Duo Petarung Tekken Indonesia Raih Prestasi di Versus Masters 2019 Singapore

Di dunia fighting game, sudah lumrah apabila ada sebuah ajang kompetisi yang merupakan gabungan dari beberapa turnamen sekaligus. Ajang Versus Masters 2019 yang digelar di Singapura akhir April lalu misalnya, menghadirkan turnamen resmi untuk dua cabang game berbeda. Pertama adalah Capcom Pro Tour 2019 Ranking Event untuk Street Fighter V: Arcade Edition, dan yang kedua yaitu Tekken World Tour 2019 Dojo untuk Tekken 7.

Bila Anda belum familier dengan dua kompetisi ini, baik Capcom Pro Tour (CPT) 2019 maupun Tekken World Tour (TWT) 2019 sama-sama memiliki berbagai tingkatan kompetisi. CPT 2019 terbagi ke dalam empat tingkatan yaitu Super Premier Event, Premier Event, Ranking Event, dan Online Ranking Event. Sementara TWT 2019 terbagi menjadi empat juga yaitu tingkat Master+, Master, Challenger, dan Dojo.

Baik turnamen-turnamen CPT maupun TWT sama-sama bertujuan untuk mengumpulkan poin kualifikasi. Nantinya, para petarung dengan poin CPT dan TWT tertinggi akan mendapat hak untuk maju ke acara turnamen puncak di akhir tahun 2019. Selain Street Fighter V: Arcade Edition dan Tekken 7, Versus Masters 2019 juga mempertandingkan sederet game populer lainnya, termasuk Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, Dragon Ball FighterZ, hingga Mortal Kombat 11.

Versus Masters 2019 - SFV Winners
Juara Versus Masters 2019 Street Fighter V | Sumber: shiramizu

Terdapat dua orang petarung yang berangkat dari Indonesia untuk bertanding di cabang Tekken 7. Pertama yaitu R-Tech (Christian Samuel), pemain dari tim Alter Ego Esports yang sudah sering menjadi juara di turnamen lokal. Selain itu hadir juga veteran lainnya yaitu SbyRazor (Sean Sebastian Wijaya) yang juga sering meraih predikat Top 8 di turnamen-turnamen Jakarta. Rupanya kedua pemain ini sama-sama punya kemampuan yang tak kalah dengan para jagoan Tekken luar negeri.

SbyRazor dengan karakter andalannya Devil Jin sempat meraih kemenangan dua kali di Winners Bracket, namun ia terlempar ke Losers Bracket setelah kalah dari pemain barnama Whogivesashit. Kemudian ia berhasil meraih berhasil maju hingga ke Losers Semi Final akan tetapi akhirnya tumbang di tangan KGBPlus (alias 11G2P12U19) dan harus puas di peringkat 4.

Versus Masters 2019 - Winners
Juara Versus Masters 2019 Tekken 7 | Sumber: R-Tech

Sementara itu R-Tech yang menjagokan Jack-7 melalui jalan yang lebih mulus. Ia melibas Winners Bracket hingga babak Winners Final, sebelum akhirnya bertemu dengan zf yang dikenal sebagai salah satu petarung Tekken terkuat Asia Tenggara. Sama seperti SbyRazor, R-Tech bertemu dengan KGBPlus di babak Losers Final dan ternyata kalah juga sehingga ia menempati posisi juara 3. KGBPlus sendiri akhirnya berhasil menjadi juara Versus Masters 2019, sementara zf menempati peringkat 2.

“Kesannya hype, kebetulan ketemu 4 besar temen semua dan dapat pengalaman baru,” demikian ujar R-Tech kepada Hybrid. Para peraih posisi 4 besar yang terdiri dari 2 orang Indonesia dan 2 orang Singapura ini memang sudah cukup lama berteman. Tiga tahun lalu misalnya, SbyRazor sempat bersaing dengan KGBPlus untuk memperebutkan gelar SEA Major 2016. Dalam turnamen tersebut pada akhirnya Meat dari Indonesia yang jadi juara.

Selamat kepada R-Tech dan SbyRazor. Semoga di masa depan nanti mereka berdua bisa meraih prestasi yang lebih tinggi lagi dan mengibarkan bendera Indonesia di kancah fighting game dunia. Untuk hasil lengkap Versus Masters 2019 di cabang-cabang game lainnya, Anda dapat mengunjungi tautan berikut.

Cloud9 Lebarkan Sayap ke Brasil, Mulai dengan Rekrut Tim Esports Apex Legends

Organisasi esports ternama asal Amerika Serikat, Cloud9, belakangan ini semakin gencar melakukan ekspansi ke berbagai penjuru dunia. Baru saja awal April lalu mereka mengakuisisi tim Rainbow Six: Siege asal Korea Selatan, sekarang Cloud9 kembali melebarkan sayap dengan merekrut roster Apex Legends dari negara Brasil.

Roster Apex Legends Cloud9 terdiri dari tiga orang, yaitu ninexT (Nino Pavolini), isnoul (Gabriel Ceregatto), dan noted (Vince Mancinni). Ketiganya punya pengalaman bermain berbagai first person shooter, seperti Rainbow Six atau Overwatch, juga merupakan para streamer yang cukup populer. Cloud9 sebetulnya pernah merekrut pemain Brasil sebelum ini, yaitu Jukes (Flavio Fernandes) di divisi League of Legends. Akan tetapi ia hanya berperan sebagai streamer, bukan atlet kompetitif. Baru kali ini Cloud9 memiliki skuat penuh bermain di wilayah Brasil.

noted
Vince Mancinni alias noted | Sumber: HVMN

Cloud9 bukan satu-satunya tim esports besar yang mulai merambah dunia esports Apex Legends. Sebelumnya, Team Liquid, 100 Thieves, serta NRG Esports juga telah melakukan hal yang sama. Begitu pula Cloud9 bukan satu-satunya tim dari wilayah Amerika Utara yang merambah Brasil belakangan ini. Tim Immortals tahun lalu juga merekrut tim Brasil untuk cabang Counter-Strike: Global Offensive. Luminosity Gaming telah memiliki tim CS:GO dan PUBG asal Brasil, sementara OpTic Gaming sempat memiliki tim CS:GO Brasil khusus wanita namun hanya bertahan tiga bulan sebelum bubar.

Dengan jumlah pemain lebih dari 50 juta jiwa di seluruh dunia (dan terus bertambah), Apex Legends kini memang sudah menyandang status salah satu battle royale terpopuler dunia. Akan tetapi sebetulnya kondisi Apex Legends sedang agak mengkhawatirkan. Sempat merajai Twitch di awal tahun, belakangan viewership game ini sedang turun drastis. Penyebabnya bisa bermacam-macam, namun ada dua hal yang paling menonjol di kalangan komunitas.

Pertama, ketika Battle Pass dirilis, ternyata konten di dalamnya mengecewakan banyak penggemar. Respawn sendiri selaku developer telah mengakui hal ini dan berjanji akan merilis konten yang lebih substansial di Battle Pass berikutnya. Respawn juga lebih berkomitmen dalam memperbaiki bug, melawan cheater, serta memastikan performa game stabil ketimbang merilis konten baru. Konsekuensinya, Apex Legends jadi terasa membosankan karena tidak ada konten untuk menjaga agar para pemain tetap tertarik.

Selain itu keluhan yang paling sering didengungkan adalah bahwa Apex Legends masih sangat miskin fitur. Tidak ada pilihan untuk bermain Solo atau Duo, tidak ada variasi mode atau arena permainan, bahkan tidak ada lobby. Fitur terakhir ini terutama sangat krusial bila Respawn ingin Apex Legends tumbuh sebagai sebuah esports.

Dalam pengumuman di situs resminya baru-baru ini, Respawn menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk menjaga pertumbuhan Apex Legends di jangka panjang. Namun mereka juga tidak mau memforsir para karyawannya dalam bekerja. Ketimbang merilis konten kecil terus-menerus, Respawn merasa lebih tepat bila mereka merilis konten lebih jarang, namun memastikan bahwa setiap kontennya berkualitas dan bermakna. Semoga saja itu keputusan yang tepat.

Sumber: The Esports Observer, Cloud9, EA

Baru Tiga Bulan Bergabung, Dendi Hengkang dari Tim Dota 2 Tigers Bersama Xepher

Belum lama berselang semenjak Dendi (Danil Ishutin) bergabung dengan tim Dota 2 asal Malaysia, Tigers, pada bulan Januari 2019 lalu. Kini atlet esports asal Ukraina itu dikabarkan sudah berpindah tim lagi. Namun rupanya tidak hanya Dendi yang hengkah dari Tigers. Satu pemain lagi ikut pergi bersamanya, pemain yang namanya pasti tak asing lagi. Dia adalah Xepher (Kenny Deo) yang merupakan pemain asal Indonesia.

Kepindahan kedua pemain ini diumumkan oleh Tigers lewat halaman Facebook mereka beberapa waktu lalu. Menurut pernyataan dari Dendi di pengumuman tersebut, alasan dirinya pindah dari Tigers adalah karena mereka tidak berhasil meraih hasil yang memuaskan di turnamen-turnamen.

“Terima kasih telah memberikan saya kesempatan besar untuk bermain di Asia Tenggara bersama Tigers. Ini adalah pengalaman yang hebat dan menyenangkan. Sayangnya hasil yang kami raih tidak begitu bagus sehingga saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru. Saya sangat berharap kalian bisa meraih sukses dan mencapai tujuan yang kalian inginkan,” demikian ujar Dendi.

Tigers | DreamLeague Season 10
Tigers ketika menjuarai DreamLeague Season 10, masih bersama inYourdreaM | Sumber: Tigers

Dalam tiga bulan terakhir Tigers sempat meraih runner-up di turnamen BTS Spring Cup: Southeast Asia dan Cobx Masters 2019 Phase II. Namun dua turnamen ini bisa dibilang termasuk turnamen kecil. Di turnamen yang lebih signifikan, seperti StarLadder ImbaTV Dota 2 Minor, ESL One Birmingham 2019, MDL Disneyland Paris Major, serta OGA Dota PIT Minor 2019, Tigers selalu gugur sebelum berhasil melaju ke babak utama. Ini tentu cukup timpang dibandingkan pencapaian Tigers di akhir 2018, yang berhasil menjadi juara DreamLeague Season 10 setelah mengalahkan Na’Vi.

Meski performanya kurang maksimal, tampaknya Dendi dan Xepher sama-sama meninggalkan Tigers dengan baik-baik. Ini tercermin dari pernyataan Tigers bahwa kedua pemain telah sama-sama menunjukkan rasa persaudaraan dan dedikasi yang kuat, dan Tigers telah belajar banyak dari mereka. Ke depannya Tigers akan mulai mencari pemain baru lagi untuk membentuk skuat hebat yang bisa bersaing di kompetisi besar, terutama turnamen-turnamen Dota Pro Circuit (DPC).

Tigers - Dendi Join
Dendi ketika bergabung dengan Tigers | Sumber: Tigers

Manajer Tigers, Xero (Dawei Teng), juga mengungkapkan rasa terima kasihnya pada kedua pemain. “Berpisah dengan para pemain selalu merupakan bagian tersulit dari menjadi seorang manajer, terlebih-lebih dengan kepergian Kenny dan Danil. Ketika Kenny baru bergabung dengan tim ini, dia adalah anak pemalu yang kesulitan berbicara bahasa Inggris dengan yang lainnya, tapi kecintaannya pada game (Dota 2) mendorong keterbatasannya dan ia telah tumbuh begitu pesat baik sebagai pemain ataupun sebagai manusia.

Mood Danil yang selalu ceria dan mudah menular telah menopang kami melewati masa-masa sulit, dan kami akan mengenang waktu yang ia habiskan bersama tim dan pengalaman yang ia bagikan dengan kami semua. Posisi mereka akan sulit digantikan, tapi kami akan berjuang. Kami sangat senang bekerja bersama Kenny dan Danil, dan kami berharap yang terbaik dalam usaha mereka di masa depan,” ujar Xero.

Belum ada kabar pasti tentang ke mana kedua pemain ini akan pindah nantinya. Namun menurut CEO Na’Vi, Yevhen Zolotarev, Dendi sebetulnya masih terikat kontrak pada Na’Vi. Jadi statusnya di Tigers hanyalah pemain pinjaman.

Sementara itu beberapa waktu lalu inYourdreaM (Muhammad Rizky) yang merupakan mantan pemain Tigers telah bergabung dengan tim dalam negeri yaitu EVOS. Andai Xepher pindah ke tim yang sama dengan inYourdreaM, artinya mereka akan bermain bersama kembali seperti ketika memenangkan DreamLeague Season 10. Dan hal itu pastinya akan sangat seru bagi iklim Dota 2 di tanah air.

Sumber: Tigers

Komitmen Agate, Summarecon, Bekraf, dan Pemprov Jabar untuk Industri Game Lokal

Industri game merupakan salah satu bagian dari ekonomi kreatif dengan potensi besar di Indonesia. Dengan populasi gamer aktif sebesar lebih dari 43,7 juta jiwa (data Newzoo 2017), perputaran uang di industri ini sangat menjanjikan. Namun sayangnya potensi itu belum tergarap dengan maksimal. Pangsa pasar untuk game karya lokal di negara kita masih ada di kisaran 5%, sementara sisanya diraup oleh game buatan luar negeri.

Hal itu disampaikan oleh Arief Widhiyasa, CEO Agate, dalam diskusi panel pada acara peresmian kantor baru Agate pada tanggal 23 April 2019. Sebagai perusahaan game terdepan di Indonesia, Agate berharap dapat membuka jalan bagi sumber daya dan pelaku-pelaku baru di industri game Indonesia serta dapat menghidupkan ekosistem industri yang memadai. Untuk mencapai tujuan tersebut, Agate kini menjalin kerja sama dengan Summarecon Bandung, Bekraf, serta Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk merealisasikan beberapa program di masa mendatang.

Agate - Gate

Acara peresmian kerja sama serta pembukaan kantor itu dihadiri oleh Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat, Hari Santosa Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Bekraf, serta Herman Nagaria selaku Direktir Bisnis dan Pengembangan Properti Summarecon Agung. Lokasi kantor baru Agate sendiri terletak di area Teknopolis Bandung, kawasan Summarecon, Gedebage, Bandung.

Sejalan dengan visi kota Bandung sebagai Kota Kreatif, Pemerintah Kota Bandung telah mencanangkan program pembangunan Teknopolis di kawasan Summarecon Bandung. Teknopolis ini diharapkan dapat menjadi Silicon Valley versi Indonesia yang akan diramaikan oleh berbagai pelaku industri kreatif, khususnya yang berasal dari Bandung. Agate sendiri telah mendiami lokasi Teknopolis Bandung itu sejak Februari 2019.

Agate - Office

Agate juga merupakan salah satu startup yang di masa awalnya paling rajin mengikuti coaching dari Bekraf hingga akhirnya dapat berjalan secara independen seperti sekarang. Arief mengatakan bahwa salah satu kendala di industri game Indonesia adalah adanya ketimpangan antara dana pengembangan industri game dengan industri hiburan lainnya. Padahal secara global, pendapatan industri game adalah yang terbesar dibandingkan industri-industri lain seperti film atau musik.

Agate - Working

Menyambut ulang tahunnya yang kesepuluh, Agate telah berhasil menjadi outlier di industri game Indonesia. Artinya Agate sebagai sebuah perusahaan memiliki posisi yang unik, juga pencapaian tinggi yang membuatnya berbeda dari pemain-pemain lain di dalam industrinya. Ke depannya, Agate berharap dapat memberikan lebih banyak kebahagiaan dan inspirasi kepada banyak orang, sambil berusaha menjadi salah satu bagian dalam perkembangan industri game Indonesia.

Kisah Hidup Tokido, Legenda Street Fighter yang Dijuluki “Sang Iblis”

Musim panas 2017 adalah masa yang tak terlupakan bagi pemuda bernama Victor Woodley. Tak lama menjelang datangnya turnamen fighting game terbesar dunia, Evolution Championship Series (EVO), Woodley yang saat itu masih berusia 18 tahun baru saja menandatangani kontrak profesional bersama tim esports Panda Global. CEO Panda Global, Alan Bunney, berkata bahwa Woodley akan menjadi salah satu “kuda hitam” di tahun 2017, dan itu bukan tanpa alasan.

Performa Woodley memang sedang hebat-hebatnya. Ia baru saja memenangkan tiga turnamen bergengsi berturut-turut, menumbangkan sederet nama besar dunia Street Fighter seperti Justin Wong, Yusuke Momochi, dan Fuudo. Setelah bergabung bersama Panda Global, Woodley pun langsung memenangkan satu turnamen lagi, yaitu ELEAGUE Street Fighter V Invitational 2017 yang memberikannya hadiah sejumlah US$150.000 (sekitar Rp2,1 miliar).

Sepak terjang si darah muda menimbulkan badai di komunitas fighting game. Sebagian terkesima dengan permainannya, tapi sebagian lainnya justru tak suka karena Woodley punya kebiasaan melakukan trashtalk—sesuai dengan nickname yang ia pakai, “Punk”. Orang pun mulai bertanya-tanya. Apakah Victor Woodley merupakan pemain jenius yang akan jadi legenda baru Street Fighter? Lagi pula bila para mantan juara EVO saja bertekuk lutut, siapa yang bisa menghentikannya?

Punk
Victor “Punk” Woodley, pemain Street Fighter paling ditakuti di tahun 2017 | Sumber: Gamereactor

Untuk sejenak mereka lupa, bahwa jauh sebelum karier Punk melejit, pernah ada seorang jenius lain dari seberang dunia. Jenius yang memenangkan turnamen EVO ketika ia baru berusia 17 tahun—bahkan lebih muda dari Punk.

The Beginning

Jenius itu adalah seorang pria asal Jepang bernama Hajime Taniguchi. Lahir di Okinawa pada tanggal 7 Juli 1985 dari pasangan dokter gigi Hisashi Taniguchi dan Yukiko Taniguchi, Hajime sejak kecil tergolong anak yang pintar. Ia tidak punya banyak teman di sekolah karena keluarganya sering berpindah rumah, jadi waktu luangnya kebanyakan dihabiskan untuk bermain game. Sang ayah, mendukung hobi putranya namun tetap perhatian pada edukasi, selalu berjanji akan membelikan game terbaru bila Hajime berhasil meraih nilai yang baik di sekolah.

Hajime mulai mengenal game dari judul keluaran Nintendo yang sangat populer di akhir era 80an, yaitu Super Mario Bros. Namun menginjak bangku sekolah dasar, ia bertemu dengan game yang akan mengubah hidupnya di masa depan: Street Fighter II. Hajime sebetulnya menyukai segala jenis game. Ia merupakan penggemar judul-judul JRPG, seperti seri Final Fantasy dan Dragon Quest. Tapi sejak mencoba Street Fighter II di rumah seorang teman, benih jiwa kompetitif Hajime mulai tumbuh.

Street Fighter II - 30th Anniversary Collection
Tokido menyukai fighting game sejak era Street Fighter II | Sumber: Capcom

Ia mulai menghabiskan banyak waktu untuk bermain Street Fighter II sendirian, di samping berbagai game lainnya. Namun sesekali, ketika keluarganya pulang kampung ke Okinawa, Hajime punya kesempatan untuk bertanding melawan sepupunya yang lebih tua—dan selalu kalah. Dalam wawancaranya dengan theScore esports, Hajime pun mengakui bahwa sepupunya itu adalah seorang pemain fighting game yang sangat baik.

Tidak puas dengan kekalahan itu, Hajime terus-menerus berlatih, bukan hanya di Street Fighter namun juga fighting game lainnya. Hingga akhirnya suatu hari, Hajime berhasil menang dari sepupunya dalam pertandingan Virtua Fighter 2. Kemenangan itu membuatnya lebih percaya diri dan lebih mendedikasikan diri untuk mengasah keahlian di genre game yang sangat disukainya.

Enter Tokido

Menginjak usia SMP, kegemaran Hajime bermain fighting game telah berubah menjadi kegiatan yang lebih sosial. Ia lebih sering bertanding bersama teman, juga berpartisipasi di turnamen-turnamen. Selama era SMP hingga SMA inilah Hajime mulai membangun reputasi sebagai salah satu pemain fighting game yang kuat di Jepang.

Virtua Fighter 2
Virtua Fighter 2, revolusioner pada masanya | Sumber: Emuparadise

Ada satu ciri khas dari gaya permainan Hajime yang sebetulnya efektif namun membuat banyak orang kesal, yaitu kebiasaannya untuk selalu memainkan karakter maupun strategi paling optimal demi kemenangan. Tidak peduli apa game yang ia mainkan, tidak peduli se-cheesy (murahan) apa pun sebuah taktik, ia sama sekali tidak sungkan karena ia sangat haus akan kemenangan. Toh ia tidak melakukan perbuatan curang.

Gaya permainan ini sangat mencolok ketika ia memainkan King of Fighters. Mengandalkan karakter Iori Yagami—yang dalam ceritanya pun merupakan tokoh jahat—Hajime selalu bermain dengan spamming tiga gerakan terus-menerus. Seorang kakak kelas Hajime kemudian menyematkan nickname padanya. “Tokido”, yang merupakan singkatan dari tiga gerakan itu: Tonde (melompat), Kick (menendang), dan Doushita (kalimat yang dilontarkan Iori Yagami ketika mengeluarkan fireball). Hajime tidak keberatan menerima nickname tersebut. Sejak saat itu, ia pun menyebut dirinya sebagai Tokido.

The King of Fighters XIII - Iori Yagami
Iori Yagami, karakter yang memunculkan nickname “Tokido” | Sumber: Steam Card Exchange

Momen besar dalam hidup Tokido terjadi di tahun 2002. Saat itu ia sedang berusia 17 tahun, dan sedang duduk di tingkat terakhir bangku SMA. Esports belum populer seperti sekarang, jadi impian untuk menjadi gamer profesional pun tak terbayangkan di benaknya. Rencana hidup Tokido adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, mengambil gelar S2, kemudian mencari pekerjaan mapan.

Dengan rencana hidup demikian, Tokido sadar bahwa ia tidak bisa bermain game selamanya. Di saat yang bersamaan, ia mendengar kabar akan adanya turnamen fighting game tingkat dunia di Los Angeles yang bernama Evolution Championship Series (EVO). Merasa bahwa mungkin inilah turnamen terakhir yang bisa ia ikuti, Tokido kemudian meminta izin pada ayahnya untuk pergi ke Los Angeles, dengan janji bahwa sepulang dari kejuaraan tersebut ia akan fokus pada pendidikan.

Father

Hisashi Taniguchi adalah ayah yang serius, bahkan kaku. Yang tidak banyak orang tahu, semasa mudanya Hisashi pernah punya impian untuk menjadi musisi. Apalagi waktu itu instrumen synthesizer sedang booming. Hisashi sangat menyukai synthesizer, namun sayangnya instrumen tersebut sangat mahal dan Hisashi sendiri merasa tidak begitu berbakat dalam bermain musik. Ia akhirnya memilih jalur karier sebagai dokter gigi, namun kecintaannya pada bidang musik tak pernah padam.

Tokido - Family
Tokido bersama keluarganya | Sumber: ELEAGUE via theScore esports

Minat besar pada musik bahkan membantu kariernya di dunia kedokteran. Salah satu riset yang pernah ia lakukan adalah tentang cara membantu pasien kanker yang harus menjalani pelepasan rahang saat perawatan. Pemahaman Hisashi akan suara, serta keahliannya di bidang prosthetic (anggota tubuh buatan), merupakan bekal untuk membantu para pasien tersebut belajar berbicara kembali. Dengan uang yang dikumpulkannya sebagai dokter gigi pun, Hisashi akhirnya dapat menggapai impiannya untuk membeli synthesizer dan menggubah musik sendiri.

Pengalaman hidup itu diperkuat lagi dengan posisi Hisashi yang sedang menjabat sebagai wakil presiden sebuah universitas. Ia kerap mendengar keluhan dari para mahasiswanya, termasuk berbagai konflik antara mahasiswa dan orang tua yang terjadi saat sedang merencanakan masa depan. Karena itu, ketika Tokido meminta izin untuk berkompetisi di turnamen dunia, ia langsung tahu apa yang harus dilakukan.

“Oh, kamu ingin pergi ke Amerika Serikat untuk ikut turnamen video game? Oke, ayah akan bayari,” kata Hisashi pada Tokido. Jawaban yang membuat Tokido sendiri terkejut, karena ia tak menyangka ayahnya yang kaku itu akan mau membiayainya untuk bermain game. Tokido pun berangkat ke EVO 2002 sebagai kontestan termuda asal Jepang (juga satu-satunya pemain Jepang yang bisa berbahasa Inggris). Oleh-oleh yang dibawanya pulang, adalah gelar juara dunia untuk game Capcom vs. SNK 2: Mark of the Millennium 2001, uang hadiah senilai US$1.500, serta sebuah kebanggaan besar.

Seluruh uang hadiah itu kemudian habis, digunakan oleh Tokido untuk bermain game lebih sering lagi di arcade center.

Tokido - EVO 2002 Champion
Tokido ketika menjuarai EVO 2002 | Sumber: James Chen via Reddit

Professional

Apa yang Anda lakukan setelah meraih gelar juara dunia? Bagi Tokido, tidak ada yang banyak berubah. Rencana hidupnya tetap sama. Ia melanjutkan pendidikan di salah satu kampus paling prestisius di Jepang, The University of Tokyo alias Todai, dengan jurusan teknik kimia material. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, Tokido masih tetap menekuni fighting game sebagai hobi. Ia juga beberapa kali datang kembali ke turnamen EVO, bahkan meraih gelar juara lagi di tahun 2007 untuk cabang Super Street Fighter II Turbo.

Tahun 2008, Tokido lulus dari Todai, kemudian mulai melakukan persiapan untuk ujian masuk program magister. Namun sayangnya ia merasa kesulitan dalam ujian itu dan mendapat hasil yang sangat buruk. Rencana hidup Tokido harus berubah. Ia berada di persimpangan jalan, tak yakin apa yang harus dilakukan berikutnya.

Saat itu yang terbayang di Tokido adalah mencari pekerjaan, dan Jepang punya kultur kuat dalam hal ini. Di Indonesia kita mungkin sudah terbiasa melihat karyawan berpindah-pindah perusahaan, namun di Jepang umumnya ketika seseorang sudah mendapat pekerjaan penuh waktu, ia akan bertahan di pekerjaan itu untuk jangka yang lama—bahkan seumur hidup. Jadi bagi Tokido ini adalah keputusan yang sangat besar.

Tokido mengaku sempat ingin mencari pekerjaan di pemerintahan. Stereotype pekerjaan ini adalah gaji yang tidak begitu tinggi namun sangat stabil, dan ia akan punya waktu serta kesempatan berlibur untuk menjalankan hobinya yaitu bermain fighting game. Tapi kemudian santer kabar yang cukup menghebohkan komunitas fighting game Jepang. Daigo Umehara, sang legenda Street Fighter yang sempat “banting setir” menjadi pemain mahyong, memutuskan untuk kembali ke dunia fighting game sebagai gamer profesional. Untuk pertama kalinya di Jepang, atlet esports—khususnya esports fighting game—terlihat punya potensi sebagai sebuah profesi.

Kembalinya Daigo, ditambah dengan popularitas Street Fighter IV yang waktu itu baru saja dirilis, membuat ekosistem fighting game tumbuh bergairah. Tidak hanya di Jepang, namun juga di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat. Tokido yang waktu itu berusia 24 tahun kemudian berkonsultasi kepada ayahnya tentang kemungkinan untuk menjadi gamer profesional seperti Daigo. Sama seperti enam tahun sebelumnya ketika Tokido meminta izin pergi ke EVO, kali ini pun sang ayah langsung mengizinkan.

Midas

Karier profesional Tokido telah dimulai, namun saat itu ia masih belum mendapat sponsor. Untuk memenuhi kebutuhannya Tokido mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu, tapi semua itu ia lakukan semata-mata untuk mendukung aktivitasnya di dunia fighting game. Di era inilah Tokido mulai meraih reputasi sebagai seorang pemain jenius. Bagai raja Midas yang mampu mengubah benda apa pun yang ia sentuh menjadi emas, Tokido menunjukkan bahwa ia dapat berkompetisi di level sangat tinggi, apa pun game yang ia mainkan.

Tokido - Murderface
Tokido selalu berwajah serius saat bertanding | Sumber: Karaface

Di periode 2008 – 2015, Tokido berhasil menjuarai kompetisi di segudang game berbeda. Mulai dari Tekken, Soulcalibur, The King of Fighters, Tekken, Street Fighter x Tekken, Marvel vs. Capcom, BlazBlue, hingga Persona 4 Arena. Setiap kali ada turnamen fighting game besar, rasanya aneh jika nama Tokido tidak masuk ke babak Top 16, bahkan ia juga langganan tampil di Grand Final.

Seiring berjalannya waktu reputasi Tokido semakin melesat, dan ia mulai memperoleh beberapa nickname lain dari para penggemarnya. Salah satu yang paling terkenal adalah “Murderface”, karena Tokido selalu menunjukkan wajah sangat serius ketika ia bermain. Tokido juga mendapat julukan “The Demon” sebab karakter andalannya adalah Akuma.

Sebetulnya Tokido pertama kali memilih untuk memainkan Akuma atas saran dari Daigo Umehara, karena menurutnya Akuma adalah karakter kuat yang lebih mudah digunakan dibanding karakter lain, misalnya Ryu. Tapi di tangan Tokido, Akuma bukan hanya kuat namun juga menjadi sangat cheesy. Tokido bahkan menciptakan sebuah taktik bernama Tokido Vortex, yaitu taktik yang memanfaatkan banyak gerakan salto (Demon Flip) sehingga lawan bingung bagaimana harus merespons dan pasti terkena damage.

Meski terkenal tak punya belas kasihan terhadap lawan, di balik gaya bermainnya yang kejam itu Tokido juga disukai banyak orang karena ia memiliki kepribadian yang ramah dan eksentrik. Ia adalah orang yang humoris dan sering melakukan hal-hal aneh di atas panggung. Bahkan ada masa di mana setiap kali akan bertanding, Tokido selalu mengukur jarak ideal antara wajahnya dengan layar monitor menggunakan meteran!

Tahun 2011 merupakan tahun yang penting bagi Tokido. Di tahun inilah ia akhirnya bergabung dengan tim Mad Catz, bersama dengan Daigo Umehara. Bersama dengan salah satu pemain veteran Jepang lainnya yaitu Mago (Kenryo Hayashi), Tokido juga menjadi host untuk acara streaming yang disebut Topanga TV. Dalam acara ini mereka bermain secara rutin dan membagikan berbagai tips fighting game pada pemirsa, sekaligus mengadakan pertandingan-pertandingan eksibisi antara pemain-pemain top. Sepanjang era Street Fighter IV, karier Tokido berkembang pesat dan ia telah masuk ke zona nyaman seorang atlet esports. Hanya saja, ada satu masalah.

Tokido tidak pernah menjadi juara EVO.

Tokido - Ruler
Tokido memanfaatkan segala cara demi kemenangan | Sumber: TokidoFans

Focus Attack

Ketika kita berbicara tentang legenda di dunia Street Fighter, nama yang pertama kali mencuat pastilah Daigo Umehara. Hal ini bukan tanpa alasan. Daigo memang punya sejarah prestasi yang luar biasa, serta berbagai catatan rekor yang sulit disaingi. Di luar kariernya sebagai atlet fighting game Daigo juga memiliki usaha clothing line sendiri, telah menjadi penulis buku, bahkan menjadi trainer dalam seminar-seminar bisnis.

Bukan berarti Daigo tak pernah kalah sama sekali. Di berbagai turnamen langkah Daigo sempat terhenti oleh jawara-jawara lainnya. Tapi itu tak menggoyahkan status Daigo sebagai “The Beast”, sang pemain buas namun karismatik yang menjadi wajah terdepan dunia Street Fighter. Berada dalam satu tim yang sama, Tokido semakin menyadari betapa jauhnya perbedaan kemampuan antara Daigo dan dirinya.

Tokido tidak puas dengan kondisi seperti ini. Ia tidak puas hanya menjadi seorang pemain hebat. Ia ingin menjadi yang terhebat, karena ia tahu bahwa hanya pemain-pemain terhebat saja yang bisa bertahan di dunia fighting game. Untuk meraih tujuan tersebut, ketika Street Fighter V dirilis pada tahun 2016, Tokido memutuskan meninggalkan semua fighting game lainnya dan fokus pada Street Fighter saja.

Tokido and Daigo
Tokido sempat menjadi kawan satu tim Daigo Umehara | Sumber: CEOGaming via Kusa3k

Di awal perilisan Street Fighter V, Akuma yang menjadi andalan Tokido belum masuk ke dalam jajaran karakter yang bisa dimainkan. Sebagai pengganti, Tokido memilih Ryu dan mulai berlatih keras. Setelah sempat gugur di Grand Final beberapa kali, Tokido akhirnya meraih gelar juara di turnamen bergengsi, Community Effort Orlando (CEO) 2016. Turnamen ini merupakan rematch antara dirinya dengan Infiltration (Lee Seon-woo), juara Street Fighter V yang mengalahkannya di beberapa Grand Final sebelumnya.

Sepak terjang Tokido meraih momentum yang tinggi, tapi lalu terjadi sebuah masalah. Organisasi Mad Catz yang menaungi Tokido harus melepaskan divisi esports fighting game mereka karena kendala finansial. Sempat menjadi free agent beberapa lama, Tokido kemudian bergabung dengan tim Echo Fox, bersama sederet nama besar fighting game lain termasuk Justin Wong, Momochi, dan SonicFox (Dominique McLean). Sementara Daigo Umehara bergabung dengan tim di bawah bendera Red Bull.

Memasuki tahun 2017, Akuma akhirnya hadir di Street Fighter V, dan Tokido pun segera beralih ke karakter favoritnya itu. Karena baru berganti karakter wajar saja bila performa Tokido di turnamen sedikit menurun di masa-masa ini. Hingga pertengahan tahun Tokido masih berusaha beradaptasi, sementara di belahan dunia lain sebuah ancaman baru tengah mengintai. Ancaman yang bernama Punk.

Carnage

Apa yang membuat seseorang diakui sebagai legenda? Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari keahlian, prestasi, reputasi, atau lainnya. Tokido sudah memiliki beberapa di antaranya, tapi masih ada sesuatu yang kurang. Ia belum punya suatu momen ikonik yang menahbiskan statusnya sebagai seorang legenda, seperti EVO Moment #37 milik Daigo Umehara yang sangat terkenal. Dan di tanggal 16 Juli 2017, momen ikonik itu akhirnya terjadi.

Tokido hanyalah salah satu dari sekian banyak veteran fighting game yang turut berkompetisi dalam EVO 2017. Daigo Umehara, Momochi, Bonchan, Justin Wong, MenaRD, Infiltration, Haitani, Dogura, Mago, GamerBee, Nemo, Ricki Ortiz, Fuudo, dan masih banyak lagi, juga menjadi partisipan di turnamen fighting game terbesar dunia itu. Di antara nama-nama besar tersebut, Tokido dan Punk termasuk di dalam jajaran pemain yang lolos ke babak Top 8, tapi ada perbedaan besar di antara keduanya.

Bila Punk adalah rising star yang punya rekam jejak gemilang menjelang EVO, Tokido justru terlihat masih agak kesulitan beradaptasi dengan karakter barunya. Bila Punk melenggang ke Top 8 lewat Winners’ Bracket dan mendominasinya, Tokido justru harus merangkak di Loser’s Bracket dengan ancaman eliminasi. Bila Punk digadang-gadang sebagai kandidat paling kuat untuk jadi juara, banyak orang bahkan tidak memperhitungkan kemungkinan Tokido yang akan meraihnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Tokido sebenarnya sudah pernah kalah dari Punk di turnamen EVO ini. Mereka sempat bertemu di babak Top 32, dan saat itu Punk menang meyakinkan dengan skor 0-2. Punk-lah orang yang mengirim Tokido ke Losers’ Bracket, dan bila Tokido ingin jadi juara, Punk jugalah yang harus ia kalahkan di Grand Final.

Perjalanan Tokido di babak Top 8 adalah perjalanan yang mengagumkan. Bagai kerasukan iblis, satu-persatu kandidat kuat juara ia paksa berkemas pulang. Ia mengalahkan Filipino Champ, yang dikenal sebagai pemain Dhalsim terbaik dunia. Ia mengalahkan NuckleDu, ahli Guile yang sebelumnya juara Capcom Cup 2016. Ia mengalahkan Itabashi Zangief, salah satu pemain pertama yang meraih peringkat Master di Capcom Fighters Network (CFN) saat itu. Ia mengalahkan Kazunoko, kandidat kuat lain yang meraih juara 3 di Capcom Cup 2016. Jalan Tokido di EVO 2017 adalah sebuah “pembantaian besar”, dan pembantaian itu masih belum berakhir.

Raging Demon

Berhadapan kembali dengan Punk di Grand Final, Tokido mengamuk. Segala macam kejadian menghebohkan yang mungkin terjadi di sebuah pertandingan fighting game, dapat Anda temukan di sini. Di bawah sorotan kamera, disaksikan ratusan ribu penonton di seluruh dunia, dan memikul beban sebagai wakil dari dua negara yang telah lama bersaing di dunia fighting game, kekuatan mental kedua pemain benar-benar diuji. Lalu di tengah ketegangan yang kian memuncak, apa yang dilakukan oleh Tokido?

Ia melakukan Taunt Combo. Melawan Punk. Di Grand Final EVO.

Tokido sebetulnya bisa menang dengan cara biasa, tapi itu tidak cukup. Ia juga melakukannya dengan gaya. Taunt Combo adalah sebuah pernyataan dari Tokido bahwa di panggung turnamen terbesar dunia ini ia tidak hanya ingin menang dari Punk—ia ingin menghancurkannya. Tak sekadar menghajar karakter yang ada di layar, Tokido juga menghantam mental Punk dengan telak, seolah mengingatkannya agar tidak sombong karena semakin tinggi seseorang terbang, semakin keras pula jatuhnya.

Ketika Tokido berhasil melakukan bracket reset, sorak sorai penonton begitu gegap gempita. Diikuti langsung oleh sebuah ronde dengan kemenangan Perfect, rasanya sulit untuk percaya bahwa Tokido sebelumnya bahkan tidak dianggap favorit juara. Lalu ketika Tokido menghabisi Punk dengan jurus pamungkas Raging Demon, saat itulah semua orang sadar. Mereka sedang menyaksikan sebuah momen bersejarah di dunia fighting game.

Tokido - Winning Pose
Pose kemenangan Tokido di EVO 2017 | Sumber: ESPN

Sepuluh tahun. Selama itulah Tokido menunggu. Berlatih, bertanding, dan mengejar kembali gelar juara dunia yang dulu pernah diraihnya. Dan ia berhasil, setelah melalui proses yang luar biasa. Kemudian bukannya sombong atau membanggakan diri. Ketika ia diwawancara di atas panggung, ia menutup hari dengan sebuah pesan: “Fighting game is something so great.”

Another Beginning

“Fighting game is something so great.” Fighting game adalah sesuatu yang hebat. Apa makna ungkapan tersebut? Di kemudian hari Tokido menjelaskan, bahwa menurutnya, fighting game adalah salah satu hal di dunia ini yang pasti akan memberikan hasil sesuai dengan usaha kita. Lagi pula, dalam pertarungan satu lawan satu, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali diri kita sendiri ketika kita gagal. Sebaliknya, bila kita mau bekerja keras, maka impian kita pasti akan terwujud.

Tokido - EVO 2017 Champion
Juara dunia setelah sepuluh tahun lamanya | Sumber: Capcom Fighters

EVO 2017 seolah menjadi titik balik dalam karier Tokido. Sejak saat itu ia telah memenangkan sejumlah gelar bergengsi lainnya, seperti SEA Major 2017, ELEAGUE Street Fighter V Invitational 2018, Canada Cup 2018, dan banyak lagi. Dalam sirkuit kompetisi Capcom Pro Tour 2018, Tokido juga menjadi pemimpin klasemen dengan perolehan poin yang sangat jauh dibandingkan saingan terdekatnya. Dan kini, tak ada lagi yang meragukan kemampuan Tokido sebagai salah satu atlet Street Fighter terbaik dunia—bahkan mungkin yang terbaik.

Semangat untuk selalu menyempurnakan kemampuan dan memperbaiki diri, serta kepercayaannya pada kekuatan kerja keras, membuat Tokido sangat cocok dengan profesinya sebagai atlet esports fighting game. Setelah menjuarai EVO pun ia tak berhenti membuktikan diri, termasuk menantang Daigo Umehara dalam acara duel yang disebut Kemonomichi (Way of the Beast).

Di pertarungan berformat First to 10 (alias Best of 20) itu, The Demon harus tunduk kepada The Beast dengan skor 5-10. Tokido sadar, meski sudah menjadi juara dunia, jalan panjang masih terbentang di hadapannya. Tujuan akhir Tokido bukan “hanya” juara dunia. Bukan “sekadar” jadi pemain terkuat. Ia ingin sesuatu yang lebih dari itu. Ia ingin melampaui Daigo Umehara. Seperti mantan teman satu timnya itu, suatu hari nanti, ia ingin menjadi seorang legenda.

Satu yang mungkin Tokido tak sadar, adalah bahwa sebenarnya, ia sudah seorang legenda

Hasil Kualifikasi IGL FIFA 19 FUT Minggu 7, Tinggal Selangkah Menuju Big League

Babak kualifikasi ketujuh Indonesia Gaming League (IGL) FIFA 19 FUT telah selesai digelar pada hari Minggu, 21 April 2019 kemarin. Dengan demikian artinya hanya tersisa satu kualifikasi lagi yang akan dilaksanakan tanggal 28 nanti. Kualifikasi kali ini diikuti oleh 325 pemain, angka yang cukup baik bahkan lebih tinggi dari minggu pertama yang menggaet 320 peserta.

Sampai saat ini, keseluruhan kualifikasi IGL FIFA 19 FUT telah diikuti oleh lebih dari 1.000 pemain. Meski hasilnya positif, pihak IGL berharap angkanya bisa lebih tinggi lagi. “Sebenarnya kita ingin (player yang mendaftar) lebih banyak di minggu ketujuh guna memperketat iklim kompetisi. Namun, berhubung minggu lalu merupakan libur panjang, kita tak bisa menyalahkan juga. Mungkin sebagian player sudah memiliki agenda lain di minggu tersebut. Kami masih optimis bisa mencapai target awal yakni 2.000 player mendaftarkan diri di online qualifier,” kata Stephen Clinton, Wakil Ketua Umum IGL, dalam siaran pers.

Salah satu faktor yang mendukung ramainya minggu 7 yaitu adanya libur panjang akibat Pemilu serta Jumat Agung yang jatuh berdekatan. Selain itu, kualifikasi kali ini tidak bertabrakan dengan kompetisi lokal ataupun internasional lain.

Clinton menambahkan, “Kita akan coba maksimalkan seminggu terakhir guna menjaring peserta sebanyak-banyaknya. Kebetulan minggu ini tak ada agenda tanding berskala apa pun. Jadi jelas, kesempatan kita untuk merangkum peserta sebanyak-banyaknya terbuka lebar. Apalagi mereka yang gagal di minggu sebelumnya bisa dipastikan akan kembali meramaikan event ini. Kita juga tak menutup kemungkinan player baru akan coba meramaikan kualifikasi terakhir besok.” Clinton optimis bahwa total pendaftaran kualifikasi IGL FIFA 19 FUT akan mencapai target awalnya, yaitu 2.000 peserta.

Seperti biasa, minggu ini telah terpilih tiga jagoan FIFA dari berbagai kota untuk maju ke babak liga (Big League). Berikut ini nama-nama peserta tersebut.

Brian Hadianto

IGL - Brian Hadianto
Sumber: vivagoal.com

Asal: Cimahi

PSN ID: FRK_KingBrich

Tim: Freak Esports

Brian maju ke kualifikasi IGL bersama tim asal Jakarta, Freak Esports. Dengan skuat berformasi 4-2-3-1 serta total nilai pemain senilai 4.241.500 Coin (sekitar Rp6,3 juta), permainan Brian cukup mencerminkan gaya possession game yang diterapkan oleh berbagai klub besar Eropa.

Brian juga menggunakan kombinasi pemain-pemain lama dan baru yang masing-masingnya memiliki kemampuan individu tinggi. Di lini pertahanan misalnya, ia memasang David Luiz dan Sol Campbell. Lapangan tengah dijaga oleh Roy Keane dan Dennis Bergkamp, ditambah Marek Hamsik sebagai gelandang serang. Sementara selaku striker tunggal adalah legenda Real Madrid, Raul Gonzalez, dibantu oleh Sadio Mane dan Kylian Mbappe sebagai penyuplai bola dari dua sisi sayap.

“Saya cukup bangga bisa lolos ke Big League dan bisa mengalahkan player FIFA yang memiliki skuat lumayan wah. Bahkan saat kualifikasi, saya berada di Hell’s Bracket yang berisi pro player dari berbagai daerah. Beruntung sekaligus terkejut saya bisa lolos,” ujar Brian yang di kesehariannya merupakan pebisnis ini.

Rama Anggara

IGL - Rama Anggara
Sumber: vivagoal.com

Asal: Madiun

PSN ID: ar4sely-m

Tim: Madiun Village

Rama tampil sebagai underdog yang cukup mengejutkan di kualifikasi IGL pekan ketujuh. Dengan nilai skuat 2.692.000 Coin, Rama berhasil mengalhkan beberapa pemain dengan reputasi besar di kualifikasi. Pola permainan long ball ala Premier League jadi strategi andalan, namun ia menyelipkan duet penyerang buas negara latin di lini depan, Lionel Messi dan Alejandro Gomez.

Sementara itu di lini lainnya Rama menunjukkan bahwa ia menggemari liga Italia. Nama-nama seperti Leonardo Bonucci, Pavel Nedved, Marek Hamsik, hingga Gianluigi Donnarumma tampil di sini, meskipun ada juga Luis Figo yang lebih lama merumput di liga Spanyol.

“Saya tak menyangka bisa lolos ke Big League. Untuk persiapan menjelang liga tinggal mempersiapkan uji tanding dan memantapkan mental secara pribadi,” ujar Rama.

Kevin Naufal

IGL - Kevin Naufal
Sumber: vivagoal.com

Asal: Depok

PSN ID: Makmubatman

Tim: Superhero Level

Kevin merupakan pemain terakhir yang mengisi slot Big League di kualifikasi minggu ketujuh. Tim Superhero Level yang ia asuh telah melalui perjuangan yang cukup sengit sebelum lolos, bahkan ia tak jarang harus berhadapan dengan tim-tim berpredikat “sultan” (memiliki total nilai pemain yang sangat mahal).

Gaya permainan counter pressing ala Liverpool ia terapkan, disokong oleh sederet pemain seram yang punya akselerasi kencang. Di sini ada Cristiano Ronaldo, Joao Cancelo, serta Neymar Jr. yang membantu peran Zlatan Ibrahimovic selaku finisher. Ia juga menempatkan dua pemain legenda yaitu Eusebio Ferreira dan Patrick Vieira yang bertugas membuka serangan dengan kreatif. Sementara di pertahanan, Kevin menempatkan Rio Ferdinand, Marcelo, Sergej Milinkovic Savic, dan Raphael Varane.

“Saya sudah ikut sejak minggu pertama. Selalu kalah. Di minggu ketujuh ini akhirnya bisa lolos qualifier dan melaju ke Big League. Rasanya cukup excited bisa lolos ke liga dan mengalahkan pemain pro dari berbagai daerah,” kata Kevin kepada vivagoal.com, media partner resmi IGL. Sebelum ke fase liga, ia berkata akan mencoba mengubah komposisi skuat serta membenahi sektor tengah dan pertahanan.

IGL Week 6
Para peserta yang lolos kualifikasi IGL Week 6

Brian, Rama, dan Kevin akan menemani tiga pemain yang telah lolos di kualifikasi IGL minggu keenam lalu, yaitu Windy Hendro, Kenny Prasetyo, dan Yoga Harahap. Hingga kini telah 21 pemain yang lolos dari kualifikasi IGL ke babak Big League. Masih ada waktu satu minggu lagi bagi para pemain yang ingin menjajal kemampuan di IGL FIFA 19 FUT. Seperti biasa, pendaftaran dapat dilakukan melalui situs vivagoal.com. Siapakah juara FIFA 19 FUT yang akan meraih hadiah total ratusan juta rupiah di kompetisi ini nantinya?

ELEAGUE dan Microsoft Jalin Kerja Sama untuk Program Esports Gears of War

Gears of War sejak era Xbox 360 sudah berhasil meraih reputasi di kalangan gamer sebagai salah satu seri shooter terbaik dunia. Namun di kalangan pecinta esports gaungnya masih kurang begitu terdengar, kalah dengan judul-judul lain seperti PUBG atau Rainbow Six: Siege. Microsoft selaku penerbit eksklusif Gears of War tampaknya menyadari itu, dan kini ingin mendorong esports Gears of War supaya lebih “hidup” lagi.

Menyambut datangnya seri terbaru Gears of War di tahun 2019, yang berjudul Gears 5, Microsoft melalui Xbox Game Studios telah bekerja sama dengan ELEAGUE untuk meluncurkan program esports berskala besar. Program ini, bernama ELEAGUE Gears Summer Series: The Bonds and Betrayals of Brotherhood, terdiri dari dua bagian yaitu seri dokumenter dan turnamen.

Di sisi dokumenter, ELEAGUE akan menyoroti kehidupan enam pemain profesional Gears of War, bagaimana ikatan mereka dengan seri Gears of War itu sendiri, serta seperti apa keseruan dan keunikan dunia esports Gears of War (Gears Esports). ELEAGUE akan menunjukkan cara atlet-atlet ini beradaptasi dari Gears of War 4 ke Gears 5, baik itu dari potensi-potensi baru yang muncul serta apa saja kesalahan yang terjadi di masa lalu.

Sementara itu di sisi turnamen, ELEAGUE akan menyoroti pembukaan mode multiplayer Gears 5 Versus secara global. Kemudian mereka akan menggelar kompetisi bernama ELEAGUE Gears Summer Series, di mana delapan tim top Gears of War dari seluruh dunia akan berkumpul di ELEAGUE Arena, Atlanta, untuk unjuk keahlian dan saling beradu nyali.

Turnamen ini akan berlangsung pada tanggal 13 – 14 Juli 2019, ditayangkan langsung melalui Twitch dan layanan premium Bleach Report Live. Sayangnya belum ada informasi detail mengenai format kompetisi ataupun hadiah yang ditawarkan. Sementara itu seri dokumenternya direncanakan tayang di TBS mulai tanggal 14 Juni, dan terdiri dari enam episode.

Gears 5 - Screenshot
Sumber: Microsoft

Laporan Reuters mengatakan bahwa kerja sama ini adalah peluang bagi Turner (induk perusahaan TBS) untuk melayani audiens mereka di ranah olahraga dan hiburan, sekaligus juga menjangkau segmen baru yang terus berkembang yaitu audiens gaming. “Audiens ini adalah demografi yang paling diidamkan di lanskap media,” kata Craig Barry, Chief Content Officer di Turner Sports, kepada Reuters. “Kami tahu mereka ada di luar sana, kami tahu mereka telah terlibat. Tapi belum ada yang benar-benar tahu apa rahasianya.”

Langkah Microsoft, Xbox Game Studios, serta Turner dalam menggaet ELEAGUE terbilang sangat tepat. ELEAGUE selama ini sudah cukup berpengalaman menggelar turnamen ataupun menciptakan konten-konten menarik seputar esports. Kekuatan ELEAGUE terletak pada cara mereka mengemas program-program esports dengan unik, sehingga mampu menjadikannya hiburan seru walaupun game yang diangkat adalah cabang esports yang cukup niche. Gears Esports yang dibentuk oleh para penggemar dengan passion tinggi tampak merupakan pasangan tepat bagi ELEAGUE. Kita tunggu saja seperti apa hasil kerja sama ini nantinya.

Sumber: Microsoft, Reuters

Gen.G Terima Pendanaan Senilai US$46 Juta dari Sejumlah Investor Silicon Valley

Organisasi esports asal Korea Selatan, Gen.G, baru-baru ini mengumumkan pendanaan dari sejumlah investor ternama dunia. Jumlah dana yang dikucurkan itu pun cukup besar, mencapai US$46 juta atau sekitar Rp648,5 miliar. Menurut keterangan di situs resmi Gen.G, nama-nama yang terlibat dalam investasi ini antara lain Dennis Wong (pemilik klub basket LA Clippers), Will Smith (aktor papan atas Hollywood), Keisuke Honda (bintang sepak bola Jepang), Michael Zeisser (mantan Chairman of US Investments di Alibaba Group), serta David Rogier (co-founder MasterClass).

Will Smith dan Keisuke Honda sendiri merupakan pendiri dari perusahaan venture capital bernama Dreamers Fund yang berdiri sejak 2018 lalu, dan turut berpartisipasi dalam pendanaan ini. Peran keduanya di Gen.G nantinya tidak hanya sebagai pemilik modal, tapi juga masuk dalam jabatan Player Management Advisor bersama dengan mantan pemain NBA Chris Bosh. Mereka akan menjadi penasehat dalam urusan kreatif serta komersial, termasuk pengembangan brand Gen.G serta kegiatan para kreator konten.

Will Smith
Will Smith adalah pendiri Dreamers Fund bersama Keisuke Honda | Sumber: Variety

“Saya gembira melihat Dreamers Fund, badan pendanaan yang saya luncurkan bersama Will Smith, sekarang berinvestasi di Gen.G,” kata Keisuke Honda di situs resmi Gen.G. “Esports masih belum besar di Jepang, tapi kami melihat pertumbuhan luar biasa di sana maupun secara global, yang mana itu sangat positif. Kami memutuskan berinvestasi di Gen.G karena mereka memiliki tim hebat dan visi besar untuk menjadi pemimpin di bidang ini. Kami sungguh tak sabar bekerja bersama Gen.G untuk mendorong industri esports di seluruh dunia.”

Selain nama-nama di atas, pendanaan Gen.G juga diikuti oleh Silicon Valley Bank, yang sekaligus mengambil posisi sebagai banking partner Gen.G. Beberapa lembaga lain yang terlibat mencakup Stanford University, New Enterprise Associates (NEA), Conductive Ventures, Battery Ventures, dan Canaan Partners. Menurut Gen.G, Silicon Valley Bank punya peran besar dalam menggolkan pendanaan ini.

Gen.G tidak mengumumkan terlalu detail tentang isi kerja sama mereka. Namun beberapa program yang telah pasti adalah mereka akan menggunakan dana tersebut untuk meluncurkan program akademi pemain muda, mendirikan markas tim di Los Angeles, serta melakukan ekspansi ke cabang-cabang esports atau wilayah kompetisi baru. Markas baru tersebut rencananya akan dibuka pada musim panas tahun ini, sekitar bulan Juli 2019.

Seoul Dynasty
Seoul Dynasty, tim OWL di bawah Gen.G | Sumber: Seoul Dynasty

Gen.G (dulunya dikenal juga dengan nama KSV Esports) merupakan organisasi besar dengan kiprah besar di berbagai cabang esports berbeda. Selain tim League of Legends yang turut berlaga di League of Legends Championship Korea (LCK), Gen.G juga membawahi tim Overwatch League yaitu Seoul Dynasty.

Gen.G juga telah menjuarai kompetisi tingkat dunia di cabang Heroes of the Storm dan PUBG, meluncurkan tim Fortnite beranggota sepenuhnya perempuan, juga mengakuisisi tim Clash Royale, Call of Duty, serta Apex Legends dari berbagai negara. Hingga tahun 2020, Gen.G akan lebih fokus dalam program-program akademi, dan investasi ini memungkinkan mereka untuk menjalankan rencana itu dengan lebih mantap.

Sumber: Gen.G, The Esports Observer

Menelaah Kondisi League of Legends di Tahun 2019 Lewat Data dan Fakta

Bagaimana kabar League of Legends di tahun 2019? Di kalangan penggemar esports, game PC, maupun MOBA, pertanyaan demikian kerap kali dilontarkan. Maklum, dewasa ini memang League of Legends semakin banyak punya saingan. Mulai game satu genre seperti Arena of Valor atau Mobile Legends, hingga pembawa tren baru seperti Fortnite dan PUBG, sementara jumlah pasar gamer dunia jelas ada batasnya.

Riot Games sendiri belakangan juga terkesan enggan membuka data. Terakhir kali mereka menyatakan bahwa League of Legends memiliki 100 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users), tapi itu sudah lama sekali, yaitu tahun 2016. Data Statista di tahun 2017 menunjukkan bahwa game ini dimainkan oleh 100 juta orang, meskipun ada juga yang menyebutkan angka 111 juta pemain dari Tiongkok saja. Selepas itu kita belum melihat adanya data resmi terbaru.

Marc Merrill dan Brandon Beck, para co-founder Riot Games, dalam wawancara bersama Polygon memang pernah mengatakan bahwa mereka benci berbicara tentang angka. “Sulit untuk dijelaskan, tapi pada akhirnya, angka-angka itu bahkan tidak terasa nyata,” kata Beck. “Hal yang paling keren adalah ketika kita berada di acara live dan dapat bertemu dengan penggemar secara langsung. Saat itulah baru terasa nyata. Selain itu, semuanya hanya angka-angka di atas layar di berbagai penjuru dunia.”

Tapi sebagai orang-orang yang berada di posisi konsumen, sikap seperti ini mungkin kurang memuaskan. Kita tentu ingin tahu juga seperti apa kondisi pasar game ini sebenarnya, terutama bila kita memang merupakan penggemar setia. Beruntung, banyak data lain selain angka active users yang bisa kita telaah untuk mengukur sesehat apa kondisi League of Legends saat ini, dan apakah game tersebut masih sedang tumbuh, stagnan, atau justru sedang mengalami penurunan.

Viewership

Data pertama dan paling dekat adalah data resmi dari Riot Games tentang League of Legends World Championship 2018, alias Worlds 2018. Dalam artikel yang diterbitkan bulan Desember 2018, Riot Games menyatakan bahwa babak final Worlds 2018 berhasil mendatangkan 99,6 juta unique viewers, dengan puncak concurrent viewers sebesar 44 juta pemirsa. Concurrent viewers di sini adalah jumlah penonton yang menyaksikan acara secara bersamaan.

Worlds 2018 - Viewership
Sumber: Riot Games

Jumlah tersebut sangat fantastis, bukan hanya karena angkanya yang besar tapi juga karena pertumbuhannya yang sangat tinggi dari tahun sebelumnya. Data Worlds 2016 menunjukkan bahwa babak final ditonton oleh sebanyak 43 juta orang, sementara final Worlds 2017 disaksikan 58 juta orang. Artinya jumlah penonton Worlds 2018 naik sekitar 85% dari tahun sebelumnya, dan peak concurrent viewers Worlds 2018 lebih tinggi daripada total unique viewers Worlds 2016.

Tidak hanya turnamen Worlds yang punya angka viewership tinggi, namun juga tayangan-tayangan lain yang lebih kecil. Menurut laporan dari The Esports Observer, tayangan esports League of Legends sempat merajai Twitch di awal tahun 2019, dengan total waktu menonton hingga 3,46 juta jam dalam seminggu. Sejak saat itu peringkat Twitch ini sempat mengalami pergeseran, contohnya ketika Apex Legends dirilis. Tapi League of Legends konsisten terus menempati peringkat tinggi, bahkan ketika artikel ini ditulis, sedang bertengger di peringkat satu.

Angka tersebut memang tidak menggambarkan secara langsung berapa jumlah orang yang memainkan League of Legends saat ini. Tapi ada dua hal yang bisa kita simpulkan dari sana. Pertama, bahwa jumlah penggemar League of Legends itu sendiri masih sangat banyak, dan kedua, bahwa minat masyarakat terhadap esports League of Legends dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan drastis.

Prize Pool Turnamen

Berbeda dari angka viewership yang terus melesat, prize pool dari turnamen Worlds itu sendiri justru sempat menurun. Total hadiah Worlds 2016 berhasil mencapai US$5.070.000, dengan US$2.130.000 di alamnya berasal dari Riot Games dan sisanya dari kontribusi penggemar. Sementara di Worlds 2017 total hadiahnya justru mengecil, yaitu US$4.946.970. Padahal di tahun tersebut Riot Games sudah menaikkan hadiah awalnya menjadi US$2.250.000.

Untungnya, prize pool ini meningkat lagi sangat jauh di tahun berikutnya. Worlds 2018 menawarkan total hadiah hingga kurang lebih US$6.450.000. Hadiah awal dari Riot sendiri sama dengan tahun lalu yaitu US$2.250.000, namun kontribusi penggemar ternyata sangat besar, sekitar US$4.200.000. Itu artinya terjadi peningkatan kontribusi penggemar sebesar kurang lebih 55%.

Terlepas dari jumlahnya sendiri, yang lebih menarik adalah Riot Games mengambil langkah baru dalam distribusi hadiah itu. Kontribusi penggemar di prize pool turnamen Worlds biasanya mengambil 25% dari penjualan skin eksklusif yang telah ditentukan. Namun di tahun 2018, hanya 12,5% hasil penjualan itu yang jadi hadiah berdasarkan performa tim di Worlds. Sisa 12,5% lainnya dibagikan secara merata kepada seluruh tim yang lolos kualifikasi ke Worlds. Sistem distribusi ini dilakukan untuk memberi apresiasi lebih tinggi pada para tim yang lolos.

Worlds 2018 - Prize Pool Distribution
Sumber: Riot Games

Revenue

Riot Games boleh bangga dengan tingginya angka viewership dan prize pool di turnamen, akan tetapi ada satu pertimbangan yang tak kalah krusial, yaitu revenue secara keseluruhan. Dalam laporan yang diterbitkan oleh SuperData (Nielsen), revenue League of Legends di 2018 rupanya hanya mencapai angka US$1,4 miliar. Turun drastis dari tahun 2017 yang mencapai US$2,1 miliar, bahkan lebih rendah dari pencapaian tahun 2016 yaitu US$1,7 miliar.

Mungkin inilah penyebab utama yang memunculkan kekhawatiran seolah-olah League of Legends sedang sekarat. Mengacu pada data yang diterbitkan Statista, revenue tahun 2018 ini adalah revenue terendah League of Legends sejak tahun 2014. Setelah tiga tahun terus mengalami kenaikan, akhirnya di tahun 2018 League of Legends harus “tumbang”.

Mengapa revenue League of Legends turun sedemikian drastis? Ada beberapa pendapat. Sebagian orang menganggap penyebabnya adalah hubungan yang kurang baik antara Riot Games dengan Tencent yang merupakan pemilik saham terbesar Riot.

Konflik ini salah satunya berakar dari keengganan Riot Games untuk mengembangkan League of Legends versi mobile, padahal Tencent tahu bahwa ada potensi besar di ranah itu. Hasilnya, Tencent pun merilis game mobile mereka sendiri yang menyerupai League of Legends, yaitu Arena of Valor. Kini Arena of Valor justru menjadi saingan League of Legends, padahal keduanya berada di bawah induk yang sama yaitu Tencent.

Arena of Valor

Ongkos Penyelenggaraan Event

Penyebab lain yang turut berkontribusi terhadap revenue adalah ongkos untuk menggelar acara turnamen esports yang semakin lama semakin tinggi. Riot Games sempat menerima banyak kritik di tahun 2018 karena beberapa turnamen yang mereka gelar terkesan kurang anggaran. Tapi kemudian mereka menjawab dalam sebuah forum Reddit bahwa sebetulnya mereka tidak serta-merta memangkas ongkos, namun menyesuaikan anggaran dengan potensi pemasukan.

Hingga pertangahan 2018, Riot telah menginvestasikan kurang lebih US$100.000.000 per tahun untuk menggelar turnamen esports. Hasilnya memang mereka berhasil menciptakan turnamen-turnamen megah, tapi sebetulnya mereka sedang berada dalam fase “startup” dan belum memikirkan sustainability. Dengan kata lain, bisnis esports di Riot Games masih belum balik modal. 2018 menjadi penting karena di tahun inilah mereka mulai mengganti strategi lebih menuju profitability dan sustainability di bidang esports.

Worlds 2018 - Invictus Gaming
Sumber: Riot Games

Benar bahwa Riot sempat memangkas anggaran untuk beberapa turnamen, namun itu sebetulnya merupakan sebuah eksperimen saja tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk menekan anggaran. Daripada menurunkan anggaran, Riot lebih ingin meningkatkan revenue, jadi itulah yang akan mereka fokuskan selama tiga tahun ke depan. Apabila revenue berhasil meningkat dalam jangka waktu tiga tahun, anggaran esports Riot Games tidak akan berubah, bahkan bisa meningkat. Tapi bila tidak berhasil maka anggaran itu akan diturunkan.

Ancaman Persaingan

Meski revenue League of Legends di tahun 2018 adalah yang terendah sejak 2014, bukan berarti angka tersebut jelek. Dalam laporan SuperData, League of Legends masih menempati urutan ketiga dalam peringkat top free-to-play games sepanjang tahun 2018. Mengalami penurunan memang benar, tapi mungkin terlalu berlebihan bila League of Legends dikatakan “sekarat”.

Bila League of Legends peringkat tiga, lalu siapa peringkat satunya? Anda pasti bisa menebaknya dengan mudah. Benar sekali, revenue tertinggi free-to-play 2018 ada di tangan sang raja battle royale, Fortnite. Karya Epic Games tersebut berhasil meraih revenue senilai US$2,4 miliar.

Fortnite

Ancaman dari Fortnite ini bukan main-main. Dalam laporan keuangan yang diterbitkan di bulan Januari 2019, Netflix menyatakan bahwa saingan mereka bukan hanya platform video seperti HBO, Amazon, atau Apple, tapi juga video game. Bahkan sebagaimana dilansir Forbes, ancaman terhadap Netflix datang lebih besar dari Fortnite daripada dari HBO.

Kalau Netflix—yang bukan perusahaan game—saja begitu tergerus oleh Fortnite, dampaknya terhadap League of Legends tentu lebih besar lagi. Ingat, Netflix dan Fortnite pada dasarnya cuma berebut screen time. Sementara League of Legends dan Fortnite bukan hanya berebut screen time tapi juga berebut play time.

Pengeluaran pengguna untuk Netflix sifatnya flat karena menggunakan sistem berlangganan, sementara Fortnite dan League of Legends sama-sama menjual in-game item sehingga jumlah pemasukan per orang bisa berubah-ubah. Setiap gamer tentu memiliki batasan akan berapa jumlah uang yang mau ia keluarkan untuk game free-to-play. Jumlah uang yang ia keluarkan akan proporsional dengan game yang paling sering ia mainkan.

Menunggu Hasil Diversifikasi

League of Legends sudah mencapai kesuksesan yang luar biasa, dan kini mungkin sudah waktunya sang raja menyerahkan takhtanya. Revenue yang turun setelah sekian lama menunjukkan bahwa tampaknya League of Legends sudah menyelesaikan fase pertumbuhan (growth) dan kini berada di fase kedewasaan (maturity). Dari sini, fokus Riot Games harus berubah, bukan lagi mencari pertumbuhan sebanyak-banyaknya, tapi mempertahankan League of Legends menjadi produk yang sustainable sebelum akhirnya masuk ke fase penurunan (decline). Strategi Riot Games dalam mengatur anggaran esports mencerminkan hal itu.

Menengok ke belakang, sebetulnya kondisi League of Legends tahun ini sudah diantisipasi oleh para pendiri Riot Games sejak dua tahun ke belakang. Menjelang akhir tahun 2017 lalu, Marc Merrill dan Brandon Beck menyatakan pengunduran dirinya dari posisi manajemen untuk kembali ke tim developer dan mengembangkan game baru. Seperti apa game baru itu, kita masih belum tahu. Yang jelas, Riot Games telah sadar bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan satu produk selamanya. Tidak hanya Riot, Valve pun beberapa waktu lalu telah melakukan upaya serupa dengan merilis Artifact, meskipun keberhasilannya masih menjadi tanda tanya.

Game baru Riot Games ini sekarang masih berada dalam pengembangan. Riot Games telah membuka lowongan untuk developer di bulan Februari lalu, dan menurut cuitan dari Katie Chironis (Senior Game Designer di Riot Games), tim developer untuk game ini berjumlah kecil tapi sangat beragam. Belum detail yang diungkap oleh Riot mengenai produk baru ini, dan mungkin kita masih harus menunggu lama sebelum melihat hasilnya. Tapi yang jelas, langkah Riot untuk fokus pada sustainability di League of Legends sambil melakukan diversifikasi produk bisa dikatakan sudah tepat.

Rencana ke Depan

Di tahun 2019 ini, Riot Games melakukan beberapa langkah untuk membuat ekosistem esports League of Legends semakin rapi. Salah satunya yaitu pemisahan yang lebih jelas antara esports di Amerika Serikat dengan Eropa. Dulu League of Legends Championship Series (LCS) terbagi menjadi dua, yaitu NA LCS dan EU LCS. Akan tetapi mulai tahun ini Eropa memiliki liga sendiri dengan nama League of Legends European Championship (LEC). Sementara di Amerika, nama LCS tetap digunakan.

Riot juga meluncurkan situs baru yang menjadi pusat akan segala informasi yang berhubungan dengan esports League of Legends. Bila dulu penggemar harus membuka berbagai situs berbeda bila ingin membaca artikel, menonton pertandingan, dan mencari tiket event, kini semua disatukan dalam satu wadah yang disebut Nexus. Riot juga meluncurkan situs khusus untuk membeli merchandise, termasuk jersey tim-tim profesional yang berlaga di LCS.

Riot juga semakin mengembangkan liga mereka di level mahasiswa. Salah satu program yang diluncurkan tahun ini yaitu program College Season Streamer. College Season sendiri merupakan liga League of Legends yang diikuti oleh lebih dari 350 kampus, dan lewat program ini, Riot ingin menggaet para shoutcaster (baik amatir ataupun profesional) untuk menyiarkan pertandingan-pertandingan secara live streaming. Esports level mahasiswa ini sangat penting dalam memunculkan talenta-talenta baru yang memastikan ekosistem bisa berjalan secara berkelanjutan.

LEC 2019 Spring - G2
Sumber: lolesports

Selain itu, sejalan dengan keinginan Riot untuk meningkatkan revenue dari esports, sejak tahun 2018 mereka semakin gencar menjalin partnership dengan berbagai pihak. Beberapa sponsor yang kini terlibat meliputi SK Telecom, Mastercard, Dell/Alienware, SecretLab, hingga Nike. Kerja sama dengan Mastercard yang terjadi pada bulan September 2018 punya posisi yang cukup spesial, karena mereka menempati posisi sebagai Global Partner pertama bagi esports League of legends. Apalagi kerja sama ini diumumkan sebagai kerja sama jangka panjang. Mastercard sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi sponsor dalam industri olahraga maupun hiburan, dan lewat kerja sama ini, Mastercard akan menghadirkan berbagai inovasi untuk membuat pengalaman esports League of Legends semakin unik dan tak terlupakan.

League of Legends sepanjang 2018 telah berhasil menjadi esports paling banyak ditonton di seluruh dunia. Di tahun 2019 ini, Riot tampaknya ingin fokus dalam menghadirkan pengalaman yang secara keseluruhan lebih nyaman kepada para penggemarnya. Esports League of Legends sudah berhasil menjadi yang terbesar. Kini saatnya Riot memastikan bahwa esports League of Legends adalah yang terbaik.

Kesimpulan

Apakah League of Legends sedang sekarat? Jawabannya, jelas tidak. Terjadi penurunan di beberapa aspek memang iya, dan itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi walau dengan penurunan itu pun sebetulnya posisi League of Legends masih sangat kuat. Game ini masih merupakan raksasa dengan viewership tertinggi di dunia dan revenue tertinggi ketiga di dunia, jadi secara gambaran global, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Di beberapa daerah, minat masyarakat terhadap League of Legends bahkan semakin meningkat. Contohnya di Amerika Serikat. Dalam turnamen North America League of Legends Championship Series (NA LCS) Spring Split 2019, jumlah penonton babak final di Twitch dan YouTube mencapai 600.000 orang. Ini meningkat dari NA LCS Spring Split 2018 yang ditonton kurang lebih 520.000 orang. Jumlah penonton yang datang langsung ke venue pun melebih 10.000 orang, dan diprediksi akan meningkat di masa depan.

Jumlah penonton Worlds 2018 yang mencapai 99,6 juta orang itu bahkan lebih tinggi daripada penonton Super Bowl yang “hanya” 98 juta penonton. Padahal Super Bowl merupakan kejuaraan American Football tahunan yang selalu menghebohkan dan digandrungi masyarakat. Perbandingan ini, ditambah dengan prediksi bahwa pangsa pasar esports masih akan terus tumbuh hingga 2021, menunjukkan bahwa di tengah persaingan yang begitu ketat pun League of Legends masih mampu menjaga keberlangsungan ekosistemnya dengan sangat baik.

Di tahun 2009 ini League of Legends akan merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Selama sepuluh tahun ini League of Legends telah berhasil menjadi hiburan, tontonan, bahkan mata pencaharian bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia. Stakeholder game ini bukan lagi hanya Riot Games, tapi juga para sponsor, atlet, caster, organizer, dan segala pihak lain yang terlibat di dalamnya. Tidak ada yang abadi di dunia ini memang, dan League of Legends suatu hari pun pasti akan mati. Tapi selama seluruh stakeholder di atas mampu bekerja sama menciptakan ekosistem yang sustainable, saya rasa League of Legends masih akan tetap jaya untuk waktu yang lama.

Sony Patenkan Teknologi Esports Spectator untuk Virtual Reality

Seiring tumbuhnya jumlah penikmat esports di mancanegara, turnamen esports pun semakin bertambah besar dan mewah. Beberapa turnamen bahkan dihadiri hingga puluhan ribu orang, seperti laga final North America League of Legends Championship Series Spring Split 2019. Namun di antara para penggemar itu mungkin saja ada yang tidak bisa hadir menonton secara langsung, baik karena lokasi yang jauh atau alasan-alasan lainnya.

Beruntunglah mereka. Berkat perkembangan teknologi, ada kemungkinan mereka akan bisa menikmati tontonan esports yang imersif meski tanpa harus datang langsung, caranya dengan perangkat virtual reality. Dilansir dari VentureBeat, baru-baru ini Sony dilaporkan telah mendaftarkan paten untuk teknologi tontonan esports yang akan membuat Anda seolah-olah sedang berada di lokasi event esports.

PSVR - Esports Spectator
Sumber: Sony

Paten teknologi tersebut, yang disebut “Spectator View Into An Interactive Gaming World Showcased In A Live Event Held In A Real-World Venue”, memanfaatkan sejumlah kamera untuk menangkap suasana lokasi pertandingan, kemudian memancarkannya ke dalam perangkat PlayStation VR. Kamera dan mikrofon juga ditempelkan di kursi-kursi di lokasi acara, sehingga penonton VR bisa menikmati acara lewat berbagai sudut pandang. Di kursi-kursi ini juga diletakkan sensor jarak untuk mendeteksi bila kursi itu sedang digunakan oleh orang lain.

Selain menikmati sudut pandang seperti penonton di venue, teknologi ini juga mencakup kemampuan untuk melihat langsung ke dalam game. Sekali waktu Anda merasa seperti penonton esports biasa, tapi kemudian dengan satu tombol Anda bisa menyaksikan permainan seolah sedang berada di medan pertempuran itu sendiri.

PSVR - Sensors
Sumber: Sony

Bayangkan bila kita menyaksikan hero-hero Overwatch bertarung langsung di depan mata kita, atau bila kita dapat ikut “masuk” ke dalam mobil Gran Turismo dan menyaksikan balapan langsung dari sudut pandang pengemudi. Tentu akan seru sekali, bukan? Teknologi ini juga memungkinkan adanya tampilan hibrida, di mana berbagai unsur sebuah game dimunculkan di sekitar penonton dalam ruang VR. Cara ini disebut sebagai “virtual augmented reality”.

Sony bukan perusahaan pertama yang berusaha memanfaatkan teknologi VR untuk tayangan esports. Sebelumnya, Valve dengan Dota 2 juga telah merilis fitur serupa yang disebut sebagai Dota 2 VR Spectator Mode. Memanfaatkan perangkat HTC Vive, kita bisa seolah-olah menonton dengan layar besar, atau langsung “masuk” ke dalam game dan melihat gerakan para hero dari dekat. Teknologi Sony akan menghadirkan pengalaman serupa pada para pengguna PlayStation, yang jumlahnya ada puluhan juta orang di seluruh dunia.

Sony tidak menjelaskan teknologi ini akan digunakan untuk game atau kompetisi esports apa. Namun dalam paten tersebut ada beberapa tulisan yang menyebutkan nama “PlayStation Plus League”. Mungkinkah ini artinya Sony berencana meluncurkan liga esports sendiri di masa depan? Bisa saja. Untuk sekarang, hita hanya bisa menunggu pengumuman lebih lanjut dari Sony tentang teknologi ini.

Sumber: VentureBeat