemainnya. Sampai saat ini ONIC Esports belum menunjukkan sosok pemain-pemain divisi Wild Rift. Terakhir kali, media sosial resmi mereka baru menampilkan poster Coming Soon dari divisi Wild Rift. Terkait hal tersebut, Shawn pun menjawab. “Kalau soal roster, kami melakukan seleksi terbuka yang melibatkan seleksi administratif dan seleksi kemampuan. Untuk seleksi kemampuan, pemain ditandingkan dalam format turnamen, namun rekan satu tim mereka dicampur-campur. Tujuannya sendiri adalah supaya kami bisa melihat bagaimana konsistensi permainan serta kemampuan pemahaman aspek makro/mikro terhadap game-nya itu sendiri dari sang pemain.” “Terkait pemainnya, divisi Wild Rift kami punya latar belakang yang berbeda-beda, namun pada dasarnya memang pemain yang pernah punya pengalaman atau pencapaian di bidang kompetitif game MOBA. Bahkan salah satu pemain divisi Wild Rift kami adalah mantan pemain MPL di game MLBB.” Shawn Liem melanjutkan pembahasan soal siapa saja pemainnya.

Sumber Gambar - YouTube Channel BRODO
Sumber Gambar – Facebook Page Brodo Footwear

Melanjutkan pembahasan, pertanyaan selanjutnya adalah soal persiapan. “Pastinya latihan rutin, tapi selain itu manajemen juga berusaha sebisa mungkin menjaga kesehatan dan kekompakkan pemain. Dalam hal kesehatan, kami juga rutin mengadakan morning workout untuk para pemain. Salah satu alasannya adalah karena kami percaya bahwa kondisi fisik yang prima akan menunjang performa permainan sang pemain.” Tutur Shawn. Lalu bagaimana dengan hasil latih tanding yang telah berjalan? Shawn Liem pun mengatakan. “Hasil latihan yang didapat sejauh ini sudah cukup baik. Tapi kalau ditanya sesuai harapan atau tidak, saya belum bisa memberi jawaban pasti. Alasannya adalah karena saya merasa hasil latih tanding dengan pertandingan sungguhan itu bisa berbeda hasilnya.” Menghadapi organisasi-organisasi esports ternama Indonesia di pertandingan Wild Rift Icon Series, Shawn Liem mengaku bahwa dirinya dan manajemen lebih fokus kepada sisi internal ketimbang mewaspadai dari sisi eksternal. “Saya pikir lawan terberat tetaplah dari sisi internal. Bagaimanapun, berat/ringan lawan yang dihadapi itu berasal dari perspektif yang tergantung dari seberapa siap kami menghadapi sebuah pertandingan.”  

MORPH Team – Tak Gentar Dengan Segala Tantangan

 

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by 1st Beyond Esports team 🇮🇩 (@morph.team)

Selanjutnya adalah MORPH Team. Diundangnya tim ini ke dalam Wild Rift Icon Series mungkin memang mengejutkan, mengingat MORPH Team yang jarang terlihat di skena kompetitif MOBA. Lalu, apakah MORPH Team mampu untuk mengubah semua hal tersebut dan menjadi yang terbaik di Wild Rift Icon Series?

Untuk membahas berbagai persiapan MORPH Team dalam mengahadapi Wild Rift Icon Series, saya pun mewawancara Yohanes Putra atau “Yohapets” yang merupakan Mobile Divisions Manager dari MORPH Team. Pertama-tama soal perekrutan. Metode yang dilakukan MORPH Team tergolong mirip dengan tim-tim lainnya, yaitu melalui seleksi terbuka.

“Untuk mencari pemain, kami melakukan seleksi terbuka. Ada dua gelombang seleksi. Pertama-tama kami meminta pemain-pemain tersebut mengirimkan portfolio pengalamannya. Dari portfolio tersebut saya saring siapa saja yang lolos untuk lanjut ke tahap kedua. Pada tahap kedua saya pertandingkan semua pemain tersebut. Kebetulan divisi Wild Rift MORPH Team saat ini adalah mereka yang jadi juara di tahap kedua.” Tutur Yohanes.

Lalu siapa saja pemain-pemain tersebut? “Kalau ditanya siapa, saya belum bisa ungkap jelas, tunggu saja pengumumannya di media sosial kami. Tapi sebagai petunjuk, 4 pemain Wild Rift yang lolos itu dulunya pernah menjadi pemain top 100 di MOBA Vainglory. Mereka juga sudah ikut beberapa turnamen komunitas saat dalam masa open trials dan berhasil mendapatkan peringkat top 3 di turnamen-turnamen tersebut.” Jawab Yohanes.

Yohanes Putra atau Yohapets, sosok Mobile Divisions Manager dari MORPH Team.
Yohanes Putra atau Yohapets, sosok Mobile Divisions Manager dari MORPH Team.

Soal persiapan, Yohanes mengaku bahwa para pemain Wild Rift MORPH Team saat ini sudah dikumpulkan ke dalam satu gaming house. Sama seperti tim lainnya, scrim (latih tanding) menjadi salah satu menu utama dalam mempersiapkan tim.

Lalu apakah hasil scrim yang didapatkan sudah memuaskan? Yohanes pun menjawab. “Kalau dibilang memuaskan, menurut gue sudah cukup memuaskan. Seperti tadi gue bilang, mereka juga tergolong sebagai tim top 3 yang kuat di Indonesia. Di luar dari itu, gue sih tetap menekankan pola pikir tidak pernah puas kepada pemain. Gue berusaha menekankan kepada pemain supaya mentarget juara dunia dan terus belajar supaya bisa terus menang.”

Terkait lawan-lawannya, Yohanes memberikan sebuah pernyataan yang cukup berani. “Kalau lawan berat spesifik dari Indoesia, sejauh ini gue merasa enggak ada tim yang perlu ditakutin. Begitu juga dengan tim luar negeri, enggak ada yang jadi ancaman karena semuanya sama. Tetapi gue tetap berpikir respect lawan itu adalah hal yang perlu, karena semua tim pasti sama-sama ingin jadi juara di pertandingan ini.”

 

Pertandingan Wild Rift Icon Series Indonesia akan diselenggarakan pada tanggal 19 – 21 Maret 2021 mendatang. Pertandingan Wild Rift Icon Series sendiri sudah dimulai sejak akhir pekan lalu (27-28 Februari 2021) dimulai dengan pertandingan tim-tim Vietnam. Pertandingan masih berlanjut pada akhir pekan ini dengan giliran tim-tim asal Malaysia yang berlaga.

Sumber Gambar Utama – Instagram @morph.team

5 Things You Can Do to Get Recruited by a High-Tier Esports Team

We usually play games to spend our free time and as a means of entertainment. However, for some individuals, playing games is considered their real job. Being a professional esports player who competes in big tournaments and has a lot of fans is definitely a feat that many want to achieve. However, not everyone actually knows how to become a legitimate professional esports player. If you really do have all the skills needed to become a pro, here are some ways you can get recruited by an esports team.

 

1. Climb up the leaderboards and become one of the top players in the game

Sumber: Dokumentasi Resmi PMPL ID 2020 Season 1
Source: PMPL ID

Climbing or pushing your in-game rank is commonly assumed by gamers as the initial stage to prove your skill in the game. If you want to be a pro, you should strive to enter the highest rank in the game, such as Immortal in Dota 2 or Mythic Glory in Mobile legends.

In the upper echelons of the leaderboards, you will have the opportunity to meet real professional players. Play with your best effort to attract the attention of the pros. The important thing to note is that you have to showcase all your skills and prove that you are capable of becoming a professional player. One of the ways esports teams usually find new talents is through recommendations from players inside the organization.

Moreover, you can try to get into the highest rankings, such as Top Global for MLBB. Pro teams often scout young talented players in the top leaderboards of the game.

 

2. Participate in tournaments and acquire notable achievements

Sumber: InvenGlobal
Source: InvenGlobal

Apart from recommendations, esports teams usually also have specific departments that scout for talents in the amateur scene. These talent scouts will monitor esports matches in detail. They will examine the way you play, the decisions you make during the match, the mentality and behaviour when competing, etc.

Therefore, you have to give your utmost best when you compete to win and attract the scouts’ attention.

It should be noted that esports organizations can scout for full teams (five for MOBA or four for Battle Royale, for example) or just a single player. Thus, there is nothing wrong with creating or having your own team. Apart from honing your individual skills, you will also learn to work together with your teammates. Even if the esports organization is only looking for one player, they will also consider your team working abilities as it is an essential value to have as a pro player.

 

3. Search for opportunities in the pro teams’ social media accounts

Sumber: TEAMnxl> Facebook
Source: TEAMnxl> Facebook

Many esports teams have opened player recruitments in their social media. Therefore, you will frequently need to check esports teams’ social media. Always be on the lookout for opportunities to sign up as a recruit.

However, as mentioned before, having a track record of achievement in tournaments or a high rank in the game is key in being successfully recruited through social media. Thus, these open recruitments are only suited to players who have high expertise or experience.

In addition, you can also follow popular figures in the esports industry such as AP from RRQAldean Tegar from EVOSOwljan from BOOM Esports, or other players from Bigetron, Alter Ego, and their friends to get more information. However, I genuinely don’t recommend contacting these people if you do not have the necessary expertise to attract their attention. The last thing you want to happen is getting blocked by these major players in the Indonesian esports ecosystem.

Unless you are as good as Muhammad “inYourdreaM” Rizky in Dota 2 or Hansel “BnTeT” Ferdinand in CS:GO, your chances of getting recruited become far greater if you have more acquaintances in the industry- besides having skills, of course.

 

4. Live streaming

Sumber: Liquipedia
Source: Liquipedia

If you feel that you possess the necessary skills to compete in the competitive world of esports, and have achieved a high rank in the game, an equally effective way to attract the attention of pro teams is live streaming. Register yourself on live streaming platforms such as Youtube Gaming, Facebook Gaming, or Nimo TV. Live streaming will allow you to broadcast your gameplay and skills to the public.

Furthermore, even if you do not succeed in getting into the professional scene, you can at least continue your career as a live-streamer. There are several examples of live-streamers who managed to enter the pro scene, such as Alex “Entruv” Prawira, who is now the PUBGM and Free Fire coach for the Aura Esports team.

 

5. Attending an esports academy

Sumber: Revival TV
Source: RRQ

Several professional esports teams run their own esports academies, such as PUBGM RRQ Academy from the Rex Regum Qeon. At RRQ Academy PUBGM, players will be trained by RRQ PUBGM players and coaches, namely Michael “StMichael” Chandra. Esports academies provide an incredibly valuable opportunity for amateur players to get trained by pros and potentially enter an esports organization.

If you are offered to join a professional esports team, a tryout period is usually carried out. This tryout period will typically take months to analyze if your gameplay meshes well with the existing team.

There will also be an interview session. Pros are not only assessed through the ability to play but also their behavior in front of Indonesian esports industry figures. Do you really deserve the title of a professional esports player? Do you have the mentality of being a pro? Discipline is also a key attribute in being a pro player. According to TechRadar, professional players from Gen.G Esports Korea usually train for 15 hours every single day.

 

Conclusion

Being a professional esports player is a real job, and you cannot assume it to be always fun. Like any other jobs, being a pro requires responsibility, the willingness to learn, and the ability to work with your peers.

If you feel that you already have the skills to compete at the highest level, you can use these 5 tips as a pathway to the pro scene. Otherwise, it is imperative that you continue honing your skills.

Translated by Ananto Joyoadikusumo