IPO Pada 9 Desember, Astralis Group Mau Kumpulkan Rp230 Miliar

Astralis Group berencana untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada 9 Desember 2019 di bursa saham Nasdaq Copenhagen. Mereka hendak menjual sahamnya senilai 8,95 kroner (sekitar Rp13,7 ribu) per lembar dan mengumpulkan 125 juta sampai 150 juta kroner (sekitar Rp192 miliar sampai Rp230 miliar). Menurut Per Hansen, ahli ekonomi investasi di Nordnet, kemungkinan, permintaan akan saham Astralis akan lebih tinggi dari jumlah saham yang mereka jual.

Esports dan potensi industri ini dalam lima tahun ke depan tengah menjadi bahan pembicaraan hangat sekarang,” kata Hansen, seperti dikutip dari Bloomberg. Dia juga mengatakan, waktu IPO Astralis tepat karena saat ini, nilai bunga tengah rendah membuat para investor tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan baru.

Memang, nilai industri esports pada tahun ini diperkirakan telah menembus US$1 miliar. Pada 2022, industri esports diduga akan memiliki nilai US$1,8 miliar. Saat ini, sekitar 82 persen dari total nilai industri esports datang dari investasi merek endemik dan non-endemik. Memang, pada Q3 2019, semakin banyak perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menanamkan investasi di esports. Alasannya karena penonton esports yang terus naik. Pada 2019, jumlah penonton esports di dunia diperkirakan mencapai 443 juta orang. Angka ini diduga akan naik menjadi 495 juta orang pada 2020.

Jumlah penonton esports selama 2018-2020. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports selama 2018-2020. | Sumber: Newzoo

CEO Astralis Group, Nikolaj Nyholm yakin bahwa IPO mereka akan sukses. Salah satu alasan mengapa dia begitu percaya diri adalah karena mereka telah memiliki investor yang siap membeli saham mereka. Dia berkata, para investor ini berasal dari berbagai negara, mulai dari Eropa sampai Asia. Para investor tersebut telah menyiapkan dana sekitar US$8 juta (sekitar Rp113 miliar).

“Kami pecaya, merek-merek paling bernilai dan paling dikenal dalam 10 tahun ke depan sekarang tengah membangun pondasi mereka,” kata Nyholm. Jika IPO Astralis Group sukses, maka ini akan menjadi tolok ukur bagi organisasi esports lain yang juga berencana untuk melakukan IPO. Nyholm, yang pernah bekerja sebagai venture capitalist, berkata bahwa dia mengerti mengapa sebagian investor enggan untuk menanamkan modal di industri esports, mengingat industri ini masih sangat baru dan belum memiliki rekam jejak yang jelas. “Dalam hal ini kami juga memiliki tanggung jawab untuk membantu mengedukasi pasar dengan memberikan informasi yang akurat terus menerus,” ujarnya.

Nyholm menjelaskan, salah satu alasan Astralis Group untuk melakukan IPO dan bukannya mengumpulkan dana investasi lagi adalah untuk menemukan investor baru. Selain itu, dengan melakukan IPO, Astralis akan bisa fokus pada rencana jangka panjang mereka. Uang yang mereka dapatkan dari IPO ini akan digunakan untuk memperkuat posisi Astralis di pasar esports dengan mengembangkan merek dan media mereka. Astralis Group membawahi tiga tim esports, yaitu Astralis yang dikenal sebagai salah satu tim Counter-Strike: Global Offensive terkuat di dunia, Origen yang bertanding di League of Legends European Championship (LEC), dan Future FC, tim terbaru Astralis Group yang bertanding dalam game FIFA.

Sumber header: Astralis Group via Bloomberg

Dapat Investasi, Genvid Technologies Kembangkan Streaming Engine Interaktif

Genvid Technologies baru saja mendapatkan pendanaan senilai US$27 juta (sekitar Rp381 miliar) untuk mengembangkan streaming engine interaktif. Pendanaan kali ini dipimpin oleh Galaxy Interactive, divisi dari Galaxy Digital yang fokus untuk membantu perusahaan yang bergerak di bidang konten interaktif dan teknologi, khususnya yang terkait dengan game dan esports. Streaming engine interaktif buatan Genvid Technologies memungkinkan kreator untuk memonetisasi video live streaming via sponsorship dan pembelian saat streaming berlangsung (in-stream purchase). Tujuan dari Genvid untuk mengembangkan teknologi ini adalah untuk membuat streaming esports menjadi lebih interaktif.

“Sejak awal, kami memang ingin membuat tool untuk game developer agar mereka dapat memberikan pengalaman baru dalam menyiarkan konten,” kata CEO Genvid Technologies, Jacob Navok pada GamesBeat. “Kami mulai dengan esports, dan kami menunjukkan konten baru di Game Developers Conference tahun ini. Game-game baru dengan engine baru yang dibangun di bangun untuk diintegrasikan dengan teknologi Genvid. Kami menginvestasikan tool untuk game-game itu sehingga kami bisa mempercepat pertumbuhan kami.”

Dengan streaming engine interaktif buatan Genvid Technologies, para penonton akan bisa menyesuaikan konten yang mereka lihat ketika mereka menonton pertandingan esports. Memang, menurut CFO Activision Blizzard, Dennis Durkin pengalaman menonton pertandingan esports masih bisa ditingkatkan. Memudahkan masyarakat awam memahami apa yang terjadi selama pertandingan dipercaya akan membuat esports menjadi lebih populer.

Sekarang, penonton biasanya melihat apa yang terjadi selama pertandingan dengan sudut pandang pemain. Biasanya, ini membuat penonton awam tak sepenuhnya paham apa yang terjadi, terutama game dengan pace cepat seperti Overwatch. Dengan teknologi Genvid, penonton bisa meyesuaikan konten berdasarkan apa yang mereka ingin lihat. Ini juga akan menguntungkan pengiklan karena mereka bisa menampilkan iklan sesuai dengan selera penonton.

Untuk menunjukkan teknologinya, Genvid bekerja sama dengan operator Jepang, NTT Docomo di Tokyo Game Show. Dalam acara tersebut, Genvid memanfaatkan jaringan 5G NTT Docomo untuk menunjukkan acara streaming interaktif. Tujuan demonstrasai ini adalah untuk menunjukkan bagaimana jaringan 5G mobile bisa mengubah industri gaming dan esports.

Genvid dan NTT Docomo bekerja sama untuk memamerkan teknologi streaming baru via 5G | Sumber: VentureBeat
Genvid dan NTT Docomo bekerja sama untuk memamerkan teknologi streaming baru via 5G | Sumber: VentureBeat

“Streaming interaktif menggabungkan game dan media tradisional,” kata Navok. “Kami memungkinkan setiap penonton untuk melihat konten unik yang interaktif. Jika mereka ingin menonton pemain tertentu di tim esports, mereka bisa melakukan itu. Kami juga telah mengembangkan sekumpulan backend tools yang memungkinkan developer untuk membuat atau mengatur streaming interaktif dan menyiarkannya di berbagai platform.”

Genvid mengatakan, teknologi mereka telah digunakan oleh game developer indie maupun game publisher besar untuk memberikan konten gaming yang unik. Selain demonstrasi pada Tokyo Game Show, Navok berkata, teknologi Genvid juga digunakan dalam menyiarkan babak final dari turnamen Counter-Strike: Global Offensive di Twitch.

Investasi yang didapatkan oleh Genvid kali ini akan digunakan untuk mengembangkan fitur Software Development Kit (SDK) dan menyediakan paltform layanan end-to-end untuk para developer untuk mengembangkan streaming interaktif, mulai dari pengembangan web sampai integrasi dengan platform. Selain itu, Genvid juga akan melakukan ekspansi bisnis dengan masuk ke industri media dan olahraga tradisional.

Navok mengatakan, mereka tengah mengembangkan toolkit standar untuk para developer yang ingin membuat game dan broadcast mereka menjadi lebih interaktif seara real-time. “Kami akan terus memperbaiki tool kami dengan menambahkan fitur baru yang memanfaatkan 5G, teknologi televisi interaktif, dan dukungan untuk berbagai format media digital baru yang dibuat oleh developer pihak ketiga yang bekerja sama dengan Genvid,” ungkapnya.

Tim Genvid Technologies | Sumber: VentureBeat
Tim Genvid Technologies | Sumber: VentureBeat

Sekarang, ujar Navok, Genvid juga memiliki beberapa proyek baru terkait olahraga tradisional, yang akan memungkinkan penonton untuk menonton siaran langsung olahraga yang interaktif. Selain itu, Genvid juga sedang membuat format siaran televisi langsung yang memungkinkan penonton untuk menentukan apa yang terjadi selama siaran berlangsung. Genvid juga memulai proyek tentang konten gaming yang mereka buat dari nol. Selain perusahaan game, Genvid juga hendak mendekati perusahaan media dan perusahaan yang menyiarkan siaran olahraga.

Navok mengaku, walau Genvid memulai bisnisnya dengan menyediakan SDK untuk game, kini mereka juga ingin memasuki ranah olahraga dan media. “Kami telah memiliki beberapa prototipe yang memungkinkan Anda untuk menonton streaming interaktif ketika menonton siaran olahraga atau menonton reality show. Dan Anda dapat berinteraksi langsung dengan para aktor,” katanya. Dia menyebutkan, saat menghadapi perusahaan media besar, mereka harus dapat memberikan penjelasan yang lengkap tentang layanan apa saja yang bisa mereka berikan. “Salah satu kelebihan kami sebagai perusahaan adalah kami bisa menjalin kerja sama yang sangat dekat dengan mereka,” ujarnya.

Sumber header: VentureBeat

Infofed, Startup Esports Asal Bangkok Dapatkan Investasi

Infofed, startup yang bergerak di bidang virtual reality dan esports asal Bangkok, Thailand, baru saja mendapatkan pendanaan Pre-series A dari perusahaan media gaming Jepang, GameWith. Sayangnya, tidak diketahui berapa jumlah kucuran dana yang diberikan. Infofed mengatakan, mereka akan menggunakan dana segar ini untuk melakukan ekspansi ke kawasan Asia Tenggara. Mereka berencana untuk masuk ke Myanmar, Laos, dan Kamboja pada 2020.

Infofed didirikan pada 2015. Perusahaan ini menjadi one-stop service bagi perusahaan game, merek konsumen, dan juga komunitas esports dengan menyediakan platform online dan offline. Mereka mengoperasikan eArena, platform online untuk gamer profesional, yang memungkinkan mereka untuk membuat dan mengatur konten. Tak hanya itu, para pemain profesional tersebut juga dapat memanfaatkan platform itu untuk mengadakan pertandingan kompetitif dengan pemain lain.

Selain itu, Infofed juga menyelenggarakan acara dan turnamen di Thailand eSports Arena, yang bernilai US$1,5 juta. Perusahaan Bangkok ini mengklaim bahwa mereka telah menanamkan US$1,6 juta ke Infofed Ecosystem, yang mencakup eSports Arena, divisi produksi dan penyelenggaraan acara esports, serta bisnis pengembangan streamer dan influencer. Dengan ini, mereka berharap akan bisa menjadi pemimpin pasar untuk kawasan Asia Tenggara pada 2025.

Sumber: The Bangkok Post
Sumber: The Bangkok Post

“Setelah ronde pengumpulan dana ini, kami berencana untuk mengadakan beberapa kolaborasi esports yang akan memperkuat posisi kami sebagai pemimpin pasar dan menciptakan 10 ribu lowongan pekerjaan di bidang esports bagi generasi yang melek teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2025,” kata Jirayod Theppipit, Founder dan CEO Infofed, seperti yang dilaporkan oleh Tech in Asia.

Pada Februari 2019, Infofed mendapatkan investasi dari perusahaan venture capital dari Singapura KK Fund dan platform events marketing Thailand, Event PopShows. Ketika itu, mereka mengatakan bahwa mereka berencana untuk memperkuat bisnis esports mereka dan berencana untuk menjadi penyelenggara turnamen tidak hanya di rumah sendiri, tapi juga di kawasan Asia Tenggara.

Tahun ini, memang semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor dari perusahaan gaming dan esports, seperti Hiro Capital. Mengingat industri esports diperkirakan akan bernilai hampir US$3 miliar pada 2022, ini bukanlah hal yang aneh. Saat ini, perkembangan industri esports memang masih terfokus pada kawasan Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, dan Tiongkok. Namun, beberapa tahun ke depan, industri esports di negara-negara berkembang juga diperkirakan akan tumbuh pesat, termasuk di kawasan Greater Southeast Asia yang mencakup Asia Tenggara dan Taiwan.

Sumber header: Tech in Asia

Shroud: Mixer Punya Komunitas yang Lebih Baik dari Twitch

Esports telah menjadi industri dengan nilai lebih dari US$1 miliar. Semakin banyak perusahaan endemik dan non-endemik yang tertarik untuk masuk ke ranah esports sebagai sponsor. Jumlah investor di bidang esports juga terus bertambah, yang dianggap sebagai salah satu tanda bahwa industri ini telah menjadi semakin matang. Satu hal yang menarik banyak perusahaan untuk menjadi sponsor adalah penonton esports yang relatif muda.

Inilah mengapa beberapa organisasi esports besar tidak hanya fokus pada memenangkan turnamen, tapi juga dalam membuat konten untuk ditayangkan di platform live streaming dan media sosial. Salah satunya adalah EVOS Esports yang belum lama ini mendapatkan kucuran dana sebesar US$4,4 juta (sekitar Rp61 miliar) yang ditujukan untuk mengembangkan divisi influencer mereka. Tentu saja, tak semua influencer menjadi bagian dari organisasi esports. Contohnya Michael “Shroud” Grzesiek, yang sempat menjadi pemain profesional di bawah Cloud9 sebelum memutuskan untuk pensiun dan menjadi streamer.

Sama seperti kebanyakan streamer, Shroud memulai karirnya di Twitch. Namun, pada akhir Oktober 2019, Shroud mengumumkan keputusannya untuk pindah ke Mixer, platform live streaming milik Microsoft. Saat ini, dari segi viewership, Twitch masih mendominasi. Karena itu, tidak heran jika setelah pindah ke Mixer, jumlah view yang didapatkan oleh Shroud menurun drastis. Meskipun begitu, ketika ditanya oleh penontonnya dalam sesi streaming, Shroud mengaku tidak menyesali keputusannya untuk pindah ke Mixer. Menurutnya, komunitas Mixer lebih baik daripada penonton di Twitch.

“Saya suka komunitas di sini,” kata Shroud, dikutip dari Dexerto. “Orang-orang di sini adalah komunitas utama saya. Seseorang tidak akan menonton konten saya di Mixer jika mereka adalah orang kurang ajar. Orang-orang itu tetap di Twitch, melakukan apa yang mereka senang lakukan, tapi orang-orang yang baik dan suportif mengikuti saya ke Mixer. Saya senang saya bisa tahu siapa fans saya yang setia.” Dia lalu melanjutkan, “Tentu saja, ada orang-orang yang tidak menonton konten saya di Mixer karena mereka memang tidak mau, walau mereka tetap bisa menikmati konten saya, dan mereka mungkin sesekali tetap menonton streaming saya. Pada dasarnya, apa yang saya ingin bilang adalah komunitas di sini lebih baik.”

Shroud bukanlah satu-satunya streamer yang memutuskan untuk pindah dari Twitch. Pada Agustus, Tyler “Ninja” Blevins juga mengumumkan kepindahannya ke Mixer. Selain itu, Soleil “EwOk” Wheeler dari FaZe Clan juga melakukan hal yang sama. Sementara Jack “CouRage” Dunlop memutuskan untuk pindah ke YouTube Gaming setelah mendapatkan kontrak eksklusif.

Sumber header: Twitter

Jalin Kerja Sama, Astralis Group dan Newzoo Bakal Saling Bertukar Data

Astralis Group mengumumkan kerja sama dengan Newzoo. Melalui kerja sama ini, Newzoo akan memberikan data dan insight tentang dunia esports yang tengah berkembang pesat pada Astralis, membantu organisasi esports tersebut untuk mengambil keputusan di masa depan. Meskipun banyak pelaku esports yang masuk ke industri competitive gaming atas dasar passion, sekarang, sekadar passion tak lagi cukup. Astralis sendiri membanggakan diri sebagai organisasi yang tidak hanya menjual passion, tapi juga data.

“Di Astralis Group, ketika kami memberikan penawaran komersil, kami berusaha untuk tidak membuatnya hanya berdasarkan pada passion, emosi, dan loyalitas, tapi juga berdasarkan data rasional yang hasilnya bisa dihitung. Kami tidak hanya berusaha untuk memberikan eksposur pada rekan kami, kami juga memiliki peran sebagai penasehat, yang bisa kami jalankan dengan lebih baik dengan bantuan dari Newzoo,” kata Jakob Lund Kristensen, Co-founder dan CCO Astralis Group, seperti dikutip dari situs resmi Newzoo.

Astralis Group merupakan organisasi esports asal Denmark yang membawahi tim Astralis yang berlaga di Counter-Strike: Global Offensive, Origen yang bertarung di League of Legends, dan Future FC yang akan bertanding di FIFA. Sementara Newzoo adalah perusahaan intelijen dan analitik yang selama ini memang telah mengeluarkan berbagai laporan tentang survei di industri gaming dan esports, seperti laporan yang memperkirakan bahwa valuasi industri esports tahun ini akan menembus nilai US$1 miliar. Dari kerja sama ini, Newzoo akan mendapatkan data dari Astralis, yang akan membantu mereka untuk membuat perkiraan akan industri esports yang lebih akurat.

Sumber: Twitter
Sumber: Twitter

“Kami senang bisa bekerja sama dengan Astralis Group, Nikolaj Nyholm, tiga tim esports yang sukses di bawah mereka, yaitu Astralis, Origen, dan Future FC,” kata Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo. “Astralis terus melakukan inovasi di pasar esports, dan melalui kerja sama ini, kami akan bisa memperkaya pemahaman kami tentang berbagai model bisnis monetisasi di esports.” Menurut Esports Insider, Astralis Group bukan organisasi esports pertama yang menjadi rekan dari Newzoo. Sebelum ini, Newzoo telah bekerja sama dengan Team Liquid, Ninjas in Pyjamas, dan organisasi esports Jepang, DetonatioN Gaming. Rietkerk mengatakan, semakin banyak rekan yang Newzoo miliki, maka laporan mereka juga akan menjadi semakin akurat.

Astralis bukanlah satu-satunya organisasi esports yang ingin memanfaatkan data untuk lebih unggul dari organisasi lain. Tahun lalu, Team Liquid mengumumkan kerja samanya dengan SAP. Kerja sama itu lalu dilanjutkan pada tahun ini. Selain organisasi esports, developer game juga tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan intelijen dan analitik. Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan non-endemik dan perusahaan venture capital yang masuk ke dunia esports, maka pelaku esports juga dituntut untuk memberikan data yang memang valid. Sebelum ini, Activision Blizzard telah bekerja sama dengan Nielsen untuk menjamin bahwa data terkait penonton liga esports mereka memang valid. Selain Activision Blizzard, Riot Games juga menggandeng Nielsen.

Sumber header: Esports Insider

Mengenal Duan “Candice” Yushuang, Host Turnamen League of Legends Terbesar Dunia

League of Legends Pro League (LPL) adalah liga League of Legends di Tiongkok. Dengan total view mencapai 30 miliar view, LPL merupakan liga LoL terbesar di dunia. Riot Games menggunakan model franchise untuk LPL, yang berarti, tim harus membayar setidaknya 80 juta yuan (sekitar Rp161,1 miliar) untuk dapat berlaga di turnamen bergengsi tersebut. Saat ini, sumber pendapatan terbesar LPL adalah hak siar media, yang dijual pada berbagai perusahaan seperti Huya, DouYu, Penguin Esports, BiliBili, WeChat Live, Weibo, Tencent Video, dan Tencent Sports.

Duan “Candice” Yushuang merupakan host dari LPL. Satu hal yang unik dari Yushuang adalah karena karirnya di esports League of Legends masih sangat pendek. Dia lulus sebagai sarjana English Broadcasting and Anchoring dari Communication University of China pada 2015. Satu tahun setelah itu, dia mulai masuk ke dunia esports. Itu artinya, dia baru memiliki pengalaman sekitar tiga tahun. Sebagai perbandingan, esports host terkenal lainnya, seperti Eefje “sjokz” Depoortere atau Paul “Redeye” Chalone memiliki pengalaman sekitar 6 sampai 20 tahun. Di Indonesia, Gisma Priayudha Assyidiq yang dikenal dengan nama “Melon” mulai terjun ke dunia penyelenggaraan turnamen esports sekitar tahun 2012.

“Pada April 2016, saya melihat lowongan pekerjaan dari Riot Games sebagai esports host di Shanghai, dan saya coba untuk melamar posisi tersebut,” kata Yushuang pada The Esports Observer. “Itu adalah pekerjaan paruh waktu dan saat itu, saya sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai DJ di stasiun radio di Beijing. Setiap akhir pekan, saya harus terbang dari Beijing ke Shanghai pada pukul 6 pagi di hari Jumat dan mengambil penerbangan terakhir untuk kembali ke Beijing pada hari Minggu. Semua biaya transportasi saya tanggung sendiri.” Dia mengaku, dia tidak terlalu memperhitungkan untung-rugi dari keputusannya. Dia rela melakukan semua itu karena dia memang senang dengan game dan komunitas League of Legends.

Yushuang mencium Summoner's Cup. | Sumber: The Esports Observer
Yushuang mencium Summoner’s Cup. | Sumber: The Esports Observer

Pada 2016, League of Legends World Championship diadakan di Amerika Serikat. Turnamen tersebut diadakan di San Francisco, New York, Chicago, dan Los Angeles selama dua bulan. Ini memaksa Yushuang untuk memilih apakah dia akan mempertahankan pekerjaan tetapnya atau berhenti dari pekerjaannya sebagai DJ dan fokus pada esports League of Legends. Dia memilih untuk mengejar karir di esports. Satu tahun kemudian, dia bergabung dengan Shanghai Dominion, perusahaan produksi dan perencanaan esports milik Riot Games. Di tahun yang sama, Riot mengadakan LWC di Tiongkok. Sebagai host, Yushuang diingat berkat pakaiannya yang mencerminkan budaya Tiongkok dan kemampuannya untuk melakukan wawancara dengan Bahasa Inggris yang lancar.

“Saya percaya, jika cukup cakap, Anda akan mendapatkan perhatian,” kata Yushuang. Pada 2018 dan 2019, popularitas LPL terus naik. Jumlah tim yang berpartisipasi dalam LPL bertambah menjadi 16 tim, lebih banyak dari jumlah tim di liga-liga LoL regional lainnya. Tak hanya itu, sponsor LPL juga bertambah menjadi 13, termasuk perusahaan internasional, seperti Nike, KFC, Intel, dan Mercedes-Benz. Salah satu alasan esports League of Legends menjadi populer di Tiongkok adalah karena performa tim lokal yang sangat baik. Pada 2018, Royal Never Give-Up memenangkan Mid-Season Invitation (MSI) sementara Invictus Gaming memenangkan League of Legends World Championship. Pada tahun ini, FunPlus Phoenix memenangkan LWC 2019. Ketiga tim adalah tim asal Tiongkok.

Dengan semakin banyak perusahaan yang menjadi sponsor LPL, pekerjaan Yushuang pun bertambah. Dia tak hanya menjadi host turnamen, tapi juga ikut serta dalam berbagai kegiatan bersama fans, perusahaan sponsor, dan bahkan pemerintah kota di Tiongkok. Salah satu acara yang dia ikuti adalah LPL Go on World, tur international hasil kerja sama Mercedes-Benz dengan LPL. Tur ini mencakup Beijing, Hangzhou, Chongqing, Chendu, Xi’an, Moscow, Stuttgart, dan Berlin.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

“Menjadi host dari acara sponsor berbeda dari menjadi host dari kompetisi LPL,” kata Yushuang. “Lebih sulit menjadi host dari kompetisi karena acara disiarkan secara live, dan saya harus memilih kata dan pertanyaan yang saya lontarkan dengan sangat hati-hati. Untuk acara perusahaan, satu hal yang paling penting adalah engagement antara merek dan fans, membuat konten yang menarik bagi fans, merek, dan pemerintah kota.” Dia menambahkan, dia merasa senang karena pemerintah Tiongkok mulai melihat pentingnya esports sebagai industri. Memang, pemerintah Shanghai bahkan berencana menjadikan kota Shanghai sebagai “ibukota esports” dalam waktu beberapa tahun ke depan.

Karir Yushuang tidak sepenuhnya mulus. Dia juga menghadapi masalah, seperti kritik dari komunitas, khususnya di internet. Namun, dia mengaku tidak mau ambil pusing. “Di internet, tidak peduli sehebat apa Anda, akan tetap ada orang yang tidak suka dengan Anda. Terkadang, orang akan mengubah pendapat mereka dan melupakan kritik mereka. Saya hanya ingin menunjukkan bagian terbaik dari pekerjaan saya pada orang-orang yang mendukung saya, untuk menunjukkan bahwa dukungan mereka tidak sia-sia,” katanya.

Sementara untuk rencananya ke depan, Yushuang mengaku dia ingin fokus pada apa yang dia miliki sekarang. “Saya senang dengan League of Legends dan saya ingin memberikan semua semangat dan energi yang saya miliki ke pekerjaan saya sekarang. Saya tidak seperti orang lain yang memiliki rencana jangka panjang. Saya percaya, emas akan tetap bersinar, tak peduli dimana ia berada. Jadi, saya akan menikmati apa yang saya punya sekarang.”

Antara Venture Capital dan Esports Asia Tenggara: Kemesraan di Masa Penjajakan

Perusahaan venture capital sekarang tidak hanya melirik startup untuk didanai, tapi juga organisasi esports. Memang, industri esports dunia ataupun Indonesia, berkembang dengan pesat belakangan ini. Pada Mei 2019, Skystar Capital mengaku mereka akan menanamkan investasi di salah satu tim esports lokal. Pada awal November 2019, EVOS Esports mengumumkan bahwa mereka baru saja mendapatkan pendanaan sebesar US4,4 juta atau sekitar Rp61 miliar. Insignia Venture Partners menyumbangkan US$3 juta dari total pendanaan Seri A ini.

Menurut CrunchBase, Insignia adalah perusahaan venture capital yang memfokuskan diri pada investasi startup. Sementara di situs resminya, Insignia mengklaim bahwa mereka mendedikasikan diri untuk mendukung perusahaan paling berpengaruh di Asia Tenggara. Dengan menanamkan investasi pada EVOS, secara tidak langsung, Insignia menyatakan bahwa EVOS merupakan perusahaan yang berpengaruh yang cukup besar di Asia Tenggara. Perusahaan VC itu mengatakan, mereka mencoba untuk berkontribusi dalam mengembangkan industri esports dan karir pemain profesional di Asia Tenggara dengan berinvestasi di EVOS. Sementara alasan mereka ingin mendukung esports adalah karena mereka merasa industri ini memiliki potensi besar dalam beberapa tahun ke depan. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, saat ini, valuasi industri esports telah mencapai US$1,1 miliar dan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Jadi, ya, esports telah menjadi industri yang besar dan tampaknya, masih akan terus tumbuh.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

Lalu, kenapa harus EVOS? Oke, EVOS memang terbukti memiliki prestasi dan reputasi. Tapi, di Asia Tenggara, ada banyak organisasi esports yang tidak kalah pamor. Misalnya, RRQ dari Indonesia, ataupun Mineski, dan TNC dari Filipina.

“EVOS tidak hanya memiliki roadmap yang jelas, mereka juga memiliki kemampuan untuk mengeksekusi rencana tersebut dan membawa gamer di Asia Tenggara ke level berikutnya,” kata Insignia pada Hybrid. “Kami percaya dengan pendekatan yang mereka lakukan dan dengan pencapaian mereka sejauh ini dalam membuat ekosistem esports yang mandiri untuk mendukung para gamer di Asia Tenggara.” Lebih lanjut mereka mengatakan, EVOS berhasil menjalin kerja sama dengan sejumlah platform, publisher, dan merek ternama. Semua ini, ditambah dengan divisi entertainment EVOS, memungkinkan tim dengan logo harimau putih itu untuk menyokong tim esports mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia.

Memang, investasi yang diberikan oleh Insignia justru akan digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment EVOS dan bukannya tim esports mereka. Menurut Insignia, keputusan EVOS untuk mengembangkan divisi influencer mereka bukan berarti mereka menganaktirikan tim esports mereka. Ini justru dianggap sebagai cara EVOS untuk menyokong tim esports mereka. “Hubungan antara divisi EVOS layaknya anggota tim dalam game MOBA. Tim esports EVOS mengambil midlane sebagai carry atau tank, sementara divisi entertainment mereka merupakan jungler atau support, yang akan mendukung kesuksesan dari tim esports mereka. Lebih mudah bagi para pemain hebat untuk menjadi influencer dan dengan bantuan influencer, EVOS dapat menciptakan ruang untuk mencari talenta baru,” ungkap mereka.

Hanya karena EVOS memiliki divisi entertainment memang bukan berarti mereka tak lagi mendorong tim esports mereka untuk meraih kemenangan. Tahun ini, mereka telah memenangkan sejumlah turnamen besar termasuk Mobile Legends Professional League Season 4 (dengan hadiah sebesar US$150 ribu atau sekitar Rp2,1 miliar) dan Mobile Legends M1 World Championship 2019 (dengan hadiah US$80 ribu). Secara total, hadiah yang mereka menangkan sepanjang tahun 2019 telah mencapai sekitar Rp6 miliar.

Tren perusahaan venture capital mendukung organisasi esports tampaknya masih akan terus berlanjut. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports asal Indonesia yang telah mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. ONIC Esports, yang menjuarai Piala Presiden 2019 dan MPL Season 3, juga didukung oleh perusahaan venture capital, yaitu Agaeti Venture. Beberapa waktu lalu, venture partner, Agaeti Venture Carey Ticoalu mengatakan bahwa alasan mereka mendukung ONIC adalah karena tim esports tersebut dianggap memberikan dampak sosial yang besar, terutama pada generasi muda Indonesia.

Seberapa besar potensi esports di Asia Tenggara?

Saat ini, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor pelaku esports. Hal ini dianggap sebagai salah satu bukti bahwa industri esports telah semakin matang. Satu hal yang membuat perusahaan — termasuk yang tidak ada kaitannya dengan dunia game atau esports — tertarik masuk adalah karena jumlah penonton esports yang terus naik. Menurut survei yang dilakukan oleh Goldman Sachs dan Newzoo, jumlah penonton esports pada 2022 akan naik menjadi 276 juta dari 194 juta pada 2019. Tak hanya itu, hampir 80 persen dari penonton esports memiliki umur di bawah 35 tahun, generasi milenial dan gen Z, yang memang dikenal sulit untuk ditargetkan pengiklan karena mereka sudah jarang menonton televisi dan menggunakan ad blocker saat menjelajah internet. Karena itulah, esports jadi salah satu jalan bagi perusahaan untuk mendekatkan diri dengan generasi milenial tersebut.

Sementara itu, menurut Niko Partners, industri game di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (Greater Southeast Asia) akan memiliki nilai US$8,3 miliar pada 2023, naik dari US$5 miliar pada tahun ini. Salah satu pendorongnya adalah bertambahnya jumlah gamer PC dan gamer mobile. Esports juga dianggap menjadi alasan lain industri game di kawasan GSEA akan berkembang pesat.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs

“Audiens esports untuk kawasan Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai 31,9 juta orang pada tahun ini. Dan esports juga akan masuk ke dalam cabang olahraga SEA Games pada akhir bulan November. Dua hal ini membuktikan bahwa esports telah menjadi semakin mainstream,” jawab Insignia ketika ditanya soal potensi pasar esports di Asia Tenggara. “Namun, masih banyak kesempatan untuk gamer yang belum direalisasikan, terutama dari segi karir jangka panjang. EVOS telah memanfaatkan kesempatan ini. Dan mereka akan terus merealisasikan potensi yang ada berkat jutaan follower dan subscriber, prestasi mereka di turnamen regional, dan ekosistem infrastruktur yang mendukung pertumbuhan komunitas di platform mereka.”

Insignia mengatakan, ke depan, tim-tim esports asal Asia Tenggara akan masuk ke kancah global. “Memasuki kompetisi global berarti, talenta esports harus diasah untuk dapat bertanding tidak hanya di kawasan Asia Tenggara. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada di masing-masing negara,” kata Insignia. Mereka menambahkan, kemampuan EVOS untuk bekerja sama dengan platform, komunitas, dan perusahaan Indonesia membuka jalan bagi gamer Indonesia untuk bertanding di tingkat regional. “Tiongkok dan Korea Selatan memanfaatkan jaringan internet cepat dan jumlah gamer yang banyak. Sementara Asia Tenggara memiliki talenta yang bervariasi. Ini akan membuka kesempatan bagi industri esports untuk tumbuh di kawasan ini.”

EVOS adalah salah satu organisasi esports Indonesia yang tak hanya beroperasi di Indonesia. Dengan total pemain sebanyak 62 orang, EVOS terbagi ke dalam 13 tim yang berlaga di 6 game. EVOS memiliki tim di beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports yang telah merekrut pemain di negara tetangga. RRQ juga memiliki tim di luar Indonesia. Faktanya, RRQ Athena dari Thailand merupakan salah satu tim RRQ yang memberikan kontribusi besar pada total hadiah Sang Raja pada tahun 2019.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Co-founder EVOS dan CEO RRQ dalam panggung SMW | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Dalam acara Social Media Week yang digelar pada minggu lalu, Andrian Pauline (AP), yang hadir sebagai Ketua Federasi Esports Indonesia (FEI), tapi juga merupakan CEO RRQ, mengatakan bahwa dia percaya, pada akhirnya esports akan menembus batas negara. “Esports sendiri kan medium yang universal. Semua orang bisa berpartisipasi, berkembang bareng,” katanya. Ke depan, dia merasa bahwa tim esports akan menyerupai tim sepak bolah Eropa. Anggota tim esports mungkin tak semua berasal dari Indonesia, tapi di bawah bendera tim asal Tanah Air, maka nama Indonesia yang akan dikenal. Dia memberikan contoh RRQ Athena, yang berisi pemain Thailand. “Itu mereknya adalah merek lokal. Ini menunjukkan bahwa tak hanya talenta Indonesia, tapi secara merek, kita diterima kok (di luar Indonesia),” ujarnya.

Pada akhirnya…

Semakin banyak organisasi esports yang mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. Di Indonesia, ada EVOS Esports dan ONIC Esports. Secara global, sejumlah organisasi esports juga mendapatkan investasi dari berbagai pihak. Misalnya, pada November 2019, Gen.G mengumumkan bahwa mereka mendapatkan investasi dari akselerator asal New York. Sementara investor 100 Thieves menyiapkan US$100 juta sebagai dana investasi khusus untuk industri esports. Astralis bahkan tengah menyiapkan untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Semakin banyak investor yang masuk ke ranah esports adalah kabar baik karena ini berarti ranah competitive gaming semakin matang.

Pada saat yang sama, masuknya perusahaan venture capital sebagai investor berarti pelaku industri esports akan dituntut untuk dapat bertanggung jawab atas modal yang mereka terima. Jadi, mereka harus bisa menghadapi berbagai masalah yang ada di dunia esports, seperti regenerasi dan ketiadaan regulasi, setidaknya di Indonesia. Masalah lain yang harus dihadapi di industri esports adalah kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang mumpuni jika dibandingkan dengan industri lain yang lebih tua. Tak aneh, karena biasanya, pelaku esports mulai membuat tim profesional karena mereka memang senang bermain game. Passion. Walau terdengar romantis, tapi passion saja tak lagi cukup. Para pelaku esports tak lagi bisa sekadar mengejar kesenangan mereka. Sekarang, mereka dituntut untuk menjadi businessman dan mulai memperhitungkan apakah bisnis esports memang akan mendapatkan untung.

After all, money makes the world go round…

Sumber header: Twitter

Remaja Ini Buat AI untuk Temukan Pemain Curang di CS:GO

Pemain curang merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi di industri esports. Sebagai salah satu developer Counter-Strike: Global Offensive, salah satu game esports paling populer, Valve memiliki fitur Anti-Cheat, yang dapat mendeteksi pemain curang secara real-time. Namun, CS:GO juga memiliki tool yang disebut Overwatch, yang memungkinkan pemain untuk meninjau video rekaman dari sebuah permainan yang dilaporkan terjadi kecurangan. Memanfaatkan Overwatch, seorang remaja dengan panggilan “2eggs” membuat AI yang dapat mendeteksi pemain curang. AI ini dinamai HestiaNet, yang didasarkan pada nama dewi perapian dan rumah tangga dari Yunani.

Kepada The Loadout, 2eggs berkata, dia tahu CS:GO dipenuhi dengan orang-orang yang bermain curang. Karena itu, dia ingin agar HestiaNet menangkap pemain curang sebanyak mungkin untuk ‘memulihkan’ komunitas CS:GO. “Bagi banyak anggota komunitas, CS:GO adalah rumah, dan Hestia juga merupakan pelindung rumah,” katanya, menurut laporan VP Esports.

2eggs adalah satu-satunya orang yang mengembangkan HestiaNet. Dia melatih AI buatannya menggunakan belasan ribu kasus Overwatch. HestiaNet akan menganalisa setiap kasus Overwatch dan menentukan apakah kecurangan terjadi dalam sebuah rekaman permainan. Dari 17.659 kasus yang HestiaNet teliti, ia menetapkan kecurangan terjadi pada 15.356 kasus. Sementara Valve menetapkan ada 15.104 kasus dimana kecurangan memang terjadi. Itu artinya, HestiaNet memiliki tingkat akurasi 98 persen.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

“Saya harus membuat keputusan yang mungkin akan menyebabkan seseorang diblokir, dan memiliki kekuasaan itu mengharuskan Anda untuk harus benar-benar yakin akan pilihan yang Anda ambil,” kata 2eggs. “Saya harus adil — saya harus tetap netral, bahkan ketika saya mengolah data dari game yang saya mainkan sendiri.”

Meskipun baru berumur 19 tahun, 2eggs pernah membuat FACEIT ban logs dan Minerva ban logs untuk FACEIT, lapor Talk Esport. Tidak hanya itu, dia juga pernah mendapatkan US$11.450 karena menemukan dan melaporkan bug di CS:GO dan platform Steam itu sendiri pada Valve. 2eggs mengatakan, dia belajar tentang komputer dan programming secara otodidak. Dia mulai mengutak-atik komputer ketika dia masih berumur 10 tahun.

Tidak diketahui apakah Valve akan tertarik untuk memanfaatkan AI buatan 2eggs. Satu hal yang pasti, semakin banyak AI yang dapat mendeteksi pemain curang adalah kabar baik untuk industri esports. Di tengah perkembangan esports yang pesat, pemain curang bisa membuat masyarakat meragukan validitas esports.

Pada Mahasiswa, Manajemen Team SoloMid Bahas Seluk Beluk Industri Esports

Di tengah industri esports yang berkembang pesat, pemain profesional menjadi bintang yang sering menjadi sorotan. Ketika Kyle “Bugha” Giersdorf memenangkan Fortnite World Cup dan membawa pulang US$3 juta, namanya muncul di banyak media. Fakta bahwa dia masih berumur 16 tahun saat itu menjadi salah satu sorotan. Memang, atlet esports biasanya mencapai masa emasnya ketika dia berumur belasan tahun atau awal 20-an. Setelah pensiun, atlet esports biasanya akan menjadi streamer atau menjadi pelatih.

Namun, sebenarnya, industri esports tak melulu soal para pemain profesional. Ada banyak orang yang bekerja di balik layar yang juga memegang peran penting, mulai dari manajemen tim sampai penyelenggara turnamen. Inilah yang membuat berbagai universitas di Amerika Serikat dan Inggris Raya tertarik untuk membuat jurusan esports. Para mahasiswa yang ikut dalam jurusan ini tidak diajarkan untuk menguasai sebuah game dan menjadi pemain esports, tapi tentang manajemen dan bisnis esports.

Salah satu universitas yang serius mengembangkan esports adalah University of California, Irvine (UCI). Selain menawarkan beasiswa, UCI bahkan memiliki arena esports seluas 3.500 kaki persegi. Pembuatan arena esports tersebut didukung oleh iBUYPOWER, Logitech, dan Gamefuel. Minggu lalu, mereka mengundang Team SoloMid untuk menjelaskan pada para mahasiswanya tentang seluk beluk dunia esports, lapor InvenGlobal.

Ki-ka: Ponce, Hahe, dan Zelon | Sumber; InvenGlobal
Ki-ka: Ponce, Hahe, dan Zelon | Sumber: InvenGlobal

Bukan pemain profesional TSM yang diundang berbicara di UCI, tapi pihak manajemennya. Di depan mahasiswa, para tim manajemen TSM berbicara tentang cara untuk masuk ke industri esports. Salah satu pembicara hadir adalah Director of Sales, Luke Zelon. Dia bercerita, sebelum masuk ke industri esports, dia bekerja di Los Angeles Football Club. Di sana, tugasnya adalah untuk mencari rekan yang mau bekerja sama dengan tim tersebut. Dia menjelaskan, mengedukasi para mahasiswa tentang industri esports akan memberi dampak positif pada ekosistem esports secara keseluruhan. Dengan adanya obrolan seperti yang dilakukan oleh TSM di UCI, ini akan membuka kesempatan yang lebih besar pada para mahasiswa untuk menjadi atlet esports.

Zelon tak sendiri. Dia juga ditemani oleh Allie Hahe, Director of Partnerships TSM yang pernah menjadi bagian dari Team Liquid. Menurutnya, kemampuan untuk menyelesaikan masalah adalah salah satu hal yang paling dia cari dari timnya. Dia juga bercerita bahwa dulu, tidak banyak acara esports yang diadakan. Karena itulah, dia harus bisa membuatnya sendiri. Sementara itu, Director of People Operations, John Ponce menjelaskan, tidak semua orang yang bekerja di bidang esports memiliki latar belakang pendidikan di bidang terkait. Itu artinya, sekalipun seseorang tidak belajar di jurusan terkait gaming atau esports saat kuliah, mereka tetap bisa bergabung dengan organisasi esports.

Sumber header: InvenGlobal

ASUS ROG Sponsori Tim PUBG Mobile India, Entity Gaming

ASUS Republic of Gamers (ROG) menjadi sponsor dari tim mobile gaming Entity Gaming yang berasal dari India. Pada awalnya, Entity Gaming memiliki tiga divisi PUBG Mobile, yaitu Entity Gaming, ETG.Brawlers, dan divisi khusus perempuan bernama Entity Athena. Namun, sekarang, mereka fokus pada satu tim. Tim PUBG Mobile utama dari Entity Gaming baru saja memenangkan PUBG Mobile Club Open Fall Split untuk kawasan Asia Selatan dan membawa pulang total hadiah sebesar US$60 ribu. Dengan kemenangan ini, mereka berhak untuk maju ke PMCO Fall Championship 2019 yang akan diadakan di Malaysia. Entity Gaming juga memiliki pemain Clash Royale, Jin Kazama dan PUBG Mobile caster Ketan “K18” Patel.

“Kami menyadari bahwa mobile esports akan menjadi tren pada awal tahun lalu,” kata Varun Bhavnani, Director of Entity Gaming, menurut laporan Talk Esports. “Kami mulai mencari pemain berbakat, melatih mereka, dan menanamkan modal di bidang ini. Kami telah mendapatkan berbagai pencapaian sejak itu.” Dia memuji merek ASUS ROG, mengatakan bahwa merek tersebut adalah merek yang dikenali oleh banyak gamer. Dia mengatakan, kerja sama antara ASUS ROG dan Entity Gaming merupakan simbiosis mutualisme yang akan menguntungkan kedua belah pihak.

Sumber: Digital Terminal India
ASUS ROG jadi sponsor dari Entity Gaming| Sumber: Digital Terminal India

Memang, industri esports di India tengah berkembang dengan pesat, khususnya mobile esports. Salah satu hal yang menunjukkan betapa pesatnya pertumbuhan esports di India adalah total hadiah turnamen esports. Tahun ini, jika dibandingkan dengan tahun lalu, total hadiah turnamen esports di India naik lebih dari 100 persen. Selain itu, jumlah penonton dan peserta turnamen esports di India juga semakin banyak, terutama dalam PUBG Mobile. Memang, India adalah salah satu negara dengan jumlah pemain PUBG Mobile terbanyak di dunia. Menurut perkiraan The Esports Observer, ada 11 ribu tim yang mendaftarkan diri dalam PUBG Mobile Summer Split Indian Qualifiers.

Sementara itu, Dinesh Sharma, Head of Mobile Business, ASUS India, berkata, “Bekerja sama dengan Entity Gaming, kami akan menyediakan smartphone gaming paling powerful ke tim mobile esports India terbaik agar mereka bisa bermain dengan lebih baik pada tingkat nasional dan internasional. Melalui kerja sama ini, kami ingin menemukan dan mendukung talenta esports di India dengan smartphone terbaik, memunculkan bintang esports India.” Dia berharap, ASUS juga akan mendapatkan masukan langsung dari para pemain mobile esports tentang desain dan fitur untuk ROG Phones yang berikutnya.