Ubisoft Umumkan Liga Rainbow Six Siege Baru, North America League

Rainbow Six Pro League tak lagi diselenggarakan. Namun, itu bukan berarti Ubisoft tak lagi peduli akan ekosistem esports dari Rainbow Six. Mereka baru saja mengumumkan turnamen esports Rainbow Six Siege baru untuk kawasan Amerika Utara. Turnamen tersebut akan diadakan pada akhir Juni 2020.

North America League akan dibagi ke dalam dua divisi, yaitu divisi Amerika Serikat dan divisi Kanada. Dalam divisi Amerika Serikat, terdapat 8 tim esports, yaitu Spacestation Gaming, TSM, DarkZero Esports, eUnited, Oxygen Esports, Disrupt Gaming, Susquehanna Soniqs dan Tempo Storm. Sementara divisi Kanada akan terdiri dari 4 tim esports. Sayangnya, masih belum diketahui tim mana saja yang akan menjadi bagian dari dviisi Kanada.

Pertandingan antara tim-tim di divisi Amerika Serikat akan diadakan dalam format offline di Las Vegas, Nevada. Sementara pertandingan antara tim di divisi Kanada akan diadakan secara online. Selain North America League, Ubisoft juga mengadakan Challenger Leagues untuk Amerika Serikat dan Kanada.

north america League
Timeline dari North America League pada 2020. | Sumber: Ubisoft

“Kami sangat bangga dengan struktur Rainbow Six Esports global yang memprioritaskan investasi dan pelokalan di masing-masing region,” kata Senior Director of Esports, Ubisoft, Che Chou, dikutip dari ESPN. “Di North America League, 8 tim Divisi AS dipilih dengan tujuan memastikan struktur tim yang stabil agar liga offline premium bisa diselenggarakan.” Dia menjelaskan, alasan Ubisoft memilih Las Vegas sebagai tempat untuk menyelenggarakan turnamen offline di Las Vegas adalah karena kota tersebut dianggap sebagai salah satu pusat hiburan di dunia.

Di situs resminya, Ubisoft menjelaskan bahwa satu musim North America League akan berlangsung selama 11 bulan, dari Maret sampai Februari tahun depan. Dalam satu musim, terdapat 3 Stages. Masing-masing Stage berlangsung selama 5 minggu. Namun, pada 2020, hanya akan ada 2 Stages karena tahun ini masih menjadi masa transisi ke sistem baru setelah Rainbow Six Pro League ditiadakan. Pada Desember, Ubisoft akan mengadakan turnamen Major, North American Finals, mempertemukan mempertemukan 16 tim terbaik di kawasan Amerika Utara. Mereka juga akan memberlakukan sistem promosi/relegasi bagi tim North America League dan Challenger League. Tim dengan posisi terbawah dari NAL akan harus bertanding dengan tim terbaik Challenger League.

Sepanjang musim, setiap tim yang berlaga di NAL juga memiliki kesempatan mendapatkan Global Standing Points jika mereka dapat memberikan performa yang memuaskan dalam satu Stage. Enam belas tim dengan poin tertinggi akan mendapatkan undangan ke Six Invitational, turnamen Rainbow Six Siege paling bergengsi.

Pada Februari 2020, Ubisoft memang menjelaskan keputusan mereka untuk merombak struktur esports Rainbow Six. Ketika itu, mereka mengungkap bahwa mereka akan menggunakan sistem poin untuk menentukan tim yang diundang ke Six Invitational. Harapannya, tim-tim profesional dapat memberikan performa yang lebih stabil sepanjang musim.

RRQ Lepas Semua Pemain Tim MDL S1 Mereka

RRQ melepaskan semua anggota dari salah satu tim Mobile Legends mereka. Melalui Facebook dan Instagram, RRQ mengucapkan selamat tinggal pada lima anggota RRQ Sena, yaitu Agung “Billy” Tribowo,  I Gusti Ngurah Agung Duva aka Rocket, Bintang “Binx” Pamungkas, Fadhil “Rave” Abdurrahman, dan Rusman “Rusman” Hadi.

RRQ Sena merupakan tim akademi yang berlaga di Mobile Legends Developmental League (MDL), liga kasta kedua untuk game Mobile Legends. RRQ Hoshi yang berlaga di Mobile Legends Professional League Indonesia Season 5 (MPL ID) berhasil menjadi juara. Sayangnya, RRQ Sena tidak dapat memberikan performa sama baiknya.

Sepanjang regular season MDL, dari 13 pertandingan, RRQ Sena hanya bisa memenangkan 5 pertandingan dan kalah pada 7 pertandingan lainnya. Secara keseluruhan, poin agregat yang didapatkan RRQ Sena adalah -4. Meskipun begitu, mereka masih bisa maju ke babak playoff dari MDL. Sayangnya, mereka harus kalah di babak pertama playoff dengan skor 0-2 ketika melawan Victim Esports.

RRQ Sena
Hasil pertandingan regular season dari MDL. | Sumber: Situs resmi MDL

Di dunia esports Indonesia, regenerasi pemain adalah salah satu masalah yang harus dihadapi. Untuk mengatasi masalah ini, Moonton memutuskan untuk mengadakan MDL. Seperti namanya, tujuan dari MDL adalah untuk memberikan kesempatan pada tim Mobile Legends kelas dua agar mereka bisa mengasah kemampuan mereka. Dengan begitu, diharapkan akan muncul talenta-talenta baru.

MDL diikuti oleh 12 tim. Delapan di antaranya merupakan tim akademi dari organisasi esports yang berlaga di MPL. Sementara 4 tim lainnya masuk ke MDL setelah lolos dari babak kualifikasi. Menariknya, tim-tim yang lolos babak kualifikasi justru menampilkan permainan yang sangat baik dalam MDL. Victim Esports adalah salah satu tim yang masuk ke MDL melalui jalur kualifikasi. Dalam regular season, mereka duduk di posisi 3 dengan 9 kemenangan dan 3 kekalahan. Mereka bahkan berhasil keluar sebagai juara.

Sementara itu, RRQ adalah salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia. Walau didirikan pada 2013, RRQ baru ditangani secara profesional pada 2017. Sejak saat itu, RRQ telah memenangkan berbagai turnamen, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada tahun 2019, total hadiah turnamen yang mereka menangkan mencapai setidaknya Rp5,7 miliar.

Sumber header: Facebook

JD Gaming Jadi Juara League of Legends Pro League

JD Gaming berhasil menjadi juara League of Legends Pro League (LPL) setelah mengalahkan Top Esports pada babak final dengan skor 3-2. Baik JD Gaming dan Top Esports baru didirikan pada 2017. Meskipun begitu, keduanya berhasil mengalahkan tim-tim yang pernah memenangkan League of Legends World Championship, yaitu Invictus Gaming dan Funplus Phoenix, di babak semifinal.

Dari lima pertandingan di babak final, JD Gaming berhasil memenangkan pertandingan pertama sebelum kalah pada dua babak berikutnya. Saat itu, Top Esports diperkirakan akan memenangkan LPL dengan skor 3-1. Tapi, JD Gaming berhasil membalikkan keadaan dan meraih gelar juara. Pertandingan terakhir antara JD Gaming dan Top Esports berlangsung dengan ketat. Pada pertengahan game, JD Gaming berhasil memenangkan teamfight melawan Top Esports. Ini memungkinkan mereka mendapatkan gold lebih banyak dan membeli item yang lebih baik.

Pemain support JD Gaming, Zuo “LvMao” Ming-Hao mendapatkan gelar Most Valuable Player di babak final berkat permainannya yang stabil menggunakan empat champion yang berbeda, menurut laporan Dot Esports.

Pada tahun lalu, performa JD Gaming tidak terlalu memuaskan. Di Spring Split, mereka menduduki posisi ke-8. Sementara pada Summer Split, posisi mereka merosot ke peringkat 10. Keputusan mereka untuk mengakuisisi pemain ADC asal Korea Selatan, Lee “LoKeN” Dong-wook berbuah manis. Dengan cepat, LoKeN dapat menyesuaikan diri dengan tim. Ini memungkinkan JD Gaming untuk mengalahkan tim-tim di tier bawah dan memberikan perlawanan yang baik ketika menghadapi tim-tim tier atas di LPL.

Memang, pada awal musim, performa JD Gaming tidak maksimal. Mereka bahkan sempat kalah dalam beberapa pertandingan ketika mereka bermain bersama top laner cadangan mereka. Untungnya, performa mereka membaik ketika mereka kembali bermain bersama top laner utama mereka, Zhang “Zoom” Xing-ran.

Persaingan di LPL tahun ini memang sangat ketat. Hal ini terlihat dari kegagalan Invictus Gaming dan FunPlus Phoenix — dua tim yang pernah memenangkan World Championship — untuk masuk ke babak final. Ini membuat tim-tim asal Tiongkok menjadi tim yang diwaspadai dalam turnamen tingkat internasional. Memang, dua tahun belakangan, World Championship dimenangkan oleh tim asal Tiongkok.

Sayangnya, turnamen Mid-Season Invitational tahun ini harus dibatalkan. Jadi, jika fans ingin melihat pertandingan antara tim-tim League of Legends terbaik, mereka harus menunggu World Championship diselenggarakan.

Di Tengah Pandemik Corona, Popularitas Game Shooter Meroket

Pandemik virus corona membuat banyak orang tak boleh keluar rumah. Bermain game menjadi salah satu kegiatan pengisi waktu luang. Newzoo lalu mengumpulkan data tentang genre game yang menjadi populer di tengah pandemik. Menurut studi yang dilakukan sejak Desember 2019 sampai Maret 2020 itu, terlihat bahwa semua genre game — kecuali MOBA dan fighting — mengalami kenaikan jumlah pemain yang signifikan. Namun, genre yang mengalami pertumbuhan jumlah pemain tertinggi adalah shooters. Jumlah pemain game shooter naik hingga 40 persen.

Genre game lain yang jumlah pemainnya bertumbuh pesat (34 persen) adalah deck-building games. Legends of Runeterra, game terbaru Riot Games, merupakan salah satu alasan mengapa deck-building game menjadi populer. Sementara itu, kenaikan jumlah pemain arcade game mencapai 28 persen, genre platformers 25 persen, dan battle royale 17 persen.

Pada Maret 2020, 46 persen pemain PC memainkan game shooter. Dengan ini, shooter menjadi genre terpopuler kedua setelah MOBA. Di antara game-game shooter, Rainbow Six: Siege menjadi game dengan jumlah pemain paling banyak. Meskipun begitu, game-game shooter lain, seperti Counter-Strike: Global Offensivve dan Call of Duty: Modern Warfare, juga memiliki jumlah pemain yang tak kalah banyak.

Perbandingan kenaikan jumlah pemain game shooter dan battle royale. | Sumber: Newzoo
Perbandingan kenaikan jumlah pemain game shooter dan battle royale. | Sumber: Newzoo

 

Pandemik bukan satu-satunya alasan mengapa semakin banyak orang memainkan game shooter. Pada Januari 2020, game tactical shooter Escape from Tarkov mendapatkan update. Ini membuat para gamer kembali tertarik dengan game ber-genre shooter. Sementara itu, jumlah pemain Rainbow Six memang terus naik sejak 2019. Game buatan Ubisoft ini banyak mendapatkan pemain baru dari Tiongkok. Peluncuran battle royale mode, Warzone, dari Call of Duty: Modern Warfare juga menjadi alasan lain mengapa genre shooter kembali digemari.

Game ber-genre shooter tidak hanya mengalami pertumbuhan jumlah pemain, tapi juga durasi bermain. Pada Desember 2019, rata-rata lama waktu bermain per hari adalah 38 menit. Angka ini naik menjadi 60 menit pada Maret 2020. Memang, karena karantina, para gamer menjadi memiliki waktu luang yang lebih banyak. Alasan lainnya adalah karena game-game shooter yang populer — seperti Rainbow Six dan Escape from Tarkov — memang memiliki sesi permainan yang lama. Setiap pertandingan dari game tersebut bisa berlangsung selama sampai 1 jam.

Setelah MOBA dan shooter, genre yang memiliki jumlah pemain paling banyak adalah adventure. Alasannya adalah karena game adventure memungkinkan pemain untuk menjelajah di dunia yang sama sekali baru dan melupakan dunia nyata. Minecraft dari Microsoft adalah adventure game dengan jumlah pemain PC paling banyak.

Grafik kenaikan penonton iRacing live . | Sumber; Newzoo
Grafik kenaikan penonton iRacing live . | Sumber; Newzoo

Genre lain yang menjadi populer adalah game dan simulasi balapan. Memang, sejumlah balapan harus dibatalkan karena virus corona. Sebaga gantinya, diadakan balapan virtual berupa menggunakan simulasi balapan. Beberapa balapan yang menggelar kompetisi esports sebagai pengganti balapan di dunia nyata adalah Formula 1, Formula E, dan NASCAR.

Jumlah penonton konten game balapan di platform streaming game juga naik. Di Twitch dan YouTube, total durasi konten ditonton dari siaran langsung balapan virtual naik 117 persen pada April 2020 jika dibandingkan dengan Februari di tahun yang sama.

Induk Perusahaan ESL dan DreamHack Rugi Rp200 Miliar di Q1 2020

Modern Times Group (MTG), perusahaan induk dari ESL dan DreamHack, baru saja mengumumkan laporan keuangan untuk Q1 2020. Dalam 1 kuartal, pemasukan mereka mencapai 924 juta krona (sekitar Rp1,4 miliar), turun 2 persen jika dibandingkan dengan pemasukan pada Q1 2019, yang mencapai 940 juta krona (sekitar Rp1,43 triliun). Sementara itu, total biaya operasi perusahaan mencapai 993 juta krona (sekitar Rp1,51 triliun), naik 1 persen dari biaya operasi pada Q1 2019. Jadi, MTG mengalami kerugian sebesar 132 juta krona (sekitar Rp200 miliar). Angka ini tidak jauh berbeda dari kerugian yang MTG alami pada Q1 2019.

Dalam 3 bulan pertama dari 2020, banyak bisnis yang mengalami gangguan akibat pandemik virus corona. Pada awal April 2020, MTG menginformasikan para investornya bahwa bisnis mereka mungkin akan terkena dampak dari virus corona. Ketika itu, mereka memperkirakan, bisnis divisi esports akan mengalami penurunan sekiatr 35-45 persen. Namun, MTG tidak berpangku tangan. President dan CEO MTG, Jørgen Madsen Lindemann mengatakan bahwa mereka telah menyiapkan strategi untuk menyesuaikan diri di tengah pandemik.

“Kami akan menjalankan rencana dalam tiga fase untuk mengatasi pandemik. Tiga fokus kami adalah memastikan keberlangsungan bisnis, efisiensi operasi, dan mengambil kesempatan bisnis yang ada,” ujar Lindemann pada The Esports Observer.

IEM Katowice akhirnya harus digelar tanpa penonton.
IEM Katowice akhirnya harus digelar tanpa penonton.

Lindemann juga optimistis akan keuangan perusahaan. Memang, meskipun divisi esports mengalami masalah karena karantina dan larangan penyelenggaraan turnamen offline, MTG masih memiliki divisi bisnis gaming. Sepanjang Q1 2020, bisnis gaming MTG memberikan performa yang stabil. Malahan, pada akhir Q1 2020, game-game MTG mendapatkan pemain baru. MTG juga meningkatkan kegiatan marketing divisi gaming.

Divisi esports MTG mengalami gangguan sepanjang Q1 2020. Karena corona, ada sejumlah turnamen esports yang harus ditunda atau bahkan dibatalkan. Misalnya, Intel Extreme Katowice 2020 harus diadakan tanpa penonton. Meskipun begitu, 3 bulan pertama 2020 adalah masa yang sibuk bagi MTG. Mereka menandatangani beberapa kontrak baru.

Salah satunya dengan Activision Blizzard. Dengan perjanjian ini, ESL akan bertanggung jawab atas turnamen StarCraft II dan Warcraft III: Reforged. Selain itu, mereka juga menjalin kerja sama dengan PUBG Mobile untuk mengadakan PUBG Mobile World League (PMWL). Mereka memang batal untuk bekerja sama dengan Huya, platform streaming asal Tiongkok. Namun, ini itdak menghentikan niat mereka untuk memasuki negara dengan populasi terbesar tersebut.

Twitch Dapatkan Hak Siar Eksklusif untuk Turnamen ESL dan DreamHack

Twitch baru saja mendapatkan hak siar eksklusif atas sejumlah turnamen yang diadakan oleh ESL dan DreamHack. Perjanjian ini berlangsung selama tiga tahun. Pada 2020, Twitch mendapatkan hak siar non-eksklusif, sementara pada 2021 dan 2022, mereka akan mendapatkan hak siar eksklusif atas konten berbahasa Inggris.

Perjanjian antara Twitch dengan ESL dan DreamHack ini mencakup turnamen-turnamen terbesar dari tiga game, yaitu Counter-Strike: Global Offensive, StarCraft II, dan Warcraft III. Jadi, Twitch akan mendapatkan hak siar atas ESL Pro League, ESL One, Intel Extreme Masters, DreamHack Masters, DreamHack Open, dan ESL National Championship. Meskipun Twitch mendapatkan hak siar eksklusif, ESL dan DreamHack menetapkan pengecualian untuk beberapa kawasan dimana mereka juga memiliki channel televisi sebagai rekan siaran mereka.

twitch hak siar eksklusif
Twitch mendapatkan hak siar eksklusif atas sejumlah turnamen yang diadakan ESL dan DreamHack.

“Kerja sama kami dengan Twitch sudah dimulai sejak 2009, ketika Twitch masih bernama Justin.tv,” kata Co-CEO DreamHack, Roger Lodewick, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Perjanjian kerja sama baru ini memperkuat hubungan kami yang terjalin berkat kolaborasi kami selama bertahun-tahun. Perjanjian ini juga membuktikan pentingnya Twitch bagi komunitas kami serta menunjukkan nilai yang diberikan oleh konten esports ESL/DreamHack pada audiens Twitch.”

Sebelum ini, ESL sempat menjalin kerja sama eksklusif dengan platform streaming game lain. Misalnya, pada 2017, ESL Pro League hanya disiarkan secara live di YouTube. Sementara pada 2018, Facebook mendapatkan hak siar atas EPL dan ESL One dalam bahasa Inggris dan Portugis. Namun, pada 2019, semua siaran ESL dan DreamHack tersedia di seluruh platform. Sementara itu, Twitch pernah menjalin kerja sama eksklusif dengan Activision Blizzard. Sayangnya, pada tahun ini, Activision Blizzard lebih memilih untuk bekerja sama dengan YouTube Gaming daripada memperpanjang kontraknya dengan Twitch.

“Dalam beberapa tahun belakangan, Twitch mendominasi dunia live streaming esports,” kata Frank Uddo, Senior Vice President for Global media, ESL, menurut laporan SportsPro. “Kami akan terus menyelenggarakan turnamen-turnamen esports terbesar di dunia. Jadi, masuk akal bagi kami untuk menjalin kerja sama dengan Twitch agar kami bisa memberikan pengalaman terbaik bagi para fans serta menjamin masa depan industri esports.”

Q1 2020, League of Legends Masih Jadi Game Paling Berpengaruh di Ekosistem Esports

Pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game PC dengan dampak paling besar pada ekosistem esports, menurut PC Games Impact Index buatan The Esport Observer. Dengan ini, League of Legends duduk di peringkat satu selama satu tahun berturut-turut.

Salah satu alasan mengapa game buatan Riot Games ini bisa bertahan di peringkat satu adalah karena jumlah pemainnya yang lebih banyak dari game-game esports PC lain. Jumlah pemain League of Legends hampir tiga kali lipat dari Counter-Strike: Global Offensive, yang duduk di peringkat 2. Tak hanya itu, League of Legends juga menjadi game yang paling sering ditonton di Twitch. Kebanyakan liga regional League of Legends dimulai pada pertengahan Januari. Memang, sejumlah liga sempat tertunda karena pandemik virus corona. Namun, empat liga besar — di Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok — berhasil kembali diselenggarakan dengan format online.

Sementara itu, CS:GO masih menduduki peringkat kedua berkat musim turnamen yang dimulai pada awal tahun. BLAST Premier Spring Series mulai diadakan pada 31 Desember 2019. Dalam turnamen yang diadakan di London tersebut, FaZe Clan, Natus Vincere, dan G2 Esports lolos babak kualifikasi untuk berlaga di Spring Finals yang diadakan di Moscow. Sayangnya, turnamen tersebut harus dibatalkan karena COVID-19. Turnamen CS:GO lain yang terpengaruh pandemik adalah Intel Extreme Masters Katowice, yang harus diadakan tanpa penonton. Kabar baiknya, tiga siaran dari IEM Katowice 2020 berhasil mendapatkan concurrent viewer sebanyak 745,6 ribu orang.

game pc paling berpengaruh
Daftar 15 game paling berpengaruh dalam ekosistem esports. | Sumber: The Esports Observer

Posisi ketiga diisi oleh Dota 2. DreamLeague Season 13: The Leipzig Major, salah satu dari lima turnamen Major untuk 2020, telah diadakan pada Januari. Turnamen tersebut dimenangkan oleh Team Secret, yang membawa pulang hadiah sebesar US$1 juta.

Di channel Twitch berbahasa Inggris, Leipzig Major mendapatkan viewership sebanyak 4,88 juta. Sementara channel berbahasa Rusia mendapatkan 5,48 juta jam. Jika dibandingkan dengan League of Legends, CS:GO, dan Rainbow Six — yang ada di peringkat 4 — Dota 2 memiliki jumlah pemain yang paling sedikit. Meskipun begitu, game dari Valve ini bisa duduk di peringkat 3 karena berkat banyaknya orang yang menonton serta besarnya total hadiah turnamen. Sayangnya, karena pandemik virus corona, ada turnamen Dota 2 yang harus dibatalkan, yaitu ESL One Los Angeles dan EPICENTER Major 2020 di Moscow.

Rainbow Six Siege kini ada di peringkat 4, naik dari peringkat 8 pada Q4 2019. Six Invitational 2020, yang diadakan di Montreal, menawarkan total hadiah sebesar US$3 juta. Ini menjadikan Rainbow Six Siege sebagai game esports dengan hadiah turnamen terbesar sepanjang Q1 2020. Beberapa tahun belakangan, popularitas Rainbow Six Siege sebagai game esports memang terus naik. Pada 2019, jumlah viewership Six Invitational naik 300 persen. Selain itu, viewership dari Six Invitational 2020 juga naik pesat dari tahun lalu. Jumlah total durasi video ditonton naik menjadi 5,37 juta jam dari 3,01 juta jam. Tak hanya itu, jumlah pemain Rainbow Six Siege juga terus bertambah. Kini, game itu memiliki 55 juta orang pemain.

game pc paling berpengaruh
faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan daftar game pc paling berpengaruh. | Sumber: The Esports Observer

Fortnite dari Epic Games dapat mempertahankan posisinya di peringkat 5. Memang, pada Q1 2020, tidak ada turnamen besar dari game battle royale tersebut. Meskipun begitu, game itu tetap relevan karena memiliki jumlah pemain dan penonton yang cukup banyak. Sementara posisi ke-6 diduduki oleh Call of Duty: Modern Warfare. Pertandingan pertama dari Call of Duty League digelar pada 24 Januari 2020 lalu. Jumlah pemain menjadi salah satu faktor mengapa game ini bisa naik ke peringkat 6. Dari 15 game yang masuk dalam daftar game-game PC paling berpengaruh. Modern Warfare menjadi game ke-4 dengan jumlah pemain terbanyak.

Di bawah Modern Warfare, Player Unknown’s Battleground duduk di peringkat 7, turun 3 peringkat dari kuartal lalu. Sepanjang Q1 2020, PUBG memang mengadakan sejumlah turnamen regional. Sayangnya, tidak ada kompetisi di tingkat global.

Rocket League masuk ke peringkat 8 berkat viewership dan total hadiah yang ditawarkan oleh Rocket League Championship Series Season 9 serat Rocket League Spring Series. Sementara Hearthstone, yang ada di peringkat 9, hanya mengadakan satu turnamen Major, yaitu Masters Tour di Arlington. Walau popularitas StarCraft II mulai memudar, game ini tetap masuk ke dalam 10 besar berkat ekosistemnya yang memang besar. World Championship dari StarCraft II, yang diadakan di Intel Extreme Masters, mendapatkan total jam ditonton selama 1,14 juta jam. Sementara turnamen terbesar dari Magic: The Gathering Arena, Magic World Championship, mendapatkan 1,49 total jam ditonton.

FIFA 20 masuk ke dalam daftar game PC paling berdampak pada Q4 2019. Ketika itu, game buatan EA ini duduk di peringkat 12. Kali ini, FIFA 20 berhasil mempertahankan posisinya. Salah satu alasannya adalah jumlah viewership dari game tersebut. Selain itu, program esports EA — seperti FIFA eClub World Cup 2020 dan FUT 20 Champions Cup Stage — juga terbilang sukses. Overwatch kini harus puas dengan peringkat 13, turun dari peringkat 10. Tidak heran, mengingat musim Overwatch League memang belum dimulai pada Q1. Jadi, jumlah penonton dari game ini juga tidak banyak. Terakhir, posisi ke-14 dan ke-15 diisi oleh game buatan Activision Blizzard, yaitu Warcraft III dan World of Warcraft.

Asosiasi Esports Inggris Buat Kualifikasi Kompetensi untuk Esports

British Esports Association bekerja sama dengan Pearson, perusahaan pengajaran global, untuk membuat kualifikasi Business and Technology Education Council (BTEC) terkait esports.

Kualifikasi esports level tiga mencakup 20 topik pembelajaran, termasuk kewirausahaan, strategi dan analisa, manajemen event, siaran live-streaming, produksi video, shoutcasting, coaching, kesehatan, regulasi serta hukum, dan lain sebagainya. Dengan adanya kualifikasi ini, diharapkan, orang-orang yang ingin masuk ke dunia esports akan bisa mempelajari kemampuan yang sesuai. Sementara bagi orang-orang yang memang sudah bekerja di dunia esports, kualifikasi ini diharapkan akan membantu mereka dalam mengasah kemampuan mereka.

kualifikasi esports
British Esports Association bekerja sama dengan Pearson untuk buat kualifikasi esports.

“Kualifikasi ini dapat meningkatkan kualitas edukasi esports di Inggris Raya dan di dunia,” kata Andy Payne, Chairman dari British Esports Association, menurut laporan Sky Sports. “Kami berusaha keras untuk memastikan kualifikasi yang kami sediakan komprehensif dan berkualitas tinggi. Tujuannya, agar para murid bisa mempelajari kemampuan dan keahlian yang mereka butuhkan saat mereka ingin mengejar karir di dunia esports, game, teknologi, atau sektor terkait.”

Sementara Director of Student and Education Programs, Twitch, Mark “Garvey” Candella mengatakan, materi pembelajaran yang disediakan oleh British Esporst Association dan Pearson mengajarkan keahlian utama yang memang diperlukan oleh generasi muda jika mereka mau memasuki dunia esports sebagai pekerja profesional.

Industri esports memang tengah menjadi pusat perhatian banyak orang. Newzoo memperkirakan, valuasi industri esports pada 2020 mencapai US$1,1 miliar. Sementara jumlah penonton esports diduga akan mencapai 495 juta orang. Jadi, tidak heran jika semakin banyak orang yang tertarik untuk membangun karir di esports. Dalam dunia esports, pemain profesional memang merupakan bintang utama. Meskipun begitu, ada banyak pekerjaan lain yang tersedia di dunia competitive gaming, seperti pelatih, analis, manajer, penyelenggara turnamen, dan lain sebagainya.

“Industri esports kini tengah tumbuh pesat, menarik banyak anak muda. Para generasi muda ini seharusnya bisa mendapatkan kesempatan untuk merealisasikan potensi mereka dan menjadi pemimpin di masa depan,” ujar Andy. Di tengah pandemik virus corona, esports menjadi primadona. Alasannya, ada banyak turnamen olahraga yang harus dibatalkan, termasuk liga sepak bola, NBA, dan balapan. Namun, pertandingan esports masih bisa diselenggarakan secara online. Untuk melipur lara para fans olahraga, diadakan berbagai kompetisi esports dari game-game simulasi olahraga, mulai dari sepak bola, basket, sampai balapan.

Tim Call of Duty League, FaZe Clan Mau Buat Studio Film

Dikenal sebagai organisasi esports, FaZe Clan juga memiliki bisnis pembuatan konten. Sama seperti kebanyakan kreator konten di dunia game dan esports, mereka menyiarkan video mereka di platform streaming seperti Twitch dan YouTube. Namun, mereka tampaknya berencana untuk melakukan ekspansi ke televisi. FaZe Clan baru saja mengumumkan kerja samanya dengan platform Sugar23 milik sutradara Michael Sugar. Melalui kerja sama ini, FaZe Clan akan membuat FaZe Studios, yang berfungsi untuk membuat film dan seri TV orisinal.

CEO FaZe Clan, Lee Trink menjelaskan, untuk membuat proyek film atau seri TV sendiri, mereka mungkin membutuhkan waktu bulanan atau bahkan tahunan. Namun, di tengah pandemik virus corona seperti sekarang, mereka memiliki kesempatan untuk mengambil alih proyek dari studio lain yang tidak bisa melanjutkan produksi film atau seri TV mereka. Dia meyakinkan, mereka akan tetap memilih proyek yang sesuai dengan reputasi dan selera audiens FaZe Clan.

“Ini adalah waktu yang tepat bagi kami untuk melakukan ini,” kata Trink, dikutip dari Forbes. “Kami telah menyiapkan hal ini sejak lama. Namun, sejak virus corona merebak, segmen-segmen yang berbeda dari industri hiburan menjadi memiliki kedudukan yang lebih setara.” Trink merasa, keputusan mereka untuk membuat studio film masih sejalan dengan bisnis utama FaZe.

“Menurut saya, ini bukan sesuatu yang baru bagi kami,” ujar Trink. “Kami memang selalu menjadi bagian dari industri pembuatan konten. Saya mencoba untuk melihat keputusan kami dari kacamata para penonton. Audiens, khususnya fans kami, tidak membedakan konten layaknya Hollywood. Mereka tidak mengelompokkan konten berdasarkan hierarkinya.”

Sama seperti beberapa organisasi esports lainnya, FaZe juga memiliki bisnis merchandise dan pakaian. Mereka bahkan telah membuat toko fisik. Pada bulan April 2020, mereka juga mengumumkan kerja sama dengan liga american football nasional di Amerika Serikat, NFL. Selain itu, mereka juga telah bekerja sama dengan Manchester City, klub sepak bola asal Inggris.

Sementara itu, Sugar adalah salah satu dari empat sutradara Spotlight, yang memenangkan kategori Best Picture Awards di Motion Picture Academy dan Independent Spirit Awards. Sugar juga dikenal berkat seri TV 13 Reasons Why yang tayang di netflix atau Rendition di Apple TV+.

Rahasia Di Balik Kesuksesan Riot Games dengan League of Legends

Kebanyakan developer besar biasanya memiliki beberapa game atau bahkan beberapa franchise, seperti Ubisoft dengan Assassin’s Creed atau Electronic Arts dengan FIFA. Namun, tidak begitu dengan Riot Games. Selama bertahun-tahun, Riot hanya memiliki satu game, yaitu League of Legends. Menariknya, game tersebut masih dimainkan oleh jutaan orang, bahkan 10 tahun sejak diluncurkan. Tidak berhenti sampai di situ, Riot juga sukses dalam mengembangkan ekosistem esports dari League of Legends.

Tentu saja, kesuksesan Riot tidak dicapai dalam waktu singkat. Roma tidak dibangun dalam satu hari. Bagaimana perjalanan Riot sehingga ia bisa menjadi seperti sekarang?

Sejarah Riot

Riot Games didirikan pada Agustus 2006 oleh Marc Merrill dan Brandon Beck. Keduanya bukanlah developer game. Faktanya, Merrill dan Beck bertemu ketika mereka masih kuliah di University of Southern California. Mereka menjadi akrab karena mereka senang bermain game, khususnya game multiplayer seperti StarCraft dan EverQuest. Setelah lulus kuliah, Merrill dan Beck menempuh jalannya masing-masing. Beck bekerja di Bain & Company, perusahaan konsultasi ternama, sementara Merrill diterima di US Bank. Meskipun begitu, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Tak lama kemudian, keduanya kembali bertemu di Los Angeles.

“Kami tinggal di apartemen kecil di West Hollywood,” kata Beck, dikutip dari Polygon. “Inilah awal mula Riot. Apartemen kami tidak punya banyak furnitur, tidak ada poster di tembok, pigura foto belum dipajang. Tapi, ada dua komputer gaming yang diletakkan di atas dua meja yang membentuk huruf ‘L’.”

Walau telah bekerja, baik Merrill dan Beck masih mencintai game. Mereka menghabiskan banyak waktu mereka bermain game. Tidak hanya itu, mereka juga aktif di forum internet, memberikan kritik atau pujian pada game favorit mereka. Sebagai fans hardcore, terkadang, mereka merasa frustasi ketika developer dari game-game yang mereka sukai tidak mendengarkan pendapat dari para fans. Ini membuat mereka berpikir, salah satu masalah developer game adalah mereka tak terlalu memedulikan game yang telah mereka luncurkan serta komunitas dari game-nya.

Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.
Dua pendiri Riot bukan merupakan developer.

“Kami merasa frustasi ketika developer berhenti mendukung komunitas dari game yang kami mainkan,” ujar Beck. “Para developer seolah-olah dikejar untuk mengembangkan sesuatu yang baru. Padahal, kami pikir, mereka tidak perlu melakukan itu dan cukup mempertahankan game yang telah mereka luncurkan. Ada beberapa hal yang bisa mereka perbaiki untuk membuat ekosistem game bertahan lebih lama.” Dua game yang menjadi favorit Merrill dan Beck adalah StarCraft dan Warcraft 3. Memang, Blizzard memberikan dukungan yang cukup lama pada kedua game itu, walau pada akhirnya, fokus mereka pindah ke proyek lain. Uniknya, para fans dari dua game itu tetap aktif, baik dalam bermain ataupun dalam membuat mod. Ada dua mod yang menginspirasi Merrill dan Beck untuk membuat game ber-genre Multiplayer Online Battle Arena, yaitu Aeon of Strife, mod dari StarCraft dan DotA: Allstars, mod dari Warcraft 3.

Ketika Beck dan Merrill memutuskan untuk membuat game sendiri, orang pertama yang mereka rekrut adalah Steve “Guinsoo” Feak, salah satu desainer yang mengembangkan DotA: Allstars. Mereka bertiga lalu merekrut beberapa orang lain yang juga ikut mengembangkan DotA: Allstars. Setelah itu, mereka langsung mencoba membuat gameGame pertama yang Riot buat jauh berbeda dari League of Legends yang ada sekarang. Meskipun begitu, game tersebut sudah memiliki struktur layaknya game MOBA. Ketika itu, Riot menamai game-nya Onslaught.

“Nama game kami sangat jelek,” kata Merrill sambil tertawa. “Kami menjadikan musik metal sebagai background music. Minion terlihat seperti makhluk undead.” Meskipun begitu, Merrill dan tim Riot lainnnya bangga akan game yang mereka buat. Pada 2007, Riot mengikuti Game Developers Conference di San Francisco, membawa demo dari game mereka. Di sana, Merrill dan Beck bertemu dan berdiskusi dengan banyak publisher game. Sayangnya, tidak ada publisher yang mau merilis game buatan Riot.

Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot
Co-founders Riot Games. | Sumber: GameSpot

Namun, diskusi tersebut membantu Merrill dan Beck memahami siklusi penerbitan game. Mereka sadar bahwa publisher biasanya meluncurkan game baru secara rutin. Dalam diskusi dengan Riot, para publisher membahas tentang bagaimana cara agar mereka bisa merilis kelanjutan dari game Riot secara rutin. Ini berbeda dari apa yang Beck dan Merrill inginkan. Riot tak ingin membuat franchise yang akan menelurkan game baru secara rutin. Mereka ingin membuat satu game multiplayer online dan terus mengembangkannya seiring dengan waktu. Mereka juga ingin membuat game gratis dengan model bisnis microtransaction. Meski sekarang game dengan model bisnis microtransaction sudah banyak, pada 2007, tidak banyak publisher game yang tahu tentang model bisnis tersebut. Karena itu, tidak heran jika para publisher menolak untuk merilis game buatan Riot.

“Pada awalnya, kami hanya ingin menjadi developer game,” ungkap Merrill. “Kami tidak berencana untuk masuk ke bisnis penerbitan game. Tapi, ketika kami bertemu dengan para publisher, kami sadar bahwa kami tidak bisa menyerahkan hidup-mati game kami pada mereka.”

Tim Riot lalu kembali ke Los Angeles. Merrill and Beck mengganti fokus mereka, dari mencari publisher menjadi mencari dana investasi. Pada pertengahan 2007, Riot juga memutuskan untuk mengganti nama game mereka, dari Onslaught menjadi League of Legends: Clash of Fates.

Peluncuran League of Legends

Pada 2008, Riot meluncurkan versi pre-alpha dari game mereka, yang ketika itu dinamai League of Legends: Clash of Fates. Di tahun yang sama, mereka juga menandatangani kerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok. Tidak banyak developer yang langsung bekerja sama dengan publisher asing ketika mereka belum lama berdiri. Namun, Beck dan Merrill memang mengincar pasar internasional dengan League of Legends. Tencent tampaknya mengerti ambisi Riot tersebut. Beck mengungkap, Tencent memiliki filosofi yang sama dengan Riot.

Seiring dengan bertumbuhnya Riot, Merrill dan Beck terus mencari pekerja baru. Saat mencari pekerja baru, keduanya lebih mementingkan passion daripada pengalaman kerja. Para pekerja Riot — yang disebut Rioters oleh Merrill dan Beck — terus mengembangkan League of Legends. Pada pertengahan 2008, mereka menemui masalah. Mereka ingin mengganti platform backend yang telah gunakan selama bertahun-tahun. Merrill bercerita, Riot mau tidak mau membuat platform baru dengan cepat agar mereka bisa meluncurkan game mereka sesuai target, yaitu pada musim gugur 2009. Proses pembuatan platform yang terburu-buru ini akan menyebabkan lebih banyak masalah untuk Riot di masa depan.

Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus
Pada awalnya, Riot menggunakan nama League of Legends: Clash of Fates. | Sumber: Co-optimus

Sebelum meluncurkan League of Legends, Riot memutuskan untuk menghapus subtitle “Clash of Fates”. Pada awalnya, mereka ingin menggunakan subtitle untuk menggambarkan isi update konten di masa depan. Namun, pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan subtitle sama sekali.

Beck mengaku, Riot tidak mengira bahwa akan ada begitu banyak gamer yang tertarik untuk memainkan League of Legends. Alasannya, game tersebut sulit untuk dikuasai. “Seorang pemain harus sangat berdedikasi agar bisa menguasai dan menikmati game kami,” ujar Beck. “Fakta bahwa ada banyak orang yang tertarik untuk memainkan game itu, kami sama sekali tidak menduganya.” Dalam waktu dua bulan sejak diluncurkan, League of Legends meraih pencapaian pertama mereka, yaitu dimainkan oleh 100 ribu pemain secara bersamaan. Para Rioters merayakan hal ini, walau mereka tetap bekerja keras untuk memastikan bahwa game dan server berjalan dengan lancar. Seiring berjalannya waktu, jumlah pemain League of Legends terus bertambah.

Riot pun harus menambah karyawannya. Pada 2009, Riot kembali mencari investor. Salah satu perusahaan yang menjadi investor mereka adalah Tencent. Uang yang mereka dapat dari investor lalu digunakan untuk mempekerjakan pegawai baru, memperbaiki bug dan masalah teknis pada game lainnya, serta membuat konten baru.

Setelah League of Legends diluncurkan, Riot sadar bahwa mereka akan harus memberikan update konten secara berkala. Mereka sempat bingung akan konten baru apa yang para pemain inginkan: apakah mereka harus membuat mode single-player ataukah mereka harus menyediakan peta dan mode baru? Pada akhirnya, Riot sadar bahwa para pemain hanya ingin pendalaman dari core gameplay yang telah ada.

Pada 2010 dan 2011, Riot fokus untuk menemukan ritme dalam menyediakan konten baru. Saat ini, mereka juga mulai menyadari bahwa para gamer League of Legends tidak hanya senang untuk bermain, mereka juga senang menonton orang lain memainkan game tersebut.

Kemunculan Esports League of Legends

Selama bertahun-tahun, Merrill dan Beck bermain StarCraft. Jadi, mereka tidak heran dengan keberadaan turnamen untuk game seperti StarCraft. Sebelum mendirikan Riot, keduanya bahkan sempat mempertimbangkan untuk membuat liga esports sendiri, yang akan dinamai Ultimate Gaming League (UGL). Hanya saja, pada 2011, ekosistem esports belum berkembang sepesat sekarang. Saat Riot pertama kali meluncurkan League of Legends, mereka juga tidak berencana untuk mengadakan turnamen sendiri.

Turnamen League of Legends dimulai oleh para fans. Pada musim panas 2010, ekosistem esports League of Legends telah berkembang sedemikian rupa sehingga Riot tak bisa mengacuhkannya begitu saja. Mereka lalu mengumumkan turnamen League of Legends pertama yang disebut “Season One“. Ketika itu, Season One Championship merupakan bagian dari DreamHack Summer 2011, kegiatan esports yang menyertakan kompetisi Counter-Strike: Global Offensive dan StarCraft 2.

Turnamen pertama League of Legends adalah League of Legends Season One pada 2011. | Sumber: Game Life
Turnamen pertama League of Legends adalah Season One. | Sumber: Game Life

“Saya ingat, kami hanya menyediakan 20 kursi lipat. Kami memutuskan untuk menyiarkan pertandingan walau kami tidak tahu apakah akan ada orang yang tertarik untuk menonton,” kenang Beck tentang Season One Championship. “Kami mendapatkan 100 ribu concurrent viewers, yang sangat mengejutkan bagi kami. Saat itulah kami sadar bahwa para pemain League of Legends senang menonton pertandingan esports dan kami mulai memikirkan esports dengan lebih serius.”

Beck, Merrill, dan tim Riot lalu memutuskan untuk mengadakan turnamen sendiri daripada meminta bantuan pihak ketiga. Itu berarti, mereka harus membuat jadwal turnamen selama setahun dan menyiarkan video pertandingan secara rutin. Untuk mengembangkan ekosistem esports League of Legends, mereka sadar bahwa mereka harus menyiapkan dana besar dan siap dalam menghadapi berbagai tantangan.

Satu tahun kemudian, pada Oktober 2012, Riot mengadakan Season Two World Championship. Mereka memutuskan untuk mengadakan pertandingan group stage di ruang terbuka karena dianggap unik. Selain itu, ini juga bisa menarik orang-orang untuk menonton jalannya pertandingan. Terbukti, cukup banyak orang yang menonton turnamen tersebut. Namun, muncul satu masalah tak terduga. Di tengah pertandingan antara Team WE dari Tiongkok dengan Counter Logic Gaming dari Eropa, koneksi internet terputus.

“Kami tidak menggunakan server lokal,” kata Beck menjelaskan. “Ketika itu, kami belum punya server yang bisa kami bawa kemana pun kami pergi.” Mau tak mau, pertandingan pun harus diulang. Sayangnya, hal serupa kembali terjadi. Pada akhirnya, Riot menyerah dan meminta para penonton untuk pulang tanpa menyelesaikan pertandingan. “Rasa bersalah yang kami rasakan — kami benar-benar merasa bersalah pada semua pemain yang turut serta,” ujarnya. Dari sini, Riot belajar bahwa mereka harus selalu menyiapkan rencana cadangan, menghadapi skenario terburuk yang mungkin terjadi.

Kerja keras Riot berbuah manis. Saat ini, League of Legends adalah salah satu game esports paling populer di dunia. Game tersebut juga dianggap sebagai salah satu game paling berpengaruh ke ekosistem esports. Bahkan sekarang (setidaknya sampai artikel ini ditulis), League of Legends memiliki liga di beberapa kawasan, seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Asia Pasifik, dan lain sebagainya.

League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald
League of Legends Pro League di Tiongkok. | Sumber: The Rift Herald

Beberapa liga League of Legends — seperti di Amerika Utara dan Tiongkok — telah menggunakan model franchise. Belum lama ini, Roit mengumumkan rencana mereka untuk menerapkan sistem franchise di League of Legends Champions Korea. Salah satu organisasi esports populer di Korea Selatan, Gen.G, telah memastikan bahwa mereka tertarik untuk ikut dalam liga tersebut.

Apakah ini berarti model franchise akan menjadi masa depan dari esports League of Legends? Dalam email kepada Hybrid.co.id, Chris Tran, Head of Esports, Riot Games, Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, “Penggunaan model franchise memungkinkan tim-tim yang ikut serta, liga, dan rekan untuk bekerja sama mengejar tujuan yang sama, memberikan pengalaman yang memuaskan pada fans, dan memberikan kepastian pada para tim dan pemain. Agar model franchise bisa digunakan, sebuah liga esports harus sudah memiliki ekosistem dan infrastruktur yang memadai, dan mengembangkan dua hal ini memakan waktu yang tidak sebentar.

“Seiring dengan berkembangnya ekosistem esports League of Legends di kawasan lain, tidak terutup kemungkinan, kami akan menggunakan model franchise di kawasan tersebut,” ujar Chris. “Kami ingin membuat esports menjadi olahraga yang bisa bertahan selama beberapa generasi. Menggunakan model franchise adalah salah satu cara yang memungkinkan kami mencapai tujuan tersebut.” Dia mengungkap, model franchise bukanlah sistem baru. Model serupa telah digunakan di olahraga tradisional, termasuk sepak bola.

Game-Game Baru Riot

Oke, Riot memang sukses dengan League of Legends. Namun, selama bertahun-tahun, mereka dianggap sebagai studio one-hit wonder karena tidak meluncurkan game baru selain League of Legends. Hal ini berubah pada 2019. Tahun lalu, Riot mendadak mengumumkan sejumlah game baru, yaitu Teamfight Tactics, Valorant, Legends of Runeterra, dan League of Legends: Wild Rift.

Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan mengungkap, Riot sebenarnya telah mengembangkan beberapa game baru selama beberapa tahun belakangan. Tentu saja, mereka juga tidak lupa untuk membangun League of Legends dan properti intelektual mereka. Dia mengungkap, meski Riot memiliki banyak ide untuk game baru tapi hanya sedikit yang akhirnya mereka realisasikan.

“Tujuan kami adalah untuk memberikan sesuatu yang unik pada genre game yang berbeda-beda. Kami harap, hal ini akan membuat game-game kami disukai oleh para gamers. Kami percaya, dengan memberikan gameplay yang menarik dan komunitas yang sehat, kami akan akan sukses. Tapi, bukan itu tujuan kami.”

Riot baru merilis Teamfight Tactics pada tahun lalu. | Sumber: ONE Esports
Riot baru merilis Teamfight Tactics tahun lalu. | Sumber: ONE Esports

Justin mengatakan, ada dua fokus Riot. Pertama, mengembangkan game yang disukai banyak gamer. Kedua, bertahan pada komitmen player-first, yang berarti mereka siap mendengarkan masukan para pemain dan mengembangkan komunitas gamer. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat Dev Diaries. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, dia mengatakan, Riot sangat aktif di Facebook Page dan server Discord SEA.

Sayangnya, itu bukan berarti tidak ada para pemain League of Legends dan fans Riot yang bersikap toxic. Dalam game, Anda masih akan menemukan orang-orang yang merusak kesenangan bermain pemain lain, baik dengan melontarkan komentar berbau rasis atau seksis maupun mencaci-maki pemain lain. Untuk mengatasi hal ini, Justin menyebutkan, Riot menetapkan metode baru, yang dinamai Player Dynamics, pada bulan lalu. Dia menjelaskan, mereka memelajari perilaku para pemain dan menyediakan alat komunikasi dengan tujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang lebih baik.

“Ketika kami meluncurkan game multiplayer baru, kami ingin memastikan bahwa kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para pemain. Kami akan memerhatikan interaksi antar pemain dalam tahap awal pengembangan game. Jadi, ketika kami akhirnya meluncurkan game baru, kami telah tahu cara memastikan para pemain dan komunitas dapat berkembang dengan baik,” ujar Justin.

Ekosistem Esports dari Game Baru Riot

Mellihat kesuksesan scene esports dari League of Legends, tidak heran jika Riot juga tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka yang lain. Belum lama ini, mereka mengungkap skema kompetisi global Teamfight Tactics. Dinamai Teamfight Tactics: Galaxies Championship, kompetisi tersebut akan diikuti oleh 16 pemain dari 8 regional dengan total hadiah Rp3,1 miliar.

Tidak hanya itu, Riot juga telah membahas rencana mereka terkait ekosistem esports dari Valorant. Padahal, game tersebut bahkan belum resmi diluncurkan. Riot mengungkap, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant, lain halnya dengan League of Legends. Menariknya, beberapa organisasi esports profesional bahkan telah mengadakan turnamen sendiri, seperti 100 Thieves dan T1.

Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.
Valorant kini masih ada dalam tahap closed beta.

“Semua developer punya mimpi untuk melihat ekosistem esports dari game mereka mencapai tingkat internasional. Namun, kami juga sadar bahwa esports harus melibatkan komunitas agar ia bisa tumbuh dengan saran dan masukan dari para pemain,” ujar Chris. “Kami tidak mau mendikte para pemain dan organisasi esports profesional tentang apa arti esports. Kami ingin memberikan kesempatan pada mereka, yang merupakan rekan kami, untuk mendefinisikan esports. Kami akan belajar dari pengalaman mereka memainkan game kami dan mencari tahu apa yang mereka butuhkan.”

Chris tidak membantah bahwa Riot memang ingin mengembangkan ekosistem esports Valorant. Namun, mereka juga tidak ingin tergesa-gesa. Dia mengungkap, hype akan scene esports Valorant jauh lebih tinggi dari saat mereka mencoba membangun ekosistem esports untuk League of Legends. Karena itu, mereka ingin dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. “Pada akhirnya, kami ingin memberikan esports scene terbaik untuk para pemain kami. Dan kami sedang melihat apakah bekerja sama dengan pihak ketiga memang cara terbaik untuk mencapai tujuan itu,” kata Chris.

Keuangan Riot

Kesuksesan League of Legends tidak hanya karena mekanisme dari game tersebut, tapi juga didukung oleh cara Riot menjalankan bisnis mereka. Pada 2011, League of Legends telah terbukti sebagai game populer. Saat itu, Merrill dan Beck ingin mengurangi jumlah investor mereka. Jadi, kedua pendiri Riot tersebut menjual sebagian besar saham perusahaan mereka pada Tencent.

“Investor finansial biasanya memiliki target waktu kembali investasi yang lebih singkat,” kata Merrill. “Kami merasa, lebih baik jika kami hanya memiliki satu pemegang saham, tapi mereka memiliki visi yang sama dengan kami daripada memiliki banyak investor dengan visi yang berbeda-beda.” Walau sempat mengalami masalah dengan Tencent, Riot bisa beroperasi secara mandiri. Beck bahkan menyebutkan, kebanyakan pekerja Riot tidak pernah bertemu dengan perwakilan Tencent. Dengan ini, Riot bisa fokus untuk mengembangkan League of Legends.

Dalam waktu lama, League of Legends adalah satu-satunya game Riot. Namun, game tersebut terbukti mampu menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit. Pada 2019, 10 tahun sejak League of Legends diluncurkan, Riot mendapatkan US$1,5 miliar dari game MOBA itu. Ini menjadikan League of Legends sebagai game gratis dengan pemasukan terbesar kedua setelah Fortnite, yang meraup US$1,8 miliar.

Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.
Grafik pendapatan Riot Games selama empat tahun.

Pemasukan Riot dari League of Legends pada 2019 naik jika dibandingkan dengan pemasukan pada 2018, yang hanya mencapai US$1,4 miliar. Meskipun begitu, angka itu masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan Riot pada 2017 (sebesar US$2,1 miliar) dan 2016 (sebesar US$1,7 miliar), menurut laporan Dot Esports.

Riot di Asia Tenggara

League of Legends mungkin menjadi salah satu game terpopuler di dunia. Meskipun begitu, game tersebut tidak terlalu terdengar gaungnya di Indonesia. Pada sekitar 2015-2016, Riot Games sempat membuka lowongan untuk posisi Country Manager di Indonesia. Meskipun begitu, tidak ada informasi lanjut tentang keputusan Riot untuk berbisnis di Indonesia. Terkait hal ini, Justin Hulog, General Manager, Riot Games di Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan menjelaskan, pada awalnya, Riot memang berencana untuk mencari Country Manager untuk setiap negara di Asia Tenggara. Meskipun begitu, Riot akhirnya memutuskan untuk mengubah strategi mereka dan mengonsolidasi tim mereka di satu tempat.

“Indonesia adalah pasar penting bagi kami. Dalam beberapa tahun ke depan, kami berencana untuk menanamkan investasi dan menumbuhkan bisnis kami di sini, serta memberikan pengalaman bermain game terbaik pada para pemain Indonesia,” ujar Justin. “Sayangnya, itu bukan berarti kami harus membuat tim besar di negara tersebut.”

Justin mengaku, Riot punya rencana yang “ambisius” untuk kawasan Asia Tenggara. Dan saat ini, telah ada banyak Rioters dari seluruh dunia yang mendukung bisnis mereka di SEA, baik dalam bentuk player support, finansial, esports, maupun marketing. “Salah satu fokus utama kami saat ini adalah untuk memberikan game PC dan mobile terbaik untuk gamer Indonesia. Legends of Runeterra adalah salah satu game terbaru kami yang akan diluncurkan pada 1 Mei 2020. Kami harap, para pemain Indonesia akan menyukai game ini,” ujar Justin.

Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, esports League of Legends juga tidak terlalu populer. Ketika ditanya tentang hal ini, Chris Tran menjelaskan bahwa membangun ekosistem esports memakan waktu yang tidak sebentar. Salah satu bukti komitmen Riot dalam mengembangkan scene esports League of Legends di Asia adalah keberadaan Pacific Championship Series (PCS). Turnamen tersebut merupakan gabungan dari liga League of Legends di kawasan Hong Kong, Taiwan, dan Macau serta liga di kawasan Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. “Turnamen ini akan menciptakan infrastruktur esports yang berkelanjutan, membuat persaingan antar tim menjadi semkain ketat dan memberikan kestabilan finansial yang lebih baik,” ujar Chris.

Lebih lanjut, Chris menjelaskan, salah satu cara yang Riot lakukan untuk mempopulerkan game mereka adalah dengan menggandeng perusahaan lokal agar para gamer di satu negara dapat mengakses game mereka dengan lebih mudah. Dia berkata, “Misalnya, kami bekerja sama dengan Redd+E untuk mendistribusikan hak siar PCS di seluruh Asia Tenggara.” Dia juga menyebutkan, ada beberapa turnamen League of Legends yang diadakan di kawasan Asia. Misalnya, Mid-Seasonal Invitational 2019 yang diadakan pada Taiwan, Hyperplay pada 2018 di Singapura, serta eksibisi esports League of Legends pada Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta.

Kesimpulan

Meskipun dengan cara yang tidak biasa — fokus pada satu game selama bertahun-tahun — Riot berhasil mencapai sukses. Selain itu, mereka juga dapat mengambil kesempatan untuk mengembangkan esports dengan cepat. Jadi, tidak heran jika ekosistem esports League of Legends sudah sangat mumpuni. Namun, itu bukan berarti Riot puas dengan apa yang sudah dicapai.

Pada tahun 2019, mereka mengumumkan dua game baru, yaitu Teamfight Tactics dan League of Legends: Wild Rift. Sementara pada tahun ini, mereka berencana meluncurkan dua game lain, yaitu Legends of Runneterra dan Valorant. Mereka juga sudah mempertimbangkan cara untuk mengembangkan ekosistem esports dari game-game barunya. Namun demikian, saat ini kondisinya akan berbeda dengan sebelumnya karena mereka harus menangani lebih dari satu game. Apakah mereka masih bisa menanganinya sebaik mereka mengembangkan LoL? Kita tunggu saja…