EVOS AOV di AWC 2019, Usaha Merengkuh Asa Menghadapi Para Jawara

Hal yang ditunggu-tunggu oleh para penikmat esports AOV akhirnya tiba, yaitu drawing day untuk fase grup dari AOV World Cup 2019. Diselenggarakan mulai dari 27 Juni 2019 mendatang, kompetisi AWC 2019 dibuka dengan pertandingan grup dengan seri round-robin antar negara peserta.

Dua belas tim peserta dibagi ke dalam dua grup yang masing-masing berisikan enam tim. Indonesia, yang diwakili EVOS Esports, tergabung ke dalam Grup B, grup yang banyak orang bilang sebagai grup neraka. Memang, isi grup tersebut adalah tim yang sudah cukup pengalaman di scene esports AOV, dan merupakan regional yang dianggap sebagai kiblat kancah kompetitif AOV internasional. Berikut hasil pembagian grup dari drawing day AWC 2019.

Sumber: Garena AOV Indonesia
Sumber: Garena AOV Indonesia

Grup A

  • Chinese Taipei – One Team (Wildcard)
  • Thailand – ahq e-Sports Club (Wildcard)
  • Vietnam – Box Gaming (Wildcard)
  • North America – BM Gaming
  • Malaysia – M8HEXA
  • Japan – Blizzard

Grup B

  • Vietnam – Team Flash
  • Chinese Taipei – MAD Team
  • Mainland China – XMan
  • Indonesia – EVOS Esports
  • Thailand – Toyota Diamond Cobra
  • Korea – NewB

Selain menjadi kiblat kancah kompetitif AOV internasional, negara yang menjadi lawan Indonesia di grup B memang terkenal sebagai negara pemain MOBA yang baik. Korea contohnya, masih jadi negara jagoan League of Legends sampai saat ini. Tiongkok baik Taiwan atau Mainland China, adalah dua regional yang terkenal merupakan jagoan di kancah MOBA internasional, termasuk juga kancah AOV.

Menghadapi grup neraka, jalan bagi EVOS untuk setidaknya lolos dari grup tentu tidak mudah. Bagaimana persiapan dan kesiapan mental para pemain dari EVOS AOV? Saya pun mencoba berbincang dengan sang pelatih EVOS AOV, Priyagung “RuiChen” Satriono.

Priyagung "RuiChen" Satriono, sosok tangan dingin di balik rentetan kemenangan tim EVOS AOV. Sumber: ESL Indonesia
Priyagung “RuiChen” Satriono, sosok tangan dingin di balik rentetan kemenangan tim EVOS AOV. Sumber: ESL Indonesia

Membicarakan soal grup neraka, ia mengakui bahwa memang grup tempat EVOS AOV bernaung lebih berat daripada grup sebelahnya. “Ambil positifnya aja, anggap saja kita sedang diuji untuk dapat membuktikan diri bahwa Indonesia tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.” jawab Agung, mencoba tidak terlalu memikirkan soal grup neraka.

Bicara soal musuh terberat, RuiChen juga terbilang tak mau terlalu ambil pusing, dan berusaha fokus dengan tim sendiri saja. “Musuh terberat tetap adalah diri sendiri kalau menurut gue. Tinggal gimana cara teman-teman EVOS AOV menghilangkan ego, menghilangkan nafsu untuk dapat kill, dan cari objektif buat menangkan permainan secara tim, bukan personal.”

“Lalu kalau bicara soal tim terkuat, jawabannya jelas MAD Team dari Taiwan. Kenapa? Kalau menurut gue skill gap antara MAD Team dengan penghuni grup lainnya memang terbilang cukup jauh. Malah, menurut gue MAD Team ini mungkin adalah kandidat juara di AWC 2019.” RuiChen menjawab lebih lanjut seputar tim yang akan dihadapinya.

1x
Salah satu tim yang paling diwaspadai dari grup B di AWC 2019. Sumber: MAD Team Official Page

Lalu bagaimana Agung memandang kemampuan EVOS AOV dalam menghadapi AWC yang berisikan jawara-jawara AOV yang punya permainan luar biasa? Ternyata RuiChen terbilang cukup optimis. Ia cukup yakin bahwa Sultandyo “MythR” Raihan dan kawan-kawan bisa lolos dari grup dengan posisi yang cukup meyakinkan. “Kami yakin bisa lolos di peringkat 3, asalkan temen-temen EVOS AOV bisa memberi performa terbaiknya. Bahkan, kalau misal tim lain kepleset, kami mungkin bisa lolos di peringkat 2.” ujar RuiChen.

Pertandingan fase grup AWC 2019 akan berlangsung pada 27 Juni 2019 mendatang. Pertandingan akan terus berlangsung sampai bulan Juli, dengan gelaran final diadakan pada 17 Juli 2019 mendatang. Bagi Anda yang ingin menyaksikan, Anda bisa pantau kanal Youtube Garena AOV Indonesia untuk siaran langsung AWC 2019 berbahasa Indonesia.

 

Tokopedia IENC Road to SEA Games Gelar Kualifikasi Daerah untuk MLBB dan Dota 2

Waktu menjelang ajang SEA Games 2019 tersisa lima bulan lagi, dan para pegiat olahraga di masing-masing cabang sudah mulai aktif menunjukkan persiapannya. Begitu pula dengan esports yang akan menempati enam slot cabang pertandingan resmi. IESPA, selaku asosiasi yang menaungi esport di Indonesia, kini menggelar acara dengan nama Tokopedia Indonesia Esports National Championship (IENC) Road to SEA Games 2019.

Tokopedia IENC Road to SEA Games 2019 adalah ajang kompetisi yang digelar untuk menjaring talenta-talenta esports dari daerah-daerah seluruh Indonesia, dan sesuai namanya merupakan salah satu jalur kualifikasi esports untuk SEA Games 2019. Ada dua cabang yang dilombakan yaitu Mobile Legends: Bang Bang dan Dota 2, sementara kualifikasi daerahnya terbagi ke dalam 12 wilayah yang jadwalnya dapat Anda lihat dalam tabel di bawah.

Tokopedia IENC Road to SEA Games 2019 - Jadwal

Setelah melalui seluruh kualifikasi daerah, Tokopedia IENC akan masuk ke babak Grand Final yang digelar di Jakarta pada tanggal 13 – 14 Juli 2019. Untuk cabang MLBB, tersedia 16 slot tim untuk bertanding di Grand Final ini, terdiri dari:

  • 2 slot undangan khusus
  • 4 slot dari kualifikasi daerah
  • 4 slot dari kualifikasi online terbuka
  • 6 slot dari undangan Mobile Legends Professional League (MPL)

Slot undangan khusus yang ada di awal saat ini sudah diisi oleh ONIC Esports dan Louvre. Sementara itu untuk cabang Dota 2, tersedia 8 slot di Grand Final yang terdiri dari:

  • 1 slot undangan khusus
  • 4 slot dari kualifikasi daerah
  • 3 slot dari kualifikasi online terbuka

Slot undangan khusus Dota 2 ini sekarang sudah diisi oleh BOOM.ID. Tiga tim undangan tersebut bisa dibilang merupakan tim-tim esports paling berprestasi di Indonesia belakangan ini. ONIC Esports dan Louvre sama-sama merupakan juara dan runner-up di Piala Presiden Esports 2019 dan MPL ID Season 3, juga merupakan perwakilan Indonesia di ajang MLBB Southeast Asia Cup (MSC) 2019. Sedangkan BOOM.ID merupakan juara ESL Indonesia Championship 2019, juga sudah memiliki banyak pengalaman bertanding di sirkuit turnamen Dota 2 internasional.

Tokopedia IENC Road to SEA Games 2019 - Kualifikasi Daerah

Sebetulnya ada satu game lagi yang dipertandingkan di IENC, yaitu Tekken 7. Akan tetapi Tekken 7 tidak memiliki babak kualifikasi daerah. Para pemain Tekken 7 yang ingin ikut berpartisipasi dapat langsung menghadiri babak kualifikasi di Jakarta saat acara Grand Final IENC pada bulan Juli mendatang.

Selain disponsori oleh Tokopedia dan didukung oleh IESPA, turnamen IENC juga didukung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI), dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Nantinya, para juara IENC akan langsung diundang untuk menghadiri pemusatan latihan nasional (pelatnas) esports pertama di Indonesia sebagai persiapan SEA Games 2019.

Pendaftaran IENC dapat disimak melalui tautan berikut. Siapakah yang akan menjadi juara IENC dan mengharumkan nama bangsa di SEA Games 2019 mendatang?

Menjadi Game Streamer: Bukan Sekadar Main Game, Bersenang-senang, lalu Dapat Uang

Terbentuknya kompetisi game menjadi industri esports, telah menurunkan suatu kultur di kalangan komunitas gamers. Kultur tersebut adalah menonton orang bermain game. Walau sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak lama, perkembangan teknologi internet dan riuh rendah industri esports membuatnya semakin populer. Kalau Anda sempat mengalami masa-masa bermain game di warnet, Anda mungkin pernah mengalami keseruan menonton seseorang memainkan game baru, atau memainkannya sangat mahir.

Seiring perkembangan zaman, teknologi internet kini membantu memfasilitasi kegiatan tersebut, membuatnya jadi lebih mudah dilakukan. Anda tak perlu lagi datang ke suatu tempat untuk menonton orang yang jago tersebut bermain. Anda cukup duduk menatap layar komputer yang sudah terkoneksi internet, untuk menonton sang jagoan main lewat platform berbagi video. Populernya fenomena ini juga menurunkan sebuah pekerjaan yang bernama streamer atau game streamer.

Pada dasarnya streamer dengan esports tak beda jauh; menjadikan kegiatan bermain game jadi varian hiburan baru buat para penontonnya. Bedanya mungkin esports lebih terorganisir dan masif, lebih banyak pemangku kepentingan untuk menyajikan tontonan kepada khalayak gamers. Ditambah lagi, esports biasanya punya aura kompetitif yang lebih kental.

Streamer di sisi lain, biasanya punya skala yang kecil, dengan hanya seorang individu menampilkan wajah, personalitas, dan keahliannya bermain game di dalam platform berbagi video demi memberi hiburan kepada para penontonnya.

Kendati pekerjaan ini lebih sering terlihat sisi menyenangkannya saja, namun bagaimana sebenarnya kenyataan di balik hal tersebut? Bagaimana senang susahnya menggeluti pekerjaan ini? Apakah bayarannya sepadan? Bagaimana dengan keberlanjutan pekerjaan ini di masa depan?

Jadi Streamer, Main Game, Lalu Tiba-Tiba Dapat Uang? 

Sumber: Red Bull Esports Official Media
Sumber: Red Bull Esports Official Media

Bicara soal streamer di luar sana, nama yang mungkin langsung terbersit di benak Anda adalah Tyler “Ninja” Blevins atau Michael “Shroud” Grzesiek. Dua nama tersebut berhasil menjadi top of mind khalayak gamers, terutama para pemain game FPS. Kita mungkin melihat mereka mengerjakan pekerjaan impian mereka; cukup main game dengan santai dan dapat uang dari hal tersebut.

Tetapi apa iya menjadi streamer hanya soal main game lalu ketiban rejeki? Tidak sesederhana itu tentunya.

Mengutip dari British Esports Associationstreamer game disebut sebagai seseorang yang merekam permainan game, lalu menayangkannya secara langsung lewat platform live-streaming yang ada di internet. Unsur live, adalah garis tegas pembeda antara streamer dengan content creator; atau yang mungkin lebih Anda kenal dengan nama YouTuber. Kalau content creator harus melewati proses editing video agar konten buatannya jadi lebih menarik. Streamer biasanya tidak perlu melewati proses editing video, karena konten yang mereka sajikan sifatnya adalah tayangan langsung.

Oke, kita sekarang sudah paham teknis pekerjaan streamer atau game streamer. Lalu, kalau saya sudah bermain game, menayangkannya secara langsung pada live streaming platform tertentu yang ada di internet, bagaimana cara mendapat uang dari sini?

Ada proses yang cukup panjang untuk sampai akhirnya Anda bisa mendapat uang dari menayangkan permainan Anda di platform streaming yang ada di internet. Pekerjaan ini sebenarnya mirip seperti kebanyak pekerjaan performer (musisi, aktor, artis, dan lain sebagainya) di dunia hiburan. Hal yang perlu Anda ingat, tugas streamer adalah menghibur para penonton. Jadi bisa dibilang, Anda baru bisa mendapatkan sesuatu setelah banyak orang terhibur dengan apa yang Anda tampilkan.

Lalu, apa modal penting yang harus dimiliki seorang streamer agar dapat menggaet para penonton. Apakah seorang streamer harus lucu? Harus jago? Atau harus punya personalitas yang unik?

Bicara soal ini kami bicara dengan Agree Cory, Public Relation & Social Media Executive dari Game.ly. Sebagai salah satu platform streaming yang sedang berkembang di Indonesia, ia sempat menceritakan soal kriteria streamer yang banyak dicari pengguna Game.ly. Menurutnya, selain kriteria-kriteria yang saya sebutkan di atas, seorang streamer juga wajib memiliki passion terhadap game yang dimainkan.

Grand Launch Game.ly. Sumber: Hybrid
Game.ly salah satu layanan streaming game di Indonesia. Sumber: Hybrid

Memang, apapun bidang pekerjaan yang Anda geluti, passion adalah bahan bakar yang membuat Anda tetap punya alasan atas apa yang Anda lakukan. Cory juga melanjutkan bahwa dengan passion, maka kecintaannya terhadap game yang dimainkan akan terpancar lewat cara ia membawakan tayangan live streaming yang sedang dilakoni.

Tetapi lebih lanjut, Cory mengatakan bahwa personalitas adalah salah satu modal penting yang perlu dimiliki seorang streamer. “Tonjolkan kelebihan dari karakter yang dimiliki, keunikan atau ciri khas dari masing-masing diri sendiri tanpa menduplikat orang lain. Sebab, hal itulah yang membuat Anda seorang streamer jadi diingat oleh banyak orang.” Jadi sebenarnya, memang menjadi jago saja tidak cukup untuk menjadi sukses di bidang ini; Anda bisa jadi atlet esports kalau memang Anda hanya modal jago saja.

Kalau Anda sadar, Shroud yang sangat jago sekalipun juga tidak serta merta terkenal karena kemampuannya bermain game saja. Beberapa sifat dan sikap yang dia miliki juga membantunya menjadi dikenal lebih banyak orang. Salah satu yang membuat dirinya jadi semakin dikenal adalah nilai hidup sederhana, jujur, suka membantu orang, dan blak-blakan yang selalu dia pegang teguh.

Nilai hidup tersebut terpancar, sehingga hal tersebut kerap menjadi konten secara spontan, yang berhasil menarik hati para penonton. Contoh nyata hal ini adalah ketika Shroud mendorong para penontonnya untuk berdonasi kepada seorang streamer perempuan yang menampilkan tayangan musik di Twitch, agar sang streamer dapat membayar tagihan pengobatannya.

Jika Anda sudah memiliki penonton setia, sudah semakin dikenal banyak orang, dari titik ini Anda sudah bisa mendapatkan keuntungan dari menjadi seorang streamers. Jalur yang punya pendapatan paling pasti adalah teken kontrak dengan platform streaming tertentu.

Kalau di luar negeri salah satu kontrak kerja sama streaming yang paling menjanjikan adalah dengan Twitch.tv. Selain karena Twitch adalah wadah utama komunitas gamers menyaksikan streamer favoritnya, menjadi Twitch Partner juga akan memberikan keuntungan tertentu seperti: mendapat uang dari setiap iklan yang ditayangkan oleh Twitch kepada para pemirsa, mendapat uang untuk setiap penonton yang subscribe pada kanal streaming milik seorang streamer, dan juga berhak mendapat uang dari setiap Bits (mata uang virtual saweran dari penonton) yang didapatkan.

Kalau di Indonesia, pilihan streaming partner terbilang cukup beragam. Ada Game.ly yang sempat menggelar ajang pencarian bakat dengan hadiah berupa kontrak tahunan. Ada juga beberapa platform streaming lain yang menyediakan kesempatan partnership dengan sang streamer, seperti NimoTV ataupun Facebook (FB) Gaming.

Tetapi, peluang pendapatan Anda tidak berhenti sampai situ saja. Anda bisa juga menerima pendapatan lewat kontrak endorse, iklan, sumbangan dari penonton, atau mungkin menjadi bintang iklan seperti Tyler “Ninja” Blevins.

Suka Duka Menjadi Streamer

Di balik dari keceriaan sang streamer, menyambut dan berinteraksi dengan para penonton, pekerjaan ini tentu bukan melulu tentang tertawa bahagia setiap saat saja. Ada saja sisi sulit atau sisi kelam dari suatu pekerjaan. Salah satu yang paling kelam yang tercatat oleh sejarah adalah, ketika pekerjaan streamer ternyata sempat membuat pelakunya meninggal dunia.

Memang, ide Brian “PoshHybrid” Vigneault menciptakan konten streaming yang menarik agak sedikit berlebihan. Ia melakukan streaming maraton selama 24 jam penuh, demi menggalang dana untuk Make-A-Wish Foundation. Mengutip artikel New York Times terbitan Maret 2017 lalu, tujuan streaming PoshHybrid ternyata tidak tercapai, dan terhenti pada durasi 22 jam. Setelah itu ia menghilang dari stream, baru setelahnya ia ditemukan telah meninggal dunia oleh kepolisian setempat.

2
Brian “Poshhybrid” Vigenault, sosok yang sempat menggemparkan komunitas game, karena kasusnya yang meninggal gara-gara streaming selama 24 jam. Sumber: Kotaku.com

Tetapi itu adalah contoh paling ekstrim. Walaupun memang punya tantangannya tersendiri, namun pekerjaan ini tidak akan menyebabkan kematian jika dilakukan sesuai dengan kadarnya.

Membahas topik ini, saya mencoba berbincang dengan Jessica “Jelly” Azali. Anda penggemar esports PUBG Mobile mungkin sudah tidak asing dengan sosok cici cantik yang satu ini. Sosoknya yang ceria kerap membuat pertandingan-pertandingan PUBG Mobile di Indonesia jadi lebih seru lewat komentar-komentar yang diberikannya. Tetapi selain menjadi shoutcaster, kini Jelly juga aktif melakukan streaming lewat platform Facebook, dan juga merupakan streamer partner dari FB Gaming.

Lalu, bagaimana sebenarnya cerita di balik layar dari seorang streamer seperti Jelly ini. Kalau soal suka-duka, ia bercerita bahwa sebenarnya ada banyak hal yang terjadi sepanjang pengalaman dirinya menjadi seorang streamer. “Suka duka sih banyak banget! Kayak roller coaster!” kata Jelly. Namun, dari semua suka-duka tersebut, menurutnya salah satu yang selalu membuatnya bahagia adalah ketika penonton sedang ramai dan kebanyakan mereka memberikan komentar-komentar positif.

streamer #3
Sumber: Jessica Azali Official Page

“Seneng banget kalau misalnya ketika streaming ramai, udah gitu banyak yang support dan memberi komentar positif.” Lalu bagaimana dengan komentar negatif? Kalau Anda adalah pengguna internet, terutama Facebook, Anda tentu paham bagaimana para warganet itu terkenal buas. Jelly sendiri mengakui kerap menerima komentar-komentar negatif yang bersifat toxic, bahkan kadang komentar-komentar yang dilontarkan menjurus ke pelecehan seksual.

Kendati demikian, Jelly cerita bahwa komentar-komentar tersebut tidak pernah ia terima sampai hati. “Komentar toxic, walaupun ada, tapi itu bukan merupakan duka bagiku, malah jadi hiburan tersendiri. Sebab, kalau ada komentar toxic biasanya malah aku balas lagi jadi komentar lucu-lucu. Intinya sih, kalau jadi streamer memang nggak boleh baper sama netizen.” Jawab Jelly, mencoba melihat sisi positif. Begitupun jika ada komentar-komentar cabul. Jelly tak pernah sampai hati menerima komentar tersebut dan membalasnya dengan becandaan saja.

Jelly, lewat pengalamannya menjadi seorang streamer juga bercerita soal apa-apa saja yang harus ditonjolkan agar penonton tetap tertarik untuk menonton. Kalau bicara soal modal awal, menurutnya jago bisa jadi salah satu hal, tapi bukan satu-satunya hal yang harus ditonjolkan.

“Karena viewer punya selera yang macam-macam, jadi wajar kalau streamer juga biasanya punya modal atau daya jual sendiri-sendiri. Ada yang modal jago, modal cantik atau tampan, atau modal personalitas entah karena dia orang yang jenaka atau memang asik diajak berbincang dengan viewers.” kata Jelly.

“Sementara kalau aku, selama perjalanan menjadi streamer, yang aku fokus adalah menjadi diriku sendiri dan tak lupa selalu berinteraksi sama penonton. Jadi kalau lagi streaming, aku ngelawak iya, becandaan toxic iya, tapi tentunya yang tidak kelewat batas, becandain viewer atau temen main juga suka aku lakukan. Intinya sih memang be yourself, percaya diri, senyum depan kamera, interaksi sama penonton, dan fokus menghibur penonton.” Jelly lebih lanjut menjelaskan senjata utama yang kerap ia gunakan dalam menggaet penonton.

Selain soal sikap yang ceria dan suka berinteraksi, Jelly menambahkan soal pentingnya kreatif berimprovisasi. Ia menceritakan ini lewat satu momen pengalaman ketika tayangan streaming yang ia tampilkan saat itu sebenarnya tidak sebegitu menarik. “Waktu itu aku pernah, 3 jam streaming cuma dapat too soon (mati terlalu cepat di PUBG). Tapi aku nggak sedih atau kecewa, malah hal tersebut aku alihkan menjadi konten. Saat akhir live aku buat kuis, aku suruh penonton hitung, ‘berapa kali Jelly too soon pada live hari ini’. Terus aku suruh penonton untuk DM ke akun Instagramku, nanti yang jawabannya benar dan yang tercepat aku kasih hadiah UC. Alhasil jadinya penonton tetap terhibur, walaupun sebenarnya aku too soon terus selama streaming.

Now It’s Live! Tapi Bagaimana Masa Depan Menjadi Streamer?

Lalu bagaimana dengan kewajiban seorang streamer yang terafiliasi dengan streaming platform tertentu? Bagaimana juga dengan pendapatannya? Apakah sebanding? Menurut salah satu streamer yang saya wawancarai (yang menolak untuk disebutkan namanya), KPI atau beban kerja seorang streamer sebenarnya lumayan.

Ada seorang steramer yang kewajiban kerjanya adalah melakukan live streaming minimal 20 video atau 20 kali per bulan, dengan durasi 3 jam setiap pada setiap video atau streaming. Angka ini mungkin kurang lebih hampir mendekati seperti kerja kantoran Senin sampai Jumat, hanya bedanya kewajiban ini bisa Anda penuhi dengan lebih fleksibel.

Jadi mungkin Anda bisa saja tidak melakukan streaming pada hari Senin, namun Anda langsung streaming selama 4 atau mungkin 6 jam pada hari esoknya. Lalu, sebenarnya seberapa berat memenuhi kewajiban tersebut? Menurut cerita streamer yang saya wawancara, sebenarnya lumayan berat memenuhi kewajiban tersebut. Jadi agar dapat terpenuhi, Anda harus cermat mengatur waktu dan tentunya juga tidak memaksakan diri untuk streaming, agar nasib Anda tidak seperti sosok PoshHybrid.

Cory dari Game.ly juga turut angkat bicara soal kewajiban streamer dari sudut pandang Game.ly. Menurutnya, streamer yang dikontrak oleh Game.ly punya kewajiban untuk streaming 80-100 jam per bulan (sekitar 3 sampai 3,5 jam setiap harinya).

Tetapi selain itu Game.ly juga punya ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh sang streamer. Salah satunya seperti memastikan konten streaming bersifat interaktif, tidak boleh bicara SARA, merokok selama live-streaming, dan terakhir juga harus memancarkan aura positif kepada khalayak yang sedang menonton.

Kalau kewajibannya terbilang cukup berat, apalagi Anda harus konsisten terlihat ceria di depan kamera selama kurang lebih 3 jam setiap hari, apakah pendapatan seorang streamer sepadan dengan beban kerjanya? Menurut cerita dari streamer lokal yang saya wawancarai tersebut, ia bisa menerima US$1500 (sekitar Rp21 juta) setiap bulannya. Namun itu belum pendapatan bersih, karena masih dipotong biaya agensi sebesar 30%. Jadi, pendapatan bersih yang ia terima adalah US$1050 (Sekitar Rp14 juta).

Angka pendapatan tersebut cukup mengagumkan bukan? Secara lokal, memang iya. Tetapi secara internasional, angka tersebut seperti butiran debu…

Kalau kita mengacu kepada streamer internasional, hasil yang mereka dapatkan bisa berkali lipat lebih besar dari streamer lokal yang saya wawancara tersebut. Pada salah satu pembahasan Hybrid contohnya, artikel tersebut menyebut Tyler “Ninja” Blevins bisa menerima sampai dengan US$1 juta dalam satu kali kontrak. Itu pun merupakan kontrak jangka pendek yang diterima Ninja ketika ia diminta untuk mempromosikan battle royale besutan EA, Apex Legends.

Apex Legends, pada saat perilisannya menggunakan jasa streamer untuk mempromosikan game mereka di kalangan komunitas gamers. Sumber: EA Official Media
Apex Legends, pada saat perilisannya menggunakan jasa streamer untuk mempromosikan game mereka di kalangan komunitas gamers. Sumber: EA Official Media

British Esports Association juga memberi contoh lain, yaitu streamer asal Inggris yang bernama Ali “GrossGore” Larsen. Menurut artikel tersebut, GrossGore bisa menerima sampai dengan 100.000 Poundsterling (sekitar Rp1,8 miliar). Itu pun hanya pendapatan yang berasal dari donasi yang diberikan para penonton saja. Belum termasuk kontrak streaming dengan platform tertentu, ads Youtube, serta banyak kontrak kerjasama lainnya.

Tapi tentunya, pendapatan tersebut hanya diterima beberapa streamer yang memang sangat populer saja. British Esports Association juga mengatakan, bahwa pendapatan sebesar GrossGore hanya diterima oleh streamer yang punya puluhan ribu penonton reguler. Jadi jika Anda baru merintis, jangan harap bisa langsung terima puluhan juta Rupiah setiap bulannya.

Selain soal pendapatan, dalam konteks Indonesia, kekhawatiran dari pekerjaan ini adalah soal infrastruktur internet yang belum sebegitu mapan. Menanggapi soal ini, Cory mengatakan bahwa di sinilah pemerintah berperan penting untuk memajukan dan menjaga kemajuan industri ini. “Pengakuan dan dukungan pemerintah memberi sinyal positif terhadap pertumbuhan industri game dan esports. Karena hal ini, kami juga yakin bahwa  pemerintah punya rencana besar untuk industri ini, yang dilakukan seiring dengan terus digarapnya pemerataan infrastruktur internet di Indonesia.”

Membahas soal industri streaming dan infrastruktur internet, saya kembali teringat dengan apa yang dikatakan Izzudin Al-Azzam, CEO Emago Cloud Gaming dalam saat membahas soal Cloud Gaming bersama Hybrid. Ketika itu ia mengutip kata-kata dari Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, mengatakan bahwa infrastruktur yang belum siap adalah saat yang tepat untuk membangun sebuah industri. Sebab kalau Anda membuat suatu teknologi atau industri saat infrastrukturnya sudah siap, kemungkinan besar Anda sudah telat.

Jadi sebenarnya, membangun brand diri Anda sendiri lewat menjadi streamer di saat infrastruktur internet Indonesia yang belum sebegitu mapan adalah saat yang tepat. Jadi nantinya brand diri Anda akan mapan berbarengan seiring dengan mapannya infrastruktur internet di Indonesia. Siapa tahu, mungkin the next Ninja dari Indonesia.

Jelly juga sempat bercerita bagaimana internet juga menjadi salah satu tantangan baginya ketika melakukan streaming. Jadi walaupun hal tersebut masih jadi kendala sampai sekarang, harapannya adalah industri streaming nantinya bisa mapan berbarengan dengan infrastruktur internet di masa depan.

Menutup pembahasan ini, patut diingat bahwa pekerjaan ini seperti banyak pekerjaan depan layar lainnya. Anda bisa dapat keuntungan yang sangat banyak dari pekerjaan ini dalam jangka waktu yang pendek, namun jangan harap popularitas tersebut bisa bertahan dengan sangat lama. Ada masanya ketika brand personal Anda sudah tidak lagi nyambung dengan zamannya.

Maka dari itu, soal nilai kreatif berimprovisasi dari cerita Jelly juga bisa Anda petik untuk menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat ini.

EA Sports Tunjukkan Mode Baru FIFA 20 Bertajuk VOLTA Football

Satu pekan ke depan mungkin akan menjadi hari-hari yang ditunggu oleh komunitas gamers. Pasalnya 8 Juni sampai 13 Juni 2019 mendatang menjadi rangkaian panjang dari gelaran Electronic Entertainment Expo (E3) 2019. Sudah menjadi tradisi, gelaran E3 selalu menjadi tempat bagi para pengembang dan penerbit game internasional untuk mengumumkan judul game terbaru mereka yang bisa bisa membuat Anda jadi terbelalak.

Dari rangkaian tersebut, salah satu yang menarik untuk disorot adalah pada tanggal 8 Juni 2019 kemarin, ketika Electronic Arts (EA) menjadi daya sorot utama dari gelaran ini. Dalam presentasinya, EA lewat sub-divisi EA Sports mengumumkan lanjutan dari seri game sepakbola besutan mereka, yaitu FIFA 20. Secara gameplay umum, perubahan dari FIFA 19 ke FIFA 20 mungkin tidak terlalu banyak, tapi satu yang menarik adalah ketika EA mengumumkan mode VOLTA Football.

Sumber: FIFA Official Documentation
Sedikit cuplikan art dari FIFA 20 VOLTA Football. Sumber: FIFA Official Documentation

Mode ini merupakan mode permainan bergaya FIFA Street atau sepakbola jalanan, dengan sebagian gameplay bersifat single-player, sebagian bersifat multiplayer, punya story mode, punya team play, bahkan punya fitur league play dengan promosi serta relegasi di dalamnya.

Berhubung mode ini adalah mode sepakbola jalanan, ada macam-macam peraturan di dalam permainan VOLTA Football. Ada peraturan 3-on-3 dan 4-on-4 namun tanpa kiper, 4-on-4 dan 5-on-5 dengan kiper, bahkan Volta Football punya mode futsal, yang mana pemain bermain 5-on-5 dengan peraturan futsal profesional. Mengiringi peraturan yang bermacam-macam, besar, dan bentuk lapangan juga beragam.

“From an underpass in Amsterdam, to a neighborhood cage in London, or a Tokyo rooftop, experience a new side of The World’s Game with VOLTA Football,” mengutip EA soal ragam bentuk lapangan dari laman resmi FIFA 20.

Terkait soal ini, Achmad Fadh selaku community manager Indonesia Gaming League, yang juga merupakan salah satu dedengkot esports FIFA Indonesia turut memberikan komentarnya. “Menurut saya ini langkah terbaik EA untuk FIFA 20, apalagi mengingat ini adalah FIFA terakhir sebelum berganti engine di konsol next-gen PlayStation 5. Mode ini sebenarnya sudah cukup ditunggu-tunggu para fans FIFA, dan harapan saya gameplay Volta Football bisa sesuai ekspektasi.”

“Saya sih berharap gameplay VOLTA Football tidak banyak berubah dibanding dengan versi lapangan besar. Saya berharap Volta Football juga memberikan sesuatu yang berbeda dibanding dengan seri FIFA Street sebelumnya.” Fadh menjelaskan lebih lanjut soal komentarnya seputar VOLTA Football.

FIFA 20 akan diluncurkan pada 27 September 2019 mendatang untuk konsol PlayStation 4, Windows PC, dan Xbox One. Bagi Anda yang sudah tidak tahan ingin memiliki game ini, Anda sudah bisa pre-order FIFA 20 sejak dari 8 Juni kemarin untuk ketiga platform tersebut.

Cerita Pengalaman SFI.Queen Jadi Runner-Up dalam Gelaran FSL Elite

Akhir pekan lalu (9 Juni 2019) menjadi konklusi dari salah satu kompetisi Mobile Legends untuk perempuan, FSL Elite. Dalam kompetisi ini, tim SFI.Queen bertandang ke Singapura untuk melawan tim-tim Mobile Legends perempuan terbaik se-Asia Tenggara. Kompetisi ini diikuti oleh empat tim, yaitu Bren Victress (Filipina), Grumpy (Singapura/Malaysia), Venus Vixens (Myanmar), dan tentunya SFI.Queen.

Dibuka dengan fase grup, pertandingan berjalan dengan cukup menarik. SFI.Queen tampil dengan cukup menjanjikan, berhasil amankan catatan clean sheet, menang tiga kali berturut-turut, tanpa kalah satu kalipun dalam seri pertandingan round robin. Ketika itu, SFI.Queen bahkan bisa menang melawan Bren Victress, tim yang digadang-gadang sebagai salah satu yang terkuat menurut sang kapten, Violetta “Caramel” Aurelia.

Caramel juga sempat bercerita, para srikandi SFI.Queen sebenarnya tidak menyangka bisa clean sheet pada hari pertama. “Karena sebenarnya lawan-lawan kami itu kuat-kuat, makanya kami sebegitu nggak nyangka bisa clean sheet saat hari pertama.” Salah satu yang juga membuat mereka tidak menyangka atas kemenangan tersebut, mungkin karena persiapan Caramel dan kawan-kawan yang dirasa kurang maksimal.

Sumber: FSL Elite Official Page
Sumber: FSL Elite Official Page

“Kalau persiapan kita sebetulnya sudah mempersiapkan draft, strategi rotasi, dan lain sebagainya sedari awal. Sayang, jaringan di penginapan kami terbilang kurang bagus, alhasil kami jadi nggak bisa latih tanding. Jadi ketika itu persiapan kami hanya sekadar briefing saja, biar mengingat kembali strategi-strategi yang akan digunakan.” cerita Caramel membahas persiapan tim.

Masuk hari kedua, pertandingan berlanjut ke fase bracket. Lawan pertama SFI.Queen adalah tim Grumpy, tim kuat yang sudah dikhawatirkan oleh Caramel dan kawan-kawan sejak hari pertama. “Dari sebelum kompetisi dimulai, kami sebenarnya sudah waswas dengan tim Grumpy. Kami sudah sering memperhatikan gerak gerik tim Grumpy jelang FSL Elite, dan kami akui permainan mereka memang yang paling rapi di antara yang lain.”

Namun, pada pertandingan pertama tersebut, mereka ternyata secara tidak diduga berhasil menang melawan Grumpy, lalu lawan Bren Victress setelahnya di babak upper finals. Tapi ternyata  dari lower bracket, Grumpy diam-diam menyergap dan menumbangkan Venus Vixens serta Bren Victress. Babak Grand Finals, Grumpy pun kembali bertanding melawan SFI.Queen.

“Sebenarnya kami sudah nggak kaget melihat Grumpy yang menang dari bracket bawah. Kami malah sepemikiran dengan tim lain, bahwa akhirnya Grumpy mau unjuk gigi kekuatan mereka yang sesungguhnya.” Bertanding melawan Grumpy yang sudah menunjukkan kekuatan penuhnya, SFI.Queen jadi tak berdaya menghadapi mereka. Alhasil, para srikandi esports Indonesia ini terpaksa takluk 3-0 di hadapan tim Grumpy.

“Kami sudah sepakat untuk memberikan yang terbaik untuk melawan tim Grumpy. Tetapi kami akui bahwa kekalahan SFI.Queen atas tim Grumpy disebabkan karena tim mereka memang jauh lebih kuat secara draft maupun strategi.” jawab Caramel membahas kembali pertandingan mereka melawan Grumpy di FSL Elite.

Sumber: FSL Elite Official Page
Sumber: FSL Elite Official Page

Setelah FSL Elite, sementara ini belum ada informasi lanjutan seputar kompetisi Mobile Legends untuk perempuan lainnya. “Untuk target ke depan, sementara sih belum ada. Tetapi setelah kehadiran kompetisi FSL, aku melihat makin banyak tim esports besar yang mulai merekrut tim ladies. Jadi menurutku ini langkah pertama yang baik buat perkembangan scene kompetisi khusus perempuan, nggak hanya di Indonesia, tapi di negara lain juga.”

Lebih lanjut soal kompetisi esports khusus perempuan, Caramel mengatakan bahwa bakal ada kompetisi untuk ladies lainnya. “Bakal ada kok, tapi untuk sementara tetap masih menunggu kepastian kompetisi-kompetisi tersebut terlebih dahulu.”

Selamat bagi para srikandi esports dari SFI.Queens yang telah memberikan semua yang terbaik untuk membanggakan Indonesia! Semoga ke depannya Caramel dan kawan-kawan SFI.Queen bisa memberikan prestasi yang lebih baik lagi, dan terus mendorong emansipasi perempuan di kancah esports Mobile Legends secara keseluruhan.

 

 

Upaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 Indonesia

Bulan April 2019 kemarin menjadi bulan berkabung buat para pemerhati esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, tanggal 25 April 2019, Rex Regum Qeon (RRQ) menutup divisi Dota 2 mereka. Tak lama berselang, 29 April 2019, The Prime Esports juga turut menutup divisi tertua mereka.

Memang, tim Dota 2 Indonesia yang paling berprestasi sampai sekarang, BOOM ID masih terus bertahan dan malah mengukir prestasi-prestasi baru di tingkat internasional. Selain itu, PG Barracx juga bahkan punya 3 tim Dota 2 (setidaknya sampai artikel ini ditulis, sepengetahuan saya). EVOS Esports juga sepertinya masih punya keyakinan dengan divisi Dota 2 mereka, berhubung belum lama menarik salah satu pemain bintang; Muhammad “inYourdreaM” Rizky.

Sumber: Instagram Team RRQ
Sumber: Instagram Team RRQ

Namun demikian, bubarnya RRQ dan The Prime bisa jadi bukti nyata memang ada masalah yang tak terurai (atau bahkan tak disadari) dengan ekosistem esports Dota 2 Indonesia. Pasalnya, kedua organisasi ini memang bisa dibilang sebagai salah dua tonggak sejarah perkembangan ekosistem esports Dota 2 Indonesia.

RRQ merupakan salah satu pionir esports Dota 2 di sini dan menjadi rumah bagi salah satu legenda Dota Indonesia, Farand “Koala” Kowara. RRQ juga menjadi tempat berkembang besarnya Kenny “Xepher” Deo, yang sempat bermain untuk TNC Tigers dan sekarang membawa nama Geek Fam. Kedua tim tadi adalah tim besar asal Malaysia.

Di sisi lain, The Prime Esports juga tak bisa dipandang sebelah mata atas signifikansinya memantapkan Dota 2 jadi game esports terlaris selama bertahun-tahun di Indonesia; sebelum mobile esports menyerbu. Mereka sempat menguasai dunia persilatan Dota 2 Indonesia beberapa tahun silam. The Prime Esports, yang dulu dikenal dengan nama TP NND, juga menjadi kampung halaman yang membesarkan nama-nama besar di Dota 2; seperti inYourdreaM, KelThuzard, Nafari, Rusman, R7, dan yang lainnya.

Untuk mencoba mengurai masalah ekosistem esports Dota 2 di Indonesia kali ini, saya pun menghubungi berbagai pihak terkait. Saya menghubungi General Manager The Prime Esports, Anton Sarwono, dan CEO Team RRQ, Andrian Pauline. Tidak lupa juga saya menanyakan beberapa pendapat shoutcaster Indonesia yang besar dari scene Dota 2 seperti Gisma “Melon” Priayudha Assyidiq, Riantoro “Pasta” Yogi, dan Dimas “Dejet” Surya Rizki.

Dari obrolan saya bersama kawan-kawan saya tadi, ada sejumlah masalah yang saling terkait yang saya temukan di ekosistem esports Dota 2. Sebelum kita membahas masalah-masalah tadi, saya kira penting saja untuk menyebutkan motivasi saya menuliskan ulasan ini. Saya pribadi sudah berkecimpung di industri game Indonesia dari 2008. Jadi, saya punya kepentingan dan keinginan untuk melihat industri ini terus bertahan (sustainable) sampai nanti di masa mendatang (atau paling tidak sampai saya sudah tak bisa bekerja lagi).

Karena itulah, saya tak bermaksud membuat tulisan ini menjadi ‘drama’ dengan menyudutkan satu pihak tertentu. Motivasi utama saya hanyalah bagaimana Anda dan kawan-kawan sekalian yang peduli dengan industri ini menyadari masalah dan berupaya bersama untuk ekosistem yang lebih baik.

Regenerasi Ekosistem yang Tersendat

Beberapa waktu yang lalu, saya sebenarnya pernah menuliskan perbincangan saya dengan Yohannes Siagian, Vice President EVOS Esports, tentang masalah regenerasi ini (Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi). Namun mungkin memang proses regenerasi sendiri adalah proses panjang yang butuh waktu.

Ketika kita berbicara soal regenerasi, hal ini tidak harus selalu berarti kehabisan pemain karena masalah usia. Saya kira saya harus meluruskan hal ini karena banyak yang masih salah kaprah. Namun permasalahan regenerasi adalah juga soal bagaimana ekosistem mampu mencetak pemain-pemain baru, dengan jenjang yang jelas.

Saya sebenarnya sudah mulai melihat persoalan ini sejak tahun 2018. Pasalnya, di banyak bursa transfer tahun lalu pun, tidak banyak nama-nama pemain yang baru muncul. Hampir semua bursa transfer pemain Dota 2 di 2018 adalah soal pemain lama yang pindah dari tim profesional ke tim lain. Bukan pemain yang benar-benar belum pernah bergabung dengan tim profesional sebelumnya.

Imbas dari impotensi regenerasi ini pun dirasakan oleh The Prime dan RRQ. Menurut pengakuannya masing-masing, baik Anton dari The Prime ataupun AP dari RRQ sebenarnya juga sudah mencoba memasukkan pemain rookie ke dalam divisi Dota 2 mereka. Namun solusi ini tak berhasil karena kendala yang tak jauh berbeda.

AP dari RRQ mengatakan bahwa kendala di para pemain rookie yang ia temukan adalah tingkat permainan mereka yang terlalu jauh di bawah standar. “Standarnya jauh banget (dengan pemain pro).” Kata AP. Standar yang terlalu jauh ini memang jadinya tidak masuk akal untuk kondisi tim Dota 2 RRQ terakhir. Pasalnya, sebelum bubar, tim mereka masih punya pemain-pemain berpengalaman seperti Rusman, R7, Yabyoo, dan Acil.

Sedangkan Anton bercerita bahwa kendalanya ada di para pemain baru yang tidak bisa full time alias bootcamp karena kesibukan mereka sebagai pelajar ataupun mahasiswa. Tanpa bootcamp, jelas perkembangan mereka jadi tak maksimal. Jadwal latihan mereka pun jadi tak bisa optimal seperti layaknya para pemain yang bisa terus tinggal di gaming house.

Masalah regenerasi tadi terjadi karena memang tak ada ruang-ruang kompetitif untuk kelas amatir ataupun pelajar (mahasiswa) sebelumnya. Tahun 2018 dan 2019 ini sebenarnya sudah ada beberapa kompetisi Dota 2 untuk kelas di bawah profesional, seperti JD HSL untuk kelas SMA dan IEL untuk kelas mahasiswa. Namun demikian, sekali lagi, proses regenerasi butuh waktu.

IEL University. Sumber: IESPA
IEL University. Sumber: IESPA

Di sisi lainnya lagi, menurut saya, persoalan regenerasi ini juga terjadi tak hanya untuk suplai pemain namun juga untuk orang-orang di belakang layarnya. Dalam kasus ini, ekosistem esports kita juga masih kekurangan suplai manajer tim yang mumpuni.

Saat saya berbincang dengan Anton dari The Prime, saya pun menanyakan hal ini, “jika punya manajer tim yang hebat, apakah memungkinkan sebuah tim bisa berkembang tanpa bootcamp?” Anton pun menjawab, “mungkin saja.”

“Betul (talent pool manajer yang kurang juga). Makanya ada beberapa divisi (The Prime) yang masih gua pantau dari jauh. Cuma, kalau manajernya qualified, langsung gua lepas.” Cerita Anton.

Berhubung akan terlalu panjang jika dibahas detailnya di sini, mungkin saya akan bahas khusus soal manajer tim esports di lain waktu. Namun singkatnya, meski memang idealnya manajer tim bisa ditempati oleh mantan-mantan pemain seperti Aldean Tegar Gemilang dari EVOS Esports ataupun Brando Oloan dari BOOM ID, jalur tersebut makan waktu terlalu lama untuk mencetak sumber daya manusia baru yang kompeten.

Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Brando Oloan. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Meski demikian, persoalan suplai pemain profesional mungkin lebih pelik ketimbang manajer tim. Karena kemampuan mengatur sumber daya manusia bisa dilatih di ruang-ruang lain, di luar ekosistem esports. Sedangkan mencetak para pemain rookie yang siap naik kasta memang hanya bisa dilakukan di dalam ekosistem esports-nya sendiri.

Absennya Dukungan Publisher

Jika berbicara mengenai ruang kompetitif buat kelas rookie, memang ada 2 pihak yang bisa dibilang ideal untuk menangani hal ini: pemerintah dan publisher game tersebut. Sayangnya, untuk Dota 2, mungkin kita tidak akan bisa sampai pada kondisi ideal.

Jika berbicara soal peran pemerintah di esports, jujur saja, saya tak berharap banyak. Kenapa? Karena industri esports Indonesia sendiri belum bisa menjadi sumber devisa untuk negara. Lain halnya jika esports sudah bisa menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk negara.

Di sisi lainnya, AP dari RRQ mengutarakan pendapatnya bahwa publisher game-nya lah yang seharusnya memerhatikan masalah ekosistem rookie. “Ini dari developer/publisher game-nya yang harusnya notice. Mereka yang punya power lebih. Tapi ada baiknya juga semua pelaku di industri aware tentang hal ini.” Ujar AP.

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat AP tadi. Sayangnya, dari awal Dota 2 dirilis, saya belum pernah mendengar bisikan-bisikan tentang keseriusan Valve menggarap scene esports game mereka di Indonesia.

Kenapa publisher merupakan pihak yang ideal untuk menggarap scene rookie? Karena hal tersebut adalah bentuk investasi jangka panjang untuk pihak ketiga, tim dan event organizer, dan tidak semua pelakunya punya kapasitas untuk itu.

Namun demikian, ketimbang menanti Valve melirik esports Indonesia yang mungkin tak akan pernah terjadi, para pelaku industri esports kita harus mau bertindak dan berbuat sesuatu.

Sumber: Dota 2 Official Media
Sumber: Dota 2 Official Media

“Harusnya ada roadmap yang jelas, setiap turnamen besar harus dipaketin sama turnamen amatirnya. Bahasa sederhananya… Amatir scene perlu disubsidi. Nyari untung di pro-scene; tapi supaya industrinya sustain, harus ada timbal baliknya dong. Jangan semua mau metik tapi ga mau menabur. Hahaha!” Jelas AP seraya berseloroh.

Hal yang serupa juga diutarakan oleh Gisma A.K.A Melondoto. Para pelaku industri harus mau membagi porsi antara mobile esports (yang mungkin sekarang dianggap lebih menguntungkan) dan PC. Misalnya, 70% resource untuk mobile dan 30% untuk PCMenurut Melon, ajang kompetitif untuk kelas amatir memang bisa jadi solusi untuk regenerasi.

Saya kira memang solusi soal ajang kompetitif untuk amatir ini memang harus segera dijalankan, ataupun digalakkan buat yang sudah berjalan, karena proses pematangan para pemain amatir butuh proses yang tidak sebentar.

Minimnya Pemahaman Exposure sebagai Komoditas Industri

Jika berbicara soal esports mobile, tak jarang hal tersebut juga sering dijadikan kambing hitam atas menurunnya popularitas esports di PC; seperti yang diutarakan oleh Dimas Dejet. Ia berpendapat bahwa esports mobile membuat esports PC kalah dalam hal exposure. Lagipula, Dejet juga menambahkan bahwa esports sekarang adalah soal industri. Jadi, menurutnya, ada ideologi yang harus dikorbankan. “Ada kalanya nyerah sama ideologi daripada memaksakan sesuatu yang tidak menghasilkan.” Ungkap Dejet.

Saya pribadi setuju dengan sebagian pendapatnya. Dari sisi exposure, saya kira saya tak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa esports PC memang kalah popularitasnya saat ini. Menurunnya exposure esports PC memang ada kaitannya dengan meningkatnya popularitas esports mobile. Namun, masih banyak orang yang mungkin belum sadar betul soal perhatian dan exposure sebagai komoditas.

Faktanya, jika kita berbicara soal exposure atau perhatian end-user, ada satu batasan absolut yang tak dapat dipungkiri; yaitu waktu kita.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Setiap manusia, siapapun itu, cuma punya waktu sehari 24 jam. Jika ada lebih banyak orang yang menghabiskan waktunya bermain game mobile ataupun menonton esports-nya, hal ini berarti lebih sedikit waktu yang tersisa untuk esports lainnya (dalam hal ini PC). Namun demikian, hitung-hitungan tadi hanya berlaku untuk end-user yang memang bermain game ataupun menonton esports untuk 2 platform, PC dan mobile.

Padahal, saya tahu betul bahwa memang ada orang-orang yang hanya bermain game di satu platform dan orang-orang yang tidak menonton semua pertandingan esports untuk semua game yang ada. Misalnya, ada banyak orang yang memang hanya bermain di console ataupun hanya di PC.

Banyak yang mengatakan bahwa platform mobile lebih populer gara-gara harganya dan mobilitasnya. Hal tersebut memang ada benarnya namun jarang saya yang mendengar argumentasi soal keterbatasan waktu untuk gamer console dan PC. Maksud saya seperti ini, bisa jadi, gamer PC dan console itu memang punya waktu luang yang lebih terbatas. Kembali lagi, kita semua punya keterbatasan waktu yang absolut.

Karena itu, gamer PC dan console mungkin tidak akan punya banyak waktu lebih untuk menonton esports-nya. Apalagi, jika berbicara soal exposure dan perhatian, esports Dota 2 sendiri harus bersaing dengan pertandingan-pertandingan tingkat internasional (Minor ataupun Major). Jadwal turnamen luar dan dalam negeri sendiri sudah tak relevan lagi diperdebatkan jika perspektif waktu tadi masih disadari.

Maksud saya seperti ini, anggaplah di satu hari ada turnamen Minor jam 2 pagi. Fans yang menonton pertandingan itu sampai selesai, mungkin tak akan menonton pertandingan lokal keesokan harinya karena masih mengantuk setelah begadang semalaman. Jadwal pertandingan sudah tak lagi relevan dalam berebut perhatian penonton karena, nyatanya, kita punya kesibukan lainnya setiap hari yang menghabiskan waktu.

Kenapa hal ini jadi masalah yang penting disadari? Karena industri yang baik adalah yang paham betul soal komoditas, satuan, dan alat tukar industri tersebut.

Kurangnya Fokus dan Investasi Jangka Panjang

Mengutip kembali kata AP di atas tadi, yang mengatakan bahwa masalah regenerasi harus disubsidi, saya memang setuju sekali dengan tujuannya. Namun, saya pribadi kurang setuju dengan istilah dan konsep soal ‘subsidi’ untuk regenerasi.

BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.
BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.

Di sisi lain, dari obrolan saya bersama Dejet dan Melondoto, pandangan esports mobile yang lebih menggiurkan dan menguntungkan saat ini memang jadi konsensus sebagian besar pelaku bisnis esports di Indonesia. Tak hanya itu, dari pengalaman saya berbincang dengan berbagai pelaku industri esports belakangan ini juga mengemukakan hal yang senada. Maka dari itu, lebih banyak pelaku bisnis esports (mulai dari tim, EO, sponsor, media, bahkan para pekerjanya) saat ini yang fokus menggarap game-game mobile ketimbang PC; termasuk Dota 2.

Lalu apa benang merahnya antara soal istilah ‘subsidi’ tadi dan pergeseran tren ke mobile esports? Menurut saya, benang merahnya ada di kurangnya fokus dan investasi jangka panjang di banyak pelaku bisnisnya.

Itu tadi kenapa saya kurang setuju dengan istilah ‘subsidi’. Subsidi itu seperti sebuah sedekah atau hibah, yang memang tidak mengharap imbalan. Sedangkan menghidupkan ekosistem kompetitif untuk tingkat amatir adalah soal investasi jangka panjang, setidaknya menurut saya pribadi. Pasalnya, memang harus ada imbas alias keuntungan yang diharapkan dan bahkan direncanakan dari soal investasi untuk ekosistem kelas amatir.

Izinkan saya mengambil contoh dari pemain industri-industri besar di luar sana. Jika kita berbicara soal industri teknologi, R&D (research and development) adalah bentuk investasi jangka panjangnya. Menurut laporan dari Recode yang dirilis di VOX tahun 2018, Amazon bahkan menggelontorkan dana sampai mendekati angka US$23 miliar untuk R&D. Alphabet, induk perusahaan Google, merogoh kocek mereka sampai dengan US$16 miliar untuk kebutuhan yang sama. Sedangkan Intel mencapai angka US$13 miliar dan Microsoft mencapai angka US$12 miliar.

Modal untuk R&D yang besarnya amit-amit tadi memang tak bisa langsung diraih keuntungannya dalam waktu dekat namun hal ini harus dilakukan untuk memastikan para pemain tadi (termasuk industrinya) masih bisa sustain untuk jangka waktu yang panjang.

Kurangnya fokus untuk jangka panjang ini jugalah yang saya lihat dari para pelaku industri esports yang beramai-ramai menggelontorkan sebagian besar anggaran ke mobile esports, hanya karena trennya lagi ramai di sana.

Sebelum salah kaprah, saya harus katakan bahwa saya tak ada masalah dengan ramainya esports mobile. Saya pribadi, sebagai salah satu pelaku industri game Indonesia, sungguh bersyukur ada Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) dan Moonton di Indonesia. Karena, bagaimanapun juga, mereka punya andil besar membawa industri esports Indonesia sampai ke titik ini.

Sumber: ThePrime official Media
Sumber: ThePrime official Media

Kritik saya bukanlah soal esports mobile-nya namun kepada perilaku gegabah yang mengambil keputusan hanya dari sebatas tren semata tanpa ada pertimbangan konsekuensi jangka panjang. Jika hal ini terus dilakukan, bukan tidak mungkin juga game-game esports mobile yang sedang naik daun sekarang akan mengalami nasib yang sama.

Misalnya saja soal tren yang terjadi di ajang kompetitif di 2018. Tahun lalu, sebagian besar turnamen esports pihak ketiga (jika tidak mau dibilang semua) pasti ada pertandingan Mobile Legends nya. Bagi saya pribadi, hal ini juga sebenarnya tidak baik untuk sustainability dari Mobile Legends karena fans esports nya bisa jadi bosan dan ‘kebal’ dengan hype yang coba ditawarkan.

Anggap saja seperti ini, andaikan ada Piala Dunia dan Liga Champion (sepak bola) 5 kali dalam setahun. Apakah hype-nya masih bisa terjaga? Saya kira tidak.

Hal ini juga sebenarnya terjadi untuk kasus Dota 2. Faktanya, sebelum ada Mobile Legends, Dota 2 menjadi favorit para penyelenggara esports di Indonesia. Namun semuanya memang hanya memilih Dota 2 karena trennya saat itu, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut.

Memikirkan solusi mencari keuntungan dari investasi jangka panjang itu memang tidak mudah karena tingkat kompleksitasnya yang tinggi. Namun, buat Anda yang membaca artikel ini, tak ada salahnya juga untuk mulai berpikir ke depan dan mulai membuka diskusi tentang ini.

Faktanya, pengetahuan kolektif (collective wisdom and knowledge) adalah yang membuat kita manusia berkembang sampai hari ini, menguasai dunia, dan berbeda dari binatang lainnya.

Soft Skill Pro Player Dota 2 yang Perlu Digali Lebih Jauh

Sumber: Dota 2 Official Blog
Sumber: Dota 2 Official Blog

Obrolan saya bersama Pasta lah yang membuat saya menyadari memang butuh satu bagian lagi dalam upaya saya kali ini mengurai permasalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

“Sama ini paling, player-nya bisa branding diri mereka juga atau engga, supaya penonton bisa lebih antusias buat nontonin mereka live stream atau tanding. Kalau di MLBB kan gitu.” Ujar Pasta.

Di sisi lainnya, saat saya berbincang dengan AP dan Anton, saya juga sebenarnya menanyakan soal memasukkan pemain luar negeri ke divisi Dota 2 mereka. Kendala yang mereka rasakan soal ini juga sama, yaitu soal bahasa.

2 hal tadi adalah soal soft skill yang saya kira punya pengaruh terhadap masalah ekosistem Dota 2 Indonesia.

Mari kita bahas soal bahasa lebih dulu. Tim-tim Dota 2 luar negeri sebenarnya juga terdiri dari pemain-pemain berbagai negara. OG saat menjadi juara The International 2018 berisikan pemain-pemain dari 5 negara. Team Liquid saat jadi juara The International 2017 bahkan berisikan pemain dari 6 negara.

Di CS:GO, ada 2 pemain Indonesia yang juga bermain untuk tim Tiongkok, TYLOO; Hansel “BnTeT” Ferdinand dan Kevin “xccurate” Susanto. Saya yakin mereka tidak pakai bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan rekan satu timnya yang berasal dari Tiongkok.

Selain berguna untuk timnya sendiri yang memungkinkan untuk mengambil pemain luar negeri, penguasaan bahasa selain bahasa Indonesia sebenarnya penting juga untuk para pemain kita jika tidak ingin terjebak dengan scene esports lokal. Soal ini, solusinya mungkin sudah bisa dimulai dari sekarang untuk tim-tim esports lokal yang bermain game esports yang scene-nya besar di luar sana; seperti menerapkan aturan untuk pembelajaran bahasa Inggris untuk semua pemainnya.

Di sisi lain, seperti yang diungkap oleh Pasta tadi, saya pribadi setuju dengan pendapatnya soal para pemain Dota 2 Indonesia yang memang kurang memanfaatkan panggung mereka sebagai figur publik. Selebritas atau popularitas pemain esports, menurut saya, memang berpengaruh terhadap scene-nya secara keseluruhan.

Maksud saya seperti ini, rivalitas antara Messi dan Ronaldo (sebelum pindah ke Juventus) adalah salah satu faktor juga ramainya penonton pertandingan antara Barcelona dan Real Madrid. Hal ini juga terjadi di pertandingan MLBB antara RRQ dan EVOS Esports, karena masing-masing punya Lemon dan JessNoLimit. Ketokohan dua pemain tadi di MLBB, saya kira berpengaruh terhadap jumlah penontonnya.

Dari pengalaman saya sebagai jurnalis, saya sendiri merasakan bahwa para pemain MLBB itu lebih ramah terhadap media. JessNoLimit yang bahkan punya 5,5 juta subscribers di YouTube itu media darling karena memang ia cukup pandai bersikap kepada para awak media. Demikian juga dengan banyak pemain MLBB yang saya kenal seperti Oura, G, Fabiens, Arss, Jeel, dan kawan-kawannya yang akan terlalu banyak jika disebutkan semuanya di sini.

Memang, tak semua pemain MLBB juga terbuka diwawancarai (buat anak-anak media esports dan game pasti tahu siapa saja yang saya maksud, hahahaha…) Namun, setidaknya jumlah para pemain MLBB yang lebih ramah saat dimintai kutipan ataupun komentar itu lebih banyak ketimbang pemain Dota 2 (setidaknya berdasarkan pengalaman saya pribadi).

Soft skill semacam bahasa ataupun kepandaian memanfaatkan panggung sebagai figur publik ini, saya percaya betul sangat berpengaruh terhadap ekosistem esports-nya secara keseluruhan. Harapannya, lebih banyak manajemen tim yang juga mulai menyadari betapa pentingnya hal ini untuk diajarkan.

Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull
Wings Gaming saat juara TI6. Sumber: Red Bull

Penutup

Sebelum jadi skripsi ratusan halaman, itu tadi 5 masalah yang saya temukan berpengaruh terhadap ekosistem Dota 2 di Indonesia. Saya kira masalah-masalah ini juga sebenarnya terjadi di ekosistem game esports lainnya di Indonesia (CS:GO uhuk…).

Jadi, dari upaya saya mengurai permasalahan ini, semoga saja kita semua bisa belajar lebih jauh dan berdiskusi sehat demi ekosistem esports Dota 2 ataupun game esports lainnya yang lebih dewasa dan berumur panjang.

Jagoan-Jagoan MLBB Asia Tenggara Siap Tarung untuk MSC 2019

Buat yang belum tahu, MSC adalah singkatan dari Mobile Legends: Bang Bang Southeast Asia Cup. MSC ini adalah kompetisi esports resmi dengan kasta tertinggi untuk Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) yang digelar setiap tahun.

MSC memang bisa dibilang kasta tertinggi, meski masih meliputi wilayah Asia Tenggara; karena belum ada lagi kejuaraan MLBB yang cakupan wilayahnya di atas MSC.

Dikutip dari EGG Network, JJ Lin, Esports Manager of Moonton memberikan komentarnya, “para fans dapat melihat kompetisi yang sengit selama 3 hari karena tim-tim terbaik se-Asia Tenggara akan saling berhadapan. Kali ini, kami telah memastikan bahwa setiap tim dapat bermain di panggung megah dan fans menikmati aksi spektakuler selama acara. Jadi, pastikan Anda mendapatkan tiketnya dan bergabung bersama kami untuk menjadi saksi lahirnya legenda baru di Smart Araneta Coliseum mulai tanggal 21 Juni 2019.”

Sumber: MSC
Sumber: MSC

MSC 2019 ini adalah MSC yang ketiga karena pertama kali digelar di 2017. Menariknya, jika MSC 2017 dan MSC 2018 digelar di Indonesia, MSC 2019 tak lagi digelar di sini; melainkan di Filipina. Kompetisi bergengsi ini nantinya akan digelar di Smart Araneta Coliseum, di kota Manila, tanggal 21-23 Juni 2019.

Sayangnya, hanya babak Grand Finalnya tadi yang bisa disaksikan secara langsung di tempat. Babak grupnya, tanggal 19-20 Juni 2019, hanya bisa ditonton lewat live streaming di Facebook Fanpage MLBB.

Tiket Menonton Langsung

Buat Anda yang ingin menonton langsung di tempatnya, ada berbagai jenis tiket yang harus ditebus dengan detail sebagai berikut:

Jenis tiket MSC 2019. Sumber: EGG Network
Jenis tiket MSC 2019. Sumber: EGG Network

Harga tiket tertinggi (paket 3 hari tiket Mythic), mungkin memang cukup mahal, yakni ₱1710 (sekitar Rp470 ribu), namun Anda bisa mendapatkan Skin EPIC juga dengan membeli tiket ini. Sedangkan untuk pemegang tiket Legendary (sekitar Rp350 ribu), Anda juga bisa mendapatkan Skin SPECIAL.

Buat pemegang paket tiket 3 hari di bawah dua kelas tadi, Anda juga masih bisa mendapatkan Skin namun dengan rarity Normal.

Skema tempat duduk MSC 2019. Sumber: EGG Network.
Skema tempat duduk MSC 2019. Sumber: EGG Network.

Peserta MSC 2019 dan Pembagian Grupnya

Seperti yang kami tuliskan tadi, berhubung MSC memang merupakan ajang paling bergengsi untuk esports MLBB, peserta MSC 2019 ini juga merupakan tim-tim terbaik dari berbagai penjuru Asia Tenggara. Ada 12 tim peserta yang akan memperebutkan total hadiah US$120 ribu (sekitar Rp 1,7 miliar).

Penentuan tim peserta yang berhak berlaga di sini ditentukan oleh 2 hal. Buat negara-negara yang sudah memiliki MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) seperti Indonesia, Malaysia-Singapura, Filipina, dan Myanmar, peserta MSC 2019 adalah Juara 1 dan Juara 2 dari MPL Season 3 di masing-masing negara.

Sedangkan buat negara-negara yang belum ada MPL nya (Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos), ada kualifikasi khusus untuk MSC 2019 namun negara-negara tersebut hanya berhak mengirimkan satu perwakilan tim saja.

Berikut ini adalah 12 peserta MSC 2019 beserta jalurnya masing-masing:

  • ArkAngel (Juara 1 MPL-PH Season 3)
  • Bren Esports (Juara 2 MPL-PH Season 3)
  • ONIC Esports (Juara 1 MPL-ID Season 3)
  • Louvre Esports (Juara 2 MPL-ID Season 3)
  • Geek Fam (Juara 1 MPL-MY/SG Season 3)
  • EVOS Esports (Juara 2 MPL-MY/SG Season 3)
  • Team Resolution (Juara 1 MPL-MM Season 2)
  • Burmese Ghouls (Juara 2 MPL-MM Season 2)
  • Team IDNS (dari kualifikasi Thailand)
  • Overclockers (dari kualifikasi Vietnam)
  • Diversity Helheim (dari kualifikasi Kamboja)
  • WAWA Gaming (dari kualifikasi Laos)

Dari 12 nama tadi, buat yang belum terlalu tahu soal sejarah peta kekuatan tim MLBB di Asia Tenggara, ada 3 tim peserta yang sebelumnya ikut serta meramaikan MSC 2018.

Pembagian Grup MSC 2019. Sumber: EGG Network.
Pembagian Grup MSC 2019. Sumber: EGG Network

Pertama, IDNS bisa dibilang tim terkuat MLBB dari Thailand dari tahun 2017. Mereka adalah juara pertama MSC saat digelar pertama kali di 2017. IDNS kembali bertarung di MSC 2018 namun sayangnya mereka tak meraih hasil maksimal kala itu.

Kedua, ada Bren Esports. Tim ini sebenarnya begitu mengerikan, baik di Filipina ataupun di Asia Tenggara. Inilah sang juara bertahan di MSC 2018. Saat itu, mereka (yang kala itu masih menggunakan nama Aether Main) tak terkalahkan di MSC 2018. Sayangnya, sepertinya mereka sedikit menurun performanya karena bahkan tak berhasil jadi juara di MPL-PH Season 3.

Tim terakhir yang juga pernah ikut serta di MSC 2018 adalah Burmese Ghouls dari Myanmar. Kala itu, tim Myanmar ini memang tak terlalu mendapatkan sorotan. Namun tahun kemarin memang belum ada MPL-MM. Jadi, bisa saja mereka belum punya banyak jam terbang di kompetisi tingkat profesional. Siapa tahu, tim ini dapat memberikan kejutan yang berarti di MSC 2019 ini nanti.

Satu lagi yang mungkin menarik untuk dibahas adalah nama EVOS Esports yang turut serta di MSC 2019. EVOS Esports yang berhak bertanding di MSC 2019 ini adalah EVOS Esports SG yang menjadi juara 2 di MPL MY-SG. Padahal, sebelumnya, EVOS Esports Indonesia yang beranggotakan JessNoLimit, Oura, dan kawan-kawannya turut meramaikan MSC 2018. Sayangnya, EVOS Esports tadi justru kalah di hari pertama Grand Final MPL-ID Season 3.

Akhirnya, buat para fans esports MLBB yang tidak bisa pergi ke Manila nanti, Anda tetap bisa menonton semua pertandingan MSC 2019 lewat live streaming di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang. Sedangkan untuk informasi lebih lanjut tentang MSC 2019 dan pembelian tiketnya, Anda bisa mengunjungi laman resmi MSC 2019.

Apakah ONIC Esports masih bisa mendominasi ajang kompetitif MLBB jika lawan-lawannya adalah tim-tim terbaik se-Asia Tenggara (mengingat mereka memang begitu dominan di dunia persilatan MLBB Indonesia belakangan ini)?

Semoga Indonesia akhirnya bisa mengklaim sebagai jagoan terbaik untuk MLBB di Asia Tenggara setelah gagal meraih predikat tersebut 2 tahun berturut-turut…

Ferrari Turut Meriahkan New Balance Esports Series di 2019

F1 New Balance Esports Series adalah ajang esports balap simulasi tahunan hasil kerjasama antara Codemasters dan F1. Tahun ini, ajang balap ini punya durasi musim yang lebih panjang dan total hadiah yang lebih besar dari tahun sebelumnya.

Untuk Ferrari sendiri, tahun lalu mereka absen dari ajang ini. Namun sekarang, 10 pembuat mobil F1, semuanya turut berpartisipasi.

F1 New Balance Esports Series 2019 ini sebenarnya sudah menjalankan kualifikasinya sejak tanggal 8 April 2019 untuk 3 platform berbeda: PS4, Xbox One, dan PC. Pembalap-pembalap terbaik di kualifikasi tersebut akan mendapatkan undangan untuk berlaga di babak Pro Draft pada bulan Juli tahun ini sebagai event terakhir untuk menentukan siapa para pembalap yang berhak turut serta.

Sumber: F1 Esports.
Sumber: F1 Esports.

Musim 2019 ini akan terbagi jadi 4 live events (naik dari 3 di 2018). Sedangkan hadiahnya naik 2x lipat lebih dari US$200K jadi US$500K (sekitar Rp7 miliar).

New Balance kembali menjadi sponsor utama ajang ini. Sedangkan Fanatec akan menjadi penyedia hardware dan DHL akan menjadi sponsor untuk Fastest Lap Award.

“Kami sangat bergembira menyambut kesepuluh tim yang berpartisipasi di F1 New Balance Esports Series 2019.” Ujar Julian Tan, Head of Growth untuk F1 Esports yang kami kutip dari laman resmi F1 Esports.

“Tahun lalu, kita melihat pertumbuhan besar untuk seri ini dan, dengan melihat komitmen Ferrari turut berlaga di ajang virtual ini, kami akan terus meningkatkan seri ini ke tingkat yang lebih tinggi sembari terus menyelaraskan olahraga virtual dan real-world; menciptakan suguhan esports paling inovatif yang ada di dunia, baik di ajang balap ataupun di luar itu. Dengan 10 tim yang akan bertarung untuk memperebutkan US$500K, musim ini akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah.” Lanjut Julian.

Buat yang belum terlalu familiar dengan esports balap simulasi, cabang esports inilah yang mungkin memang paling dekat dengan olahraga ‘tradisional’. Pasalnya, esports balap virtual saat ini sudah menjadi ajang pencarian bakat buat tim-tim balap real world untuk mencari bibit-bibit baru.

Di Indonesia sendiri, esports balap virtual juga bahkan telah mendapatkan dukungan dari Ikatan Motor Indonesia (IMI). Mereka mendukung esports balap simulasi dengan tujuan menciptakan pembalap-pembalap simulasi baru agar nantinya mampu menjadi pembalap real world, seperti Rama Maulana.

Suguhan Beasiswa dan Program Esports dari Sekolah PSKD

Sebenarnya, SMA 1 PSKD memang sudah membuat gempar industri gaming Indonesia saat mereka mengenalkan program esports mereka di 2016. SMA ini menjadi institusi pendidikan formal pertama yang justru merangkul esports sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Di tahun 2019 ini, mereka semakin memantapkan langkah mereka sebagai institusi pendidikan yang merangkul komunitas gaming; yang biasanya dijauhi oleh kebanyakan institusi pendidikan formal.

Program esports SMA 1 PSKD yang sekarang merupakan lanjutan yang lebih komprehensif dari program sebelumnya. “Kalau dulu, game mobile belum masuk secara full. Tahun ini sudah. Sebelumnya belum ada dukungan juga dari publisher gamenya. Sekarang kita sudah mendapatkan dukungan dari Garena dan Tencent.” Ujar Yohannes Siagian, Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD.

Kerennya lagi, murid-murid peserta program esports di sekolah ini juga akan mulai ikut turnamen kelas umum (yang bukan khusus untuk pelajar).

Apakah hal ini berarti murid-murid PSKD akan ikut turnamen sekelas PINC, misalnya? Tanya saya ke Joey, sapaan akrab Yohannes; yang sekarang juga menjabat sebagai Vice President EVOS Esports.

“Kalau level anak-anak bisa mencapai tingkat itu, kita akan daftarkan. Realistisnya akan perlu 1-2 tahun minimal sebelum bisa ikut selevel PINC tapi goal-nya mulai ke arah sana. Kemungkinan juga akan pakai nama ‘PSKD Esports’ or yang serupa.” Jelas Yohannes.

Hal tersebut sangat layak diacungi beribu-ribu jempol (andai saya punya tangan sebanyak itu). Pasalnya, memberikan lebih banyak pengalaman esports kepada kaum muda adalah salah satu solusi masalah regenerasi yang sudah mulai terasa imbasnya di ekosistem esports Indonesia.

Buat yang belum tahu banyak soal program esports dari PSKD, Anda bisa membaca sendiri informasi lengkapnya di PSKDEsports.com. Namun, singkatnya, izinkan saya menceritakan sedikit tentang program tersebut.

Program pembinaan esports SMA 1 PSKD adalah program pembinaan intensif yang diintegrasikan dengan program pendidikan formal di tingkatan SMP dan SMA. Saat ini, program pembinaan esports PSKD sudah bisa didapat di 2 sekolah berikut ini:

  1. SMA 1 PSKD. Jl. Diponegoro No.80 Senen, Jakarta Pusat.
  2. SMP 1 PSKD. Jl. Kwini 1 No. 1. Senen, Jakarta Pusat.

Rencananya, akan ada 2 lokasi tentatif untuk tahun ajaran 2019/2020 juga, yaitu:

  1. SMA 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
  2. SMP 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sedangkan untuk program pembinaan esports-nya sendiri, ada 5 game yang sudah tersedia di sini. Kelima game tersebut adalah:

  1. PUBG Mobile
  2. Arena of Valor
  3. Free Fire
  4. Dota 2
  5. Mobile Legends

Selain pembinaan kompetitif yang spesifik untuk game-nya, mereka juga menggelar ‘jurusan’ untuk:

  1. Content Creation and Management
  2. Social Media Management
  3. Game Casting and Broadcasting
  4. General Esports

Sayangnya, sampai artikel ini ditulis, program esports dari PSKD ini hanya tersedia untuk murid-murid sekolah itu. Jadi, Anda harus memindahkan sekolah anak, adik, ataupun keponakan Anda jika ingin mendapatkannya. Namun demikian, Yohannes mengatakan bahwa mereka juga sedang mempersiapkan program pembinaan usia muda yang ditujukan untuk umum.

Beasiswa Esports PSKD

Lalu bagaimana soal beasiswanya? Seperti apakah bentuknya? Dan bagaimana proses seleksinya?

“Beasiswa esportsbasically, kita akan subsidi biaya pendidikan anak yang memang punya talenta dan potensi di esports; selama dia berkomitmen untuk belajar benar, kerja keras, mengikuti program, disiplin, dan mengikuti peraturan. Sedangkan prestasi dan juara tidak masuk pertimbangan untuk mempertahankan beasiswa.”

Di sekolah ini, ternyata juga ada dua macam beasiswa, yaitu beasiswa ekonomi dan prestasi. Beasiswa prestasi bisa diberikan untuk siswa yang mampu ataupun tidak mampu. Namun, jika sudah mendapatkan beasiswa prestasi namun masih kesulitan biaya, sekolah akan menambahkan dengan beasiswa ekonomi.

Lalu bagaimana cara mereka menentukan murid yang layak mendapatkan beasiswa?

Joey pun bercerita ada beberapa hal yang dipertimbangkan sebelum memberikan beasiswa. Sifat-sifat siswa dan nilai akademis mereka akan berpengaruh terhadap keputusan ini.

“Mau bekerja keras, humble, bersedia mengorbankan waktu dan tenaga untuk mencapai cita-citanya dan disiplin.” Jawab Yohannes saat saya tanyakan sifat-sifat yang dicari dari murid penerima beasiswa.

Namun demikian, menurut saya, hal tersebut mungkin masih sedikit ambigu atau mungkin terlalu subjektif karena semua orang bisa mengklaim sifat-sifat itu semua.

Karena itu, Yohannes pun meyakinkan saya bahwa proses wawancara saat seleksinya yang menjadi sangat penting. “Staff penerimaan murid kita pengalamannya sudah banyak. Jadi memang skilled dalam proses seleksi dan wawancara.” Ujarnya.

Maybe yang paling penting bagi saya itu potensi dididik dan berkembang. Nggak apa-apa saat ini nilai jelek atau pengetahuan kurang, asal potensi dikembangkan ada.” Tambah Yohannes.

Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Bagaimana soal nilai akademis calon penerima beasiswa?

“Nilai (akademis) pengaruh tapi kita lihat per kasus. Misalnya, anak dari Siantar dan anak dari Yogyakarta tidak bisa menggunakan standar yang sama.”

Akhirnya, Yohannes yang juga mantan Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD ini memberikan penutupnya sebelum mengakhiri perbincangan kami.

“Kalau ada anak usia SMP/SMA yang serius ingin memajukan kemampuan dirinya di bidang esports (sebagai pemain atau peran lain di industri esports) dan siap kerja keras untuk menggapai mimpi itu, jangan ragu untuk daftar. Skill saat ini tidak jadi masalah. Yang paling penting adalah punya passion dan mau kerja keras. Tujuan sekolah itu membuat yang tidak bisa jadi bisa.

Kita memang tidak menjamin bahwa semua peserta program kita menjadi pemain pro. Namun, yang pasti, mereka akan mendapatkan pengalaman penting yang menjadi modal mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik.”

FACEIT Resmi Awali Esports Apex Legends

FACEIT, event organizer yang biasanya dikenal menggelar ajang kompetitif untuk CS:GO, menjadi yang pertama menggelar esports Apex Legends yang berlisensi resmi dari Respawn Entertainment dan EA Games. Turnamen resmi pertama ini bertajuk FACEIT Pro Series: Apex Legends.

Rangkaian turnamen ini akan mempertandingkan 16 tim yang terdiri dari 8 event dengan total hadiah sebesar US$50 ribu. Turnamen pertamanya akan dimulai tanggal 31 Mei 2019.

Dari 16 tim yang bertanding, ada 14 tim undangan (invited) dan 2 tim dari Closed Qualifier. Nama-nama klub esports besar yang sudah dikonfirmasi akan mengikuti kejuaraan ini adalah 100 Thieves, CLG, G2 Esports, Cloud9, compLexity, Dignitas, GenG, Misfits, NRG, dan Fnatic. SKT T1 dan Team Liquid juga sudah mendapatkan undangan menurut laman resmi Pro Series.

Sedangkan dua tim yang lolos dari kualifikasi adalah Alliance dan Fire Beavers. Sayangnya, kejuaraan ini memang masih terbatas untuk regional Amerika Utara.

Menariknya, meski ini turnamen berlisensi resmi, pertandingannya akan ditandingkan menggunakan public matches alias tanpa custom lobby.

Mengutip jawaban dari perwakilan FACEIT yang diwawancarai oleh Dot Esports, “ajang ini tidak akan dimainkan melalui custom lobby karena Apex Legends memang masih baru jadi belum punya fitur itu. Kejuaraannya juga akan menggunakan format ‘pub stomp’ yang artinya setiap tim bertarung satu sama lain untuk mendapatkan jumlah kill dan kemenangan terbanyak.”

Buat yang masih bingung dengan bagaimana sebuah turnamen Apex Legends berjalan (setidaknya di masa awal-awal sekarang ini) dan penasaran dengan esports resmi pertamanya, Anda bisa menonton sendiri pertandingan-pertandingannya yang ditayangkan langsung di kanal Twitch resmi untuk FACEIT.