Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri musik, terlibat dengan awal-awal layanan musik digital dalam bentuk ringtone dan ringbacktone (RBT). Petualangan pertama saya sebagai wiraswastawan, Ohdio.FM, adalah upaya memperkaya ekosistem musik. Bahkan perusahaan saya yang sekarang, KaryaKarsa, bermula dari menerapkan konsep direct-to-fans untuk musisi, walaupun kini KaryaKarsa bisa digunakan oleh kreator apapun. Jadi, karier saya sudah lama dekat dengan teknologi dan musik.

Salah satu topik paling ramai dibicarakan di tahun 2021 adalah NFT. Berbasis blockchain, NFT memberikan musisi alternatif dalam berpenghasilan dari kegiatan berkarya yang pada dasarnya mengurangi atau menghilangkan porsi pekerjaan (dan porsi bagi hasil) oleh penengah seperti distributor, bahkan label. Sehingga, NFT digadang-gadangkan sebagai teknologi yang akan pada akhirnya membawa kesejahteraan yang lebih merata pada produsen inti industri musik, yaitu musisi, karena musisi akan dapat mengatur sendiri harga dan royaltinya.

Namun, apakah prospeknya sesederhana itu?

2021 menjadi tahun yang cukup istimewa untuk gabungan musik + NFT. Dari 3BLAU sampai Audius, artikel ini cukup merangkum kejadian-kejadian menarik di ranah NFT musik. Dari tanah air, musisi Indonesia pun sudah mulai berkecimpung ke NFT; ada rilisan Aloysius Nitia menggunakan koin TEZ dan Alex Kuple merilis lagu NFT via Distrokid yang didistribusikan via Nifty Gateway (menggunakan ETH).

Secara umum, ketertarikan dunia ke NFT – lengkap dengan penolakannya – semakin meninggi sepanjang 2021. Jadi kalau dilihat secara anekdotal, potensi dampak teknologi NFT untuk industri musik, Indonesia maupun global, cukup besar.

Yang menarik dari NFT itu adalah bagian non-fungible, sehingga mendekatkan rilisan karya (misalnya musik) seperti yang sudah lama terjadi sebelum era internet dimulai, saat jumlah fisik sebuah karya itu terbatas (atau dibatasi).

Teknologi NFT memberikan verifikasi yang tak dapat dibantah soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital dengan transparansi sampai ke transaksi awalnya, sebuah antitesis terhadap perbanyakan file digital tanpa batas dan tanpa rekam jejak jelas yang terjadi semenjak internet berdiri. Memang, filenya sendiri tetap dapat diperbanyak, tapi peneguhan hak akan karya tersebut tercatat di blockchain.

Keunggulan dari teknologi ini, digabungkan dengan semakin mudahnya memproduksi karya digital apapun dari komputer maupun HP, memberikan kendali dan kekuatan yang cukup besar kembali ke kreator seperti musisi.

Karena produksi toh sebenarnya bisa dilakukan sendiri semua, kini distribusi pun bisa dilakukan sendiri dengan bantuan situs-situs seperti Nifty Gateway atau Audius, tanpa harus adanya perusahaan rekaman maupun publisher (terlepas dari perlu atau tidak ya).

Nah, sebenarnya produksi dan distribusi mandiri, atau sering disebut indie, ini bukan sesuatu yang baru. Musisi sudah melakukan distribusi mandiri melalui situs seperti Bandcamp [atau KaryaKarsa], atau dibantu oleh layanan seperti Distrokid atua CDBaby.

Akan tetapi, untuk mengakses pendengar yang banyak, memang akhirnya akan berujung di layanan-layanan seperti Spotify dan Apple Music, yang model bisnisnya lebih menguntungkan siapapun label (atau agregator musik, seperti Believe) yang memiliki market share besar berdasarkan jumlah pendengar.

Perputaran uang music streaming belakangan ini bahkan didominasi oleh pemilik katalog lagu lama, yang notabene kebanyakan ada di para major label Universal Music, Sony Music Entertainment dan Warner Music.

Di sisi lain, kebanyakan pendengar musik masih enggan keluar uang jika yang ditawarkan “hanya” lagu. Dari pengamatan, konsumen musik – yang mau keluar uang – memilih untuk membayar untuk langganan layanan musik untuk mendapatkan lagu yang diinginkan, dan akan keluar uang lebih untuk hal-hal “unik” dari artis/musisi yang disukai, seperti merchandise, limited edition CD, dan sebagainya.

Preferensi konsumsi seperti ini, tentunya membuka lebar kemungkinan NFT musik menjadi salah satu cara fans seorang artis/musisi memberi dukungan.

Namun ada faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan seorang artis atau musisi mendapatkan penghasilan dari karyanya melalui merchandise sampai NFT, bahkan mendapatkan pemasukan lebih dari layanan music streaming. Faktor itu adalah basis pendengar atau fans.

Perlu diingat bahwa NFT dan merchandise, misalnya, adalah “barang jualan”. Kalau barang jualannya tidak ada potensi massa yang berminat membeli, akan menjadi masalah. Sehingga, pembentukan massa pendengar, penikmat dan fans ini tetap menjadi unsur penting dalam membangun karier seorang musisi komersial.

Di era sebelumnya, peranan membentuk massa pendengar ini banyak dilakukan oleh perusahaan rekaman. Mereka menemukan sebuah pola bisnis di mana mereka bisa benar-benar “mengorbitkan” seorang artis/musisi melalui usaha promosi yang gencar via media, memastikan lagunya terpasang cukup sering di TV dan radio, dan membentuk persepsi di media dan publik bahwa “lagunya enak dan artisnya keren”.

Di zaman media sosial ini, keadaan praktis berbalik saat seringkali artis sudah memiliki massa yang sudah terbangun sebelum melakukan perjanjian dengan perusahaan rekaman. Artis atau musisi yang sudah cukup sukses pun tidak tergantung pada pemasukan yang bisa dihasilkan via perusahaan rekaman, karena bisa “menyewakan” massa fansnya ke brand secara langsung dengan melakukan brand endorsement.

Dan kini, ada NFT.

Meskipun karier seorang artis atau musisi kini tidak melulu tergantung pada penjualan rekaman musik, komponen membangun massa ini tetap penting untuk memastikan ada yang membeli barang jualannya. Di sisi lain, industri NFT masih tergolong sangat spekulatif, seperti halnya cryptocurrencies yang digunakan untuk mencetak dan membelinya.

Meskipun saya yakin kolektor NFT memiliki keinginan tulus untuk mendukung kreator yang NFTnya mereka beli, tetap saja ada sisi spekulatif yang berharap nilai NFTnya akan mengalami apresiasi; ini bukan sesuatu yang buruk, karena hal yang sama juga terjadi di pasar seni yang lebih “tradisional” melalui seniman, kolektor dan galeri. Apresiasi terhadap seni tentu ada, namun spekulasi investasinya pastinya tetap ada. Ini realita yang perlu dihadapi saja.

Pada akhirnya, setidaknya buat saya, yang penting itu seberapa banyak seorang artis/musisi dapat menghasilkan uang untuk terus berkarya. Industri hiburan secara makro selama bertahun-tahun condong pada karya-karya yang dapat dijual ke massa yang besar, karena modal yang diperlukan untuk membuat karya tersebut – seperti film – juga besar, dipengaruhi juga oleh biaya yang diperlukan untuk pemasaran dan distribusi.

Dengan skala yang lebih kecil, dan pengeluaran biaya yang lebih rendah untuk pemasaran dan distribusi, harusnya ada tempat untuk kreator-kreator yang memiliki massa tak lebih dari 1000 followers sekalipun.

Untuk saya, NFT ataupun teknologi apapun yang akan datang untuk meramaikan pengalaman hiburan kita, hanya sebagian dari strategi atau produk yang perlu dipikirkan untuk karier berkarya yang berkesinambungan.


Disclosure: tulisan tamu ini dibuat oleh Ario Tamat. Ario adalah Co-Founder dan CEO Karyakarsa, platform apresiasi kreator Indonesia. Ia bisa dikontak di ario [at] karyakarsa [dot] com.

Lagu Sendu untuk Aplikasi Streaming Musik Lokal

Peta persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia hari ini ramai dihuni  aplikasi besutan pengembang global. Sebut saja Spotify, Joox, Resso, SoundCloud, Deezer, Apple Music, dan terakhir YouTube yang sudah merilis aplikasi khusus YouTube Music. Satu-satunya aplikasi lokal yang masih eksis adalah Langit Musik yang di-back up oleh Telkom Group.

Beberapa tahun lalu para pemain operator lokal merilis aplikasi seperti Langit Musik. Ada XL Axiata yang merilis Yonder dan Arena Musik besutan Indosat Ooredoo. Keduanya tak bertahan lama.

Di luar itu, menurut catatan DailySocial, situs atau aplikasi streaming musik lokal yang beroperasi hingga sekarang tinggal Insan Music dan Irama Nusantara. Hanya saja Irama Nusantara berbentuk yayasan dan didirikan bukan untuk kebutuhan komersial.

Misi mereka adalah pengarsipan dan pengelolaan lagu Indonesia dalam bentuk digital dari piringan hitam agar masyarakat bisa memperoleh referensi atau informasi seputar musik populer Indonesia. Irama Nusantara telah mendigitalkan 40 ribu lagu dari rentang era 1920-an hingga 1990-an sejak beroperasi pada tujuh tahun lalu. Data yang telah diarsipkan dapat diakses melalui situs resminya.

Langit Musik

Kiprah Langit Musik menarik untuk ditelusuri. DailySocial berkesempatan untuk mewawancarai Langit Musik yang diwakili General Manager VAS Entertainment Telkomsel Douby Kusumawirachma.

Langit Musik adalah produk Telkomsel yang sudah hadir sejak 2009. Dikelola oleh MelOn Indonesia, yang masih dalam satu keluarga Telkom Group. Tim Langit Musik itu sendiri bergabung ke dalam divisi digital lifesyle yang berisikan beragam produk digital Telkomsel, termasuk MaxStream.

Douby mengakui keberadaan aplikasi sejenis dari luar negeri memberikan tantangan tersendiri dalam hal akuisisi user. “Namun dengan kelebihan harga paket harga premium yang paling terjangkau, terutama untuk pelanggan Telkomsel serta akses langsung ke pasar dan event lokal yang lebih mudah, Langit Musik dapat menjadi pilihan yang menarik buat pelanggan Indonesia,” katanya.

Tidak dijelaskan lebih jauh bagaimana dampak sengitnya persaingan ini terhadap pertumbuhan pengguna Langit Musik dari tahun ke tahun. Diklaim jumlah unduhan saat ini mencapai 10 juta kali, dengan jumlah pengguna berbayar aktif sebanyak 2 juta orang.

Dari sisi demografi, pengguna Langit Musik terbesar berada di rentang usia 25-34 tahun berlokasi di Jakarta, Surabaya, Batam, Makassar, dan Bandung. Mereka umumnya menghabiskan waktu di Langit Musik hingga 30 menit per hari.

“Total katalog mencapai 7 juta lebih konten lagu, musik digital, dan podcast. Selama pandemi, trafik Langit Musik cukup stabil jika dibandingkan masa sebelum pandemi.”

Dalam memperkaya konten musik, perusahaan tidak hanya bekerja sama dengan major label untuk promo eksklusif lagu atau album. Mereka juga aktif melakukan event offline/online dengan mengadakan workshop di berbagai kota  dan mengajak indie artist dan artis lokal untuk mendistribusikan karyanya di LangitMusik, melalui Laguku.id, situs untuk mengunggah karya original dalam bentuk audio.

Perbandingan popularitas Langit Musik terhadap aplikasi streaming musik populer dari luar Indonesia selama Mei-Juli 2020 menurut SimilarWeb / SimilarWeb
Perbandingan popularitas Langit Musik terhadap aplikasi streaming musik populer global selama Mei-Juli 2020 versi SimilarWeb / SimilarWeb

Sulit menawarkan diferensiasi

Secara layanan dan fitur, Langit Musik tidak menawarkan hal yang jauh berbeda dengan kompetitornya. Yang sedikit membedakan adalah kehadiran platform Laguku.id.

Sepinya pemain lokal yang berani terjun ke segmen ini menandakan bahwa persaingan di industri ini sulit dan belum ada yang bisa memberikan diferensiasi mencolok. Hukum diferensiasi berlaku keras untuk setiap perusahaan yang terjun ke bisnis manapun.

Strategi freemium kini menjadi barang umum yang ramai-ramai diterapkan seluruh aplikasi streaming untuk mengakuisisi pengguna. Bagi pemain baru yang belum ada nama, butuh upaya ekstra, termasuk didukung kapital yang kuat, untuk mengubah loyalitas seseorang terhadap suatu merek. Proses tersebut tidak bisa instan akan semakin susah bila tidak ada diferensiasi yang menonjol.

Pengamat musik Ario Tamat berpendapat menyajikan sesuatu yang berbeda di industri streaming musik adalah sesuatu yang sulit dicapai. Pasalnya, kegiatan mendengarkan musik itu sudah jadi komoditi, sehingga sulit untuk diferensiasi di pasar.

“Kalau strateginya dengan menyediakan konten yang tidak tersedia di tempat lain, menurut gue tidak akan merebut pangsa pasar yang besar karena akan sangat tergantung ke konten eksklusif tersebut basis fans-nya sebesar apa dan sefanatik apa,” ujarnya.

Dia melanjutkan, “Kalau ada layanan khusus musik indie, itu enggak apa-apa. Tapi apa perusahaannya bisa hidup? Karena satu band itu pasti punya fans sendiri, apakah mereka bersedia untuk bayar terus-terusan? Sebab musisi itu juga punya kepentingan untuk hadir mendapatkan akses ke pendengar yang lebih besar.”

Ario sendiri sudah memvalidasi pernyataannya tersebut saat mendirikan situs radio online bernama Ohdio FM di 2012, jauh sebelum kini fokus ke  KaryaKarsa. Konsepnya pada waktu itu adalah situs yang menawarkan pengguna pengalaman streaming lagu lokal secara online seperti mendengarkan radio karena tidak bisa memilih lagu, tapi tanpa ada iklan dan penyiar.

Dalam perjalanannya, Ohdio mencoba penawaran untuk menggaet klien B2B dengan menyajikan anak-anak usaha situs streaming lagu tematik yang bisa dipasang ke dalam situs mereka untuk para pelanggan. Situs musik yang waktu itu dirilis adalah LaguGalau, Lagu90an, Orgasmara.com, Santaidipantai, dan TembangLawas.com. Namun konsep tersebut gagal dijual.

“Semua sudah kita tutup. LaguGalau domainnya enggak diperpanjang, terakhir sampai Oktober ini masih bisa diakses.”

Ohdio's Lagu90an / Ohdio

Mendiferensiasikan diri dengan kompetitor di industri ini bukan sesuatu yang mudah dipecahkan. Semua pihak bisa terjun ke kolam yang sama, namun kapital yang kuat memegang faktor penting untuk mampu bersaing. Kabar gulung tikar di industri ini tak lagi asing didengar, tidak hanya terjadi di Ohdio.

Hingga Ohdio tutup, Ario mengaku perusahaan belum mencetak untung.

“Aplikasi streaming musik itu bukan jadi masalah yang sulit untuk dipecahkan, sehingga kalau bikin itu ya gampang bisa buat sekarang. Kalau besok dapat ide yang bisa diverifikasi kenapa enggak [dibuat]? Tapi menurut gue rasanya masih banyak hal lain yang bisa di-solve.”

Pengamat musik lainnya, Adib Hidayat, mengakui tenarnya aplikasi global turut dipengaruhi brand awareness aplikasi tersebut yang dibawa pemberitaan media luar. Persona tersebut memengaruhi kehadiran konsumen baru dan keaktifan label musisi dalam memasarkan karyanya di platform tersebut.

“Orang Indonesia suka brand internasional karena bisa aktualisasi dan media internasional juga sering mention aplikasi-aplikasi tersebut. Dari artisnya juga akhirnya mempromosikan karya mereka lewat tautan ke aplikasi itu. Akhirnya ini mempengaruhi masyarakat kita lebih familiar dengan apa yang biasa dipopulerkan artis-artis, meskipun karya mereka juga ada di aplikasi seperti Langit Musik,” kata Adib.

Masa depan ada di podcast

Sebagai sesama aplikasi OTT, pemain streaming video lokal terhitung lebih ramai daripada musik. Masing-masing memiliki diferensiasi dan “peperangan” ini sendiri baru dimulai karena rata-rata baru beroperasi.

Adib menjelaskan, tayangan eksklusif terbukti bisa berjalan dengan baik di aplikasi streaming video, tapi tidak untuk musik. Konsep ini dianggap justru merugikan, baik untuk label maupun konsumen, karena perilisan lagu perlu dilakukan secara serentak tanpa sekat agar dapat didengar fans di manapun mereka berada.

“Dari sisi bisnis itu enggak menguntungkan karena orang maunya saat itu langsung viral. Apalagi dengan ada algoritma. Ini akhirnya akan merugikan industri jadi sebaiknya dilepas saja secara bebas. Bisa saja kalau jual konten eksklusif, asal jangan terlalu istimewa, misalnya versi live, remix, atau cover. Ini yang membedakan antara OTT video dengan musik,” paparnya.

Beberapa platform mencoba pendekatan eksklusif ini. Aplikasi milik Jay Z, Tidal, adalah penganut keras konten musik eksklusif untuk menarik pengguna beralih ke mereka. Katalog mereka diklaim lebih banyak dibanding Spotify (60 juta vs 50 juta) dengan kualitas audio yang jauh lebih baik dan biaya berlangganan lebih mahal.

Sementara Apple Music punya kesepakatan dengan beberapa label besar dan artis untuk biasanya memasarkan lagu terbaru secara eksklusif di platform mereka selama jangka waktu tertentu.

Podcast punya andil penting untuk arah strategi pemain streaming musik ke depannya. Pemain streaming musik tidak mau kalah dengan konten video original, seperti Netflix Original atau HBO Original Series, yang sudah dikenal luas. Strategi tersebut sudah diterapkan Spotify. Mereka menambahkan branding podcast dalam penamaan deskripsinya karena berambisi menjadi platform audio streaming terbesar.

“Podcast menjadi mainan baru. Tinggal bagaimana atur strategi, misalnya mengontrak hosthost musik mengisi acara podcast. Tinggal keunikan konten itu yang mendorong. Sekarang Spotify enggak hanya klaim jadi streaming musik, tapi juga ada podcast karena memang ke depan arahnya ke sana,” kata Adib.

Untuk menarik pengguna di Indonesia, Spotify membuat program kerja sama khusus dengan podcaster lokal bernama Podcast Eksklusif Spotify sejak awal tahun ini. Mereka mengunci para podcaster tersebut untuk memasarkan kontennya di Spotify saja.

Saat ini daftar podcaster yang digaet terus bertambah. Ada 21 podcaster, termasuk Podkesmas, Rapot, Podcast Raditya Dika, Suara Puan, Makna Talks, BKR Brothers, Rintik Sendu, Thirty Days of Lunch, dan lainnya. Mereka memproduksi konten dengan platform Anchor, yang juga dimiliki Spotify.

Dari data internal Spotify, Indonesia memiliki jumlah pendengar podcast terbanyak untuk wilayah Asia Tenggara. Lebih dari 20% pengguna Spotify di negara ini mendengarkan podcast setiap bulannya. Angka tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global. Spotify sendiri disebutkan memiliki lebih dari 1 juta judul podcast, yang dapat didengarkan secara gratis.

Langit Musik mulai menyeriusi konten podcast tahun ini. Douby menerangkan podcast merupakan salah satu bagian roadmap lini konten LangitMusik yang bakal digalakkan. Saat ini sudah tersedia beragam channel podcast dengan beragam genre mulai lifestyle, musik, komedi, hingga horor.

“Kami akan terus perkaya koleksi konten podcast melalui kerja sama dengan para podcaster dan para content creator.” tandas Douby.

Di samping itu, agar tetap bersaing, Langit Musik terus berimprovisasi dan inovasi produk, baik dari user experience maupun variasi penawaran kepada pengguna. Douby mengatakan, saat ini (pengembangan) aplikasi Langit Musik telah mencapai versi 5, dengan fitur terbaru seperti lirik lagu, konten podcast, sharing lirik, dan beberapa lainnya yang sedang disiapkan.

Langit Musik, meski kuenya di Indonesia kalah dari pemain non lokal, beruntung karena menjadi bagian korporasi besar. Besar kemungkinan mereka dipertahankan sebagai komplementer yang melengkapi rangkaian layanan digital di Telkomsel untuk para pelanggannya.

MelOn Indonesia sendiri memiliki beragam lini bisnis digital pendukung, seperti game, penukaran voucher digital, RBT, dan event. Bila bisnis Langit Musik belum memberikan keuntungan, perusahaan tersebut masih disokong oleh sumber pendapatan lainnya.

Langit Musik mengandalkan penjualan layanannya dengan konsep bundling yang dijual melalui Indihome dan Telkomsel. Di Telkomsel misalnya, pelanggannya dapat menikmati Langit Musik bila berlangganan paket data khusus musik MusicMax. Di dalamnya terdapat akses data ke aplikasi musik yang berlaku selama satu bulan.

Sebenarnya Langit Musik juga dapat dinikmati oleh pengguna non Telkomsel, hanya saja biaya berlangganannya lebih mahal. Tentunya ini akan mempengaruhi faktor untuk beralih, meski platform ini sudah didukung LinkAja untuk metode pembayarannya.

Langit Musik menyediakan kualitas audio yang bersaing dan cocok dengan kondisi internet di Indonesia, yakni medium dan high. Untuk kualitas medium, format file-nya DRM dengan ukuran lagu rata-rata 1-3MB dengan bitrate 128 kbps. Sementara untuk high, formatnya MP3 dengan ukuran file 7-10MB dan bitrate 320Kbps.

Kualitas high ini kurang lebih setara dengan format yang ditawarkan kebanyakan aplikasi streaming musik populer. Format audio looseless FLAC belum tersedia di Langit Musik.

Telkomsel sendiri tidak hanya menyediakan paket bundling untuk Langit Musik. Mereka bahkan mengumumkan kerja sama khusus dengan Spotify untuk pelanggan pascabayar KartuHalo. Sebelumnya, di 2019, kedua perusahaan bekerja sama untuk paket MusicMAX yang memberikan akses bebas untuk pelanggan pascabayar dan beberapa pelanggan prabayar menggunakan Spotify tanpa kuota.

Adakah ruang untuk pemain lokal?

Survei Awareness Aplikasi Streaming Musik dan Podcast - Bagian 1
Survei Awareness Aplikasi Streaming Musik dan Podcast – Bagian 1

Pertanyaan di atas menarik untuk ditelusuri lebih jauh. DailySocial bekerja sama dengan platform survei JakPat membuat survei singkat mengenai awareness aplikasi streaming musik dan podcast di Indonesia.

Survei ini diikuti 1996 responden, laki-laki (56,1%) dan perempuan (43,9%). Mereka mayoritas ada di kelompok usia 20-29 tahun (53,3%), 30-39 tahun (28,6%), dan di bawah 20 tahun (10,6%). Lokasinya tersebar di Jakarta (17,9%), Bodetabek (13,5%), Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan kota-kota besar lainnya.

Dari seluruh responden, hanya 1,7% yang memilih Langit Musik sebagai aplikasi streaming musik yang mereka gunakan. Sisanya memilih aplikasi populer seperti YouTube (39,4%), disusul Spotify (19,7%), Joox (19,7%), dan YouTube Music (9,4%).

Mayoritas dari mereka mengonsumsi aplikasi tersebuts selama 1-3 jam (53,2%) setiap harinya , kurang dari 1 jam (22,1%), dan 3-5 jam (15,6%). Alasan pemilihan aplikasi tersebut adalah banyak fitur yang memudahkan, seperti social sharing (47,1%) dan fitur beragam lainnya, seperti live streaming, video clip, dan lirik (44,4%), punya katalog lagu lengkap (41,2%), dan gratis (40,6%).

Kami menanyakan perihal minimnya aplikasi streaming musik lokal yang kurang terdengar kepada responden. Mereka menjawab karena kurang promosi (57,2%), fitur dan tampilan kurang menarik (46,5%), kurang inovasi (46,1%), dan katalog tidak lengkap (42,6%).

Meski mayoritas responden memilih aplikasi global, mereka masih menaruh harapan untuk kehadiran aplikasi lokal yang menonjol (90,4%). Alasannya karena jadi kebanggaan tersendiri (76,1%), bahasa lebih dimengerti (56,1%), semakin banyak pilihan (49,3%), dan konten pasti lebih berkaitan (41%).

Mereka yang menjawab tidak perlu ada (9,6%), beralasan bahwa konten yang disajikan tidak jauh berbeda (50,5%), sudah kalah saing (47,4%), dan harga berlangganan mahal (33,9%).

Khusus untuk podcast, hasil survei mencatat Spotify (50,3%) menjadi platform paling populer digunakan untuk mendengarkan podcast. Platform lokal yang mendapat highlight untuk segmen ini adalah Kaskus Podcast, Noice, dan Inspigo.

Kebanyakan responden mengakses konten saat waktu senggang (71,7%) dan hal yang menjadi fokus tentang podcast adalah memberikan hiburan (62,3%) dan menambah ilmu (54,5%)

Survey Awareness Aplikasi Streaming Musik dan Podcast - Bagian 2
Survey Awareness Aplikasi Streaming Musik dan Podcast – Bagian 2

 

Aplikasi India Gaana mungkin bisa menjadi studi kasus menarik bagaimana platform musik lokal mampu bersaing dengan platform global. Gaana diklaim memiliki lebih dari 185 juta pengguna aktif bulanan, memutar lebih dari 3,3 miliar kali menit lagu, dengan lebih dari 35% konten berasal dari musik lokal. Lebih jauh, ada sekitar 27% konsumsi musik didukung rekomendasi berbasis AI.

Gaana juga memiliki lebih dari 2.500 judul podcast yang dibuat pengguna per bulan. Selain itu, terdapat pula fitur konten video singkat yang memungkinkan pengguna membuat kreasi video mereka.

“Saat ini 80% pengguna Gaana adalah loyalis, mereka suka dengan gagasan dapat mengakses lagu, podcast, dan video pendek dari artis favorit mereka dalam pengalaman yang terintegrasi. Kami yakin kemampuan tersebut akan membantu kami meningkatkan 250 juta pengguna baru dalam 12 bulan ke depan,” ucap CEO Gaana Prashan Agarwal.

Keunggulan Gaana di pasar lokal belum berarti permasalahan selesai. Kendati unggul di jumlah pengguna, tantangan dihadapi platform ini dari segi penerimaan. Jumlah pertumbuhan penerimaan dari langganan turun drastis di tahun 2019.

Baik Adib dan Ario memberikan pendapatnya terkait peluang kehadiran pemain lokal ini. Mereka kompak menanggapi bahwa potensi itu ada selama pemain lokal mampu memberikan diferensiasi sebagai keunikan yang membedakan dengan pemain lain di industri.

“Keunikan konten itu yang mendorong. Telkom punya kekuatan untuk menggairahkan, mereka punya resource lokal dan ada akses untuk masuk ke sana,” kata Adib.

Sementara Ario menambahkan, “Lagi-lagi yang perlu dipikirkan adalah konsumen Indonesia. Kalau ada pemain lokal yang bisa menawarkan keunggulan khusus yang hanya bisa orang Indonesia ngerti dan mau bayar, itu oke. Lagi-lagi diferensiasi.”

Konsumsi Digital, Antara Pembajakan dan Konten Berbayar

Pembajakan karya masih terus menghantui kreator di Indonesia. Meski teknologi digital mulai berkembang, pertempuran dengan pembajak masih terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa platform mulai muncul dengan beragam solusi mengatasi hal ini. Tidak menghabiskan tenaga melawan pembajakan, tetapi memudahkan mekanisme agar kreator bisa dihargai lebih layak.

Penyelesaian kasus pembajakan di Indonesia layaknya benang kusut yang tak ada ujungnya. Kasus terbaru yang ramai jadi perbincangan adalah kasus penutupan situs ilegal streaming film. Kejadian ini membagi masyarakat internet menjadi dua kubu, mereka yang menyayangkan dan mereka yang menyambut positif. Saya pribadi cukup yakin situs streaming film ilegal menjadi salah satu penyebab berdarah-darahnya kelangsungan platform video on demand (legal) di Indonesia.

Internet berkembang di Indonesia bersama dengan pemikiran bahwa semua yang ada di dalamnya adalah gratis, termasuk foto, video, gambar, teks, dan lainnya. Masih banyak orang beranggapan bahwa semua yang diletakkan di internet adalah menjadi milik umum. Dengan kata lain bisa dimanfaatkan siapa saja dan untuk apa saja.

Pandangan keliru ini sayangnya masih dipercaya banyak orang, bahkan para pengguna internet baru. Hal ini mengakibatkan tugas mengedukasi perihal lisensi dan hak cipta semakin berat.

Pokok permasalahannya adalah keengganan membayar konten digital. Tembok penghalang bernama sistem pembayaran sudah mulai runtuh berkat adanya platform uang elektronik dan integrasi dengan banyak sistem. Permasalahan “malas ke ATM untuk transfer” atau “tidak punya kartu kredit” perlahan-lahan menghilang.

Akhirnya kita kembali ke pertanyaan klasik “kalau ada yang gratis ngapain bayar”. Padahal di dalam sebuah konten digital terdapat usaha keras sang pembuat karya yang harus tetap hidup dan menghidupi keluarganya.

Founder Karyakarsa Ario Tamat mengungkapkan, kecenderungan masyarakat membajak atau enggan membayar untuk sebuah karya disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap dampak.

“Menurut saya, kesadaran soal hak cipta itu belum ada seiring dengan persepsi dampak. Misalnya, mungkin kebanyakan dari kita ringan saja men-torrent sebuah film seri yang memang tidak tersedia di Indonesia, karena tidak terlihat dampaknya untuk pembuat konten. Malah ‘Ah, kan Disney udah kaya, salah sendiri nggak rilis di Indonesia’ misalnya atau ‘nggak papalah Taylor Swift duitnya udah banyak’. Konsekuensi untuk pembajak pun tidak jelas,” terang Ario.

Membayar untuk konten digital sebenarnya sudah berjalan jika konteks yang dibahas adalah game. Mobile Legends, PUBG Mobile, dan game mobile populer lainnya telah menjadi pengalaman pertama bagi banyak pemain game untuk membayar item pertama mereka. Bentuk pembayaran Google Play yang semakin luwes membuat para pemain game tak ragu menukarkan uang miliknya dengan diamonds atau coins dalam permainan.

Pendekatan yang berbeda

Saat ini, untuk menjangkau pengguna, kebanyakan platform mengusung pendekatan freemium dengan konsep berlangganan. Pengguna ditawari banyak konten gratis, namun beberapa konten dikunci dan hanya bisa diakses bila pengguna membayar.

Strategi ini cukup banyak digunakan berbagai jenis konten digital. Tak hanya platform streaming musik atau film, Berlangganan seperti ini juga bisa dijumpai untuk konten komik, foto, dan lainnya.

Pada dasarnya cara ini menarik minat pengguna terlebih dahulu dengan koleksi konten yang ada. Selanjutnya, ketika keterikatan dengan pengguna sudah terjalin, akan ada konten-konten khusus atau konten lanjutan yang dijajakan secara berbayar. Jika pengguna menikmati pengalamannya dalam menggunakan konten secara gratis, biasanya tidak susah mengubahnya menjadi pengguna berbayar. Sebaliknya, jika pengalaman yang dihadirkan buruk, mereka akan lari.

Platform Storial.co yang menyediakan konten fiksi dalam bentuk buku digital sudah menerapkan strategi ini. Dengan total 50.000 judul buku dan 15.000 penulis, Storial mengkaim menggaet jutaan pembaca. Konten fiksi di dalamnya banyak yang naik cetak bahkan diadaptasi dalam bentuk lain, seperti film dan web series.

CEO StorialSteve Wirawan kepada DailySocial menceritakan bahwa sebelum pandemi ini ada pengguna mereka bisa membaca sekitar 30 bab per minggu. Angka ini naik dua kali lipat di masa pandemi seperti sekarang. Waktu luang disinyalir menjadi salah satu penyebabnya.

“Menurut saya, kaum milenial di Indonesia ini kebanyakan bucin [budak/butuh cinta -Red], pasti banyak kan yang nonton drama korea di masa pandemi ini. Begitu juga dengan konten fiksi yang sukses bikin pembaca baper itu sangat digemari oleh pengguna kami yang kebanyakan perempuan berusia di bawah 20 tahun,” terang Steve.

Menurut Steve, kunci untuk bisa membuat orang membayar untuk konten digital ada pada konten itu sendiri. Selama konten dekat dan diterima pengguna, tingkat konversi dari pembaca gratis ke pembaca berbayar cukup tinggi.

“Konten yang menarik adalah kuncinya. Saya kira selama kontennya engage dengan pembaca, karakter dalam ceritanya kuat dan nyata yang membuat orang bisa relate dengan diri mereka, jalan cerita yang membuat mereka baper dan penasaran untuk tahu kelanjutannya, pasti membuat mereka mau bayar,” lanjut Steve.

Ario menambahkan, setidaknya ada dua hal yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menekan angka pembajakan karya. Dengan memanfaatkan teknologi atau memanfaatkan pendekatan yang baru, dukungan langsung penikmat karya ke pembuat karya.

“Pertama dengan menciptakan teknologi hiburan yang perlindungan HKI-nya sudah jadi satu, seperti Spotify atau Netflix yang kontennya tidak bisa dinikmati di luar aplikasi masing-masing. Yang kedua menawarkan konten dengan model bisnis yang tidak terlalu tergantung ke proteksi, tapi ke partisipasi penikmat karya, seperti KaryaKarsa,” jelas Ario.

Semua bisa berkarya, semua berhak didukung

Platform yang menjembatani konten kreator dengan para penikmat karyanya akan menjadi masa depan bagi pembuat  dan penikmat konten digital. Kehadiran platform ini selain memangkas jarak idola dengan para penggemarnya juga menghapus bias, mana penikmat karya dan mana yang orang penikmat konten gratis.

Kecanggihan teknologi dan perangkat lunak telah melahirkan banyak bentuk turunan konten digital yang baru. Tak hanya buku, film, dan musik tetapi juga streaming game, pelatihan olahraga online, webinar, stand up comedy, podcast, dan ragam bentuk lainnya. Kendati bukan barang yang berbentuk, karya digital sudah selayaknya dihargai.

Metode pembayaran kini semakin murah. Akses ke konten digital pun semakin mudah. Platform yang menjembatani sudah banyak bentuknya, tergantung konten seperti apa yang diminati, dan permasalahan kini tinggal pada kesadaran masing-masing. Yang paling ditunggu adalah regulasi dan sanksi pasti bagi setiap pelanggaran yang ada.

Ekonomi Karya Baru untuk Indonesia

COVID-19. Sesuatu yang sedang menghantui benak semua orang di dunia.

Pada akhir cerita War Of The Worlds, pasukan pesawat dan mesin perang Mars yang digdaya akhirnya lumpuh karena mahluk Mars tidak tahan pada mikroba Bumi, dan akhirnya serangan Mars dapat ditekukkan. Padahal ya kenyataannya, umat manusia pun tidak rentan terhadap serangan mikroorganisme, terutama yang belum pernah menyerang manusia sebelumnya seperti novel coronavirus.

Tentunya, dampak dari penanganan COVID-19 ini adalah terimbasnya penghasilan berbagai sektor industri, terutama yang memiliki akar di dunia “nyata”. Dari toko, bioskop, pabrik sampai hiburan. Demi mencegah penyebaran yang lebih luas, di berbagai penjuru dunia masyarakat telah dikarantina, lockdown, sampai versi Indonesia, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sebuah krisis kemanusiaan sedang berlangsung untuk banyak orang akibat COVID-19, baik yang tertular secara langsung maupun yang terkena dampak akibat tidak dapat bekerja seperti biasa lagi. Tidak ada yang luput dari imbasnya, dan tentunya kita bertanya, sampai kapan?

Banyak pihak yang sudah mengangkat, “apa yang hendak kamu lakukan setelah COVID-19?”. Tapi menurut saya, kondisi ini tidak akan cepat kembali ke keadaan seperti sebelumnya. Terlepas dari penanganan COVID-19, keadaan ini telah memaksa kita untuk memiliki kerangka berpikir baru terhadap hidup dan berkarya sebagai manusia. Bukan hanya beradaptasi terhadap kondisi, namun justru menyiapkan diri menapaki era yang sama sekali baru.

The New Normal

Karena KaryaKarsa banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan pekarya, di sekitar kami terdengar jelas pergeseran dari, misalnya, musisi yang penghasilan utamanya berasal dari manggung, lantas tidak bisa manggung sama sekali. Penghasilan mereka pun hilang. Beruntung bila masih ada penghasilan dari sumber lain, namun yang bisa melakukannya hanya segelintir. Wajar apabila para pekarya ini bertanya, kapan kondisi ini berakhir?

Kami di KaryaKarsa, yang tentunya terimbas juga, ingin memajukan kerangka berpikir lain. Pergeseran yang terjadi karena “keterpaksaan” ini dapat kita olah jadi kesempatan untuk membangun Ekonomi Karya Baru. Sebuah ekonomi dengan ketahanan lebih tinggi, karena diperkuat oleh pola pikir berwiraswasta dan dibantu oleh infrastruktur digital. Kita sebagai manusia abad 21, toh, sudah hidup secara bersamaan pada dunia “nyata” dan padang digital.

Sebelumnya, Ekonomi Karya itu banyak terdoktrin wujud atau kehadiran fisik, yang merupakan respons terhadap persepsi bahwa barang digital itu “gratis” dan tidak bernilai. Pelan-pelan ini sudah bergeser dengan hadirnya layanan-layanan berbayar yang orang sudah rela mengeluarkan uang untuk berlangganan, meskipun masih untuk sebagian kecil masyarakat Indonesia. Mendadak, kini semua harus berperan aktif dalam ekonomi digital. Mengutip meme yang tengah beredar, yang memicu transformasi digital di semua perusahaan bukanlah CEO maupun jajaran komisarisnya, melainkan COVID-19.

Ekonomi Karya yang Baru

Dalam Ekonomi Karya Baru, kreator dapat berkarya dan berpenghasilan dari kegiatan dalam ruang fisik maupun maya, dengan efektivitas yang sama. Baik kreator maupun audience sudah terbiasa dengan menonton konser secara langsung, maupun secara live streaming dari rumah (atau nonton bareng dari tempat yang jauh dari tempat acara). Kreator maupun audience sudah terbiasa menjadikan ruang fisik dan maya sebagai bagian dari rencana berkarya, tanpa membeda-bedakan – karena toh yang utama untuk audience itu konten, bukan medium. Tentunya medium memiliki peran kuat dalam konten, tapi menjadi fungsi kontekstual, bukan utama.

Bagaimana bentuk Ekonomi Karya Baru ini?

Ekosistem Baru Kreator Konten
Ekosistem Baru Kreator Konten

Dalam Ekonomi Karya Baru, wujud dan medium karya merupakan konsekuensi dari strategi, bukan tujuan akhir – karena sebenarnya berdasar pada pendekatan bisnis yang terfokus pada Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property, IP). Sebagai contoh, sebuah lagu tidak harus hanya berwujud sebuah pementasan langsung, tapi juga dapat diwujudkan sebagai merchandise interaktif, konser live streaming, bahkan proses di balik layar pembuatannya. Karyanya sama, tapi perwujudan dan penyampaiannya disesuaikan dengan medium dan target audience.

Model pembiayaan kegiatan berkarya pun memiliki berbagai pilihan. Selain model-model yang sudah lebih dulu berlangsung, seperti melalui iklan, sponsor endorsement, kerja sama dengan pemilik modal dan keahlian (misalnya, music label) dan lisensi karya, dapat juga mendapatkan pendanaan kegiatan langsung dari audience (seperti via KaryaKarsa). Dan dengan dibantu akses digital, daya jangkau pendanaan langsung ini tidak terbatas pada hadirnya audience di sebuah acara, namun bisa dikonsumsi di mana saja asal terdapat koneksi internet.

Dalam Ekonomi Karya Baru, ada sebuah harapan. Tapi tentunya ada pekerjaan rumah juga untuk semua pelaku industri. Sebuah pergeseran kerangka berpikir dari yang berfokus pada wujud karya, ke yang berfokus pada HKI. Tentunya tidak mudah, karena seringkali karya tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Dan tidak semua kegiatan karya dapat mudah diterjemahkan ke dalam wujud lain, apalagi digital. Belum lagi kefasihan pelaku-pelaku industri kreatif dalam dunia digital masih sangat bervariasi.

Yang jelas dalam Ekonomi Karya Baru ini, para pemainnya tak lagi terbatas pada pekarya-pekarya yang lazimnya dianggap berkarya, seperti musisi, seniman, penulis, pembuat komik dan sebagainya. Di KaryaKarsa saja sudah ada pelatih yoga, pelatih olahraga, edukasi soal marketing, pembahasan tentang personal branding, bahkan sampai pembaca kartu tarot.

Tapi ya balik lagi, ini pekerjaan rumah masing-masing. Yang harus dipahami adalah bahwa dengan pola pikir Ekonomi Karya Baru, ekonomi kreatif Indonesia dapat adaptif untuk terus tumbuh, bertahan, dan berkembang.

Semangat yuk, karena kita pasti bisa. Mari berbenah dan ikut membentuk The New Normal ini demi membangun Ekonomi Karya Baru. Agar kita kembali menjadi umat manusia yang menang berkat virus, seperti dalam film War Of The Worlds.


Disclosure: artikel tamu ini dibuat oleh Ario Tamat.

Ario adalah CEO Karyakarsa, platform apreasi kreator. Ia bisa dikontak via Twitter @barijoe

Pentingnya Validasi Ide Sebelum Mengembangkan Startup

Mereka yang antusias dengan kewirausahaan, terutama dalam bentuk startup, pasti pernah terbersit suatu ide bisnis. Namun yang namanya ide bisnis tetaplah sebuah ide, ia belum terukur dan belum tervalidasi.

Maka akan wajar apabila gagasan bisnis itu terbentur dengan sejumlah pertanyaan seperti: (1) Apakah ide tersebut sudah tepat sasaran? (2) Apakah semangat dan wawasan dalam gagasan itu sudah mencerminkan kebutuhan pasar? (3) Dan yang tak kalah penting, bagaimana mengukur kebutuhan pasar agar produk yang dihasilkan nanti bisa dipakai khalayak?

Founder & CEO KaryaKarsa Ario Tamat berbagi pengalamannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ario sudah bergelut di dunia startup sejak 2011 silam, ketika menciptakan Ohdio lalu mendirikan Wooz.in. Minat di bidang musik, pengalaman kerja di dunia teknologi dan keyakinan tak ada layanan serupa di saat itu membuat Ario cukup yakin bahwa produknya akan diterima pasar. Namun kenyataan membuktikan semua itu tidak cukup.

“Karena waktu itu berasumsi kami tahu industri musik, orang pasti mau pakai, dan belum ada di pasar. Tapi itu semua asumsi dan nyatanya tidak ada yang pakai,” cetus Ario.

Pengalaman pahit itu membawa bekal berharga bahwa tak semua gagasan bisnis, sebrilian apa pun menurut kita, bisa melahirkan produk yang dibutuhkan konsumen. Ada beberapa fase yang harus dilalui ide itu sebelum menjadi produk jadi yang andal.

Lean startup dapat menjadi metode yang dapat ditempuh karena ini sudah menjadi panduan umum bagi mereka yang ingin mendirikan startup. Ario menjabarkan metode ini berdasarkan pengalamannya dalam #SelasaStartup kali ini.

Fokus ke konsumen

Ario meringkas lean startup sebagai konsep pengembangan ide, sampai ide itu valid dan siap dilempar ke pasar. Hal yang digarisbawahi oleh Ario adalah fokus ke pertumbuhan konsumen alih-alih gagasan bisnis itu sendiri. Mengenali kebutuhan konsumen menjadi lebih penting ketimbang terpaku pada gagasan bisnis dalam hal ini.

Cara mengenal konsumen ini bisa bervariasi. Pilihannya bisa sesederhana menyebar kuesioner via Google Form atau wawancara langsung untuk menggali informasi lebih dalam. Fase ini penting karena kita dapat mengenal lebih dekat apa yang konsumen butuhkan, apa yang mereka keluhkan dari layanan yang ada, sehingga mengikis kadar bias dari ide bisnis yang kita kantongi.

Ario mencontohkan bahaya dari bias ini jika ada produk pengenalan wajah dan sudah meluncur ke publik namun ternyata di beberapa orang dengan fisik tertentu ia tak berfungsi. Perkara itu semata-mata muncul karena dalam pembuatan teknologinya, sampel wajah yang dipakai hanya berasal dari rupa fisik ras Kaukasian.

“Ketika kalian punya ide itu sebenarnya asumsi. Sejauh kalian belum bisa punya data untuk membuktikan itu benar, itu asumsi,” tegas Ario.

Harus berbeda

Jika informasi yang dibutuhkan dari konsumen sudah terkumpul maka bentuk ide bisnis bisa dikatakan lebih matang. Tapi bagaimana kalau sudah ada layanan komersial dengan ide bisnis tersebut? Ario menjawabnya dengan mencari celah masalah di layanan yang sudah ada itu.

Hampir semua layanan memiliki persoalannya sendiri dengan kadar yang belum tentu serupa. Peran kita adalah mencari tahu apa masalahnya dan berapa besar kadarnya itu. Tanpa menawarkan faktor pembeda maka hampir mustahil bagi pemilik ide bisnis dapat bersaing.

“Kalau enggak ada masalah kalian enggak punya kesempatan untuk masuk. Kalau sekadar pengen bikin aja, ya enggak apa-apa, tapi apa yang bisa bikin bisnis kalian lebih unggul. Problem banyak kok di dunia,” gurau Ario.

Berani bereksperimen

Sebuah eksperimen dapat terjadi secara disengaja maupun tidak. Sebuah proyek buku digital hasil kumpulan artikel seputar musik dan teknologi buatan Ario adalah buktinya. Ide Karyakarsa sendiri sudah dimiliki Ario sejak dua tahun sebelum platform itu meluncur ke khalayak.

Ide itu berangkat dari pencarian metode alternatif bagi musisi untuk mendapat pemasukan selain dari metode konvensional. Buku yang ia tulis sendiri ternyata menjadi pemicu utama yang meyakinkan Ario bahwa ide bisnis KaryaKarsa dapat berjalan.

Buku bertajuk Musik, Bisnis, dan Teknologi di Indonesia itu berhasil menarik ratusan pembaca dan lebih jauh lagi dalam sepekan ada 10 orang yang bisa rela memberikan uang untuk membaca bukunya. Ario mendorong eksperimennya lebih jauh dengan membuat platform yang bisa dipakai bagi para kreator konten dan memungkinkan penggemar karya mereka menyisihkan uangnya sebagai bentuk apresiasi yang saat ini berwujud KaryaKarsa dengan total pemasukan lebih dari Rp1 miliar.

“Di saat itu asumsinya adalah gue aja yang nobody bisa, masa’ sih orang yang punya follower banyak, selebriti, atau orang terkenal enggak?” imbuhnya.

Mereka yang Merintis Platform Monetisasi untuk Kreator

Tidak sedikit startup yang ada di Indonesia berkiblat ke startup yang cukup sukses di Amerika. Konsep kemudian di bawa masuk ke pasar Indonesia tentunya dengan penyesuaian yang ada. KaryaKarsa, Trakteer, dan SociaBuzz Tribe, adalah beberapa di antaranya. Ketiganya mengambi konsep yang serupa dengan Patreon untuk dibawa ke pasar Indonesia.

Di luar sana Patreon terkenal sebagai salah satu platform yang mewadahi para kreator untuk berkarya. Solusi yang disediakan berupa platform yang bisa menghubungkan langsung para kreator dengan para fans, dengan demikian kreator bisa membuat konten eksklusif untuk para penggemarnya, tentunya ada transaksi di dalamnya.

Di Indonesia KaryaKarsa, Trakteer, dan SociaBuzz Tribe mereplikasinya. Para kreator atau pekerja seni bisa mendapat penghasilan dari karya yang mereka buat. Mengingat di Indonesia angka pembajakan dan klaim karya orang lain (bisa disebut pencurian konten) yang masih tinggi, ketiganya bisa jadi alternatif solusi.

Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi tantangan. Iklim dukungan di Indonesia dan kebiasaan membayar untuk menikmati karya masih tergolong kecil. Masih banyak mereka yang lebih memilih menikmati karya secara gratis, meskipun itu ilegal. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan ketiga platform di atas menjadi besar di Indonesia. Ada potensi ketiganya mengambil peran sebagai jembatan untuk menikmati karya secara legal.

Perjuangan masih di tahap awal

KaryaKarsa mulai diperkenalkan pada Oktober tahun lalu. Startup yang digawangi Ario Tamat ini disebut sudah memilki 1000 kreator yang sudah melalui proses kurasi. Di awal kemunculannya, KaryaKarsa memulai dengan para comic artist/ilustrator.

“Pada awal tahun 2020 kami sudah berhasil mencapai Rp 100 juta total pemasukan terkumpul atas nama kreator, yang biasanya kami bagikan ke kreator seperti gajian melalui #gajiandiKaryaKarsa,” terang Ario.

Hampir di saat yang bersamaan, Miftah Mizwar, Rizki Lizuardi, dan Budi Satria Wijaya mulai memperkenalkan Trakteer. Dirilis pada tanggal 17 Agustus 2019 pihak Trakteer mengklaim sudah memiliki 3000 kreator dan 17.000 pendukung.

“Pada tahun 2020, selain kami fokus untuk bisa berkolaborasi dengan konten kreator di Indonesia, kami juga berusaha untuk terus mengembangkan platform ini menuju versi final dan pengembangan aplikasi mobile. Hingga nantinya bisa benar benar memudahkan kreator dalam membuat karya, juga bersahabat bagi supporter untuk mendukung dan menikmati konten di Trakteer,” terang Miftah.

Sedikit berbeda, SociaBuzz Tribe bukanlah sebuah platform khusus dukungan karya, tetapi merupakan sebuah fitur yang tergabung dengan platform SociaBuzz, sebuah marketplace jasa kreatif dan influencer marketing.

Di bawah kepemimpinan Rade Tampubolon, SociaBuzz saat ini sudah memiliki 39.000 talenta dan kreator konten. Fitur SocioBuzz Tribe sendiri sudah masuk ke dalam roadmap pengembangan sejak tahun 2017 silam. Hingga akhirnya mulai diperkenalkan tahun ini.

Saat ini semuanya masih dalam tahap awal. Masih ada pekerjaan yang harus dibenahi sambil membuktikan bahwa sistem dan model bisnis bekerja dengan baik.

Membantu kreator hidup dari karyanya

Mereplikasi konsep Patreon untuk dibawa ke Indonesia tentunya memiliki risiko, salah satunya pasar Indonesia yang cukup berbeda. Memastikan kreator yang bergabung mendapatkan pendapatan dan mengajak penikmat karya bergabung adalah salah satunya.

Bagi Ario, tantangan terbesar yang dihadapi KaryaKarsa adalah membuat kreator mendapat penghasilan yang berkesinambungan dan bagi para penggemar bisa mendapatkan karya yang mereka inginkan. Kini KaryaKarsa juga tengah menjajaki kerja sama dengan kelompok atau organisasi yang memiliki massa.

“Jumlah kreator kami yang mendapatkan dukungan semakin tinggi, tapi PR-nya adalah bagaimana kreator-kreator lain juga dapat menemukan formula yang pas antara kreator dan penikmat karya supaya kreator dapat berpenghasilan dan penikmat karya mendapat karya yang mereka inginkan secara berkesinambungan. Apakah orang mau membayar untuk konten sudah bukan pertanyaan lagi, tapi bagaimana kami dapat memberdayakan kreator supaya dapat ‘Hidup Dari Karya’,” terang Ario. .

Hal senada dilontarkan Miftah. Menurutnya, sekarang masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa dengan dunia digital. Masalah pembayaran juga mulai hilang berangsur dengan hadirnya pilihan uang elektronik yang beragam. Ini adalah satu hal penting yang bisa jadi awal berkembangnya layanan seperti Trakteer.

“Intinya sih kebutuhan dan kemudahan dalam transaksi membantu model bisnis ini bisa diterima di masyarakat. Kami kira sudah ada model bisnis serupa yang mulai digunakan dan diterima di masyarakat, seperti berlangganan/tip pada aplikasi komik, streaming, hingga konten dalam bentuk tulisan. PR-nya adalah tentang bagaimana kita mengedukasi pengguna agar mengerti terkait sistem dan layanan yang ditawarkan,” lanjut Miftah.

Karyakarsa Creator Appreciation Platform to Target 1000 Creators in a Years

Karyakarsa creator appreciation platform is finally launched to the public. After three-month preparation, the new startup claims to have 100 creators joined the platform.

After being introduced in June 2019, Karyakarsa starts the engine by having a discussion with the creators on Friday (9/13). As the Founder and CEO, Ario Tamat and the Advisor, Pandji Pragiwaksono and Aria Rajasa also participated in the event.

It has come to the conclusion that there’s an alternative income for the creators from their fans. Karyakarsa has adopted the Patreon concept for the local market, they tried to fill up the blank on the platform which can connect creators with their fans.

“Imagine if the 1,000 people willing to give Rp10,000, it’ll make Rp10 million,” Ario explained.

Indonesian creator is said to have difficulty for alternative income besides sponsor, endorsement, or merchandise using basic support as fans. On the other side, Karyakarsa, on its research, found 36 million people willing to pay for their favorite creators.

Fanbase becomes essential in this business model. The more fans, the bigger amount will get into the creator’s pocket. The fundraising method is ‘pay as you go’, means the fans can give as many they want anytime they will. Meanwhile, the subscription option is still on progress.

Karyakarsa to take 10 percent of each transaction made on the platform. “It includes the transaction fee and others,” he added.

To date, Gopay is still the only payment method on Karyakarsa, Ovo is soon available. He also mentioned that they’ve tried adding bank transfer method for the bigger amount.

From the 100 registered creators, the other hundred is going to register soon. Ario has in mind to target 1,000 creators within a year.

In addition to acquiring creators, as a bootstrap business, he currently looking for investors to expand Karyakarsa. He also said this platform is to grow bigger, considering the big market and healthy competition.

“It means validation, a big potential, and our belief in fans that willing to pay, it doesn’t matter who’s the winner,” he said.

Karyakarsa is currently accessible through the website. From all creators who joined the platform, some are popular names, such as Pandji Pragiwaksono, Sunny Gho the comic, Ditta Sarasvati the illustrator, and Bena Kribo the content creator.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Apresiasi Kreator Karyakarsa Targetkan Gandeng 1000 Kreator dalam Setahun

Platform apresiasi kreator Karyakarsa akhirnya memperkenalkan diri ke publik. Tiga bulan mempersiapkan diri, startup baru ini mengklaim 100 kreator sudah bergabung ke dalam platform tersebut.

Memperkenalkan diri sejak Juni 2019, Karyakarsa langsung tancap gas dengan mengadakan diskusi dengan para kreator pada Jumat (13/9) lalu. Dalam kesempatan itu hadir CEO dan Founder Karyakarsa Ario Tamat dan Advisor Pandji Pragiwaksono dan Aria Rajasa.

Diskusi itu menyepakati bahwa ada alternatif pemasukan yang dapat dinikmati para kreator dari penikmat karya mereka. Karyakarsa, mengadopsi konsep Patreon untuk pasar lokal, menyadari hal itu dan berusaha mengisi kekosongan platform yang dapat menjembatani kreator dan penikmat karyanya.

“Coba bayangin aja dari 1.000 orang masing-masing kasih Rp10.000, sudah dapat Rp10 juta,” ujar Ario memberi contoh.

Kreator di Indonesia selama ini dianggap memiliki kesulitan dalam memperoleh arus pemasukan alternatif di samping sponsor, endorsement, atau merchandise dengan memanfaatkan dukungan basis penikmat karya. Di sisi lain, Karyakarsa, dalam risetnya, menemukan ada 36 juta orang yang rela mengeluarkan uangnya untuk menikmati karya kreator idolanya.

Fanbase menjadi penting dalam model bisnis urun dana Karyakarsa ini. Semakin besar jumlah penikmat karya, kemungkinan pemasukan yang masuk ke pundi-pundi kreator pun akan lebih besar. Metode urun dana yang dipakai Karyakarsa masih pay as you go, artinya penikmat karya dapat memberikan uang kapan pun dan berapa pun yang mereka kehendaki. Sementara untuk opsi berlangganan yang pada peluncuran lalu diumumkan masih menunggu waktu untuk diberlakukan.

Karyakarsa sendiri akan mengutip 10 persen dari setiap transaksi yang terjadi dalam platform mereka. “Itu sudah termasuk biaya transaksi dan lainnya,” imbuh Ario.

Sejauh ini Gopay masih menjadi satu-satunya metode pembayaran yang dapat dipakai di Karyakarsa–yang segera disusul Ovo dalam waktu dekat. Ario menambahkan, pihaknya juga mengupayakan metode transfer bank untuk mengakomodasi nominal yang lebih besar.

Dari 100 kreator yang sudah terdaftar, ada 100 kreator lainnya yang segera bergabung dengan Karyakarsa. Menurut Ario, jumlah kreator yang ditargetkan bergabung sebanyak 1.000 dalam satu tahun ini.

Selain fokus menjaring lebih banyak kreator untuk bergabung, Ario mengaku masih mencari investor untuk membesarkan Karyakarsa yang masih bersifat bootstrap ini. Ia meyakini platform apresiasi untuk kreator ini dapat berkembang lebih jauh mengingat potensi pasarnya yang besar plus kompetisi yang sehat.

“Itu berarti ada validasi, potensinya benar, dan kepercayaan kita bahwa fan mau bayar karya itu benar, tinggal siapa yang menang itu masalah lain,” pungkas Ario.

Karyakarsa saat ini hanya dapat diakses melalui situs web. Dari sekian banyak kreator yang sudah bergabung, beberapa di antaranya sudah punya nama besar seperti komika Pandji Pragiwaksono, komikus Sunny Gho, ilustrator Ditta Sarasvati, hingga konten kreator Bena Kribo.

Platform KaryaKarsa dan Upaya Memberdayakan Pekerja Kreatif

Menjadi tempat bagi para penggemar untuk mengapresiasi karya para kreator, demikian platform KaryaKarsa diperkenalkan. Diprakarsai oleh Ario Tamat, orang yang juga berada di balik Ohdio dan Wooz.in, platform tersebut mengusung semangat “berdaya untuk berkarya”. Cita-citanya, membantu para pengembang konten kreatif untuk tetap berkarya dari apresiasi penggemar dalam bentuk tip atau berlangganan.

KaryaKarsa memiliki konsep yang serupa dengan Patreon, yang sudah berhasil membantu 70 ribu kreator terhubung dengan para penggemarnya. Esensi mereka adalah memudahkan penikmat karya berkontribusi dalam bentuk uang sehingga bisa membantu penghasilan kreator yang mereka gemari.

“Ide mengenai KaryaKarsa sendiri sudah berputar-putar dalam kepala sejak 2 tahun lalu, salah satu ide yang menurut saya perlu dicoba untuk industri musik. Titik awalnya memang mencari cara supaya musisi indie bisa mendapatkan pemasukan tambahan yang bukan sponsor endorsement, manggung atau jual merchandise,” jelas Ario.

KaryaKarsa akan memfasilitasi kreativitas di bidang musik, video, audio, ilustrasi, animasi, hingga pakar di bidang tertentu. Ke depannya Ario berharap bisa mendukung sebanyak mungkin karya, yang terpenting konsisten berproduksi dan memiliki basis penggemar.

“Target penggunanya tentunya adalah kreator dengan basis fans, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk kreator yang baru akan membangun basis fans. Kami ingin memberikan cara alternatif untuk kreator untuk menghasilkan uang. Pain points yang ingin kami sasar: kemudahan transaksi yang tidak bergantung pada ‘produksi’ sebuah karya, tapi lebih kepada mendukung hidup yang berkarya. Membentuk sebuah aliran penghasilan yang lebih mudah diprediksi untuk kreator,” jelas Ario.

Kontribusi pendanaan via e-money

KaryaKarsa paham betul teknologi mampu menjadi solusi untuk fondasi inisiatif ini. Platform tersebut memungkinkan kreator untuk membuat akun yang nantinya menjadi jembatan penghubung dengan para penggemarnya. Beberapa fitur yang ditawarkan antara lain keleluasaan mengatur tingkatan pendanaan yang bisa diberikan.

Untuk menjaga interaksi, kreator juga bisa menawarkan konten eksklusif yang hanya bisa diakses melalui KaryaKarsa pada tingkat pendanaan tertentu. Atau bisa menawarkan kegiatan lain seperti jumpa penggemar, mini konser dan interaksi lainnya. Untuk memudahkan proses pendanaan KaryaKarsa memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan oleh e-money, seperti Go-Pay dan Ovo.

“Dengan kontribusi melalui tingkatan-tingkatan pendanaan yang diatur oleh kreator, fans dapat menikmati apa pun yang sudah diatur oleh kreator untuk tiap tingkatan tersebut. Menimbang bahwa interaksi antara fans dan kreator itu rentang, jenis dan dinamikanya luas sekali, kami memilih untuk memfokuskan untuk memudahkan transaksi antara fans dan kreator dulu.”

Masih dalam tahap pengembangan

Untuk membangun KaryaKarsa, Ario dibantu oleh Pandji Pragiwaksono dan Aria Rajasa sebagai advisor. Platformnya sendiri saat ini masih dalam tahap riset dan pengembangan dan terus menanti masukan dan usulan dari banyak pihak.

“Untuk saat ini kami ingin fokus riset data dan membangun sistemnya, untuk dapat meluncur di tahun 2019 dengan beberapa kreator. Kami ingin memastikan dengan benar bahwa konsep ini akan sehat, berkembang dan berkesinambungan,” tutup Ario.