Belajar Tentang Perbedaan, Daya Juang, dan Keterbatasan dari Seorang Gamer Difabel

Wajahnya sumringah sembari melambaikan tangannya di bawah dagu saat video call saya tersambung dengan Angga. Bersama dengan ibunya yang setia berada di sampingnya di sebuah kamar kecil yang sederhana, Angga tak terlihat lesu meski berada di atas kursi roda.

Obrolan kami bertiga kala itu pun sedikit berbeda dengan kebanyakan video call. Angga mengetikkan jawaban lewat Whatsapp dari pertanyaan yang saya lontarkan di video call karena ia juga tuna wicara. Ibu Angga, Nurhikmah, sesekali menerjemahkan desahan suara Angga sehingga lebih mudah dipahami.

Cerita Angga Tribuana Putra

Sumber: Angga Zerotoshine
Angga bersama ibunya. Sumber: Angga Zerotoshine

Angga Tribuana Putra adalah nama lengkapnya. Ia tak bisa berbicara, kedua kakinya pun tak dapat bergerak. “Dokter bilang aku polio akut. Jadi syaraf tulang belakangku terjepit dan pita suaraku ga berfungsi. Dan kalau ga ileran, kepalaku yang besar.” Cerita Angga. Ibunya Angga pun menambahkan bahwa hanya jari tangan kanannya saja yang bisa bergerak.

Gamer yang mengaku suka dengan Pro Evolution Soccer (PES) dan Clash Royale ini menjelaskan bahwa ia suka bermain game karena bisa mendapatkan semangat, selain kesenangan. Baginya, game bukanlah sekadar hobi. Ia melihat game sebagai salah satu sarana untuk mencetak prestasi. Bagi Angga, esports adalah salah satu hal yang bisa membuatnya menghadapi dunia dengan penuh senyuman. Pasalnya, di esports ia bisa mengembangkan bakatnya, menggunakan otak, dan melatih tangannya.

Angga yang menyukai PES karena, menurutnya, game tersebut adalah yang paling realistis ini mengaku sekarang sedang menjalani lisensi untuk kepelatihan PSSI. Karena hal itu jugalah ia selalu setia bermain PES karena ia percaya strategi yang ada di PES bisa juga diterapkan di sepak bola. “Dari PES lah aku mengenal sepak bola. Aku main game bukan untuk menang tapi untuk mendalami taktiknya.” Jawab Angga yang bercita-cita menjadi pelatih sepak bola.

Menariknya, penggemar Manchester United, Christiano Ronaldo, dan Ibrahimovic ini pun berpesan untuk semua gamer untuk tak mudah menyerah dan ia juga berharap ada kompetisi game untuk para difabel.

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Sedangkan buat kawan-kawannya yang sesama penyandang disabilitas, Angga pun mengajak untuk terus berjuang melawan gejolak batin dan berhenti mempertanyakan di mana keadilan Tuhan. Baginya, para penyandang disabilitas adalah manusia-manusia fenomenal yang harus mampu menunjukkan pada dunia bahwa mereka punya kelas dan kemampuan yang luar biasa.

Saya pun juga sempat berbincang dengan sang ibu lewat Whatsapp untuk cari tahu lebih jauh tentang kehidupan dan keseharian Angga. Kesehariannya, Angga selalu dibantu oleh ibunya karena keterbatasannya. Namun ibunya masih bersyukur karena merasa Angga punya banyak kelebihan.

Ibunya mengaku bahwa Angga bisa menggunakan PS3 ataupun PC tanpa bantuan dari siapapun. Sampai hari ini, Angga juga tidak sekolah. Ibunya mengaku karena ada dua alasan, yaitu karena memang keterbatasan dana dan memang Angga sendiri tidak mau. “Katanya, ga usah sekolah Ma. Nanti insya Allah Angga bisa sendiri.” Ujar Ibunya menirukan Angga.

Ibunya pun tak menyangka bahwa Angga dapat belajar membaca ataupun menggunakan komputer secara otodidak. Ia juga bercerita bahwa memang tak sedikit orang yang menghina dan memandang Angga sebelah mata. Bahkan menurut penuturan sang ibu, hanya ia lah yang mendukung Angga dari sisi keluarganya.

Sumber:
Sumber: Angga Zerotoshine

Ibunya berharap agar Angga bisa terus semangat dan berjuang demi impian dan cita-citanya meski kerap diremehkan dan dianggap berhalusinasi. Namun demikian, Angga juga mungkin memang istimewa. “Mama tenang. Insya Allah Angga bisa membanggakan Mama satu saat. Angga juga ga mau lihat Mama bersedih terus.” Cerita Nurhikmah kembali menirukan Angga.

Itu tadi secuil cerita Angga dan ibunya, Nurhikmah, tentang perjuangannya masing-masing. Memang tentunya keterlaluan memampatkan satu kisah hidup dalam satu tulisan, bahkan ribuan halaman sekalipun. Namun, saya pribadi percaya ada 2 hal penting yang bisa kita pelajari dari perjuangan Angga dan ibunya tadi.

Komunitas Gamer yang Seharusnya adalah Komunitas Inklusif

Dari cerita Angga, game adalah kegiatan yang bisa membuatnya semangat untuk menjalani hidup. Game mampu memberikannya tantangan-tantangan baru tanpa melihat keterbatasan dari aspek fisik. Esports bisa memberikannya sebuah sense of achievement yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh ranah lainnya.

Sebenarnya, ranah lainnya yang lebih tradisional seperti kesenian (musik, seni lukis, dan yang lainnya) juga dapat memberikan tantangan dan tujuan baru tanpa melihat keterbatasan fisik. Namun game dan esports sekarang juga bisa jadi tujuan hidup baru buat semua orang, tanpa terkecuali.

Sumber:
Sumber: Angga Zerotoshine

Sayangnya jejaring sosial yang begitu dominan di kehidupan sehari-hari kita sebagai masyarakat modern tak jarang justru semakin meruncingkan perbedaan, termasuk di komunitas gamer.

Faktanya, perdebatan antara MOBA mana yang lebih baik, game-game mana yang lebih sahih diangkat di event olahraga seperti SEA Games ataupun ASIAN Games, platfom gaming mana yang lebih ideal, dan segala macam perdebatan lainnya tak akan berdampak positif di perkembangan industri game ataupun esports Indonesia; setidaknya jika bentuk perdebatannya masih sebatas kekonyolan yang sering terjadi di dunia maya sekarang ini.

Saya sendiri yang sudah 10 tahun di industri gaming mendapatkan banyak kawan-kawan baru sesama gamer dari latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Bagi saya pribadi, inilah komunitas gamer yang seharusnya: komunitas yang tak pandang bulu soal agama, pandangan politik, kelas ekonomi, latar belakang budaya, jenis kelamin, apalagi soal keterbatasan fisik.

Silakan setuju atau tidak, namun bagi saya gamer sejati adalah mereka-mereka yang terbuka dengan segala macam perbedaan. Kenapa? Karena faktanya, game sendiri adalah kulminasi antara titik bertemunya seni dan teknologi yang mungkin dianggap terlalu berbeda bagi orang-orang tradisional.

Gamer Sejati tak Mudah Mengeluh dan Tak Berhenti Berjuang

Sumber:
Sumber: Angga Zerotoshine

Nyatanya, banyak orang merasa bahwa merekalah orang paling menderita di muka bumi ini. Tak jarang, kita manusia memang lebih mudah melihat keterbatasan dan ketidakberuntungan hidup kita masing-masing.

Saya pribadi percaya bahwa gamer sejati ya seharusnya seperti Angga. Dengan segala keterbatasannya, ia tak berhenti berjuang. Ia tak mau menyerah dan menyalahkan nasib. Selain Angga, saya kira ibunya pun juga bisa diteladani ketekunan dan ketahanannya karena selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Angga.

Terlepas dari apakah Angga bisa mewujudkan impiannya atau tidak nanti, saya kira itu urusan belakang. Hal yang lebih penting di sini, bagi saya, adalah bagaimana kita tak menjadikan keterbatasan diri sebagai alasan untuk berhenti berjuang. Bahkan faktanya, gamer sejati seharusnya adalah orang-orang yang justru tertarik saat bertemu tantangan baru ataupun yang berat.

Sumber: Angga
Sumber: Angga Zerotoshine

Baik singleplayer ataupun multiplayer, kita menikmati proses bermain game karena ada tantangan dan ada tujuan yang ingin kita selesaikan – kecuali Anda bermain Pou atau My Little Pony di Android ataupun iOS (yang berarti Anda salah masuk website).

Akhirnya, tak ada salahnya juga jika kali ini kita semua berkaca dari Angga dan ibunya. Kemungkinan besar, kita semua lebih beruntung dari Angga karena keterbatasan kita kebanyakan adalah soal tatanan sosial dan ekonomi (itupun juga tak separah yang Anda bayangkan jika Anda masih punya akses internet). Jadi, bersyukurlah dan teruslah berjuang…

Mengintip Sekilas Pengorbanan Para Atlet Esports dalam Menjalani Karier

Video game kompetitif telah berkembang sangat pesat, dari sekadar persaingan di game center menjadi industri bernilai jutaan dolar. Para pemain, yang kini sudah layak menyandang gelar “atlet”, menyandang reputasi serta popularitas layaknya selebritas. Esports membuat video game berubah bukan hanya hiburan lagi tapi juga menjadi mata pencaharian yang menjanjikan.

Begitu gemerlap dunia esports terlihat di permukaan. Tapi mungkin kita tidak sadar bahwa di balik semua itu ada harga yang harus dibayar. Ketika seseorang terjun menjadi atlet profesional, ia harus mencurahkan seluruh energinya, terkadang sampai harus mengorbankan banyak aspek kehidupan lain.

Stasiun berita CBS baru-baru ini merilis dokumenter singkat yang mengisahkan tentang perjuangan atlet esports dengan judul Esports: The Price of the Grind. Mereka mewawancara orang-orang dari berbagai elemen esports, termasuk di antaranya Doublelift (Yiliang Peng) yang merupakan atlet League of Legends di Team Liquid, SPACE (Indy Halpern) yang bermain di tim Overwatch Los Angeles Valiant, hingga Thresh (Dennis Fong) yang tercatat di Guinness World Record sebagai gamer profesional pertama di dunia.

Risiko menjadi atlet esports

Para pegiat esports ini sepakat bahwa karier di dunia esports adalah karier yang berisiko. Ada berbagai hal yang dapat membuat profesi tersebut terasa sangat berat, bahkan bisa menghancurkan karier seseorang sewaktu-waktu. Berikut ini di antaranya.

Masalah kesehatan

Anda yang sering bermain MMORPG pasti mengenal istilah “grinding”, yaitu melakukan suatu kegiatan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama untuk meningkatkan level karakter kita. Banyak atlet esports percaya bahwa untuk menjadi pemain yang baik, mereka pun harus melakukan grinding di dunia nyata. Seorang gamer profesional bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam sehari hanya untuk bermain, berlatih, dan meningkatkan keahlian.

Pola hidup seperti ini pada akhirnya bisa berujung pada cedera, terutama cedera tangan. SPACE misalnya, berkata, “Bila saya bermain terlalu lama, saya akan merasa sakit (di pergelangan tangan) pada malam harinya.” Begitu pula dengan bagian tubuh lain seperti punggung atau pundak. Gamer profesional rawan terkena cedera otot, sindrom carpal tunnel, dan berbagai kondisi medis lainnya. Padahal SPACE baru berusia 18 tahun.

Stres dan burnout

Bermain game itu memang menyenangkan. Tapi ketika sudah menyandang gelar profesional, game tak lagi hanya hiburan melainkan juga profesi. Ada tuntutan yang harus dipenuhi, dan seorang pemain harus menghabiskan banyak waktu memainkan satu game saja hingga mahir. Ini bisa menimbulkan rasa bosan, bahkan burnout yang membuat atlet jadi kehilangan motivasi bermain.

“Dulu ketika saya bermain di SMP atau SMA, rasanya tidak terlalu stres karena saya tidak berkompetisi begitu keras. Tapi ketika saya memasuki esports, tingkat tekanannya jauh berbeda karena saya bermain melawan para profesional,” ujar SPACE. Isu stres ini menjadi masalah besar terutama ketika menjelang pertandingan besar. Atlet esports punya banyak penggemar, dan keinginan untuk tidak mengecewakan mereka adalah beban tambahan yang dapat membuat atlet susah tidur. Apalagi bila mereka bermain di tim yang mewakili kota atau negara tertentu.

SPACE
SPACE (Indy Halpern) mengaku sering mengalami sakit di pergelangan tangan | Sumber: Altletics

Stigma negatif masyarakat

Saat ini esports memang sudah sangat populer, bahkan mungkin mendekati mainstream. Di negara seperti Amerika Serikat sudah banyak kampus-kampus yang menawarkan program pendidikan esports, begitu pula di Indonesia sudah mulai ada beberapa. Akan tetapi, mereka yang belum tenar sering kali masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap hanya buang waktu, atau dianggap hanya sekumpulan nerd yang tidak bisa bersosialisasi.

Padahal pada kenyataannya, kehidupan sebagai gamer profesional menuntut atlet untuk bisa bekerja dengan baik dalam tim, malah mungkin menjadi pemimpin di antara kawan-kawannya. Program pendidikan esports pun tidak hanya mengajarkan soal cara bermain, tapi juga cara komunikasi serta penyusunan strategi.

Sulit menjalani percintaan

Tim esports sering kali tinggal di satu rumah yang sama, baik itu sebagai asrama tetap ataupun bootcamp sementara. Selain itu mereka juga banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Sulit bagi atlet dengan pola hidup seperti ini untuk berkenalan dengan orang lain dan menjalin hubungan asmara. Mereka yang sudah memiliki kekasih pun, akan merasa teruji ketika salah satu pihak masuk ke dunia esports.

“Ketika Anda tinggal bersama dengan 6-7 lelaki lain, dan semuanya begitu serius berlatih, mana mungkin akan pergi bersantai selama akhir pekan? Saya rasa ada tekanan sosial seperti itu, bahkan meskipun tidak ada yang mengatakan atau membuat aturan tertulis,” kata Thresh.

Sebuah game bisa mati kapan saja

Jurnalis esports senior Richard Lewis memaparkan bahwa esports berbeda dengan olahraga biasa. “(Pemegang kekuatan terbesar) adalah para developer. Mereka yang membuat game, dan game itu adalah properti intelektual mereka. Tidak ada asosiasi pemain, tidak ada perserikatan… Tidak ada orang yang menjaga Anda,” jelasnya.

Tidak ada pemain sepak bola yang perlu takut bahwa tahun depan sepak bola akan punah. Begitu juga cabang-cabang olahraga lainnya. Mereka juga memiliki lembaga-lembaga yang memayungi seperti NFL, FIFA, atau NBA. Tapi hal ini beda dengan esports. Bayangkan bila Valve tiba-tiba memutuskan untuk menutup server Dota 2. Ke mana para atlet Dota 2 harus berpulang? Jangankan menutup server, menutup kompetisi Dota Pro Circuit saja sudah bisa membuat banyak orang kehilangan mata pencaharian. Wajar bila kemudian karier atlet esports sering berumur pendek.

Thresh
Thresh dikenal sebagai pro gamer di seri Quake | Sumber: Thresh

Wujud dukungan yang dibutuhkan atlet esports

Atlet esports telah berkorban begitu banyak, dan hasilnya, mereka pun mendapat penghasilan serta ketenaran yang layak. “Saya selalu berkata bahwa ya, terkadang (esports) menyebalkan, karena semua masalah yang ada. Tapi pada akhirnya, semua itu sungguh setimpal, dan bagi banyak orang hidup saya adalah mimpi yang jadi kenyataan,” kata Doublelift.

Akan tetapi meski pengorbanannya “worth it”, bukan berarti masalah-masalah di atas lalu kita biarkan begitu saja. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak sekitar atlet untuk mendukung perjuangan mereka, yang pada akhirnya juga akan berdampak positif pada ekosistem esports keseluruhan.

Dukungan orang tua

Esports adalah sebuah karier. Profesi. Cita-cita. Sama seperti cita-cita lainnya, seorang anak tidak akan bisa mencapainya dengan maksimal apabila tidak mendapat restu orang tua. Sudah banyak legenda-legenda esports yang membuktikan bahwa dukungan orang tua sangat penting. Sumail dari tim Evil Geniuses misalnya, orang tuanya bahkan rela memboyong seluruh keluarga dari Pakistan ke Amerika agar sang anak dapat bermain Dota. Begitu pula dengan atlet-atlet lain, seperti misalnya JessNoLimit yang selalu berkata bahwa ia ingin membanggakan orang tua.

Salah satu orang tua itu adalah Kara Dang Vu, ibu dari pemuda bernama Conner Dang Vu yang sedang berusaha menjadi pemain Overwatch profesional. Ia sadar bahwa zaman sudah berubah, dan orang tua harus memahami perubahan tersebut. “Mungkin sudah waktunya bagi kita, sebagai generasi yang berbeda, untuk melihat dunia dari mata mereka,” ujarnya.

Kara Dang Vu
Conner Dang Vu dan Kara Dang Vu, keluarga esports | Sumber: CBS

Dokter dan psikolog dalam tim

Kesehatan atlet sangat penting untuk diperhatikan, jadi tim esports sebaiknya memiliki dokter atau kru medis yang bertugas memantau kondisi para anggotanya. Akan tetapi kesehatan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal mental.

Tim esports seperti Los Angeles Valiant memiliki psikolog tersendiri yang dapat membantu para pemain mengatasi stres. Metodenya bisa bermacam-macam, bahkan sebagian melibatkan aktivitas fisik juga. Olahraga memang telah lama dipercaya dapat meredam emosi negatif, karena dengan berolahraga, tubuh akan terangsang untuk memproduksi hormon yang bersifat sebagai antidepresan. Dengan penanganan seperti ini, diharapkan atlet dapat berlatih dengan lebih nyaman dan tidak sampai burnout.

Pendidikan atau beasiswa

Saat ini kita sedang berasa di “generasi pertama esports”. Ekosistem ini muncul dengan menjanjikan jumlah uang yang besar, dan masih terus berevolusi untuk menuju industri yang sustainable. Agar esports bisa menjadi sesuatu yang berkesinambungan layaknya olahraga konvensional, kita butuh regenerasi. Bukan hanya atlet tapi juga peran-peran lainnya. Esports adalah sebuah profesi, dan profesi tidak bisa dilakukan tanpa adanya keahlian sebagai bekal.

Karena itulah, munculnya pendidikan esports di SMA dan kampus-kampus merupakan langkah yang sangat baik. Saat ini kita masih meraba-raba. Tapi di generasi esports berikutnya, mereka akan menjalankan industri ini dengan ilmu serta pengalaman yang terakumulasi dari generasi sebelumnya. Saya pun yakin esports akan terus ada untuk waktu yang lama, tapi tidak ada yang bisa menebak bentuknya nanti seperti apa.

SPACE - Therapy
Kesehatan adalah aset terbesar seorang atlet | Sumber: CBS

Catatan Tambahan: Sebuah pelajaran dari Daigo Umehara

Ada satu hal yang membuat saya merenung setelah menonton Esports: The Price of the Grind. Bila kita kerucutkan, sepertinya masalah utama esports saat ini ada pada sustainability. Semua pihak sedang berusaha menuju ke sana. Penyelenggara turnamen ingin agar kompetisi bisa lebih sustainable, atlet ingin terus bisa bermain dalam waktu yang lama, dan developer ingin game mereka tetap hidup dan dimainkan oleh banyak orang.

Namun untuk mencapai tahap sustainable itu, sepertinya “grinding” bukanlah jawaban yang tepat. Ketika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus, nilai tambah dari kegiatan itu justru makin mengecil (diminishing result). Kita bisa belajar sedikit tentang sustainability ini dari salah satu atlet esports paling veteran di dunia, Daigo Umehara.

Dalam bukunya yang berjudul The Will to Keep Winning, Daigo berkata bahwa berlatih dan bermain terlalu banyak itu adalah hal yang buruk. Atlet esports seharusnya tidak memforsir diri demi mengejar target jangka pendek, karena itu akan membuat mereka hancur baik secara fisik maupun secara mental.

Daigo sendiri memiliki rutinitas latihan yang berkisar hanya antara tiga sampai enam jam sehari. Menurutnya, kualitas latihan lebih penting daripada kuantitas. Lebih baik menghabiskan sedikit waktu namun berhasil mempelajari hal baru, daripada bermain belasan jam tapi tidak mendapat peningkatan apa-apa.

Mungkin para pegiat esports bisa belajar dari prinsip ini, bahwa untuk menciptakan ekosistem yang sustainable kuncinya adalah dengan menciptakan rutinitas yang sustainable pula. Ini tidak hanya berlaku bagi atlet. Organizer turnamen juga harus merancang jadwal kompetisi yang sustainable, yang memberi ruang bagi tim-tim esports untuk beristirahat serta mengeksplorasi hal baru. Sementara developer game harus bisa menyeimbangkan kecepatan update konten dengan stabilitas meta. Jangan sampai developer terlalu bernafsu merilis konten baru demi monetisasi, sementara para pemain kelabakan dengan meta yang berubah terlalu cepat.

Masalah sustainability di dunia esports ini bisa jadi bahan diskusi panjang sendiri, dan saya rasa para pegiat esports pun sudah banyak yang memikirkannya. Mudah-mudahan artikel ini dan dokumenter dari CBS bisa menjadi pengingat, atau pemicu munculnya ide baru yang akan memajukan ekosistem esports, terutama di Indonesia.

Sumber: CBS

YukiUsagi, Juara Hearthstone Wanita Asia Tenggara yang Mengaku Murah Senyum

Hari Minggu 16 Desember 2018 lalu, kualifikasi WESG 2018 untuk kawasan Asia Tenggara rampung dilaksanakan. Sayangnya, Indonesia hanya berhasil meloloskan 2 perwakilannya di cabang Dota 2 dan Hearthstone (Wanita). Di Dota 2, BOOM ID yang akan mewakili Indonesia setelah berhasil menempati posisi 2nd Runner Up (karena ada 4 kursi yang tersedia untuk cabang Dota 2). Tim ini mungkin memang tak perlu dibahas lagi di sini karena mereka memang sudah selayaknya lolos di tingkat Asia Tenggara setelah sebelumnya berhasil memenangkan Closed Qualifier SEA (South East Asia) untuk The Bucharest Minor.

Di sisi lainnya, ada YukiUsagi yang mungkin baru dikenal di dunia persilatan Hearthstone Indonesia namun langsung menjadi juara di tingkat Asia Tenggara. Tahun sebelumnya, Indonesia juga berhasil mengirimkan perwakilan untuk cabang Hearthstone (wanita) juga di main event WESG 2017. Namun kala itu, Indonesia diwakili oleh CarolinaLittleAurora” Edjam.

YukiUsagi, yang ingin nama aslinya hanya ditulis Feby Dwi ini berhasil menjadi juara setelah mengalahkan jagoan wanita asal Singapura, Wolfsbanee, di partai penghujung. Karena itulah, Hybrid mengajaknya berbincang-bincang untuk cari tahu lebih jauh tentang pemain Hearthstone yang sekarang juga sedang kuliah di semester kelimanya.

Awal Permainannya dengan Hearthstone

Novan Kristanto (kiri) bersama Yukiusagi (kanan). Sumber: Unipin Esports
Novan “Nexok40” Kristanto (kiri) bersama Yukiusagi (kanan). Sumber: Unipin Esports

Feby bercerita bahwa ia bermain Hearthstone (HS) pertama kali di sekitar bulan Juli 2015. Kala itu, setelah turnamen Yu-Gi-Oh! (trading card game) ada Novan “Nexok40” Kristanto dan kawan-kawannya yang lain yang bermain HS dan ia pun diajak. Setelah mencobanya, Feby pun merasa tertarik untuk bermain lebih lanjut. Namun begitu, Feby mengaku sempat berhenti bermain dan hanya menjalankan Quest harian sampai aktif kembali di Februari 2018.

Di kualifikasi Asia Tenggara kemarin, Nexok40 yang merupakan salah seorang pemain Hearthstone kelas veteran dari Indonesia pun menjadi coach untuk YukiUsagi. Bagaimana ceritanya?

Kak Nexok kan udah sering main di turney HS, banyak pengalamannya, gua juga sering nontonin dia maen, banyak belajar juga dari dia dan dia juga yang ngasih tau kalo ada WESG… Gimana ga cocok dijadiin coach coba? Haha…” Kata Feby sumringah.

Jadi, apakah bakal lebih dari sekedar coach juga nantinya? Eh..

Perjalanannya di Kualifikasi WESG 2018 untuk SEA dan Indonesia

Mungkin karena memang HS bukan game esport paling populer di Indonesia dan cabang ini hanya untuk wanita, YukiUsagi adalah satu-satunya pemain Hearthstone wanita yang datang saat kualifikasi WESG 2018 untuk Indonesia. Karena itulah, dia langsung lolos ke babak selanjutnya, yaitu kualifikasi Asia Tenggara.

“Iya cuma gua (yang daftar). Ga tau juga kenapa cewe yang lain ga pada daftar. Katanya sih mereka ga tau kalau ada WESG…” Ujar Feby. Lalu bagaimana perasaannya waktu itu? “Perasaan? Merasa aneh menang tanpa bertanding haha…”

Di babak terakhir saat melawan pemain dari Singapura, YukiUsagi sebenarnya sudah sempat memimpin perolehan skor 2-1 atas lawannya. Namun lawannya tadi berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Feby ternyata punya cerita menarik di pertandingan pamungkasnya itu.

“Sebelumnya gua udah nyangka bakal maen 5 game sih. Jadi pas (skor) 2-1 terus dia pake Control Priest (dan) gua pake Token Druid, dari awal udah nyangka bakal susah menang. Pas habis main dikasih tau nexok kalo gua misplay: harusnya bisa menang fatigue. Sorry coach!” Cerita Feby semangat.

“Jadi harapan terakhir ya menangin lawan Hunter… Itu gua dah pusing sih pas lawan Hunter. Jadi main pasrah aja. Taunya lawan misplay gak bunuh minion gua… Menurut gua, gua menang gara-gara musuhnya misplay, kayaknya dia ga tau cara ngelawan Token Druid.”

Rencananya ke Depan

Sumber: WESG SEA
Sumber: WESG SEA

Terlepas dari misplay atau tidak, atas kemenangan tersebut, YukiUsagi berhak melaju ke babak utama WESG 2018. Bagaimana persiapannya, mengingat ia harus bertemu dengan lawan-lawan yang mungkin lebih tangguh di Tiongkok yang juga berhasil menjadi juara di regionalnya masing-masing?

“Ini nih yg bikin sedih. Finalnya kan bulan Maret dan itu pas lagi UTS (Ujian Tengah Semester) jadi galauuu. Sebenernya waktu yang SEA, gua ga mau dateng soalnya lagi UAS. Berat banget rasanya. H-2 aja masih mikir-mikir mau pergi apa engga meski akhirnya pergi sih. Kalo latihan bakal rutin abis expansi terakhir sebelum final WESG aja. Kalo sekarang paling main biasa biar mengurangi misplay. Kadang kalo lagi males main paling nontonin streamer.” Feby pun bercerita tentang jadwal pertandingan yang bentrok dengan kesibukan kuliahnya.

Seperti yang sempat kami sebutkan tadi, di WESG 2017, Indonesia juga berhasil mengirimkan wakilnya untuk cabang Hearthstone wanita. Namun, LittleAurora nampaknya sudah tak terdengar lagi kiprahnya di esport Hearthstone setidaknya sampai artikel ini ditulis.

Sumber: WESG SEA
Sumber: WESG SEA

Bagaimana dengan Feby? Apakah ia akan terus melanjutkan bermain HS pasca WESG 2018, apapun itu hasilnya? Ia pun mengatakan rencananya hanya ingin mencoba Legend (Ranked) setiap bulan.

Akhirnya, Feby juga memiliki pesan yang ia ingin sampaikan sebelum menutup perbincangan kami. “Buat teman-teman, maaf ya foto gua di WESG SEA kemarin manyun semua. Bukan gak friendly ato gak seneng menang… Jadi pas final tuh gua lagi sakit yang lumayan jadi emang males senyum, tapi aslinya murah senyum kok hahaha…”

Itu tadi sedikit perbincangan kami dengan Febi “YukiUsagi” Dwi. Bagaimana perjalanannya di main event WESG 2018 nanti, yang rencananya akan digelar bulan Maret 2019? Semoga ia bisa bermain lebih maksimal ya! Kita dukung saja nanti agar Feby lebih semangat.

 

Cerita Jagoan FIFA Indonesia tentang Pengalamannya Bertanding di London

Tanggal 12-16 Desember 2018 kemarin salah satu gamer profesional asal Indonesia untuk FIFA 19, Kenny Prasetyo dari SFI Esports, mendapatkan undangan untuk turut berlaga di FUT Champions Cup #2 yang digelar di London, Inggris.

FUT Champions Cup sendiri merupakan salah satu turnamen dalam rangkaian FIFA 19 Global Series. Di musim 2018-2019 ini, akan ada 6 kali FUT Champions Cup yang digelar langsung oleh EA ataupun rekanannya setiap bulan dari November 2018 sampai April 2019.

Sumber: SFI Esports
Sumber: SFI Esports

Di FUT Champions Cup #2 kemarin, Kenny atau Rainesual masuk ke dalam Grup C bersama jagoan dari Brazil (Victor “SPQR TORE” Dos Santos Coelho) untuk platform PlayStation. Pemain dari Brazil tadi merupakan salah satu pemain yang paling berbahaya karena ia berhasil melaju ke final (untuk platform PlayStation) di FUT Champions Cup pertama yang digelar di Bucharest.

Sangat disayangkan, Kenny tak berhasil lolos ke babak selanjutnya karena hanya mengantongi 2 kemenangan dan 5 kali kekalahan. Kala itu, ia hanya bisa menang melawan Lukas “T9Laky” Pour dari Cekoslovakia dan Cihan “RBL Cihan” Yasarlar dari Jerman.

Dari platform PlayStation sendiri, Gonzalo “FCB NICOLAS99FC” Nicolas Villalba yang disebut Kenny sebagai pemain yang ingin sekali ia lawan saat wawancara sebelumnya berhasil menjadi sang juara.

Buat yang belum tahu, di sistem FUT Champions Cup, pertandingan pun dipisahkan antar platform; yaitu PlayStation dan Xbox. Namun, di pertandingan pamungkasnya, juara dari kedua platform itu tadi diadu lagi untuk mencari sang pemenang sejati. Karena itu, Nicolas99 pun harus berhadapan dengan pemenang dari platform Xbox, Mosaad “Rogue Msdossary” Saud dari Arab Saudi. Msdossary sendiri merupakan sang juara dunia saat 2018 FIFA eWorld Cup. Ia pun berhasil mengalahkan Nicolas dan menjadi juara FUT Champions Cup kali ini.

Lalu bagaimana cerita Kenny tentang pengalamannya kali ini?

Klasemen akhir Grup C di FUT Champions Cup London. Sumber: Gfinity
Klasemen akhir Grup C di FUT Champions Cup London. Sumber: Gfinity

Ia pun bercerita bahwa awalnya memang cukup optimis karena berhasil mengalahkan salah satu pemain unggulan dari Jerman. Namun setelah itu, keberuntungan pun seakan tak berada di pihaknya. 3 kali kekalahannya hanya selisih satu gol dan terjadi di saat perpanjangan waktu (extra time). “Benar-benar ketat banget sih level permainannya…” Ujarnya.

Kenny pun melanjutkan dengan analisa untuk permainannya kemarin. “Aku rasa kebanyakan dari mereka sangat bagus counter attack-nya. Dan karena aku mainnya possession yang mana hampir semua pemainnya maju, jadi ya kelemahanya memang di-counter… Aku ga ada masalah untuk nge-golin tapi problem utamanya adalah stopping my opponent from scoring.”

MSDossary, sang pemenang FUT Champions Cup London. Sumber: EA Sports FIFA
MSDossary, sang pemenang FUT Champions Cup London. Sumber: EA Sports FIFA

Ia pun bercerita lebih jauh tentang salah satu pertandingannya saat melawan John “xbleU” Garcia. Ia benar-benar ingin memenangkan pertandingan tersebut karena ia bisa lolos ke playoff jika menang. Di menit 110 (extra time), Kenny sebenarnya berhasil mencetak gol dan mengubah skor jadi 4-3 untuknya. Namun, setelah kick-off gol tadi, xbleU berhasil memberikan umpan terobosan. Meski pemain bertahan Kenny berhasil menghadang umpan tersebut, bola justru terlempar ke belakang yang mengakibatkan striker lawan berhadapan satu lawan satu dengan kiper. Lawannya pun berhasil menyamakan kedudukan 4-4. Di menit 120, lawannya pun menambah skor dari tendangan jarak jauh dan Kenny harus terhenti langkahnya.

https://twitter.com/i/status/1074057762672402434

Meski hasilnya tak maksimal di turnamen ini, Kenny tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ia justru mengaku mendapatkan banyak sekali pelajaran berharga dari sini. “Next pasti harus latihan dan bangkit lagi… Next week udah mulai online qualifications lagi untuk event di bulan Februari. Jadi harus fokus dan siap untuk bisa lolos main event lagi.” Cerita Kenny bersemangat.”

Itu tadi obrolan singkat kami bersama pemain dari SFI Esports ini. Bagaimana perjalanan Kenny selanjutnya ya? Semoga pengalamannya di London kemarin benar-benar bisa berbuah manis di waktu mendatang!

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Komunitas FIFA 19 Indonesia

RRQ: Tentang Sejarah, Ambisi, dan Prinsip ‘Sang Raja’

Buat para fans esports dalam negeri, keterlaluan rasanya jika Anda belum pernah mendengar nama Rex Regum Qeon (RRQ). Pasalnya, RRQ adalah salah satu dari organisasi esports terbesar dan terbaik yang ada di Indonesia.

Menariknya, walaupun mereka memulainya dari Dota 2, divisi mereka yang lebih baru (Point Blank, Mobile Legends, ataupun PUBG Mobile) justru lebih populer dan menuai prestasi yang lebih baik.

Divisi Mobile Legends mereka, RRQ.O2, boleh dibilang punya formasi pemain bintang di segala lini (role) saat ini. Tim tersebut merupakan tim terbaik di dunia persilatan Mobile Legends Indonesia sekarang berkat kemenangan mereka di MPL Indonesia Season 2. Mereka juga boleh dibilang tim nomor 1 di Asia Tenggara, jika tidak menghitung tim dari Filipina.

RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB
RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB

Di Point Blank (PB), RRQ.Endeavour juga punya segudang prestasi baik di tingkat nasional ataupun internasional. Tim ini adalah juara dunia PB di tahun 2017. Mereka juga jadi runner-up di kejuaraan dunia PB (PBIC) tahun 2018. Di tingkat nasional, RRQ.Endeavour selalu membuat lawan mereka ketakutan berkat ada dua pemain PB kelas kakap, Nextjack dan Talent.

Belakangan, RRQ juga menjadi juara dunia untuk PUBG Mobile di turnamen PUBG Mobile Star Challenge yang digelar di Dubai. Meski memang tim yang menjuarai turnamen ini bukan dari Indonesia tapi dari Thailand. RRQ.Athena adalah bentuk konkrit dari upaya RRQ melebarkan sayap ke Asia Tenggara.

Kali ini, kita akan membahas panjang lebar soal tim esports yang merupakan anggota keluarga grup MidPlaza Holding dari soal sejarah, ambisi, dan prinsip mereka. Karena itulah, kami mengajak berbincang CEO RRQ, Andrian Pauline (AP), untuk bercerita soal tim yang punya julukan ‘sang raja’ ini.

Sejarah Singkat RRQ

Peresmian kerja sama antara RRQ dan ASUS ROG. Dokumentasi: ASUS Indonesia
Peresmian kerja sama antara RRQ dan ASUS ROG. Dokumentasi: ASUS Indonesia

Seperti yang kami tuliskan sebelumnya, RRQ memang merupakan bagian dari MidPlaza Holding karena ia berangkat dari sebuah publisher game milik MidPlaza yang bernama Qeon Interactive.

Qeon Interactive merupakan publisher game yang didirikan tahun 2011. Di tahun 2013, Riki Kawano Suliawan, CEO Qeon Interactive, pun mengajak Andrian Pauline (AP) untuk membuat tim esports sendiri dan Dota 2 adalah pilihan pertama mereka. Meski sekarang RRQ merupakan salah satu tim terbesar, ternyata mereka baru di-manage secara profesional sejak tahun 2017.

AP bercerita bahwa dari 2013 sampai 2017 itu, Riki lah yang menanggung semua kebutuhan RRQ. Namun di 2017, grup MidPlaza setuju untuk serius menggarap RRQ. Saat itulah AP ditunjuk untuk menjalankan RRQ. Setelah RRQ jadi klub profesional, mereka pun kedatangan banyak sponsor sejak kuartal pertama 2018.

Antara Kemenangan dan Ketenaran

Satu perdebatan yang mungkin kerap terjadi di tingkatan manajemen organisasi esports besar sekelas RRQ adalah dilema antara prestasi dan exposure. RRQ sendiri, menurut saya pribadi, berhasil menyeimbangkan keduanya -setidaknya jika dibandingkan dengan organisasi esports besar lain di Indonesia.

Namun bagaimana sebenarnya tujuan utama dari RRQ?

AP mengatakan bahwa prioritas utama RRQ adalah jadi juara. “Orientasinya memang jadi juara. Fokus latihan karena itulah yang menjadi manifestasi dari seorang atlit. Popularitas itu adalah bonus tambahan.” Ujar AP serius.

Ia juga berargumen bahwa RRQ bisa saja menarik berbagai talent yang tinggi exposure-nya. Namun sampai hari ini, RRQ memang tidak punya ‘artis’ karena tujuan mereka memang bukan ke sana. Ia benar-benar ingin membangun dan mempertahankan winning team. Meski memang hal ini ia akui cukup sulit saat ini karena banyak tim baru yang bermunculan.

Meski begitu, AP juga menambahkan bahwa bukan berarti RRQ tidak berusaha mencari exposure lewat konten. “Kita bikin konten juga kok.”

Mengejar kemenangan mungkin memang kedengarannya lebih romantis, jika tak mau dibilang idealis, namun faktanya usia produktif para gamer profesional itu cukup pendek. Sekarang ini, para gamer profesional biasanya sudah ‘pensiun’ di usia 30 tahun.

Bukankah ketenaran bisa memperbesar peluang mereka untuk terus survive saat mereka tak punya panggung lagi di esports? Bagaimana AP menanggapi hal ini?

RRQ Endeavour saat jadi juara PBIC 2017. Sumber: RevivalTV
RRQ Endeavour saat jadi juara PBIC 2017. Sumber: RevivalTV

Ia pun mengaku bahwa RRQ mengembalikan lagi ke individunya masing-masing, apakah mereka ingin mencari panggung selagi masih punya kesempatan, namun RRQ sendiri juga menawarkan benefit yang tidak kecil.

Lagipula, ini yang paling menarik, buat para pemain ataupun orang-orang di belakang layarnya RRQ yang ‘pensiun’ di sini; grup MidPlaza Holding punya 20 perusahaan yang siap menampung. “Asal jangan minta jadi direktur aja hahaha…” Kata AP berseloroh.

Di sisi lainnya, AP mengatakan jika RRQ juga selalu mendorong para pemain untuk menyelesaikan studi mereka (di tingkat akademik). Muasalnya, ia percaya pendidikan itu sangat berguna untuk banyak hal di masa depan. Tak hanya soal skill, namun pendidikan juga membuat orang jadi punya attitude yang lebih bagus. Bagi RRQ, pendidikan itu nomor satu.

Kemaslahatan RRQ adalah yang paling Penting


Bulan Februari 2018, dunia persilatan Dota 2 di Indonesia sempat dibuat gempar berkat masuknya 2 pemain Dota 2 kelas berat ke RRQ. Kedua pemain tersebut adalah Rusman “Rusman” Hadi dan Rivaldi “R7” Fatah. Rusman sendiri adalah pemain yang digadang-gadang sebagai salah satu carry terbaik Indonesia, bersama dengan Muhammad “InYourDream” Rizky dan Randy “Fervian” Sapoetra.

Masuknya 2 pemain tersebut memang terbukti ampuh menghantarkan RRQ lolos kualifikasi untuk berlaga di GESC: Indonesia Minor. Kala itu, tim ini disebut-sebut sebagai tim Dota 2 terbaik di Indonesia karena para pemainnya. Namun demikian, malang pun tak dapat dihindari. Kenny “Xepher” Deo yang termasuk dalam jajaran pemain Dota 2 terbaik di Indonesia pergi meninggalkan RRQ untuk bermain di TNC Tigers (Malaysia).

Formasi mereka pun bisa dibilang berantakan tanpa shout-callers alias in-game leaders yang sekelas Xepher. Sampai hari ini, divisi Dota 2 RRQ pun seolah tenggelam (jika dibanding divisi lainnya yang prestasinya menyilaukan, yang saya tuliskan di awal artikel ini) karena belum mampu menemukan formasi ‘bintang’ yang dulu pernah dipegangnya.

Kala itu, RRQ sebenarnya bisa saja mempertahankan Xepher untuk terus bermain di sana namun mereka memutuskan untuk melepas pemain ini. Bagaimana pendapat AP soal ini?

Ega "Eggsy" Rahmaditya, pemain FIFA dari RRQ. Sumber: RRQ
Ega “Eggsy” Rahmaditya, pemain FIFA dari RRQ. Sumber: RRQ

Ia pun mengatakan bahwa RRQ selalu memberikan kesempatan para pemainnya untuk jadi lebih baik. “Kalau memang dia bisa lebih baik di tim sana, ya kenapa tidak? Kita tetap akan bantu support dia.” Lagipula, ia menambahkan bahwa kemaslahatan RRQ adalah yang paling penting. Kalau seorang pemain sudah tidak bahagia berada di tim tersebut, performanya pun juga tidak maksimal.

Ia juga bercerita bahwa suasana kekeluargaan di RRQ itu kental sekali. Jadi, ketidaknyamanan seorang pemain justru bisa mengganggu hal tersebut. RRQ tidak pernah takut kehilangan pemain karena pemain itu bisa saja datang dan pergi.

Rencana Ke Depan RRQ

Saat ini, RRQ punya 8 divisi, yaitu Dota 2, Mobile Legends, Point Blank, PUBG Mobile, PUBG, FIFA, AoV, dan CS:GO. Siapakah yang sebenarnya mengambil keputusan untuk penambahan divisi baru di RRQ dan bagaimana pertimbangannya?

AP bercerita bahwa ia dan jajaran manajemen yang menentukan divisi baru seperti apa yang ada di RRQ. Ia juga menjelaskan bahwa pertimbangan yang digunakan adalah soal kebutuhan dan tren pasar. “Cari game yang lagi rame, lagi dimainkan banyak orang. Tidak mungkin juga ambil game yang sepi karena ada pertanggungjawaban terhadap sponsor juga. Bagaimanapun, keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur bisnis juga sih.”

Melihat RRQ juga baru saja menggelar turnamen untuk pemain berusia maksimal 18 tahun, RRQ Under 18 Tournament – RRQ Next Generation, apakah hal ini berarti RRQ juga akan menjadi event organizer ke depannya? AP pun menjawab bahwa RRQ belum ada rencana ke sana sekarang. Saat ini, fokusnya adalah mempertahankan dan melebarkan prestasi tim karena itulah core mereka sebagai esports organization.

RRQ.Athena saat menjuarai PUBG M Star Challenge di Dubai. Sumber: PUBG Mobile
RRQ.Athena saat menjuarai PUBG M Star Challenge di Dubai. Sumber: PUBG Mobile

Itu tadi perbincangan kami dengan CEO RRQ. Bagi saya pribadi ataupun bagi para pemerhati esports lainnya, mengikuti perkembangan RRQ dari waktu ke waktu adalah sebuah kesenangan tersendiri.

Bagaimanakah RRQ di waktu yang akan datang? Apakah ia akan masih di jalurnya dan mewujudkan ambisi untuk terus mengejar dan mempertahankan prestasinya sebagai ‘sang raja’? Atau ia akan berkembang melebar dan menjadi satu raksasa esports Indonesia, mengingat mereka punya grup konglomerasi di belakangnya?

[Opini] Sikap Toxic Saat Bermain Game Online, Perlukah?

Perilaku toxic sudah lama menjadi masalah yang persisten di dunia game online, terutama game online kompetitif. Anda yang sering bermain game sejenis Dota 2, Mobile Legends, atau Overwatch pasti pernah bertemu dengan orang-orang dengan sikap seperti ini. Emosional, menyalahkan orang lain, menggunakan kata-kata kasar, dan merasa benar sendiri adalah beberapa karakteristik gamer yang toxic.

Tidak hanya pemain lain, jangan-jangan mungkin Anda sendiri pun pernah bersikap toxic ketika bermain game. Saya juga termasuk salah satu gamer yang memikul beban kesalahan ini. Sebagian orang menganggap bahwa sikap toxic adalah bagian dari permainan, dan mereka mendapat kesenangan dari melakukannya. Sebagian lainnya, seperti saya, tahu bahwa sikap ini salah, tapi tetap saja terkadang tidak bisa menahan diri untuk tak melakukannya.

Sebetulnya apa sih yang menyebabkan perilaku toxic muncul dalam diri kita? Apakah memang sikap ini tak bisa dihindari? Apa dampak yang ditimbulkannya, apakah selalu negatif atau ada sisi positifnya? Melalui tulisan ini saya akan mencoba mengajak Anda untuk merenung bersama. Bukan untuk menggurui atau menghakimi, tapi demi menciptakan ekosistem game yang lebih asik dan dapat dinikmati semua orang. Mari.

Mobile Legends
Sumber: MLBB Official Forum

Toxic adalah pilihan

Tidak ada definisi yang baku tentang apa itu perilaku toxic, tapi secara umum kita dapat mengartikannya sebagai perilaku yang merusak kenyamanan orang lain secara sengaja. Tipe perilaku toxic di setiap game bisa berbeda-beda, namun secara umum perilaku toxic di game online adalah interaksi sosial yang meliputi cyberbullying, mengganggu pemain lain, bertingkah usil/ngawur, main curang, dan sebagainya.

Seperti slogan salah satu acara televisi swasta populer dulu, perilaku toxic terjadi tidak hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Menurut riset yang dilakukan oleh Haewoon Kwak (Qatar Computing Research Institute), ada beberapa hal yang membuat game online rawan menjadi tempat munculnya perilaku toxic, antara lain:

  • Elemen kompetitif. Natur berbagai game online yang kompetitif membuat kita terdorong untuk mengutamakan kemenangan di atas segala-galanya, dan kita akan merasa bahwa game itu tidak fun bila kita tidak menang.
  • Anonimitas. Karena kita berlindung di balik nickname, dan kemungkinan besar tidak akan bertemu langsung dengan orang-orang yang bermain bersama kita, kita jadi merasa bahwa semua ucapan atau perbuatan kita di game online tidak memiliki konsekuensi.
  • Counterfactual thinking. Sebuah fenomena psikologi di mana ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, kita cenderung membayangkan kejadian alternatifnya. Sebagai contoh, “Andai tadi Marksman kita menyerang Lord, saat ini kita pasti sudah menang!” Counterfactual thinking bisa berdampak positif (bahan evaluasi), tapi juga bisa mendorong kita untuk menyalahkan orang lain.
  • Kultur sosial negatif. Ketika kita tumbuh di kalangan masyarakat yang individualis, tidak mengajarkan empati, atau senang melihat orang lain susah, tinggal menunggu kesempatan saja sebelum keburukan-keburukan itu muncul dari diri kita. Game online menawarkan kesempatan tersebut.
Overwatch
Blizzard selalu berusaha menjaga agar Overwatch jauh dari pemain toxic | Sumber: Blizzard

Kita bisa saja beralasan, bahwa perilaku toxic tidak akan terjadi apabila semua anggota tim bermain dengan baik. Tapi pada kenyataannya, sebaik apa pun permainan tim, dalam game kompetitif pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Statistik Dota 2 misalnya, menunjukkan bahwa rata-rata pemain di seluruh dunia hanya memiliki rasio kemenangan sekitar 50%. Itu artinya, kalah lima kali dari sepuluh pertandingan adalah hal yang normal. Bila Anda mempunya win rate hingga 60% atau bahkan 70%, Anda sudah layak jadi pemain esports profesional.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita bereaksi terhadap kekalahan tersebut? Menerima dengan lapang dada bahwa permainan lawan memang lebih baik, atau malah marah-marah, seperti pendukung olahraga tertentu yang membuat kerusuhan saat tim kesayangannya kalah? Kita mungkin tidak bisa mengendalikan hasil permainan, tapi setidaknya kita harus bisa mengendalikan diri.

Toxic itu asik, tapi…

“Trash talk is part of the game, bro,” demikian kata salah seorang pemain yang saya temui di sebuah match Dota 2 server Asia Tenggara. Ada sebagian orang yang menikmati perilaku toxic, terlepas dari hasil permainan itu sendiri apakah dia atau kalah. Mungkin tipe orang seperti ini juga senang melihat orang lain susah, setidaknya di dunia maya.

Tekken 7
Lebih baik fokus adu skill daripada adu makian | Sumber: Microsoft

Saya tidak bisa melarang atau mengatur apa yang membuat seseorang senang, dan saya rasa masuk akal bila ada orang yang mendapat kesenangan dari bersikap toxic. Mungkin dia sedang terkena fenomena superiority complex—dia menjatuhkan orang lain dan bersikap sombong di dunia demi menutupi kelemahannya di dunia nyata. Tapi satu yang mungkin dia tak sadar, kesenangan itu didapatkannya dengan mengorbankan kesenangan yang lebih besar: kemenangan.

Coba kita tanya kepada diri sendiri. Ketika ada tim kita yang bermain buruk, apakah dengan kita bersikap toxic maka dia akan bermain lebih baik? Ketika tim kita sedang kalah, apakah dengan memaki-maki teman setim maka kita akan berbalik menang? Saya rasa kita semua sudah tahu jawabannya. Tidak. Lalu mengapa kita tetap berlaku toxic?

Satu hal yang mungkin bisa jadi penjelasan atas perilaku ini, adalah bahwa kita bersikap toxic agar setidaknya kita mendapat suatu kesenangan meskipun sedang kalah. Kalah itu tidak enak, dan perilaku toxic bisa jadi pelampiasan untuk sedikit mengurangi rasa tidak enak tersebut. Tapi mental seperti ini adalah mental orang yang mudah menyerah.

Virtus.pro - Kuala Lumpur Major
Mental juara itu tidak putus asa di saat sulit | Sumber: PGL Esports

Ada sebuah jargon yang populer di dunia MOBA, yaitu, “Comeback is real.” Segawat apa pun kondisi permainan, selama kita tidak putus asa, selalu ada kemungkinan kita bisa mengembalikan keadaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh atlet Street Fighter terkenal, Daigo Umehara, dalam bukunya yang berjudul The Will to Keep Winning. Walaupun lawan punya keunggulan jauh, selama layar belum menunjukkan kata K.O., selalu ada peluang untuk meraih kemenangan.

Menurut saya, kemenangan yang diraih dengan susah payah hingga comeback seperti ini justru adalah kemenangan yang paling memuaskan. Tidak hanya puas karena menang, namun ada tambahan kepuasan karena kita berhasil lepas dari sebuah kondisi yang tidak menguntungkan. Menang melawan musuh yang kuat itu lebih berharga daripada menang melawan musuh yang jelas-jelas lebih lemah dari kita.

Boleh kompetitif, tapi tetap sportif dan positif

Anggaplah bermain game kompetitif sebagai sebuah marshmallow test. Perilaku toxic mungkin bisa membuat kita merasa senang atau hebat sesaat, tapi di jangka panjang, perilaku itu akan menumpuk dan mendatangkan kerugian bagi kita sendiri. Sebagai contoh, saya sering dengar orang mengeluh bahwa game MOBA kesukaannya sepi pemain, padahal salah satu penyebab sepinya adalah karena banyaknya pemain toxic yang membuat tidak betah.

Arena of Valor
MOBA kok…? (isi sendiri) | Sumber: Nintendo

Terlalu sering memaki atau menghina orang di dunia maya, lama-kelamaan juga bisa menular ke kehidupan nyata kita. Apalagi kata-kata kasar yang digunakan oleh para pemain toxic di game semacam Mobile Legends sudah cukup keterlaluan. Tidak hanya mengatai bodoh saja, sudah banyak yang sering memaki dengan membawa-bawa orang tua atau bahkan isu SARA. Dan kita tidak tahu, apakah pemain toxic itu remaja, bapak-bapak, atau anak SD, semuanya sama di balik perisai anonimitas internet.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kebiasaan toxic di game kompetitif. Contohnya seperti:

  • Sering-sering main fighting game. Meski sama-sama kompetitif, fighting game berbeda dengan game berbasis tim seperti MOBA atau beberapa first-person shooter. Dalam fighting game, satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas permainan adalah diri kita sendiri. Ini akan melatih mental kita untuk berani menerima kekalahan dan berintrospeksi, daripada menyalahkan faktor luar.
  • Mengikuti influencer dengan kepribadian positif. Di era informasi sekarang ini peran orang tua dalam mendidik anak semakin menipis. Sadar atau tidak, influencer seperti YouTuber atau streamer punya pengaruh besar dalam menumbuhkan kebiasaan seseorang. Agar kita tertular kebiasaan positif, sebaiknya hindari YouTuber yang toxic, dan sering-seringlah menonton YouTuber yang humble dan santai.
  • Bermain bersama teman. Sikap toxic muncul salah satunya karena kita bermain secara anonim. Bermain dengan orang-orang yang sudah kenal akan menghilangkan anonimitas tersebut, sehingga kita akan lebih terdorong untuk saling membantu. Rata-rata game online memiliki fitur semacam guild atau lobby, ini harus kita manfaatkan sebaik mungkin.
  • Mematikan chat. Terkadang kita bersikap toxic sebagai bentuk balasan atas pemain lain yang bersikap toxic duluan. Tidak ada salahnya kita matikan fitur chat untuk menghindari hal tersebut. Bisa jadi, tanpa chat justru kita akan bisa bermain lebih fokus sehingga lebih mudah memenangkan permainan.
Street Fighter V - Alex
Sakit? Salah sendiri | Sumber: Steam

Saat ini iklim esports Indonesia sedang tumbuh pesat. Namun pertumbuhan itu tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari komunitas gamer nonprofesional yang menjadi penggemar setia. Kita perlu terus menumbuhkan kultur positif agar game yang kita sukai bisa semakin menyebar luas dan menarik minat para penggemar baru.

Menghilangkan kebiasaan yang sudah berjalan lama memang tidak mudah, tetapi saya yakin kita bisa melakukannya. Bagaimana dengan Anda? Sudah sportifkah Anda hari ini?

Berkenalan dengan R-Tech, Jawara Tekken Indonesia yang Menantang Dunia

Sejak muncul di era PS1, Tekken telah menjadi salah satu seri fighting game yang paling digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Jumlah karakternya yang banyak, kontrol mudah dipelajari, serta tampilan 3D yang keren adalah “senjata” yang membuat seri ini begitu populer. Bermula dari permainan kasual, hingga kini banyak dimainkan secara kompetitif, popularitas Tekken tak pernah surut. Apalagi dengan kemunculan Tekken 7 yang juga dapat dimainkan di platform PC.

Komunitas Tekken di Indonesia pun, dibandingkan komunitas fighting game lainnya terbilang sangat aktif. Mereka yang bergabung dengan lingkaran Indotekken punya sederet pemain berprestasi, tak hanya di kompetisi lokal namun juga internasional. Salah satunya yaitu R-Tech yang beberapa waktu lalu menjadi juara Tekken 7 di Ultimo Hombre AXIS Pyramid League Jakarta. Ayo, kita berkenalan dengannya.

Bukan sekadar fighting game

Sama seperti banyak gamer yang tumbuh besar di era 90an, R-Tech pertama kali terjun ke dunia Tekken melalui Tekken 2. Saat itu, pria bernama asli Christian Samuel ini sebenarnya belum memiliki console PS1 sendiri. Ia hanya bisa bermain di rumah saudaranya. R-Tech mengagumi karakter King, dan ia gemar memainkan game ini walau dari segi teknik sendiri ia masih belum banyak mengerti.

R-Tech - Technofest 2018
R-Tech di kompetisi Technofest 2018 | Sumber: Dokumentasi R-Tech

Perkenalan R-Tech dengan komunitas Tekken terjadi di era tahun 2000an. Secara tak sengaja, ia melihat sebuah arcade cabinet Tekken Tag Tournament di Mal Taman Anggrek. Dari situ ia mengetahui bahwa ternyata Mal Taman Anggrek sering dijadikan tempat berkumpul dan bertarung para jagoan Tekken Jakarta setiap akhir pekan.

Sayangnya, saat itu R-Tech sendiri belum bisa dibilang termasuk dalam jajaran “jagoan”. Hingga era Tekken 6 (generasi PS3), R-Tech sebetulnya sudah berusaha mengikuti berbagai turnamen. Akan tetapi ia sadar bahwa skill yang dimilikinya masih jauh dari pemain-pemain lain. Baginya, daripada mengejar juara, turnamen hanya jadi ajang untuk bertemu teman dan berdiskusi saja.

“Meskipun ini sebuah game, saya mendapatkan banyak pelajaran kehidupan yang berguna. Jadi saya sangat bersyukur dikelilingi oleh teman-teman yang baik dan men-support saya,” demikian kata R-Tech saat diwawancarai oleh Hybrid. Lama berkecimpung di dunia Tekken membuat R-Tech menyadari bahwa Tekken bukan sekadar fighting game. Ada sesuatu dalam game ini yang lebih daripada itu. Ketika Tekken Tag Tournament 2 dirilis, R-Tech pun berkomitmen untuk mempelajari game tersebut secara lebih serius.

R-Tech - SEA Major 2013
Suasana SEA Major 2013 | Sumber: Dokumentasi Advance Guard

Sikat gelar kanan-kiri

Ditemani dua orang sahabat, R-Tech melatih tekniknya bermain Tekken Tag Tournament 2. Dedikasi ini rupanya menunjukkan hasil. Ia berhasil menjuarai berbagai turnamen di Jakarta. Kemudian pada tahun 2013, R-Tech mencoba peruntungan di kompetisi yang lebih tinggi. Ia ikut bertanding dalam turnamen Tekken Tag Tournament 2 di South East Asia (SEA) Major 2013. Turnamen ini diadakan di Singapura, dan juaranya akan mendapat seed point di Evolution Championship Series (EVO) 2013.

Dikelilingi oleh para petarung kawakan dunia seperti Tokido, Book, dan Dreamboat, R-Tech ternyata berhasil masuk ke posisi delapan besar. Hasil yang mengejutkan banyak orang, apalagi mengingat ini pertama kalinya R-Tech tampil di turnamen internasional. Pria yang kegiatan sehari-harinya diisi dengan wirausaha online serta forex trading ini bertarung mengandalkan dua karakter heavy hitter, yaitu Bryan Fury dan Jack-6.

Hingga saat ini, R-Tech telah membukukan banyak sekali prestasi. Termasuk di antaranya juara 1 Ultimo Hombre AXIS Pyramid League, juara 1 Technofest 2018, juara 2 Kraetingdaeng Indonesia Esports Championship (KIEC) 2018, juara 2 AMD Esports Fight! Championship 2018, dan lain-lain. Rival terberat R-Tech di dalam negeri, tak lain dan tak bukan, adalah Meat (Muhammad Adrian Jusuf). Seorang maestro Tekken yang sama-sama menggunakan karakter Jack sebagai andalan.

R-Tech kini tergabung ke dalam tim Alter Ego Esports, dan telah beberapa kali tampil di turnamen luar negeri. Di Berlin Tekken Clash 2018 misalnya, ia berhasil mencapai peringkat 13 (Top 16). Walau tak jadi juara, R-Tech sempat memberi kejutan ketika ia mengalahkan salah satu pemain terkuat Eropa, Tissuemon, saat di babak pool. R-Tech juga tampil di Tekken 7 SEA Major 2018, namun sayangnya ia kalah di pool oleh Fergus, pemain asal Irlandia.

R-Tech - Ultimo Hombre AXIS Pyramid League Jakarta
R-Tech di Ultimo Hombre AXIS Pyramid League Jakarta | Sumber: Dokumentasi R-Tech

Pemain Indonesia harus lebih mendunia

“Tekken 7 menurut saya adalah seri yang paling banyak diminati dibanding seri sebelumnya. Tidak hanya dari antusiasme, tetapi skill para player baru juga meningkat,” kata R-Tech ketika ditanya pendapat tentang ekosistem Tekken di Indonesia saat ini. Jika dibandingkan dengan fighting game lainnya di generasi ini (Street Fighter V, Guilty Gear Xrd, dsb), Tekken 7 memang jauh lebih berhasil dalam menyajikan pertandingan yang “hype”. Visual yang sangat bagus, ditambah fitur slow motion dan Rage Arts, membuat game ini seru sekali untuk dimainkan baik secara kasual ataupun serius.

R-Tech - Alter Ego Esports
R-Tech kini tergabung dalam tim Alter Ego Esports | Sumber: Alter Ego Esports

R-Tech sendiri berharap agar ke depannya lebih banyak tournament organizer maupun sponsor besar yang mau mengadakan kompetisi Tekken. Ia ingin game ini lebih banyak dikenal orang, juga ingin agar lebih banyak pemain Indonesia yang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.

“Besar harapan saya agar banyak player dari Indonesia yang mau berpartisipasi untuk mengikuti turnamen di luar Indonesia, karena mengikuti turnamen di luar (negeri) itu adalah pengalaman yang sangat berharga,” tutupnya.

Bagaimana Event Esports Berperan Sebagai Sarana Marketing dan Branding?

Di 2018 ini, selalu ada saja event esports yang berbeda setiap bulannya. Namun demikian, membuat event esports tatap muka, atau yang biasa disebut offline, butuh dana yang tidak sedikit juga.

Dari sejumlah obrolan off-the-record saya dengan beberapa penyelenggara ataupun sponsor event, ajang kompetitif tatap muka tadi yang berskala nasional atau lebih besar, kebanyakan – jika tidak bisa dibilang semua – butuh dana sampai miliaran Rupiah (sayangnya, saya tidak dapat merinci lebih spesifik tentang detail turnamen atau penyelenggaranya).

Karena besaran dana tadi, tentunya dibutuhkan para sponsor untuk saling bahu membahu menanggung besaran biayanya. Untungnya, event esports sendiri bisa berperan sebagai sebuah sarana pemasaran (marketing) ataupun penjenamaan (branding) buat semua yang terlibat di sana.

Kali ini, saya telah mengumpulkan 3 narasumber dari perspektif yang berbeda-beda yang akan berbagi pendapatnya mengenai peran event esports sebagai sebuah sarana marketing dan branding.

Peran Event Esports untuk Publisher Game dan Sponsor

AoV World Cup 2018. Sumber: Garena
AoV World Cup 2018. Sumber: Garena

Sebagai salah satu publisher game yang paling aktif mengembangkan ekosistem esports di Indonesia, tentunya tidak sah jika saya tidak mengajak Garena untuk membagikan pendapatnya di sini.

Ada 3 game yang mereka rilis sendiri yang (pernah) digarap cukup intensif esports-nya oleh Garena, League of Legends (LoL), Point Blank (PB), dan Arena of Valor (AoV).

Adalah Wijaya Nugroho, Business Development – Esports, Garena Indonesia, yang akan mewakili Garena Indonesia untuk menjadi salah satu narasumber kita kali ini.

Ia mengatakan “Garena melihat bahwa esports lebih dari sekedar sarana marketing/branding dari produk game. Esports juga merupakan salah satu sarana dari publisher/developer game untuk give back ke komunitas game itu sendiri dan menjadi katalis pertumbuhan industri game.”

Wijaya juga melanjutkan, “contohnya saat ini, stakeholder dalam industri (game dan esports) tidak hanya developer, publisher ataupun pemain, tetapi juga telah melebar ke pihak lain seperti video platform providers, tournament organizer, dan bahkan perusahaan-perusahaan lain yang menjadi sponsor dalam event-event dan klub esports.”

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Selain itu, buat developer ataupun publisher gameesports juga sebenarnya dapat memperpanjang umur (life-cyclegame itu sendiri; meski memang tidak mutlak menjadi satu-satunya faktor yang berpengaruh. Bagi Garena, esports dapat memperpanjang umur produk dengan menciptakan engagement antara game dengan pemainnya.

Ditambah lagi, Wijaya mengklaim, “perkembangan produk game Garena tidak terlepas dari peran para permainnya.”

Buat komunitas game itu sendiri, mekanisme esports secara otomatis mampu membentuk pemain loyal yang terus mengikuti pertandingan di berbagai tingkat turnamen yang diadakan. Garena juga percaya bahwa esports juga bisa menjadi ruang bagi para gamer untuk mengembangkan bakat dan minatnya masing-masing.

Meski begitu, banyak juga developer/publisher game yang masih percaya bahwa umur satu produk game lebih bergantung pada kualitas game itu sendiri; terlepas dari ada atau tidaknya esports-nya. Bagaimana Garena menanggapi pandangan tersebut?

Wijaya pun berargumen, “kita mungkin perlu mencoba membayangkan seperti apa industri game apabila tidak ada esports, mungkin tetap sama seperti tahun-tahun yang lalu: gamer hanyalah gamer, tidak ada tontonan pertandingan, tidak ada tim professional, tidak banyak brand lain yang masuk.

Memang benar bahwa tidak semua game memerlukan esports, tetapi tidak berarti esports tidak diperlukan. Esports telah membentuk ekosistem yang ada sekarang dan mengembangkan pasar industri game menjadi seperti apa yang kita ketahui saat ini.”

Itu tadi pendapat dari Garena tentang peran esports bagi developer/publisher game yang bersangkutan. Lalu bagaimana peran esports buat brand yang menjadi sponsor event?

Sumber: Lenovo
Sumber: Lenovo

Saya pun menghubungi Lenovo untuk mewakili brand yang kerap menjadi sponsor ajang esports. Mereka juga bahkan menjadi sponsor salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia, EVOS Esports.

Diantika, Consumer Marketing Lead Lenovo Indonesia, yang akan mewakili Lenovo untuk berbincang-bincang dengan saya di sini. Lenovo sendiri tak hanya menjadi sponsor berbagai event esports namun juga menggelar event mereka sendiri di Indonesia, seperti League of Champion untuk LoL, Rise of Legion untuk sejumlah game seperti Dota 2, PUBG, dan yang lainnya. Mereka juga bekerja sama dengan JD.ID untuk menggelar ajang esports buat para pelajar yang bertajuk High School League 2018.

Di tingkatan global, Lenovo juga dirangkul oleh Ubisoft untuk official PC dan monitor untuk game FPS Tactical mereka, Rainbow Six Siege (R6S).

Menurut Diantika, tujuan Lenovo mendukung esports karena mereka ingin berkembang bersama esports yang berkembang pesat sekarang ini. Menurutnya, gamer bertambah banyak jumlahnya dan mereka butuh perangkat yang mampu mengakomodir kebutuhan bermain game.

Lenovo juga bahkan pernah melakukan survei ke sejumlah warnet atau iCafe tentang pertanyaan apa saja yang diminta oleh para gamer dari brand. Dari survey tersebut, ada 3 jawaban tertinggi yang mereka dapatkan yaitu, kompetisi, workshop (pelatihan), dan promosi produk. Menariknya, dari 3 jawaban tadi, justru promosi produk lah yang menjadi jawaban terbanyak yang diminta gamer berdasarkan data internal Lenovo.

Dari jawaban survei tadilah, Lenovo pun menjalankan strateginya. Mereka telah menjalankan turnamen seperti yang saya tuliskan beberapa contohnya di atas. Bersama EVOS Esports, mereka juga telah mengadakan workshop di 5 kota di tahun 2017. Di workshop tersebut, EVOS Esports berbicara seputar esports seperti bagaimana caranya membangun tim esports.

EVOS Esports
Sumber: ESL

Lebih lanjut menjelaskan, Diantika malah mengungkapkan bahwa esports sendiri memang masih jadi satu-satunya sarana/strategi branding dan marketing untuk pasar gamer. Ia juga mengungkapkan bahwa pasar gamer sendiri memang sedikit berbeda dengan pasar yang lain. Gamer adalah loyalis. Mereka ingin terlibat dan mereka ingin cari tahu, belajar saat menonton pertandingan.

Sebagai contoh, Diantika juga menjelaskan strategi yang berbeda yang mereka gunakan untuk lini produk mereka yang lainnya. Strategi pemasaran di esports mereka memang dibuat untuk lini gaming Lenovo, yaitu Legion. Namun untuk lini produk mereka yang lain, Lenovo Yoga, yang diperuntukkan untuk anak muda dan profesional, mereka menggunakan cara yang berbeda.

Activity campaign-nya berbeda.” Ujar Diantika. Ia juga mengaku Lenovo memang tidak banyak menggelar event untuk target pasar Lenovo Yoga. Sedangkan target pasar Legion memang lebih banyak ke grass root. Esports memungkinkan Lenovo mendatangi langsung para gamer di tempat pasar ini berkembang cepat, yang kebanyakan berada di daerah pulau Jawa seperti Surabaya dan Bandung, karena gamers juga lebih butuh yang engage langsung dengan mereka.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Andrew Tobias, salah seorang yang cukup lama berkiprah di esports Indonesia juga sempat saya tanyai pendapatnya. Ia telah malang melintang di industri esports Indonesia sejak beberapa tahun silam sebelum akhirnya bergabung dengan Tencent untuk PUBG Mobile sebagai Esports Manager. Meski begitu, pendapatnya di sini bukan mewakili perusahaan gaming raksasa asal Tiongkok tadi, melainkan atas kapasitasnya sebagai ‘aktivis’ esports Indonesia.

Hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Diantika, Andrew juga mengutarakan bahwa brand atau vendor memang butuh orang-orang, tim, gamers yang bisa membantu mempromosikan produk. “Kalau tidak ada game atau esports-nya, lalu bagaimana cara promosinya?”

Saya sangat setuju dengan semua narasumber kita kali ini. Pasalnya, industri game dan esports sendiri memang pada dasarnya tak bisa dipandang sebagai bagian-bagian yang terpisah antara para stakeholders-nya. Game, perangkat, turnamen (event esports), dan profesional players memang saling membutuhkan satu sama lainnya.

Hitung-Hitungan (RoI) Event Esports

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Di era digital ini, industri advertising berevolusi jadi lebih transparan dan tepat sasaran dibanding saat jaman iklan tradisional. Perhitungan Return of Investment (RoI) pun jadi jauh lebih mudah dan transparan dibanding era sebelumnya karena ada banyak sekali takaran yang bisa digunakan di digital advertising mulai dari CPM (Cost per Miles), CPC ( Cost per Click), CPI (Cost per Installation), CPA (Cost per Activation), dan yang lain sebagainya.

Lalu, pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara menghitung RoI ketika sebuah brand atau vendor ingin menjadi sponsor event esports?

Muasalnya, pelaku bisnis tentunya ingin tahu seberapa besar keuntungan yang bisa ia dapatkan saat mereka menaruh investasi. Apalagi, seperti yang saya tuliskan tadi, digital advertising yang sekarang jadi mainstream untuk para pelaku bisnis mampu menawarkan kejelasan dari hitung-hitungan RoI.

Bagaimana cara meyakinkan sponsor baru, misalnya para pemilik brand non-endemicyang ingin terjun ke esports? Apakah event esports juga dapat membantu publishers atau developers mengenalkan game mereka ke masyarakat yang lebih luas?

Wijaya Nugroho mengatakan, “tidak semua hal dapat dikuantifikasi dalam hitung-hitungan, esports salah satunya. Dalam melakukan bisnis, kami di Garena percaya bahwa customer harus selalu ada di top-of-mind kami dan esports merupakan salah satu sarana bagi Garena untuk give back kepada komunitas game.”

Sedangkan untuk efektifitas esports dalam mengenalkan sebuah game, ia menjelaskan bahwa event esports sendiri butuh beberapa faktor penunjang lain dalam menentukan efektifitasnya, seperti publikasi sebuah event yang dapat menentukan tingkat pemaparan masyarakat terhadap event esports.

“Di sinilah rekan-rekan media memainkan peran besar mereka.”

GPL Spring 2018. Sumber: Garena
GPL Spring 2018. Sumber: Garena

Terlepas dari hitung-hitungan tadi, ia juga menambahkan satu hal yang tak kalah penting yaitu esports juga bisa digunakan untuk menyingkap sisi positif dari kegiatan bermain game. Kerjasama tim, kerja keras para pemain berlatih, penyusunan strategi, kepemimpinan seseorang dalam tim, dan sejumlah hal lainnya itu bisa disampaikan ke masyarakat untuk mengubah paradigma banyak orang tentang game dan industrinya lewat esports.

Hal tersebut mungkin memang termasuk salah satu keuntungan yang tak dapat dihitung dari esports. Muasalnya, tak dapat dipungkiri, salah satu tantangan yang dihadapi oleh para stakeholders dalam memajukan industri game dan esports memang ada di paradigma negatif kaum awam tentang kegiatan bermain game.

Andrew juga mengutarakan pendapat yang serupa karena perhitungan RoI di event esports memang tricky. Ia juga menambahkan karena ada banyak faktor yang bisa berpengaruh terhadap kesuksesan event esports sebagai sarana marketing. Misalnya saja, apakah produk sponsor tersebut cocok dengan target market dari event esports?

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Meski begitu, ia menjelaskan bahwa ia sendiri merasakan ada hype yang terbangun untuk PUBG Mobile dari PUBG Indonesia National Championship (PINC) 2018 yang digelar beberapa waktu lalu.

Untungnya, Diantika dari Lenovo memberikan jawaban yang lebih konkrit soal hitung-hitungan ini.

Lenovo sendiri memiliki 3 objective yang bisa dikejar saat mereka menggelar atau menjadi sponsor event esports, yaitu:

  1. Engagement Rate
  2. Partisipasi tim
  3. Click Through Rate (CTR)

Engagement Rate tadi bisa di-set targetnya sebagai salah satu tujuan dan target dari penyelenggaraan event.

Partisipasi tim juga bisa menjadi benchmark dalam penyelenggaraan event. Misalnya pun tak semua pendaftar bisa turut serta di turnamen karena keterbatasan slot, data tersebut bisa menjadi leads baru yang sangat berharga.


Kedua hal tersebut bisa membentuk para pengguna agar menjadi loyalist brand baru, yaitu orang-orang yang memang setia menggunakan merek-merek tertentu. Buat yang memang sudah cukup lama berkecimpung di industri gaming ataupun teknologi, hal ini tentunya sudah tidak asing lagi karena memang loyalist brand itu riil di sini.

Contohnya saja baik Apple ataupun Android punya fans loyalnya masing-masing. Demikian juga antara AMD dan NVIDIA, ataupun Intel.

Ditambah lagi, brand awareness yang bisa didapat saat menjadi sponsor juga tak kalah penting karena menurut Diantika, “awareness itu yang akan menjadi jembatan ke purchase (sales).”

Sedangkan untuk CTR, yang dimaksud di sini adalah seberapa banyak orang yang masuk ke dalam landing page dari promo campaign yang memang telah disiapkan berjalan bersama dengan event-nya.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Diantika mengakui memang saat ini belum ada measurement tools yang bisa digunakan untuk mengukur berapa konversinya. Maksudnya, apakah pembelian di saat promo tersebut memang di-drive oleh campaign tadi atau bukan.

Namun, biasanya yang mereka lakukan adalah menghitung penjualan sebelum dan sesudah campaign. Penjualan mereka memang faktanya naik berdasarkan pengamatan tadi namun boleh dibilang perhitungan ini juga masih berada di batas asumsi. Bukannya tidak valid juga, hanya saja korelasi yang masih memang belum ditunjukkan secara eksplisit.

Itu tadi obrolan saya dengan 3 narasumber kita soal peran esports sebagai sarana marketing/branding.

Saya tahu pembahasan kali ini mungkin masih terlalu dangkal untuk sebagian orang namun anggaplah saja ini bisa jadi pengantar untuk pembahasan-pembahasan lain yang lebih mendalam di lain waktu.

Umpan Lambung dari Liga1PES Menggarap Esports PES di Indonesia

Setelah beberapa waktu lalu kami membahas soal dunia persilatan fighting game di Indonesia bersama dengan Advance Guard, kali ini kita kembali membahas tentang satu lagi esports yang juga boleh dibilang minoritas, yaitu Pro Evolution Soccer.

Karena itulah, saya menghubungi Valentinus Sanusi, Founder Liga1PES, untuk berbincang. Liga1PES sendiri merupakan komunitas PES terbesar di Indonesia yang menjadi tempat berkumpulnya para gamer bola besutan KONAMI.

Kondisi Esports PES di Indonesia

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Untuk memulai perbincangan, saya pun menanyakan seperti apa kondisi ekosistem esports PES di Indonesia. “Untuk PES atau yang dulu dikenal dengan nama Winning Eleven itu bisa dibilang hampir tiap minggu ada lomba yang diadakan di rental PS (PlayStation) oleh komunitas ataupun pemilik rental.” Jawab Valentinus.

“Kita dari Liga1PES melihat apa yang dilakukan komunitas tadi tidak terwadahi dan terkelola dengan baik. Makanya, sejak tahun 2016, kita di Liga1PES mencoba untuk mengembangkan sistem kompetisi yang sifatnya nasional dan terstruktur bersama dengan rental-rental PS dan komunitas tadi,” tambahnya.

Seperti biasanya, sejak dahulu kala, seri PES selalu dibanding-bandingkan dengan FIFA rilisan EA. Keduanya, sekarang memang boleh dibilang minoritas karena platform mobile yang jadi mayoritas dari segi platform dan MOBA dari sisi genre (yang dibuntuti ketat oleh Battle Royale).

Bagaimana perbandingan kondisi esports antara FIFA dan PES di Indonesia? Sebelum Anda yang fans FIFA protes, lain kali kita akan ambil jawaban dari perwakilan FIFA Indonesia ya.

Valentinus pun bercerita cukup panjang soal ini. Kompetisi Liga1PES sudah memasukin tahunnya yang keempat. Lewat kompetisi ini, komunitas tidak hanya mencari pemain PES terbaik di level nasional namun mereka juga mencoba menyalurkan atau memberikan kesempatan bagi para pemain nasional untuk bertanding lagi di tingkat yang lebih tinggi, seperti di tingkat SEA (Asia Tenggara) ataupun internasional.

Muasalnya, Liga1PES akan membawa pemain terbaik Indonesia untuk bersaing lagi dengan pemain PES terbaik di ajang SEA melawan pemain-pemain dari negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, ataupun Myanmar.

“Jadi secara esports, saya bisa bilang PES jauh lebih unggul dibanding FIFA karena kita sudah memiliki sistem kompetisi skala nasional yang berjalan rutin, terkoneksi dengan kompetisi tingkat regional, dan saat ini juga kita sedang menjajaki kompetisi level internasional bekerja sama dengan komunitas di Eropa dan Amerika.”

Tantangan Esports PES di Indonesia

Satu hal yang menarik dari PES di Indonesia adalah game ini mungkin bisa dibilang game paling laris di jamannya, saat era PS1 dan PS2. Muasalnya, kemungkinan besar, PES merupakan game terlaris di setiap rental yang ada di Indonesia. Sebagian besar gamer, baik PC ataupun console, juga setidaknya pernah memainkan PES atau WE saat itu.

Namun demikian, seiring waktu dan perkembangan teknologi, PES pun meredup popularitasnya digantikan oleh MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) yang sekarang masih menjadi esports terlaris. PC dan console pun juga tergerus popularitasnya gara-gara platform Android.

Bagaimananakah Valentinus melihat hal tersebut?

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

“Saya rasa hal ini tidak berlaku di PES saja sih. Esports sendiri memang industri baru yang pertumbuhannya sangat luar biasa yang sayangnya masih didominasi oleh platform PC dan mobile.

Ia juga menambahkan banyak faktor yang berpengaruh terhadap popularitas PES yang menurun. Namun satu hal yang tak dapat dipungkiri, menurut Valentinus, adalah pasar mobile yang lebih besar ketimbang console. 

“Mayoritas penduduk Indonesia punya ponsel dan bisa akses game-nya tanpa ribet bawa-bawa TV seperti kita di konsol. Faktor ini yang saya rasa buat MOBA lebih cepat dan bahkan sangat cepat pertumbuhannya karena aksesnya yang sangat mudah.”

Lebih jauh menjelaskan, Valentinus juga percaya bahwa ada faktor pembajakan yang begitu kental di Indonesia yang membuat pihak publisher atau developer game console seolah ogah melirik dan mengeluarkan dana untuk pasar Indonesia.

Itu tadi kondisi yang spesifik dengan kondisi di Indonesia, bagaimana dengan di luar sana? Apakah PES juga bisa dibilang kurang laris di luar sana?

Valentinus pun mengatakan, “kalau di luar sendiri bukan dibilang kurang laris sih, hehehe… Namun memang kalah exposure saja.” Ia juga kembali mengatakan bahwa pasar console memang lebih segmented ketimbang PC ataupun mobile.

“Ibaratnya penggemar RPG sedunia juga lebih besar dari penggemar MOBA tapi perbandingan ini bukan apple-to-apple, seperti halnya membandingkan MOBA dengan PES.”

Valentinus juga percaya bahwa PES sebenarnya punya potensi pasar yang lebih besar dibandingkan genre lainnya. Pasalnya, PES merupakan genre olahraga dan sepak bola juga merupakan cabang olahraga favorit di Indonesia dan dunia.

Maka dari itu, ia pun berargumen bahwa lebih mudah untuk mengajak masyarakat awam untuk nonton esports bola dari genre lainnya. Hal ini juga terbukti dengan perkembangan pesat esports PES di dunia olahraga di negara-negara Eropa dan Asia. Klub-klub bola besar sudah mulai merekrut para pemain PES untuk menjadi wakil klubnya.

“Kancah esports PES di Thailand bahkan juga sudah didukung pemerintah dan KONAMI juga akan menggelar liga esports untuk klub-klub sepak bola Thailand. Dengan perkembangan ini, saya rasa exposure gabungan antara sepak bola dan esports game bola bakal jadi kombinasi yang luar biasa banget di tahun-tahun mendatang.”

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Dukungan Berbagai Pihak ke Komunitas PES

Meski memang nyatanya bisa dibilang kurang exposure di Indonesia, komunitas PES di Indonesia sudah mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.

Liga1PES yang memiliki visi untuk menjadikan gamer PES sebagai teladan masyarakat dan komunitas gamer sendiri dengan menjadi wadah bagi komunitas untuk bermain PES secara positif dan meraih prestasi baik di dalam ataupun luar negeri ini, menurut pengakuan Valentinus, telah mendapatkan dukungan dari True Digital Plus Indonesia, Telkom Group dan sejumlah partner lokal.

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Mereka juga punya hubungan dekat langsung dengan KONAMI. Liga1PES juga mengantongi lisensi (endorsement dan validasi) resmi dari KONAMI untuk turnamen mereka. Misalnya saja salah satunya adalah PES League Asia 2v2 di awal tahun ini (2018). Liga1PES bersama-sama dengan KONAMI menyelenggarakan kualifikasi di 7 kota dan juga online. Mereka juga berhasil membawa pemain-pemain Indonesia untuk bertanding di Bangkok, Thailand. Saat itu, Indonesia berhasil meraih posisi Runner-Up karena kalah dari Jepang di partai final.

Menyoal Asian Games 2018, Liga1PES juga turut andil di sana. Mereka didukung KONAMI untuk menyelenggarakan PES Party menjelang Asian Games kemarin. Liga1PES sendiri juga menjadi organizer untuk kualifikasi mencari wakil Indonesia di Asian Games 2018.

Valentinus juga mengatakan bahwa mereka bisa memberikan feedback langsung ke pihak KONAMI, baik dalam aspek game itu sendiri ataupun untuk urusan komunitas, esports, ataupun pemasaran mereka. Sebaliknya, KONAMI juga bisa mengakses perkembangan komunitas PES Indonesia melalui Liga1PES.

“Tentunya, dengan hubungan ini, kita sangat mengharapkan ada aksi konkrit yang bisa kita realisasikan di komunitas. Hanya saja, untuk setiap kebijakan atau program yang berhubungan dengan KONAMI selalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah.” Tutupnya.

Itu tadi obrolan singkat saya dengan Valentinus tentang komunitas PES Indonesia dan Liga1PES.

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Di satu sisi, mungkin memang benar apa yang dikatakannya tadi soal sepak bola yang mudah diterima banyak orang. Namun demikian, di sisi lainnya, game bola juga sebenarnya tidak hanya PES. FIFA besutan EA selalu menjadi rival beratnya.

Lain kali, saya akan mengajak perwakilan dari komunitas FIFA untuk mendengarkan pendapatnya. Namun satu hal yang pasti, pertarungannya sebenarnya bukan hanya pada komunitasnya. Andil KONAMI dan EA sendiri juga nantinya akan sangat berpengaruh besar atas perkembangan esports-nya, termasuk di Indonesia.

Saya pribadi inginnya dua-duanya sama besarnya dan sama populernya, bahkan dibanding MOBA sekalipun. Makanya, saya sengaja bawa-bawa nama FIFA di sini karena harapannya KONAMI seharusnya tambah panas jika EA yang lebih dulu investasi besar-besaran di Indonesia – demikian juga sebaliknya. Hahaha…

Terima kasih buat Valentinus yang sudah menuangkan waktu dan ceritanya di sini. Semoga komunitas PES dan Liga1PES semakin kuat ke depannya ya!

Pelajaran Penting yang Didapat EVOS Esports dari ESL Hamburg

Di akhir bulan Oktober 2018 kemarin EVOS Esports mendapatkan kesempatan untuk bertanding di salah satu ajang esports internasional, ESL One Hamburg, menggantikan TNC yang jadwalnya bertabrakan.

Mereka memang akhirnya harus pulang hanya dengan 1 kemenangan melawan compLexity Gaming di hari pertama. Namun demikian, tentunya pengalaman mereka bertanding di turnamen ini sangat berharga karena EVOS bisa bertemu dengan tim-tim tier 1 dunia.

Maka dari itu, saya pun menghubungi EVOS Esports untuk berbincang tentang pelajaran apa saja yang mereka dapatkan di Jerman. Saya memang menghubungi Aldean Tegar Gemilang, Team Manager untuk EVOS Esports, namun semua pertanyaan yang saya lontarkan dijawab semua oleh sang kapten tim, Adit “Aville” Rosenda.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Hybrid (H): Kemarin kan sempat menang sekali ya melawan compLexity Gaming. Menurut EVOS sendiri, kenapa bisa menang? Apa yang membedakan antara game pertama dan kedua?

EVOS (E): “Sebenarnya di game lawan compLexity, harusnya kita menang 2-0. Tapi di game 1, kita salah mengambil keputusan yang membuat kita sedikit lengah dan mereka mampu memanfaatkan hal tersebut dengan baik. Di game kedua, kita tidak memberikan celah sedikit pun jadi kita menang.”

H: Apa saja yang dipelajari dari pengalamannya bertanding di Hamburg?

E: “Banyak sekali yang kami pelajari, baik di dalam ataupun di luar game.

Kami banyak belajar tentang detail Dota 2 dari tim-tim Tiongkok. Mulai dari laning stage yang kuat dan juga pergerakan yang cepat dan terarah.

Kami juga banyak belajar soal improvisasi di game dari tim-tim barat, hal-hal unik yang tidak biasa untuk mengacaukan rencana lawan.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Di luar game, kami juga belajar tentang hal yang tak kalah penting yaitu cuaca dan jetlag. Hal ini tidak terlalu kami pertimbangkan pada awalnya namun malah menjadi faktor penghalang yang cukup mengganggu. Cuaca di sana sangat dingin sehingga membuat kondisi pemain jadi tidak fit.

Kami juga harus merasakan jetlag selama 6 jam sehingga menambah kondisi tambah parah. Kondisi seperti itu sangat tidak ideal apalagi ketika kalian lagi sakit dan harus bertanding sampai jam 1-3 pagi.”

H: Turnamen terakhir yang skalanya sebesar ini kan WESG 2017 ya. Apa sih bedanya menurut EVOS?

E: “Hal yang paling terasa beda adalah atmosfernya sih. Atmosfer turnamen yang bisa dibilang setara Major (untuk ESL Hamburg). Tim-tim papan atas dunia benar-benar menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya untuk bisa jadi juara.

Hal-hal lain seperti persiapan turnamennya, pelayanannya, fasilitas yang diberikan, semuanya terasa lebih profesional karena memang ditangani oleh salah satu organiser terbaik di dunia Dota 2.

Kalau WESG lebih terasa nasionalismenya.”

H: Menurut EVOS sendiri, apa sih yang kurang dari tim Dota 2 nya sekarang? Apalagi sekarang EVOS kan sudah merasakan melawan tim-tim tier 1 dunia.  E: “Pasti banyak kurangnya… Tapi kita tidak bisa menyebutkan karena esports kan dunia kompetitif. Satu hal yang pasti semua pengalaman yang kita dapat pasti jadi pelajaran kita ke depannya untuk jadi tim yang lebih baik.” H: Untuk turnamen internasional setelah ini apa targetnya? Apakah yakin hasilnya akan lebih baik? E: “Turnamen internasional selanjutnya yang jadi target kita pasti Major dan Minor kuartal 2, kualifikasinya mulai akhir November. Sangat yakin (jadi lebih baik).”

Itu tadi perbincangan singkat kami tentang pengalaman EVOS di ESL Hamburg. Benarkah mereka akan jadi lebih baik lagi di turnamen internasional berikutnya? Sangat kita nantikan.