Mau Kembangkan Komunitas, Tencent Games Bakal Buat Liga PUBG Mobile Amatir

Pada awalnya, PlayerUnknown’s Battleground (PUBG) diluncurkan untuk PC. Namun, pada Maret tahun lalu, Tencent dan PUBG Corp. meluncurkan versi mobile dari PUBG. Game itu dengan cepat menjadi populer. Dalam waktu kurang dari enam bulan, game tersebut telah diunduh sebanyak 100 juta kali.

Pertumbuhan pemain dari PUBG Mobile juga cukup cepat. Per Juni 2019, Tencent mengumumkan bahwa PUBG Mobile telah diunduh sebanyak 400 juta kali dengan pengguna aktif bulanan sebanyak 50 juta orang. Tiga bulan sebelumnya, Tencent mengumumkan bahwa PUBG Mobile telah diunduh sebanyak 200 juta kali. Itu artinya, hanya dalam waktu tiga bulan, jumlah unduhan PUBG Mobile naik dua kali lipat. Dan 400 juta jumlah unduhan PUBG Mobile ini tidak termasuk unduhan di Tiongkok.

Sekarang, publisher PUBG Mobile, Tencent Games berencana untuk mengembangkan komunitas PUBG Mobile di Amerika Utara dengan bekerja sama dengan Super League Gaming, penyelenggara turnamen esports amatir. Menurut pernyataan resmi, Tencent dan SLG akan membangun komunitas dengan cara membuat liga amatir. Selain itu, mereka juga menyiarkan secara langsung pertandingan para pemain amatir. Biasanya, pemain profesional menjadi perhatian dari semua orang. Kali ini, SLG ini mengekspos para pemain amatir.

“Tencent Games senang bekerja sama dengan Super League Gaming untuk mengadakan kompetisi PUBG Mobile amatir di Amerika Serikat,” kata Head of North American Publishing, Tencent Games, Neo Liu, dikutip dari VentureBeat. “Komunitas gamer lokal yang telah dikembangkan oleh Super League dan konten yang mereka produksi serta distribusikan melalui channel digital dan media sosial mereka akan memuaskan para pemain PUBG Mobile dan mendorong pertumbuhan game ini.”

CEO Super League Gaming, Ann Hand mengatakan bahwa gameplay PUBG Mobile sangat cocok dengan para gamer di Amerika Serikat. Dia menyebutkan, PUBG Mobile menawarkan gameplay yang menyenangkan dan pada saat yang sama mendorong para pemainnya untuk saling berkompetisi. SLG mengembangkan komunitas lokal dengan mengadakan acara rutin sehingga para gamer dan fans bisa berkumpul, bermain, dan saling mengenal satu sama lain. Salah satu kompetisi yang diadakan oleh SLG adalah liga “City Champs”. Sesuai namanya, di sini, para pemain amatir akan bertanding sebagai perwakilan dari kota asalnya.

Tahun ini, tampaknya Tencent Games cukup agresif dalam mengembangkan PUBG Mobile. Pada Maret lalu, mereka membuat turnamen PUBG Mobile Club Open 2019 yang akan berlangsung selama satu tahun penuh. Disponsori oleh merek smartphone Tiongkok, Vivo, turnamen itu menawarkan total hadiah sebesar US$2,5 juta, menurut laporan Esports Observer.

PINC 2019. Sumber: PUBG Mobile
PINC 2019. Sumber: PUBG Mobile

Di Indonesia, PUBG Mobile juga cukup populer. Turnamen PUBG Mobile juga diadakan dalam skala yang besar, seperti PUBG Mobile Indonesia National Championship yang mencakup seluruh Indonesia. Tidak hanya turnamen profesional, pada akhir tahun lalu, Tencent Games juga mengadakan PUBG Mobile Campus Chamipionship untuk mengadu para gamer di tingkat kampus.

Selama ini, turnamen esports fokus pada game-game PC dan konsol. Namun, seiring dengan semakin bagusnya performa smartphone dan tablet, esports mobile juga mulai diminati. Hal ini khususnya berlaku untuk negara mobile first seperti Indonesia, yang sebagian besar pengguna internetnya mengenal internet pertama kali menggunakan perangkat mobile dan bukannya PC.

Personalisasi untuk Meningkatkan Monetisasi Esports?

Esports semakin menyerupai olahraga tradisional. Mulai tahun depan Overwatch League akan menggunakan sistem kandang-tandang, mengharuskan tim-tim yang berkompetisi untuk memiliki stadion sebagai markasnya. Sayangnya, jumlah uang yang didapatkan oleh para atlet esports dari fans-nya masih jauh lebih rendah daripada atlet olahraga konvensional. Atlet american football yang bertanding di liga nasional AS bisa mendapatkan US$50 per fan sementara atlet esports hanya US$3,2.

Ini tidak aneh, mengingat industri esports memang masih sangat baru jika dibandingkan dengan olahraga konvensional lainnya. Itu artinya, esports masih bisa berkembang. Kabar baiknya, potensi industri esports sangat besar. Menurut laporan Global Entertainment & Media Outlook buatan PwC, pendapatan esports diperkirakan akan mencapai US$30 miliar pada 2023. Sementara Newzoo menyebutkan bahwa pendapatan esports tahun ini telah menembus US$1,1 miliar.

Untuk merealisasikan potensi industri esports, ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh para pelaku industri, menurut laporan VentureBeat. Salah satunya adalah personalisasi. Sebagian besar fans esports merupakan generasi milenial dan generasi Z, yang jauh lebih terbiasa menggunakan teknologi jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Itu artinya, mereka lebih tahu cara untuk menghindari iklan, membuat mereka menjadi konsumen yang sulit untuk dijangkau. Menurut HubSpot, 90 persen dari mereka menggunakan pemblokir iklan saat menggunakan internet.

Karakteristik penonton esports | Sumber: HubSpot
Karakteristik penonton esports | Sumber: HubSpot

Personalisasi bisa jadi salah satu cara untuk membuka jalan bagi para pengiklan. Untuk memberikan iklan yang sesuai dengan ketertarikan fans esports, pengiklan bisa memanfaatkan artificial intelligence dan machine learning. Sejauh ini, AI memang sudah mulai digunakan di industri esports dan gaming, seperti untuk melatih pemain pemula agar bisa menjadi lebih baik. Sementara contoh penggunaan AI untuk periklanan di gaming atau esports dilakukan oleh Anzu.io, yang menawarkan untuk menampilkan iklan yang dinamis yang terintegrasi dengan gameplay sebuah game.

Hal lain yang bisa dilakukan oleh pelaku industri esports untuk meningkatkan pemasukan adalah dengan memberikan insentif agar para penonton lebih aktif berinteraksi. Saat Anda menonton pertandingan olahraga, seperti sepak bola, Anda tidak hanya menonton para pemain, tapi juga ikut berteriak menyemangati, menyoraki musuh, dan bahkan ikut merayakan gol dari tim yang Anda dukung.

Sayangnya, penonton esports cenderung pasif, terutama ketika mereka tidak menonton pertandingan di stadium besar. Padahal, jauh lebih mudah bagi para penonton esports untuk berinteraksi dengan tim kesayangan mereka karena pertandingan dilangsungkan di dunia digital. Salah satu interaksi yang bisa menjadi sumber pendapatan di industri esports adalah dengan menjual skin yang akan dipakai oleh para tim esports. Dengan begitu, penonton akan merasa lebih dekat dengan para atlet profesional. Ini mirip dengan cara layanan streaming game Tiongkok memonetisasi layanannya, yaitu dengan mendorong para penonton membeli virtual gift untuk para streamer.

Terakhir, perusahaan bisa memberikan hadiah pada penonton untuk menunjukkan bahwa mereka menghargai waktu dan perhatian yang penonton berikan. Hadiah yang diberikan bisa berupa sesuatu sesederhana item dalam game. Sliver TV, salah satu platform streaming, menerapkan strategi ini. Mereka mendorong penonton agar lebih aktif berinteraksi dengan memberikan mereka token yang bisa mereka gunakan untuk membeli barang, baik di dunia virtual atau di dunia nyata.

Industri esports memang memiliki potensi besar, memungkinkan banyak pihak untuk mendapatkan untung. Namun, karena industri esports relatif muda jika dibandingkan dengan industri olahraga konvensional, masih belum ada sistem monetisasi yang terbukti. Karena itu, para pelaku industri esports harus bisa menemukan cara yang tepat agar industri esports tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang.

StarLadder Berlin Gunakan Big Data untuk Dapatkan Penghasilan Ekstra

Perusahahaan di berbagai industri mulai memanfaatkan big data dan software analitik untuk menumbuhkan bisnis mereka. Menurut perusahaan analitik SAS, penggunaan software analitik bisa membantu perusahaan untuk menekan biaya operasional, membuat keputusan dengan lebih cepat, dan bahkan menawarkan produk dan layanan baru.

Sekarang, esports juga telah menjadi industri besar, menurut Newzoo, nilainya mencapai US$1,1 miliar pada tahun ini. Karena itu, tidak heran jika permintaan akan software analitik mulai muncul. Pada September tahun lalu, GRID resmi diluncurkan. Ketika itu, mereka mengklaim sebagai platform data esports yang bertujuan untuk membuka sumber pendapatan baru bagi para pelaku industri esports. Selain itu, mereka juga berharap akan dapat membuat pengalaman menonton esports para fans menjadi lebih menyenangkan.

Sekarang, GRID mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan akses atas data dari StarLadder Berlin, kompetisi internasional Counter-Strike: Global Offensive yang akan diadakan pada akhir Agustus sampai awal September mendatang. Melalui kerja sama ini, ada dua hal yang menjadi tujuan GRID. Pertama, mereka ingin meningkatkan pendapatan bagi penyelenggara turnamen. Kedua, mereka ingin memastikan bahwa data turnamen tersimpan dengan aman.

“Melalui kerja sama ini, kami akan bekerja sama dengan StarLadder untuk membantu mereka memaksimalkan pendapatan memanfaatkan aset data,” kata VP of Partnerships, GRID, Charles Hanley-Nickolls, seperti yang dikutip dari Esports Insider. “Kami juga akan bertanggung jawab atas integritas data mereka.”

Salah satu layanan yang GRID sediakan adalah Stats dan Insight, yang memiliki fungsi seperti namanya. Data yang diberikan oleh GRID ini dapat digunakan penyelenggara StarLadder untuk membuat para penonton menjadi lebih tertarik dalam berinteraksi, baik di situs maupun media sosial. Misalnya, dengan membuat analisa seperti gambar di bawah. Dengan membuat siaran menjadi lebih menarik, penyelenggara akan bisa meningkatkan pendapatan dari sponsor.

Contoh konten dari layanan Insight milik GRID. | Sumber: GRID via Esports Insider
Contoh konten dari layanan Insight milik GRID. | Sumber: GRID via Esports Insider

“Di GRID, kami juga berusaha untuk membuat pengalaman menonton para fans menjadi lebih baik dengan membuat siaran menjadi lebih interaktif. Dan ini juga akan kami lakukan dengan StarLadder,” kata Hanley-Nickolls. “Menggunakan layanan Stats and Insights kami, konten yang didasarkan pada data akan bisa langsung dibuat dan dikirim ke StarLadder sehingga mereka bisa menggunakan konten itu di media sosial dan channel untuk siaran mereka.”

Sebelum ini, platform dari GRID juga pernah digunakan pada turnamen besar CS:GO lainnya, yaitu FACEIT London Major. Itu merupakan turnamen pertama yang menggunakan layanan dari GRID. Ketika itu, CEO GRID, Moritz Maurer berkata bahwa mereka berencana untuk memperluas jangkauan layanan mereka ke berbagai game, terlepas dari genre dan platform game tersebut.

“Kami tidak sabar untuk masuk ke game konsol dan mobile, selain game-game PC yang memang sudah memiliki banyak turnamen,” kata Maurer pada Esports Insider. “Kami adalah perusahaan teknologi, jadi kami tidak takut akan industri game, yang masih belum menggunakan data sama sekali.”

Seiring dengan pertumbuhan industri esports, tampaknya para penyelenggara turnamen memang semakin tertarik untuk menggunakan data yang mereka punya. Dalam minggu ini, Bayes Esports Solutions mendapatkan hak distribusi dari data tiga turnamen besar dari League of Legends. Sedikit berbeda dengan kerja sama GRID dan StarLadder yang bertujuan untuk mendorong keuntungan, kerja sama itu dibuat untuk menyediakan data bagi media dan caster.

Meskipun nilai esports sebagai industri sudah besar, sebagian besar pendapatan di industri ini masih berasal dari sponsorship. Dengan penggunaan software analitik dan big data, para pelaku industri esports mungkin akan bisa menemukan bisnis model yang sesuai agar esports bisa bertahan di masa depan.

Game Mobile jadi Kontributor Utama untuk Pendapatan Game Tencent

Tencent baru mengumumkan laporan keuangannya. Pada Q2 2019, total pendapatan konglomerat asal Tiongkok itu mencapai 88,8 miliar yuan atau sekitar Rp180,4 triliun. Sebagai konglomerasi internasional, Tencent memiliki banyak divisi yang bergerak di bidang yang berbeda-beda, salah satunya game.

Sejauh ini, menurut Esports Observer, Tencent telah menghabiskan dana hingga US$2 miliar di industri esports. Selain itu mereka, juga berusaha untuk mengembangkan game-game esports, seperti game MOBA Arena of Valor. Mereka juga menjadi penerbit dari PUBG Mobile. Total pendapatan game online yang mereka dapatkan mencapai 27,3 miliar yuan, naik 8 persen dari tahun lalu. Kontribusi terbesar berasal dari game mobile, yang pendapatannya mencapai 22,2 miliar yuan.

revenue tencent

Sementara pendapatan dari game PC justru mengalami penurunan 9 persen menjadi 11,7 miliar yuan (sekitar Rp23,76 triliun). Tampaknya, penghasilan dari game PC menurun karena pemerintah Tiongkok sempat membekukan perizinan peluncuran game-game baru. Larangan itu mulai berlaku sejak Maret 2018 dan baru dihapus pada April lalu.

Meskipun pemerintah telah kembali mengizinkan peluncuran game baru, peraturan terkait game yang boleh diluncurkan menjadi semakin ketat. Misalnya, game judi seperti poker tak lagi boleh diluncurkan. Padahal, game itu adalah salah satu favorit developer karena mudah dibuat dan bisa memberikan untung yang besar. Game lain yang tak boleh diluncurkan adalah game dengan latar belakang masa imperial. Game yang menunjukkan darah dan mayat juga dilarang.

Inilah alasan mengapa Tencent meluncurkan versi adaptasi dari PUBG di Tiongkok, yang dinamai Game for Peace. Tencent sempat meluncurkan PUBG di negara asalnya. Hanya saja, mereka dilarang untuk memonetisasi game itu. Setelah menunggu izin dari pemerintah selama satu tahun, Tencent memutuskan untuk menarik PUBG dan menggantinya dengan Game for Peace, yang memiliki gameplay sama persis seperti game battle royale itu meski ada detail yang mungkin terlihat agak aneh. Misalnya, setelah Anda membunuh seseorang, dia akan melambaikan tangan sebelum berlari pergi.

Setelah larangan untuk meluncurkan game baru dicabut pada April, Tencent merilis 10 game baru pada Q2 2019, satu game lebih banyak jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Menurut VentureBeat, game-game baru itu belum memberikan kontribusi pada pendapatan total Tencent karena kebanyakan masyarakat Tiongkok senang untuk bermain game gratis dengan item yang bisa dibeli. Itu artinya, tidak peduli berapa banyak orang yang memainkan game-game baru Tencent, mereka tidak akan mendapatkan uang saat itu juga. Sebagai gantinya, Tencent akan mendapatkan uang ketika pemain mulai membeli item yang dijual.

“Pendapatan dari game smarpthone naik 5 persen dari kuartal sebelumnya, seiring dengan semakin banyaknya game yang kami luncurkan setelah lisensi izin monetisasi dibuka kembali, mengimbangi kuartal yang biasanya lemah,” tulis Tencent dalam laporan keuangannya. Salah satu game yang Tencent luncurkan dengan sukses adalah Teamfight Tactics, game autochess yang merupakan spinoff dari League of Legends.

“Pendapatan dari League of Legends naik jika dibandingkan tahun lalu, berkat skin karakter bertema esports yang populer,” tulis Tencent. “Pada Juni, League of Legends juga memperkenalkan mode baru, Teamfight Tactics, memberikan kontribusi pada pertumbuhan pengguna harian dan lama waktu bermain. Teamfight Tactics telah menjadi pemimpin dalam kategori autochess yang masih baru.”

Game lain yang Tencent bahas adalah Peacekeeper Elite. Meskipun game itu baru diluncurkan pada Mei lalu, game itu telah memiliki lebih dari 50 juta pengguna harian. Untuk memonetisasi game tersebut, Tencent menjual season pass. Cepatnya game Tencent mendapatkan 50 juta pengguna harian menunjukkan bagaimana konglomerasi itu mendominasi pasar Tiongkok.

NSE dan ESL Kerja Sama untuk Siapkan Mahasiswa Kerja di Industri Esports

Esports kini memang tengah menjadi pembicaraan hangat. Meskipun berawal dari komunitas, esports kini tumbuh menjadi industri bernilai US$1,1 miliar, menurut Newzoo.

Para tim dan pemain profesional tentu saja jadi bintangnya. Ketika Kyle “Bugha” Giersdorf menjadi juara Fortnite World Cup, namanya muncul di berbagai headline media. Namun, menjadi atlet tidak melulu soal hadiah yang besar dan popularitas. Ada harga mahal yang harus dibayar bagi para atlet esports profesional, mulai masalah kesehatan, stres, hingga kerelaan untuk tidak menjalin hubungan romantis. Di belakang para atlet ini, juga terdapat manajemen tim yang mendukung. Seperti yang dibahas dalam artikel tentang perjuangan para atlet esports, salah satu kunci dari keberlangsungan esports sebagai industri adalah regenerasi.

ESL Jagoan Series - Free Fire
Sumber: ESL Indonesia

Sekarang, di Amerika Serikat, mulai bermunculan program yang dikhususkan untuk memunculkan para atlet esports berbakat. Contohnya, University of California, Irvine (UCI) telah menawarkan program beasiswa untuk pemain Super Smash Bros. Kabar terbaru, National Student Esports (NSE) juga mengumumkan kerja samanya dengan ESL. Dengan kerja sama ini, NSE dan ESL akan membuat program untuk para mahasiswa di universitas di Inggris agar mereka lebih siap untuk masuk ke industri esports.

“Universitas selalu menjadi pusat berkumpulnya talenta generasi berikutnya di industri baru, begitu juga dengan esports,” kata Executive Director of NSE, Jon Tilbury, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami tidak sabar untuk bekerja sama dengan ESL untuk membuka kesempatan bagi para mahasiswa, tidak peduli apakah mereka ingin menjadi pemain profesional atau bekerja di belakang layar untuk mengadakan turnamen esports terbesar dunia.”

Kerja sama dari ESL dan NSE ini diawali dengan workshop yang diadakan oleh Intel. Dalam satu tahun ke depan, ESL dan NSE akan bekerja sama untuk membuat berbagai program, baik program yang akan mereka eksekusi bersama atau dengan perusahaan dan organisasi lain yang menjadi rekan mereka.

Baik NSE dan NSL merupakan ahli di bidangnya. Menurut British Esports Association, NSE merupakan badan resmi yang dibuat dengan tujuan untuk mengembangkan ekosistem esports di tingkat universitas dan mereka telah sukses melakukan itu. Sementara ESL dipercaya sebagai perusahaan esports terbesar. Mereka merupakan penyelenggara turnamen yang telah berdiri sejak 2000. Di Indonesia, ESL pernah menyelenggarakan R6S Community Cup.

“Kami sangat senang untuk menjalin kerja sama yang positif dengan NSE untuk mendekatkan diri dengan mahasiswa,” kata Marketing and Communication Manager, ESL, Heather Dower, seperti dikutip dari Gamasutra. “Kerja sama yang erat akan menjadi kunnci dari pertumbuhan industri esports di Inggris pada masa depan. Kami tidak sabar untuk memberikan informasi lebih detail tentang ini!”

Meskipun masih ada stigma negatif tentang pekerjaan terkait gaming atau esports di Indonesia, dipercaya bahwa industri game lokal akan tumbuh positif. Saat ini, telah ada 20 sekolah dan kampus Indonesia yang menawarkan pendidikan terkait pembuatan game. Mengingat game menggabungkan banyak aspek — mulai dari pemrograman, animasi, musik, hingga penulisan cerita — maka program studi yang ditawarkan juga beragam. Misalnya, SMK Raden Umar Said (RUS) Kudus membuka program studi Desain Komunikasi Visual, Animasi 3D, dan Rekayasa Perangkat Lunak. Sementara Institut Teknologi Bandung menawarkan program Opsi Media Digital & Teknologi Game di bawah program studi Teknik Elektro.

Tim Esports Mulai Kerja Sama dengan Perusahaan Media Analitik

Generasi milenial dan generasi Z adalah konsumen yang sulit dijangkau. Mereka jarang menonton TV. Seolah itu tidak cukup buruk, mereka menggunakan pemblokir iklan ketika menjelajah internet.

Salah satu cara untuk menjangkau generasi milenial dan generasi Z adalah melalui esports. Karena itulah, semakin banyak merek non-endemik yang menjadi sponsor turnamen atau tim profesional. Misalnya, Honda yang menjadi sponsor dari League of Legends Championship Series (LCS) setelah menyatakan dukungannya untuk Team Liquid pada Januari lalu.

Ke depan, tampaknya akan semakin banyak merek non-endemik yang mendukung perkembangan esports sebagai ekosistem. Menurut Nielsen, nilai sponsorship dari merek non-endemik naik 13 persen pada tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Untuk mendapatkan insight tentang para sponsornya, Pittsburgh Knights menjalin kerja sama dengan perusahaan media analitik Zoomph. Layanan dari Zoomp memungkinkan Knights untuk tahu penempatan logo sponsor di foto dan video mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan akan bisa melakukan ini saat mereka tengah melakukan siaran langsung.

Menurut CrunchBase, Pittsburgh Knights didirikan pada 2017. Sama seperti kebanyakan tim profesional esports lainnya, tujuan mereka adalah untuk bisa bertanding di kelas internasional. Namun, mereka juga ingin dapat dekat dengan komunitas lokal mereka.

“Kerja sama ini akan membantu semua aspek bisnis kami — secara internal, ini akan membantu tim kami untuk menjawab berbagai pertanyaan dan menjadi lebih proaktif dalam mengantisipasi apa yang fans kami inginkan,” kata President of Pittsburgh Knights, James O’Connor, seperti dikutip dari Esports Insider.

“Untuk rekan perusahaan kami, kami akan dapat menggunakan kecerdasan buatan yang digabungkan dengan media digital modern sehingga kami bisa membawa merek mereka melalui digital transformasi,” ujarnya. Dia juga mengaku senang karena industri esports tak lagi dipandang sebelah mata.

Kerja sama antara Pittsburgh Knights dan Zoomph adalah simbiosis mutualisme. Memang, layanan Zoomph akan membantu Knights untuk memahami sponsor dan fans-nya dengan lebih baik. Di sisi lain, Knights memungkinkan Zoomph untuk menyediakan produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan di industri esports. Karena, melalui kerja sama ini, Zoomph bisa meminta masukan langsung dari Knights tentang produk yang mereka buat. Dan belakangan, solusi analitik data memang mulai banyak diminati oleh tim esports.

“Para pelanggan meminta kami untuk menyediakan layanan kami ke esports dan sekarang, dengan kerja sama kami dengan Pittsburgh Knights, pelanggan esports kami akan bisa menggunakan platform Zoomph untuk menghitung biaya sponsorship, prospek kantor, dan valuasi tim,” kata Chief Revenue Officer, Zoomph, Mike Pycha, seperti yang disebutkan oleh Yahoo Finance.

Di tengah booming-nya esports, jumlah tim esports masih terus bertambah dan begitu juga dengan merek endemik serta non-endemik yang ingin masuk ke industri esports. Keputusan Pittsburgh untuk bekerja sama dengan Zoomph menarik karena kerja sama ini bisa membantu mereka untuk dapat menawarkan informasi yang lebih akurat tentang keuntungan yang didapatkan oleh sponsor.

Sumber: Yahoo Finance, Esports Insider

Prize Payments Mau Percepat Proses Pembayaran Pemenang Turnamen Esports

Seiring dengan semakin besarnya industri esports — laporan dari Newzoo menyebutkan bahwa industri esports bernilai US$1,1 miliar pada tahun 2019 — semakin fantastis pula hadiah yang diberikan.

Pada akhir Juli lalu, seorang pemuda berumur 16 tahun berhasil membawa pulang US$30 juta (sekitar Rp42 miliar) setelah memenangkan turnamen Fortnite World Cup.

Siapa yang tak mau untuk memenangkan hadiah sebesar itu? Sayangnya, proses pencairan uang hadiah tidak semudah membalik telapak tangan.

Turnamen esports biasanya melibatkan pemain dari berbagai negara. Karena itu, ketika hendak mengirimkan uang hadiah pada pemenang atau peserta, pihak penyelenggara harus mempertimbangkan banyak hal, seperti mata uang yang digunakan pemenang, regulasi negara asal pemain, biaya transfer, dan lain sebagainya.

Masalah seperti ini terkadang membuat proses pencairan uang hadiah memakan waktu lama.

“Menerima bayaran mungkin adalah bagian paling merepotkan. Kami biasanya mendapatkan bayaran dalam waktu satu sampai dua bulan, tapi ada beberapa turnamen yang memakan waktu hingga empat sampai lima bulan,” kata seorang pemain Halo profesional, Jake Bain, dikutip dari VentureBeat.

“Saya harap metode pembayaran turnamen esports bisa jadi lebih efektif.”

Selain masalah lamanya proses pengiriman hadiah yang mereka menangkan, para pemain juga mungkin akan dibingungkan dengan regulasi pengiriman internasional dan perpajakan.

Mengingat besarnya jumlah hadiah yang dimenangkan oleh pemain, ada kemungkinan dana sulit dicairkan, terutama jika pemerintah menduga bahwa dana itu merupakan hasil pencucian uang atau dana dari organisasi teroris.

Masalah pembayaran tidak hanya menghantui para pemain, tapi juga penyelenggara. Seiring dengan semakin besarnya uang hadiah turnamen, mereka harus memastikan bahwa mereka mematuhi regulasi terkait pajak di negara asal pemain dan memastikan regulator bahwa uang hadiah pemenang bukanlah usaha pencucian uang.

Inilah yang mendorong Han Park untuk mendirikan Prize Payments. Seperti namanya, perusahaan ini menawarkan solusi end-to-end yang ditujukan khusus untuk memudahkan pembayaran pemenang turnamen esports. Park menyebutkan, apa yang mereka tawarkan bahkan belum ada pada solusi pembayaran internasional seperti PayPal.

Park memiliki pengalaman selama 20 tahun di dunia esports dan gaming. Terakhir, dia menjabat sebagai presiden dari ESL Amerika Serikat selama empat tahun sebelum dia memutuskan untuk membuat startup Prize Payments pada tahun lalu.

Logo Prize Payments | Sumber: Prize Payments
Logo Prize Payments | Sumber: Prize Payments

“Para pemain dan tim profesional tidak puas dengan sistem pembayaran yang ada. Esports dulunya adalah organisasi yang dijalankan oleh komunitas. Namun, sekarang mulai muncul masalah regulasi , seperti terkait privasi dan pajak,” kata Park, lapor VentureBeat.

Bagi penyelenggara, biaya proses pengiriman hadiah pada para pemenang juga memakan biaya yang tidak sedikit. Biasanya, penyelenggara harus mengeluarkan 10 sampai 20 persen dari total hadiah turnamen sebagai biaya transfer dan ongkos operasional. Park mengklaim, Prize Payments dapat menekan biaya ini hingga 50 persen lebih rendah.

Solusi yang Prize Payments sediakan berupa dashboard, yang akan memudahkan penyelenggara untuk memproses pembayaran hadiah. Tidak hanya itu, mereka juga akan bisa melacak hadiah yang telah mereka kirimkan. Sementara bagi pemain, mereka bisa menentukan sistem pembayaran yang mereka ingin gunakan.

Prize Payments menyebutkan mereka bisa melakukan pembayaran dengan 115 mata uang di 180 negara. Mereka juga berjanji, proses pembayaran ini sudah sesuai dengan hukum perpajakan dan privasi data yang berlaku di masing-masing negara.

Soal sistem pembayaran, Prize Payments menawarkan pembayaran melalui PayPal, Check, International Wire, dan ACH Domestic Transfer.

Sumber: VentureBeat

Overwatch League Cari Pendapatan Ekstra dari Sponsorship

Sponsorship adalah sumber pendapatan terbesar dalam industri esports. Menurut Newzoo, sponsorship menyumbangkan 41,5 persen dari total pendapatan US$1,1 miliar industri esports pada tahun ini.

Tidak heran jika sponsorship masih menjadi sumber utama pendapatan industri esports. Studi dari Nielsen menunjukkan bahwa esports tidak hanya diminati oleh merek-merek endemik seperti perusahaan pembuat prosesor, komputer, dan aksesori, tapi juga oleh merek non-endemik.

Di Overwatch League, sponsorship juga merupakan sumber pendapatan penting, baik dalam penyelenggaraan turnamen atau untuk tim esports yang bermain dalam kompetisi tersebut. Belakangan, tim peserta dalam Overwatch League juga mulai memikirkan cara mendapatkan keuntungan dan tidak sekadar menjadi pemenang.

Inilah alasan mengapa Overwatch League akan mulai membantu tim-tim yang bertanding dalam turnamen itu untuk meningkatkan pendapatan dari sponsorship. Hal ini dikonfirmasi oleh CEO Activision Blizzard, Pete Vlastelica pada Sports Business Journal.

“Ini penting — kami terus mencari cara untuk memperbanyak properti yang bisa dijual ke pasar oleh para tim profesional,” kata Vlastelica, seperti yang dikutip dari Esports Observer. “Kami juga terus mencari cara untuk mendekatkan rekan dalam liga untuk dengan para tim profesional.”

Saat ini, Overwatch League hanyalah salah satu dari banyak turnamen esports yang ada. Salah satu hal yang membuat kompetisi tersebut menjadi unik adalah karena tim-tim yang bertanding menjadi perwakilan dari sebuah kota atau kawasan. Sistem ini serupa dengan sistem yang digunakan oleh pertandingan olahraga tradisional.

Biasanya, turnamen esports mengadu tim-tim profesional tak peduli darimana mereka berasal. Di Indonesia, kebanyakan tim esports profesional masih berasal dari Jakarta, meski mereka merekrut pemain dari berbagai daerah.

Kemiripan Overwatch League dengan turnamen olahraga konvensional tak berhenti sampai di situ. Mulai tahun depan, Overwatch League juga akan menggunakan sistem kandang-tandang, mengharuskan semua tim yang ikut serta memiliki stadion markas sendiri.

Dari segi monetisasi, Overwatch League juga mirip dengan turnamen olahraga tradisional. Selain sponsorship, Overwatch League mendapatkan uang dari menjual hak siar pada media, penjualan tiket, serta merchandise.

Sekarang, Overwatch League ingin membantu para tim untuk mendapatkan sumber pendapatan ekstra dari sponsor. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan eksposur sponsor saat pertandingan disiarkan.

Menurut Esports Observer, beberapa narasumber yang tahu tentang hal ini menyebutkan bahwa salah satu cara yang tengah dipertimbangkan adalah membuat agar logo para sponsor tampil lebih lama dalam siaran. Dengan begitu, tim di Overwatch League akan dapat mencari sponsor lokal.

Cara lain yang dipertimbangkan oleh Overwatch League adalah berhenti menawarkan eksklusivitas di salah satu kategori sponsorship. Menurut BizFluent, ada empat jenis sponsorship: sponsor finansial, sponsor media, rekan promosi, dan sponsor yang menyediakan layanan saat sebuah acara berlangsung.

Overwatch League tidak menjelaskan kategori apa yang akan mereka buka. Sejauh ini, beberapa rekan mereka adalah Bud Light, Coca-Cola, Intel, Omen by HP, T-Mobile, Toyota, dan State Farm.

Meski sering disebut sebagai industri besar yang tengah berkembang pesat, masih belum ada cara pasti bagi pelaku esports untuk mendapatkan keuntungan yang sustainable. Menarik untuk melihat bagaimana turnamen esports menggunakan cara yang berbeda-beda untuk mendapatkan pendapatan.

Sumber: Esports Observer, Fortune

Bayes Esports Solutions Dapat Hak Distribusi Data Turnamen LoL, Apa Dampaknya ke Komunitas?

Bayes Esports Solutions, perusahaan joint venture buatan Sportradar dan DOJO Madness, mendapatkan hak atas distribusi data dari turnamen League of Legends.

Saat ini, mereka punya hak distribusi data dari tiga turnamen yaitu LCK yang diadakan di Korea, LEC di Eropa dan LCS di Amerika Utara, League of Legends World Championship, dan Mid-Season Invitational.

Meskipun begitu, ke depan, tidak tertutup kemungkinan mereka akan bisa mendapatkan hak atas data dari turnamen-turnamen di kawasan lainnya.

Melalui kerja sama antara Bayes dengan Riot sebagai developer dan publisher League of Legends ini, media dan caster akan bisa mendapatkan akses ke data selama pertandingan. Tidak hanya itu, mereka juga dapat mengakses data sebelum dan saat pertandingan berlangsung.

“Bersama Sportradar, Bayes ingin membantu esports League of Legends untuk memperkuat ekosistem mereka dengan menciptakan nilai tambah untuk mempertahankan keberlangsungan olahraga ini,” kata Managing Director, Bayes Esports Solutions, Martin Dachselt.

Pada akhir Juli lalu, Riot juga mengumumkan kerja sama terpisah dengan Sportradar. Tujuan kerja sama tersebut adalah untuk mencegah taruhan ilegal dan juga match fixing. Riot melakukan ini setelah muncul skandal di League of Legends Pro League (LPL).

Pada Juni, salah satu pemain LGD Gaming, Xiang “Condi” Ren-Jie diketahui melakukan taruhan ilegal. Tidak hanya itu, dia dikabarkan terlibat dalam match fixing dan sengaja membuat timnya kalah.

Xiang mendapatkan hukuman berupa larangan bermain selama 18 bulan sementara sang manager, Song “Hesitate” Zi-Yang mendapatkan sangsi berupa larangan bekerja di semua liga LoL yang berlaku permanen.

“Integritas dari turnamen esports kami sangat penting bagi Riot Games. Seiring dengan semakin berkembangnya turnamen esports, penting bagi kami untuk memonitor tren yang tumbuh dan melakukan semua yang kami bisa untuk menyesuaikan diri dengan perubahan di industri,” kata Head of Esports Insights, Riot Games Doug Watson, dikutip dari Esports Observer.

Sama seperti industri lain, sekarang, esports juga mulai memanfaatkan big data. Misalnya, penggunaan software analitik oleh tim esports profesional untuk menganalisa pertandingan dan meningkatkan performa mereka. Ini dilakukan oleh Team Liquid, yang bekerja sama dengan SAP.

“Di esports, ada permintaan tinggi akan software analitik dan data,” kata Co-CEO Team Liquid, Victor Goossens, seperti dikutip dari situs resmi SAP. “Bagi Team Liquid, performa kompetitif sangat penting — dan teknologi serta data memberikan alat bagi kami untuk menganalisa permainan dan berkembang.”

Sementara Sabina Hemmi, Co-founder DotaBuff mengatakan, terkadang, memahami konteks data yang didapat dari banyak pertandingan itu sangat penting. Untungnya, mendapatkan data kini jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan beberapa waktu lalu.

“Dulu, jika Anda tidak menghadiri acara esports langsung, sulit bagi Anda untuk menemukan video dari turnamen itu atau file demo atau file replay,” kata Hemmi, dikutip dari Kotaku.

“Anda harus mengenal orang dalam atau menggantungkan diri pada artikel yang ditulis oleh wartawan, yang mungkin hanya berupa nilai akhir pertandingan.”

Sumber: Esports Insider, Esports Observer, Kotaku

Mengenal Perbedaan Model Bisnis Platform Streaming Game dari China dan Twitch

Layanan streaming seperti Twitch membantu industri esports untuk tumbuh besar. Keberadaan layanan streaming memungkinkan banyak orang untuk menonton turnamen esports.

Menurut Newzoo, tahun ini, penonton esports secara global mencapai angka 453,8 juta orang, tumbuh 15 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Dari total penonton, sebanyak 201,2 juta masuk dalam kategori Enthusiast dan 252,6 juta sisanya menjadi bagian dari Occasional Viewer.

Semakin banyak jumlah penonton esports, semakin banyak pula perusahaan yang mau menjadi sponsor atau ikut serta dalam industri bernilai US$1,1 miliar ini. Misalnya, Honda baru mengumumkan keputusannya untuk menjadi sponsor dari League of Legends Championship Series untuk menjangkau konsumen generasi milenial dan generasi Z.

Secara global, Twitch adalah platform streaming paling dikenal. Meski belakangan, Mixer mulai berusaha mengejar. Namun, di China, pemerintah melarang Twitch untuk masuk. Ini memberikan ruang bagi perusahaan lokal untuk membuat layanan serupa.

Dikutip dari Abascus News, para analis memperkirakan bahwa industri streaming game di China akan mencapai US$3 miliar. Beberapa tahun lalu, ratusan layanan streaming game muncul. Pada 2016, terjadi “perang” antara platform streaming game di China. Douyu adalah salah satu pemain yang tersisa, bersama dengan pesaingnya, Huya.

Di tengah persaingan yang ketat, strategi Douyu adalah dengan menjadi royal dengan para top streamer mereka. Ialah Liu “PDD” Mou, top streamer di Douyu. Douyu membayar US$4 juta pada PDD agar dia mau menyiarkan kontennya secara eksklusif di platform itu. Setiap hari, PDD menyiarkan empat jam konten ketika dia bermain League of Legends.

Liu "PDD" Mou. | Sumber: YouTube
Liu “PDD” Mou. | Sumber: YouTube

Uang yang didapatkan oleh Liu dari Douyu itu tidak termasuk virtual gift yang diberikan oleh fans-nya. Harga virtual gift ini beragam, mulai dari beberapa dollar sampai US$300. Virtual gift juga akan menguntungkan Douyu sebagai platform karena mereka akan mendapatkan setengah dari total penjualan virtual gift.

Bisnis model platform streaming game di China memang berbeda dengan platform lain seperti Twitch. Sementara Twitch menjadikan iklan dan biaya berlangganan sebagai sumber pendapatan, hidup dan mati Douyu tergantung pada virtual gift. Pada kuartal yang berakhir pada Maret, 91 persen pendapatan dari Douyu berasal dari pembelian virtual gift.

Jangan heran jika Douyu sangat royal pada para top streamer mereka, seperti DPP. Menurut Ke Yan, analis Aequitas Research dari Singapura, Liu memberikan 3 persen kontribusi pada total pendapatan Douyu.

Sebagai perbandingan, Tyler “Ninja” Blevins, pria yang sempat menjadi streamer paling populer di Twitch sebelum pindah ke Mixer, mendapatkan US$500 ribu per bulan, menurut lapora Business Insider. Untuk mencapai ini, dia harus membuat konten siaran selama 12 jam setiap harinya.

Selain virtual gift dari fans untuk streamer, Douyu berusaha untuk mendapatkan pendapatan dengan membuat kegiagan offline. Belum lama ini, mereka mengadakan festival untuk jumpa fans dengan para streamer selama tiga hari. Dari ini, mereka berhasil meraup 20 juta yuan dari penjualan tiket.

Sumber: Douyu via Weibo
Sumber: Douyu via Weibo

Liu adalah salah satu streamer yang hadir di sini. Dalam festival itu, Liu juga menjamu 3.000 fans-nya selama dua malam. Semua itu dia lakukan menggunakan uangnya sendiri.

Ini adalah salah satu cara Liu untuk memuaskan para fans setianya. Salah satunya fans hardcore Liu adalah Sun Yi, pria berumur 22 tahun yang rela untuk naik kereta selama 24 jam demi dapat ikut serta dalam makan malam jamuan DPP.

Masalah Platform Streaming di China
Jika dibandingkan dengan pesaing utamanya, Huya, Douyu memiliki jumlah pengguna yang lebih banyak. Selain itu, jumlah top streamer mereka juga lebih banyak. Namun, dari segi pendapatan dan margin laba, Huya masih lebih baik.

“Terlepas dari laporan keuangan Douyu pada kuartal pertama yang sangat baik, Huya memiliki bisnis yang lebih baik,” kata Arun George, analis di Global Equity Research dari Inggris, seperti yang dilaporkan Abascus News.

Dia memperkirakan, alasan mengapa Huya dapat melakukan monetisasi dengan lebih baik karena aplikasinya yang dapat menampilkan konten sesuai dengan selera pengguna.

Strategi Douyu untuk fokus pada top streamer tidak salah. Namun, muncul pertanyaan apakah strategi ini bisa dipertahankan. Salah satu masalah yang dihadapi Douyu saat ini adalah bagaimana top streamer “membeli” popularitas.

Misalnya, tak lama setelah Liu menandatangani kontrak dengan Douyu pada Maret, dia menghabiskan hampir 20 juta yuan untuk mendapatkan dukungan penonton dalam kompetisi tahunan yang diadakan Douyu.

CEO Douyu, Chen Shaojie mengonfirmasi bahwa setengah dari total uang yang dihabiskan oleh Liu dihitung sebagai pemasukan Douyu sementara setengahnya kembali ke kantong Liu.

“Suara ‘belian’ itu akan tetap dihitung sebagai pemasukan karena, di bawah standar akuntansi, streamer tetaplah pelanggan yang membayar,” kata George. “Fokus Douyu pada top streamer membuat platform itu lebih rentan akan hal-hal seperti ini.”

Masalah lain yang harus dihadapi oleh platform streaming di China adalah penyensoran dari pemerintah. Seorang top streamer diblokir karena dia membuat candaan tentang serangan Jepang ke China.

Liu menyadari hal ini. Karena itulah, dia semakin berhati-hati ketika melakukan streaming. Misalnya, dia berhenti merokok di hadapan penonton.

Di Indonesia, Huya masuk dengan merek Nimo TV. Menurut laporan Antara News, total pengguna Nimo TV pada September dan Oktober 2018 naik hingga 300 persen. Ini menunjukkan besarnya potensi bisnis untuk platform streaming di Indonesia.

Memang, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kepios bersama We Are Social dan HootSuite, sebanyak 26 persen pengguna internet Indonesia menonton turnamen esports.

Mengingat APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171 juta orang, itu artinya, ada 44,5 juta orang yang menonton esports.

Sumber: Abascus News, TechCrunch, Business Insider