HTC Vive Wireless Adapter Siap Dipasarkan di Bulan September Seharga $300

Mobile VR dan wireless VR adalah dua hal yang berbeda. Mobile VR yang diwakili oleh perangkat seperti Samsung Gear VR atau Oculus Go memang sudah pasti wireless, akan tetapi performanya tidak akan bisa menyamai VR headset berbasis PC macam HTC Vive Pro.

Wireless VR di sisi lain bertujuan untuk menyajikan kenyamanan dan kepraktisan ekstra bagi pengguna VR headset kelas berat macam Vive Pro itu tadi. Caranya tentu dengan ‘memotong’ kabel yang menjadi perantara headset dan komputer, dan dalam konteks Vive Pro, HTC telah menyiapkan solusinya dalam wujud Vive Wireless Adapter.

Aksesori ini pertama diumumkan bersama Vive Pro itu sendiri, akan tetapi detail lebih lengkapnya baru dibeberkan baru-baru ini, lengkap beserta jadwal rilis dan harga jualnya. Namun sebelumnya, mari membahas sebentar mengenai apa kelebihan yang ditawarkannya, apalagi mengingat aksesori lain dengan fungsi serupa sudah lebih dulu eksis.

Vive Wireless Adapter

Aksesori lain yang saya maksud itu adalah TPCAST. Dibandingkan TPCAST, Vive Wireless Adapter lebih unggul soal performa berkat pemakaian teknologi konektivitas WiGig. WiGig menjanjikan latency yang sangat minim (lag dan delay minim) berkat transmisi sinyal di frekuensi 60 GHz, frekuensi yang ‘sepi’ dari gangguan perangkat-perangkat wireless lain.

Alhasil, HTC mengklaim performa yang ideal bisa dicapai hingga jarak sejauh 6 meter dari PC yang tersambung secara wireless (4,5 meter jika dipakai bersama Vive orisinil). Sebanyak tiga Wireless Adapter sekaligus juga dapat digunakan secara bersamaan di ruangan yang sama.

Untuk skenario multiplayer ini, masing-masing headset yang dilengkapi Wireless Adapter haruslah tersambung ke satu komputer, yang berarti di ruangan tersebut wajib ada tiga komputer. Komputernya juga harus memiliki slot PCIe 1x yang lowong, sebab ada komponen pemancar sinyal (transmitter) yang harus dipasangkan.

Vive Wireless Adapter

Satu hal yang perlu dicatat, pengguna Vive Wireless Adapter masih akan berjumpa dengan kabel, hanya saja bukan kabel yang menyambung ke komputer, melainkan kabel dari Adapter ke sebuah power bank QuickCharge 3.0 berkapasitas 10.050 mAh. Dalam satu kali pengisian, power bank itu bisa menyuplai daya hingga 2,5 jam penggunaan.

Wujud Vive Wireless Adapter sendiri terbilang ringkas, berbentuk seperti huruf “T” dengan bobot cuma 129 gram. Untuk menggunakannya, ia hanya perlu disematkan ke strap bagian atas, dan seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, ia kompatibel dengan Vive Pro maupun Vive orisinil.

Kapan konsumen bisa membelinya? Pre-order Vive Wireless Adapter dibuka pada tanggal 5 September mendatang, lalu pemasarannya berlanjut di 24 September. Harganya $300 untuk Vive orisinil, sedangkan untuk Vive Pro harganya $360 sebab ada “compatibility pack” tambahan yang perlu dibeli, semua sudah termasuk gratis langganan Viveport selama 2 bulan.

Sumber: VentureBeat dan Vive.

HTC Ungkap Vive Pro dengan Resolusi dan Tingkat Kenyamanan Lebih Tinggi

Persaingan di ranah virtual reality diprediksi bakal kembali menguat di tahun 2018 ini, utamanya berkat kategori headset baru bertipe standalone macam Oculus Go dan HTC Vive Focus. Namun bagi HTC, mereka rupanya belum lupa akan segmen VR high-end yang juga didudukinya. Bukti dari komitmen mereka tersaji melalui Vive Pro.

Vive Pro adalah suksesor sejati Vive orisinil. Tidak seperti Vive Focus yang mengutamakan aspek kepraktisan, Vive Pro benar-benar mengedepankan performa di atas segalanya. Ia masih harus tersambung ke PC berspesifikasi kelas atas, tapi resolusi display OLED-nya kini naik menjadi 2880 x 1600 pixel (615 pixel per inci), atau nyaris 80% lebih tinggi.

Peningkatan resolusi berarti semuanya akan tampak lebih tajam di Vive Pro, termasuk halnya judul game AAA macam Fallout 4 VR. Tidak hanya visual yang diprioritaskan, audio pun turut dijunjung tinggi lewat sepasang headphone yang kini terintegrasi dengan perangkat, seperti Oculus Rift.

HTC Vive Pro

Desain fisik Vive Pro juga sudah dirombak secara cukup signifikan, yang kini berbalut warna biru sehingga bakal tampak senada dengan Vive Focus. Strap kepalanya dipastikan bisa terasa lebih nyaman, dan pengguna sekarang bisa menyesuaikan distribusi bobot antara bagian belakang dan depan headset secara manual.

Juga baru adalah kehadiran sepasang mikrofon dengan teknologi noise cancelling aktif, serta sepasang kamera yang menghadap ke depan layaknya sepasang mata seperti di Vive Focus. HTC bilang bahwa penambahan ini dimaksudkan untuk merangsang kreativitas developer, menjadi indikasi akan gameplay yang lebih variatif pada koleksi konten Vive ke depannya.

Vive Wireless Adaptor

Bersamaan dengan Vive Pro, HTC juga mengumumkan Vive Wireless Adaptor. Sesuai namanya, aksesori ini dirancang untuk menyulap Vive maupun Vive Pro menjadi wireless, menggantikan peran kabel dalam meneruskan data dari PC ke headset.

Dibandingkan produk serupa yang sudah ada di pasaran, macam TPCAST, kinerja perangkat ini diyakini jauh lebih unggul berkat pengadopsian teknologi WiGig rancangan Intel. WiGig pada dasarnya memungkinkan perangkat untuk beroperasi di frekuensi 60 GHz yang minim gangguan, sehingga latency pun bisa ditekan secara cukup drastis.

Sayangnya sejauh ini HTC masih bungkam soal harga dan ketersediaan Vive Pro maupun Vive Wireless Adaptor. Dalam kesempatan yang sama di gelaran CES 2018, HTC turut mengumumkan versi baru platform Viveport VR yang telah didesain ulang menjadi lebih immersive, serta kemitraannya bersama Vimeo melalui Vive Video.

Sumber: HTC Vive.

Intel Demonstrasikan Prototipe Google Daydream yang Dapat Menjalankan Game untuk HTC Vive

Bulan Juni lalu, Intel memodifikasi VR headset HTC Vive menjadi wireless. Namun Intel rupanya tidak puas dengan satu ide saja guna mewujudkan tren wireless VR. Baru-baru ini, giliran Google Daydream View yang mereka utak-atik hingga bisa menjalankan game dari platform SteamVR.

Daydream yang berbasis smartphone memang sudah masuk kategori wireless, akan tetapi ketergantungannya dengan smartphone membuatnya tidak mampu menjalankan konten yang lebih berat, macam yang dikembangkan untuk HTC Vive. Intel membuktikan kalau anggapan itu salah.

Mereka pun menunjukkan sebuah Google Daydream yang berpenampilan agak nyeleneh. Di dalamnya memang terpasang ponsel Google Pixel, tapi di bagian depannya ada sebuah Vive Tracker yang menancap. Melengkapi semua itu adalah sepasang controller milik HTC Vive.

Tim Wareable yang mencobanya langsung lalu menjalankan game VR eksperimental karya Valve sendiri yang berjudul The Lab. Game ini bukannya dijalankan oleh ponsel yang terpasang, melainkan di-stream dari sebuah PC di dekat area demonstrasinya via Wi-Fi.

Intel turns Daydream into Wireless VR

Kualitas grafiknya memang tidak sebagus yang kita bisa dapati pada Vive yang tersambung langsung ke PC, dan perwakilan Wareable juga menjumpai problem latency meski tidak sampai membuatnya merasa mual. Terlepas dari itu, tracking headset dan kedua controller-nya masih bisa berjalan dengan lancar.

Rahasianya terletak pada pembagian kerja antara smartphone dan PC. Hampir semua pemrosesan ditangani oleh PC, sedangkan smartphone yang terpasang bertugas untuk menerapkan teknik timewarp, memproyeksikan ulang grafik yang di-render berdasarkan pergerakan kepala guna mengurangi latency.

Intel memang tidak punya rencana pasti akan kelanjutan dari ide ini. Pun begitu, ke depannya bukan tidak mungkin konsep ini dapat diterapkan, sehingga pada akhirnya VR bisa lebih menyebar luas karena konsumen tidak harus membayar terlalu mahal untuk HTC Vive; mereka bisa sekadar membeli headset Daydream, base station dan controller untuk menikmati konten SteamVR.

Sumber: Wareable.

AMD Akuisisi Nitero Guna Berfokus pada Segmen Wireless VR

2017 sepertinya bakal jadi tahunnya wireless VR. Yang saya maksud di sini bukanlah Gear VR dan teman-teman sejawatnya, melainkan headset seperkasa Oculus Rift atau HTC Vive, namun yang tidak perlu tersambung ke PC menggunakan kabel, memungkinkan pengguna untuk lebih leluasa bergerak dalam sesi VR gaming.

Indikasi yang pertama adalah tether-less upgrade kit besutan TPCAST, kemudian ada pula Quark VR yang belum lama ini juga mendemonstrasikan prototipe perangkat serupa. Yang ketiga datang dari nama yang jauh lebih besar, yakni AMD.

Produsen prosesor dan kartu grafis tersebut baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Nitero, sebuah perusahaan yang memang tengah mematangkan teknologi wireless virtual reality. Menurut AMD, akuisisi ini bertujuan untuk menyajikan solusi terhadap permasalahan yang kerap dijumpai pada VR headset beserta sederet kabelnya.

Teknologi yang dikembangkan Nitero mencakup sebuah transmitter 60 GHz yang sanggup meneruskan konten dari PC ke VR headset secara nirkabel dengan latency yang minimal, alias hampir tidak ada lag. Sejauh ini baik TPCAST, Quark VR maupun Nitero masih belum benar-benar bisa membuktikan seminim apa latency yang bisa dicapai teknologinya masing-masing.

Sampai titik ini belum ada kejelasan terkait produk seperti apa yang akan AMD luncurkan nanti. Apakah berupa aksesori untuk Rift dan Vive – seperti yang dilakukan TPCAST dan QuarkVR – atau malah sebuah headset baru hasil rancangannya sendiri?

Saya pribadi menduga AMD akan lebih memilih opsi yang pertama, spesifiknya untuk HTC Vive. Bukan karena Vive lebih superior atau apa, tapi karena Valve sendiri merupakan salah satu investor utama di Nitero, dan akuisisi ini dapat berujung pada kerja sama antara AMD dan Valve, yang notabene bertanggung jawab atas sistem tracking pada Vive.

Sumber: UploadVR dan AMD.