Riot Games Luncurkan Liga Nasional League of Legends di Belanda dan Belgia

Riot Games baru-baru ini dikabarkan akan meluncurkan liga nasional League of Legends untuk dua negara berbeda, yaitu Belanda dan Belgia. Untuk penyelenggaraannya, Riot menggandeng perusahaan siaran asal Belgia yaitu 4Entertainment, dan menyediakan hadiah sebesar total 25.000 Euro (sekitar Rp390.000.000) untuk masing-masing liga.

League of Legends Belgian League dan League of Legends Dutch League musim pertama akan diikuti oleh enam tim, dan direncanakan untuk berkembang menjadi delapan tim di musim-musim berikutnya. Seperti halnya liga-liga yang sudah ada, liga Belgia dan Belanda ini juga akan dibagi menjadi dua musim dalam setahun, yaitu Spring Split dan Summer Split.

Pertandingan perdana kedua liga akan digelar pada tanggal 20 Januari 2020, kemudian tim-tim peserta akan menjalani musim selama delapan minggu. Empat tim teratas berhak maju ke babak playoffs, kemudian juara liga akan maju ke turnamen European Masters serta membawa pulang hadiah senilai 7.500 Euro (sekitar Rp116,9 juta).

Di samping liga reguler ini, Riot juga berencana menggelar turnamen National Finals dengan hadiah 10.000 Euro (sekitar Rp155,9 juta) setelah masing-masing Split berakhir. Ini masih ditambah dengan program Open Tour, yaitu wadah kompetisi untuk para pemain dan tim League of Legends amatir atau semiprofesional. Informasi lebih lanjut tentang Open Tour akan diumumkan di tahun 2020.

Sebelum adanya LoL Belgian League dan LoL Dutch League, Riot Games menggabungkan negara Belanda dan Belgia sebagai satu wilayah kompetisi yaitu Benelux (Belgium, Netherlands and Luxembourg), dengan liga yang bernama Benelux Premier League (BPL). Kini BPL ditiadakan, dan dengan dua liga baru tersebut akan menjadi jalur kualifikasi pengganti untuk European Masters. Laga European Masters selama ini dikenal sebagai “batu loncatan” bagi tim atau pemain yang ingin naik kelas ke League of Legends European Championship (LEC).

Menariknya, pemain-pemain dari wilayah Benelux dibebaskan untuk memilih liga mana yang mereka ikuti. Jadi jangan kaget bila ada pemain Luksemburg di liga Belgia, atau ada pemain Belgia di liga Belanda. Riot Games juga akan menghadirkan konten-konten bernuansa lokal, termasuk menyiarkan liga dalam bahasa Belanda, bahasa Flandria/Flemish (bahasa resmi Belgia), dan bahasa Perancis.

“Kami berharap dapat menghadirkan pengalaman esports yang mendebarkan lewat ekosistem yang sustainable kepada para tim dan fans. Dua liga bari ini akan mewakili level kompetisi tertinggi dari masing-masing negara dan akan membantu memperkokoh ekosistem esports Benelux dengan cara memberikan lebih banyak keteraturan dan framework bagi tim-tim untuk meningkatkan level,” ujar Damien Ricci, Head of Esports France & Benelux di Riot Games, dilansir dari Esports Insider.

Ia menambahkan, “Liga-liga ini akan mengikuti kalendar kompetisi internasional kami dan akan memberikan para penggemar kesempatan mengonsumsi konten reguler tentang tim-tim lokal dan talenta-talenta lokal baru. Pengalaman serta keahlian 4Entertainment akan membantu kami memastikan kesuksesan liga-liga ini dalam hal image serta kualitas konten yang diberikan pada komunitas.”

Sumber: Dot Esports, Esports Insider, LoL Esports

WWE Ditengarai Akan Luncurkan Liga Esports, Daftarkan Trademark di Amerika

Organisasi gulat profesional World Wrestling Entertainment, alias WWE, baru-baru ini dikabarkan telah mendaftarkan sebuah trademark dengan dua nama, yaitu “WWE SGL” dan “Superstar Gaming League”. Trademark tersebut didaftarkan pada tanggal 11 November 2019 kepada United States Patent & Trademark Office (USPTO).

Berikut ini deskripsi trademark yang dimaksud, dilansir dari situs resmi USPTO:

“Layanan hiburan, tepatnya, produksi dan distribusi dari pertunjukan yang sedang berlangsung dalam bidang video game; layanan gaming dalam bidang penyelenggaraan turnamen game komputer online; penyediaan sistem berbasis web dan portal online untuk konsumen yang berpartisipasi di online gaming, operasi dan koordinasi turnamen game, liga dan tur untuk keperluan permainan game komputer rekreasional; pengorganisasian kompetisi game elektronik; layanan hiburan, tepatnya, penyediaan game komputer online; penyediaan rating dan review untuk konten video game; layanan hiburan, tepatnya, penyediaan situs web yang menampilkan game; layanan hiburan, tepatnya, penyedian review online untuk game komputer; layanan gaming dalam bidang penyelenggaraan turnamen game komputer; pengorganisasian kompetisi game elektronik.”

WWE 2K20
WWE 2K20 | Sumber: 2K

Pihak WWE sendiri saat ini masih belum meluncurkan pengumuman resmi. Akan tetapi dari nama yang didaftarkan serta deskripsinya, kita dapat menyimpulkan bahwa trademark tersebut merupakan merek untuk acara kompetisi dan penciptaan konten berbasis esports. WWE sendiri bukan pendatang baru di dunia video game. Sudah lebih dari satu dekade mereka telah menyediakan lisensi untuk berbagai game, termasuk salah satu yang paling baru yaitu WWE 2K20 terbitan 2K Sports.

Di samping WWE sebagai organisasi, bintang-bintang WWE pun sudah cukup banyak yang dikenal aktif di dunia gaming, bahkan esports. Contohnya Kenny Omega dan Xavier Woods, yang sudah cukup lama dikenal sebagai pemain serta figur publik di komunitas Street Fighter.

Organisasi gulat profesional lainnya yaitu AEW (All Elite Wrestling) malah sudah lebih dahulu terjun ke dunia esports. Mereka beberapa waktu lalu menjalin kerja sama dengan organizer acara Community Effort Orlando (CEO) untuk menghadirkan hiburan gulat ke panggung CEO 2019. Tampaknya kini WWE tidak mau kalah dan hendak mengambil langkah yang sama. Apakah keterlibatan gulat dalam esports akan menjadi tren di masa depan?

Sumber: SEScoops, USPTO, WWE

Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

FaZe Clan Luncurkan Toko Apparel, Ingin Seperti Supreme di Dunia Fashion

Sebagai salah satu tim esports populer dunia, FaZe Clan sudah cukup lama melakukan penjualan merchandise. Kaos, hoodie, serta jersey tim adalah beberapa contoh produk yang mereka tawarkan. Selama ini penjualan tersebut dilakukan oleh FaZe Clan secara online saja, tapi sekarang hal itu telah berubah. FaZe Clan telah membuka sebuah toko fisik untuk pertama kalinya.

Toko tersebut berlokasi di Melrose Avenue, sebuah distrik perbelanjaan di Los Angeles yang terkenal sebagai destinasi utama para pecinta fashion. Toko ini dibuka pada tanggal 16 November 2019 kemarin, dalam event yang digelar berkolaborasi dengan perusahaan perlengkapan olahraga Kappa. Menurut laporan The New York Times, FaZe Clan juga telah menjalin kolaborasi dengan beberapa brand fashion lain seperti Champion, New Era, dan 24karats.

FaZe Clan x Kappa
Kolaborasi FaZe Clan dan Kappa | Sumber: FaZe Clan

FaZe Clan dari luar memang terlihat sebagai sebuah organisasi esports, tapi sebetulnya di dalamnya mereka lebih dari itu. Setidaknya demikian pandangan Lee Trink, CEO dan co-owner FaZe Clan. Ia berkata bahwa FaZe Clan ibarat Dallas Cowboys, Supreme, dan MTV digabung jadi satu. “Sesuatu seperti kami belum pernah ada sebelumnya,” kata Trink kepada The New York Times.

Bisnis FaZe Clan meliputi banyak hal, mulai dari bisnis e-commerce direct-to-consumer, penjualan merchandise dan apparel, studio produksi konten, bisnis manajemen talenta, tim agensi periklanan mini yang bertugas mencari kerja sama dengan brand, hingga divisi teknologi yang bertugas mengembangkan software untuk kebutuhan para talenta mereka. Organisasi ini meliputi 34 kreator konten, 15 atlet esports profesional, serta 11 kreator hibrida yang merupakan atlet sekaligus entertainer.


View this post on Instagram

FaZe Arcade popup store @ 7312 Melrose @fazeclan x @kappa #Repost @20ftbear

A post shared by Lee Trink (@leetrink) on

Para anggota FaZe Clan memandang organisasi mereka sangat keren, dan mereka ingin menularkan semangat tersebut kepada masyarakat. Mereka ingin menunjukkan bahwa gaming ada untuk siapa saja, bukan untuk anak-anak atau remaja laki-laki saja. “Semua orang adalah gamer. Anda bermain game di smartphone? Anda adalah gamer. Ibu saya yang bermain Farmville adalah gamer. Olahraga adalah mentalitas gaming. Jika Anda pernah memainkan suatu olahraga, Anda adalah gamer,” demikian ujar FaZe Banks, anggota FaZe Clan yang terkenal sebagai pemain Call of Duty.

Seperti halnya Supreme yang tumbuh besar dari dunia stakeboarding, FaZe Clan ingin bisa menciptakan bisnis apparel yang tumbuh sejalan dengan lingkungan gaming. Mereka belakangan juga aktif mengusung gamer perempuan, salah satunya FaZe Ewok alias Soleil Wheeler yang baru bergabung di bulan Juli lalu. Sejalan dengan pembukaan toko baru ini pun, FaZe Clan akan menawarkan lebih banyak pilihan apparel untuk perempuan. FaZe Banks menyebut momen pembukaan toko ini sebagai “momen legendaris”, kita lihat saja apakah mereka mampu menyaingi Supreme nantinya.

Sumber: Tubefilter, The New York Times, FaZe Clan

Capcom Ungkap Street Fighter V: Champion Edition di CPT 2019 NA Regional Finals

North America Regional Finals (NARF) 2019 adalah ajang terakhir Capcom Pro Tour 2019 sebelum kita menyambut Capcom Cup di bulan Desember nanti. Di samping itu, NARF 2019 juga menyediakan sebuah turnamen terbuka (open tournament) dengan tingkatan Super Premier. Bisa ditebak bahwa ajang ini akan menjadi salah satu kompetisi paling seru di CPT 2019, dan NARF 2019 benar-benar tidak mengecewakan.

Digelar di Las Vegas HyperX Esports Arena pada tanggal 16 – 17 November kemarin, NARF 2019 menghadirkan 8 pemain Street Fighter di wilayah Amerika Utara untuk memperebutkan tiket ekspres ke Capcom Cup. Di antara mereka semua, NuckleDu merupakan favorit juara sebab ia menduduki peringkat 1 di North America Regional Leaderboard. Dan benar saja, pria yang dalam waktu dekat akan menjadi seorang ayah itu berhasil meraih trofi NARF 2019 setelah mengalahkan Punk di Grand Final.

CPT 2019 NARF - NuckleDu
NuckleDu, juara CPT 2019 NARF | Sumber: NuckleDu

Akan tetapi posisi NuckleDu di Global Leaderboard sebetulnya sudah cukup tinggi untuk membuatnya lolos ke Capcom Cup 2019. Karena itu, jatah slot Capcom Cup dari NARF 2019 ini diberikan ke pemain lain sesuai dari urutan Global Leaderboard. Pemain yang beruntung mendapat jatah tersebut adalah Smug (Bryan Huggins).

Terkenal sebagai pemain R. Mika dan Guile, musim ini NuckleDu mampu tampil meyakinkan dengan karakter G. Lucunya, bila Anda menonton pertandingan NARF 2019 maka Anda akan melihat NuckleDu tampil dengan nama sponsor “My Wallet”. Sebetulnya saat ini NuckleDu tidak memiliki sponsor, dan untuk candaan maka ia berkata bahwa ia disponsori oleh dompetnya sendiri. “Sponsor” itu bahkan memiliki akun media sosial, dengan nama NuckleDu’s Wallet.

Hasil akhir CPT 2019 North America Regional Finals:

  • Juara 1: My Wallet | NuckleDu
  • Juara 2: RECIPROCITY | Punk
  • Juara 3: END | Shine
  • Juara 4: SONICBOXX | 801 Strider
  • Juara 5: UYU | JB
  • Juara 5: iDom
  • Juara 7: Terrence
  • Juara 7: El Chakotay

Penampilan NuckleDu di turnamen Super Premier juga tak buruk. Ia berhasil lolos hingga Grand Final, namun akhirnya kalah oleh pemain Hong Kong yaitu HotDog29 (Yeh Man Ho). Di Super Premier ini NuckleDu menggunakan berbagai karakter, mulai G, Cammy, R. Mika, hingga Guile yang ia mainkan di Grand Final. NuckleDu menunjukkan dirinya mampu menguasai banyak karakter sekaligus, tapi ia tetap harus mengakui bahwa kali ini, M. Bison milik HotDog29 lebih unggul.

CPT 2019 NARF - HotDog29
HotDog29 pulang membawa hadiah US$50.000 | Sumber: Capcom Fighters

Di samping kedua finalis, NARF 2019 Super Premier juga dihadiri oleh banyak sekali pemain hebat dari negara-negara lain. Termasuk di antaranya Fuudo, Tokido, Gachikun, Xian, Bonchan, Kichipa-mu, Big Bird, dan banyak lagi.

Peringkat Top 8 NARF 2019 CPT Super Premier:

  • Juara 1: TALON | HotDog29
  • Juara 2: My Wallet | NuckleDu
  • Juara 3: MOUSESPORTS | Problem X
  • Juara 4: Red Bull | Bonchan
  • Juara 5: SONICBOXX | 801 Strider
  • Juara 5: RECIPROCITY | Punk
  • Juara 7: LIQUID | Nemo
  • Juara 7: FAV | Sako

Seperti sudah dijanjikan oleh Yoshinori Ono bahwa akan ada sesuatu yang baru di NARF 2019, Capcom telah menyiapkan pengumuman besar di sini: peluncuran edisi terbaru Street Fighter V, dengan judul Street Fighter V: Champion Edition! Versi ini akan mengandung nyaris seluruh konten Street Fighter V yang pernah ada, termasuk 40 karakter, 34 arena pertarungan, dan lebih dari 200 kostum. Konten yang tidak masuk ke Champion Edition hanya kostum edisi terbatas (Fighting Chance), kostum Capcom Pro Tour, dan kostum kolaborasi dengan brand lain.

Secara gameplay, Champion Edition ini akan menghadirkan mekanisme baru berupa V-Skill alternatif untuk seluruh karakter. Seperti perubahan dari Street Fighter versi vanilla ke Arcade Edition, perubahan gameplay ini juga akan diberikan pada seluruh pemain secara gratis. Kita hanya perlu membayar/membeli bila ingin memperoleh karakter-karakter dan kostum barunya.

Street Fighter V: Champion Edition akan dirilis pada tanggal 14 Februari 2020, dengan harga yang cukup murah yaitu US$29,99 saja (sekitar Rp422.000). Para pemain yang sudah memiliki Street Fighter V versi apa pun bisa membeli DLC Upgrade Kit dengan harga US$24,99. Mungkin terasa agak aneh karena perbedaan harga membeli baru dengan Upgrade Kit tidak terpaut jauh, tapi menurut saya sendiri US$24,99 untuk mendapat seluruh karakter dan ratusan kostum itu bukan harga yang buruk. Anggap saja semacam subsidi silang.

Capcom juga merilis trailer untuk karakter baru yaitu Gill yang sebelumnya telah muncul di Street Fighter III: 3rd Strike. Gill bisa dibeli secara terpisah dengan harga US$5,99 mulai Desember 2019, tapi ia juga akan masuk ke dalam roster Street Fighter V: Champion Edition pada Februari 2020 nanti. Gill merupakan karakter ke-39 dalam game ini. Karakter ke-40 tampaknya akan diumumkan dalam ajang Capcom Cup 2019, tanggal 13 – 15 Desember nanti.

Sumber: Capcom Unity, Capcom Pro Tour

Kritik Keras Richard Lewis Atas Kebiasaan Buruk Para Jurnalis Esports

Akhir pekan lalu (16 – 17 November 2019) rasanya banyak sekali event penting yang berhubungan dengan esports terjadi. Di dunia Mobile Legends misalnya, kita melihat ada pertandingan M1 yang akhirnya dimenangkan oleh EVOS Esports. Selain itu di dunia fighting game ada dua turnamen besar digelar bersamaan, yaitu Capcom Pro Tour 2019 North America Regional Finals dan ArcRevo America 2019. Sementara itu di London, Inggris, digelar acara Esports Awards 2019 untuk memberi penghargaan kepada para tokoh esports yang keberadaannya telah menimbulkan dampak untuk industri ini.

Salah satu kategori penghargaan tersebut adalah Esports Journalist of the Year, yang jatuh ke tangan Richard Lewis. Lewis adalah seorang jurnalis senior asal Wales yang telah menulis untuk sejumlah situs esports ternama, termasuk di antaranya VPEsports dan Dexerto. Sebelumnya, Lewis sudah pernah mendapat penghargaan serupa di tahun 2016 setelah ia membongkar skandal situs judi CSGOLotto. Dan di tahun 2019 ini, Lewis adalah jurnalis yang mengungkap kasus rasisme di dalam Echo Fox, yang akhirnya berujung pada keluarnya Rick Fox dan bubarnya Echo Fox.

Ajang penghargaan ini digunakan oleh Lewis untuk menyampaikan sebuah kritikan terhadap kondisi jurnalisme esports yang telah menjadi semakin ramai di seluruh dunia. Menurut Lewis, belakangan banyak perusahaan media eksternal (dari luar esports) yang ingin ikut bersuara dan bercerita tentang esports. Ia memberi contoh tiga media besar yaitu Waypoint, Kotaku, dan Polygon. Media-media seperti ini kerap kali memberitakan esports dengan pendekatan yang buruk.

“Mereka terus-menerus mempermalukan diri sendiri dengan menulis artikel-artikel yang menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap scene kita, tidak adanya narasumber, dan opini tidak orisinil tentang topik-topik yang sudah kita bicarakan sampai habis selama kurang lebih 20 tahun,” ujar Lewis.

Media-media seperti ini, kata Lewis, suka menulis artikel hit-piece (artikel yang dibuat menggiring opini publik) serta suka menulis artikel yang mencemarkan nama baik orang lain. Basis artikel mereka bukanlah fakta, namun hal-hal ambigu dan bahkan terkadang kebohongan. Lewis kemudian memberi beberapa contoh artikel yang dimaksud, misalnya artikel tentang seorang pemain Overwatch perempuan bernama Ellie, yang ternyata tidak ada. Ellie adalah nama alias milik pemain lain.

Lewis lanjut berkata bahwa kesalahan semacam ini seharusnya tidak terjadi seandainya para jurnalis itu mau melakukan pengecekan fakta sedikit saja. Sejumlah hadirin di acara Esports Awards 2019 merespon kritikan Lewis dengan standing applause. Beberapa pelaku esports kemudian juga menyatakan dukungannya pada pandangan Lewis lewat Twitter, termasuk di antaranya Adam Apicella (pendiri Esports Engine dan mantan VP Activision Blizzard).

Menurut Lewis, respons positif ini menunjukkan betapa banyaknya orang yang telah menjadi korban dari pemberitaan-pemberitaan seperti di atas. Lewis juga berkata bahwa hal yang mendorong dirinya untuk menyerukan kritik keras ini adalah karena pengalaman buruk yang diterima oleh beberapa orang. Seperti Colin Moriarty, DrDisrespect, dan Totalbiscuit.

Meski demikian, Lewis mengakui bahwa ada jurnalis-jurnalis dengan latar belakang non-esports yang mampu menghasilkan konten berkualitas. Secara khusus ia menyebut seorang jurnalis Kotaku, Cecilia D’Anastasio, yang menurut Lewis layak menjadi salah satu nominasi Esports Journalist of the Year. Lewis juga mengingatkan para audiens bahwa jurnalisme yang baik bukanlah sebuah kompetisi.

Esports adalah sebuah ekosistem yang sebetulnya sudah berjalan lama dan punya sejarah puluhan tahun, akan tetapi baru beberapa tahun terakhir saja meledak jadi lebih mainstream. Mengikuti perkembangan tren, wajar bila kemudian makin banyak pihak yang ingin “mencelupkan kaki” ke dunia esports, termasuk dari industri media.

Sayangnya, ada pihak-pihak yang enggan mengeluarkan energi untuk mempelajari ekosistem ini lebih mendalam, atau menjalin hubungan lebih dekat dengan para pelaku industrinya demi pemberitaan yang akurat dan bermutu. Membuat konten-konten sensasional memang bagus untuk memancing traffic dalam waktu singkat. Tapi bila kita ingin menumbuhkan ekosistem esports yang sehat dan berkelanjutan, kita harus mau berinvestasi untuk jangka panjang, dan menghindari hal-hal yang disebutkan oleh Richard Lewis.

Sumber: Esports News UK, Esports Awards 2019

Atlet Esports Butuh Pembekalan Psikologis untuk Menghadapi Tekanan Kompetisi

Menjadi atlet esports dan atlet olahraga konvensional memang jelas berbeda dari sisi kegiatan yang dilakukan, akan tetapi sebetulnya kedua profesi ini juga punya banyak kemiripan. Disamping sama-sama membutuhkan tubuh yang sehat, atlet esports rupanya juga menghadapi tantangan psikologis yang sama seperti atlet biasa.

Dilansir dari ScienceDaily, fakta ini dikemukakan oleh sejumlah peneliti yang melakukan riset di University of Chichester, Inggris. Dalam riset tersebut, mereka menemukan bahwa atlet-atlet esports menghadapi 51 jenis tantangan psikologis dalam kegiatan mereka berkompetisi di ajang besar. Termasuk di antaranya adalah masalah komunikasi, serta kesulitan dalam bertanding di hadapan penonton. Kondisi mental serupa juga terjadi pada atlet profesional lainnya, misalnya atlet sepak bola atau rugbi, yang bermain di kompetisi level tinggi.

Esports telah menjadi bisnis jutaan poundsterling yang menarik audiens dari seluruh penjuru dunia, tapi masih sedikit riset tentang faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi para pemain,” ujar Dr. Phil Birch, dosen senior psikologi olahraga dan gerak badan di University of Chichester sekaligus co-author dari riset di atas.

University of Chichester - Esports Programme
University of Chichester memiliki program studi esports dengan gelar BA (Hons) | Sumber: University of Chichester

“Kami menemukan bahwa para gamer terpapar stres yang signifikan ketika bertanding di kontes tingkat tinggi. Dengan mengisolasi stresor-stresor ini, kita dapat membantu para pemain esports mengembangkan coping strategy untuk menghadapi stresor-stresor tersebut dan mengoptimalkan performa ketika sedang bermain di level tertinggi,” ujarnya.

Riset ini telah diterbitkan di International Journal of Gaming and Computer-Mediated Simulations (IJGCMS), dengan judul jurnal “Identifying Stressors and Coping Strategies of Elite Esports Competitors”. University of Chichester memang dikenal sebagai salah satu kampus yang meneliti gaming dari sudut pandang saintifik. Mereka juga memiliki program studi esports dengan gelar Bachelor of Arts with Honors alias BA (Hons).

Salah satu stresor kunci yang muncul di antara para pemain ketika mereka berada dalam situasi tertekan adalah buruknya komunikasi. Ketika hal ini terjadi, para pemain dapat merespons kondisi tersebut dengan cara menjadi agresif terhadap satu sama lain, atau justru menghindari komunikasi sama sekali. Keduanya sama-sama mengakibatkan turunnya performa.

Rob Black
Rob Black, COO ESL UK | Sumber: Birmingham City University

Untuk menghadapi masalah-masalah seperti ini, para peneliti merekomendasikan supaya atlet-atlet esports diberikan pembekalan psikologis untuk mempelajari teknik-teknik guna menghadapi situasi-situasi tersebut. Harapannya, dengan demikian para atlet bisa lebih siap berada di lingkungan kompetisi level tinggi yang penuh tekanan. Untungnya, organisasi-organisasi esports sudah banyak yang menyadari masalah ini dan mengambil tindakan. Contohnya seperti EVOS Esports yang di tahun 2019 ini telah mendatangkan psikolog untuk membantu atlet-atletnya.

Chief Operating Officer ESL UK, Rob Black, membenarkan apa yang diungkap dalam riset Dr. Phil Birch dan kawan-kawannya. Ia berkata, “Sebagai industri kami sudah lama tahu bahwa stresor pada pemain-pemain top dapat memberi dampak negatif bagi performa mereka. Studi ini membuktikannya dan memperkuat apa yang telah kami suarakan selama bertahun-tahun. Butuh pengembangan lebih jauh di area ini, dan hal itu akan jadi kunci untuk memastikan jumlah pemain (esports) profesional terus tumbuh di seluruh dunia.”

Sumber: ScienceDaily, IGI Global, Dot Esports

Arslan Ash Jadi Pemain Pakistan Pertama yang Disponsori Red Bull

Nama Arslan Siddique alias Arslan Ash belakangan ini tentu sudah tidak asing lagi di kalangan penggemar fighting game, khususnya Tekken. Tidak seperti kebanyakan atlet esports lain yang mendaki tangga karier secara perlahan-lahan, Arslan muncul secara tiba-tiba dan langsung membuat kegemparan setelah ia mengalahkan Knee di tahun 2018.

Pencapaiannya menjadi pemenang EVO Japan dan EVO Las Vegas di tahun yang sama tidak hanya membuat sejarah, tapi juga mengangkat nama Pakistan jadi negara yang disegani di dunia esports. Seolah mengendarai ombak yang diciptakan Arslan, pemain-pemain Tekken hebat dari Pakistan kini semakin bermunculan di panggung internasional, seperti Imran Khan, Awais Honey, dan Atif Butt.

EVO 2019 - Tekken 7 Champion
Arslan Ash ketiak menjuarai EVO 2019 | Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Arslan Ash sebetulnya sudah memiliki sponsor dari tim esports lokal yang bernama vSlash eSports. Tim ini tidak hanya menaungi atlet-atlet dari Pakistan, tapi juga negara-negara MENA (Middle East and North Africa) lainnya. Di samping Tekken, vSlash eSports memiliki atlet yang bertanding di cabang Street Fighter, The King of Fighters, Samurai Shodown, hingga Counter-Strike: Global Offensive.

Namun baru-baru ini ia mengumumkan kabar yang cukup menggembirakan. Arslan telah dikontrak oleh Red Bull untuk menjadi salah satu bagian dari roster Red Bull Gaming. Ia menjadi pemain asal Pakistan pertama yang bergabung dengan jajaran atlet Red Bull, bersama dengan pemain-pemain hebat lainnya termasuk Bonchan (Masato Takahashi) sang juara EVO 2019, Big Bird (Adel Anouche) sang juara Eropa CPT 2019, serta Gachikun (Tsunehiro Kanamori) yang menjuarai Capcom Cup 2018.

Ini bukan berarti Arslan Ash akan keluar dari tim vSlash eSports. Sponsor yang diberikan Red Bull Gaming sifatnya adalah sponsor pribadi, jadi ia bisa terus bermain dengan tim lamanya namun sambil juga menyandang atribut Red Bull. Sponsorship personal seperti ini memang hal yang lumrah di dunia esports fighting game. Daigo Umehara contohnya, bahkan memiliki empat sponsor berbeda, yaitu dari Red Bull, Twitch, HyperX, dan Cygames.

Penampilan terakhir Arslan Ash baru-baru ini adalah turnamen Tekken 7 bernama ROXnROLL Dubai. Sayangnya di turnamen tersebut ia tidak menjadi juara, dan harus puas finis di peringkat 5. Arslan Ash juga menggelar acara fighting game di kampung halamannya, kota Lahore, Pakistan. Di sana Arslan memberi kesempatan pada beberapa pemain Tekken lokal untuk melakukan sparring melawan dirinya di atas panggung.

Perjalanan Arslan Ash di dunia esports Tekken baru saja dimulai, dan selain berjuang untuk dirinya sendiri, Arslan Ash juga akan terus berusaha mengembangkan komunitas kompetitif di negara asalnya. Bisakah Arslan Ash menjuarai Tekken World Tour 2019 Finals di Bangkok pada bulan Desember nanti?

Sumber: Arslan Ash, Mehak Majid

Capcom Rilis Siaran Street Fighter League Japan untuk Audiens Internasional

Bila kita berbicara tentang esports Street Fighter, kompetisi pertama yang muncul di pikiran pastilah Capcom Pro Tour. Akan tetapi sebenarnya game ini memiliki satu wadah kompetisi lain yang baru diluncurkan pertama kali di tahun 2019, yaitu Street Fighter League. Liga ini digelar di dua negara, terdiri dari Street Fighter League Pro-US di Amerika, dan Street Fighter League Pro-JP di Jepang.

Keunikan Street Fighter League (SFL) adalah bahwa liga ini bukan berisi pertandingan satu lawan satu, melainkan team battle tiga lawan tiga. Setiap tim terdiri dari satu orang pemain profesional—seperti Punk, Daigo, atau Tokido—sebagai kapten, ditambah dua orang pemain semi profesional atau amatir. Nantinya, juara SFL Pro-US akan berhadapan dengan juara SFL Pro-JP dalam ajang Street Fighter League World Championship yang digelar berbarengan dengan Capcom Cup 2019.

Street Fighter League Pro-JP - Strategy Time
Unsur strategi dalam SFL memberi keseruan tersendiri | Sumber: Capcom Fighters TV

Kita bisa menikmati tayangan SFL Pro-US lewat channel YouTube resmi Capcom Fighters atau lewat Facebook Live di official page Street Fighter. Sementara untuk SFL Pro-JP, tayangannya ada di channel YouTube terpisah yaitu di channel Capcom Fighters JP. Masalahnya, karena liga ini disiarkan live, kita yang tak fasih berbahasa Jepang tentu kurang bisa menikmati siaran tersebut. Memang menonton pertarungan saja tanpa paham apa yang dibicarakan juga sebenarnya sudah cukup seru, tapi kita jadi tidak bisa mencerna unsur strategi, diskusi, dan wawancara yang juga jadi bagian dari Street Fighter League.

Kini, di momen yang sudah semakin dekat dengan SFL World Championship, Capcom akhirnya merilis siaran SFL Pro-JP dengan subtitle bahasa Inggris untuk audiens internasional. Keseruannya jelas berbeda karena kita tidak menonton secara live, tapi bila Anda tak masalah dengan tayangan ulang, maka saya sangat merekomendasikan Anda menonton SFL Pro-JP ini. Sebab SFL Pro-JP dihadiri oleh banyak sekali pemain “dewa” sehinga level kompetisinya pun tinggi sekali.

Berikut ini adalah daftar tim dan pemain yang berpartisipasi dalam SFL Pro-JP:

  • Umehara Gold: Daigo Umehara, Fujimura, Kawano
  • Itazan Ocean: Itabashi Zangief, Moke, Dogura
  • Mago Scarlet: Mago, Machabo, Yuji
  • Fuudo Gaia: Fuudo, Bonchan, Shuto
  • Nemo Aurora: Nemo, Kichipa-mu, John Takeuchi
  • Tokido Flame: Tokido, Gachikun, Haku

Satu hal lagi yang membuat Street Fighter League seru adalah, sebelum pertandingan masing-masing tim punya kesempatan untuk melakukan ban terhadap satu karakter. Jadi Anda akan melihat kombinasi pemain dan karakter apa yang paling ditakuti oleh para pemain Jepang, serta bagaimana mereka beradaptasi ketika karakter andalan mereka tidak bisa dipakai.

Untuk sekarang Capcom baru mengunggah video SFL Pro-JP sebanyak dua episode. Semoga saja masih akan terus bertambah hingga ajang SFL World Championship nanti. Bila Anda punya waktu senggang selama satu setengah jam dan butuh hiburan esports berkualitas, Anda harus mencoba menonton SFL Pro-JP. Dijamin tidak rugi.

Sumber: Capcom Fighters TV, EventHubs

Analis Ungkap 4 Kunci Sukses Free Fire di Asia Tenggara dan Amerika Latin

Bila kita berbicara tentang battle royale, pikiran kita pasti akan langsung tertuju pada dua game battle royale terbesar di dunia: Fortnite dan PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). Akan tetapi sebetulnya ada game lain yang diam-diam juga punya kesuksesan besar, bahkan melampaui Fortnite dan PUBG di beberapa negara. Game itu adalah Free Fire, battle royale besutan 111dots Studio dan Garena yang kini jadi kekuatan dominan di Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

Seberapa populerkah Free Fire? Menurut sebuah siaran pers dari Garena, Free Fire di pertengahan 2019 memiliki lebih dari 450 juta pengguna terdaftar, dan lebih dari 50 juta peak daily users. Pendapatan game ini juga cukup besar, dengan laporan dari Sensor Tower menunjukkan revenue di kuartal pertama tahun 2019 saja mencapai US$90.000.000 (sekitar Rp1,26 triliun).

Brasil menjadi negara dengan popularitas tertinggi di dunia Free Fire, dan menyumbang sekitar 31% dari pendapatan total. Negara kedua tertinggi adalah Thailand yang menyumbang 11% dari revenue keseluruhan. Mengapa game ini bisa begitu sukses, terutama di wilayah Asia Tenggara dan Amerika Selatan? Belum lama ini Henri Brouard, seorang analis di NetEase Games, mengutarakan pendapatnya lewat situs Gamasutra.

Bisa main di smartphone “kentang”

Hal pertama yang diutarakan Brouard adalah target pasar Free Fire yang memang ingin menjangkau negara-negara berkembang. Garena memastikan bahwa game ini bisa berjalan lancar di perangkat-perangkat berspesifikasi rendah. Brouard menyebutkan data dari Device Atlas, yang menunjukkan bahwa perangkat yang paling banyak ditunakan untuk memainkan Free Fire di kuartal kedua tahun 2019 adalah iPhone 7 dan Samsung Galaxy J2. Smartphone yang terakhir ini hanya memiliki RAM sebesar 1,5 GB dan storage antara 8-16 GB.

Free Fire - Screenshot
Free Fire tidak butuh spesifikasi tinggi | Sumber: Garena Free Fire Indonesia

Untuk memainkan Free Fire secara lancar, para pengguna memang hanya dituntut memiliki RAM 1 GB serta storage sebesar 900 MB. Ini jauh lebih rendah daripada misalnya PUBG Mobile, yang butuh RAM di atas 2GB serta storage 1,5 GB lebih. Free Fire juga menyediakan pilihan setting visual, sehingga pemain di smartphone canggih bisa mendapatkan pengalaman yang lebih baik.

Gameplay super kasual

Free Fire didesain dari awal agar mudah dimainkan siapa saja dan tidak butuh waktu lama. Ketika game dimulai, jumlah pemainnya adalah 50 orang. Artinya satu ronde bisa berakhir lebih cepat, rata-rata sekitar 10 menit saja. Bangunan juga tidak memiliki pintu atau jendela, sehingga pemain tidak bisa bersembunyi dengan mudah di dalamnya. Hal ini ditambah dengan elemen-elemen lain yang mempercepat permainan, seperti high loot area serta drone yang bisa menunjukkan lokasi musuh.

Free Fire - 10 Minutes
Permainan kasual dengan durasi 10 menit | Sumber: Google Play

Dari segi kesulitan, Free Fire menyediakan fitur aim assist yang cukup ekstrem, lebih ekstrem dari game shooter atau battle royale lainnya. Begitu ekstremnya sampai-sampai kursor akan tetap mengunci musuh meskipun mereka bergerak ke arah lain. Di samping itu, ketika pemain melakukan zoom senjata, kursor akan berubah menjadi warna merah bila musuh terkunci. Semua fitur bantuan ini menjadikan Free Fire game yang ramah bagi mereka yang tak terbiasa bermain game shooter.

Monetisasi dengan elemen RPG

Sekilas monetisasi Free Fire mungkin terlihat biasa saja. Pemain bisa mendapatkan imbalan cukup dengan bermain, dan akan mendapat imbalan ekstra bila membeli season pass. Game ini juga menawarkan fitur gacha (Luck Royale) yang akan memberikan item secara acak. Pemain bisa menggunakan mata uang gratisan ataupun premium untuk memainkan Luck Royale ini.

Free Fire - Characters
Battle Royale dengan elemen RPG | Sumber: Google Play

Perbedaan Free Fire dengan battle royale lainnya adalah bahwa game ini memiliki elemen serupa RPG. Di Free Fire, pemain bisa memilih satu dari puluhan karakter berbeda, dan masing-masing karakter ini memiliki keahlian berbeda pula. Sebagian karakter bisa didapatkan secara gratis, tapi ada juga yang harus dibeli dengan mata uang premium. Karakter-karakter ini kemudian bisa di-upgrade agar menjadi lebih kuat, dan tentunya proses upgrade itu akan lebih cepat bila menggunakan mata uang premium.

Ini masih ditambah lagi dengan adanya berbagai item yang akan memberikan keuntungan, seperti mengisi ulang HP, memanggil peti airdrop, dan sebagainya. Dengan mengabiskan lebih banyak uang, pemain bisa mendapat sedikit keuntungan dibandingkan pemain lainnya, dan ini memberikan daya tarik tersendiri.

Merangkul komunitas lokal

Free Fire sangat gencar dalam menapakkan kakinya di pasar lokal, dan ini dilakukan lewat sejumlah aspek berbeda. Hal pertama yang langsung terlihat adalah kanal media sosial resminya terpisah berdasarkan negara. Anda bisa menemukan akun Facebook, Twitter, bahkan YouTube Free Fire khusus untuk pasar Indonesia, Brasil, India, dan sebagainya.

Free Fire - Dia de los Muertos
Event Dia de los Muertos di Free Fire | Sumber: Free Fire South America

Pendekatan kedua adalah pengembangan konten-konten dengan nuansa lokal. Free Fire memiliki event khusus bertema Karnaval Brasil, Dia de los Muertos (perayaan Meksiko), karakter Monkey King (Tiongkok), dan masih banyak lagi. Selain itu, game ini juga banyak mengambil inspirasi dari film atau game lain yang terkenal. Anda bisa menemukan kostum yang mirip Joker, karakter yang mirip John Wick, dan banyak lagi.

Pendekatan lokal berikutnya adalah esports. Di negara-negara barat, esports di platform mobile tidak begitu populer. Tapi lain halnya dengan negara-negara yang bersifat “mobile-first” seperti wilayah Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Esports mobile sangat banyak diminati, dan Garena memfasilitasinya lewat kompetisi-kompetisi nasional maupun internasional.

Siaran Free Fire World Cup 2019 yang tayang live di YouTube berhasil meraih 1,4 juta viewer di channel Free Fire Indonesia, dan 1,7 juta viewer di channel Free Fire India. Sementara di Brasil, acara ini ditonton hingga 5,3 juta viewer. Popularitas esports ini kemudian didukung juga oleh keaktifan para YouTuber dan influencer lokal, menciptakan komunitas yang solid di tiap wilayah.

Keberhasilan Free Fire mencapai kesuksesan ini membuat Henri Brouard menyebutnya sebagai “the other king of battle royale”. Apakah Free Fire bisa melampaui kesuksesan Fortnite dan PUBG secara global? Belum tentu, tapi tidak harus juga. Garena berhasil menemukan “sweet spot” dengan cara memahami karakteristik gamer di pasar mereka, dan hasilnya adalah sebuah game yang sukses dengan caranya sendiri.

Sumber: Henri Brouard/Gamasutra