Penampilan Gemilang Indonesia di SFV Versus Community Online Weekly

1 Juli 2020 kemarin, terdapat sebuah turnamen online terbuka yang diselenggarakan oleh VERSUS Asia. Bertajuk Street Fighter V Versus Community, turnamen ini terbuka untuk pemain yang berasal dari 5 negara di Asia Tenggara yaitu, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Indonesia. Dalam turnamen ini, tak hanya Aron berhasil menjadi juara, tetapi juga menampilkan permainan gemilang pemain-pemain Indonesia secara keseluruhan. Bahkan turnamen ini menampilkan pertarungan All-Indonesian Final, yang mana ini jarang terjadi di kancah kompetitif Street Fighter V Asia Tenggara. Pertandingan mempertemukan Aron Manurung dengan Abiyoga Candra yang tampil dengan nama in-game Kiteorca.

Penasaran dengan sepak terjang mereka berdua, Hybrid mewawancara singkat Aron dan Kiteorca. Selain soal penampilan dua pemain Indonesia di babak final turnamen komunitas ini, hal menarik yang perlu disorot sebenarnya adalah kebangkitan pemain-pemain asal Indonesia, mengingat turnamen ini juga diikuti oleh pemain Street Fighter kelas kakap kawasan Asia Tenggara. Selain SKZ, juara CPT Online SEA 1 kemarin, ada juga Xian, yang beberapa kali jadi juara dalam turnamen Street Fighter tingkat Asia Tenggara. Menariknya, dua pemain tersebut tumbang oleh pemain Indonesia.

SKZ tumbang di bracket awal oleh bearp0p, darah muda berbakat asal Indonesia. Sementara Xian tumbang oleh Kiteorca pada babak perempat-final. “Sebenarnya ini karena faktor saya sudah pernah sempat ketemu Xian di Versus Weekly tanggal 10 Juni lalu. Ketika itu dia pakai Ibuki dan saya juga menang tipis dengan skor 3-2.” Jawab Abiyoga membahas soal kemenangannya melawan Xian di babak perempat final.

“Selain itu kami sudah beberapa kali bertemu di ranked match juga. Terus ditambah lagi, beberapa waktu terakhir saya memang kerap berlatih tanding dengan pemain muda SF Indo bernama Roxas. Dia pemain Ibuki yang bagus, alhasil, saya jadi lebih siap ketika menghadapi Ibuki milik Xian. Karena melihat saya yang lebih siap menghadapi Ibuki, akhirnya kemarin Xian memaksa menggunakan Seth, padahal dia belum sepenuhnya menguasai karakter tersebut. Lalu saya juga kebetulan pakai Honda, karakter yang cukup bisa mengatasi gerakan milik Seth, terutama Dive Kick yang bisa dibalas dengan gerakan Headbutt yang merupakan gerakan Anti-Air.” Abi menceritakan lebih lanjut.

Selain itu, terkait All-Indonesian Final, Aron lalu menceritakan apa yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. “Menurut saya ini bisa dibilang juga ada sisi bracket blessing, sehingga kami berdua bisa mengambil advantage dari hal tersebut. Walau demikian, jujur saya sendiri juga struggle saat lawan SMB_SG. Saya sempat bertemu dia di CPT SEA, dan Poison miliknya sudah beradaptasi dengan Nash milik saya. Ini juga tentu tanpa melupakan perjuangan Kiteorca, yang bermain solid lawan Fubarduck dan Xian.”

Aron Manurung (Kiri) dan Abima Sumber: Dokumentasi Pribadi
Aron Manurung (kiri) dan Abiyoga Candra atau Kiteorca (kanan), dua pemain Indonesia yang saling berhadapan di final turnamen tingkat Asia Tenggara, SFV Versus Community Weekly Online. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Berhadapan dengan sesama pemain Indonesia, Aron mengakui kehebatan Kiteorca dalam menggunakan Honda. “Menurut saya, dia lawan terberat selama turnamen ini. Honda memang punya sedikit keuntungan ketika menghadapi Nash, karena Vskill miliknya bisa menangkal Sonic Boom dan dia jadi build-up Vtrigger juga. Akhirnya saya memutuskan pakai Vega dan bermain poking. Kiteorca juga punya playstyle yang agak sulit dibaca, karena dia bisa tiba-tiba melakukan command grab, dan bisa tiba-tiba command dash-in.” Masih membahas ini, Kiteorca juga menambahkan. “Jujur mengakui, saya memang lebih siap menghadapi Nash daripada Vega yang dipakai Aron untuk babak final kemarin sih.”

Belakangan, komunitas Street Fighter di Indonesia sedang menjadi sorotan di skena Asia Tenggara. Kemarin kita sempat melihat bagaimana sepak terjang Aron Manurung, petarung asal Indonesia yang berhasil raih peringkat 5 dalam turnamen Capcom Pro Tour Online SEA 1. Melihat fenomena ini, saya menanyakan pendapat Kiteorca. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam komunitas Street Fighter Indonesia?

“Saya juga sangat gembira melihat keadaan ini.” jawab Abi membuka pembahasan. “SF Indo sebenarnya memang punya beberapa pemain muda berbakat seperti Roxas, Bearpop, yang sebenarnya tinggal butuh lebih banyak pengalaman supaya lebih matang.”

“Kalau soal pemain SF Indo yang unjuk gigi belakangan, menurut saya salah satunya mungkin karena situasi pandemi ini. Gara-gara itu, sekarang turnamen online jadi lebih banyak, alhasil peluang untuk tampil juga jadi lebih besar. Juga kebetulan saya baru bergabung ke komunitas IndoSF beberapa bulan kemarin. Jadi mungkin, semangat dari saya jadi menular, jadi memacu semangat teman-teman untuk bermain dan berlatih lagi.” tukasnya.

Dalam Street Fighter V Versus Community sendiri, akhirnya Aron berhasil keluar menjadi juara. Bertarung sengit melawan Kiteorca dalam seri best-of-5 dengan skor 3-2. Jika Anda penasaran dengan jalannya pertandingan kemarin, Anda bisa menyaksikan siaran ulang pertandingan di laman Twitch @xianmsg.

Ini tentu menjadi berita yang membahagiakan bagi komunitas Street Fighter Indonesia. Semoga saja, prestasi ini bisa dipertahankan sampai menuju CPT Online SEA 2 yang dikabarkan akan hadir bulan September nanti.

Apa sajakah Metrik di Esports yang Bisa Digunakan untuk Mengukur Kesuksesannya?

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi kian populer, baik sebagai kompetisi maupun sebagai konten hiburan. Seiring dengan meroketnya popularitas esports, semakin banyak juga perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor atau investor bagi pelaku esports. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak melulu perusahaan yang bergerak di bidang game atau esports. Semakin banyak perusahaan besar non-endemik yang mulai tertarik untuk masuk ke dunia esports. Sebut saja BMW yang langsung menggandeng 5 organisasi esports sekaligus, atau Lamborghini yang mengadakan turnamen balapan esports sendiri.

Tidak heran jika semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk masuk ke industri esports, mengingat Newzoo memperkirakan nilai industri esports akan menembus US$1 miliar pada tahun 2020. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi pemasukan utama dari organisasi esports dan kebanyakan pelaku esports belum mendapatkan untung. Namun, para investor tetap percaya, industri esports akan menjadi industri besar di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena jumlah penonton yang terus naik.

Di Indonesia, populer atau tidaknya sebuah program televisi ditentukan oleh rating yang dikeluarkan oleh Nielsen. Menurut laporan CNN Indonesia, untuk mengukur rating, Nielsen memasang alat khusus bernama people meter di 2.273 rumah tangga sebagai sampel. Ribuan sampel itu tersebar di 11 kota besar. Namun, metode untuk menentukan popularitas konten esports tidak sama dengan rating televisi. Pasalnya, sebagian besar konten esports ditayangkan di platform streaming, seperti YouTube, Facebook Gaming, serta Twitch; bukannya televisi.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon

Di platform streaming, tidak ada “rating” yang menentukan popularitas sebuah video, yang ada adalah jumlah view. Namun, jumlah view bukanlah satu-satunya metrik yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat popularitas sebuah turnamen atau game esports. Ada beberapa satuan lain yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports.

Apa saja metrik yang digunakan untuk mengetahui popularitas esports?

AMA (Average Minute Audience)

AMA, yang juga dikenal dengan sebutan Average Concurrent Viewers (AVC) adalah metrik yang paling sering digunakan untuk menentukan tingkat popularitas konten esports. Ada dua cara untuk menghitung AMA. Pertama, membagi total jam video ditonton dengan durasi video. Kedua, menghitung rata-rata jumlah penonton pada setiap menit dari video. Salah satu alasan mengapa AMA menjadi metrik terpopuler adalah karena ia bisa dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton, yang biasa digunakan pada televisi.

Ketika masih menjabat sebagai Managing Director di Nielsen Esports, Nicole Pike menjelaskan bahwa menggunakan AMA untuk menghitung viewership memudahkan pengiklan mengerti tingkat popularitas konten esports. “Kami menggunakan metrik AMA agar para perusahaan dapat membandingkan data kami dengan jumlah penonton rata-rata dari berbagai acara televisi yang mereka tahu,” ujar Pike pada Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo setuju dengan perkataan Pike. “AMA memudahkan Anda untuk mengetahui program mana yang memiliki viewership lebih tinggi,” katanya. Dia menambahkan, AMA juga membantu pengiklan untuk tahu lama durasi sebuah konten. Sayangnya, AMA bukanlah metrik sempurna untuk mengetahui popularitas konten esports.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO Esports Charts berkata, “AMA tidak bisa digunakan untuk membandingkan turnamen esports dari game yang berbeda-beda, seperti Fortnite World Cup (FWC) dan League of Legends World Championship (LWC).” Alasannya, dua turnamen tersebut memiliki format yang sama seklai berbeda. Dia menjelaskan, jika membandingkan FWC dan LWC dari segi AMA, FWC akan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Bukan karena Fortnite lebih populer sebagai game esports, tapi karena LWC memiliki babak Play-In dan Group Stages, yang memperpanjang durasi turnamen tersebut. “Metrik AMA hanya bisa digunakan untuk membandingkan turnamen pada tahap yang sama. Misalnya, pada babak akhir atau group stages,” ujar Odintsov.

Menurut Games Impact Index yang dibuat oleh The Esports Observer pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game esports paling berpengaruh pada ekosistem esports, diikuti oleh Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, dan Fortnite. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan daftar tersebut, seperti jumlah pemain aktif bulanan, jumlah total hadiah turnamen, jumlah jam ditonton, jumlah turnamen, dan lain sebagainya.

Odintsov mengatakan, jika hanya menggunakan AMA sebagai tolak ukur popularitas game esports, League of Legends dan CS:GO mungkin justru tidak akan mendapatkan nilai paling baik karena dua game tersebut memiliki banyak turnamen. “Game dengan sistem turnamen terpusat seperti Overwatch mungkin justru terlihat lebih populer daripada LoL dan CS:GO hanya karena Overwatch tidak memiliki banyak turnamen,” ungkapnya.

Unique Viewers

Selain AMA, metrik lain yang biasa digunakan di dunia esports adalah Unique Viewers. Biasanya, metrik ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang menonton sebuah konten esports dan berapa lama dia menonton video tersebut. Rietkerk mengatakan, metrik Unique Viewers biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari sebuah kampanye marketing.

Memang, Unique Viewers akan memudahkan sponsor untuk mengetahui apakah kampanye marketing mereka jalankan sukses atau tidak. Sementara bagi publisher game, Unique Viewers membantu mereka untuk tahu berapa banyak orang yang tertarik dengan game mereka. Masalahnya, sulit untuk membandingkan metrik Unique Viewers dengan metrik yang biasa digunakan di televisi.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus

“Muncul klaim bahwa League of Legends World Championship lebih populer dari Super Bowl, tapi ketika Anda meneliti datanya, Anda menemukan bahwa popularitas Super Bowl dihitung menggunakan metrik jumlah rata-rata penonton sementara LWC menggunakan Unique Viewers,” kata Pike. “Padahal, keduanya adalah metrik yang sama sekali berbeda dan tidak seharusnya dibandingkan.”

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users mengacu pada jumlah penonton tertinggi dari sebuah siaran. Odintsov berkata, “PCU dipengaruhi banyak faktor. Faktor utamanya adalah zona waktu dari tempat turnamen diselenggarakan. Metrik ini cocok untuk membandingkan popularitas turnamen-turnamen yang diadakan di region yang sama. Tujuannya, untuk mengetahui turnamen mana yang lebih populer.”

Hours Watched (HW)

Terakhir, metrik yang biasa digunakan dalam dunia esports adalah Hours Watched atau lama durasi video ditonton. “Bagi sponsor, Hours Watched dapat membantu mereka mengetahui berapa lama para penonton melihat merek mereka,” ujar Rietkerk. “Metrik ini juga cocok untuk digunakan jika Anda ingin membandingkan popularitas dua game dengan genre yang berbeda.”

Hanya saja, metrik HW tidak bisa digunakan sendiri. “Metrik Hours Watched tidak bisa digunakan tanpa dukungan data jumlah rata-rata penonton atau lama durasi konten,” kata Odintsov. Dia menjelaskan, 1 juta Hours Watched bisa dicapai dengan 8 jam siaran dan AMA 125 ribu orang atau 100 jam siaran dengan AMA 10 ribu orang. Dalam kasus ini, kedua acara memang sama-sama mendapatkan 1 juta total jam ditonton. Namun, keduanya memiliki jumlah rata-rata penonton yang jauh berbeda.

Kenapa Ada Begitu Banyak Metrik yang Digunakan Dalam Esports?

Menurut Pike. alasan mengapa ada banyak metrik yang digunakan dalam industri competitive gaming adalah karena esports dimulai dari komunitas akar rumput. Pada awalnya, data terkait esports juga datang dari para pemegang kepentingan di ekosistem esports, sepreti publisher game atau penyelenggara turnamen. “Dalam industri TV, pihak ketiga akan menyajikan data secara konsisten untuk memberikan kejelasan bagi pihak yang ingin membuat iklan atau menjadi sponsor,” ujarnya. “Tanpa adanya pihak ketiga untuk memberikan data, pihak publisher atau penyelenggara turnamen bebas untuk memberikan laporan sendiri-sendiri.”

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety

Lebih lanjut Pike menjelaskan, “Data yang diberikan oleh publisher dan penyelenggara turnamen tidak salah. Namun, Anda bisa menarik perhatian banyak orang dan sponsor dengan memberikan data yang bombastis. Karena metrik yang digunakan tergantung pemangku kepentingan, maka penggunaan metrik menjadi tidak konsisten.” Misalnya, jika Overwatch League memiliki jumlah rata-rata penonton yang tinggi, maka tentunya, hal itu yang akan Activision Blizzard tonjolkan. Sementara jika turnamen League of Legends bsia mendapatkan Hours Watched yang tinggi, maka Riot akan menggunakan metrik tersebut.

Kabar baiknya, seiring dengan semakin berkembangnya ekosistem esports, semakin banyak perusahaan game dan esports yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik pihak ketiga. Beberapa perusahaan game yang telah melakukan itu antara lain Riot Games dan Activision Blizzard. Salah satu tujuan mereka adalah untuk menjamin validitas data yang mereka berikan.

Tak hanya publisher, pelaku esports seperti ESL dan Astralis pun mulai bekerja sama dengan perusahaan analitik. Melalui kerja samanya dengan Newzoo, Astralis akan saling bertukar data dengan perusahaan analitik tersebut. Harapannya, Newzoo akan dapat membuat perkiraan akan dunia esports dengan lebih akurat menggunakan data dari Astarlis. Sementara Newzoo akan memberikan insight pada Astralis untuk membantu organisasi esports itu mengambil keputusan di masa depan.

Esports Perlu Satuan Standar untuk Mengukur Popularitas Konten

Dalam industri esports, ada berbagai game dengan genre yang berbeda-beda. Biasanya, masing-masing game esports juga memiliki format turnamen dan target penonton yang berbeda-beda. Misalnya, kebanyakan liga regional League of Legends menggunakan model franchise, sementara turnamen Dota 2 justru bersifat terbuka. Karena itu, sulit bagi sponsor untuk menghitung ROI (Return of Investment) ketika mereka mendukung sebuah turnamen esports. Menggunakan metrik yang sama untuk mengukur popularitas konten esports bisa membantu memecahkan masalah itu.

“Keuntungan terbesar dari penggunaan metrik yang sama adalah kita dapat mengerti satu sama lain,” kata Rietkerk. “Jika semua pelaku menggunakan metrik yang berbeda untuk mendsikusikan hal yang sama, hal ini justru akan membuat para sponsor bingung.” Memang, seiring dengan semakin banyak perusahaan besar yang menginvestasikan dana marketing mereka di esports, maka para pelaku esports semakin sadar bahwa mereka harus dapat menyediakan data yang valid dan menjamin bahwa investasi para sponsor tidak sia-sia.

“Di dunia esports, data viewership turnamen akan memberikan dampak langsung pada jumlah rekan yang bisa didapatkan oleh sebuah tim atau penyelenggara turnamen,” ujar Odintsov. Dia mengatakan, data media sosial kini tak lagi terlalu diminati. Sebagai gantinya, pengiklan tertarik dengan acara live, seperti livestreaming yang dibuat oleh para streamer atau turnamen yang disiarkan langsung.

Kesimpulan

Industri esports tumbuh dari komunitas akar rumput. Seiring dengan meningkatnya minat untuk menonton pertandingan esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Karena itu, para pelaku esports juga dituntut untuk dapat memberikan data yang valid sehingga pihak sponsor bisa memastikan bahwa investasi mereka tidak sia-sia.

Sekarang, telah ada beberapa metrik yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports, seperti jumlah rata-rata penonton atau total durasi video ditonton. Sayangnya, penggunaan metrik yang berbeda-beda justru akan membuat sponsor dan pengiklan bingung. Karena itu, sebaiknya pelaku industri esports menentukan metrik yang akan mereka gunakan sebagai standar.

Sumber header: PCMag

[Rekap] Fnatic Kalahkan T1, Konfirmasi Tim Peserta MPL ID S6, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

Fnatic taklukkan T1 dalam ONE Esports SEA League

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Dalam lanjutan ONE Esports SEA League yang mempertemukan Fnatic dengan T1, terjadi pertandingan yang terbilang tidak seimbang. Tim yang dihuni oleh pemain bintang Asia Tenggara kembali menunjukkan superioritasnya di pertandingan ini.

T1 yang sedang bersusah-payah menemukan konsistensinya tidak mampu melewati ujian dari jawara Asia Tenggara tersebut. Tim yang dibela midlaner asal Indonesia itu hanya mampu memberikan perlawanan di game pertama saja dan babak belur di game kedua.

Moonton pastikan tak ada tim baru di MPL ID S6

Terungkap sudah jumlah tim peserta untuk Mobile Legends: Bang Bang Professional League season 6. Moonton lagi-lagi memutuskan tak ada penambahan slot.

Sejak bergulir secara franchise di season 4, indikasi akan potensi penambahan slot sudah ada sejak sebelum season 5. Faktanya, tidak ada realisasi sampai season 6 nanti.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Tips Yu Zhong Mobile Legends

Beberapa waktu lalu Mobile Legends kembali menghadirkan hero baru bernama Yu Zhong. Ia merupakan seorang hero Fighter yang sebelumnya diperkenalkan dengan nama Chong yang memiliki skill ultimate berubah menjadi naga besar berwarna hitam.

Karena baru hadir di original server Mobile Legends, tentu belum banyak pemain yang mengetahui apalagi menguasai hero Yu Zhong ini. Untuk membantu Anda memahami dan menguasai sang Black Dragon ini, berikut ulasan yang bisa kami berikan:

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Razer SEA-Invitational tandingkan Dota 2, Mobile Legends, dan PUBG Mobile

Turnamen ini akan diikuti oleh tim-tim terbaik dari 10 negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Brunei Darussalam seperti di SEA Games 2019 lalu, tetapi kali ini bukan tim nasional yang akan bertanding melainkan tim-tim yang berhasil lolos kualifikasi.

Total hadiah TI 2020 tembus US$20 juta

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Setelah paket Battle Level Bundles mulai dijual pada 24 Juni kemarin, The International 10 Battle Pass langsung diserbu para player hingga penjualannya menembus angka US$20 juta dan memecahkan rekor penjualan Battle Pass tercepat.

 

Powered by ONE Esports 

esports-logo

[Profile] Herry Wijaya: Kekurangan Event Esports Indonesia Ada pada Minimnya Pemahaman Fundamental Event

Event esports di Indonesia memang sudah berkembang pesat 2 tahun terakhir — meski saat ini sedang bergeser ke online karena pandemi. Kemilau lampu warna warni, kemegahan panggung bagi para atlet esports beradu kemampuan, layar lebar segede gaban, serta gemuruh teriakan para penggemar esports yang membuat atmosfir event esports terasa begitu unik dan berkesan memang sudah biasa ditemukan di gelaran esports di tanah air belakangan ini.

Sayangnya, di balik itu semua, tidak sedikit juga event esports di tanah air yang masih memiliki begitu banyak kekurangan — seperti jadwal acara yang ngaret sampai berjam-jam, persoalan koneksi internet, dan lain sebagainya. Di sisi lainnya, satu hal yang saya pribadi percayai, kita bisa belajar dari mereka-mereka yang sudah lebih dulu punya pengalaman lebih matang.

Karena itulah, saya sengaja mengajak salah satu kawan saya yang satu ini untuk berbincang-bincang seputar pengalamannya. Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia, adalah salah satu dari segelintir orang yang telah mengantongi segudang pengalaman seputar event esports di Indonesia.

Awal Perjalanan Kariernya

Herry pun bercerita bahwa awal perkenalannya menangani event adalah saat ia masih SMA (SLTA, SMU atau apapun namanya sekarang ini). “Sama seperti kebanyakan anak-anak SMA yang lain, gua juga berangkat dari pensi (pentas seni), termasuk waktu itu juga sudah jualan sponsorship.” Kata Herry mengawali ceritanya.

Herry juga mengaku dulu sempat menjadi anak band namun ia mengurungkan niat tersebut karena merasa karier di musik itu berat modalnya. Zaman dulu, belum ada YouTube jadi setiap anak band yang bercita-cita ingin berkarier jadi musisi harus lewat music label. Ia pun memilih untuk lebih sibuk mengurus event.

Dokumentasi: Mineski Indonesia
Herry Wijaya. Dokumentasi: Mineski Indonesia

Selepas lulus sekolah, Herry sempat belajar servis komputer dan ponsel karena memiliki ketertarikan di sana. Kemudian, ia bercerita mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan IT. Namun, belum sempat menyelesaikan gelarnya, ia berhenti untuk jadi broker Forex dan Index. Kala itu, ia mengaku melihat banyak dinamikanya bekerja di bidang ini karena harus selalu memerhatikan sentimen-sentimen yang ada di pasar.

Berjalan satu tahun, ia mendapatkan tawaran untuk kuliah lagi namun di jurusan manajemen. Ia pun mengambil tawaran tersebut. Tak lama setelahnya, dia juga berkesempatan untuk berbisnis sebagai wedding organizer. “Berangkat dari situ, gua pun jadi keranjingan dengan yang namanya event. Gua belajar dari front-end sampai back-end.” Ujar Herry melalui sambungan Voice Call via Discord.

Masuknya Herry ke industri gaming

Sumber: Mineski Infinity Indonesia
Bagaimana peluang bisnis warnet di tengah geliat esports? Sumber: Mineski Infinity Indonesia.

Herry bercerita bahwa awal mulanya ia masuk ke industri gaming dan seputarnya adalah saat ada satu investor yang menawarinya untuk membuka warnet (warung internet). Herry lalu mengambil kesempatan itu dan membuka warnet yang bernama Velocy.

Saat itu, Herry juga sebenarnya bermain DotA namun ia mengaku selalu kalah saat berhadapan dengan para pemain legendaris dari Indonesia saat itu seperti Ritter ataupun Lakuci. Sembari menjalankan bisnis warnetnya, ia juga mendapatkan tawaran untuk bekerja di salah satu publisher game sebagai Assistant Project Manager. Sayangnya, perjalanannya di publisher game ini tak lama.

Ia pun kembali fokus ke Velocy namun ia mengaku sudah merasa bosan di sana. Kemudian, ada seorang kawannya yang sama-sama berkecimpung di warnet mengajaknnya untuk membantu menangani warnet yang berkapasitas 200 PC. Dari sana, Herry mendapatkan kesempatan baru dari layanan video streaming. Saat itu ia dipercaya oleh HalloStar untuk menjadi agency yang merekrut talent-talent untuk konten gaming seperti Vina Eleast, Kelly Boham, dan yang lainnya.

Beberapa bulan proyek tersebut berjalan, ia juga ditawari untuk menjalankan event untuk HalloStar. Event-event gaming saat itu juga sudah mulai bermunculan. Ia pun bertemu dengan Eddy Lim (pemilik Ligagame dan Ketua IESPA). Meski awalnya hanya ditawari untuk menangani satu proyek event, Herry pun akhirnya bergabung dengan Ligagame. Di sana, Herry bercerita banyak belajar soal broadcasting.

IGC 2017. Sumber: IGC
IGC 2017. Dokumentasi: Indonesia Games Championship

Karena ada beberapa hal yang tidak bisa saya tuliskan di sini (wkawkakwka), Herry pun meninggalkan Ligagame. Namun, setelah meninggalkan Ligagame, kepedulian Herry atas esports Indonesia bertumbuh semakin kuat. Ia pun mencari kendaraan baru yang bisa ia gunakan untuk membangun esports di Indonesia. Kemudian, Herry mengaku mendapatkan tawaran untuk ikut menggarap IGC (Indonesia Games Championship) 2017 sebagai salah satu subcontractor.  Menurutnya, IGC 2017 itu adalah salah satu milestone terbesar sepanjang perjalanan kariernya.

Setelah IGC selesai, ia pun bergabung dengan tim yang menangani proyek tadi yang bernama WOG (yang sebelumnya dikenal dengan nama Kairos). Pasca dari Kairos, Herry pun sempat meninggalkan industri esports. Ia masih berkecimpung di event sebenarnya namun tak lagi di ranah esports. Saat itu, beberapa bentuk proyeknya seperti annual meetingconference, gathering dari berbagai ranah industri.

Herry sebenarnya mengaku sudah asyik dengan proyek ini waktu Agustian Hwang, CEO Mineski Global Indonesia, mengajaknnya untuk menangani proyek MPL ID S3. Di satu sisi, Herry mengaku tidak terlalu tertarik untuk menangani proyek tersebut. Namun di sisi lain, ia takut jika proyek dengan budget besar itu berantakan karena tidak ditangani oleh yang berpengalaman. Karena itulah, awalnya Herry memutuskan untuk mengambil proyek tersebut dan menyelesaikannya sebelum kembali lagi ke event-event sebelumnya. Namun demikian, untungnya Herry ternyata tetap bertahan sampai sekarang dan bahkan naik jabatan jadi Head of Operation sampai sekarang.

Pendapat Herry soal event esports di Indonesia

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim
Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Sebenarnya cerita Herry ke saya seputar perjalanan kariernya masih banyak namun saya takut menjabarkannya semua di sini (kwakwakkwa) dan mungkin akan jadi terlalu panjang juga. Meski begitu, setidaknya cerita tadi bisa menjadi gambaran segudang pengalamannya.

Mengingat Herry juga sudah terjun menangani event-event esports di Indonesia sejak beberapa tahun lalu, saya pun menanyakan pendapatkan tentang perkembangan event esports di Indonesia dan perbedaannya. Ia mengatakan bahwa ada 3 fase perkembangan event esports di Indonesia sampai hari ini.

Fase pertama adalah saat zaman WCG (World Cyber Games). Menurut Herry, di fase ini sebagian besar event bisa dibilang sebagai turnamen liar dan WCG yang menjadi kulminasi dari berbagai turnamen liar tadi. Informasi-informasi turnamen di fase ini hanya ada di forum-forum seperti Ligagame.

Fase kedua adalah saat ia bekerja untuk WOG. Menurutnya, fase ini masih sangat konservatif karena orang-orang masih menunggu. Semua hal yang dibutuhkan, seperti teknologi, sebenarnya sudah ada di fase ini namun orang-orang masih ragu apakah esports akan ramai atau tidak.

Fase ketiga dimulai dengan MSC 2017 dan esports Mobile Legends. Bagi Herry, MSC 2017 adalah sebuah proof of concept bahwa esports memang sudah siap dijalankan di Indonesia. Namun demikian, Herry mengatakan pertumbuhan industri esports pasca MSC 2017 ini terlalu cepat yang bisa jadi berbahaya. Menurutnya, hanya 30% dari total pelaku industri esports sekarang yang nantinya masih bisa bertahan. 2 tahun ke depan ini yang akan jadi fase-fase pengujiannya.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Lalu, jika berbicara soal beberapa kekurangan di event-event esports yang terjadi di Indonesia, sebenarnya apa penyebabnya? Menurut Herry, kekurangannya ada di fundamental pemahaman orang-orangnya terhadap event. “Fundamental event itu apa aja sih, marketing, operation, dan sales; sama kalau di esports ada aspek baru yaitu broadcasting-nya.” Jawab Herry yakin.

Berhubung Herry memang kebetulan sudah menggarap begitu banyak event bahkan di luar ranah esport sekalipun, kemudian apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang event di esports sekarang yang mungkin memang belum punya kesempatan menangani event lain dan langsung terjun ke esports?

“Ya mereka harus nge-track apa yang salah dari mereka, dari aspek-aspek fundamental itu apa yang salah. Lu cek lagi, berkaca lagi. Kalau lu ga bisa ngakuin kesalahan lu, itu lebih fatal lagi sih…” Jelas Herry. Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat ini. Saya kira melakukan kesalahan itu memang sebenarnya bagian dari proses belajar selama memang bisa disadari sebelum bisa dibenahi.

Terakhir, apakah Herry ada saran buat anak-anak muda yang ingin terjun ke event esports? “Tentukan ekspektasinya apa. Atur aksi dan reaksi. Maksudnya, dengan waktu yang lu punya, apakah tujuan itu bakal tercapai? Ada goal yang harus ditentukan sebelumnya.” Tutup Herry.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Penutup

Tentu saja, seperti yang selalu saya katakan saat menuliskan perjalanan karier/hidup seseorang, adalah sebuah penyederhanaan yang keterlaluan saat mencoba memampatkan sekian banyak pengalaman tadi menjadi kata-kata — berapapun itu jumlahnya.

Namun demikian, jika saya boleh menyimpulkan sendiri dari cerita pengalaman Herry ini, salah satu hal yang berhasil membawanya sampai ke titik ini adalah pengalamannya menangani berbagai event bahkan di luar esports sekalipun sampai proyek-proyek lainnya seperti bisnis warnetpublisher gamebroker Forex, ataupun yang lainnya.

Jadi, jangan takut untuk menimba segala macam pengalaman juga meski awalnya tidak terlihat relevan dengan cita-cita Anda. Satu hal yang selalu saya percayai, belajar apapun tidak akan pernah berakhir dengan sia-sia.

Tips Aiming FPS di PC: Grip Style, Aim Style, Latihan, sampai Cara Pilih Mouse

First-Person Shooter adalah sebuah genre game tembak menembak dari sudut pandang orang pertama. Genre ini menawarkan pengalaman yang imersif, karena Anda seperti dibawa masuk ke dalam dunia game tersebut

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, genre ini mengalami pergeseran. Berawal sebagai game single-player, kini kebanyakan FPS seperti Counter-Strike jadi game multiplayer yang fokus pada aspek kompetitif. Dalam ranah single-player, game FPS masih bisa dimainkan secara santai. Lawannya hanya AI, yang kemampuannya ditentukan oleh tingkat difficulty.

Dalam ranah multiplayer? Jangan harap kata ada ampun. Lawan Anda adalah pemain lain yang tidak peduli siapapun lawannya, akan tetap bermain semaksimal kemampuan mereka. Jika lawan sangat jago, bisa jadi Anda sudah wafat sebelum sempat melihat bentuk karakter musuh.

Perasaan menghadapi lawan seperti itu tentu mengintimidasi. Ini mungkin juga menjadi alasan, kenapa beberapa orang patah arang saat main FPS kompetitif. Tapi hal ini juga jadi alasan kenapa beberapa orang ketagihan, karena adrenalin saat bertanding dan kepuasan ketika berhasil menjadi lebih baik dari pemain lain. Apalagi ditambah dengan perkembangan esports dari waktu ke waktu, membuat mengejar skill bermain juga kian kompetitif dari sebelumnya — bahkan buat yang tidak berencana terjun ke skena profesional.

Game kompetitif FPS memang mengintimidasi, tapi di sisi lain juga memancing adrenalin kompetisi. Sumber: win.gg
Game kompetitif FPS memang mengintimidasi, tapi di sisi lain juga memancing adrenalin kompetisi. Sumber: win.gg

Jika Anda sudah terjerumus, dan merasa tidak ada perkembangan dari segi kemampuan aim, jangan khawatir, banyak orang mungkin merasakan perasaan serupa. Kesalahannya mungkin bukan dari Anda, bukan juga dari hardware yang Anda miliki. Bisa jadi kesalahannya adalah dari cara Anda melatih diri.

Sebelum menuju ke pembahasan, mungkin ada baiknya saya menjelaskan lebih dulu bagaimana proses saya jadi menyukai game FPS kompetitif. Jujur saya mengakui, saya bukan yang terbaik di dalam game FPS. Seringkali saya luput dalam adu bidik, yang juga membuat saya kesal dan frustasi. Saya justru baru menekuni FPS beberapa saat setelah Playerunknown’s Battleground hadir di Steam (sekitar tahun 2017-an).

Namun sejak saat itu saya ketagihan belajar untuk menjadi lebih baik dalam game FPS kompetitif, karena ada rasa kepuasan tersendiri ketika menang adu bidik, dan supaya tidak diledeki potato aim oleh sesama gamers… Hehe. Ditambah lagi, belakangan saya juga sedang keranjingan game FPS di PC (Ya benar, VALORANT), yang membuat saya jadi kembali kepada proses ketagihan belajar menjadi lebih baik.

Jadi dalam artikel ini, saya mencoba membagikan beberapa pengetahuan seputar cara menjadi lebih baik dalam bermain game FPS. Informasi ini saya rangkum dari berbagai sumber, dikombinasikan dengan pengalaman saya sendiri. Agar memudahkan Anda, saya juga mengurutkan hal-hal yang perlu Anda ketahui dari yang paling mendasar hingga tingkat lanjutan. Tanpa bermaksud menggurui, mari kita sama sama belajar, dan semoga artikel ini dapat menjadi lahan sama belajar bersama.

Pilih Cara Ternyaman Untuk Pegang dan Gerakkan Mouse

Satu salah kaprah yang sering terjadi saat main game FPS kompetitif adalah, menyalahkan aim yang buruk kepada pengaturan sensitivitas, pemilihan mouse, mousepad, dan segala tetek bengek hardware lainnya. Padahal aim yang buruk adalah salah diri Anda sendiri, ya betul, ANDA SENDIRI.

Ini mungkin kenyataan pahit, namun jadi kenyataan yang harus Anda diterima untuk menjadi lebih baik. Karena menurut saya, faktor terbesar dalam kemampuan aiming game FPS datang dari kemampuan motorik tangan dalam memegang dan menggerakan mouse serta koordinasinya dengan mata Anda. Baru sebagian kecil lainnya datang dari pemilihan mouse, monitor, mousepad, pengaturan DPI, sensitivitas in-game, crosshair, dan lain sebagainya.

Maka dari itu, untuk pertama-tama latih dan biasakan motorik otot tangan Anda dalam memegang dan mengendalikan mouse komputer terlebih dahulu. Seperti saat ingin memegang tangan gebetan, Anda harus kenalan terlebih dulu… Eh, maksudnya kenali cara memegang mouse. Teknik memegang dan mengendalikan mouse disebut juga sebagai Grip Style dan Aiming Style.

Grip Style dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Palm Grip, Fingertip Grip, dan Claw Grip. Palm Grip artinya memegang mouse dengan seluruh telapak tangan Anda. Fingtertip Grip artinya memegang mouse hanya dengan ujung jari saja. Sementara Claw Grip gabungan antar keduanya, telapak Anda tetap menempel pada mouse, namun jari Anda menekuk dan hanya menyisakan ujung jari di tombol klik kiri dan kanan.

Selanjutnya, Aiming Style adalah cara Anda mengendalikan mouse untuk menarget musuh. Secara umum, ada dua gaya membidik, yaitu Arm Style dan Wrist Style. Arm Style artinya menggerakan mouse dengan seluruh bagian lengan Anda. Sementara Wrist Style artinya menggerakan mouse hanya dengan pergelangan tangan.

Masing-masing Grip dan Aiming Style punya fungsinya masing-masing. Mengutip dari pembahasan Cnet, Palm Grip bisa dikatakan menjadi cara memegang mouse yang paling umum dan tidak hanya digunakan untuk bermain game saja. Cara memegang ini biasanya dikombinasikan dengan Arm Aiming Style. Dengan kombinasi ini, Anda mengibaratkan mouse sebagai perpanjangan tangan Anda. Kombinasi Palm Grip dengan Arm Aiming cenderung membuat pergerakan Anda lebih lambat, namun memberikan Anda presisi bidikan yang lebih tajam dalam menggerakan mouse.

Lalu selanjutnya ada Claw dan Fingertip Grip yang keduanya bisa dibilang mirip-mirip. Dua Grip Style tersebut biasanya dikombinasikan dengan Wrist Aiming Style, karena gaya yang satu ini lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi. Claw Grip dan Wrist Aiming Style memungkinkan Anda untuk mengarahkan kursor dari satu titik ke titik lain dengan sangat cepat, namun kelemahannya adalah gaya ini terbatas kepada sudut gerak pergelangan tangan manusia.

Setelah memahami jenis-jenis Grip dan Aiming Style, hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencari yang ternyaman. Jadikan apa yang saya jelaskan sebagai panduan saja. Jika Anda punya Grip dan Aiming Style sendiri yang lebih nyaman bagi tangan Anda, gunakan saja gaya tersebut, lalu biasakan sampai menjadi Muscle Memory (ini akan saya bahas pada sub-bagian selanjutnya). Tapi, jika tangan Anda menjadi sakit, dan kemampuan membidik Anda tidak berkembang, tidak ada salahnya untuk mencoba contoh gerakan yang ada di atas.

Sebagai tambahan informasi, selain dari segi karakteristiknya, Wrist dan Arm Aiming Style juga punya dampak tersendiri terhadap otot tangan Anda. Keduanya sama-sama punya risiko cedera, karena gerakan yang dilakukan pemain FPS cenderung repetitif, dalam durasi yang lama.

Namun Wrist Aiming, terbilang punya risiko cedera yang lebih besar. Wrist Aiming dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko Anda terkena penyakit Carpal Tunnel Syndrome. Penyakit yang umum terjadi di kalangan para gamers ini dapat menyebabkan telapak tangan Anda mati rasa, dan sangat sakit ketika digerakkan. Maka dari itu, melakukan peregangan pada pergelangan tangan, menggerakkan pergelangan tangan setiap satu sesi permainan, jadi hal-hal yang tak kalah penting untuk Anda lakukan, untuk mengurangi risiko cedera.

Setelah memahami bagaimana cara memegang dan mengendalikan mouse. Tahap berikutnya adalah melakukan pembiasaan.

Latih Kordinasi Mata-Tangan dan Bangun Kemampuan Muscle Memory

Setelah menemukan Grip dan Aiming Style ternyaman, selanjutnya adalah melatih koordinasi mata dan tangan agar sinkron. Secara teori, latihan ini mirip seperti latihan mengoper bola bagi pemain sepak bola. Hal ini perlu dilakukan setiap hari, karena mungkin seorang Cristiano Ronaldo sekalipun pernah mengalami masa, ketika tendangannya tidak tepat sasaran gara-gara koordinasi mata dengan otot motorik yang tidak sinkron.

Maka dari itu, pada fase ini, Anda harus betah melakukan tindakan-tindakan yang repetitif. Apa fungsi latihan ini? Kenapa saya harus mengulang-ulang gerakan untuk menjadi lebih baik? Jawabannya adalah untuk membangun Muscle Memory.

Apa itu Muscle Memory? Daripada terlalu njelimet menjelaskan soal Myelin dan istilah neuroscience lainnya, lebih baik saya jelaskan pakai menggunakan analogi saja. Analogi paling sederhana untuk memahami konsep Muscle Memory adalah seperti Anda belajar mengendarai sepeda.

Awal menaiki sepeda, badan Anda pasti terasa limbung. Jangankan jalan, menyeimbangkan sepeda saja sudah sulit. Anda akan sering jatuh awalnya, tapi semakin lama, dan sering bersepeda, kegiatan ini jadi semakin terasa natural, seperti berjalan kaki. Bahkan Anda mungkin bisa bisa melakukannya dengan mata tertutup (jangan dilakukan ya, bahaya), atau tanpa tangan.

Maka dari itu Ada beberapa aplikasi yang bisa membantu Anda membiasakan koordinasi mata-tangan. Salah satunya adalah rhythm game osu! Oke, Anda boleh mulai tertawakan saya karena menggunakan osu! Untuk latihan aiming. Tapi aplikasi ini menjadi satu-satunya lahan saya membiasakan koordinasi mata-tangan dalam mengendalikan mouse, ketika saya bermain PUBG (Steam) di tahun 2017; yang bukan cuma tidak punya training mode tapi juga laggy dan memiliki pengalaman bermain yang buruk ketika itu.

Penggunaan osu! sebagai sarana latihan aim memang menjadi perdebatan sendiri di komunitas game FPS. Alasannya sederhana, karena osu! adalah game 2 dimensi, sementara game FPS bersifat 3 dimensi. Hal ini bahkan menjadi pembahasan tersendiri di forum osu! karena ada seorang pemain yang menanyakan soal lagu osu! terbaik untuk melatih aim.

Saya sedikit setuju dengan pendapat tersebut. Namun menurut saya, tujuan bermain osu! Memang bukan untuk melatih aiming pada game FPS yang dimainkan (CS:GO, Overwatch, PUBG, VALORANT atau apapun), melainkan untuk membiasakan Grip dan Aiming Style yang Anda gunakan, juga untuk mengukur seberapa jauh gerakan tangan yang Anda butuhkan untuk klik satu target ke target lain.

Kembali pada analogi sepeda, memang benar adanya bermain sepeda di jalan landai tidak akan membantu Anda menjadi mahir melakukan trik sepeda BMX. Tapi pada awalnya, Anda tetap harus bisa mengendarai sepeda terlebih dahulu bukan? Maka dari itu, menurut saya latihan di osu! Jadi cara yang paling mendasar, untuk membangun skill mentah dalam aiming, seperti Anda belajar mengendarai sepeda sampai bisa jalan terlebih dahulu.

Selain osu!, ada juga alat untuk berlatih aim berbasis web yang bernama Aimbooster. Dalam Aimbooster, tugas Anda sederhana. Klik target yang muncul di layar satu per satu. Awalnya target muncul secara satu per satu dalam jeda waktu yang lambat. Lama-lama target akan muncul semakin cepat, yang memaksa Anda untuk menggerakan mouse dan merespon lebih cepat lagi. Tidak percaya akan keguanaan Aimbooster? Shroud menggunakan alat latihan ini juga lho.

Oke setelah OSU! dan Aimbooster lalu apa? Anda bisa mulai transfer kebiasaan Grip dan Aiming Style yang dilakukan ke dalam game yang Anda mainkan. Game FPS modern biasanya sudah menyediakan ruang latihan mereka tersendiri, Sementara pada CS:GO Anda bisa mengunduh map latihan buatan komunitas. Maka dari itu, mari kita berlanjut ke tahap latihan berikutnya.

Pelajari Mekanik Game FPS yang Anda Mainkan

Berlatih menggunakan in-game Training Mode sengaja saya masukkan ke dalam tahap ketiga. Kenapa? Karena menurut saya, pada tahap ini yang perlu Anda pelajari bukan cuma cara membidik, tetapi juga termasuk mekanik game yang Anda mainkan.

Apa maksudnya mekanik? Yang paling mendasar dari game FPS adalah Recoil Pattern. Seperti tembakan di dunia nyata, tembakan di game FPS juga patuh pada hukum fisika. Artinya senapan akan terpental ke atas pada saat Anda menembak secara berentet dengan senjata otomatis. Dalam game FPS kompetitif, pentalan atau recoil senapan biasanya memiliki pola.

Maka dari itu, guna dari latihan dengan menggunakan in-game Training Mode adalah untuk membiasakan Grip dan Aim Style anda dengan mekanik internal yang ada di dalam game. Dalam kasus VALORANT, yang saya lakukan adalah menembak secara otomatis, lalu membiarkan senapan tersebut terpental secara alamiah. Dari sana Anda bisa memahami, bagaimana pola recoil dari sebuah senapan, ke mana dia akan terpental, dan pada titik mana pantulannya akan berhenti.

Memahami Recoil Pattern akan membantu tembakan Anda tetap tepat sasaran, walau Anda menembak berentet dengan senapan otomatis. Sebagai contoh, recoil senjata Vandal di VALORANT. Recoil senjata tersebut akan melompat cukup signifikan pada peluru ketiga atau keempat. Jika Anda paham polanya, maka Anda jadi bisa siap-siap menarik mouse dari kepala ke kaki agar peluru dari senapan tetap mengenai badan atau kepala, dan menghasilkan damage yang maksimal.

Jujur saya sendiri sebenarnya tidak begitu rajin mencoba recoil semua senjata satu per satu di mode training. Malah awal main, saya langsung turun lapangan di matchmaking…Hehe. Tapi untuk Anda yang benar-benar serius, Anda harus lebih rajin mempelajari satu per satu elemen permainan, apalagi jika ingin terjun ke ranah esports FPS.

Setelah recoil, baru Anda mempelajari mekanik lanjutan game FPS yang Anda mainkan. Selain aiming, kemampuan spasial jadi kemampuan lain yang perlu Anda pelajari di dalam game FPS. Kemampuan ini sebenarnya di luar dari urusan aiming, tapi jadi hal yang perlu Anda kuasai juga.

Kalau pakai analogi sepak bola, aiming adalah kemampuan mengolah bola paling dasar, dribble, passing, dan shooting. Sementara itu kemampuan spasial adalah kemampuan sang pemain bola memahami setiap sentimeter lapangan, memahami tempat mana yang akan kosong jika ia bergerak ke suatu tempat, dan daerah mana yang cocok untuk diberi umpan terobos.

Dalam game FPS, kemampuan spasial melibatkan pemahaman atas seluk beluk sebuah map dan medan tempat Anda bermain. Cara untuk melatih ini adalah dengan bermain dalam pertandingan sesungguhnya. Tapi satu hal yang perlu jadi catatan adalah, Anda harus fokus, jangan main hanya karena ingin tembak-tembakan saja.

Sebagai contoh saya kembali menggunakan VALORANT. Misal jika Anda ingin mempelajari map Ascent, coba ulang terus satu jalan yang ingin Anda pelajari, sambil melakukan analisis. Misal Anda ingin belajar menyerang B-site, ulang terus jalan Anda lewat B Lobby, sampai Anda hafal arah datangnya ancaman musuh. Memahami lewat permainan jadi cara latihan spasial Micro-Game (apa yang Anda lihat ketika menyerang area B Ascent).

Kemampuan spasial Anda akan semakin lengkap jika Anda bisa memahami Macro-Game (bentuk map secara keseluruhan). Bagian ini bisa Anda pelajari di luar game, entah dengan membaca artikel tips suatu map, menonton video pembahasan map, atau mempelajari map itu sendiri.

Sambil belajar seluk-beluk map dan membentuk kemampuan spasial, Anda juga bisa sambil berlatih Crosshair Placement. Teknik ini merupakan cara meletakkan bidikan agar selalu siap menghadapi musuh. Teknik ini penting untuk dikuasai karena dalam game FPS kompetitif, karena siapa yang menembak lebih dulu dan kena, maka dia adalah pemenangnya. Teknik Crosshair Placement melibatkan beberapa aspek, seperti selalu meletakkan crosshair di area perkiraan kepala musuh berada, selalu membidik ke arah tembok saat memeriksa pojokan, dan juga membidik ke arah di mana musuh biasanya ada.

Seperti melatih kemampuan spasial, teknik Crosshair Placement hanya bisa Anda latih dengan cara terjun langsung ke medan pertarungan. Namun seperti saya bilang sebelumnya, Anda harus main dengan lebih SADAR, bukan sekadar main dan ingin adu mulut saja.

Dalam konteks VALORANT, kemampuan aiming ini juga jadi alasan, kenapa Anda tidak perlu memikirkan siapa Agents yang terbaik. Pada dasarnya VALORANT adalah FPS taktikal, Anda tetap bisa menang walau cuma modal adu tembak saja. Kalau perlu, saat belajar, jangan beli skill saat main. Fokus saja mempelajari map, dan menembak yang benar, tanpa harus terlalu repot memikirkan harus menggunakan skill apa.

Jika Anda sudah melalui tiga tahap di atas, baru kita ke tahap selanjutnya.

Saatnya Khilaf! Pilih Mouse, Mouse pad, dan Monitor Paling Sesuai untuk Anda

Bagian ini sengaja saya letakkan di akhir artikel, karena memang tingkat urgensinya jauh lebih rendah dibanding melatih kemampuan motorik tangan Anda. Ibaratnya sepak bola, masa iya Anda pakai sepatu Nike Mercurial seharga jutaan Rupiah, padahal Anda hanya bermain sepak bola untuk kompetisi tingkat antar-kampung? Ya kalau memang hobi dan punya dana berlebih sih boleh saja, kalau tidak? Latih kemampuan dulu saja deh.

Kalau harus dijelaskan secara terperinci, memilih mouse sebenarnya bisa jadi artikel sendiri karena saya perlu menjelaskan juga soal DPI, Polling Rate, bentuk, dan berat mouse yang tepat bagi Anda. Maka dari itu, pada bagian ini saya hanya akan menjelaskan cara memilih mouse secara singkat saja, berdasarkan karakteristik umumnya.

Bermain FPS kompetitif tentu tidak butuh mouse yang terlihat seperti mimpi buruk saat dipegang dan dikendalikan dalam durasi yang lama ini. Sumber: HowToGeek
Bermain FPS tentu tidak butuh mouse yang terlalu banyak tombol layaknya bermain RPG. Sumber: HowToGeek

Jika mengutip dari howtogeek.com, setidaknya ada tiga jenis mouse yang paling umum. Tiga jenis tersebut adalah Shooter Mouse, yang bentuknya mirip seperti mouse pada umumnya, “MOBA” Mouse yang punya banyak tombol di bagian sisi, dan Ambidextrous Mouse yang bentuknya simetris untuk gamers bertangan kidal.

Saya sendiri cukup setuju dengan artikel tersebut, bahwa mouse dengan bentuk yang minimalis adalah Shooter Mouse. Ini karena, kenyamanan memegang mouse adalah segalanya dalam bermain game FPS. Maka dari itu, Anda tidak perlu gaming mouse yang banyak gimmick, seperti bentuk yang katanya “ergonomis”, atau tombol tambahan yang terlalu banyak. Meski begitu, salah satu yang tak kalah penting juga untuk dipertimbangkan adalah switch yang digunakan untuk klik kiri dan kanan (seperti yang optical switch digunakan Razer Basilisk V2) — karena biasanya mouse gaming cenderung rentan dengan penyakit double click. Kecuali Anda rela membeli mouse gaming baru setiap 3 bulan sekali.

Selanjutnya, kembali lagi kepada bagaimana tipe Grip dan Aiming Style Anda. Jika Anda menggunakan tipe Arm Aiming Style atau tipe Control, maka Anda akan butuh mouse yang sedikit lebih berat. Jika Anda adalah pemain Wrist Aiming Style atau tipe Speed, maka Anda butuh mouse yang ringan, agar tidak terlalu membebani pergelangan tangan Anda.

Pemilihan Mouse Pad juga jadi hal yang tak kalah penting. Jika Anda tipe Control biasanya bisa menggunakan mouse pad dengan permukaan kain. Sementara jika Anda adalah tipe Speed, maka Anda mungkin akan butuh mouse pad dengan permukaan keras atau tipe Hard-Surface. Hal yang juga perlu Anda ketahui adalah, mengganti mouse dan mouse pad berarti harus adaptasi. Jadi jangan khawatir jika setelah mengganti gaming gear, kemampuan Anda jadi sedikit menurun. Juga yang terpenting, kenyamanan tetap jadi hal yang utama.

Selain mouse, jika kemampuan motorik Grip dan Aiming Style sudah terlatih, hal selanjutnya yang perlu Anda pelajari adalah pengaturan sensitivitas di dalam game. Secara umum, pemain Arm Aiming Style biasanya membutuhkan sensitivitas rendah, agar gerakan mouse senada dengan gerakan lengan. Sementara pemain Wrist Aiming Style biasanya membutuhkan sensitivitas tinggi, agar menjadi kompensasi atas sudut gerak pergelangan tangan yang terbatas.

Monitor juga jadi elemen penting lain yang tak kalah penting dalam game FPS. Refresh rate tinggi, seperti yang dimiliki oleh BenQ Zowie XL2746s, sudah jadi elemen wajib. Selain itu yang mungkin juga tak kalah penting adalah kemampuan sang monitor untuk menghasilkan warna. Anda bisa menyimak pembahasan dari techguided.com yang membahas beda panel LCD monitor, mulai dari TN, IPS, dan VA untuk memahami apa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing tipe panel. Namun berhubung monitor dengan kemampuan refresh rate 144Hz cenderung lebih mahal, ini mungkin bisa jadi hal paling belakangan untuk dipenuhi, terutama jika budget Anda terbatas.

Apalagi, frame rate suatu game juga ditentukan dari spesifikasi komputer Anda. Kalau spesifikasi komputer Anda masih pas-pasan, membeli monitor dengan kemampuan refresh rate 144Hz sih sebenarnya hanya buang-buang uang saja.

Semoga setelah membaca artikel ini Anda jadi kembali punya tujuan, karena jadi belajar cara latihan yang tepat untuk menjadi lebih jago main game FPS. Saya sendiri pun masih berlatih dan terus berlatih agar jadi lebih jagi main game FPS. Tentu bukan untuk jadi seorang pemain esports. Tapi kalau saya jadi lebih jago, minimal waktu yang saya habiskan untuk bermain VALORANT bisa menjadi konten yang menarik untuk dilihat pemain lainnya… Hahaha.

Haruskah Game Memiliki dan Menyusupkan Idealisme?

Pekerjaan sebagai seniman, seperti dari penulis, komikus, desainer, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan seni, sering dianggap sebelah mata. Padahal, selama pandemi, kita sadar betapa pentingnya karya seni, mulai dari film, buku sampai game. Bayangkan jika Anda tidak boleh keluar dari rumah selama berminggu-minggu tanpa hiburan apapun, tanpa buku untuk dibaca, tanpa film untuk ditonton, dan tanpa game untuk dimainkan.

Namun, buku dan film tak melulu digunakan sebagai hiburan, tapi juga sebagai media edukasi. Buku dan film juga bisa digunakan sebagai cara bagi seseorang untuk membahas isu sosiopolitik atau menunjukkan idealisme mereka. Misalnya, dalam seri Percy Jackson and The Olympians, Rick Riodan membuat sang tokoh utama dan banyak tokoh penting lainnya mengidap ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan disleksia dengan tujuan untuk menunjukkan pada anak-anak yang memang mengidap ADHD atau disleksia di dunia nyata bahwa mereka juga memiliki potensi.

Sama seperti buku dan film, game juga bisa menjadi media bagi sang kreator untuk menyampaikan idealismenya atau untuk mengangkat isu sosiopolitik yang mereka anggap penting.

Perlukah Memasukkan Idealisme Dalam Game?

Jika ditanya apa alasan saya bermain game, saya akan menjawab sebagai hiburan. Bermain game menjadi salah satu bentuk escapism, cara bagi saya, dan gamer-gamer lainnya, untuk sejenak mengalihkan perhatian dari kenyataan. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Karena manusia tidak didesain untuk bekerja tanpa henti 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun.

“Kita harus meluangkan waktu untuk istirahat, tidak peduli apakah bentuk kegiatan untuk mengisi waktu luang tersebut,” tulis Barton Goldsmith, Ph.D., LMFT dalam Psychology Today. “Waktu luang berfungsi untuk memberikan kesempatan pada tubuh, pikiran, dan hati Anda untuk bersantai dan mengisi energi kembali.”

Bermain game merupakan kegiatan yang banyak orang lakukan untuk mengisi waktu luang mereka. Pada awalnya, video game hadir dalam format yang sangat sederhana. Namun, seiring dengan berkembangnya industri game, game yang muncul pun menjadi semakin kompleks. Di permukaan, Anda bisa melihat bagaimana grafik dalam sebuah game menjadi semakin realistis dengan gameplay yang semakin beragam. Lebih dari itu, tema yang diangkat dalam sebuah game juga menjadi semakin beragam. Developer juga semakin berani untuk mengangkat topik berat, seperti demokrasi, terorisme, perang, atau rasisme.

Lalu, apa bedanya game dengan buku atau film? Buku dan film adalah media yang baik untuk menyampaikan cerita. Namun, pembaca dan penonton merupakan peran pasif. Sebagai pembaca atau penonton, Anda tidak akan bisa mengubah alur cerita. Lain halnya dengan game. Saat bermain game, Anda menjadi pelaku aktif. Anda bisa memilih untuk mengambil tindakan sesuai dengan moral Anda. Tidak berhenti sampai di situ, Anda juga akan menghadapi konsekuensi dari pilihan yang Anda ambil. Misalnya, dalam trilogi Mass Effect, keputusan Anda untuk membunuh atau melepaskan Rachni Queen — satu-satunya penyintas dari spesies Rachni — pada game pertama akan memiliki dampak pada jalan cerita di game ketiga.

Rachni Queen di Mass Effect 3. | Sumber: Flickr/Ryan Somma
Rachni Queen di Mass Effect 3. | Sumber: Flickr/Ryan Somma

Saya tidak mengatakan bahwa game lebih superior dari buku atau film. Hanya saja, game bisa memberikan pengalaman yang berbeda pada Anda jika dibandingkan dengan buku atau film.

Bagaimana Cara Mengangkat Topik Politik Dalam Game?

Game adalah media hiburan. Jadi, ketika muncul isu sosiopolitik di dalamnya, sebagian orang mungkin akan protes, “Jangan bawa-bawa politik ke game!” Sayangnya, tampaknya hal itu tak lagi bisa dihindari. Ketika game hendak menyajikan dunia yang realistis — terlepas dari setting waktu dalam game — mau tidak mau, ia pasti akan memiliki konsep dan masalah yang merefleksikan dunia nyata. Yang penting adalah bagaimana sang kreator menampilkan isu atau menyisipkan idealisme mereka dalam game sehingga para pemain tetap bisa menikmati game itu.

Ketika game mengangkat isu politik, mudah saja bagi developer untuk memasukkan tokoh politik populer, seperti Barack Obama atau Donald Trump. Sayangnya, jika developer melakukan ini, game mereka justru bisa menjadi tak lagi relevan dalam beberapa waktu ke depan. Isu sosiopolitik sebaiknya disampaikan sebagai ide atau konsep yang membuat para pemainnya menjadi penasaran dan tertarik untuk berdiskusi lebih banyak tentang sebuah isu.

Misalnya, isu diskriminasi dan rasisme. Untuk mengangkat topik diskriminasi ke dalam game, Anda tidak perlu harus membuat game tentang Indonesia di zaman Orde Baru (sebentar, jadi ada yang jualan nasi goreng di depan…) atau menjadikan Martin Luther King Jr. sebagai karakter. Anda tetap bisa menemukan masalah diskriminasi dan rasisme bahkan saat Anda memainkan Dragon Age, yang mengambil setting dunia dark fantasy.

Di Thedas (seri Dragon Age), Elf sempat menjadi budak selama beberapa generasi. Dan setelah itu, meski sebagian Elf berusaha untuk hidup berdampingan dengan manusia, mengadopsi budaya manusia, toh perlakuan yang diterima oleh Elf tetap berbeda dari manusia. Bukankah apa yang terjadi pada Elf di Thedas sama seperti warga Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia, memiliki KTP Indonesia, tapi masih sering didiskriminasi hanya karena memiliki mata sipit?

Pemukiman Elf di kota. | Sumber: Wikia
Pemukiman Elf di kota. | Sumber: Wikia

Oke, mari jadikan Detroit: Become Human sebagai contoh lain. Dalam game ini, daripada isu sosiopolitik, Anda akan dihadapkan pada pertanyaan filosofis: apa yang membuat manusia, manusia? Ketika sebuah android, yang merupakan ciptaan manusia, memiliki kesadaran, apakah ia pantas untuk disejajarkan dengan manusia? Namun, game ini juga menunjukkan masalah yang muncul ketika peran manusia sebagai pekerja bisa digantikan oleh android.

Memang, sekarang, kita belum bisa membuat artificial intelligence yang bisa berpikir layaknya manusia, tapi, kita telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Era ketika mesin mulai bisa menggantikan tugas manusia. Dalam Detroit: Become Human, kita melihat bagaimana jumlah pengangguran terus naik karena keberadaan android. Selain itu, tingkat kelahiran juga mengalami penurunan karena manusia lebih memilih untuk menjadikan android sebagai kekasih.

Dan jangan salah, isu-isu berat tidak melulu tampil di game RPG. Game action stealth seperti Metal Gear Solid pun bisa digunakan sebagai media untuk menyampaikan idealisme seseorang. Faktanya, setelah diluncurkan, Metal Gear Solid 2 sempat diprotes karena dianggap terlalu “preachy” dengan mengangkat tema soal konspirasi, politik, dan perang. Pada 2003, saat mengembangkan Metal Gear Solid 3, Hideo Kojima menjelaskan alasan mengapa MGS 2 mengangkat tema-tema tersebut.

MGS 2 mengangkat tema tentang konspirasi dan politik. |Sumber: Vice
MGS 2 mengangkat tema tentang konspirasi dan politik. |Sumber: Vice

“Ketika kami masih kecil, ada gerakan anti-nuklir di seluruh dunia. Namun, pada abad ke-21, tidak ada gerakan serupa, padahal ancaman penggunaan senjata nuklir di era ini justru semakin nyata… Banyak pemain MGS 2 yang merasa bahwa game ini terlalu memaksakan pesan moral. Tapi, kita tidak bisa berharap bahwa Hollywood akan membuat film seperti Planet of the Apse atau muncul manga seperti Barefoot Gen (yang bercerita tentang tragedi bom atom yang dijatukan di Hiroshima). Karena itulah, saya ingin memasukkan pesan anti-perang dan anti-nuklir sebanyak mungkin. Setidaknya dalam MGS,” kata Kojima, dikutip dari PC Gamer.

Kojima menjelaskan, ketika itu, dia merasa bahwa industri hiburan terlalu fokus pada merchandise dan pada cara untuk memaksimalkan keuntungan. “Hal ini berlaku di industri film, buku, dan musik. Mereka fokus untuk membuat produk yang bisa dijual,” katanya. “Tidak ada pesan yang disampaikan oleh sang kreator. Bisnis dan penjualan menjadi Prioritas Nomor Satu. Bagaimana nasib anak-anak di generasi berikutnya yang belajar menggunakan produk-produk tersebut?”

Kesimpulan

Sejatinya, game adalah media hiburan. Kreator game tidak memiliki kewajiban untuk memasukkan elemen edukasi atau pesan moral dalam game yang mereka buat. Jika mereka ingin membuat game yang menjadikan tokoh sejarah sebagai makhluk supernatural yang bisa menjadi love interest sang pemain, kenapa tidak? Namun, jika developer ingin membahas isu sosiopolitik dalam game mereka, selama mereka bisa menyajikannya dengan baik, hal itu juga bukanlah masalah.

[Rekap] 10 Tim Dota 2 Terbaik di SEA Siap Berlaga, Team Secret Raih 5 Trofi Berturut-turut, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

Sepuluh tim terbaik Asia Tenggara mentas di turnamen ONE Esports Dota 2 SEA League yang sudah bergulir, Kamis (18/6) lalu.

Boom Esports, Team Adroit, Fnatic, Geek Fam, Reality Rift, T1, TNC Predator, New Esports, Execration dan Neo Esports akan saling mengalahkan untuk memperebutkan total hadiah US$100.000.

Kehadiran sepuluh tim terbaik tersebut tentunya menggaransi aksi dari sejumlah pemain top Dota 2 dengan kemampuan di atas rata-rata. Berikut kami menyusun lima pemain yang layak dipantau sepak terjangnya di gelaran ONE Esports Dota 2 SEA League.

Sumber: ONE Esports
Via: ONE Esports

Team Secret raih trofi kelimanya berturut-turut.

Secret kembali mengamuk, Tim Dota 2 yang dipimpin Puppey itu baru saja memenangkan turnamen kelimanya secara berturut-turut setelah menang telak 3-0 atas OG di partai puncak BLAST Bounty Hunt. Lebih hebatnya lagi, lima grand final yang mereka menangkan berhasil dilibas sempurna dengan skor 3-0. Simak kiprah mereka di sini.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Sikap-sikap yang harus dimiliki oleh pro player Dota 2

Dota 2 adalah salah satu game MOBA yang paling masif saat ini, game ini memiliki banyak turnamen besar yang tentunya menawarkan hadiah fantastis sehingga tidak heran jika banyak orang yang berkeinginan menjadi pemain pro game ini.

Namun jelas untuk mewujudkan cita-cita tersebut bukan perkara mudah karena harus melalui perjalanan panjang dan penuh perjuangan. Berikut kami merangkum tiga siap yang harus dimiliki atau dilakukan untuk menjadi pemain pro Dota 2.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Pokemon Snap dari Nintendo 64 akan dibuat ulang untuk Switch.

Setelah 21 tahun berselang, game klasik nan ikonik Pokémon Snap Nintendo 64 telah dikonfirmasi akan dibuat ulang, namun kali ini game itu bakal di-launching di konsol Nintendo Switch.

Pokémon Snap adalah game yang memiliki karakter utama bernama Todd Snap, seorang fotografer muda berbakat. Ia ditugaskan untuk mengabadikan gambar monster-monster imut di Pokémon Island dan membantu penelitian Professor Oak, namun apa jadinya jika game tersebut berlatarkan di Asia Tenggara?

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Cerita tentang gamer difabel yang berhasil jadi salah satu pemain terbaik TFT dunia.

Inilah Trần “1tay thách đấu” Văn Hoàng, streamer Vietnam yang kehilangan satu tangan namun sekarang menyandang status sebagai salah satu pemain Teamfight Tactics terbaik di dunia.

Arti dari “1tay thách đấu” sendiri adalah ‘satu tangan menuju Challenger’. Simak kisah uniknya yang diawali sebuah kecelakaan yang membuat tangan kanan dan kakinya dilindas truk sehingga memaksa dokter mengambil tindakan amputasi.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Powered by ONE Esports 

esports-logo

Bagaimana Masa Depan Esports Valorant di Indonesia?

Valorant memang baru dirilis awal Juni 2020 lalu namun beberapa tim esports profesional besar di luar sana sudah membuat divisi game FPS besutan Riot Games yang satu ini. Nama-nama besar organisasi esports besar yang sudah terjun ke Valorant adalah 100 Thieves, Cloud9, Gen.G, Immortals, TSM, T1, Ninja in Pyjamas, dan G2. 

CEO G2, Carlos Rodriguez Santiago, bahkan memiliki optimisme tinggi dan sentimen yang sangat positif dalam melihat masa depan esports Valorant.

Di Indonesia sendiri, sepengetahuan saya, memang belum ada organisasi esports besar yang memperkenalkan divisi Valorant mereka — sampai artikel ini ditulis. Namun demikian, turnamen Valorant untuk komunitas sudah mulai bermunculan. Beberapa turnamen bahkan digelar dalam waktu yang bertabrakan

Pertanyaan besarnya adalah apakah esports Valorant di Indonesia bisa bertumbuh subur? Untuk menjawab pertanyaan tadi, kita akan mencoba melihatnya dari berbagai segi. Pasalnya, keberhasilan esports satu game tidak hanya bisa dilihat dari satu aspek semata. Ada sejumlah hal yang relevan dan sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya.

Namun demikian, sebelum kita masuk ke setiap bagian, ada beberapa hal yang ingin saya luruskan sebelumnya.

Pertama adalah soal definisi “subur” yang saya maksud sebelumnya. Jika berbicara soal popularitas dan jumlah pemain, patokan yang saya gunakan adalah esports Dota 2 dan Point Blank yang bisa dibilang sebagai ekosistem esports PC paling berhasil di masa kejayaannya masing-masing. Pasalnya, tidak adil juga rasanya jika membandingkannya dengan jumlah pemain PUBG Mobile, MLBB, ataupun Free Fire yang saya anggap paling berhasil jika berbicara soal esports di platform mobile. Meski begitu, faktor esports mobile nanti juga akan berpengaruh jika dilihat dari sisi sponsor. Namun kita akan bahas lebih jauh lagi soal ini nanti.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Kedua, artikel ini juga sepenuhnya pendapat saya. Sebagai justifikasi dari argumentasi, saya sudah bekerja full-time di industri game di Indonesia sejak 2008 saat saya masih bekerja sebagai jurnalis di salah satu media cetak yang memang fokus di ranah game dan teknologi. Kala itu, selain belum ada RRQ, EVOS, BOOM, ataupun tim-tim esports yang besar sekarang ini (adanya baru NXL dan XCN yang sampai sekarang masih ada), media-media game lainnya bahkan belum familiar dengan istilah esports. Istilah yang dulu lebih sering digunakan adalah ‘turnamen game online’.

Ketiga, mengingat saya memang pada dasarnya skeptis, saya tidak percaya dengan segala hal yang absolut — kecuali Vodk*… Aowokaowkowa… Karena itu, saya juga tidak bisa memberikan kepastian jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’ tentang masa depan esports Valorant di Indonesia. Namun demikian, saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda dengan memberikan persentase peluang keberhasilannya jika ditilik dari masing-masing perspektif.

Dengan penjelasan tadi, mari kita masuk ke tiap-tiap sudut pandang.

Dari sisi game-nya: 80%

Tentunya, faktor pertama yang akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan esports Valorant di Indonesia datang dari game-nya itu sendiri.

Saat saya menulis artikel ini, ukuran storage yang dibutuhkan Valorant hanyalah sebesar 8,5GB. Di sisi lain, Anda juga bisa melihat sendiri screenshot di bawah yang saya ambil dari situs resminya untuk spek PC yang dibutuhkan untuk bermain Valorant.

Sumber: PlayValorant.com
Sumber: PlayValorant.com

Valorant membutuhkan spesifikasi PC yang sangat ramah untuk kaum buruh sekalipun. Di Indonesia, jika kita berkaca dari sejarah industrinya, game-game yang populer adalah game-game yang memang membutuhkan spek rendah. Dota 2 dan Point Blank (PB) yang sempat mencapai puncak kejayaannya juga membutuhkan spek PC yang sangat ramah di kantong. Faktanya, Overwatch, Apex Legends, Rainbows Six: Siege, ataupun PUBG butuh spek yang lebih tinggi ketimbang Dota 2 ataupun PB.

Selain membutuhkan spek rendah, Valorant sendiri juga sebenarnya sangat asyik dimainkan. Apalagi, banyak orang (termasuk saya) merasa bahwa feel CS:GO juga terasa begitu kental di game ini. Sedangkan CS:GO masih jadi salah satu game FPS terlaris di PC, baik di dunia ataupun di Indonesia, sampai hari ini karena memang menawarkan feel dan gameplay yang solid.

Namun demikian, Valorant tetap menawarkan keunikan tersendiri dengan memberikan skill (Special Abilities) ke setiap karakternya (Agents). Inilah nilai jual Valorant, mekanisme dan feel yang familiar namun dengan sentuhan-sentuhan baru yang membuat kompleksitas permainan jadi jauh berbeda.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Sumber: Screenshot Valorant

Selain itu, meski baru dirilis, Valorant sendiri juga sudah memiliki fitur Spectator Mode. Spectator Mode ini sangat krusial buat perkembangan esports-nya. Selain berguna untuk menayangkan pertandingannya, Spectator Mode juga sangat berguna untuk belajar agar permainan kita lebih baik lagi dari sebelumnya — baik dari menonton pertandingan orang lain atau menonton pertandingan diri sendiri sebelumnya. Meski memang Spectator Mode di Valorant masih sangat sederhana, fitur ini sudah ada dan tinggal dikembangkan lebih jauh. Setidaknya Valorant sudah berada di arah yang benar untuk mendukung esports

Jika hanya melihat dari sisi game-nya saja, Valorant memiliki peluang yang sangat besar untuk bisa mencapai tingkat yang dulu pernah dicapai oleh Dota 2 ataupun PB di Indonesia atau bahkan lebih tinggi lagi.

Dari sisi publisher-nya: 50%

Selain dari game-nya itu sendiri, tentunya publisher juga memiliki peranan yang tak kalah penting dalam peluang keberhasilan esports-nya.

Jika kita berbicara soal Riot Games, publisher/developer game yang satu ini memang sangat unik dan hanya satu-satunya di dunia yang memang besar karena esports — setidaknya di kasta tertinggi. Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena faktanya Riot Games besar karena esports League of Legends. 

Jika dibandingkan dengan publisher game esports lain, Valve dengan Dota 2 misalnya. Valve itu memang sudah punya nama dari zaman Half-Life, Portal, Left 4 Dead, ataupun Team Fortress 2 yang dirilis sebelum Dota 2. Ubisoft dengan R6:S juga demikian. Ubisoft sudah sukses lewat seri Assassin’s Creed, Splinter Cell, dan Far Cry sebelumnya. Overwatch dan Blizzard? Overwatch bahkan mungkin bisa dibilang bukan game yang paling berpengaruh untuk kesuksesan Blizzard karena ada seri StarCraft, World of Warcraft, dan Diablo. EA pun juga begitu karena punya seri The Sims, Need for Speed, ataupun Battlefield sebelum ada Apex Legends atau esports FIFA. KONAMI, CAPCOM, NAMCO juga sama ceritanya.

Sumber: Chris Yunker - Riot Games
Sumber: Chris Yunker – Riot Games

Developer/publisher kelas kakap di pasar global tadi memang sebelumnya sudah besar lebih dulu sebelum bergeser ke esports. Sedangkan Riot Games akhirnya bisa masuk ke jajaran developer/publisher kasta tertinggi tadi memang karena esports League of Legends. Hal ini berarti Riot Games jadi lebih perhatian soal betapa krusialnya esports terhadap kesuksesan perusahaan.

Sayangnya, meski memang dari sisi expertise Riot Games memiliki semua yang dibutuhkan untuk membuat esports game tersebut bertumbuh subur, belum tentu mereka mau memberikan perhatian lebih untuk Indonesia. Sama seperti ketika banyak orang memprediksi bagaimana kesuksesan Wild Rift nanti di Indonesia, mereka mungkin tidak menyadari bahwa kemampuan dan kemauan itu adalah hal yang berbeda.

Argumen saya seperti ini. Pasar League of Legends di Indonesia itu menyedihkan… Padahal di luar negeri, LoL masih jadi salah satu game terlaris sekarang ini. Saya kira akan lebih masuk akal bagi Riot untuk lebih menaruh perhatian lebih ke pasar yang sudah mereka kuasai sebelumnya (lewat LoL) ketimbang mencoba pasar baru. Ditambah lagi, daya beli pasar gamer di Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Korea Selatan (yang jadi pasar terbesar LoL) itu lebih besar dari Indonesia. Ibaratnya, jika saya jadi salesman dan bisa berjualan mobil ke para pemilik perusahaan, kenapa saya harus memberikan perhatian lebih ke pasar karyawan atau malah pasar pengangguran?

Memang, saya rasa Riot Games juga ingin game-nya dimainkan di seluruh dunia, di banyak negara — tak terkecuali Indonesia. Namun demikian, resources (baik uang ataupun waktu) itu pasti terbatas. Saat menentukan prioritas penggunaan resource, tentunya lebih masuk akal untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi ke pasar yang punya peluang keberhasilan dan daya beli yang lebih besar.

Maka dari itu, angka peluang yang saya taruh di sudut pandang ini memang hanya 50%.

Di satu sisi, Riot Games punya kemampuan dan rekam jejak yang baik dalam mengembangkan ekosistem esports di banyak region. Namun, di sisi lain, jika mereka bisa melakukannya di Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Korea Selatan, kenapa mereka harus memberikan perhatian lebih ke Indonesia? Indonesia sendiri juga bahkan bukan pasar terbesar LoL atau negara terkaya di Asia Tenggara karena ada negara-negara lain yang mungkin lebih menguntungkan untuk jadi target pasar Valorant seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, ataupun Singapura.

Dari sisi komponen ekosistem esports tanah air: 30%

Hanya ada 2 komponen utama di ekosistem esports tanah air saat ini, yaitu tim esports dan event organizer. Media ataupun konten kreator memang termasuk komponen pendukung juga namun keduanya mungkin masih termasuk dalam komponen sekunder untuk ekosistem esports — setidaknya untuk sekarang ini.

Meski memang kebanyakan organisasi esports juga membuat konten dan mendapatkan banyak pemasukan dari sana, faktanya, tanpa prestasi yang jelas mereka juga bukan siapa-siapa. Bagaimanapun juga, EVOS, RRQ, BOOM, Bigetron, dan kawan-kawan lainnya tidak akan sepopuler ini tanpa prestasi mereka di berbagai kompetisi.

Sumber: RRQ via Instagram
Sumber: RRQ via Instagram

Sebenarnya sponsor juga menjadi komponen utama dalam hal eksistensi sebuah ekosistem esports namun saya akan membahasnya di bagian tersendiri setelah ini.

Sayangnya, dua komponen utama di ekosistem esports Indonesia tadi biasanya lebih memilih untuk mengikuti tren. Anda boleh pakai istilah latah atau malah market-driven tergantung dari sentimen Anda melihatnya positif atau negatif. Misalnya saja, faktanya, hanya BOOM Esports yang sekarang masih punya divisi Dota 2 dan CS:GO meski kondisi ekosistem esports-nya sudah kering kerontang di tanah air. BOOM malah mengakuisisi tim esports asal Brazil untuk divisi CS:GO mereka yang baru saja memenangkan turnamen Gamers Club Redragon Challenge.

Selain BOOM yang masih idealis dengan CS:GO dan Dota 2, mereka juga satu-satunya organisasi esports besar yang bahkan tidak punya divisi MLBB — pernah punya sebenarnya namun tidak ada lagi saat saya menulis artikel ini.

Dari sisi event organizer di tanah air juga demikian. Game-game esports mobile jauh lebih favorit untuk dipertandingkan dengan skala dan hadiah yang lebih besar.

Tanpa tim esports dan turnamen, tentu saja ekosistem esports sebuah game jadi rontok dengan sendirinya. Namun, seringnya masing-masing komponen tadi jadi saling melemparkan tanggung jawab.

Misalnya saja seperti ini, jika satu organisasi ditanya kenapa tim Dota 2 nya bubar? Jawabannya, seringnya, karena sudah tidak ada turnamen Dota 2 yang besar lagi di Indonesia. Sebaliknya, jika event organizer yang ditanya kenapa tidak ada turnamen Dota 2 lagi di Indonesia, jawabannya juga tidak jauh berbeda. Karena tidak ada tim-tim besar yang bisa menarik banyak penonton.

Selain itu, alasan-alasan lain yang sering saya dengar dari kedua belah pihak adalah sudah tidak ada sponsornya, tidak ada dukungan dari publisher-nya, ataupun sudah tidak ramai penonton atau pemainnya.

Saya bukannya membenarkan atau menyalahkan juga sebenarnya karena mereka semua juga kawan-kawan saya. Faktanya, industri memang bergerak atas dasar keuntungan.

Mungkin memang ada yang berargumen, kenapa tim-tim dan event organizer esports Indonesia tidak fokus mengejar ke pasar internasional atau regional juga karena Dota 2 dan game-game PC atau console lainnya juga masih hidup ekosistemnya di luar sana? Mungkin jawabannya akan berbeda-beda jika ditanyakan langsung namun, logikanya saja seperti ini; jika saya bisa kaya raya dan populer tanpa harus bersaing di pasar global melawan pemain-pemain industri tingkat internasional, kenapa saya harus berjuang di sana? Jika ada yang lebih mudah, kenapa harus menyulitkan diri sendiri?

Sekali lagi, saya kira keputusan tadi adalah hak dari para petinggi di masing-masing tim ataupun event organizer dan saya tidak akan mengatakan benar atau salah. Namun, yang jelas dan yang relevan dengan artikel ini, mindset seperti tadi tidak kondusif untuk mengembangkan esports Valorant di Indonesia. Kenapa?

Pertama, seperti yang saya tuliskan di bagian sebelumnya. Tidak ada alasan bagi Riot Games untuk menjadikan Indonesia sebagai prioritas tertinggi dalam hal penetrasi pasar. Dari sini saja, sudah terbayang jawaban yang akan saya dengar, “karena tidak ada dukungan publisher-nya.” Kedua, faktanya, esports mobile juga masih ramai dan lebih menguntungkan jika hanya berbicara soal lingkup nasional. Tidak ada sponsor dan tidak banyak penonton akan jadi alasan yang kembali terdengar.

Bayangan saya jadinya seperti berikut. Tim esports menunggu turnamen berskala dan berhadiah besar, sekaligus jumlah pemain atau popularitasnya. Sedangkan event organizer menunggu tim-tim esports besar, sponsor (yang akan saya bahas setelah bagian ini), dan jumlah pemain atau popularitas game Valorant. Padahal yang ditunggu, keseriusan Riot Games dalam hal penetrasi pasar untuk Valorant di Indonesia ataupun sponsor lainnya, tidak akan pernah datang. Makanya, peluangnya sama seperti harapan Anda bisa jadi pacar selebgram yang seksi dan cantik jelita itu…

Dengan perilaku yang lebih memilih untuk menunggu (ketimbang mengambil inisiatif) dan mengikuti tren di banyak komponen ekosistem esports (bahkan termasuk komponen pendukung seperti media dan konten kreator), peluang keberhasilan esports Valorant di Indonesia jadi sangat kecil atau nyaris nol besar. Meski begitu, mungkin saja behaviour atau mindset itu tadi yang akan berubah, makanya saya pun menambahkan angka peluangnya jadi 30% dari aspek ini…

Dari sisi sponsor: 10%

Nyatanya, saya juga tidak mau kerja kalau tidak digaji… Wkwakwkakw… Demikian juga industri esports juga tidak akan berjalan tanpa adanya profit buat para pelakunya.

Mengingat baik di Indonesia dan di luar sana, pendapatan terbesar masih dari sponsor, hal ini juga menjadi salah satu komponen utama yang harus dipertimbangkan.

Jika kita berbicara soal sponsor, kategori besarnya dibagi jadi dua: endemic dan non-endemic. Buat yang sudah sering baca Hybrid, harusnya saya tidak perlu menjelaskan lagi bedanya. Namun buat yang belum, sponsor endemic adalah sponsor yang industrinya berkaitan langsung. Misalnya brand gaming peripheralhardware PC, atau gaming laptop bisa disebut endemic untuk industri esports di PC. Karena mereka juga punya kepentingan langsung atas besar tidaknya pasar PC gaming di Indonesia.

Sedangkan brand non-endemic, mereka biasanya tidak punya kepentingan langsung yang terkait. Mereka hanya memanfaatkan esports untuk menjangkau pasar baru yang mayoritas berisikan anak-anak muda. Brand non-endemic ini contohnya bank, perusahaan makanan dan minuman, atau malah pijat plus-plus (kapan buka lagi ya?) wkakkwkaw…

Sumber: FaceIT
Sumber: FACEIT

Dari sisi sponsor endemic, nyatanya memang Indonesia tidak menjadi prioritas utama buat mereka. Hal ini juga sudah terlihat dari ekosistem game-game esports PC lain seperti Dota 2, CS:GO, dan kawan-kawannya. Ada yang bilang bahwa brand endemic PC gaming tidak punya budget namun saya bisa bilang bahwa pandangan itu kurang tepat. Mereka punya anggaran belanja iklan/sponsor hanya saja tidak dialokasikan untuk pasar esports Indonesia.

Intel misalnya. Di luar sana, Intel bahkan punya turnamen sendiri yang jadi paling bergengsi untuk CS:GO tingkat internasional (Intel Extreme Masters). Mereka bahkan memiliki Intel Grand Slam yang menawarkan hadiah sampai US$ 1 juta. Produsen jeroan PC seperti ASUS, GIGABYTE, MSI, atau yang lainnya juga sering terlihat jadi sponsor gelaran LoL di Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Serikat, ataupun negara-negara lainnya.

Analoginya sebenarnya sama seperti Riot Games tadi. Indonesia sendiri memang bukan pasar yang paling menguntungkan untuk industri PC gaming. Jika produk brand-brand global tadi lebih laris dijual di Eropa ataupun negara-negara lainnya, kenapa mereka harus mengeluarkan resources lebih untuk pasar yang tidak terlalu besar seperti Indonesia? Jika mereka tidak mengucurkan dana untuk esports Dota 2 ataupun game PC lainnya di Indonesia, kemungkinan besar hal yang sama juga terjadi untuk Valorant.

Lalu bagaimana dengan sponsor non-endemic? Brand non-endemic yang sudah terjun ke esports di Indonesia kebanyakan lebih memilih pasar dengan volume yang lebih besar karena produk-produk mereka yang lebih berbasis pada mass market, seperti mie instan misalnya. Jika dibandingkan dengan pasar game mobile, tentu saja pasar game PC jadi kalah jauh. Lagi-lagi, resources itu terbatas sehingga mereka pun harus menentukan prioritas. Setahu saya, memang belum ada orang yang punya pohon uang.

Sumber: Le Mans
Sumber: Le Mans

Sponsor non-endemic ini sebenarnya bisa berubah jika mereka datang dari industri yang lebih spesifik atau niche. Misalnya, belakangan ini, PT. Honda Prospect Motor mengadakan lomba balap virtual yang bertajuk Honda Racing Simulator Championship. Lomba balap virtual ini memilih platfom PC, bukan mobile untuk game yang dipertandingkan. Menurut saya, hal ini karena gamer balapan di PC yang lebih beririsan dengan pasar mobil Honda — karena asumsinya gamer PC berada di kelas ekonomi yang lebih tinggi ketimbang gamer mobile — jadi lebih memungkinkan untuk beli mobil Honda.

Sayangnya, brand non-endemic yang mengincar pasar niche untuk kelas ekonomi menengah atas itu memang masih segelintir jumlahnya atau malah nyaris tidak ada (selain Honda tadi) di esports Indonesia.

Dengan demikian, itulah sebabnya saya menaruh angka peluang dari sponsor di sini hanyalah 10% karena memang hanya bisa berharap pada sponsor non-endemic yang mengincar pasar niche ataupun sponsor endemic yang alokasi resource-nya tidak besar untuk pasar Indonesia.

Penutup

Jadi, kembali ke pertanyaan utama dari artikel ini, bagaimana masa depan esports Valorant di Indonesia? Jika angka-angka peluang tadi dicari rata-ratanya, angkanya memang mencapai 42,5%. Namun, sayangnya, menurut saya sendiri bobot antara empat perspektif tadi sebenarnya tidak sama. Contohnya, LoL sendiri sebenarnya juga punya peluang besar untuk sukses di Indonesia dari sisi game-nya namun kenyataannya tidak demikian.

Bobot peluang dari sisi publisher sendiri pun juga tidak sama dengan bobot peluang dari aspek komponen ekosistem esports. Dota 2 jadi contoh yang sangat pas soal ini. Dari dulu, Valve juga tidak melirik Indonesia. Namun tim-tim esports dan event organizer tanah air mengambil inisiatif sendiri dan bergerak di sini semua (setidaknya saat masa kejayaannya) sehingga bisa sampai menghasilkan jagoan-jagoan Dota 2 Indonesia yang sekarang bertarung di luar negeri.

Lalu bagaimana kesimpulannya? Hmmm… Saya juga bingung sih kalau ditanya kwkwkwkw… Namun, satu hal yang pasti, andai komponen-komponen ekosistem esports Indonesia bisa memiliki mindset dan tujuan yang sama seperti saat awal-awal terbentuknya ekosistem esports Dota 2 di Indonesia dulu, besar kemungkinannya Valorant bisa melebihi kejayaan Dota 2 di Indonesia. Sayangnya, kemungkinan mindset dan tujuan yang sama itu yang sepertinya sudah mustahil untuk terjadi lagi…

Review Command & Conquer Remastered Collection: Yang Menonjol Berkat Remaster Audio Visual Ciamik

Setelah cukup diantisipasi oleh para penggemar game RTS, Command & Conquer Remastered Collection resmi rilis pada 5 Juni 2020 kemarin. Anda pemain game yang datang dari generasi Z mungkin akan kebingungan mendengar nama yang satu ini. Namun, Command & Conquer sebenarnya bisa dibilang sebagai salah satu game klasik paling populer pada masanya.

Sebelum kita mengulas sajian remaster hasil buah tangan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mari kita bahas singkat terlebih dahulu apa itu Command & Conquer, dan bagaimana game ini berperan membentuk tren genre Real Time Strategy.

Rilis tahun 1995, Command & Conquer: Tiberian Dawn serta Command & Conquer: Red Alert adalah penantang keras dari game RTS besutan Blizzard Studios, Warcraft: Orcs & Humans. Namun alih-alih mengambil latar dunia fantasi, game besutan Westwood Studios ini mengambil tema militer yang realistis.

Tiberian Dawn menceritakan konflik antara dua fraksi yaitu sekte Brotherhood of Nod (NOD) dan pasukan militer buatan Persatuan Bangsa Bangsa yang diberi nama Global Defense Initiative (GDI). Konflik dua fraksi tersebut terjadi karena perebutan sumber daya dari planet asing bernama Tiberium, yang tercipta karena meteorit menghantam daerah sekitar sungai Tiber di tahun 1990.

Red Alert bercerita tentang dunia alternatif yang tercipta karena perjalanan waktu yang dilakukan Albert Einstein pada tahun 1946 menyebabkan Adolf Hitler muda hilang dari peradaban. Dampak dari hal tersebut adalah Uni Soviet (Soviet) berkembang menjadi negara adidaya, lalu berperang melawan pasukan sekutu (Allied Nations) yang dibentuk oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dua game ini berhasil memberikan pengalaman dan kenangan kepada para gamers di tahun 90an. Lewat remaster yang dikerjakan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mampukah dua seri Command & Conquer mengulang kenangan manis yang dirasakan pemain game ini di tahun 90an? Mari simak review Command & Conquer Remastered Collection dari saya.

Remaster Audio Visual yang Ciamik

Mengingat game ini remaster dari sebuah game yang terbit di awal tahun 90an, jadi Anda jangan berharap terlalu muluk-muluk terhadap kualitas grafis atas game ini. Saya tidak bilang bahwa grafis Command & Conquer Remastered Collection jelek. Hanya saja, jika Anda berharap grafis yang realistis dengan sajian dunia imersif layaknya The Outer World, mungkin Anda salah pilih game.

Salah satu alasannya adalah karena Command & Conquer Remastered Collection memiliki genre Real Time Strategy. Seperti genre XCOM: Chimera Squad, genre RTS memang tidak menjual kecantikan grafis untuk menarik konsumen. Namun, jika kita menilai seberapa bagus grafis Command & Conquer Remastered Collection hanya dengan membandingkan versi klasik dengan versi remaster, saya mungkin bisa berikan skor 80/100 untuk game ini.

Lemon Sky Studios yang mengerjakan proses remaster ini sungguh telah mencurahkan daya upaya terbaiknya. Studio CGI asal Malaysia ini berhasil membuat sebuah game yang dulu memiliki grafis pixelated, menjadi jauh lebih jelas, dan bahkan memiliki detail yang patut diacungi jempol.

Memang Lemon Sky Studios mungkin bisa dibilang sebagai salah satu studio CGI terbaik di Asia Tenggara ini. Mereka banyak terlibat dalam pengerjaan proyek remaster/remake bersama dengan pengembang game internasional. termasuk Warcraft III Reforged dan Final Fantasy VII Remake.

Lebih lanjut membahas grafis Command & Conquer Remastered Collection Ken Foong, Chief Creative Production dari Lemon Sky Studios sempat bercerita kepada saya dalam sesi wawancara Hybrid Talk. Ia mengatakan, bahwa dalam proses melakukan remaster, mereka menggambar ulang seluruh aset yang ada di dalam game Command & Conquer.

Hasilnya? Unit Rifleman Squad yang dulu hanya kotak-kotak saja, kini tergambar dengan detail, sehingga kita bisa melihat bagaimana pakaiannya, dan bagaimana animasi gerakan unit tersebut. Bahkan kita juga bisa melihat wajah unit tersebut, walau tak sepenuhnya jelas. Unit bangunan juga tergambar dengan jelas, termasuk untuk unit building sesederhana Barracks.

Ditambah lagi Petroglyph juga menyajikan fitur tambahan berupa Camera Zoom dan Graphics Switching, yang memungkinkan Anda untuk lebih menikmati lagi hasil remaster kawan-kawan dari Lemon Sky Studios.

Jadi untuk grafis in-game, tingkat detail yang disajikan Command & Conquer Remastered Collection menurut saya sangat ciamik. Kalau harus dibandingkan dengan remaster RTS klasik besutan Blizzard, StarCraft: Remastered Collection, saya bisa bilang Command & Conquer Remastered Collection ini menang telak.

Command & Conquer Remastered Collection juga melakukan remaster terhadap elemen audio visual lainnya, termasuk Cinematic Footage yang mengantarkan Anda ke dalam misi, dan musik in-game yang direkam ulang oleh sang komposer orisinil yaitu Frank Klepacki & The Tiberian Sons.

Jujur, saya tertawa sendiri ketika melihat Cinematic Footage yang disajikan, karena membayangkan bagaimana lucunya kreativitas pengembang game zaman dulu saat disajikan ulang di zaman sekarang. Gamers zaman sekarang mungkin sudah terbiasa dengan sajian cut-scene berupa pre-rendered graphics yang membawa pemain tenggelam ke dalam latar dunia sebuah game. Pada zamannya, Command & Conquer bisa dibilang kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pengembang original game ini, Westwood Studios mencoba sedikit kreatif dengan menampilkan cut-scene berupa aktor asli, berperan sebagai karakter dari dunia Command & Conquer.

Dalam versi remaster ini, cut-scene yang disajikan tetap berasal dari footage asli dari Command & Conquer yang rilis tahun 90, namun dengan grafis yang lebih baik dan bisa dinikmati dalam resolusi HD. Jadi ketika akan menjalankan misi, Anda akan disambut kembali oleh sosok General Sheppard yang merupakan pemandu utama dalam melakukan misi pasukan GDI dan sosok Kane sang antagonis dari fraksi NOD.

Musik in-game yang direkam kembali juga menjadi salah satu alasan Command & Conquer Remastered Collection menjadi sangat bisa untuk dinikmati di zaman ini. Ketika mendengarnya, saya merasakan sedikit perasaan campur aduk, karena perasaan nostalgia yang muncul namun sekilas membuat saya lupa kalau ini adalah game zaman dulu yang di-remaster karena kualitasnya.

Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa audio visual Command & Conquer Remastered Collection adalah elemen terbaik dari sajian remaster ini.

Gameplay Klasik Minim Perbaikan

Setelah banyak pujian terlontar dari sisi audio visual, sayangnya Command & Conquer Remastered Collection dari sisi gameplay malah terbilang keteteran. Ini mungkin karena memang remaster audio visual adalah nilai jual utama Command & Conquer Remastered Collection. Gameplay Command & Conquer Remastered Collection tidak bisa dibilang jelek, namun hanya begitu-begitu saja, tidak beda jauh dengan versi orisinil.

Memainkan Single-Player Campaign tetap terasa menyenangkan, walau misi di awal-awal permainan cenderung terasa monoton. Kebanyakan misi di awal permainan hanyalah bangun markas dan hancurkan markas musuh. Namun karena mekanisme permainan di dalam Tiberian Dawn serta Red Alert yang cenderung cepat, kebanyakan misi ini bisa selesai dalam waktu mungkin hanya 5 sampai 15 menit saja.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Efeknya adalah, saya jadi ketagihan untuk melanjutkan misi-misi berikutnya, sambil keasyikan menonton sajian Cinematic Footage yang dihadirkan. Memainkan misi Command & Conquer ini ibarat seperti keasyikan menonton series Netflix yang sebenarnya tidak terlalu Anda suka, tetapi lama kelamaan jadi keasyikan karena pada akhirnya memiliki keseruannya tersendiri.

Walau awalnya cukup monoton, namun seiring waktu misi akan menjadi semakin rumit. Pada satu misi dari fraksi GDI contohnya. Dalam misi tersebut, Anda hanya mengendalikan satu unit saja, namun diberi tugas untuk menghancurkan seluruh markas musuh. Unit tersebut adalah unit khusus, yang bisa kalahkan Infantry dan bangunan dengan satu kali klik saja, walau akan keok jika berhadapan dengan kendaraan perang.

Maka dari itu, Anda harus cerdik menghindari kendaraan yang sedang melakukan patroli, sambil menyusup ke markas musuh sembaru menghabisi pasukan musuh satu per satu. Entah kemampuan saya melakukan misi stealth yang memang buruk atau misi ini yang memang susah. Dengan difficulty Casual, saya sampai harus mengulang misi ini lebih dari 5 kali, baru akhirnya bisa terselesaikan… Haha.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Command & Conquer Remastered Collection masih mempertahankan mekanisme gameplay klasik. Sayangnya, mempertahankan mekanisme versi klasik tidak hanya sekadar mempertahankan cara menggerakan unit yang menggunakan klik kiri, tetapi juga termasuk sistem AI serta pathfinding dari masa lalu yang masih bertahan walau sebenarnya kurang praktis di masa kini.

Anda tidak perlu terlalu mengkhawatirkan mekanisme kontrol klasik, karena Petroglyph dan Lemon Sky Studios juga menyediakan skema kontrol modern yang menggunakan klik kanan sebagai tombol utama untuk memberi komando terhadap unit. Namun sistem AI dan pathfinding jadi hal yang cukup mengganggu pengalaman bermain. Ini terjadi mungkin karena ingatan terakhir saya terhadap sistem AI dan pathfinding dari game RTS datang dari Warcraft III.

Salah satu contoh yang menurut saya paling terasa adalah behavior atau pola tingkah laku unit ketika mereka melihat musuh. Pada Warcraft III, Anda tak perlu repot memberi command kepada unit untuk melawan musuh yang menyerang mereka. Semua unit akan secara otomatis melawan unit musuh, jika mereka berada di dalam jarak serang sang unit. Tapi, jangan harapkan hal itu di Command & Conquer Remastered Collection. Jika Anda tidak menggerakan sang unit untuk menyerang, maka ia hanya akan diam tak bergeming walaupun sedang ditembaki hingga sekarat sampai akhirnya mati.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Juga jangan tanya lagi jika bicara soal pathfinding. Mungkin Command & Conquer Remastered Collection memang tidak ada pembaruan apapun dari sisi kemampuan unit mencari jalan menuju suatu titik yang diperintahkan, sehingga ini sedikit banyak akan menyulitkan pemain ketika memerintahkan unit. Satu contoh yang menggambarkan betapa kakunya sistem pathfinding Command & Conquer Remastered Collection adalah ketika unit diperintahkan untuk berjalan dengan jarak yang cukup jauh dan mengarungi medan yang rumit.

Terkadang, unit jadi terdiam di tengah jalan karena kebingungan harus lewat mana. Jadinya Anda harus menggerakan unit secara lebih rinci dengan jarak yang lebih dekat-dekat. Untungnya, Petroglyph menambahkan sistem “Shift-Queue”, yang memungkinkan pemain memasukkan antrian perintah yang akan dilakukan satu per satu setelah perintah yang lain selesai.

Skor Command & Conquer Remastered Collection dari segi gameplay mungkin bisa lebih baik lagi, jika saja remaster ini juga menyertakan perbaikan terhadap sistem AI serta pathfinding dalam permainan.

Meski begitu, sistem AI dan pathfinding tadi mungkin lebih digemari oleh Anda yang sudah jauh lebih terbiasa bermain game RTS karena memberikan tantangan lebih dan kontrol yang lebih spesifik. Sedangkan untuk mereka-mereka yang belum terlalu lama bermain RTS, Anda mungkin memang jadi merasakan kerepotan tadi karena micro-management yang terlalu kompleks.

Sajian Story Rasa Serial Televisi

Genre RTS memang cenderung punya cerita yang cenderung dangkal jika dibandingkan dengan game RPG. Walau demikian, para pengembang tetap melakukan usaha terbaiknya untuk dapat memberikan konteks cerita kepada para pemain lewat cara-cara lain. StarCraft dan Warcraft contohnya yang menyajikan cerita lewat potongan cut-scene yang pada beberapa aspek membuat game ini jadi terasa seperti RPG.

Seri Command & Conquer Remastered punya caranya tersendiri untuk menyajikan cerita tersebut. Cinematic Footage yang tampil di awal dan akhir misi, dengan diperankan aktor sungguhan menurut saya adalah  usaha terbaik EA untuk melakukan story-building dalam seri Command & Conquer; yang bahkan akhirnya menjadi ciri khas dari seri Command & Conquer.

Pada seri Command & Conquer setelahnya, EA sampai menyewa aktor kawakan hanya untuk bagian Cinematic Footage saja. Beberapa contohnya adalah sosok George Takei untuk memerankan Emperor Yoshiro dan David Hasselhoff untuk memerankan wakil presiden Amerika Serikat di Command & Conquer Red Alert 3.

Tapi mungkin sebatas itu saja penyajian cerita di Tiberian Dawn dan Red Alert. Seperti juga saya sebut saat membahas aspek visual, menikmati story di dalam game Command & Conquer Remastered Collection itu layaknya menonton serial Netflix. Yang bisa Anda lakukan hanya menonton, tanpa memiliki kontrol apapun terhadap jalannya cerita. Terlebih saat sudah memasuki game, tidak akan ada lagi cut-scene apapun. Pokoknya Anda hanya bermain saja, sampai misi Anda selesai.

Versi remaster tidak menyajikan perubahan dalam cerita. Seperti saya sebut di awal, fokus ceritanya masih sama, yaitu konflik antara GDI dengan NOD pada Command & Conquer, dan konflik antara Soviet dengan pasukan sekutu pada Command & Conquer: Red Alert. Namun, rekaman behind-the-scene dari Cinematic Footage yang sudah Anda saksikan bisa dibilang menjadi nilai tambah aspek story atas game ini.

Selain Bonus Gallery untungnya Command & Conquer Remastered Collection juga memberikan pemain akses terhadap semua Cinematic Footage atas misi yang telah diselesaikan. Semua itu bisa Anda akses lewat menu Mission Collection, yang berisi semua misi yang telah ataupun belum Anda lakukan.

Kehadiran fitur menonton ulang semua potongan Cinematic Footage dari misi yang telah dilakukan ini juga menjadi nilai tambah lain dari aspek story Command & Conquer Remastered Collection. Bagaimanapun, story game Command & Conquer tetap menjadi sesuatu yang memberikan kesan nostalgia saat disaksikan kembali.

Koleksi Lengkap yang Minim Replayability

Dari semua hal, durasi permainan mungkin bisa dibilang juga menjadi nilai jual lain dari game ini. Ini karena Remastered Collection menyertakan hampir semua seri awal dari Command & Conquer, yaitu Tiberian Dawn dan Red Alert, berserta dengan tiga Expansion Pack, yaitu The Covert Operations, Red Alert – Counterstrike, dan Red Alert – The Aftermath.

Jadi, Anda tidak perlu khawatir mengalami keadaan seperti saat Senior Editor kami memainkan The Outer World; yang masih punya hasrat ingin main namun tidak bisa melakukan apa-apa karena konten di dalam game-nya sudah habis. Jika melihat dari catatan HowLongToBeat, memang ada yang hanya mencatatkan 28 jam permainan saja untuk Command & Conquer Remastered Collection. Tetapi, itu hanya baru menyelesaikan main-story saja.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Jadi sebenarnya, dengan mengasumsikan pemain tersebut menyelesaikan main story dari Tiberian Dawn dan Red Alert juga, maka diperkirakan butuh tambahan 37 jam lagi untuk bisa menyelesaikan cerita dari tiga Expansion Pack yang ada dalam koleksi. Belum lagi, Command & Conquer Remastered Collection juga menyajikan permainan online, yang tentunya bisa membuat Anda jadi kembali lagi memainkan game ini.

Terlebih Command & Conquer Remastered Collection juga menambahkan beberapa hal pada fitur online, yang membuat game ini jadi bisa hidup lebih lama lagi. Pertama adalah fitur matchmaking yang memungkinkan Anda bermain dengan orang lain hanya dengan satu kali klik. Lalu ada juga fitur Leaderboard, yang membuat Anda berjiwa kompetitif tentunya akan semakin terpatri ke dalam game ini.

Lalu bagaimana dengan mod dan custom map? Jika berkaca kepada Warcraft III, dua hal tersebut adalah faktor terbesar mengapa game tersebut masih dimainkan orang-orang sampai akhir 2000an, walau game itu rilis di tahun 2002. Siapa yang tidak ingat custom-game bertema tower defense, pertarungan antar judul anime, dan tentunya Defense of the Ancient di Warcraft III. Semua itu tentu tercipta berkat dukungan komunitas modding, yang membuat para pemain tetap memainkan Warcraft III, walau sudah menyelesaikan main-story.

Jika berpatokan kepada Steam Workshop, saat ini sudah ada 3236 item terkait modifikasi ataupun custom map dari Command & Conquer Remastered Collection. Namun kebanyakan yang terlihat lebih kepada mod untuk meningkatkan Quality of Life game ini, seperti penambahan fitur Attack Move, Better Pathfinding, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan custom map yang bisa menambah panjang jangka hidup game ini layaknya DotA di Warcraft III.

Sayangnya, custom map di Command & Conquer Remastered Collection hanya terbatas untuk mengedit map untuk digunakan dalam Skirmish secara online saja. Jadi, kebanyakan custom map hanya menambah variasi tempat pertarungan saja, tanpa menambah variasi gameplay layaknya DoTA atau Element TD di dalam Warcraft III.

Kesimpulan – Game Terbaik Untuk Bernostalgia

Setelah mengulas Command & Conquer Remastered Collection panjang dan lebar, pertanyaan yang harus kita jawab di akhir artikel ini mungkin tentunya adalah apakah game ini pantas untuk dibeli? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jika Anda adalah gamers generasi 90an yang rindu dengan game klasik ini jawabannya tentu saja IYA.

Kekurangan versi remaster ini menurut saya hanyalah tidak adanya perbaikan dari sisi AI dan pathfinding unit pasukan, yang sebenarnya masih bisa diatasi dengan menggunakan mod.

Kekurangan lain dari Command & Conquer Remastered Collection mungkin adalah ketidakhadiran mod atau custom game yang memberi variasi gameplay untuk Tiberian Dawn ataupun Red Alert. Jadi, mungkin setelah semua Single-Player Campaign selesai, saya akan meninggalkan game ini, dan hanya sesekali saja iseng bermain secara online.

Lalu, apakah game ini layak dibeli bagi Anda yang tidak kenal seri Command & Conquer sama sekali? Kalau saja Command & Conquer Remastered Collection dijual terpisah dengan harga per-game sekitar Rp100 ribuan, mungkin jawabannya adalah iya. Tapi berhubung game ini punya harga yang cukup mahal, yaitu Rp282 ribu, maka jawabannya adalah tidak.

Karena bagaimanapun, nilai jual terbesar dari Command & Conquer Remastered Collection tetaplah perasaan nostalgia yang Anda rasakan ketika melihat Cinematic Footage ataupun mendengar musik saat berada di dalam game. Memainkan Command & Conquer Remastered Collection tanpa punya ingatan atas Tiberian Dawn atau Red Alert mungkin akan membuat Anda jadi merasa biasa saja atau malah jadi kebosanan saat memainkan game ini.

Apa Sajakah Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Tim Esports?

Industri esports kini semakin diakui oleh masyarakat, khususnya di tengah pandemi. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, semakin besar pula pemasukan industri esports. Salah satu pelaku utama dalam industri esports, tentu saja, adalah organisasi atau tim esports. Tanpa keberadaan pemain dan tim profesional, industri esports tidak akan ada.

Newzoo memperkirakan industri esports bernilai Rp15,4 triliun pada 2020. Pada akhir 2019, Forbes membuat daftar 12 organisasi esports dengan valuasi tertinggi. Semua organsiasi yang ada di daftar tersebut memiliki valuasi lebih dari US$100 juta. Dua organisasi yang duduk di posisi nomor satu, Team SoloMid (TSM) dan Cloud9, sama-sama memiliki valuasi sekitar US$400 juta.

Pertanyaannya, kok bisa? Memang, organisasi esports dapat pemasukan dari mana?

Pemasukan

Organisasi esports beroperasi layaknya startup, seperti yang disebutkan oleh HotSpawn. Saat ini, mereka belum menghasilkan laba. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa sejumlah organisasi esports berusaha untuk mencari dana dari para investor, seperti yang dilakukan oleh EVOS Esports tahun lalu. Memang ada investor yang mau menanamkan modal di organisasi esports? Ada. Dan jumlahnya terus bertambah. Sekarang, organisasi esports dianggap tengah berada di tahap membangun fanbase. Ke depan, para investor percaya, organisasi esports akan bisa memonetisasi audiens esports.

Tentu saja, organisasi esports tak bisa hanya menggantungkan diri pada modal dari investor. Mereka juga memiliki beberapa sumber pendapatan lain. Berikut penjelasannya.

Sponsorship

Sponsorship menjadi salah satu sumber pemasukan utama bagi organisasi esports. Menurut laporan GamingStreet, 90 persen dari total pemasukan organisasi esports berasal dari sponsorship. Jenis sponsorship beragam. Ada sponsor yang ingin agar logo atau nama mereknya tertempel di jersey pemain — sama seperti merek Etihad yang terpasang pada jersey pemain Manchester City. Sayangnya, jika dibandingkan dengan sepak bola atau basket, pemasangan logo pada jersey atlet esports tidak terlalu efektif. Karena, dalam pertandingan esports, kamera justru jarang menyorot para pemain. Biasanya, pertandingan esports fokus pada tampilan in-game.

Beberapa merek non-endemik yang menjadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer
Beberapa merek non-endemik yang menjadi sponsor esports. | Sumber: The Esports Observer

Mengetahui hal itu, ada juga sponsor yang ingin menjalin kerja sama dalam membuat konten di media sosial. Memang, jika dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional, atlet esports jauh lebih aktif di dunia internet. Organisasi esports selalu memiliki akun di berbagai media sosial. Para pemain profesional juga biasanya memiliki akun sendiri. Mereka juga cukup aktif berinteraksi dengan para fans, mulai dari sekadar membuat unggahan di media sosial sampai melakukan lives streaming, Melalui kerja sama ini, sponsor bisa menjangkau generasi milenial dan Gen Z, yang dikenal sulit dijangkau karena mereka lebih memilih mengonsumsi konten di internet daripada menonton televisi atau mendengarkan radio.

Hadiah Turnamen

Selain sponsor, sumber pemasukan lain bagi organisasi esports adalah hadiah turnamen. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin besar juga total hadiah yang ditawarkan dalam sebuah kompetisi esports. Misalnya, The International, turnamen Dota 2 paling bergengsi di Indonesia, menawarkan total hadiah yang terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, total hadiah The International mencapai lebih dari US$34 juta. Berdasarkan data dari Esports Earnings, The International telah menjadi turnamen esports dengan total hadiah terbesar selama lima tahun berturut-turut, yaitu sejak 2015. Contoh lainnya adalah Fortnite World Cup (FWC), yang menawarkan total hadiah US30 juta.

Memang, selain dua turnamen itu, tidak ada turnamen esports lain yang menawarkan hadiah lebih dari US$10 juta. League of Legends World Championship pada 2018 — yang merupakan turnamen esports dengan total hadiah terbesar ke-9 setelah TI dan FWC — “hanya” menawarkan total hadiah sebesar US$6,45 juta. Meskipun begitu, ada puluhan turnamen esports yang menawarkan total hadiah setidaknya US$1 juta.

10 turnamen esports dengan total hadiah terbesar. | Sumber: Esports Earnings
10 turnamen esports dengan total hadiah terbesar. | Sumber: Esports Earnings

Soal pembagian hadiah turnamen, setiap organisasi esports biasanya memiliki ketentuan masing-masing. Di Indonesia, EVOS dan RRQ sama-sama mengatakan bahwa sebagian besar total hadiah yang mereka menangkan menjadi hak para pemain. Sebagai perbandingan, EVOS mendapatkan setidaknya Rp6 miliar di 2019 dan RRQ Rp5,7 miliar dari total hadiah turnamen selama satu tahun. Angka tadi belum menghitung pembagian antara jatah manajemen dengan para pemainnya.

Lain halnya dengan organisasi esports yang berlaga di liga League of Legends Championship Series (LCS) di Amerika Utara. Sebagian besar dari hadiah yang tim menangkan biasanya masuk ke kas tim.

Semua tim yang berlaga di LCS berhak mendapatkan 32,5 persen dari total pemasukan liga tersebut. Setengahnya dibagikan secara merata pada semua tim. Sementara setengah sisanya akan dibagi berdasarkan kontribusi masing-masing tim dalam view dan interaksi dengan penonton.

Jadi, semakin banyak orang yang menonton pertandingan sebuah tim sepanjang liga, semakin besar pula pemasukan yang tim dapatkan. Mengingat LCS menggunakan model franchise, tidak sembarangan tim bisa ikut dalam LCS. Menariknya, hanya tim yang memiliki strategi untuk mengembangkan fanbase mereka yang diizinkan untuk ikut serta dalam LCS.

Merchandise

Sama seperti olahraga tradisional, tim esports juga mulai menjual merchandise untuk para fans mereka. Sayangnya, perilaku para fans esports dalam membeli merchandise dari tim favoritnya berbeda dengan fans olahraga tradisional.

Dalam riset berjudul “Comparison of eSports and Traditional Sports Consumption Motives” yang ditulis oleh Donghun Lee, Ball State University dan Linda J. Schoenstedt, Xavier University, dijelaskan bahwa fans esports biasanya tidak menghabiskan banyak uang untuk membeli merchandise dari tim favorit mereka. Meskipun begitu, penjualan merchandise tetap bisa menjadi salah satu sumber pemasukan organisasi esports.

Merchandise dari 100 Thieves. | Sumber: Twitter
Merchandise dari 100 Thieves. | Sumber: Twitter

Di Indonesia, EVOS Esports bahkan membuat toko merchandise sendiri. Alasan mereka karena tingginya permintaan fans akan merchandise EVOS. Memang, pada Mobile Legends Professional League ID S4 dan M1, EVOS berhasil menjual merchandise mereka sampai habis dan mendapatkan Rp150 juta. Namun, jika dibandingkan dengan total hadiah dari turnamen yang dimenangkan oleh EVOS — yang mencapai lebih dari Rp6 miliar — angka penjualan merchandise itu terasa sangat kecil.

Di dunia, masing-masing tim esports memiliki caranya sendiri dalam menjual merchandise. Salah satu organisasi esports yang menggunakan metode unik adalah 100 Thieves. Daripada menjual merchandise secara massal, 100 Thieves berusaha untuk menjadikan merchandise mereka barang eksklusif, yang justru semakin diminati ketika harganya semakin mahal. Caranya, mereka menjual merchandise dalam jumlah terbatas. Menariknya, metode ini sukses. Biasanya, merchandise 100 Thieves akan habis terjual dalam waktu kurang dari 30 menit.

Hanya saja, jika dibandingkan dengan nilai penjualan merchandise tim olahraga tradisional, seperti sepak bola, pendapatan organisasi esports dari merchandise relatif lebih kecil. Namun demikian, paradigma fans esports yang kalah loyal dengan fans olahraga mungkin bisa jadi dipatahkan jika program paid membership EVOS yang diluncurkan tahun ini sukses besar.

Selain perbedaan perilaku fans, alasan lainnya adalah karena stadion yang digunakan untuk menyelenggarakan pertandingan esports biasanya memiliki kapasitas yang jauh kecil dari stadion untuk olahraga tradisional. Sebagai perbandingan, Intel Extreme Masters, salah satu turnamen esports tahunan paling bergengsi, diadakan di Spodek yang memiliki kapasitas 11.500 orang. Sementara itu, Camp Nou, stadion Barcelona memiliki kapasitas 99.354 tempat duduk.

Konten dan Streaming

Saat ini, sebagian besar pemasukan organisasi esports memang berasal dari sponsorship. Namun, seiring dengan munculnya tim-tim esports baru, pada satu titik, jumlah sponsor tak lagi memadai untuk menyokong semua organisasi esports yang ada. Jadi, organisasi esports harus bisa mencari sumber pemasukan lainnya, seperti melalui iklan. Untuk bisa menarik pengiklan, sebuah organisasi esports harus bisa mendapatkan fanbase yang cukup besar. Caranya, dengan menyediakan konten menarik secara rutin.

Jika dibandingkan dengan atlet atau tim olahraga tradisional, pemain profesional dan organisasi esports sangat akrab dengan dunia digital. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, setiap organisasi esports pasti memiliki akun media sosialnya masing-masing yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi langsung dengan para fans. Beberapa organisasi esports bahkan memiliki divisi khusus yang menaungi streamer untuk membuat konten. Berbeda dengan atlet esports yang dituntut untuk memberikan performa terbaik, streamer bertugas untuk membuat konten yang menghibur.

Di Indonesia, contohnya adalah EVOS Esports. Faktanya, investasi yang mereka dapatkan dari Insignia Venture Partners tahun lalu justru digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment mereka. Baru-baru ini, mereka juga bekerja sama dengan TikTok untuk mengembangkan bisnis influencer mereka.

Di luar negeri, FaZe Clan bisa dibilang sebagai organisasi esports yang terdepan dalam hal streaming dan produksi konten karena sejarah mereka yang memang berawal dari sana. Belum lama ini, mereka juga bahkan mengumumkan tentang proyek Cinematic Universe mereka yang akan tayang di tahun 2020.

Pengeluaran

Setelah membahas tentang sumber pemasukan organisasi esports, mari melihat sumber pengeluaran mereka. Satu hal yang pasti, membuat organisasi esports profesional membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama sebelum Anda mendapatkan sponsor atau menemukan investor. Kemungkinan besar, Anda harus merugi dan tidak mendapatkan pendapatan apapun di tahun-tahun awal.

Lalu, apa saja pengeluaran organisasi esports?

Gaji Pemain dan Staf

Dulu, pemain esports mungkin hanya mendapatkan penghasilan dari hadiah turnamen yang mereka menangkan. Namun, sekarang, atlet esports mendapatkan gaji bulanan, layaknya pekerja biasa. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin besar pula gaji para pemain profesional. Tentu saja, tidak semua pemain profesional punya gaji yang sama. Biasanya, besar gaji pemain ditentukan berdasarkan performa dan ketenaran pemain tersebut.

Gaji minimal pemain Mobile Legends Pro League adalah Rp7,5 juta per bulan. Sementara itu, di tingkat global, gaji rata-rata pemain League of Legends European Championship (LEC) mencapai €250 ribu (sekitar Rp3,9 miliar) per tahun atau €20,8 ribu (sekitar Rp334 juta) per bulan. Selain pemain pro, organisasi esports juga harus mempekerjakan staf lainnya, seperti pelatih, manager, analis, dan dalam beberapa kasus, psikolog. Untungnya, gaji staf biasanya tidak sebesar pemain bintang.

Contohnya, di Team SoloMid, pemain pro dengan gaji tertinggi, sebesar US$311 ribu per tahun, adalah Anthonny “ZexRow” Colandro. Sementara gaji rata-rata staf TSM hanya mencapai US$109 ribu per tahun. Namun, jumlah staf TSM jauh lebih banyak dari total pemain esports. Menurut data dari Craft, total pegawai TSM mencapai 665 orang. Sebagai perbandingan, total atlet esports mereka hanyalah sekitar 34 orang.

Sewa/Beli Gaming House

Sama seperti olahraga tradisional, pemain profesional juga memiliki jadwal latihan yang padat. Karena itu, biasanya organisasi esports menyediakan gaming house atau fasilitas latihan yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal para anggota timnya. Di sana, para pemain profesional bisa berlatih tanpa harus bingung mengatur jadwal temu.

Biaya yang dikeluarkan organisasi esports untuk menyediakan gaming house beragam. 100 Thieves misalnya, menghabiskan US$35 juta untuk membuat markasnya di Los Angeles. Sementara Team SoloMid menghabiskan US$13 juta untuk membuat fasilitas latihan di California pada tahun lalu. Mereka juga berencana membangun gaming center bernilai US$50 juta.

Di Indonesia, jika kita hitung-hitungan kasar, harga sewa rumah dengan 4 kamar bisa mencapai Rp385 juta per tahun di sekitar Jakarta. Sedangkan untuk biaya listrik bulanan, sebuah gaming house mungkin bisa mencapai Rp1-5 juta sebulan — mengingat tim esports PC bisa jadi lebih boros soal listrik ketimbang tim esports mobile. Dengan begitu, biaya untuk sewa rumah dengan listriknya bisa mencapai Rp397-445 juta per tahun.

Tentu saja, itu tadi hanyalah hitung-hitungan kasar saja. Angkanya, bisa jadi tidak semahal itu jika Anda bisa memaksa tim esports Anda tinggal di RSSSSSSS (Rumah Sangat Sederhana Sempit Sekali Selonjor Saja Susah). Atau sebaliknya juga bisa jadi lebih mahal jika Anda ingin memanjakan mereka tinggal di apartemen mewah di kawasan elit Jakarta.

Secara global, ada beberapa organisasi esports yang sudah bekerja sama dengan perusahaan kredit rumah untuk membangun gaming house atau fasilitas pelatihan mereka, seperti 100 Thieves dengan Rocket Mortgage atau tim Sanguine yang berlaga di SMITE Pro League dengan Equity Prime Mortgage (EPM).

Dengan begitu, organisasi esports dapat menekan biaya yang harus mereka keluarkan untuk menyediakan tempat tinggal bagi para atlet mereka. Selain gaming house, juga ada tim yang menyediakan tempat latihan khusus, seperti Team Liquid. Terkadang, organisasi esports membuat markas yang memiliki banyak fungsi, mulai dari tempat tinggal pemain, tempat latihan, sampai menjual merchandise.

Di Indonesia, TEAMnxl memiliki tempat semacam itu yang menawarkan konsep gaming house terbuka agar fans bisa berinteraksi langsung dengan pemain idolanya. Sekaligus, mereka juga berjualan merchandise di tempat yang sama.

NXL Angels. Dokumentasi: HybridNXL Angels saat bermain di NXL Esports Center. Dokumentasi: Hybrid

Biaya Produksi Konten

Memproduksi konten bagai pisau bermata dua bagi organisasi esports. Di satu sisi, konten bisa menjadi sumber pemasukan. Di sisi lain, untuk dapat membuat konten berkualitas secara rutin, organisasi esports juga harus siap untuk membayar ongkos produksi konten, mulai dari membayar tim produksi serta tim media sosial sampai menyiapkan studio dan perlengkapan yang memadai.

Hitung-hitungan biaya untuk produksi konten tim esports mungkin bisa diperkirakan seperti layaknya media ataupun kanal YouTube karena kebutuhan para profesional yang tidak jauh berbeda — seperti social media specialist ataupun videografer (yang biasanya juga merangkap sebagai video editor) — dengan perlengkapan yang tak jauh berbeda (kamera DSLR, lighting, dkk.)

Biaya Franchise

Tidak semua turnamen atau liga esports menggunakan sistem terbuka. Ada juga turnamen yang menggunakan model franchise. Untuk dapat berlaga di turnamen dengan model franchise, Anda harus membayar sejumlah uang di muka. Di Indonesia, turnamen yang menggunakan model franchise adalah Mobile Legends Pro League. Untuk bisa berlaga di MPL, sebuah tim esports harus membayar Rp15 miliar. Sementara di Amerika Utara, untuk bisa ikut dalam League of Legends Championship Series, tim esports harus membayar setidaknya US$10 juta.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Kesimpulan

Pada awalnya, sebuah tim esports mungkin dibentuk atas dasar passion, seperti saat Riki Kawano Suliawan membentuk RRQ. Namun, sekarang esports telah menjadi sebuah bisnis. Sama seperti bisnis lainnya, para pelaku esports harus mulai menghitung untung-rugi. Dan jika Anda ingin membuat organisasi esports profesional, lengkap dengan tempat latihan dan para pemain yang memang jago, maka diperlukan biaya yang tidak sedikit. Menyediakan gaming house/tempat latihan serta membayar gaji staf dan pemain menjadi sumber pengeluaran paling besar.

Sementara dari segi pemasukan, saat ini, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama bagi organisasi esports. Sayangnya, mereka tak bisa hanya mengandalkan sponsorship. Karena itu, organisasi esports mulai mencari sumber pemasukan yang bisa berkelanjutan, seperti menjual merchandise atau malah mencoba inovasi baru seperti program paid membership dari EVOS.

Sumber header: ESL via Twitter