TELMI: Langkah Awal Yang Baik Untuk Industri Musik, Tapi…

Minggu lalu, di IESE, Badan Ekonomi Kreatif meluncurkan platform Telinga Musik Indonesia, disingkat TELMI. Dari yang bisa saya baca dari liputan yang ada di media, pada dasarnya platform TELMI ini terdiri dari dua komponen:

  1. hardware, berupa sebuah kotak internet-enabled yang kelihatannya dibuat dari platform Arduino atau Raspberry Pi, yang bertugas merekam lagu yang sedang dimainkan di sekitarnya dan mengirimkan ke aplikasi TELMI
  2. software aplikasi TELMI, berupa web-based application yang bertugas untuk menerima rekaman lagi dari hardware TELMI, mengenali lagunya apa, dan merekam ke dalam database.

Secara hukum (menurut UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014), pencipta lagu, produser dan artis berhak mendapatkan sebuah royalti saat lagu mereka diperdengarkan ke umum di ruang komersil seperti hotel, restoran dan kafe. Selama ini, implementasi pengumpulan royalti ini. baik berdasarkan UU no. 28 tahun 2014 ataupun UU Hak Cipta sebelumnya, masih kurang efektif, karena beberapa hal:

  • sosialisasi atas hak royalti ini ke pihak hotel, restoran dan sebagainya masih kurang luas
  • dalam pengelolaan pengumpulan royalti sebelumnya, metode-metode yang digunakan masih kurang tepat (dari cara pengumpulan royalti yang, um, agak preman, sampai formula perhitungan royalti yang tidak transparan)
  • distribusi royalti yang tidak transparan

Semangat dari UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah perbaikan pengumpulan royalti ini, yang sering diistilahkan public performance, dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan para komisionernya.

Salah satu tugas LMKN ini adalah menentukan tarif besaran royalti, yang setahu saya sampai saat ini belum diputuskan secara final. Namun, perangkat hukum dan birokrasi ini memang perlu ada dahulu sebagai fondasinya.

TELMI ini sebenarnya sebuah terobosan, karena akhirnya ada jawaban dari industri teknologi terhadap kebutuhan dari industri musik. Kebanyakan perusahaan teknologi yang ada lebih mencari peruntungan dengan menawarkan sesuatu langsung ke konsumen, yang pada akhirnya berkisar pada layanan musik download maupun streaming, dan perusahaan teknologi yang melakukan sesuatu yang lain masih sangat sedikit; mungkin karena ketidaktahuan komunitas teknologi mengenai masalah dan kesempatan dalam industri musik (bukan salah mereka, karena industri musik sendiri terkadang lupa akan berbagai kesempatan lain dalam industrinya sendiri).

Tapi kok…

Masalah pertama

Saya melihat diagram dari artikel ini (yang entah dari mana dapatnya, mungkin dibuat sendiri) dan seperti ada yang kurang.

bagan alir cara kerja TELMI
bagan alir cara kerja TELMI

Kotak TELMI diletakkan di sumber musik, yang akan merekam lagu, mengirimkannya ke aplikasi TELMI, yang dengan teknologi song fingerprinting seperti yang dimiliki Shazam, akan mengenali lagu tersebut dan memasukkannya dalam laporan. Laporan ini kemudian dapat diakses oleh pencipta lagu, produser, komposer dan musisi. Laporan ya, bukan uang. TELMI tidak mengumpulkan uang dan lebih berupa teknologi pengawasan/monitoring.

Yang melakukan pengumpulan uang dari pengguna musik seperti hotel, restoran dan sebagainya? Para Lembaga Manajemen Kolektif, sesuai persetujuan dari LMKN.

Dari liputan para media pun, Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengatakan bahwa TELMI itu untuk memberikan gambaran royalti yang bisa didapat oleh para musisi. Ya ini hanya satu langkah dari beberapa langkah yang perlu dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan LMKN dan para LMK.

Siapa yang akan melakukan koordinasi? Apakah LMK melakukan pengumpulan laporan secara independen? Kalau ada perbedaan laporan gimana?

Masalah kedua

Ini bukan pertama kali pengawasan pemerintah berupa kotak berisi elektronik diletakkan dalam ruang-ruang komersil — pengawasan pajak sudah melakukan ini dengan memasang kotak yang mencatat transaksi pada kasir. Sebuah kotak berisi elektronik, yang tetap membutuhkan listrik, dan tetap membutuhkan sang pemilik usaha untuk menyalakannya dan memastikan kotak tetap nyala.

Bukan tidak mungkin, tapi tetap memerlukan perangkat pengawasan lain berupa hukuman dan insentif. Ini sudah ada atau belum? Dan di bawah wewenang siapa?

Masalah ketiga

TELMI beroperasi dengan mendengarkan lagu yang diputar. Nah, di ruang komersil seperti cafe atau restoran, ada yang menyetel lagu dari CD/MP3/file digital, ada pula dari live music. Apakah penerapan teknologi listening dan song fingerprinting ini akan selalu tepat guna?

perangkat Telmi / Liputan 6 - Dewi Widya Ningrum
perangkat Telmi / Liputan 6 – Dewi Widya Ningrum

Ada beberapa perusahaan di luar negeri yang melakukan sesuatu yang jauh lebih praktis untuk pemilik usaha: pengelolaan playlist lagu dan streaming dengan alat khusus, langsung ke sound system para pemilik usaha. Pencatatan lagu dapat lebih akurat (nggak perlu pakai song fingerprinting, wong lagunya dari server), pemilik usaha juga mendapatkan sebuah layanan yang mempermudah dan memperkuat usaha mereka, bukan cuma “dipalak” karena nyetel lagu. Mungkin gabungan teknologinya TELMI dan layanan streaming khusus bisnis ini bisa lebih cocok?

Masalah keempat

Song fingerprinting sangat tergantung database lagu yang lengkap, dari data fingerprint itu sendiri, sampai informasi seperti judul lagu, nama artis, pencipta lagu, publisher, dan seterusnya. Apakah database seperti ini sudah ada? Belum ada yang komprehensif.

Rasanya ini lebih mendesak untuk dibangun, dan lebih dekat pada kepentingan nasional (bukan saja kepentingan industri, tapi juga sebagai rekam budaya, misalnya). Informasi seperti ini malah lebih fokus dikumpulkan oleh layanan streaming/download, ataupun lembaga seperti Irama Nusantara. Rasanya ini lebih penting pada fondasi tadi, ketimbang memikirkan end user applications.

Masalah kelima

Yang membuat TELMI canggih, menurut saya, adalah song fingerprinting. Tapi menurut saya, ada kegunaan yang lebih cocok, yaitu media monitoring. Pasangkan aplikasi TELMI dengan seluruh siaran radio terestrial maupun online, sehingga kita benar-benar tahu lagu apa sedang disetel di radio mana dan kapan. Top 10 yang resmi dan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Data ini berguna untuk pendengar musik, pelaku industri musik, brand maupun perusahaan riset. Teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk media monitoring iklan — berapa kali sebuah iklan radio (atau TV) tayang? Jual data ini ke perusahaan riset atau langsung ke brand. Jadi satu startup deh.

Memang, menjadi komentator sesuatu yang sudah jadi memang sangat mudah. Ah kurang ini, harusnya seperti itu, dan setelah itu puas karena sudah merasa lebih pintar ketimbang yang membuat. Di zaman penuh teknologi ini, terkadang masalah dan kekurangan pada sebuah produk teknologi baru jelas terlihat saat sudah dibuat dan dilempar ke pasar.

Ide — dan komentar — itu murah dan mudah didapat. Membuat sesuatu, apalagi punya nilai guna yang baik ke orang lain, itu yang susah. Berkarya tak mudah dan tak akan luput dari kritisi. Saya nggak mau sok lebih pintar, karena belum tentu juga saya bisa mengerjakan ini sendiri. Demi industri musik yang lebih luas, kompeten, berkesinambungan, interconnected, dan transparan.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Top Five Things to Know About (and Before) Starting Up a High Growth Internet Business

Being your own boss may sound like heaven on earth, but most people do not fully understand what it takes to be a successful entrepreneur. What they see from the media is how successful (and rich) Bill Gates, Elon Musk and Jack Ma are. All the struggles, pains, and tears never made to the headlines.

Based on statistics from Paul Graham, of 511 companies that successfully got into the Y Combinator program only 37 were sold for US$40MM or more. That’s just a 7% success rate so you’ll definitely want to think carefully before starting your own company. Here are five things to know before taking the plunge:

1. Ask yourself if you are ready and totally passionate about your business

Entrepreneurship is not for everyone. Make sure you ask yourself many times if committing yourself to the singular success of your company is the kind of thing you want to pursue in life. On top of economic uncertainty, startups command much of the available time in your life hence potentially compromising on your family and social life. Are you ready to be on call and working 24/7?

2. Your business will most probably fail

Nine out of ten startups will fail, it is a hard truth. In addition, according to Bill Gross of Idealab one of the most important factors to success is not even under your control – that of market timing! When he ranked all 100 companies at Idealab he found timing accounted for 42% of the difference between success and failure.

Clearly, just because many startups fail doesn’t mean that your startup will experience the same. Successful entrepreneurs are highly resilient and driven and it can take many years before success if found. Be aware of such statistics and be realistic about your goals, but don’t get intimidated by them.

3. You will face competition, and it is a good thing

If you think you won’t have competition, you are wrong. There are plenty of companies competing for the same customer base. Additionally, they might be better than you and have more money to spend. So, it is very important to be prepared and never be discouraged by it. It should be your greatest motivation instead, embrace the competition and improve your product every day.

4. Find mentors and seek advice from them

Deciding what type of help you need is the first step before hunting mentors – you need to know what the mentors can do for you. Lois Zachary, the author of The Mentee’s Guide: Making Mentoring Work For You suggests the readers to start with a list. You may want a mentor who is well-connected, has expertise in your startup idea, good listener, or who can provide initial investment.

A mentor can provide pointers on business strategy, help expand networks and act as friend to motivate when things get rough. Look within your family, friends, university and even more mature businesses in different geographies or stages.

5. You don’t have to do it alone

Find a partner who can complement your skill sets and you won’t need to do everything on your own. Besides a business partner, make sure you have someone to share the ups and downs with, who will continuously support you all the way up. Things may get rough sometimes (or most of the time), but the real entrepreneur won’t get beaten up.

As Zig Ziglar said:

“You don’t have to be great to start, but you have to start to be great.”

Have the courage and work on your startup idea now! You may fail and learn something OR you may found the next Microsoft, Tesla or Alibaba. You choose.


Disclosure: This article is republished in collaboration with Convergence Ventures. It’s initially published at The Quad and written by Faiz A. Rahman

The Fourth Industrial Revolution in Human History: The Need for Agents of Change in Technology

The digital transformation has been marked as the beginning of the fourth industrial revolution. Technology has always been the factor in changing the landscape of industry from one method to another, where programming and coding can replace what humans cannot do. Nowadays, with the rise of robotics, artificial intelligence and big data, industries are enabled to produce efficiently in a unique way that’s never been done before. The shift to the next generation of industrial revolution raises concerns on human control within the technology itself, because mastering the future is not something we can learn in one night. It is very dynamic and changing too rapidly for humans to keep up, let alone stay ahead of it. As the way businesses are being run has changed, there are bound to be challenges.

Cybercrime strikes

The Global State of Information Security Survey 2015 reported that the number of detected scams has risen to 66 percent year over year since 2009. Viruses and scams have come a long way to the point where they are no longer merely infect and shut down systems, but act as a means to commit crime. Any businesses connected to the Internet are at risk of being hacked – ranging from identity theft to fraudulent transactions worth billions of dollars. The evolution of cybercrime is as interesting as the development of technology itself. No matter how much technology improves, hackers always find ways to crack them. Hence, for business in the era of the 4th industrial revolution, the question is no longer “if” but “when” the attacks will reach their backdoor.

Interestingly, this trend has occurred and has never been predicted before. It has been claimed that the shortage of Information Security experts are one of the crises in the global technology. It is predicted that by 2019, there will be an exponential increase in the demand for of security experts to 6 million globally.

Humans and robots to merge

The evolution of the human resource landscape is not only happening in the information technology field, but also in other verticals. The rise of robots and artificial intelligence will change the way people do business. Humans and robots will merge in the future and automating many jobs. In 5 years time, technology is predicted to cut at least 5 million jobs in the world.

The questions for older and younger generations concern education and curriculum development – what is the relevance of science and technology? Should there be massive changes in education as well? Otherwise, 65% of children who are studying in primary school today could end up working in jobs that do not exist in the future.

Government’s role in making things happen

What is the limit? Technology apparently does not have a limit – it will not stop evolving. Interestingly, regulations and policies are usually created after drastic changes happen, and these will also continually evolve. The government plays a big role in enabling technology to provide better welfare. At the end of 2014, at least 130 countries are providing government services online. While adopting technology to better serve their people, governments around the world are developing regulations to allow technology to run businesses. Right now, revolutionary fintech, transportation and e-commerce businesses are being invented. Taking this further, managing disruptive business is a delicate game; governments have to be proactive to outpace technology.

The agents of change and technology as an absolute skill to acquire

What we see right now is still the infancy of the revolution. Despite the massive transformation, the gap of technology adoption is still there, especially in emerging markets such as Southeast Asia. According to the World Bank, technology is still failing to deliver benefits. It is reported that only 40% of the world population is connected to the Internet. When will the 4th industrial revolution affect the disconnected 60%? It might happen in a flash.

The impact of the revolution has been seen and felt by traditional businesses; technology has caused job loss and revenue decline. The future is not yet upon us but is at a crucial turning point. Humans can choose to master technological skills in order to stay competitive. Societies have to work together to educate generations to adapt to technology. Everyone may have different levels of understanding technology, but everyone can be an agent of change and leverage technology in order to address challenges in society and drive economical growth. Therefore, the fear of losing control of technology can be eased, and more importantly, the future can still be managed and planned.


soraya_rosadhaThis guest post is written by Soraya Rosadha. Soraya is a technology and sustainable business enthusiast. As a communications consultant, Soraya actively participates in supporting digitization in Indonesia and Southeast Asia by sharing knowledge and insights. The MA graduate in the field of corporate communications and public relations at University of Leeds, United Kingdom believes that technology has an important role in building the nation’s sovereignty in various aspects.

As a proud Indonesian, Soraya always believes in youth’s leadership and sharing insights with all Indonesians across the country as one of the way to bridge technology transformation gap in Indonesia. The lady who lives in Singapore is fond of discussion, painting and participating in volunteering activities, including the development of youth’s leadership.

Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing

Menjelang akhir Februari lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) memastikan bahwa kementeriannya akan mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban pembentukan bentuk usaha tetap bagi para pelaku usaha asing yang menyediakan konten aplikasi internet yang populer (over-the-top atau OTT) dan beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, WhatsApp, dan Netflix. Tujuan utama dari peraturan ini adalah penertiban para pengusaha OTT asing yang meraih keuntungan dari kegiatan usahanya di Indonesia, khususnya penertiban di bidang pemasukan pajak dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

Penjelasan peraturan Pajak Penghasilan (PPh)

Kerangka pajak penghasilan (“PPh”) sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPh”).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Dalam penjelasan pasal di atas dijelaskan bahwa bentuk usaha tetap menandakan adanya suatu tempat usaha bagi usaha orang atau badan luar negeri tersebut. Tempat usaha ini tidak melulu terpatok pada bangunan, tapi juga berbagai fasilitas terkait yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha, seperti peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui Internet sebagaimana relevan dalam pembahasan artikel ini.

Singkat kata, bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, objek pajak penghasilan bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh, seperti dividen, royalti, dan imbalan jasa, yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]

Sekilas, objek pajak penghasilan yang disebutkan pada huruf b dan c di atas adalah serupa. Namun, contoh berikut diharapkan dapat memudahkan pemahaman atas perbedaan kedua jenis objek pajak penghasilan tersebut.

Contoh untuk penghasilan yang dimaksud dalam huruf (b) adalah:

Sebuah bank asing di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, namun bank tersebut memberikan pinjaman secara langsung kepada perusahaan di Indonesia, langsung dari banknya yang berdomisili asing, bukan melalui bentuk usaha tetap yang ada di Indonesia, padahal pinjaman tersebut merupakan salah satu produk yang juga disediakan oleh bentuk usaha tetap dari bank asing yang bersangkutan.

Sedangkan untuk contoh penghasilan pada huruf (c) adalah:

Perusahaan asing A mengadakan perjanjian lisensi merek dengan perusahaan asing B dan bentuk usaha tetap dari perusahaan asing A membantu perusahaan asing B dalam memasarkan produk dari merek yang dilisensikan perusahaan A tersebut.

Penjelasan peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Selain pajak penghasilan, pemerintah juga berharap untuk dapat menertibkan pemasukan dari pajak pertambahan nilai terkait pengusaha OTT asing. Kerangka peraturan pajak pertambahan nilai (“PPN”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPN”).

Pada dasarnya, objek pajak pertambahan nilai dari bentuk usaha tetap adalah setiap barang dan/atau jasa kena pajak yang diserahkan ataupun dimanfaatkan oleh bentuk usaha tetap di wilayah Indonesia. Sebagai tambahan informasi, kebocoran pemasukan dari pajak pertambahan nilai inilah yang menjadi salah satu pendorong kuat wacana Menkominfo untuk mewajibkan pengusaha OTT asing sebagai wajib pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap. Pasalnya, nilai usaha iklan digital para pengusaha OTT asing tersebut bisa mencapai nilai ratusan juta Dolar Amerika Serikat dan pemerintah tidak mendapatkan apapun dari jumlah tersebut.

Terkait dengan obyek pajaknya, UU PPN tidak menjelaskan secara khusus untuk setiap barang dan/atau jasa yang dapat dikenai pajak, namun Pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN justru memberikan patokan barang dan/atau jasa yang tidak dapat dikenai pajak pertambahan nilai.

Barang-barang yang tidak dapat dikenai pajak, meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, serta makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering) dan barang berupa uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai meliputi jasa-jasa yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti jasa-jasa di bidang pelayanan kesehatan, sosial, keuangan, asuransi, pengiriman surat dengan perangko, pendidikan, keagamaan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, kesenian dan hiburan, jasa penyediaan tempat parkir, dan lainnya.

Selanjutnya mengenai status bentuk usaha tetap, Pasal 2 ayat (2) UU PPh mengatur bahwa perlakuan pajak bagi subjek pajak bentuk usaha tetap dipersamakan dengan perlakuan terhadap wajib pajak badan dan oleh karenanya prosedur perolehan status sebagai bentuk usaha tetap pun dipersamakan dengan prosedur perolehan status sebagai wajib pajak badan, sebagaimana diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah beberapa kali dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa wacana untuk mewajibkan pengusaha OTT asing membuka bentuk usaha tetap di Indonesia memang didasari oleh tujuan yang sangat ideal.

Namun, pemerintah jelas wajib melakukan lebih banyak diskusi yang melibatkan seluruh stakeholder mengenai baik buruknya pemberlakuan kewajiban bentuk usaha tetap ini dalam rangka menghindari dampak negatif berupa turunnya minat para pengusaha OTT asing untuk beroperasi di Indonesia. Selanjutnya, hasil diskusi tersebut juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ketentuan pelaksanaan atas peraturan Menkominfo tersebut kelak, mengingat bidang usaha ini merupakan bidang yang masih baru dan sulit untuk ditentukan standarnya karena cakupannya yang tak terbatas.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Hak Kekayaan Intelektual untuk Startup

Sebelumnya kami sudah pernah menjelaskan mengenai perbedaan antara hak cipta, merek, dan paten. Namun selain ketiga Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tersebut, terdapat HKI lainnya yang juga dapat memberikan nilai tambah pada suatu startup. Berikut adalah HKI yang patut anda pertimbangkan untuk diterapkan demi melindungi usaha anda.

Rahasia Dagang

Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 2000, rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang. Hal-hal apa saja yang bisa dilindungi oleh rahasia dagang? Salah satunya resep, seperti yang dilakukan oleh Coca-Cola dan KFC.

[Baca juga: Industri Kreatif Harus Dilindungi Hak Kekayaan Intelektual]

Namun usaha teknologi informasi juga dapat menerapkan HKI yang sama untuk melindungi basis data pelanggan mereka; metode produksi, pengolahan, penjualan; atau informasi lain yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Desain Industri

Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 2000, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentu tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

[Baca juga: Arti Hak Kekayaan Intelektual Bagi Startup dan Usaha Kecil Menengah]

HKI yang satu ini erat kaitannya dengan desain produk, misalnya desain gadget atau packaging produk anda. Hak atas desain industri hanya diberikan untuk desain industri yang baru, maka pastikan desain anda tidak sama dengan desain industri yang telah ada sebelumnya.

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang-undang No. 32 Tahun 2000 menjelaskan sirkuit terpadu sebagai suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik. Sedangkan desain tata letak adalah kreasi berupa rancangan perletakan tiga dimensi dari sirkuit terpadu di atas. Untuk startup berbasis aplikasi, mungkin HKI ini tidak akan terlalu digunakan. Namun lain halnya dengan usaha-usaha di bidang elektronik, yang tentunya harus melindungi teknologinya dari pembajakan.

Sekilas mungkin desain tata letak sirkuit terpadu sulit dibedakan dengan paten. Satu hal yang perlu diingat adalah paten fokus pada pemecahan suatu masalah yang spesifik di bidang teknologi, bisa dari segi produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Jika anda menciptakan suatu gadget, tidak ada salahnya melindungi ciptaan anda tersebut dengan paten dan desain tata letak sirkuit terpadu sekaligus.

Merek juga tentunya patut menjadi perhatian startup, sebab hal tersebut yang akan membedakan produk anda dari kompetitor. Apabila anda memiliki banyak produk, bisa jadi semua merek produknya perlu anda daftarkan. Saat ini merek hanya melindungi tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Namun Undang-undang Merek akan diperbaharui dan terdapat wacana untuk memperluas unsur-unsur yang dapat membentuk suatu merek. Salah satu unsur yang dipertimbangkan adalah aroma.

Setelah mengetahui HKI apa saja yang dapat dipilih untuk melindungi usaha anda, perlu diketahui bahwa HKI dibentuk untuk melindungi orisinalitas. Oleh karena itu, penting pula untuk mencari tahu apakah karya-karya yang akan anda daftarkan sudah ada sebelumnya atau tidak, sejauh apa derajat kemiripannya, dan bagaimana anda akan membela orisinalitas karya anda tersebut. Konsultasi lebih lanjut dapat dilakukan dengan konsultan HKI atau langsung ke Direktorat Jenderal HKI.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Manager itu Perlu Gak, Sih?

Bagi Anda mungkin pertanyaan ini aneh karena Anda sudah terbiasa memiliki manager, atau mungkin Anda sendiri adalah seorang yang memangku jabatan manager. Tetapi tahukah Anda, Google, pernah mempertanyakan hal ini, dan sempat menghilangkan posisi manager sama sekali.

Pesatnya perkembangan Google membuat semakin tidak mungkin untuk memiliki struktur organisasi yang flat, masuknya manager-manager yang berpengalaman dari perusahaan-perusahaan lain membuat karyawan tidak merasakan ke”Google”an-nya lagi. Hal ini menyebabkan Brin dan Page memutuskan: tidak ada lagi posisi manajer. Setidaknya untuk bagian engineering.

Head of HR pada waktu itu terkaget-kaget dengan kegilaan ini. “You can’t just self-organize!” katanya. “People need someone to go to when they have problems!” ujar Stacy Sullivan seperti saya kutip dari buku In The Plex.

Page bersikeras, “People don’t want to be managed.” Akhirnya Bill Campbell, coach yang dituakan di perusahaan itu meminta Page menanyakan langsung kepada para enjiner, “Apakah Anda ingin di-manage?”

Setiap enjiner yang ditanya menjawab “Ya.” Page ingin tahu mengapa. Mereka menjawab bahwa mereka ingin somebody to learn from. Ketika mereka tidak sependapat dengan rekan kerja mereka butuh seseorang yang dapat menengahi dan mengambil keputusan.

Namun demikian Page dan Brin tetap menjalankan rencananya dan meniadakan posisi manager. Hal ini sempat menimbulkan kekacauan kecil di mana ada yang kehilangan pekerjaan dan lain-lain. Kebijakan ini tidak berlangsung lama, posisi manajer kembali diadakan.

Google terus belajar untuk menciptakan leader-leader yang baik, mereka bahkan melakukan yang disebut Project Oxygen, to build a better boss. Anyway, masalah dengan para manager adalah, banyak yang tidak efektif, hanya bisa menyuruh, bossy, meminta hasil, namun tidak mengajari dan membantu team-nya.

Hasil Project Oxygen menemukan 8 perilaku great manager yang membuat mereka hebat, yaitu:

  1. Be a good coach.
  2. Empower; don’t micromanage.
  3. Be interested in direct reports, success and well-being.
  4. Don’t be a sissy: Be productive and results-oriented.
  5. Be a good communicator and listen to your team.
  6. Help your employees with career development.
  7. Have a clear vision and strategy for the team.
  8. Have key technical skills so you can advise the team.

Nah kalau semua manajernya kayak gini, kan gak perlu lagi ada pertanyaan, sebenarnya manager itu perlu gak, sih?


Disclosure: Artikel tamu ini awalnya ditulis Meisia Chandra di halaman LinkedIn Pulse-nya dan direproduksi dengan izin penulis.

Meisia adalah konsultan di Storm Benefits Indonesia. Sebelumnya juga membidani berdirinya PortalHR.com. Ia bisa dikontak di Twitter @Mei168 dan LinkedIn.

Perizinan Seputar Modal Asing

Menjamurnya startup dengan konsep bisnis yang menjanjikan di Indonesia telah mengundang penanam-penanam modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Modal asing tersebut relatif besar memang untuk menjalankan bisnis di negara kita ini, namun apakah uangnya bisa diterima begitu saja? Pada kenyataannya, tidak mudah untuk menggunakan uang yang datang dari luar negeri. Terdapat ketentuan yang harus dipatuhi sebelum uang itu dapat kita manfaatkan.

Sebelum membahas soal modal asing, perlu dipahami terlebih dahulu konsep permodalan dalam peraturan perundang-undangan kita. Sebagai informasi, artikel ini tidak mencakup perkembangan terbaru soal kebijakan 100% kepemilikan asing di layanan e-commerce hingga muncul peraturan definitifnya.

Berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007), penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Besar modal minimal yang dibutuhkan untuk berbisnis di bawah suatu perseroan terbatas (PT) dapat dilihat dalam Undang-undang Perseroan Terbatas, yaitu Rp. 50.000.000 (modal dasar).

Dari modal dasar tersebut, setidaknya 25% harus dialokasikan sebagai modal ditempatkan dan disetor, yaitu Rp. 12.500.000 (bila modal dasar kita adalah 50 juta). Untuk bidang usaha tertentu, modal dasar minimal bisa jadi harus lebih dari 50 juta. Contohnya adalah perusahaan jasa pengurusan transportasi yang mempersyaratkan modal dasar minimal Rp. 25 miliar.

Diperlukan catatan khusus mengenai perusahaan-perusahaan yang menggunakan modal asing. Dibutuhkan modal dasar minimal sebesar Rp. 10 miliar, di luar investasi tanah dan bangunan. Kemudian, pengusaha juga perlu memohon penerbitan Izin Prinsip ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) supaya perusahaan kita dapat menggunakan modal asing.

Izin Prinsip ini dapat dimohonkan sebelum atau sesudah PT didirikan. Izin Prinsip adalah persetujuan awal dari BKPM sebelum pemodal asing dapat berinvestasi. Untuk memperoleh Izin Prinsip ini, kita harus menyerahkan rencana penggunaan modal asing dan berapa besarnya yang akan diinvestasikan di bisnis kita. Dengan terbitnya Izin Prinsip, PT kita resmi menjadi PT penanaman modal asing (PT PMA).

Kemudian, dalam hal PT PMA kita akan memulai operasi atau produksi, kita perlu memohon Izin Usaha dari BKPM. Izin Prinsip merupakan salah satu persyaratan untuk memohon Izin Usaha tersebut. Bentuk Izin Usaha BKPM bisa macam-macam, tergantung dari jenis usaha yang kita jalankan.

Satu hal lagi yang perlu diingat sebelum menerima modal asing adalah Daftar Negatif Investasi (DNI) yang disusun oleh pemerintah. Tidak semua bidang usaha di Indonesia memperbolehkan penyertaan modal asing. Beberapa bidang usaha tertutup dari modal asing; beberapa lainnya terbuka, tapi dengan jumlah terbatas. Seberapa besar penanam modal asing dapat memberikan modalnya dalam suatu usaha diatur dalam DNI ini, tergantung dari bidang usahanya.

Apabila masih terdapat hal-hal lebih rinci yang anda ingin ketahui soal penanaman modal asing, anda dapat berkonsultasi dengan pengacara atau langsung ke BKPM. Mengingat modal yang dipersyaratkan cukup besar, pengusaha juga perlu melakukan persiapan yang matang sebelum memohon Izin Prinsip, supaya izin tersebut tidak perlu sedikit-sedikit diubah ke depannya.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Community’s Role for Startup Business

One of the success in building a startup is fulfilling the needs and demands of future users. However, most startup owners only rely on their own intuition to justify their reach. Will this be enough?

Startup itself is defined as a new business that hasn’t run for too long in a certain market. This company can be based on goods and/or services that will eventually reach the hands of it’s customers. The population that represents the customers holds 50% of the deciding factor towards the new venture’s success. So, it is safe to say that no matter how good the product or services of the startup is, without enough number of customers the startup will not be able to be deemed as a success. Therefore one question emerges, how can we create a startup with a lot of users in such a short time?

An aspiring startup has to prepare everything well, including it’s scope of user, by building community far before it’s launched. This community is needed so that the potential user are going to be able to have the time to understand what this particular startup offers, they also need this time to ‘fall in love’ with this particular startup before becoming regulars.

The involvement of potential users since the beginning would enable them to have a strong bonding with the product we offer. This sense of ownership will be build into the hearts of the users, making these potential users a priceless asset which can provide feedback for the improvement and betterment of the startup. There are a lot of ways on how to build and raise a community that would be ready to embrace and welcome the goods or services of a certain startup. However, this all starts with the owner’s self realization on the importance of building a community.

The early steps of the strategy could be by opening oneself to the people or a general population that is felt to have a certain interest on distributing or sharing the information of the product or services that this startup offers. These people would be called the power user; these power users are in the front guards on the spread of information of the start up and are a pull factor towards other new users. After this, the viral effect will just move on by itself.

Thus, with this, I hope you’re able to picture how important it is on preparing a community before a startup is put into launch. This is done so that when the start up is launched, there would already be some initial loyal users. Of course, this community has to always be watched and maintained. It isn’t easy to build and maintain an initial community. However, speaking strategically, a community is crucial on the birth of a startup. I hope this could be useful for everyone.


This guest post is written by Abang Edwin Syarif Agustin. It is initially published in his Medium page and has been republished under permission.

Abang Edwin is online community management practitioner. You can contact him directly on Twitter and LinkedIn.

Mampukah UU ITE Menjawab Tantangan Perkembangan E-Commerce di Indonesia?

Bukan informasi baru bahwa Indonesia memiliki pangsa pasar yang besar, termasuk pasar bagi kegiatan perdagangan elektronik, atau yang lumrah disebut e-commerce. Hingga akhir tahun 2015 kemarin, Kementerian Komunikasi dan Informatika (“Kominfo”) mencatat bahwa terdapat 93,4 juta pengguna internet di Indonesia dan 7,4 juta di antaranya adalah konsumen online shop dengan total nilai transaksi e-commerce sebesar $3,5 milliar. Kominfo memperkirakan jumlah online shopper akan meningkat menjadi 8,4 juta orang dengan nilai transaksi hingga $4,89 miliar di sepanjang tahun 2016 ini.

Sayangnya, potensi besar tersebut belum didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai karena belum ada peraturan yang secara khusus diterbitkan untuk mengatur sektor e-commerce. Hingga saat ini, hanya terdapat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang E-Commerce (“RPP E-Commerce”) sebagai calon peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU Perdagangan”). Selama rancangan peraturan tersebut belum disahkan, maka kerangka utama peraturan perundang-undangan terkait kegiatan e-commerce masih berpusat pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (“UU ITE”).

Salah satu tujuan diterbitkannya UU ITE memang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku di sektor e-commerce. Namun, banyak anggapan bahwa undang-undang ini belum mampu mewujudkan tujuannya tersebut, sebagaimana akan dibahas dalam artikel ini.

Pembahasan mengenai ketidakmampuan tersebut dapat dimulai dari fakta bahwa tidak adanya definisi khusus untuk e-commerce dalam kerangka UU ITE, sebab kegiatan perdagangan yang dilakukan secara elektronik tersebut dipahami sebagai “transaksi elektronik”. Padahal, definisi “transaksi elektronik” yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) UU ITE begitu luas, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya.

Sebagai perbandingan, UU Perdagangan memahami e-commerce sebagai “perdagangan melalui sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik (Pasal 1 nomor 24 UU Perdagangan).

Selain itu, banyak ketentuan dalam UU ITE yang masih “kosong” dan oleh karenanya memerlukan peraturan pelaksana. Beberapa di antaranya sangat berkaitan dengan perkembangan kegiatan e-commerce, seperti:

1. Ketentuan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik

Terlepas dari adanya ketentuan-ketentuan lain tentang transaksi elektronik dalam Bab V, UU ITE tetap mengamanatkan diterbitkannya peraturan pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan transaksi elektronik dalam ringkup publik ataupun privat. Walau demikian, UU ITE tidak menjelaskan cakupan ketentuan penyelenggaraan yang dapat diatur dalam peraturan pemerintah tersebut (Pasal 17 dan penjelasannya dalam UU ITE).

2. Ketentuan mengenai lembaga sertifikasi keandalan dan penyelenggara sertifikasi elektronik

UU ITE mengatur bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan. Lembaga tersebut merupakan lembaga independen yang dibentuk oleh para profesional untuk mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik, di mana kegiatannya harus disahkan dan diawasi oleh pemerintah (Pasal 10 UU ITE).

Sertifikat keandalan adalah bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak melakukan usahanya tersebut, setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang (penjelasan Pasal 10 UU ITE). Keberadaan lembaga sertifikat keandalan jelas penting untuk memberikan ukuran kelayakan pelaku usaha di bidang e-commerce dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam bertransaksi melalui sistem elektronik.

Sejalan dengan ketentuan di atas, UU ITE juga mengamanatkan penerbitan peraturan pemerintah mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik, yaitu badan hukum yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik. Sertifikat ini memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik. Sama halnya dengan sertifikat keandalan, sertifikat elektronik juga penting untuk meningkatkan kepastian dalam melakukan transaksi e-commerce dan mencegah penyalahgunaan data dari para pelaku dalam kegiatan perdagangan elektronik.

Sayangnya, kedua peraturan pelaksana tersebut tak kunjung diterbitkan. Padahal, UU ITE telah mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU ITE wajib diterbitkan dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun sejak UU ITE diundangkan (Pasal 54 ayat (2) UU ITE).

Selain kekurangan yang dijelaskan di atas, perlu juga dilakukan sosialisasi yang lebih mendalam mengenai ketentuan-ketentuan dalam UU ITE sehingga masyarakat lebih memahami hak dan kewajibannya dalam bertransaksi sebagaimana yang sudah diatur dalam UU ITE. Misalnya, hak mengajukan gugatan atas kerugian yang dialami atas penggunaan suatu sistem elektronik. Bukan sedikit kasus penipuan yang terjadi di bidang e-commerce, tapi tidak banyak konsumen yang menindaklanjuti hal tersebut sehingga tidak banyak yang mengetahui celah-celah penipuan yang dapat terjadi, apalagi cara mengatasinya.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa memang UU ITE perlu ditinjau kembali. Tidak hanya memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dijelaskan sebelumnya, peninjauan kembali tersebut juga diaharapkan dapat mengakomodir berbagai perkembangan di sektor e-commerce yang telah terjadi selama tujuh tahun keberlakuan UU ITE dan perlu diakomodir agar pelaksanaan e-commerce di Indonesia dapat lebih optimal.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

“Highlight” Kauffman Global Summit: Memandang dari Sudut Pandang Asia Tenggara

Kauffman Foundation menghadirkan Kauffman Global Summit yang pertama kali diselenggarakan di Asia Tenggara. Sebagai salah satu foundation yang paling ternama di dalam bidang venture capital, tahun ini Kauffman memilih negara Singapura untuk menjadi tuan rumah, yang dikenal memiliki ekosistem startup yang sangat vibrant dan matang di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya. Summit kali ini dilaksanakan di BASH Coworking Space yang terletak di Block 79 — sebuah hub startup terbaru di area One North Launchpad Hub — dan juga kampus INSEAD Business School.

Salah satu panel yang menjadi highlight dari summit ini adalah panel mengenai Corporate Venture Capital, yang dinilai oleh banyak ahli sebagai salah satu model venture investing yang lebih strategis. Panel ini dihadiri oleh John McIntyre (CEO Citrix Accelerator), Dr. Alex Lin (Head of Infocomm Investments/IDA of Singapore), Boon Ping (CEO SPH Media Fund) dan Nicko Widjaja (CEO Telkom MDI) yang dimoderasikan oleh John Fitzpatrick yang merupakan Asia Pacific Director for Venture Capital and Startup Ecosystem dari AWS Activate.

Pembicaraan seputar corporate venture initiatives ini berlangsung selama 50 menit, diawali dengan memperkenalkan masing-masing perusahaan di bawah bendera korporasi dan dilanjutkan dengan sesi interaktif antara moderator dan keempat panelis, serta diakhiri dengan sesi tanya jawab dengan peserta Summit yang terdiri dari wakil-wakil perusahaan modal ventura papan atas seperti Sequoia Capital, Andreessen Horowitz, Intel Capital, Accel Partners, BCG Ventures dan beberapa corporate venture capital regional lainnya seperti Mediacorp, NSI Ventures (North Star Group), Vertex Ventures (Temasek Group), Formation8 dan lainnya.

Moderator melemparkan kesempatan pertama kepada John McIntyre (MD Citrix Accelerator) untuk memberikan perbandingan kondisi ekosistem bagi startup di Amerika Serikat dengan Asia Tenggara.

“Pengalaman saya setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dalam corporate ventures and innovation di Amerika Serikat, adalah tren investasi dari corporate ventures di AS semakin lama semakin meningkat. Hal ini terjadi karena semakin banyak Venture Capital dan Startup di AS yang melihat pentingnya memiliki exit strategy yang solid di pasar teknologi digital yang sudah cukup matang, sehingga Corporate Venture Initiatives yang biasanya memiliki exit strategy yang lebih solid mulai dilirik oleh para startup dan investor. Hal ini belum terlihat di negara-negara Asia Tenggara dimana ekosistem startup-nya masih pada tahap early stage,” ujar John.

Pengalaman investor Asia Tenggara

Kondisi serupa yang dikatakan oleh Dr. Alex Lin bahwa Singapura dalam formasi awalnya juga berinvestasi dalam membangun ekosistem bagi entrepreneur melakukan eksperimen untuk mengembangkan startup early stage melalui dukungan network dari korporasi.

Alex mengatakan, “Banyak founder dari early-stage startup yang belum memahami bagaimana cara membangun perusahaan, mengembangkan bisnis, merekrut dan mempertahankan talenta, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi dalam corporate venture initiatives memiliki peran yang krusial di dalam memberikan arahan kepada para founder dari startup, dan juga network korporasi dalam rangka membantu meningkatkan growth dari startup tersebut.”

Indonesia yang merupakan pangsa pasar terbesar di Asia Tenggara menjadi topik pembahasan yang menarik karena melihat trend startup di Singapura, Malaysia, bahkan Thailand, ketika sudah menjadi besar di negaranya masing-masing mereka melakukan ekspansi besar-besaran ke Indonesia (GrabTaxi dari Malaysia, Carousell dari Singapura, dan 2C2P dari Thailand).

“Kondisi pasar di Indonesia unik dan tidak mudah ditaklukkan begitu saja, misalkan GrabBike dengan Go-Jek, dimana Go-Jek memiliki keunggulan dibandingkan GrabBike dalam hal business verticals yang telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama vertikal Go-Food yang menjadi komponen terbesar dalam traffic yang dimilili oleh Go-Jek,” ungkap Nicko Widjaja (CEO Telkom MDI).

Diskusi panel berlanjut kepada peranan korporasi dalam pembinaan startup. SPH Media Fund dengan SPH Plug and Play (kolaborasi dengan inkubator dari Silicon Valley, Plug and Play), Infocomm Investments yang juga merupakan program startup incubation and acceleration milik Infocomm Development Authority (IDA) of Singapore, Citrix Accelerator yang berbasis di Silicon Valley dan Telkom dengan program Indigo Incubator.

“Telkom yang telah memiliki inisiasi program Indigo Incubator sejak 2012 telah membuktikan bahwa peranan korporasi dalam membimbing digital entrepreneur menjadi hal yang sangat krusial dalam tahapan suatu negara untuk memupuk kesiapan dan kematangan dari ekosistem startup di Indonesia,” tutur Nicko.

“Kami melihat aspirasi yang terus bertumbuh dan yang menarik dari setiap batch terlihat kualitas founder yang semakin baik. Survival rate pun terus meningkat.”

“Indigo telah menjadi platform yang sangat baik dan kondusif untuk perusahaan yang masih berada pada seed stage, maka Telkom MDI dimandatkan menjadi platform untuk perusahaan yang sudah dalam growth stage”, lanjutnya.

Moderator melemparkan pertanyaan kepada keempat panelis, apakah yang menjadi fokus utama bagi sebuah corporate ventures: financial gain atau group synergy (strategic fit).

Boon Ping (CEO SPH Media Fund) mengatakan bahwa yang terpenting bagi sebuah korporasi dalam melakukan aktivitas corporate ventures and innovation adalah membangun kredibilitas melalui co-investment dengan investor atau venture capital lain yang prominent, untuk meningkatkan financial gain dari investasi yang telah dilakukan.

“Tentunya financial return merupakan fundamental dari setiap investasi. Strategic Fit dan Group Synergy dapat berubah seiring berjalannya waktu dan pergantian kepengurusan. Satu-satunya hal yang tidak akan berubah dalam skema investasi adalah fundamentalnya, yakni financial gain. Oleh karena itu, kita akan selalu fight untuk mendapatkan deal yang paling baik dari setiap investasi. Untuk mendapatkan deal yang baik, sangatlah penting bagi kami untuk melakukan co-investment dengan investor yang lain,” papar Boon Ping.

Nicko juga sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Boon Ping, bahkan dalam prakteknya, pada startup yang masih di tahapan Indigo sekalipun telah dilakukan validasi melalui follow-on funding dari investor pihak ketiga, baik oleh angel investor, Venture Capital, ataupun institutional investor yang lain.

Nicko mengungkapkan, “Selain faktor strategi, follow-on funding dari pihak ketiga sangatlah penting bagi startup untuk membuktikan bahwa solusi yang diberikan valid di pasar. Entrepreneurial mindset seperti ini yang selalu kita coba untuk tanamkan pada para startup founder yang mengikuti program Indigo, sehingga mereka memiliki attitude yang benar di dalam mengembangkan sebuah startup.”

Di akhir panel, keempat panelis sepakat mengatakan bahwa semakin banyak korporasi-korporasi besar yang ada di Asia Tenggara menyadari pentingnya untuk melakukan inovasi di dalam tubuh perusahaan untuk dapat tetap relevan di pasar, sehingga kita akan melihat semakin banyak corporate venture initiatives akan muncul di ASEAN. Hal ini dinilai dapat menjadi sebuah avenue baru untuk dieksplorasi lebih lanjut oleh para startup founder sebagai salah satu alternatif strategic pathway dalam mengembangkan perusahaan masing-masing.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Joshua Agusta. Joshua adalah Associate di Telkom MDI