ASUS ROG Kenalkan Monitor Gaming Kelas Sultan Seharga Rp38 juta dan Kawan-Kawan Lainnya

Monitor gaming ASUS ROG seharga skuter matik Honda PCX Hybrid atau bahkan lebih mahal dari Yamaha NMAX? Tak perlu heran, karena bukan ASUS ROG namanya kalau produknya tidak ditujukan untuk kelas premium.

2 April 2019 kemarin, ASUS mengumumkan serangkaian produk monitor terbaru yang tersedia untuk pasar Indonesia di tahun 2019 mulai dari monitor gaming, monitor untuk profesional, sampai dengan proyektor portabel.

Sejarah mencatat, ASUS memang yang pertama kali memopulerkan brand gaming di 2006 saat mereka meluncurkan motherboard ROG (Republic of Gamers) pertama mereka. Tak hanya di motherboard, router, kartu grafis, laptop, ataupun ponsel, ASUS ternyata juga cukup populer dengan lini produk monitor mereka. Menurut rilis resmi yang kami terima dari ASUS, mereka mengklaim sebagai penguasa market share monitor gaming di pasar global tahun 2018.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

“Di Indonesia, kami juga telah bekerja sama dengan beberapa tim gaming profesional dan game center terkemuka di beberapa kota besar. Dengan antusiasme ini, kami optimis dapat terus mengembangkan juga pasar kami di Indonesia, juga untuk solusi monitor non gaming.” Ungkap Willy Halim, Country Manager Open Platform Business Group ASUS Indonesia di rilis yang sama.

ASUS sendiri mulai mengenalkan tipe monitor gaming sejak 2006, PG191, yang menjadi monitor pertama dengan subwoofer. Di tahun 2012, ASUS juga menjadi yang pertama mengeluarkan monitor 144Hz di dunia, VG248QE. Sedangkan di 2014, ASUS pertama kali mengeluarkan monitor ROG pertama mereka yang sudah mendapatkan sertifikasi NVIDIA G-SYNC, yaitu ROG Swift PG278Q.

Lalu, apa saja monitor-monitor baru dari ASUS yang tersedia di Indonesia yang dikenalkan kali ini?

ROG Strix XG49VQ

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Seperti serinya, monitor ini berukuran 49 inci namun keunikannya ada di rasionya yang menggunakan Super Ultra-Wide, 32:9. Karena itulah, resolusi maksimal monitor ini jadinya jarang ditemukan di produk lainnya, dengan 3840×1080.

Monitor ini sebenarnya bisa diibaratkan seperti 2 monitor 27 inci yang bersandingan namun kita tak perlu terganggu melihat bezel. Monitor ini juga telah mendapatkan sertifikasi DisplayHDR 400. Harganya? Murah… Hanya setara dengan Honda CBR150 Verza alias Rp19,8 jutaan.

ROG Swift PG27UQ

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Monitor gaming ASUS ROG berukuran 27 inci ini adalah yang paling premium di antara 8 produk lainnya yang dikenalkan ASUS kali ini. Karena itulah, ASUS pun menjejalkan semua spek terbaik yang bisa Anda temukan di pasar monitor gaming di tahun 2019. Ia punya refresh rate 144Hz, sertifikasi NVIDIA G-SYNC Ultimate, resolusi 4K (3840×2160), DisplayHDR 1000, dan segudang fitur premium lainnya.

Buat yang belum tahu, sertifikasi DisplayHDR 1000 hanya dapat ditemukan di 5 produk monitor di dunia. Anda bisa melihat daftar lengkapnya di tautan ini. Di antara 5 produk tadi, setahu kami, hanya 2 yang tersedia di Indonesia salah satunya ROG Swift PG27UQ ini.

Oh iya, banderol harga monitor ini? Rp38,7 juta. Menariknya, ASUS juga menawarkan garansi sampai dengan 3 tahun (termasuk semua monitor yang ada di daftar ini).

Hal tadi mungkin sedikit kontradiktif dengan target kelas sultannya. Khusus untuk monitor ini, ASUS seharusnya menghilangkan masa garansi sepenuhnya. Karena seorang sultan sejati harusnya beli baru kalaupun ada sedikit masalah dengan monitor lamanya. Hahaha… Acuhkan paragraf terakhir ini ya…

ROG Strix XG32VQR

Sumber: ASUS
Sumber: ASUS

Monitor gaming selanjutnya adalah Curved HDR Gaming Monitor ASUS ROG XG32VQR yang berukuran 32 inci. Monitor ini mendukung resolusi maksimal sampai dengan 2560×1440 (WQHD) dan dilengkapi dengan sertifikasi FreeSync 2 HDR (dari AMD). Sama seperti monitor pertama di daftar ini, ia juga mendapatkan sertifikasi DisplayHDR 400.

Monitor ini mungkin adalah yang paling cocok untuk kategori sultan kelas bawah karena harganya yang hanya Rp9,7 juta.

ASUS VG278QR dan VG258QR

Sumber: ASUS
Sumber: ASUS

Kedua monitor ini sudah bukan lagi masuk keluarga besar ROG namun keduanya masih mengusung fitur yang tak kalah menarik. Seperti serinya, VG278QR berukuran 27 inci dan VG258QR berukuran 24,5 inci.

Uniknya, kedua monitor ini mengusung refresh rate 165Hz dan response time 0,5ms. Keduanya juga dilengkapi dengan fitur ASUS Extreme Low Motion Blur yang diklaim mampu memberikan gambar yang tajam meski saat pergerakan cepat.

Berhubung sudah tidak masuk kasta ROG, kedua monitor ini masih terjangkau untuk kelas menengah. Banderol harga VG278QR ada di Rp5,5 juta. Sedangkan VG258QR ada di Rp4,8 juta.

ASUS ProArt Series PA34VC

Sumber: ASUS
Sumber: ASUS

Selain untuk para gamer, ASUS juga mengenalkan monitor untuk kelas profesional. ASUS ProArt PA34VC Curved Professional Monitor ini dilengkapi dengan panel IPS, teknologi HDR10, 100% sRGB, dan sejumlah fitur lainnya.

Monitor yang cocok untuk para desainer grafis ataupun konten kreator ini dibanderol dengan harga Rp19,6 juta.

ASUS Designo Series MX38VC

Sumber: ASUS
Sumber: ASUS

Monitor serba guna berukuran 37,5 inci ini menawarkan fitur yang sangat beragam. Ia dilengkapi dengan speaker Harman Kardon, ASUS SonicMaster, Qi Wireless Charger, Bluetooth, fitur Flicker Free, dan Blue Light Filter.

Monitor mewah ini bisa Anda bawa pulang hanya dengan menebusnya seharga Rp24,3 juta.

ASUS ZenScreen GO MB16AP

Sumber: ASUS
Sumber: ASUS

Sedikit berbeda dengan monitor-monitor lainnya di daftar ini, monitor yang satu ini adalah sebuah monitor portabel. Ia menggunakan port USB Type-C (dan dilengkapi juga dengan konverter port USB Type-A) untuk koneksinya dan berat sebesar 850 gram.

Monitor yang sejatinya digunakan sebagai display tambahan untuk laptop ini ditawarkan dengan harga Rp6,8 juta.

ASUS ZenBeam S2

Sumber: ASUS
Sumber: ASUS

Produk terakhir yang ada di daftar ini sudah bukan lagi monitor melainkan sebuah proyektor. Namun ia dikenalkan bersama dengan saudara-saudara sepupunya karena memang masih berhubungan sebagai produk display. Proyektor ini juga cukup unik karena portabel.

Ia dilengkapi dengan baterai berkapasitas 6000mAh yang juga dapat digunakan sebagai power bank. Meski berukuran mini, ia dilengkapi dengan berbagai opsi input seperti USB-C, USB output, wireless mirroring, dan HDMI.

Proyektor yang beratnya hanya 497 gram ini dibanderol dengan harga Rp8,8 juta.

Apakah Anda tertarik dengan salah satu produk yang ada di sini? Siap jual ginjal demi sebuah monitor gaming kelas sultan?

Keseruan dan Ketatnya Kompetisi Grand Final Racing Simulator Festival

Perhelatan Racing Simulator Festival selama sepekan (22-30 Maret 2019) yang digelar di Mangga Dua Mall, Jakarta, akhirnya rampung. Gelaran yang merupakan hajatan bersama berbagai komponen balap simulasi, mulai dari penyedia perangkat, komunitas, dan Ikatan Motor Indonesia (IMI), ini telah mendapatkan para pemenangnya.

Berikut ini adalah para pemenang kompetisi simulasi balap yang bertajuk Road to Kejurnas (yang informasinya kami dapatkan dari Rama Maulana, selaku Co-Owner dari GT-Sim.ID yang menjadi organizer turnamen):

Juara 1: Pradana Yogatama (mendapatkan hadiah sebesar Rp5 juta)
Juara 2: Arwin Taruna (mendapatkan hadiah sebesar Rp3 juta)
Juara 3: Ferris Stanley (mendapatkan hadiah sebesar Rp2 juta)

Rama pun bercerita bagaimana turnamen ini dijalankan. Jadi, dari 1300 entry diambil 20 peserta tercepat. Dari 20 peserta itu dibagi lagi menjadi 2 grup secara random, masing-masing 10 orang. Dari tiap grup, diambil lagi 5 orang tercepat setelah berpacu untuk 8 putaran. 10 orang dari Grup A dan B ini pun diadu lagi untuk membalap selama 10 putaran.

Sumber: Rama Maulana
Sumber: Rama Maulana

Pembalap digital paling populer itu pun bercerita tentang beberapa hal yang menarik dari turnamen kali ini. “Dari babak penyisihan pun sudah terlihat betapa sengitnya turnamen kali ini karena posisi 1 sampai posisi 20 hanya terpaut waktu kurang dari 1,5 detik.” Hal ini berarti semua pembalap di sini punya level skill yang setara.

Pihak penyelenggara pun mencoba memberi bumbu tersendiri untuk turnamen ini. Muasalnya, saat di babak kualifikasi, mobil yang digunakan adalah Toyota GT86. Sedangkan di babak final, panitianya mengganti mobil yang digunakan menjadi Ginetta G55 GT4. “Silakan di-google sendiri mobilnya.” Ujar Rama bercanda. Satu hal yang pasti, mobil tersebut jauh lebih kencang dari mobil yang sebelumnya digunakan. Hal ini diputuskan untuk menyuguhkan tontonan yang lebih seru buat penonton dan tantangan yang lebih tinggi buat peserta.

Oh iya, buat yang belum tahu, sebelum para peserta adu balap bersama; setiap peserta mendapatkan kesempatan untuk berlatih selama 15 menit dan Qualifying untuk menentukan posisi Start.

Pradana Yogatama. Dokumentasi: GT-Sim.ID
Pradana Yogatama. Dokumentasi: GT-Sim.ID

Tujuan panitia perlombaan untuk membuat balapan semakin seru tadi pun terwujud. Rama bercerita bahwa para penonton pun berteriak-teriak saat pertandingan finalnya karena persaingan ketat dan keras pun terjadi. Selisih waktu antara pole position (posisi pertama) dan posisi kedua pun hanya 0,008 detik. “Pokoknya balapannya gak ada bosennya sama sekali deh, banyak banget aksinya.” Tukas Rama.

Dari final tadi pun, ada juga ‘drama’ yang terjadi. Pasalnya, pembalap yang finis di posisi pertama sebenarnya adalah Ferris Stanley. Namun berhubung ia mengakibatkan kecelakaan yang fatal dan merugikan lebih dari 2 pembalap lainnya, ia pun kena penalti sebesar 10 detik yang mengakibatkannya turun 2 posisi. Keputusan ini diambil karena menggunakan peraturan resmi FIA dan IMI.

Ferris Stanley. Dokumentasi: GT-Sim.ID
Ferris Stanley. Dokumentasi: GT-Sim.ID

So even it’s a ‘game’, we do it like real-life race!” Ujar Rama.

Berhubung kompetisi ini bertajuk Road to Kejurnas, jadi apa yang akan selanjutnya dilakukan setelah turnamen ini?

Rama pun menjelaskan, “kira-kira nanti kejurnas digital motorsport tuh scene-nya kayak gini.” Namun Rama pun menjelaskan bahwa saat ini mereka sedang menggodok lagi aturan main dan regulasinya agar lebih rapih. Ia pun mengatakan bahwa turnamen-turnamen seperti ini akan dibuat lebih rutin lagi, meski kemungkinan besar online untuk awal-awalnya. “Mungkin nanti para juara di liga online itu akan kita undang untuk event offline.” Tutup Rama penuh harapan.

Sumber: Rama Maulana
Sumber: Rama Maulana

Rizky Faidan Juara APL Season 1 Playoffs di Malaysia

Meski termasuk salah satu genre esports yang kurang populer di Indonesia, prestasi para pemain Pro Evolution Soccer 2019 tanah air ternyata malah kian bersinar di tingkat Asia Tenggara.

Setelah sebelumnya menjadi juara di Thailand di gelaran SEA Finals 2019 dan membawa pulang uang hadiah sebesar 50.000 Baht Thailand atau sekitar Rp22 juta, Rizky Faidan kembali menjadi juara PES 2019 tingkat SEA di Malaysia.

Di gelaran Axis Pro Evolution Soccer League (APL) Season 1 ini, Rizky menjadi juara setelah menaklukkan pemain asal Vietnam, Quan Bi. Menurut Valentinus SanusiFounder Liga1PES, di pertandingan tersebut Rizky memang lebih diunggulkan karena keduanya pernah bertemu tahun 2016 dan Rizky menang telak juga.

Lalu bagaimana sebenarnya peta kekuatan para pemain kita di dunia bola PES 2019 tingkat Asia Tenggara, apalagi mengingat Indonesia nanti akan mengirimkan 7 pemainnya di Asia Finals PES League 2019? Valentinus, yang merupakan dedengkot komunitas PES Indonesia ini, mengatakan bahwa Indonesia terhitung ditakuti di Asia Tenggara. Di turnamen ini saja, ada 4 pemain Indonesia yang masuk ke 8 besar (sisanya dari Malaysia dan Vietnam).

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Menurut cerita Valentinus, selain Rizky yang cemerlang prestasinya akhir-akhir ini, 3 nama pemain lainnya juga bukan para pemain baru yang tampil di tingkat internasional. Ketiga pemain tersebut adalah Noydhiet yang merupakan juara 1 IGotGame SuperSoccer, Widi yang merupakan wakil Indonesia di Asian Games 2018, dan Sakti yang sempat jadi juara 1 di sebuah kompetisi di Thailand tahun 2018.

“Semoga makin banyak pemain PES yang bisa mengukir prestasi & mengharumkan nama Indonesia di level internasional.” Tutup Valentinus mengakhiri perbincangan kami.

Sumber: Valentinus Sanusi
Noydhiet (kanan) saat jadi juara IGotGames. Sumber: Valentinus Sanusi

Turnamen APL besutan Axis Esports ini sendiri termasuk dalam rangkaian Axis Esports League 2019 untuk sejumlah game yang berbeda mulai dari AoV, Call of Duty, Pro Evolution Soccer, PUBG Mobile, dan Mobile Legends (MLBB) dengan total hadiah sebesar RM235 ribu (Ringgit Malaysia) atau setara dengan Rp819 juta.

Untuk APL-nya, turnamen ini akan dibagi menjadi 3 musim (Maret, Juni, dan September) untuk memilih 24 pemain terbaik (8 pemain setiap musimnya) yang akan melaju ke Grand Final. Selain itu, kualifikasi terakhir (Wildcard) akan digelar untuk mendapatkan 8 pemain lagi; jadi akan ada total 32 pemain yang akan berlaga di Grand Final APL.

Sumber: AxisEsports.gg
Sumber: AxisEsports

AMD Gelar Kompetisi Sim Racing, Kenapa?

Dalam rangkaian Racing Simulator Festival, AMD turut menggelar acara GAMERS GATHERING WITH ZEN POWERED PC pada tanggal 24 Maret 2019 di Mangga Dua Mall. Selain memamerkan dan mengijinkan para pengguna untuk mencoba berbagai komponen AMD terbaru, mereka juga menggelar sebuah kompetisi yang sedikit berbeda dengan kebanyakan sponsor lain di ekosistem esports Indonesia.

Pasalnya, AMD menggelar turnamen untuk game simulasi balap, Assetto Corsa. Acara yang kali ini juga didukung oleh ASUS ROG, ASRock, AORUS, dan MSI Gaming adalah kali kedua AMD menggelar turnamen untuk esports yang kurang populer. Sebelumnya, AMD juga menggelar kompetisi untuk Fighting Games Community (FGC) yang bertajuk AMD eSports FIGHT! Championship 2018.

AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Dokumentasi: AMD

Genre Fighting dan Sim Racing, seperti yang saya tuliskan tadi, memang mungkin bukan jadi yang paling populer di Indonesia sekarang. Di platform PC, predikat genre esports terlaris masih dipegang oleh Dota 2 (MOBA). Itu pun juga sekarang masih kalah jauh popularitasnya dengan platform mobile dengan Mobile Legends (MOBA), PUBG Mobile (Battle Royale), dan Free Fire (Battle Royale) nya.

Lalu, kenapa AMD justru mau memberikan ruang kompetitif kepada genre yang kurang populer alias kaum-kaum yang termarginalkan? Hahaha… Apa tujuannya? Bagaimana juga AMD melihat esports sim racing di Indonesia? Kami pun mengajak berbincang Anes Budiman, Channel Manager untuk AMD Indonesia soal ini.

Anes Budiman (kiri) bersama Indra Feryanto (kanan)
Anes Budiman (kiri) bersama Indra Feryanto (kanan). Sumber: AMD

Kenapa sih AMD justru memilih genre esports yang bukan paling laris? Kemarin ada FGC, sekarang Sim Racing.

“Karena untuk eksplor genre esports yang sebenarnya ada dan hidup di Indonesia. Judul game yang dipertandingkan yang itu-itu terus sebenarnya baik juga karena semakin sering latihan/bertanding maka akan semakin baik juga hasilnya. Akan tetapi genre esports di seluruh dunia itu banyak dan beragam, berbanding lurus juga dengan jumlah penduduk di Indonesia yang juga banyak. Maka dari AMD selalu coba mengeksplor genre-genre yang kelihatannya kurang populer itu tadi padahal berprestasi, melalui kampanye global kami yakni AMD eSports.” Jawab Anes yakin.

Bagaimana AMD melihat esports sim racing di Indonesia?

Anes pun menjawab, “masa depannya cerah karena sudah bernaung langsung di bawah IMI (Ikatan Motor Indonesia); yang artinya racing simulator (atau eMotorsports menurut mereka) sudah diakui dan patut diapresiasi karena ada asosiasi langsung yang nantinya akan menjadi ‘gerbang’ ke arah yang lebih baik harapan ke depannya. Ditambah juga kita sudah punya atlet yang prestasinya sama sekali tidak bisa dianggap remeh, Andika Rama Maulana yang juga sebagai AMD Team Red (program AMD eSports di Indonesia) bersama dengan tim Alter Ego sejak tahun lalu.”

Jangan salah fokus dengan yang presentasi ya... Dokumentasi: AMD
Jangan salah fokus dengan yang presentasi ya… Dokumentasi: AMD

Ia pun menambahkan bahwa sim racing juga bisa digunakan sebagai sarana yang positif untuk mengenalkan anak muda ke dunia otomotif. Muasalnya, menurut Anes, sim racing sendiri juga sudah 100% berkaitan dengan dunia balap internasional. Hal ini senada dengan yang diucapkan oleh Indra FeryantoKetua Komisi eMotorsport dari IMI yang sebelumnya kami wawancarai.

“Siapa yang tahu kalau kita memiliki bibit lain yang bisa menjadi ‘the next’ Rifat Sungkar di reli ataupun Rio Haryanto yang berhasil menembus F1.” Sambungnya.

Lalu sebenarnya apa tujuan AMD membuat kompetisi spesifik untuk sim racing?

Dokumentasi: AMD
Dokumentasi: AMD

“Tujuan utamanya balik lagi seperti poin pertama: untuk mengeksplor genre esports yang sebenarnya hidup di Indonesia. Dan harapannya akan muncul gamer/atlet baru yang bisa bersandingan dengan Rama mengharumkan nama Indonesia di luar sana. Yang terakhir juga untuk mengenalkan teknologi dan produk AMD seperti CPU Ryzen dan GPU Radeon RX yang krusial bagi para antusias maupun atlet yang berkecimpung di Sim Racing PC. Karena secara platform, PC menawarkan fleksibilitas lebih jauh untuk mendalami Sim Racing itu sendiri.” Tutup Anes.

Strategi yang digunakan AMD ini memang sebenarnya sangat menarik karena memang berbeda dari kebanyakan sponsor esports yang lebih memilih mencari pusat keramaian. Namun, menurut saya pribadi, strategi ini juga sangat masuk akal.

Kenapa? Karena event esports sekarang sudah banyak jumlahnya. Tak jarang, event-event tersebut juga bertabrakan jadwalnya karena begitu banyak. Dengan begitu banyaknya event, bahkan juara turnamen-turnamen tadi saja sudah tak mudah diingat dalam waktu 3 bulan kemudian. Jika juaranya saja mudah terlupakan, apalagi sponsornya?

Dokumentasi: AMD
Dokumentasi: AMD

Mengeluarkan biaya untuk jadi sponsor event esports sendiri juga tidak murah. Tentunya, biaya tersebut jadi tidak sebanding dengan impact yang didapat jika 3 bulan berikutnya sudah terlupakan. Dengan memilih genre-genre yang tak disentuh oleh sponsor lain, AMD jadi lebih mudah diingat sebagai sponsor event untuk waktu yang lebih lama. Plus, dari pengalaman saya berkecimpung di industri ini selama 10 tahun, komunitas-komunitas kecil yang biasanya terpinggirkan akan lebih loyal terhadap mereka-mereka yang mau memberikan dukungan; ketimbang komunitas yang jumlahnya lebih masif.

Akhirnya, bagaimana kelanjutan AMD mendukung perkembangan ekosistem esports tanah air di 2019 ini ya? Kira-kira kapan lagi mereka akan menggelar turnamen untuk FGC ataupun sim racing? Atau apakah mereka akan memberikan dukungan ke game-game lainnya lagi yang kurang populer?

Racing Simulator Festival: Hajatan Bersama Berbagai Elemen Esports Balap

Di tengah berbagai kemelut di ekosistem esports Indonesia, angin segar nan positif datang dari Ikatan Motor Indonesia (IMI). Pasalnya, asosiasi yang menaungi segala jenis kompetisi balap otomotif di Indonesia tersebut menyambut baik umpan lambung berbagai elemen ekosistem simulasi balap; menggelar Racing Simulator Festival.

Kompetisinya yang bertajuk Road to Kejurnas E-Motorsport tersebut digelar dari tanggal 22-30 Maret 2019 di Mangga Dua Mall, Jakarta. Menurut cerita dari Rama Maulana, Co-Owner dari GT-Sim.ID dan pembalap digital paling berprestasi dari Indonesia, acara Racing Simulator Festival ini merupakan hajatan bersama antara Techno Solution (distributor resmi Thrustmaster), GT-Sim.ID (sebagai organizer balap), Alien Needs, Harris Muhammad Engineering, Komunitas Sim Racing Indonesia, dan IMI. “Jadi bisa dibilang ini inisiatif kita bersama.” Jelas Rama.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Lebih lanjut, Rama pun bercerita bahwa tujuan dari acara ini adalah ingin mengenalkan lebih lanjut tentang eMotorsport ke masyarakat luas dan juga kalangan gamers / IT pada umumnya. Pengenalan ini meliputi game dan kompetisinya, serta promosi perangkat pendukung sim racing, baik yang lokal (GT-Sim.ID, Alien Needs, dan HMEngineering) ataupun internasional (Thrustmaster). “Untuk memberitahukan ke pasar juga kalau main eMotorsports itu tidak harus mahal. Ada juga lineup (produk) kere-hore nya.” Ujar pembalap digital yang telah mengantongi belasan piala berkelas internasional ini.

Untuk game yang diperlombakan kali ini, Assetto Corsa yang dipilih. Namun, rencananya, menurut cerita Rama, rFactor 2 yang nantinya akan digunakan karena lebih lengkap konfigurasinya, baik soal aspek kompetitif ataupun in-game.   

Selain dengan Rama, kami pun berbincang sejenak dengan Indra Feryanto, Ketua Komisi eMotorsport dari IMI. Menurut Indra, IMI tertarik ikut terjun karena melihat perkembangan game simulasi balap selama 4-5 tahun terakhir. “Banyak atlit balap kita yang jadi wakil Indonesia ke luar negeri tanpa dinaungi negara. Hal ini akan jadi lebih bagus perkembangannya jika diakomodir dengan benar.” Ujar Indra.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Menurutnya, Komisi eMotorsport ini ingin membuatkan jalur (karier), payung hukum, dan regulasi yang baik untuk para pembalap digital. Ia pun menambahkan bahwa di dunia pun sebenarnya para pembalap otomotif juga sudah menggunakan simulator, hanya saja memang kurang terdengar beritanya. Salah satu brand otomotif yang juga sudah cukup aktif soal esports balap adalah McLaren, dengan McLaren Shadow Project nya.

Menurut Indra, Indonesia sendiri juga sebenarnya cukup leading di arena balap Asia Tenggara. Karenanya, hasilnya akan lebih bagus jika ada regulasi dan terarah. “Kita ingin perjalanan karier Rama (Maulana) juga bisa ditiru oleh pembalap-pembalap Indonesia lainnya. Namun kita juga ingin agar jejak langkah tadi bisa lebih smooth karena ada bantuan.”

Rencana Komisi eMotorsport sendiri nanti akan cukup komprehensif, meliputi turnamen (seperti Kejurnas), pameran, festival, ataupun seeding pembalap digital di Indonesia. Indra juga menambahkan bahwa pemain simulasi balap di Indonesia sendiri sebenarnya jumlahnya cukup banyak namun terpecah-pecah. Karena itulah, ia ingin mengajak semuanya untuk berkompetisi bersama-sama. Dari yang ia ketahui, ada sekitar 2000an pembalap digital yang ada di Indonesia.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Berhubung nama Rama disebut-sebut, kami pun kembali memintakan pendapat darinya. “Siapa sih yang ga pengen dari pembalap virtual jadi pembalap beneran? Kalau harapan ini bisa terwujud, sangat alhamdulillah. Tapi menurutku sendiri, selain berkiblat jadi pembalap beneran, gua juga ingin memopulerkan konsep balapan itu tidak harus mahal lagi sekarang. Kompetisinya dapet, fun-nya dapet, komunitasnya dapet, fairplay nya juga dapet. This eMotorsport thing is alternate version of real life motorsport.” Tutup Rama penuh harapan.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah untuk Esports Indonesia?

Tanggal 28 Januari 2019 yang lalu, berbagai instansi pemerintah bekerja sama mengumumkan Piala Presiden Esports 2019. Ada beberapa instansi yang bergandengan tangan menggelar turnamen ini, seperti Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Kementrian Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA), Kantor Staf Presiden (KSP), dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO). Sejumlah instansi tadi mengajak IESPL dan RevivalTV untuk menjalankan turnamen ini.

Tak sedikit yang memuji langkah pemerintah tadi karena menunjukkan dukungan mereka terhadap komunitas dan industri esports Indonesia. Namun demikian, jika kita ingin melihatnya lebih kritis, benarkah turnamen-turnamen seperti itu yang kita butuhkan dari pemerintah?

Piala Presiden 2019 - Juara Regional Surabaya
REVO Esports, juara regional Surabaya | Sumber: Dokumentasi Piala Presiden 2019

Bagi saya pribadi, negara seharusnya mengurusi hal-hal makro seperti infrastruktur digital, kebijakan perdagangan ISP, perpajakan, landasan hukum, ataupun yang lainnya yang menguntungkan semua pihak di ekosistem esports kita. Bukannya menggelar turnamen yang bersifat mikro. Apalagi, sudah banyak event organizer di Indonesia yang memang fokus menggarap esports. Kecuali memang belum ada EO esports sama sekali di Indonesia, mungkin langkah tadi benar-benar bisa diacungi jempol.

Saat pemerintah menggelar event yang sudah biasa jadi proyek swasta, mereka justru menjadi kompetitor dari EO yang tak ditunjuk. Contoh argumentasi ini sangat mudah karena memang kebetulan acara Grand Final Piala Presiden Esports 2019 (30-31 Maret 2019) bertabrakan tanggalnya dengan Grand Final ESL Indonesia Championship dan ESL Clash of Nations.

Aneh tidak sih? Ini saya bertanya ya…

Lalu, apa yang seharusnya pemerintah lakukan untuk esports Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tadi, saya pun mengumpulkan beberapa pendapat dari berbagai pemangku kepentingan di esports Indonesia.

Gisma Priayudha Assyidiq A.K.A Melondoto

Sumber: Melondoto via Instagram
Sumber: Melondoto via Instagram

“Pemerintah bisa men-support dengan cara mengapresiasi apa yang dilakukan oleh para atlet esports, mulai dari kompetisi lokal maupun internasional. Tidak perlu menambah hadiah atau iming-iming A, B, C, D. Biarkan esports berjalan dengan ekosistem yang sekarang sudah sangat baik.” Kata Gisma yang mengawali perjuangannya di esports Indonesia sebagai shoutcaster Dota 2.

“Diundang dong ke Istana Negara, contoh misal BOOM ID. Meski belum meraih kesuksesan di ajang dunia, tapi apresiasi kecil dari pemerintah akan saat berarti. Apresiasi ini tak hanya cuma buat BOOM ID, tapi buat semua pelaku esports.” Lanjutnya.

Menurut Melon, ia juga berharap pemerintah bisa memberikan asosiasi yang benar-benar netral ataupun merumuskan landasan hukum dan perpajakan soal esports. Selain itu, menurut Project Director JD High School League dan Chief Creative Officer untuk MoobaTV Indonesia ini, pemerintah juga bisa membantu mengenalkan esports dan dunia gaming ke arah yang baik. Sebagai pekerjaan atau profesi, misalnya. Pasalnya, hal tersebut dapat menghilangkan keresahan orang tua.

Satu hal yang ia percayai adalah segala sesuatu yang diatur dengan baik, hasilnya pun baik.

“Tolong GBK digratisin untuk event Mobile Legends. Wkwkwkwkw.” Tutupnya sembari bercanda.

Andrian Pauline (AP), CEO Rex Regum Qeon

Sumber: Andrian Pauline via Instagram
Sumber: Andrian Pauline via Instagram

Buat yang mengikuti perkembangan industri dan ekosistem esports Indonesia, Anda seharusnya tahu AP (panggilan akrabnya) dan Rex Regum Qeon (RRQ). Buat yang belum terlalu familiar, Anda bisa membaca obrolan kami dengan AP tentang RRQ beberapa waktu yang lalu.

Ia pun mengatakan, “menurut saya, (pemerintah bisa) membuat sebuat roadmap yang jelas untuk esports, mengaktifkan asosiasi, dan membantu atau memfasilitasi player, komunitas, EO, dan semua stakeholder di esports; khususnya di daerah. Karena mereka butuh peran serta pemerintah.”

Lebih lanjut, CEO dari organisasi esports besar yang merupakan bagian dari MidPlaza Holding ini menjelaskan beberapa contoh konkret tentang apa yang ia maksud di kalimat sebelumnya.

Pertama, ia berharap akan adanya jadwal event yang jelas (khususnya untuk event-event besar atau premium) agar tidak lagi bertabrakan tanggalnya. Selain itu, agar komunitas esports sehatdibutuhkan sebuah wadah yang dapat merangkul semua pelaku esports, seperti EO, developer, dan brand, untuk bisa duduk bersama. Event-event di daerah yang skalanya kecil dan menengah juga bisa jadi garapan pemerintah.

Terakhir, ia juga berargumen bahwa ada sebuah kebutuhan atas pelatihan dan pembinaan sehingga kita bisa mencetak para pemain yang bagus dengan perencanaan yang matang.

Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing Mineski Event Team

Reza Afrian Ramadhan. Dokumentasi: Yota Reiji
Reza Afrian Ramadhan. Dokumentasi: Yota Reiji

“Banyak sih… Tapi off-the-record ya hahaha…” Kata Reza sembari bercanda, mengawali perbincangan kami soal ini.

Lebih serius, Reza pun menjawab, “supporting grassroot events. Regenerasi kurang banget. Esports harusnya udah bisa jadi ekstra kulikuler karena udah seperti olahraga beneran yang butuh effort dan latihan.”

Selain itu, Reza juga menambahkan soal kebutuhan infrastruktur internet yang lebih baik. Pasalnya, ia bercerita jika salah satu momok untuk event berskala besar juga ada di internet. “Salah satu hambatan kita sebagai EO juga di internet. Even di kota besar masih aja ada gak stabilnya.” Ujar Reza yang bahkan sudah malang melintang bekerja untuk brand-brand internasional sekalipun.

Ditambah lagi, menurutnya, akses internet di Indonesia yang belum merata menyulitkan talenta-talenta dari kota kecil jadi lebih sulit terlihat. “Terus, dukungan konkret pemerintah untuk para pemain yang bertanding di tingkat international juga belum ada. Padahal mereka bela Indonesia.” Tutupnya.

Yohannes P. Siagian, Kepala Sekolah SMA 1 PSKD & Vice President EVOS Esports

“Kalau seperti itu pertanyaannya, sedikit susah jawabnya. Kalau apa yang SEHARUSNYA mereka lakukan adalah memberikan esports ruang untk berkembang secara alami dan tidak perlu masuk terlalu dalam operasional esports sehari-hari. Seperti anak remaja yang sedang berkembang, esports membutuhkan fasilitas dan support tanpa intervensi yang berlebihan.” Ujar Kepala Sekolah pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, Perancis ini.

Menurutnya, campur tangan pemerintah yang berlebihan justru akan menghambat perkembangan esports.  Meski memang, bukan berarti pemerintah tidak dibutuhkan. Namun bentuk peran tersebut yang perlu dipertimbangkan.

Yohannes pun menjelaskan, “yang paling diperlukan adalah support pembangunan infratrustruktur dan regulasi yang mendukung esports berkembang. Misalnya pengembangan jaringan internet di Indonesia dan pengakuan esports sebagai bidang usaha/kerja yang sah.”

Contoh regulasi yang ia maksud di atas salah satunya adalah soal mempermudah proses pembuatan visa kerja bagi pemain, pelatih, ataupun pekerja asing di esports. Kalau proses ini bisa dipermudah, hal ini dapat menjadi penunjang positif untuk esports Indonesia karena ada pertukaran informasi dan pengetahuan yang sangat bermanfaat.

“Kalau Indonesia pintar mengelola perkembangan esports, maka ia akan menjadi suatu sektor yang sangat menguntungkan bagi Indonesia; tapi harus diberikan kesempatan untuk berkembang secara alami.” Ungkap Yohannes menutup perbincangan kami.

Sumber: ESL
IEM Chicago 2018. Sumber: ESL

Akhirnya, jika boleh saya menyimpulkan pendapat-pendapat narasumber kita kali ini, pemerintah sebenarnya/seharusnya bisa melakukan hal-hal yang tak dapat dijangkau atau sulit dilakukan oleh pelaku industri swasta.

Infrastruktur digital dan aspek pendidikan misalnya. Kedua hal tadi jelas tak mudah dilakukan oleh pelaku industri, tanpa campur tangan pemerintah. Perihal regenerasi dan meratakan tren esports untuk seluruh kalangan dan daerah di Indonesia juga bisa dilakukan, mengingat pelaku industri swasta mungkin akan kesulitan mencari modal ataupun sponsor untuk 2 kebutuhan ini.

Tidak lupa juga, berhubung esports sekarang sudah jadi industri dengan nilai yang cukup besar, dibutuhkan juga sebuah wadah yang mau dan mampu bersikap netral serta aktif mengakomodasi berbagai kepentingan; atau setidaknya menjadi fasilitator agar berbagai pelaku industrinya dapat duduk bersama mencari jalan tengah jika terjadi konflik kepentingan… Bukannya menjadi kompetitor ataupun malah jadi bagian dari konflik kepentingannya.

Apakah Anda setuju dengan pendapat kami dan para narasumber kita kali ini? Akankah harapan-harapan itu tadi hanya akan sekadar jadi teriakan-teriakan di ruang hampa? Entahlah…

Kenny Prasetyo Siap Kembali Berlaga di London untuk FUT Champions Cup April 2019

Kabar baik yang mengejutkan datang dari esports FIFA 19 dan tim SFI Esports. Pasalnya, Kenny “Rainesual” Prasetyo akan kembali berlaga di London, untuk FUT Champions Cup April 2019.

Sebelumnya, Kenny mendapatkan undangan untuk berlaga di FUT Champions Cup December 2018 yang juga di London. Sayangnya, kala itu, Kenny tak lolos babak Grup karena hanya mampu mengantongi 2x kemenangan. Bagaimanakah ceritanya ia bisa kembali lolos ke London dan persiapannya kali ini?

Untuk itulah, kami langsung menghubungi Kenny untuk berbincang-bincang soal ini.

Bagaimana ceritanya bisa lolos ke London kali ini? Apakah benar Kenny lolos gara-gara ada yang kena diskualifikasi?


“Jadi, sekitar 1 bulan yang lalu itu diadain kualifikasi online buat nentuin 1 orang yang berhak lolos ke FUT Champions Cup #6 di London ini… Nah, kebetulan aku itu kalah dengan si juaranya di semifinal dan beberapa minggu lalu juaranya ini dinyatakan melanggar aturan EA dan di-ban dari kompetisi. Lalu secara tiba-tiba aja kemaren malem (20 Maret 2019), aku dapet email dari orang Gfinity yang mengurus event di London dan menyatakan kalo aku qualified ke event di London ini.” Cerita pemain yang modal tim FUT nya mencapai Rp35 juta.

Sebelumnya kan pernah ke London juga nih tapi kurang maksimal, kira-kira sekarang apa yang bisa dipersiapkan supaya hasilnya lebih baik?

“Yang pasti latihan lagi karena sekarang META gameplay-nya beda banget dari yang waktu itu aku ke London. Waktu ke London kemaren sepertinya persiapan aku masih belum mateng banget. Kalo sekarang pastinya bakal latihan setiap hari sampe ke hari H biar bisa maksimal dan tetap berdoa agar hasilnya lebih mantap. ”

Target minimal yang harus dicapai supaya bisa lolos ke Global Series Playoff itu harus sampai mana?

Sumber: EA
Sumber: EA

Kenny pun menjelaskan bahwa FIFA Global Series, rangkaian esports FIFA 19 tingkat dunia dalam satu musim, itu menggunakan sistem ranking (yang bisa dilihat di fifa.gg). Nah setiap partisipasi peserta di event resmi EA akan mendapatkan poin, tergantung dari pencapaiannya. Dari situ, para pemain yang masuk ranking 60 besar global akan mendapatkan undangan untuk berlaga di Global Series Playoff.

Kenny sendiri mengatakan bahwa ia harus lolos grup di FUT Champions Cup #6 nanti agar bisa mengamankan ranking 60 besar. Saat ini, ia berada di peringkat 86. “Kalo lolos Group Stage dapat 275 poin paling minimal. Jadi bisa naik sekitar 20 peringkat kalau lolos.”

Namun demikian, ia juga tahu bahwa perjalanannya tidak mudah. Menurut ceritanya, dari FUT 1-5, belum ada wakil Asia yang lolos dari babak Group.

Andaikan ia tidak lolos kali ini, menurut dia, masih ada kesempatan dari beberapa turnamen berikutnya seperti event License Qualifier. Jika FUT Champions Cup ini diibaratkan Major di Dota 2, License Qualifier bisa dibilang setingkat Minor. Selain itu, masih ada lagi kualifikasi Asia Tenggara untuk event Virtual Bundesliga (VBL) yang akan digelar tanggal 31 Maret 2019 di Malaysia. Namun Kenny sendiri mengaku tidak mengetahui apakah event VBL tadi akan mendapatkan poin untuk ranking.

FIFA 19
Sumber: EA

Akhirnya, kita doakan saja ya semoga Kenny bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dari petualangannya di London bulan Desember kemarin. Semoga ada kejutan istimewa lagi dari pemain SFI yang satu ini, seperti lolos ke Global Series Playoffs.

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Komunitas FIFA 19 Indonesia

Perjuangan Perempuan di Industri Esports: Eksplorasi Tubuh Sebagai Daya Tarik Utama Selebriti Gaming Perempuan [Bagian 1]

Meski perjalanan para perempuan melawan budaya patriakal sudah cukup panjang, faktanya, masih banyak industri yang menomorduakan kaum hawa. Industri kreatif adalah salah satu ranah yang biasanya masih didominasi oleh kaum pria.

Tak hanya di Indonesia, industri kreatif di negara-negara barat yang perjuangan feminismenya lebih agresif pun masih memarginalkan perempuan. Sampai dengan 2018, para aktris Hollywood mendapatkan bayaran yang lebih rendah ketimbang aktornya. Di industri komedi juga demikian. Komedian pria dianggap lebih lucu dibanding yang perempuan di Amerika sana. Industri esports internasional ataupun lokal juga tak berbeda jauh dari industri tadi.

Berbicara mengenai perjuangan perempuan di industri yang seringkali dibalut dengan maskulinitas ini memang panjang dan kompleks. Karena itulah, kami ingin membagi pembahasannya menjadi beberapa bagian. Untuk bagian pertama ini, kami pun memilih untuk membahas topik yang mungkin paling kontroversial; yakni soal menjadikan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama.

Untuk mendapatkan perspektif lebih soal hal ini, kami pun menghubungi Nicole Constance yang merupakan seorang Cluster Category Manager Gaming untuk Logitech. Buat yang tidak terlalu familiar dengan industri gaming ataupun teknologi, Logitech adalah salah satu brand tertua dan terbesar di kategori produk peripheral (mouse, keyboard, headset, dkk.) yang didirikan di Swiss tahun 1981.

Ditambah lagi, Nicole juga punya pengalaman unik yang mungkin tak dimiliki oleh kebanyakan perempuan yang bergelut di bisnis. Ia merupakan salah satu pendiri dan anggota pertama dari NXA Gaming. NXA Gaming adalah pionir dari tren gamer girl di Indonesia, dengan Nixia Monica sebagai ujung tombaknya. Karena itulah, Nicole pernah merasakan di dua posisi yang berbeda dan mungkin bertolak belakang.

Selain Nicole, kami juga menghubungi Wida Arfiana, yang merupakan General Manager dari Techpolitan. Techpolitan sendiri adalah sebuah pusat edukasi yang kental dengan ranah teknologi, termasuk game. Kawan kami yang satu ini juga sudah malang melintang di industri game dan teknologi sejak 2010. Ia pernah bekerja di salah satu distributor komponen PC terbesar di Indonesia, Nusantara Jaya Teknologi (NJT), dan juga pernah di ASUS Indonesia. Ia juga salah satu dari segelintir orang di industri ini yang benar-benar peduli dengan isu seputar perjuangan perempuan – setidaknya berjuang dengan caranya sendiri, menurut pengakuannya hahaha…

Eksplorasi Tubuh Sebagai Nilai Jual Utama, Salahkah?

Gamer girl atau tak jarang juga disebut influencer (meski tidak tepat juga istilah itu) adalah gadis-gadis muda yang biasanya hobi bermain game, memiliki banyak fans di media sosial, dan memanfaatkan akun mereka tersebut untuk mencari nafkah (biasanya sebagai marketing channel ataupun produksi konten).

Kontroversinya, sekarang ini, kebanyakan dari gamer girl tadi menggunakan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama mereka. Beberapa di antaranya bahkan sengaja memamerkan bagian tubuh tertentu untuk mendapatkan lebih banyak penonton.

Paham patriakal primitif menganggap perempuan memang hanya sebagai perhiasan, pajangan, penggembira atau apapun itu namanya. Stereotipe itu justru semakin diperkuat dengan perilaku eksplorasi tubuh itu tadi (istilah yang digunakan oleh Wida). Namun demikian, Wida juga menegaskan bahwa setiap perempuan punya kebebasan untuk mengekspresikan tubuhnya masing-masing. Bertindak represif dengan melarang keras hal-hal semacam itu akhirnya juga terjebak kepada perilaku partriakal yang inginnya mengatur semua hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan.

Lagi pula menurut Wida, berperan seperti seorang polisi moral juga tidak akan berdampak apapun. Pasalnya, industri game adalah industri yang mayoritas pasarnya anak laki-laki. Jadi, eksplorasi tubuh adalah salah satu strategi paling mudah yang bisa digunakan para gamer girl untuk mencuri perhatian. “Demand-nya ada dan pasarnya juga ada. Jadi, pasti ada yang lainnya lagi yang akan menggunakan strategi eksplorasi tubuh jika salah satu berhenti.” Ujar Wida.

gamer girl1

“Walau memang, ketentuan soal age restriction tetap harus dipatuhi karena ada kewajiban moral yang harus dilaksanakan.” Tambahnya.

Nicole juga sependapat soal ini. Ia memang menyayangkan hal tersebut namun Nicole merasa hal ini terjadi karena ada demand-nya juga. Ia juga percaya bahwa para gamer girl itu sebenarnya bisa memberikan konten yang lebih kreatif ataupun edukatif.

Wida pun menambahkan pendapat yang senada. Menurutnya, meski memang-memang sah-sah saja, eksplorasi tubuh tadi adalah level yang yang paling rendah dalam hal strategi konten. “Jadi pro player, misalnya, adalah level yang lebih tinggi.” Katanya. Karena, strategi eksplorasi tubuh tadi memang tidak dapat digunakan terus menerus.

Karena Paras dan Tubuh adalah Aset Terdepresiasi

Mungkin, banyak kaum muda yang tidak menyadari hal ini. Namun, faktanya, raga kita adalah aset yang mutlak menurun nilainya dari waktu ke waktu. Memang, kita bisa saja menggunakan berbagai cara dan peralatan untuk menjaga paras dan tubuh namun harga yang harus dibayarkan akan semakin besar dari waktu ke waktu.

Maksudnya seperti ini, mungkin penampilan kita memang akan berada di puncak nilainya saat kita berusia 20an. Ketika kita menginjak usia 30an, usaha ataupun modal yang dikeluarkan untuk menjaga penampilan tadi akan lebih besar lagi dari sebelumnya. Tuntutan ini akan semakin besar lagi ketika kita masuk ke usia 40an dan seterusnya.

Sumber: ArtStation
Sumber: ArtStation

Contohnya, di usia 20an, mungkin kita tidak butuh berolahraga agar tetap ramping. Namun, di usia 30an (apalagi di era teknologi yang semakin memanjakan manusia sekarang ini), pola makan yang sehat dan olahraga teratur dibutuhkan agar perut tidak buncit. Percayalah, hal ini berlaku baik untuk laki-laki ataupun perempuan (sembari melihat perut saya yang semakin ‘offside’).

Hal ini yang mungkin harus disadari oleh para gamer girl yang mengandalkan strategi eksplorasi tubuh. Sayangnya, tak sedikit (karena memang tidak semuanya), mereka-mereka yang berparas rupawan merasa tak butuh lagi skill atau nilai jual lain karena beranggapan modal tadi sudah cukup untuk menghantarkan mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan.

“Eksplorasi tubuh tadi memang level pertama tapi harus mau belajar ke level yang selanjutnya.” Ungkap Wida. Level yang lebih tinggi dari eksplorasi tubuh tadi, menurut Wida, adalah eksplorasi potensi. Lebih lanjut ia menjelaskan, eksplorasi tubuh tadi sebenarnya lebih ideal jika digunakan sebagai salah satu sarana untuk ke posisi yang lebih safe; yang tidak terlalu bergantung pada penampilan semata.

Salah satu solusi karier yang lebih aman untuk jangka panjang tadi adalah dengan pindah ke belakang layar ataupun bergabung dengan korporasi raksasa macam Logitech, seperti yang dilakukan oleh Nicole.

Kenapa? Pertama, otak atau ketajaman berpikir (yang biasanya lebih diutamakan untuk orang-orang belakang layar) adalah aset kita yang lebih mudah meningkat nilainya seiring waktu – kebalikan dari penampilan kita. Kedua, korporasi besar memang punya rencana jangka panjang yang matang – atau setidaknya sudah ada; berbeda seperti kebanyakan selebriti media sosial.

Sumber: oliversalgames via Reddit
Sumber: oliversalgames via Reddit

Nicole pun sempat bercerita kepada kami kenapa ia dulu memilih untuk melepaskan statusnya sebagai selebriti gaming. Ia memang mengaku tertarik untuk mengembangkan industri game dan esports sejak dulu dan ia tak pernah berpikir bahwa menjadi selebriti gaming sebagai impian utamanya. Lagipula, ia beranggapan memajukan industri ini tak bisa dari satu sisi saja.

Menurut Nicole, mereka-mereka yang menggunakan strategi eksplorasi tubuh tadi sebenarnya masih punya peluang untuk bergabung ke korporasi nantinya. Asalkan, mereka punya skillset yang mendukung.

Meski demikian, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah kita, manusia, semua punya waktu yang sangat terbatas. Mengasah kemampuan itu juga butuh waktu. Menurut cerita Nicole, ia bergabung bersama Logitech setelah 7 tahun meninggalkan NXA. Inilah yang mungkin penting dicatat untuk mereka-mereka para selebriti media sosial.

Anggap saja seperti ini, popularitas sebagai selebriti tadi bisa jadi baru menurun setelah menginjak usia 30an. Namun, jika mereka baru belajar keahlian lain di usia tersebut, mereka baru akan menginjak level yang sama seperti Nicole sekarang di usia 37. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinan besar, perusahaan besar tidak akan akan memilih orang-orang minim pengalaman di usia yang nyaris 40 tahun.

Minimnya Ruang Eksplorasi Potensi untuk Perempuan Muda di Industri Game

Sumber: Medium
Sumber: Odyssey

Kenyataannya, jika kita ingin lebih fair, perjuangan para figur publik perempuan di industri game dan esports yang tidak mengandalkan eksplorasi tubuh memang jauh lebih berat. Sebagian besar pasar di industri game sendiri yang kebanyakan laki-laki memang seringnya menilai selebriti media sosial hanya dari tampilannya semata. Kami setuju dengan pendapat Wida di atas.

Mereka-mereka yang punya paras dan bodi menarik bisa mendapatkan popularitas dengan lebih cepat dan lebih mudah. Sebaliknya, mereka-mereka yang tak mau eksplorasi tubuh harus berjuang jauh lebih keras untuk bisa sampai ke tingkat popularitas yang sama. Hal inilah yang mungkin harus disadari dan diedukasikan kepada para laki-laki yang mendominasi pasar gaming.

Untuk itu, mungkin kita perlu melihat lebih jauh kenapa tren gaming girl meningkat pesat beberapa tahun terakhir. Kenapa eksplorasi tubuh dan paras bisa jadi jalan pintas mendapatkan popularitas? Karena, yang ditawarkan (baik disengaja ataupun tidak) oleh para selebriti media sosial tadi adalah sebuah ilusi atau impian atas pasangan idaman yang punya ketertarikan yang sama.

Sjokz, salah satu selebriti gaming yang tak hanya mengandalkan paras muka rupawan. Dokumentasi: Riot Games
Sjokz, salah satu selebriti gaming yang tak hanya mengandalkan paras muka rupawan. Dokumentasi: Riot Games

Maksudnya seperti ini, jika hanya berbicara soal paras, selebriti layar kaca ataupun layar lebar macam Raisa dan kawan-kawannya juga tidak kalah. Namun kebanyakan pengguna media sosial mungkin sadar bahwa mereka ada di tingkat awan-awan. Kecuali Anda juga seorang selebriti besar, pengusaha kaya raya, ataupun punya nilai jual yang sangat berharga dan langka, selebriti di kelas tadi kemungkinan besar tak mungkin Anda raih. Sedangkan selebriti kelas media sosial mungkin memang seolah lebih achievable.

Karena itulah, biasanya, para selebriti media sosial yang terang-terangan mengaku sudah memiliki pasangan akan menurun cepat popularitasnya; sebab hal tersebut menghancurkan ilusi para penggemarnya.

Jadi, buat para pengguna sosial media, khususnya laki-laki dan jomlo, percayalah para selebriti sosial media itu juga tidak mau sama Anda jika yang Anda lakukan hanyalah sharelike, retweet, swipe up, ataupun yang lainnya tanpa interaksi dan komunikasi yang lebih berarti. Tak ada salahnya juga untuk melihat dan menilai lebih jauh seorang selebriti gaming dari sekadar paras dan bodi, seperti kemampuan mereka bermain, kreatifitas konten, pengetahuan yang luas, ataupun yang lain-lainnya.

Karena, bagaimanapun juga, pasar juga turut menentukan kedewasaan konten seperti apakah yang menjadi tren baru di sebuah industri.

Piala Presiden Siap Gelar Grand Final dan Pembinaan untuk Para Pesertanya

Gelaran Piala Presiden Esports 2019 sudah hampir berakhir. Setelah menjalankan Kualifikasi Regional dan Kualifikasi Terbuka, kompetisi Mobile Legends: Bang Bang yang idenya diklaim dari Presiden Jokowi ini masih menyisakan satu babak kualifikasi lagi (Closed Qualifier) yang akan diselesaikan tanggal 15 (untuk Grup A) dan 22 Maret 2019 (untuk Grup B) di Studio Metro TV.

Di dalam Closed Qualifier tersebut ada 16 tim yang akan bertanding untuk memperebutkan 8 tiket ke babak utama, Grand Final, yang akan digelar tanggal 30-31 Maret 2019 di Istora Senayan, Jakarta.

16 tim yang bertanding untuk Closed Qualifier ini adalah 12 tim dari peserta IESPL yaitu:

  • Alter Ego
  • PSG.RRQ
  • Louvre Juggernaut
  • XCN
  • EVOS Esports
  • Team Capcorn
  • BOOM ID
  • The Prime
  • Bigetron Esports
  • PG.Barracx
  • TEAMnxl>
  • Recca Esports

Bersama dengan 4 tim yang lolos dari Open Qualifier sebagai berikut:

  • Aerowolf
  • ONIC Esports
  • Flash Wolves
  • SFI

16 tim di atas tadi dibagi menjadi 2 Grup (A dan B) dengan pembagian seperti berikut:

Grup A

Sumber: IESPL
Sumber: IESPL

GRUP B

Sumber: IESPL
Sumber: IESPL

8 tim yang lolos dari kualifikasi ini nantinya akan berhadapan dengan 8 tim dari Kualifikasi Regional yang sudah lebih dulu mengamankan kursi mereka di Grand Final. 8 tim yang lolos dari Kualifikasi Regional tersebut adalah sebagai berikut (beserta kota kualifikasinya):

  • ROC Esports (dari kualifikasi Denpasar)
  • REVO Esports (dari kualifikasi Surabaya)
  • Starlest (dari kualifikasi Makassar)
  • Star 8 (dari kualifikasi Manado)
  • Nazone Gaming (dari kualifikasi Solo)
  • Cupu (dari kualifikasi Pontianak)
  • Humble (dari kualifikasi Bekasi)
  • Professional Esports (dari kualifikasi Palembang)

Pada saat Grand Final nanti, uniknya, ada tiket masuk berbayar buat para penonton yang ingin menyaksikan langsung. Tiket hari pertama dibanderol dengan harga Rp20 ribu. Sedangkan hari kedua Rp30 ribu. Untuk mereka yang ingin membeli tiket 2 hari sekaligus, harganya jadi Rp40 ribu. Tiket ini bisa didapatkan di Tiket.com dan BliBli (sayangnya saya belum dapat menemukan tautan langsung ke tiketnya saat berita ini ditulis 13 Maret 2019 pukul 09:07).

Lebih jauh lagi, Piala Presiden Esports 2019 ini juga akan menjual berbagai merchandise seperti jerseyhoodie, ataupun yang lainnya. Merchandise ini nantinya akan dijual di Blibli.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Sebelum babak utama nanti, akan ada Bootcamp (alias pembinaan, bahasa kerennya) untuk para peserta yang lolos dari Kualifikasi Regional. Dalam rilis yang kami terima dari IESPL, Abraham Wirotomo, Tenaga Ahli Madya Kedeputian II Kantor Staf Presiden, mengatakan, “kami mendukung adanya Bootcamp untuk para atlet Piala Presiden 2019 karena kami memandang talenta saja tidak cukup untuk seseorang menjadi atlet yang berprestasi.”

Nantinya, akan ada beberapa topik pembinaan dalam Bootcamp ini seperti Pembinaan Ideologi Pancasila, Sportivitas dan Dedikasi Kepada Bangsa (oleh Tontowi Ahmad & Liliyana Natsir), Team Building dan Bisnis Esports, Personal Development, Public Speaking, dan Healthy Lifestyle.

4 Pandangan Negatif tentang Game yang Lemah Argumentasinya

Consistency is contrary to nature, contrary to life. The only completely consistent people are dead.” – Aldous Huxley

Kontradiksi dan paradoks mungkin adalah elemen yang membuat kita manusiawi. Kita memuja perubahan namun takut dengan hal-hal baru. Teknologi adalah ruang yang biasanya kental dengan kontradiksi itu tadi, termasuk game. Kita selalu ingin disebut logis dan punya akal budi. Namun tak jarang kita malas memelajari hal-hal asing dan memilih untuk menempelkan sejumlah stigma negatif ke sana.

Berbicara mengenai pandangan negatif tentang game, hal ini mungkin memang sudah jadi PR lama bagi para penggiat industri di sini untuk dipecahkan. Mirisnya, tak sedikit juga para gamer yang terbawa arus mainstream tentang stigma negatif tadi dan tidak menyadari realita bagaimana dunia selayaknya berputar.

Karena itu, ijinkan saya kali ini membawa sejumlah paradigma negatif tentang gamer tadi ke tingkat kesadaran; dari perspektif seorang gamer yang terobsesi dengan segala hal yang berbau filsafat.

1. Game Sebagai Candu Hidup

Sumber: Compound Interest
Sumber: Compound Interest

Kecanduan game kalau kata orang-orang di luar sana. Salah satu paradigma negatif paling populer adalah soal game yang bisa menjadi candu bagi kaum muda atau bahkan orang tua sekalipun.

Faktanya, segala hal yang mampu membuat tubuh kita memproduksi dopamin bisa jadi candu bagi hidup kita. Silakan baca artikel ilmiah (PDF) di tautan ini jika Anda ingin belajar lebih jauh tentang dopamin. Namun singkatnya, dopamin adalah hormon yang diproduksi tubuh kita saat kita bahagia atau bisa juga dihasilkan dari obat-obatan.

Bermain game hanyalah satu dari jutaan atau miliaran hal lainnya yang bisa memicu tubuh kita menghasilkan hormon tadi. Buktinya, banyak orang kecanduan media sosial, nonton serial TV (baik itu sinetron lokal, Korea, atau malah Game of Thrones), belanja, bekerja, dan yang lainnnya yang akan terlalu banyak disebutkan di sini semuanya.

Bahkan, ketika kita jatuh cinta, tubuh kita juga akan memproduksi dopamin. Makanya sekarang ada istilah bucin. Buat yang pernah jatuh cinta pasti tahu betul rasanya: tak ingin terpisahkan oleh jarak, ruang, dan waktu, lupa segala-galanya (kalau kata orang jaman generasi saya, serasa dunia milik berdua), ataupun rela menyeberangi lautan, memindahkan gunung, dan mengambilkan bulan untuk sang dambaan hati.

Tidak, saya memang tidak menyangkal bahwa game itu dapat mengakibatkan kecanduan. Namun, nyatanya, ada banyak hal lainnya yang bisa buat kita kecanduan. Apakah segala hal yang bisa membuat kita kecanduan harus dimusnahkan dari dunia ini? Termasuk pekerjaan (karena ada juga yang namanya workaholic) dan perihal asmara?

Naif saja rasanya jika semua hal yang bisa membuat orang bahagia itu harus dihilangkan sampai ke akar-akarnya… Saya pribadi lebih percaya bahwa membawa candu itu ke tingkat kesadaran dan berpikir bagaimana memanfaatkannya agar jadi bermakna justru jauh lebih realistis, jika tak mau disebut lebih bijak.

2. Game Berbahaya Bagi Kesehatan

Sumber: Pinterest
Sumber: Pinterest

Di sebuah artikel di Beritagar, ada sebuah cerita tentang orang tua yang menemukan anaknya kejang-kejang dan demam tinggi setelah anak tersebut bermain game di laptop. Anak tadi ternyata memang mengidap epilepsi. Apakah game-nya yang bersalah atas kejang-kejangnya anak tadi?

Coba kalau ceritanya seperti ini, ada anak-anak yang alergi dengan kacang dan ada juga yang alergi dengan kucing. Apakah semua kacang dan kucing itu yang bersalah jika ada anak-anak alergi yang bersentuhan dengan kedua barang itu?

Saya kira banyak orang tua lebih suka mencari kambing hitam lain atas tanggung jawabnya membesarkan buah hatinya. Tak hanya game sebenarnya, internet, musik (tahu soal pemblokiran Bruno Mars dan kawan-kawannya?), sekolah, bahkan presiden pun dibawa-bawa jadi kambing hitam atas ketidakmampuan (atau ketidakmauan) orang tua membagi waktu dan memberikan perhatian lebih ke anak-anaknya.

Saya juga sudah jadi orang tua selama 11 tahun (saat artikel ini ditulis) namun saya tidak akan menyalahkan objek atau orang lain jika anak saya nakal ataupun terjadi sesuatu padanya. Saya dan istri saya yang bertanggung jawab penuh atas apa yang dilakukan dan terjadi pada anak saya, setidaknya sampai dia berumur 18 tahun. Siapa bilang punya anak itu gampang? Eh punya anak memang gampang sih, yang susah adalah mendidik dan membesarkannya.

Credits: Pixar
Credits: Pixar

Ada lagi yang bilang game itu membuat orang jadi malas bergerak, terlalu lama di depan layar jadi buat sakit mata, dan lain sebagainya. Faktanya, manusia itu mungkin memang pemalas dan kemajuan teknologi berhasil mengakomodasi itu lebih jauh dari sebelumnya.

Bayangkan saja jaman sebelum ada mobil. Semua orang harus mau tidak mau berjalan atau mengeluarkan tenaga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Internet yang memudahkan kita berkomunikasi satu sama lain sehingga bisa pesan makanan ataupun barang-barang lainnya dari ranjang. Apakah teknologinya yang harus dihapuskan supaya kita harus langsing dan berotot lagi? Silakan saja coba sendiri untuk hidup tanpa teknologi modern…

3. Game Memicu Perilaku Kekerasan

Ini satu lagi paradigma negatif yang kerap dilemparkan oleh orang-orang yang takut dengan hal-hal baru. Saya masih ingat jaman saya kecil, orang-orang tua jaman dulu juga menganggap musik rock mengajarkan kekerasan.

Faktanya, tindakan kekerasan dan kriminalitas sudah ada sejak jaman dahulu kala bahkan sebelum manusia bisa mengolah listrik ataupun api. Apakah tindakan kekerasan dan kriminalitas meningkat dengan adanya game? Jika kita mau berpikir, permasalahan kriminalitas adalah masalah yang kompleks dan tak bisa dikaitkan hanya dengan satu faktor saja.

Lagipula, sempit sekali pikiran kita jika hanya karena ada segelintir orang yang mengaku bertindak kejahatan karena game, kita jadi melihatnya sebagai sebuah hubungan sebab akibat yang mutlak. Maksud saya seperti ini, faktanya, ada juga segelintir orang yang mengatasnamakan agama sebagai justifikasi mereka bertindak kekerasan. Apakah agamanya yang salah?

Kecuali untuk seorang psikopat ataupun sosiopat, saya kira semua orang tahu mana yang benar dan salah terlepas dia bermain game atau tidak. Jika sampai ada orang yang tidak sadar bahwa menyakiti orang lain itu salah, saya kira terlalu naif saja jika menganggap satu hobi sebagai kausal utamanya. Karena faktanya, ada miliaran hal di hidup yang menentukan bagaimana cara kita mengambil keputusan dan memperlakukan orang lain.

4. Game Tidak Berguna untuk Mencari Nafkah

Sumber: The Verge
Sumber: The Verge

“Mau makan apa kamu jadi gamer?” Mungkin itulah yang sering terlontar dari banyak orang yang berpandangan negatif tentang game. Untuk hal ini, sekali lagi, mungkin memang ada benarnya. Namun, untuk semua hal yang berhubungan dengan karir dan profesionalitas, kita juga tidak akan jadi siapa-siapa kalau kita tak belajar dan berusaha sekuat tenaga.

Misalnya, pekerjaan apa yang menurut Anda paling besar pendapatannya? Pengusaha? Pegawai bank? Progammer? Selebriti? Semuanya punya rumus yang tak jauh berbeda. Pengusaha yang bangkrut itu nyatanya lebih banyak daripada yang sukses. Pegawai bank dan programmer juga karir dan pendapatannya tak akan beranjak naik jika ia bermalas-malasan. Selebriti bahkan bisa hilang begitu saja karirnya dalam waktu singkat jika ia tak mampu menawarkan gaya yang khas.

Di game juga sama saja. Mereka-mereka yang berusaha sekuat tenaga juga bisa bertahan lama dan hidup berkecukupan atau malah berlebihan, tergantung bidangnya. Saya pribadi sudah hidup dan berkarir di industri game Indonesia (khususnya media) sejak 2009.

Industri, apapun itu, memang kejam. Mereka-mereka yang tak bisa belajar dengan cepat dan memberikan nilai unik sebagai seorang profesional, tak akan survive di mana pun mereka berada. Penyebabnya karena memang industri sendiri adalah sebuah kompetisi, saat kita bersaing dengan profesional-profesional lainnya di bidang yang sama.

Besarnya pendapatan industri game dunia. Sumber: Newzoo
Besarnya pendapatan industri game dunia di 2018. Sumber: Newzoo

Akhirnya, jika kita mau berpikir dewasa atau terbuka (terserah Anda mau pilih diksi yang mana), semua hal yang ada di dunia ini memang punya efek baik dan buruknya masing-masing. Menghilangkan semua hal yang punya pengaruh negatif berarti mengurung diri di kamar tanpa ada interaksi apapun dengan dunia luar. Karena bahkan sekolah (saat mendapatkan guru yang sekadar tak punya pilihan profesi lain), bekerja (ketika karir itu juga faktanya memabukkan), agama (jika dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi), ataupun yang lainnya bisa memberikan efek yang tak positif.

Demikian juga dengan teknologi, game, sosial media, dan segudang hal-hal baru lainnya. Saya lebih percaya dengan apa yang dikatakan oleh Socrates jika, “hidup yang tidak disadari, tidak layak dijalani.” Menyadari hal-hal negatif yang mungkin terjadi dari kegiatan bermain game, internet, ataupun yang lainnya memang wajib dilakukan. Namun bagaimana cara mengolahnya menjadi hal-hal positif adalah kunci perjalanan kita sebagai manusia berevolusi sebagai mahluk yang lebih komprehensif.