Tiongkok Prediksi Akan Hasilkan 2 Juta Talenta Esports di Tahun 2024

Tiongkok selama ini dikenal sebagai salah satu negara yang paling maju dan kompetitif di bidang esports. Selain memiliki sejumlah organisasi besar dan berprestasi global, serta perusahaan-perusahaan raksasa penerbit game yang mendunia, dukungan dari pemerintah juga jadi salah satu pendorong ekosistem esports negara tersebut. Contohnya dengan mengakui esports sebagai profesi resmi serta menciptakan berbagai regulasi yang bertujuan membuat iklim esports dan game di sana lebih baik.

Beberapa bulan lalu, salah satu media Tiongkok yaitu China Central Television (CCTV) melaporkan bahwa industri esports di sana diperkirakan akan menyerap tenaga kerja hingga 250.000 orang pada tahun 2020, dengan nilai output industri mencapai 21,1 miliar Yuan (sekitar Rp44,1 triliun). Kali ini Kementerian Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Sosial Tiongkok merilis laporan industri esports yang sedikit berbeda.

Dilansir dari The Esports Observer, laporan yang datanya disediakan oleh perusahaan bernama IRE Research itu menyebutkan bahwa industri esports Tiongkok telah menghasilkan total output senilai 94 miliar Yuan (sekitar Rp193,39 triliun) di tahun 2018. Angka ini diprediksi akan meningkat menjadi lebih dari 135 miliar Yuan (sekitar Rp277,74 triliun) pada tahun 2020.

Vici Gaming - Epicenter Major
Tiongkok adalah rumah sejumlah tim esports kuat, contohnya Vici Gaming | Sumber: Wykrhm Reddy

Selain itu, masih ada dua poin penting lainnya. Pertama adalah bahwa 86% pekerja Tiongkok di bidang yang berkaitan dengan esports ternyata memperoleh gaji 1 – 3 kali lebih tinggi dari upah rata-rata Tiongkok. Kedua, bahwa negara ini diproyeksikan menciptakan sekitar 2 juta talenta di bidang esports selama lima tahun ke depan.

Laporan ini membuat pandangan masyarakat Tiongkok terhadap esports semakin positif, bahkan dikatakan bahwa esports adalah kunci pengembangan berikutnya di negara tersebut. Namun perlu diperhatikan adanya ketimpangan yang besar antara data IRE Research dengan data yang sudah ada sebelumnya dari CCTV dalam hal prediksi output 2020. IRE Research memproyeksikan angka 135 miliar Yuan, sementara CCTV hanya 21,1 miliar Yuan.

Bila kita perhatikan perkiraan jumlah tenaga kerja pun, yaitu 250.000 jiwa di tahun 2020 (tahun depan) namun meningkat menjadi 2.000.000 pada tahun 2024 (lima tahun lagi), artinya terjadi peningkatan 800% dalam waktu 4 tahun saja. Padahal bila dibandingkan dengan industri olahraga, data Biro Statistik Tiongkok hanya menunjukkan peningkatan sekitar 15,7% dari tahun 2016 ke tahun 2017.

Proyeksi peningkatan yang sedemikian meroket tentu saja tidaklah mustahil. Akan tetapi bila kita lihat dari rekam jejak, ada perbedaan yang cukup besar antara 800% selama 4 tahun dengan 15,7% per tahun. Antusiasme masyarakat dan optimisme pemerintah terhadap perkembangan industri esports adalah hal yang kita sambut baik, namun seyogyanya para pelaku industri di Tiongkok harus hati-hati agar tidak mengambil keputusan gegabah setelah melihat proyeksi seperti ini.

Sumber: The Esports Observer, Invictus Gaming

Capcom Cup 2019 Akan Dihiasi Rivalitas Para Jawara Amerika dan Jepang

Perhelatan fighting game akbar CEO 2019 telah berakhir. Apa yang menanti ekosistem kompetitif Street Fighter berikutnya? Di bulan Agustus sudah jelas kita akan menyambut datangnya EVO, namun Capcom punya acara lain yang tak kalah meriah. Pada tanggal 13 – 15 Desember nanti kita akan kedatangan turnamen puncak Capcom Pro Tour 2019, yaitu Capcom Cup 2019, dengan lokasi pertarungan di Los Angeles.

Capcom Cup 2019 mempertandingkan 32 pemain Street Fighter terbaik dari seluruh dunia lewat berbagai jalur kualifikasi. Hingga saat ini baru satu orang pemain yang dipastikan tampil, yaitu Gachikun yang merupakan juara Capcom Cup 2018. 26 orang lainnya diambil dari para pemain dengan CPT Point tertinggi di Global Leaderboard, ditambah 4 orang pemenang Regional Finals (dari wilayah NA, EU, LATAM, dan Asia), serta 1 orang pemenang Last Chance Qualifier yang digelar menjelang hari-H Capcom Cup.

Gachikun - Capcom Cup 2018 Champion
Gachikun otomatis lolos ke Capcom Cup 2019 | Sumber: Capcom

North American Regional Finals punya posisi yang unik dibanding Regional Finals lainnya, sebab acara ini masuk dalam kategori Super Premier Event. Artinya meski sifatnya regional, turnamen ini dianggap sebagai kasta tertinggi setara EVO. Dengan format turnamen terbuka (open tournament), penantang bisa datang dari mana saja sehingga persaingan akan sangat berat. Nilai CPT Point yang diberikan pun lebih tinggi dari turnamen regional lainnya. North American Regional Finals akan digelar di HyperX Esports Arena, Las Vegas, pada tanggal 16 – 17 November 2019.

Capcom Cup tahun ini sendiri rupanya juga memiliki keunikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Anda mungkin sudah tahu bahwa selain Capcom Pro Tour, terdapat satu kompetisi resmi lain yang berjalan berbarengan yaitu Street Fighter League (SFL). Liga dengan format 3-lawan-3 ini digelar di dua wilayah: Amerika Serikat dengan nama Street Fighter League Pro-US dan Jepang dengan nama Street Fighter League Pro-Japan.

Para pemenang SFL Pro-US dan SFL Pro-Japan ini akan diadu dalam turnamen berjudul Street Fighter League World Championship. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Capcom akan mempertemukan langsung tim perwakilan Amerika Serikat dan tim perwakilan Jepang untuk menentukan wilayah mana yang mampu menghasilkan talenta Street Fighter terkuat. Pertemuan ini mengingatkan kita pada momen bersejarah di era Street Fighter Alpha 3 dulu, ketika Alex Valle yang merupakan juara Amerika berhadapan dengan Daigo Umehara sang juara Jepang. Apakah hasil yang sama akan terulang, ataukah Amerika dapat membalas kekalahan 21 tahun lalu itu?

Street Fighter League World Championship akan digelar bersamaan dengan Capcom Cup 2019. Bila Anda penggemar Street Fighter, jangan sampai melewatkan momen “ultra weekend” tanggal 13 – 15 Desember nanti, karena momen ini akan menjadi salah satu akhir pekan bersejarah di dunia esports Street Fighter.

Sumber: Capcom

Nike Teken Kontrak Kerja Sama dengan FURIA, Organisasi Esports asal Brazil

Organisasi esports asal Brazil, FURIA, mengumumkan kerja sama jangka panjang bersama Nike. Seragam baru hasil kerja sama antar keduanya ini dikenakan pada tanggal 2 Juli 2019, pada gelaran esports CS:GO, ESL One Cologne.

Kolaborasi ini sangat menarik karena 2 hal. Pertama, Nike adalah brand pakaian olahraga (sportswear) terbesar di dunia. Kedua, ini kali pertama Nike kerja sama dengan tim esports. Meski begitu, hal ini bukanlah pertama kalinya Nike melirik ke esports.

Mereka sudah memberikan dukungan kepada pemain legendaris League of Legends (LoL) dari Tiongkok, Jian “Uzi” Zihao di 2018. Selain itu, Nike juga sudah menandatangani kesepakatan rekanan selama 4 tahun dengan TJ Sports untuk liga LoL Tiongkok (LPL).

Dalam artikel yang dirilis di situs mereka sendiriJaime Pádua F. Filho, CEO dari FURIA Esports mengatakan, “kontrak dengan Nike ini bisa dibilang sebagai pionir tersendiri dan menambahkan kredibilitas sekaligus kesinambungan dari proyek kami. Dengan dukungan Nike, kami akan melanjutkan pekerjaan kami mewujudkan banyak impian dan membentuk atlet-atlet hebat dengan kerja keras, talenta, dan daya juang. Kami sudah berhasil menjalankan ini di CS:GO dan kami berharap bisa mengaplikasikannya ke aspek lainnya.”

Selain CS:GO, FURIA sendiri memang punya beberapa divisi game sseperti PUBG dan Dota 2. Selain itu, mereka juga punya FURIATV yang diklaim sebagai kanal streaming terbesar di dunia yang dimiliki oleh tim esports.

Sumber: Dexerto
Sumber: Dexerto

FURIA sendiri memang bisa dibilang tim CS:GO yang cukup besar dari Amerika Latin. Namun demikian, tim yang dibentuk pada bulan Agustus 2017 ini belum pernah menorehkan sejarah sebagai juara Major (karena baru Cloud9, tim di luar Eropa, yang pernah menjadi juara Major CS:GO).

Menurut statistik sendiri, pada saat artikel ini ditulis, FURIA berada di peringkat 7 dunia, menurut versi HLTV.

Lalu, kira-kira bagaimana dengan di Indonesia ya? Sampai hari ini, mungkin peluang terbesar kerja sama antara brand industri olahraga dan esports di Indonesia ada di Bali United, tim sepakbola yang punya IOG Esports. Pasalnya, mereka harusnya sudah punya kedekatan dengan brand-brand olahraga besar yang ada di Indonesia.

Gandeng Komunitas, ESL Indonesia Selenggarakan R6S Community Cup

Sejak tahun 2018 lalu, esports mobile games boleh saja menjadi primadona di kalangan gamers Indonesia. Tetapi bukan berarti komunitas gamers PC hanya berpangku tangan, dan hanya jadi penonton dari hingar bingar esports mobile games yang sedang besar-besarnya.

Salah satu komunitas yang belakangan giat bergeliat di tingkat akar rumput adalah R6IDN, atau komunitas game Rainbow Six: Siege, besutan dari Ubisoft. Komunitas ini termasuk salah satu yang giat mengadakan aktifitas. Contoh kegiatan komunitas ini adalah R6IDN Community Cup yang diselenggarakan secara mandiri oleh komunitas.

Sumber: R6 IDN Official Media
Sumber: R6 IDN Official Media

Giatnya aktifitas komunitas ini ternyata berhasil memincut hati salah satu penyelenggara event esports terbesar di dunia, ESL. Lewat sub-bagian ESL Indonesia, organizer asal Jerman ini menjawab rasa haus komunitas akan kompetisi, menggelar ESL R6S Community Cup.

Kompetisi ini diselenggarakan pekan depan, tepatnya mulai selasa, 9 Juli 2019. Hal ini segera menjadi perhatian bagi komunitas, terutama komunitas R6IDN. Bobby Rachmadi Putra, selaku founder komunitas R6 IDN memberikan komentarnya tersendiri atas terselenggaranya kompetisi ini.

“ESL R6S Community Cup pertama ini merupakan inisiatif untuk menunjukkan geliat komunitas R6 Indonesia kepada khalayak gamers umum.” jawab Bobby. “Ke depannya, ESL dan komunitas R6IDN sedang mempersiapkan beberapa hal, termasuk event yang dijamin akan membuat penikmat esports Indonesia TERKEJOED! Hahaha.” tambah Bobby sembari sedikit bercanda.

Sejauh ini R6IDN memang terbilang masih berjalan secara mandiri dengan satu dan dua dukungan dari Ubisoft sendiri. Selain Community Cup, komunitas R6 IDN juga sudah menggarap beberapa aktifitas kompetisi secara mandiri. Salah satu yang cukup besar adalah gelaran R6S Star League, kompetisi lokal dengan peraturan ala ESL R6S Pro League, dan memiliki format liga dengan pembagian 3 divisi berbeda.

Sumber: ESL Indonesia Official Page
Sumber: ESL Indonesia Official Page

Beberapa hal tersebut juga menjadi alasan pergerakan ESL mendukung kemajuan scene R6 di Indonesia. “Kami ingin membangun komunitas dari semua game. Tidak hanya game populer saja, lebih utama, kami ingin membangkitkan komunitas game triple A.” Stefano Adrian, Project Manager dari ESL Indonesia.

“R6IDN adalah komunitas yang sangat solid dan kita ingin bersama-sama membangun ekosistem esports R6S di Indonesia. Saat ini esports R6S di Indonesia sudah jauh lebih berkembang. Selain dari ESL R6S Community Cup, kami juga ingin raise awarness kepada pemain FPS Indonesia lewat ESL R6 Pro League Asia Pasific.” Stefano menjelaskan lebih lanjut seputar rencana ESL untuk perkembangan esports R6S di Indonesia dan Asia.

Pergerakan ESL yang satu ini, tentu menjadi angin segar bagi penikmat esports game PC di Indonesia. Saya sendiri sudah sejak lama berharap, ada lebih banyak perhatian kepada esports game PC. Terutama untuk komunitas seperti R6IDN yang memang aktif dan punya pemain-pemain hebat yang berprestasi seperti Tim Scrypt.

 

 

[Opini] Melihat Lebih Jauh tentang Polemik MPL ID Season 4

Belakangan ini memang muncul sebuah polemik baru di industri/ekosistem esports Indonesia. Polemik itu adalah soal sistem liga franchise dari MPL ID Season 4 (S4) yang diterapkan Moonton di esports Indonesia.

Berhubung akan terlalu panjang jika harus menjelaskan sistem franchise ini, Anda bisa membaca dulu artikel yang telah kami rilis sebelumnya: Mengupas Seputar Liga Esports Berbayar, Sistem Liga Franchise.

Saya rasa saya tak perlu panjang lebar juga menjelaskan soal pro kontranya, karena Anda bisa menemukannya di media game lainnya. Di sini, saya hanya ingin menuangkan pendapat saya tentang sistem franchising esports yang diterapkan untuk MPL ID S4.

Jadi, langsung saja kita masuk ke topik pembahasannya.

Keuntungan adalah motivasi utama sebuah industri tetap berjalan

Faktanya, esports adalah sebuah bentuk industri. Berarti, esports haruslah memberikan keuntungan buat para pelakunya; termasuk tim, EO, player, talent, media, sampai publisher-nya.

Sistem franchising liga yang diterapkan ini adalah salah satu cara para pelaku esports mendapatkan keuntungan. Tim esports ataupun event organizer memang sudah terlihat jelas dari mana asal pendapatan dan keuntungannya. Namun bagaimana dengan publisher/developer game-nya?

Game Free-to-Play seperti Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) memang punya sistem bisnis micro-transaction (in-app purchase) namun saya kira itu beda urusan dan beda kebutuhan dengan esports-nya. Setidaknya, mereka juga butuh orang-orang baru yang khusus menggarap esports. Sumber Daya Manusia (SDM) orang-orang esports ini juga tentunya butuh kapasitas dan kemampuan yang berbeda dengan yang berperan sebagai publisher/developer game.

Itu tadi masih soal kebutuhan SDM. Masih banyak lagi kebutuhan soal esports yang butuh dana besar agar dapat berjalan dengan baik.

Kemenangan ONIC di MPL ID S3
Kemenangan ONIC Esports di MPL ID S3

Untuk apa publisher game menggarap esports jika mereka tidak diuntungkan? Justru saya malah lebih takut jika Moonton tak bisa mendapatkan keuntungan dari esports Indonesia dari tahun ke tahun. Karena mereka bisa saja jera dan berhenti fokus pada esports.

Ingat Vainglory…?

Saya sudah berkarier di industri game Indonesia sejak 2008. Jadi, saya juga sudah melihat masa kejayaan ataupun kemelorotan sejumlah publisher game di Indonesia. Kawan-kawan saya yang tadinya bekerja untuk publisher-publisher tersebut pun akhirnya harus rela kehilangan pekerjaan karena perusahaannya tak mampu menemukan cara baru untuk terus meraih laba.

Sistem liga berbayar adalah salah satu cara saja untuk mendapatkan keuntungan dari esports. Kita bisa lihat ada strategi lain yang digunakan namun tujuannya tetap sama: profit!

Buat yang tahu Dota 2, Anda seharusnya tahu apa itu The International (TI). Kenapa Valve rajin sekali mengadakan TI setiap tahun? Salah satunya saya yakin karena keuntungan besar yang mereka dapatkan dari penjualan Battle Pass untuk setiap TI.

Sumber: Dota 2
Sumber: Dota 2

Tahukah Anda bahwa total hadiah (prize pool) untuk setiap TI itu hanya 25% dari total penjualan Battle Pass? Hitungan kasarnya, jika ada tambahan prize pool sebesar US$25 juta untuk TI, nilai total pendapatan Valve dari Battle Pass adalah US$100 juta. Lalu di mana uang sisanya yang senilai US$75 juta? Sebagian tentunya digunakan untuk menggelar event megah tadi namun sebagian juga jadi keuntungan untuk Valve.

Sekali lagi, ini industri. Bagaimanapun juga keuntungan (laba) perusahaan adalah salah satu tolak ukur paling penting dalam mengukur keberhasilan setiap pelaku industri; lebih penting daripada sekadar popularitas atau jumlah penggunanya.

Selain itu, andaikan Moonton dan para pelaku yang terlibat dengan MPL ID S4 sukses besar, cerita ini bisa (dan mungkin harus dipastikan) terdengar di industri esports dunia. Jika Moonton benar-benar dapat meraih keuntungan besar dari esports Indonesia, saya yakin banyak publisher/developer di luar sana yang ikut tertarik menggarap esports tanah air. Semut mana yang tidak akan mendatangi tempat gula berada?

Faktanya, pasar esports Indonesia dilihat tidak menguntungkan buat para developer/publisher internasional; makanya tidak pernah dilirik karena pasarnya dianggap punya daya beli yang rendah. Sepanjang karier saya sampai hari ini, saya belum pernah dengar ada kabar bahwa Valve, Blizzard, EA, dan raksasa-raksasa publisher/developer lain mau mendirikan kantor dan serius menggarap pasar di Indonesia.

Jika berkaca dari sejarah, cerita sukses industri game sebenarnya pernah terjadi di Indonesia. Saya masih ingat betul tahun 2009, saat Point Blank (PB) sukses meraih untung besar dari pasar gamer Indonesia. Buktinya, setelah PB, jadi banyak publisherpublisher Korsel lain yang masuk Indonesia karena tergiur dengan keuntungan yang bisa mereka raih.

RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB
RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB

Namun demikian, cerita sukses itu hanyalah soal in-app purchase (micro transaction) dari game-game Free-to-Play; bukan soal keuntungan yang bisa diraih dari menggarap esports Indonesia. Makanya, sampai sekarang pun Indonesia sebenarnya masih jadi target pasar utama game-game buatan ataupun rilisan Korsel dan Tiongkok (meski jadi bergeser ke platform mobile).

Justru dengan sistem liga berbayar yang ingin dicoba oleh Moonton ini, menurut saya pribadi, yang sebaiknya kita lakukan sebagai bagian dari ekosistem dan industri esports tanah air adalah mendukung penuh (agar sukses), mengawasi, dan memastikan cerita sukses itu terdengar ke seluruh penjuru dunia. Dengan tujuan memancing lebih banyak pelaku esports dunia melirik pasar Indonesia.

Antara Investasi, Penjual, dan Pembeli

Jujur saja, waktu saya mendengar kabar liga berbayar ini pertama kali, saya juga cukup skeptis melihat besaran angkanya. Namun karena kebetulan saya mendapatkan banyak bocoran soal ini, saya jadi lebih optimis.

Istilah dan kerangka berpikir yang ditawarkan oleh mereka-mereka yang kontra itu memang membeli kursi agar bisa bermain di MPL ID S4. Namun faktanya tidak hanya itu, karena ada profit sharing (bagi hasil) juga yang dijanjikan. Jadi, perspektif dan terminologi yang bisa dibilang lebih optimis (positif) adalah ‘biaya investasi’.

Nah berbicara soal investasi, mereka-mereka yang memang punya pengalaman bisnis cukup lama tentu tahu bahwa tidak ada yang namanya investasi dengan resiko 0%. Semua bentuk investasi pasti punya nilai resikonya masing-masing. Bahkan beli rumah ataupun menabung di bank juga punya resikonya sendiri. Katanya, pelihara tuyul pun pasti ada resikonya… Nyahahahaha

Menurut bisikan dari rumput-rumput yang bergoyang, sudah lengkap juga 8 tim yang sudah membayar sebagian dari biaya investasi itu. Sayangnya, untuk daftar lengkap tim-timnya, kita harus menunggu pengumuman resmi dari Moonton. Walaupun, (saya kasih clue) jika Anda melihat pergolakan bursa transfer tim MLBB dan Anda cukup pintar, terlihat juga tim-tim mana saja yang sudah mempersiapkan diri.

Sumber: MPL
Sumber: MPL

Jika desahan-desahan di bawah meja yang tadi saya dengar itu benar, hal ini berarti memang nilai investasi yang disebutkan itu ada pasarnya. Jika penjual dan para pembelinya sepakat dengan harga yang ditawarkan, kenapa kita yang pihak ketiga harus protes?

Ibaratnya, sepatu itu juga ada yang harganya sampai Rp4 juta. Ada action figure yang harganya puluhan juta juga. Ada mobil yang harganya bahkan sampai milyaran. Desktop PC yang saya gunakan juga total harganya lebih dari Rp30 juta. Kalaupun Anda tidak mau/mampu membeli tawaran itu, bukan berarti Anda harus protes juga minta turunkan harga.

“Turunkan harga Bugatti Chiron jadi belasan juta Rupiah!”

Ditambah lagi, jika ada sepatu seharga Rp4 juta, bukan berarti tidak akan ada juga sepatu seharga Rp200 ribu… Saya kira Moonton juga sadar betul dengan hal ini. Dengan MPL yang pakai sistem tertutup (baca penjelasannya di artikel kami sebelumnya) dan ditujukan untuk kasta tertinggi, saya yakin akan ada turnamen-turnamen lain untuk kasta yang lebih rendah.

Sekarang juga ada 3 tingkatan turnamen resmi dari Moonton sendiri, dari MSC yang paling tinggi, MPL, sampai MIC (Mobile Legends Intercity Championship).

Apalagi, saya juga yakin para petinggi tim-tim esports yang sudah menyanggupi untuk membiayai investasi tadi juga bukan orang-orang bodoh. Mereka pasti akan aktif mengawasi dan memberikan segudang tuntutan kepada Moonton (karena posisi mereka sekarang jadi investor untuk MPL ID). Mereka juga pasti tahu butuh ajang kompetisi yang lebih rendah untuk mencari bibit-bibit baru yang disiapkan untuk regenerasi pemain-pemain lama.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Akhirnya, saya sendiri juga sebenarnya setuju dengan Yohannes Siagian, Vice President EVOS Esports, yang kami mintakan pendapatnya di artikel sistem liga franchisebahwa kita masih belum bisa melihat dampaknya positif atau negatif di Indonesia karena memang belum pernah diterapkan.

Meski begitu, saya juga melihat sistem ini juga bisa mendewasakan industri esports tanah air. Kenapa? Karena higher stakes and risks yang memaksa para pelaku industri yang terkait lebih cermat dan berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Plus, peluang kesuksesan liga berbayar yang mungkin mampu menarik lebih banyak pelaku industri global ke Indonesia itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja…

Masuk Musim Ketiga, AOV Star League kini Diselenggarakan oleh ESL Indonesia

Sementara Arena of Valor World Cup 2019 masih berlangsung sampai 14 Juli 2019, kancah kompetitif AOV di Indonesia pun tentu masih dalam masa tenang. Kendati demikian, bukan artinya kancah kompetitif AOV Indonesia berhenti bergeliat dan mempersiapkan diri untuk musim 2019-2020.

Setelah dari tahun ke tahun event resmi Arena of Valor dilaksanakan secara mandiri oleh Garena, ASL Season 3 datang dengan kejutan. Untuk musim ini, Garena menggandeng ESL Indonesia untuk melaksanakan liga kasta satu Arena of Valor Indonesia.

Seperti musim sebelumnya, ASL musim ketiga masih mempertandingkan 7 tim AOV terbaik se-Indonesia dalam format liga selama tiga pekan. Kompetisi akan menggunakan format best of 3 double round robin, yang artinya semua tim akan bertemu dengan semua tim lainnya sebanyak dua kali, dengan setiap pertandingan dilakukan dalam seri best-of-3.

Kompetisi akan dimulai pada bulan Juli ini, nantinya 4 tim teratas akan masuk ke fase playoff, bertanding secara offline pada bulan September mendatang. Babak playoff akan menentukan siapa tim AOV terbaik di Indonesia, dan mendapatkan piala ASL by ESL musim 3.

“Kami sangat merasa terhormat untuk dapat membawa ASL ke program National Championship kami.” Kata Nick Vanzetti, Senior Vice President ESL Asia Pacific Japan dalam rilis resmi dari ESL.  “Kita bahagia untuk bekerja sama Garena Indonesia dalam kesempatan ini, menyatukan tujuan kami untuk lanjut membentuk ekosistem esports berkelanjutan di Indonesia.”

Kerjasama antara Garena dengan ESL ini tentu membuat tayangan ASL jadi semakin dinanti oleh para penggemar Arena of Valor Indonesia. Pertandingan liga ASL yang selama ini terkenal penuh rivalitas sengit, dikombinasikan dengan produksi kelas dunia dari ESL, akan seperti apa jadinya?

“Harusnya bakalan bagus, mengingat production value ESL yang sudah next level banget” Adji “Sven” Hadi Perdana mengomentari kerjasama ini. “Selain soal manjain penonton, gue juga mau mention dari sudut pandang gue sebagai caster. Kalau berkaca dari gelaran ESL Clash of Nation kemarin, gue melihat memang caster dimanjain, baik dari segi disiplin waktu ataupun kenyamanan sang caster sendiri. Direct operation-nya juga keren, sehingga caster diajarkan untuk jadi lebih profesional.”

Sumber: Facebook Adji Sven
Sumber: Facebook Adji Sven

Sementara itu, redaksi Hybrid juga mencoba menghubungi Stefano Adrian, Project Manager ESL Indonesia. “Yang pasti dengan kita sebagai penyeneggara, kita akan berikan best production quality, entah itu secara broadcast ataupun offline.” Jawab Stefano. “Selain itu, yang pasti konten-konten menarik dalam bentuk kolaborasi ESL dan ASL juga akan hadir. Sebagai tambahan informasi, liga ASL juga akan menggunakan format Global Ban-Pick seperti yang digunakan di AWC.”

Kerjasama ini tentu diharapkan mendorong kompetisi ASL agar jadi lebih nikmat untuk disaksikan. ASL musim ketiga akan hadir mulai Rabu, 17 Juli 2019 mendatang. Jika Anda ingin menyaksikannya, Anda dapat langsung pergi ke kanal Youtube ESL Indonesia, untuk menyaksikan tayangan ASL Musim ketiga.

 

Mengupas Seputar Liga Esports Berbayar, Sistem Liga Franchise

“Untuk masuk liga utama, tim esports harus membayar Rp15 miliar!?”

Isu tersebut belakangan sedang santer terdengar di ekosistem esports Indonesia. Kabarnya, sebuah tim esports harus menyetorkan sejumlah uang investasi, untuk dapat masuk ke dalam liga utama suatu cabang game esports.

Memang, hal ini terdengar cukup janggal atau malah membuat sang penyelenggara jadi terlihat jahat. Apalagi jika mengingat praktik ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun, secara internasional, praktik bisnis tersebut sebenarnya sudah cukup umum terjadi, terutama di industri olahraga Amerika Serikat.

Model liga ini, yang mematok biaya investasi bagi pemilik tim, disebut sebagai franchise league system atau North American System. Mengingat sistem liga franchise mulai menjadi patokan di dalam ekosistem esports secara global, mari kita kupas lebih dalam seputar franchise league system, serta bagaimana dampaknya jika liga ini benar diterapkan di Indonesia.

Mengenal Ragam Sistem Liga, Berkaca Dari Industri Olahraga

Secara internasional, ada dua sistem liga olahraga yang diadopsi oleh berbagai kompetisi olahraga. Selain dari North American System atau franchise league system, ada juga sistem lain yang umum digunakan dalam industri olahraga. Nama sistem tersebut adalah promotion-relegation system atau disebut juga sebagai European Sports System.

Sistem franchise lahir di Amerika Serikat. Sistem ini menjadi sistem yang diadopsi banyak liga olahraga besar di Amerika Serikat, seperti National Basketball Association, National Football League, Major League Baseball, dan National Hockey League.

Sumber:
NBA adalah salah satu contoh liga olahraga yang menggunakan sistem franchise. Sumber: SBNATION

Sementara di sisi lain, sistem promotion-relegation lahir di Eropa. Berawal digunakan sebagai sistem liga sepakbola, sistem ini akhirnya menjadi landasan bagi liga-liga sepakbola di Eropa, seperti Barclays Premiere League (Inggris), La Liga (Spanyol), Serie A (Italia), dan lain sebagainya.

Ivan Kraljevic, Marketing Promotion Manager UEFA, merangkum beberapa perbedaan jelas antar kedua sistem liga ini dalam tulisannya di Sports Bite Blog. Tetapi secara singkatnya adalah, promotion-relegation system mengusung sifat keterbukaan, sementara franchise league system lebih bersifat tertutup.

Promotion-relegation system adalah sistem liga yang diadopsi oleh industri sepakbola, secara internasional maupun Indonesia. Maksud bersifat terbuka adalah, sebuah tim bisa masuk ke dalam liga dengan cara berkompetisi, lewat proses promosi dan relegasi. Semua tim punya kesempatan yang sama untuk bisa masuk (atau keluar) dari Liga 1. Tim yang performanya terus menurun, akan terkena relegasi jika ia berada di peringkat bawah, dan turun ke liga divisi ke-2, begitu juga sebaliknya.

Pada sistem liga olahraga ini, siapapun boleh ikut, yang membuatnya jadi lebih menarik untuk disimak. Ibaratnya, tim asal kecamatan bisa saja masuk ke dalam Liga 1, asalkan mereka punya kemampuan berkompetisi (dan sokongan dana) yang baik. Kenapa saya menyebut soal sokongan dana? Karena Anda belum tentu bisa tembus dari liga divisi 2 ke Liga 1 dengan bermodal pemain terjago se-kecamatan saja. Minimal, Anda harus punya pemain terjago se-pulau Jawa, yang tentu bayarannya tidak murah.

Sumber:
Liga Inggris, contoh olahraga yang menggunakan sistem promosi-relegasi. Sumber: Forbes

Sementara itu, sistem liga franchise cenderung lebih eksklusif. Dalam sistem ini, kesempatan masuk ke dalam liga terbatas pada segelintir tim atau investor saja. Pemilik tim atau investor harus memenuhi kriteria tertentu untuk dapat masuk ke dalam liga, memenuhi biaya investasi bisa jadi salah satu kriteria tersebut.

Bagi tim yang sudah memenuhi kriteria pembuat liga, paling sedikit, mereka mendapat hak eksklusif untuk tetap berada di dalam liga selama beberapa waktu. Selain itu, biasanya ada juga keuntungan-keuntungan lain dalam bentuk bagi hasil antara operator liga dengan investor, seperti hak siar, penjualan tiket, merchandise ataupun sistem bagi hasil (revenue sharing).

Hasil yang dibagi biasanya tergantung dari perjanjian antar kedua belah pihak (antara operator liga dengan pemilik tim/investor). Kendati sistem ini mungkin terlihat kurang adil bagi penonton, namun sistem liga ini menjanjikan stabilitas secara finansial bagi tim yang sudah bergabung.

Liga Franchise Dalam Ekosistem Esports Global

Belakangan, sistem liga franchise akhirnya menjadi standar bagi beberapa kompetisi esports. Sampai saat ini, setidaknya ada dua kompetisi besar yang saya ingat sudah menerapkan sistem ini.

League of Legends Championship Series (LCS), liga League of Legends regional Amerika Serikat, menerapkan sistem ini sejak tahun 2018 lalu. Biaya investasi untuk dapat bergabung ke dalam LCS cukup besar. Bos besar Immortals dan Team Solo Mid mengatakan kepada Yahoo Esports, bahwa biaya investasi untuk bergabung ke dalam NA LCS mencapai US$10 juta atau sekitar Rp142 miliar.

2018-05-02 / Photo: Robert Paul for Blizzard Entertainment
Overwatch League adalah contoh sukses penerapan liga franchise untuk esports. 2018-05-02 / Photo: Robert Paul for Blizzard Entertainment

Entitas liga lain yang juga menggunakan sistem ini adalah Overwatch League (OWL). Liga OWL punya sistem yang sebenarnya cukup unik bagi ekosistem esports. Kendati membuat liga berbasiskan klub, mereka mendobrak dengan membuat liga dengan tim berbasis daerah. Nilai investasi OWL, mengutip dari Variety, malah lebih fantastis lagi. Yaitu mencapai US$20 juta atau sekitar Rp285 miliar.

Lalu bagaimana kesepakatan yang diterapkan di dalam LCS dan OWL? Tentu akan sangat panjang dan lebar sekali, jika harus saya bahas satu persatu di sini. Singkatnya, masih mengutip dari Variety, OWL menerapkan sistem bagi hasil. Investor tim akan akan mendapatkan sebagian keuntungan untuk setiap pemasukan yang diterima operator liga, entah dari penjualan tiket penonton, pembelian hak siar, sponsorship, dan lain sebagainya.

Liga Franchise dan Ekosistem Esports Indonesia

Oke, kita sudah membahas segala tetek-bengek urusan liga franchise. Kita sudah membahas mulai dari asal muasalnya, sampai penerapannya di ekosistem esports. Pertanyaannya, apa pengaruhnya pembahasan ini terhadap ekosistem esports Indonesia? Selain karena isu yang saya sebut di awal artikel, mari kita berandai-andai, jika benar ada operator liga yang melaksanakan liga franchise di Indonesia, bagaimana jadinya?

Saya mendiskusikan hal ini dengan dua orang yang terkenal kerap memberikan insight menarik seputar esports. Ada Tribekti Nasima, sosok yang bisa dibilang sebagai dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Satu lagi adalah Yohannes Siagian, mantan Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD yang sekarang menjabat sebagai VP of esports di EVOS.

Kalau melihat dari isu tersebut, franchise mungkin terasa menyeramkan bagi para pelaku industri esports Indonesia. Bayangkan saja, organisasi tim esports harus membayar sejumlah uang yang tidak kecil, hanya untuk bergabung ke dalam sebuah liga.

Tapi, tentu hal tersebut datang dengan keuntungan bukan? Tetapi Joey mengatakan pendapatnya secara to the point, bahwa kita tak bisa bilang ini akan jadi bagus atau buruk bagi ekosistem esports Indonesia. Karena sistem ini belum pernah diterapkan di Indonesia, termasuk juga industri olahraga Indonesia, maka kita tidak tahu apakah sistem ini dapat bekerja dengan baik atau tidak.

Jika MPL jadi liga franchise, apa jadinya?
Jika MPL jadi liga franchise, bagaimana nasib ke depannya? Jadi lebih berkembang atau malah mati suri? Sumber: GCube ID

“Dampak baik atau buruknya tak akan terlihat dalam waktu dekat, tetapi baru beberapa tahun ke depan.” jawab Joey. Lebih lanjut, Joey lalu menjelaskan bagaimana sebenarnya, baik itu sistem franchise atau promotion-relegation, sukses di industri olahraga.

Kalau bicara soal liga yang pakai sistem franchise, sudah ada macam-macam liga olahraga Amerika yang saya sebut di awal artikel. Banyak liga tersebut terbukti sukses besar di Amerika Serikat, walau mungkin popularitasnya tidak mencapai tingkat dunia. Sementara kalau sistem promotion-relegation, penggemar sepakbola Indonesia mungkin sudah tahu kesuksesan sistem ini. Hal itu sudah dicontohkan lewat banyak liga sepakbola, termasuk yang versi lokal.

Lalu sebenarnya, apa sih keuntungan menggunakan sistem liga franchise? Terutama kalau dibanding dengan sistem liga promosi-relegasi? “Untungnya buat pemilik tim, yang pasti mereka bisa investasi tanpa harus takut degradasi” kata Bekti. “Contohnya seperti RRQ dan EVOS di MPL Season 3. Mereka sudah investasi besar-besaran untuk memperkuat skuad Mobile Legends. Tapi kalau mereka kalah dan gugur dari liga, terus gimana? Di sini fungsi liga franchise jadi terlihat.”

Namun bukan berarti liga franchise adalah obat mujarab, yang bisa memajukan atau memperbaiki scene esports. Ini juga mengingat masing-masing titel game punya tingkat kedewasaan scene, serta jumlah perputaran uang yang berbeda-beda. “Memang nggak bisa semua game pakai sistem ini. Menurut gue, game tersebut harus punya daya jual yang tinggi, baru bisa menggunakan sistem franchise.” Bekti juga menambahkan.

Sumber:
LCS sekalipun butuh bertahun-tahun sampai akhirnya dibuat jadi menggunakan format liga franchise. Sumber: Dot Esports

Soal daya jual ini merupakan satu poin yang juga saya setuju. Kenapa? Coba bayangkan Anda adalah pemilik tim esports. Apa Anda mau menginvestasikan waktu, uang, dan tenaga kepada game yang tidak jelas masa depannya? Jawabannya pasti tidak. Maka dalam konteks ini, mungkin bisa jadi tepat jika sistem franchise diterapkan untuk liga utama Mobile Legends.

Jutaan penonton online, event offline yang membeludak, fans fanatik yang rela melakukan apa saja demi sang idola, serta gengsi kompetisi yang tinggi, adalah faktor-faktor yang membuat bertanding di liga utama sebuah game jadi patut untuk dipertahankan. Apalagi jika sistem franchise ternyata menjanjikan keuntungan lain yang lebih besar daripada sekadar exsposure saja. Maka isu biaya slot liga sebesar Rp15 miliar, mungkin jadi terasa murah.

Faktor lain yang membuat sistem ini jadi tepat dilakukan saat ini, adalah soal fase hidup game Mobile Legends. Setelah booming besar-besaran di sekitar tahun 2018 lalu, Moonton kini harus memikirkan cara mempertahankan penggemar Mobile Legends. Esports bisa jadi jawaban yang tepat, tapi terlalu banyak esports mungkin malah bisa jadi jawaban yang tidak tepat, jika dilihat dari kacamata penonton.

Terlalu banyak esports mungkin bisa membuat para penggemar jadi jenuh, apalagi mengingat setiap manusia juga hanya punya waktu sebanyak 24 jam setiap harinya. Kehadiran liga franchise, setidaknya memberi patokan jelas kepada para penonton, bahwa liga tersebut adalah liga official dengan kasta tertinggi yang wajib ditonton oleh khalayak. Penyelenggara juga bisa dengan lebih mudah merangkai narasi perkembangan kemampuan dari masing-masing tim dari masa ke masa.

Sistem franchise sebenarnya tidak hanya menjanjikan keuntungan jangka pendek saja, tapi juga stabilitas dan prospek jangka panjang. Selain dari sistem liganya, sistem regenerasi pemain juga jadi hal yang sebenarnya perlu dipikirkan. Dalam liga franchise bola basket, NBA, mereka punya sistem regenerasi pemain tersendiri. Sistem tersebut bernama NCAA, yang merupakan liga bola basket antar pelajar/mahasiswa, yang berjenjang ke tingkat profesional.

Sebagai mantan kepala sekolah “SMA esports Indonesia”, hal ini menjadi salah satu yang selalu vokal disuarakan oleh Joey. “Franchise league sebetulnya hanya satu dari berbagai jalan untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Jadi tidak bisa hanya dengan 1 pelaku, 1 metode.” Joey menjawab, membuka pembahasan.

“Kalau pendapat saya pribadi, sangat perlu dilakukan investasi untuk tingkat pemuda dan pelajar di ekosistem esports. Perlu ada sistem yang dapat memfasilitasi dan memastikan bahwa regenerasi atlet esports terus berjalan, serta menghasilkan bibit-bibit berkualitas.” Joey memperjelas.

High School League atau IEL University Series sebenarnya sudah menjadi langkah baik yang dilakukan oleh salah satu elemen ekosistem esports Indonesia. Sayangnya, terjadi missing link antara kompetisi antar mahasiswa/pelajar ini, dengan liga profesional. Mereka, jagoan-jagoan esports tingkat universitas/sekolah tinggi akhirnya terlontang lantung setelah jadi juara di kompetisi tingkat tersebut.

Kenapa? Karena tak ada sistem yang mengintegrasikan antara liga tingkat pelajar dengan liga profesional. Dalam NBA, sistem yang merekatkan antar dua tingkat tersebut adalah sistem NBA Drafts

Dalam sistem ini, jagoan-jagoan basket tingkat SMA, yang sudah dipantau sebelumnya, dimasukkan ke dalam daftar drafts. Selanjutnya, mereka yang sudah masuk drafts akan punya kemungkinan untuk masuk ke dalam tim profesional. Jadi, para pemain tingkat pelajar punya tujuan yang jelas, tim profesional juga tak perlu kelimpungan mencari pemain.

Impian Membuat Liga Esports Franchise yang Ideal di Indonesia

Diterapkan atau tidak, sebenarnya ini cuma hanya masalah waktu saja. Jika perputaran uang di dalam ekosistem esports Indonesia sudah semakin besar, mau tidak mau, siap tidak siap, pasti akan ada saja elemen ekosistem yang menginisiasi sistem liga ini. Jadi ketika ada yang menginisiasi, saya merasa sudah seharusnya bagi ekosistem esports Indonesia yang harus cekatan beradaptasi.

Sistem ini mungkin terlihat menyeramkan pada awalnya, tapi jika dilaksanakan dengan tepat, efeknya bisa jadi positif bagi ekosistem esports di Indonesia. Tetapi memang hal yang perlu digarisbawahi adalah soal dilaksanakan dengan tepat.

Bagaimana maksud dilaksanakan dengan tepat? Saya merasa ada beberapa hal penerapan liga franchise atau sistem beli slot jadi terasa tepat. Pertama, jika operator liga punya proposal bisnis dan penawaran yang jelas. Kedua, liga tersebut tayang di televisi lokal. Ketiga, sistem regenerasi yang jelas, entah lewat liga divisi dua, atau liga mahasiswa/pelajar.

Sumber:
High School League persembahan JD.ID adalah inisiasi yang bagus. Sayang, liga ini berjalan sendiri, tanpa ada integrasi dengan tingkat profesional. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur

Saya masih merasa poin soal televisi lokal itu penting di Indonesia. Apalagi mengingat akses internet di Indonesia yang belum merata di berbagai daerah. Tayang di televisi lokal memudahkan penggemar esports Indonesia di berbagai daerah untuk turut menikmati tayangan tersebut.

Poin ketiga juga menjadi poin penting yang perlu dilakukan di Indonesia. Berkaca dari liga olahraga di Amerika Serikat, liga tingkat mahasiswa/pelajar memegang peran penting dalam menunjang keberlangsungan liga olahraga. Kehadiran liga mahasiswa/pelajar memastikan liga utama tetap memiliki pasokan pemain, yang secara tidak langsung memastikan keberlanjutan sang liga utama.

“Kalau bicara soal penerapan, memang perlu person in charge yang tepat untuk menentukan apa yang terbaik untuk suatu game terhadap suatu region.” kata Bekti penerapan sistem kompetisi esports di suatu negara. “akan lebih bagus lagi kalau developer/publisher punya esports manager lokal, karena orang tadi harusnya yang paling paham soal keadaan ekosistem lokal.”

Sumber:
Sosok Esports Manager lokal seperti Lius Andre, memiliki peran yang penting untuk mengkaji, apakah kebijakan esports cocok atau tidak untuk suatu negara. Sumber: Dokumentasi Resmi Revival TV

Jika berkaca kepada kesuksesan liga franchise League of Legends, mereka sebenarnya sudah mengalami perjalanan yang sangat panjang untuk mencapai titik ini. “Mereka sendiri sudah memulai inisiatif esports mulai 2011, dan intensif di tahun 2014. Awalnya penerapan liga mereka juga acak-acakan. Tapi seiring kesalahan yang dibuat, mereka belajar, kapabilitas orang belakang layarnya terus meningkat, sampai akhirnya mereka jadi seperti sekarang.” kata Bekti menutup obrolan.

Sejauh ini kita sudah melihat bagaimana pengadopsian sistem ini ke dalam esports, berhasil membuat ekosistem tumbuh dengan lebih sehat. Jadi jika sistem ini hadir di Indonesia, apakah hasilnya akan membawa perubahan menjadi lebih baik atau lebih buruk?

Satu hal yang pasti, ekosistem esports Indonesia memang perlu memikirkan soal sustainability jangka panjang. Jangan sampai esports di Indonesia hanya menjadi gelembung yang indahnya hanya sesaat, lalu meletup suatu saat dan hilang ditelan waktu.

Highlight CEO 2019 – Panggung Termegah, Kembalinya Bonchan, dan All-ROX Final!

Akhir Juni lalu, tepatnya pada tanggal 28 – 30 Juni telah berlangsung salah satu ajang fighting game bergengsi di Amerika Serikat. Bertajuk Community Effort Orlando (CEO) 2019, acara ini mempertandingkan belasan judul fighting game populer, juga mencakup beberapa turnamen yang merupakan bagian dari sirkuit kompetisi resmi. Di antaranya Capcom Pro Tour (Street Fighter V: Arcade Edition), Pro Kompetition Tour (Mortal Kombat 11), Tekken World Tour (Tekken 7), Dragon Ball FighterZ World Tour, Dead or Alive 6 World Championship Stop, dan masih banyak lagi.

Dengan deretan turnamen resmi serta segudang pemain bertalenta kelas dunia, CEO 2019 berhasil menghadirkan hiburan yang benar-benar seru dan megah. Dalam beberapa aspek, acara yang digelar di Daytona, Florida ini bahkan dapat dikatakan lebih baik dari EVO. Seperti apa keseruan CEO 2019? Berikut ini beberapa highlight dan momen menarik di dalamnya.

Panggung termegah sepanjang sejarah

Salah satu daya tarik CEO 2019 yang lain daripada yang lain adalah adanya kerja sama antara pihak CEO dengan promotor gulat profesional All Elite Wrestling (AEW). Anda mungkin bingung, apa hubungan antara fighting game dengan gulat? Sebenarnya meski terdengar aneh, komunitas fighting game terutama di Amerika Serikat punya kaitan yang cukup erat dengan komunitas gulat profesional. Banyak juga atlet gulat yang terang-terangan menunjukkan kecintaan mereka terhadap fighting game, hingga menjadi influencer terkenal di komunitas ini. Atlet gulat Kenny Omega bahkan berperan di salah satu trailer resmi Street Fighter V!

CEO 2019 memiliki sesi acara yang disebut Fyter Fest, di mana para atlet gulat ini tampil dengan berbagai skenario yang lebay dan mengocok perut. Ada adegan di mana mereka beraksi layaknya Ryu dan Ken dari Street Fighter II, bahkan lebih kocak lagi, “pertandingan” antara atlet gulat Michael Nakazawa melawan Alex Jebailey, founder CEO Gaming.

Atraksi gulat Fyter Fest membuat suasana CEO 2019 jadi sangat meriah, tapi lebih dari itu, AEW juga berkontribusi dalam menyiapkan panggung CEO. Hasilnya CEO 2019 menghadirkan panggung termegah dalam sejarah CEO, bahkan Jebailey mengatakan bahwa mereka tidak akan bisa melampauinya.

Pembuktian kembali Bonchan

Di kancah kompetitif Street Fighter, Masato “Bonchan” Takahashi bukanlah orang sembarangan. Pria yang bermain bersama tim Red Bull ini adalah salah satu pemain top tier asal Jepang yang setara dengan nama-nama besar lain seperti Daigo Umehara atau Tokido. Akan tetapi dalam dua tahun terakhir prestasinya sedang mengalami penurunan.

Bonchan di era Street Fighter V terkenal sebagai pemain yang ahli menggunakan Nash. Bahkan setelah Nash terkena banyak nerf pun ia tetap setia. Tapi sebetulnya dulu karakter signature miliknya adalah Sagat. Makan waktu cukup lama memang, tapi akhirnya kini Bonchan bisa kembali menunjukkan tajinya sebagai salah satu yang terhebat di dunia. Setelah memenangkan Versus Masters 2019 di bulan April lalu, Bonchan kini akhirnya memenangkan CPT Premier Event di CEO 2019 dengan karakter Sagat dan Karin.

Peringkat Top 8 Street Fighter V: Arcade Edition:

  • Juara 1. RB|Bonchan (Karin, Sagat)
  • Juara 2. FD|Fujimura (Ibuki)
  • Juara 3. YOG|Machabo (Necalli)
  • Juara 4. CYG|Fuudo (Birdie, R. Mika)
  • Juara 5. NB|DualKevin (Rashid)
  • Juara 5. CYG|Daigo (Guile)
  • Juara 7. FAV|Ryuusei (Urien)
  • Juara 7. Rohto|Tokido (Akuma)

The All-ROX Final

Posisi Top 8 di cabang Tekken 7 diisi oleh nama-nama yang sudah familier, seperti Knee, JDCR, Rangchu, dan Saint. Yang menarik kali ini adalah babak Grand Final yang ternyata sama-sama diisi oleh perwakilan dari tim ROX Dragons, yaitu Knee dan Chanel. Knee tampil mengandalkan karakter Steve, sementara Chanel menjagokan Alisa. Sayangnya Arslan Ash yang beberapa waktu lalu menjuarai Thaiger Uppercut 2019 tidak hadir kali ini.

Tampak sudah terbiasa bertanding bersama, kedua pemain sama-sama menunjukkan pertahanan yang baik dan saling membaca taktik masing-masing. Knee lebih banyak tampil menekan, tapi counterattack Chanel pun tak kalah seramnya. Pada akhirnya Knee-lah yang menunjukkan permainan lebih baik. Ia menjadi juara CEO 2019 setelah mengalahkan Chanel dengan skor 3-1 dan ronde pamungkas yang berakhir Perfect!

Peringkat Top 8 Tekken 7:

  • Juara 1. ROX|Knee (Steve, Geese, Bryan)
  • Juara 2. ROX|Chanel (Alisa, Julia, Eliza)
  • Juara 3. OGN|JDCR (Armor King, Heihachi)
  • Juara 4. Rangchu (Panda, Katarina)
  • Juara 5. NG-Obscure (Alisa, Negan)
  • Juara 5. Kkokkoma (Kazumi, Paul)
  • Juara 7. GG|Saint (JACK-7, Bob, Devil Jin)
  • Juara 7. Talon|Book (Jin)

Aksi Go1 membuka musim baru

Di cabang Dragon Ball FighterZ, CEO 2019 cukup spesial karena menjadi turnamen pembuka dalam Dragon Ball FighterZ World Tour musim 2019/2020. Beberapa waktu lalu Go1 (Goichi Kishida) sempat berkata dalam sebuah wawancara bahwa saat ini komunitas Dragon Ball FighterZ sedang sepi, tapi akan ramai lagi begitu World Tour dimulai. Benar saja, CEO 2019 sukses membuat banyak pemain “turun gunung”.

Kazunoko yang musim lalu menjadi juara World Tour kini muncul kembali, begitu juga dengan nama-nama lain seperti Fenritti, Nakkiel, atau KnowKami. Namun Go1, yang juga belum lama ini menjuarai ajang Combo Breaker 2019, tampil tak tergoyahkan. Ia menjuarai turnamen setelah menumbangkan Fenritti yang merupakan teman setimnya. Ia juga sempat mengalahkan SonicFox di babak Winners Semi-Final, membuat lawannya itu harus puas di peringkat 4.

Peringkat Top 8 Dragon Ball FighterZ:

  • Juara 1. CAG|Go1 (Bardock, Kid Goku, Goku)
  • Juara 2. CAG|Fenritti (Bardock, Cell, Vegeta)
  • Juara 3. FOX|Dekillsage (Teen Gohan, Broly, Goku)
  • Juara 4. FOX|SonicFox (Bardock, Kid Goku, Fused Zamasu)
  • Juara 5. W2W|KnowKami (Android 21, Kid Goku, Goku Black)
  • Juara 5. CAG|Dogura (Kid Buu, Cooler, Goku)
  • Juara 7. VGIA|Shanks (Android 18, Adult Gohan, Goku)
  • Juara 7. BC|Kazunoko (Kid Buu, Adult Gohan, Yamcha)

Kekompakan TEAM JWONG membawa hasil

Beberapa waktu lalu Justin Wong dikabarkan akan mensponsori sejumlah pemain untuk terbang dan bertanding ke CEO 2019 sebagai roster TEAM JWONG. Kegiatan tersebut rupanya membawa hasil. Salah satu anggota TEAM JWONG, yaitu LostSoul sukses menjuarai turnamen di cabang Guilty Gear Xrd REV 2. Sementara dua pemain lainnya, Princess Slim dan Zaferino, berhasil lolos di cabang Street Fighter V: Arcade Edition hingga peringkat Top 32 dan Top 48. Setara dan bahkan melebihi Justin Wong sendiri!

Justin Wong juga membawa pulang gelar juara, namun bukan di Street Fighter ataupun Guilty Gear. Ia justru menjuarai cabang Samurai Shodown. Saat ini Samurai Shodown memang belum memiliki sirkuit kompetisi resmi. Bila nanti SNK membuka turnamen resmi, bisa saja Justin Wong akan jadi salah satu pemain yang patut diperhitungkan.

Dengan segala hiburan serta pertandingan-pertandingan seru di dalamnya, CEO 2019 memasang benchmark yang cukup tinggi untuk dilampaui oleh kejuaraan dunia EVO 2019. Ide untuk membaurkan penggemar fighting game dengan gulat profesional telah mendapat sambutan baik dari banyak anggota komunitas, dan EVO mungkin harus berinovasi juga agar dapat memberi suguhan tak kalah menarik. Bagaimana EVO akan menjawab tantangan tersebut, kita tunggu saja pada tanggal 2 – 4 Agustus nanti.

Sumber: EventHubs, All Elite Wrestling, Alex Jebailey, Joao Ferreira

Riot Games Gandeng Nielsen untuk Penyediaan Data Valuasi Sponsorship Esports

Industri esports adalah industri yang masih terus berkembang pesat. Nilai revenue yang berputar di industri ini diprediksi mencapai US$1,1 miiar di tahun 2019, dan total investasinya secara global telah mencapai angka US$4,5 miliar hanya dalam tahun 2018 saja. Namun masih ada beberapa masalah, salah satunya yaitu kurangnya rekam jejak performa perusahaan (mengingat industrinya pun masih baru) dan masih rendahnya minat para investor untuk menanamkan modal secara jangka panjang.

Untungnya hal itu dalam waktu dekat tampak akan mengalami perubahan. Riot Games, perusahaan raksasa yang kita kenal sebagai pemilik properti intelektual League of Legends, baru-baru ini mengumumkan kerja sama dengan salah satu perusahaan solusi data pasar terpercaya dunia yaitu Nielsen. Kerja sama ini bertujuan untuk mengukur nilai dari kerja sama brand yang terjadi dalam liga ataupun kompetisi League of Legends. Harapannya, data tersebut dapat membantu para brand yang terlibat di industri ini untuk melihat nilai return of investment (ROI) seperti halnya sponsorship di dunia olahraga konvensional.

“Seiring esports terus meraih momentum dengan pengiklan dan pemasar brand, kebutuhan akan verifikasi audiens dan brand exposure oleh pihak ketiga yang independen menjadi penting,” kata Nicole Pike, Managing Director di Nielsen Esports, dalam situs resminya, “Dengan kerja sama ini, kami memiliki kesempatan untuk membantu monetisasi platform Riot Games dan memvalidasi pasar yang sedang tumbuh ini.”

Nielsen sendiri telah terjun ke dunia esports pada tahun 2017 dan telah memiliki layanan sponsorship tracking khusus esports yang bernama Esport24. Ke depannya mereka akan mengukur brand exposure di berbagai kompetisi LoL sepanjang 2019 dan 2020, termasuk North America League of Legends Championship Series (LCS), League of Legends European Championship (LEC), tiga event internasional LoL, serta beberapa liga regional lainnya di Asia.

League of Legends - Rift Rivals
Rift Rivals 2019 mempertemukan tim-tim LCS melawan tim-tim LEC | Sumber: LoL Esports

Untuk mendukung usaha tersebut, Riot Games akan memberikan akses pada Nielsen untuk mengambil data agregat viewership yang mereka miliki. Termasuk memperbolehkan Nielsen mengakses data dari fitur Pro View yang beberapa waktu lalu baru diluncurkan. Metrik-metrik ini kemudian akan tersedia dalam produk Esport24.

“Kepercayaan dan transparansi adalah komponen vital dalam membangun dan menjaga relasi dengan partner brand,” kata Doug Watson, Head of Esports Insights di Riot Games, “Seiring perusahaan-perusahaan besar berinvestasi di turnamen kami, kami ingin membantu mereka melihat nilai exposure mereka dan mengidentifikasi cara terbaik untuk berinteraksi dengan para penggemar setia kami.”

Selama 12 bulan terakhir, League of Legends Esports telah menjalin kerja sama dengan berbagai brand terkemuka, termasuk Mastercard, Dell/Alienware, State Farm, dan Nike. Dengan adanya data valuasi sponsorship yang lebih transparan dan terukur, tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak brand yang tertarik berpartisipasi, baik dalam LoL ataupun esports secara umum. Tahun 2019 sejauh ini telah menjadi tahun yang menarik bagi industri esports, dan tampaknya masih akan terus bertambah menarik.

Sumber: Adweek, Nielsen Sports

Rangkuman Hasil Kontingen Indonesia di PES World Finals 2019

Gelaran PES World Finals telah selesai digelar. Setelah dua hari pertandingan, kontingen Indonesia sudah memberikan jerih payah terbaiknya dan mendapatkan hasil yang di luar dugaan. Pertandingan PES World Finals ini dibagi ke dalam dua kategori, kategori co-op dan 1v1.

Kontingen Indonesia diwakili oleh tim WANI untuk kategori co-op. tim WANI sendiri beranggotakan, Lucky Ma’arif, Rio DS, dan Rizky Faidan. Selain itu, Rizky Faidan juga kemballi mewakili Indonesia untuk pertandingan kategori 1v1.

Pada kategori co-op, tim WANI tak sedikitpun memberi celah pada musuh-musuhnya. Mereka memberikan permainan terbaiknya, sampai pada akhirnya berhasil mencapai babak final. Pada babak final, tim WANI berhadapan dengan tim Eligasul Stars dari Brazil. Pasukan Eligasul Stars terdiri dari pemain-pemain terbaik asal Brazil, salah satunya ada GuiFera99, juara PES tahun 2017 lalu.

Sumber: Facebook Liga1 PES
Sumber: Facebook Liga1 PES

Babak pertama, tim WANI cukup keteteran, langsung kejebolan 2 gol sekaligus dari Eligasul Stars. Masuk babak kedua, tim WANI sudah mulai panas. Berkali-kali mereka berhasil menemukan peluang, yang sayangnya, masih belum bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Akhirnya permainan harus berakhir dengan skor 2-0, tim WANI harus puas mendapat peringkat runner-up saja dalam gelaran PES World Finals 2019 kategori co-op.

Pada sisi pertandingan 1v1, Rizky Faidan juga berhadapan dengan lawan yang berat. Lawannya adalah Ettorito97, juara dunia PES asal Italia. Kendati demikian, Rizky tidak gentar. Ia tetap bermain dengan santai dan lepas. Sayang, nasib berkata lain. Meski Rizky sudah berjuang sekuat tenaga, ia harus rela tersisih di babak semi-final. Kalah melawan Ettorito97, 1-0.

Walau tidak berhasil meraih gelar juara, kontingen PES Indonesia sudah bisa pulang dengan terhormat. Bayangkan saja, bertanding di tingkat dunia, melawan musuh-musuh yang berat, namun bisa dapatkan peringkat runner-up untuk kategori co-op. Sementara di kategori 1v1, walaupun kalah di semi-final, menahan juara dunia dengan skor 1-0 adalah pencapaian yang sangat baik bagi Rizky Faidan.

https://twitter.com/pesleague/status/1145013406560378881

“Kalau dibilang puas, tentunya belum sih. Tapi kalau dibilang kecewa nggak juga. Target berikutnya, bisa lolos lagi di world finals, dan harus bisa juara dunia di tahun depan!” Jawab Rizky kepada redaksi Hybrid.

Sementara itu Valentinus Sanusi, penggerak komunitas PES Indonesia, juga turut memberikan komentarnya. “Semua sebenarnya sudah sesuai harapan. Target kita adalah lolos juara grup dan masuk partai final. Tapi, hasil ini memberi tantangan tersendiri untuk musim depan. Hasil ini menjadi standar hasil yang tinggi bagi kontingen Indonesia. Jadi kalau bicara target, tahun depan kita optimis harus juara.”

Sumber: @PESLeague
Sumber: @PESLeague

Setelah dua hari pertandingan, juara-juara PES World Finals akhirnya muncul. Eligasul Stars asal Brazil menjadi juara kategori co-op. Sementara dari kategori 1v1 ada Walid “Usmakabyle” Rachid Tebane pemain PES asal Monako muncul sebagai juara, .

Dengan hasil yang didapatkan, tentu menjadi momen bersuka ria bagi komunitas PES di Indonesia. Selamat! Semoga bisa target juara dunia bisa tercapai di tahun depan! Semoga mengharumkan nama Indonesia di kompetisi PES tingkat Internasional tidak lagi hanya sekadar angan-angan saja!