7 Pemain Indonesia akan Bertanding di Final Regional Asia PES League 2019

Setelah kemenangan Rizky Faidan asal Bandung di PES SEA Finals 2019, Indonesia kembali akan mengirimkan perwakilannya ke jenjang kompetisi Pro Evolution Soccer yang lebih tinggi, yaitu Final Regional Asia PES League 2019.

Tak tanggung-tanggung, ada 7 pemain asal Indonesia yang akan berlaga di Jepang tanggal 20 dan 21 April 2019 nanti. 7 pemain ini merupakan 2 perwakilan dari kategori 1vs1 dan 2 perwakilan dari kategori CO-OP (3vs3). Jumlahnya memang ganjil karena Rizky Faidan menjadi perwakilan di 1vs1 dan salah satu anggota dari tim CO-OP.

Berikut ini adalah daftarnya lengkapnya:

Kategori 1vs1:

  • Rizky Faidan
  • Akbar Paudie

Kategori CO-OP (3vs3):

  • Tim WANI
    • Rizky Faidan
    • Muchamad Lucky Ma’arif
    • Rio Dwi Septiawan
  • Tim Panglima Perang
    • Yunan Akira
    • Abdul Ghony Triaji
    • Eldy Meyrendy

Rizky Faidan dan Akbar Paudie berhasil mengamankan slot mereka ke Jepang karena prestasi mereka di PES League Online kategori 1vs1. Satu hal yang mungkin perlu diperjelas, slot ini Rizky dapatkan bukan karena kemenangannya di Thailand kemarin. Namun ia sudah mengamankannya bahkan sebelum pertandingannya di sana.

Rizky Faidan saat jadi juara di PES SEA Finals 2019. Sumber: Liga1PES
Rizky Faidan saat jadi juara di PES SEA Finals 2019. Sumber: Liga1PES

Sedangkan tim WANI lolos ke ajang kompetitif PES paling bergengsi se-Asia setelah menempati peringkat pertama PES League Online Championship CO-OP Category Season 1 kawasan Asia (PS4). Di Season 2, tim CO-OP asal Indonesia, Panglima Perang yang berhasil menempati peringkat teratas di kompetisi online yang sama.

PES League 2019 sendiri merupakan kulminasi dari berbagai liga resmi dari KONAMI untuk PES yang dibagi menjadi 2 Season untuk tiga kawasan yang berbeda, Eropa, Amerika, dan Asia. Nantinya, para pemenang final regional masing-masing kawasan (dan pemenang dari tambahan turnamen rekanan KONAMI) akan diadu lagi di ajang PES paling megah di dunia yang bertajuk 2019 PES League World Finals.

Sumber: PES League
Sumber: PES League

Bisakah kawan-kawan kita mengebarkan sang merah putih di Jepang nanti ketika mereka harus berhadapan dengan lawan-lawan yang lebih tangguh? Apakah Rizky yang masih berusia 16 tahun berhasil menorehkan sejarah gemilangnya kembali setelah kemenangannya di Thailand kemarin?

Kolia dan Fenrir: NARA Esports akan Jadi Lebih Agresif Bersama Kami

Selain Bigetron dan EVOS, MPL Malaysia dan Singapura (MPL MY/SG) ternyata punya 1 lagi klub asal Indonesia yang turut berlaga di sana yaitu NARA Esports. NARA Esports sendiri merupakan klub baru asal Indonesia yang mungkin namanya belum sebesar Bigetron dan EVOS tadi di sini.

Namun begitu, klub ini justru mendapatkan slot untuk ikut serta di Regular Season MPL MY/SG di Season 3 yang dimulai dari tanggal 1 Maret 2019. Buat yang tidak familiar dengan ajang kompetisi MLBB, MPL merupakan turnamen paling bergengsi di masing-masing negara (seperti MPL ID dan MPL PH).

Beberapa waktu yang lalu, NARA Esports pun memboyong 2 pemain kelas kakap untuk bergabung. Kedua pemain tersebut adalah Ng Shao “Kolia” Ming dan Nashrudin “Fenrir” bin Kamsani. Kolia adalah mantan pemain EVOS SG di MPL MY/SG Season 2. Sedangkan Fenrir tadinya pemain ONIC Esports yang bertanding di MPL ID Season 2.

Hybrid pun sempat mengirimkan beberapa pertanyaan ke kedua pemain ini tentang kepindahan mereka ke NARA Esports.

Hybrid: Kenapa kalian berdua tertarik bergabung bersama NARA?

Kolia: Saya mendapatkan kesempatan untuk kembali ke tingkat profesional bersama NARA. Jadi, di sinilah saya sekarang.

Fenrir: Saya memang berencana untuk kembali ke Singapura. Untungnya, NARA memang tertarik untuk membuat tim di sana dan bertanding di MPL MY/SG. Karena itu, saya bergabung.

Hybrid: Dibandingkan dengan tim kalian sebelumnya, apa perbedaan terbesar dari segi gameplay dengan NARA?

Fenrir: NARA lebih agresif dibandingkan dengan ONIC yang lebih cenderung objective-based.

Kolia: Saya rasa EVOS SG cenderung bermain lebih aman. Sedangkan sejauh ini NARA mengombinasikan permainan yang agresif dan defensif karena para pemainnya yang belum punya banyak pengalaman di tingkat profesional. Jadi, masih banyak yang harus kami pelajari.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Hybrid: Perbedaan besar apa yang bisa kalian berikan ke NARA setelah bergabung, dalam hal gaya permainan?

Kolia: Saya merupakan pemain Tank yang agresif. Jadi, permainan akan jadi lebih cepat dan menarik dengan kehadiran saya di sini.

Fenrir: Harapannya, NARA akan jadi tim super agresif dengan standar objective-based.

Hybrid: Jika harus memilih satu tim di MPL MY/SG, siapakah yang ingin sekali kalian kalahkan? Kenapa?

Fenrir: Mungkin EVOS karena saat ini mereka tim terbaik di Singapura.

Kolia: Tentunya Reborn karena mereka yang dulu merebut gelar juara dari tim saya sebelumnya yang bermain lebih baik. Sekarang, saya yang akan merebut tahta juara itu.


View this post on Instagram

A post shared by NARA Esports (@naraesports) on

Itu tadi perbincangan singkat kami dengan kedua pemain baru NARA Esports. Mampukah 2 pemain kawakan ini mengangkat para pemain NARA lainnya yang mungkin belum punya banyak pengalaman?

Anda bisa melihat perjuangan Kolia dan Fenrir di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang (Region Malaysia).

Newbee Rangkul Dua Brand Non-Endemic, Li-Ning dan Bank of Shanghai

Nama Newbee tentu sudah tak asing di kalangan penggemar esports, apalagi esports Dota 2. Tim asal Tingkok yang didirikan oleh xiao8 (Zhang Ning) ini sempat menghebohkan dunia di tahun 2014 ketika mereka menjuarai kompetisi The International. Sejak saat itu Newbee terus dikenal sebagai salah satu tim kuat Tiongkok, meskipun xiao8 sendiri akhirnya sudah pindah dan kini menjadi pelatih di EHOME.

Di tahun 2019 ini Newbee telah memasuki usia tahun kelima, dan mereka baru saja merayakannya dalam acara yang bernama Newbee 5 Years Anniversary Gala. Digelar di Four Seasons Hotel Shanghai, kesempatan ini juga digunakan oleh Newbee untuk mengumumkan kerja sama baru mereka dengan dua brand non-endemic. Brand tersebut adalah Li-Ning dan Bank of Shanghai.

Newbee x Li-Ning Shoes
Sepatu produk kerja sama Newbee dan Li-Ning | Sumber: Newbee

Li-Ning adalah produsen pakaian dan sepatu olahraga, didirikan oleh atlet gimnastik Tiongkok yang memiliki nama sama dengan mereknya. Dengan kerja sama ini, ke depannya Li-Ning akan menjadi penyedia seragam serta sepatu untuk tim Dota 2 Newbee. Selain itu mereka juga akan memproduksi berbagai produk bertema “Newbee x Li-Ning”. Salah satu produk yang telah diungkap adalah sepatu olahraga dengan motif Newbee.

Sementara itu Bank of Shanghai akan memproduksi kartu debit bermotif Newbee yang bisa didapatkan oleh para nasabah. Nantinya, para pemilik kartu khusus tersebut bisa mendapatkan berbagai layanan seperti diskon serta merchandise eksklusif dari Newbee. Sayangnya baik Li-Ning maupun Bank of Shanghai tidak membeberkan berapa nilai finansial dari kerja sama yang mereka lakukan.

Newbee x Bank of Shanghai Debit Card
Kartu debit kerja sama Newbee dan Bank of Shanghai | Sumber: Newbee

Newbee bukanlah satu-satunya tim Tiongkok yang menjalin kerja sama dengan Li-Ning. Sebelumnya mereka telah menjalin ikatan juga dengan tim Dota 2 Royal Never Give-Up (RNG). Selain itu Li-Ning juga berkolaborasi dengan tim League of Legends bernama Edward Gaming. Kemungkinan kerja sama terakhir ini akan mendapat masalah di masa depan, karena beberapa waktu lalu Nike baru saja menjadi sponsor eksklusif untuk liga League of Legends Tiongkok (LPL). Namun untuk saat ini belum ada informasi pasti mengenai hal tersebut.

Newbee sendiri dulunya juga memiliki tim League of Legends yang bertanding di LPL, akan tetapi divisi itu sudah bubar sejak tahun 2017. Selain Dota 2, kini Newbee masih berkecimpung di berbagai cabang esports lainnya, seperti Clash Royale, StarCraft II, dan Fortnite.

Sumber: Newbee, The Esports Observer

Sambut FIFA eNations Cup, FA dan ESL Cari Atlet untuk Timnas eFootball Inggris

Hubungan antara esports dan olahraga konvensional belakangan ini terlihat semakin erat saja. Di dunia sepak bola misalnya, mulai bermunculan kompetisi-kompetisi esports yang menggunakan struktur mirip sepak bola sungguhan. Bahkan tim-tim sepak bola ikut terlibat dalam pengadaannya. Lihat saja ePremier League, atau kompetisi esports J.League yang baru-baru ini diumumkan.

FIFA juga telah meluncurkan beberapa kompetisi esports sepak bola tingkat dunia. Yang paling utama yaitu FIFA Global Series 2019, sebuah liga internasional di mana para pemain top dunia akan saling memperebutkan poin untuk menentukan siapa yang lolos ke acara puncak, FIFA eWorld Cup Grand Final. Selain itu, dalam rangka “pemanasan” sebelum masuk FIFA eWorld Cup itu, kita disuguhi turnamen dengan judul FIFA eNations Cup.

FIFA - Esports
Sumber: FIFA

FIFA eNations Cup akan digelar untuk pertama kalinya pada tanggal 13 – 14 April 2019. Turnamen ini diikuti oleh 16 timnas esports (atau “eFootball) dari wilayah-wilayah konfederasi FIFA, yaitu CONCACAF, CONMEBOL, CAF, OFC, AFC, dan UEFA. FIFA memperbolehkan setiap negara untuk menggelar kompetisi eFootball nasional sendiri-sendiri demi menemukan pemain-pemain terbaik. Nantinya, dari setiap negara akan diambil dua pemain yang maju ke eNations Cup sebagai perwakilan.

Asosiasi sepak bola Inggris (FA) tampaknya menanggapi tantangan ini dengan serius. Mereka bekerja sama dengan ESL menggelar kualifikasi online FIFA 19 untuk mencari dua pemain terbaik yang akan menjadi perwakilan timnas esports Inggris, alias “eLions”. Kualifikasi ini terbuka untuk semua gamer berusia 16 tahun ke atas di platform PS4 dan Xbox One.

“FA memiliki kebanggaan sebagai organisasi modern dan inovatif yang terus berjuang untuk merangkul dan menginspirasi semua generasi penggemar sepak bola. FIFA 19 dimainkan oleh ratusan juga orang setiap hari dengan banyak di antara mereka menggunakan atlet-atlet pria dan wanita kami (Inggris), jadi kami memiliki kesempatan besar untuk berinteraksi dengan mereka sebagai bagian dari usaha kami untuk terus menumbuhkan game tersebut di Inggris,” demikian ujar Mark Bullingham, FA Chief Commercial & Development Officer, dalam situs resmi FA.

FIFA 19 Ultimate Team
FUT memungkinkan Anda menyusun tim berisi pemain-pemain terbaik dunia | Sumber: FIFAUTeam

Dari pihak FIFA sendiri, mereka berharap kompetisi negara-lawan-negara ini akan berkembang lebih besar di masa depan. “Keterlibatan anggota asosiasi kami dalam turnamen antarnegara adalah salah satu langkah menarik dan signifikan untuk FIFA dan perkembangan eFootball secara global. Setelah pengadaan FIFA eClup World Cup yang sukses beberapa tahun terakhir dan mode permainan tim baru, kami berharap dapat mengintegrasikan kompetisi negara versus negara ini ke dalam portofolio eFootball kami,” ujar Luis Vicente, Chief Digital Transformation & Innovation Officer di FIFA.

Kompetisi FIFA 19 dalam FIFA eNations Cup akan dimainkan menggunakan FIFA Ultimate Team (FUT). Selain FIFA eNations Cup, akan ada kompetisi-kompetisi besar lainnya sebelum kita sampai di FIFA eWorld Cup pada bulan Agustus nanti. Total event yang direncanakan mencapai delapan kompetisi. Mari kita tunggu tanggal mainnya.

Sumber: FIFA, FAThe Esports Observer

Mesra dengan Konami, Liga Sepak Bola Jepang Luncurkan Esports Winning Eleven

Liga sepak bola profesional Jepang, atau biasa dikenal dengan sebutan J.League, baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan turnamen esports. Tentu saja, sesuai dengan olahraga aslinya, game yang diusung adalah Pro Evolution Soccer, alias Winning Eleven di negeri sakura sana. Turnamen ini melibatkan 40 tim di dua divisi teratas J.League, dengan masing-masing klub mengirim tiga pemain untuk berkompetisi.

J.League bekerja sama langsung dengan developer Pro Evolution Soccer yaitu Konami dalam penyelenggaraan kompetisi esports terbaru ini. Menariknya, game yang digunakan bukanlah Pro Evolution Soccer versi console atau PC, melainkan versi mobile. PES versi mobile sendiri baru saja mendapatkan update di bulan Desember lalu dari PES 2018 ke PES 2019, dan hingga kini telah diunduh lebih dari 150 juta kali di seluruh dunia.

Pro Evolution Soccer 2019
Pro Evolution Soccer 2019 Mobile | Sumber: Konami

Esports telah dinikmati oleh orang-orang dari berbagai generasi, gender, dan baik orang-orang yang memiliki disabilitas ataupun tidak. Ini adalah cara yang berguna untuk menyebarkan daya tarik sepak bola,” demikian ujar ketua J.League, Mitusu Murai, dilansir dari ESPN. Babak kualifikasi turnamen PES 2019 Mobile J.League akan dimulai pada tanggal 22 Maret, kemudian berlanjut di babak final offline di bulan Juli nanti.

Kiprah Jepang di bidang esports Pro Evolution Soccer sebelumnya sudah memiliki rekam jejak yang cukup baik. Dalam pertandingan uji coba yang digelar di Asian Games 2018 lalu, PES menjadi salah satu cabang esports yang dilombakan. Kompetisi ini dimenangkan oleh dua pemain asal Jepang yaitu Naoki Sugimura dan Tsubasa Aihara. Namun saat itu game yang digunakan adalah PES 2018 versi console. Entah mengapa kompetisi esports J.League kali ini pindah ke versi mobile, tapi bisa jadi itu dilakukan karena alasan aksesibilitas.

Pro Evolution Soccer 2019 Mobile
Pro Evolution Soccer 2019 Mobile | Sumber: Google Play

Jepang bukan satu-satunya negara yang memiliki kompetisi Pro Evolution Soccer resmi bersama Konami. Di Eropa, mantan bintang Barcelona Gerard Pique juga mendirikan liga PES dengan nama eFootball.Pro League. Konami juga menggelar esports bertema bisbol dengan game keluaran mereka yaitu Power Pros, bekerja sama langsung dengan liga profesional bisbol Jepang (Nippon Professional Baseball).

Kerja sama Konami dan J.League menunjukkan bahwa dewasa ini olahraga konvensional dan esports adalah dua hal yang memiliki kaitan erat dan dapat tumbuh bersama. Banyak hal yang dapat dipelajari esports dari olahraga konvensional, terutama tentang cara menarik brand non-endemic sebagai sponsor. NBA 2K League tahun lalu telah membuktikan bahwa mereka mampu melakukannya, jadi tidak mustahil esports Pro Evolution Soccer juga bisa melakukan hal serupa.

Sumber: Esports Insider, SportsPro Media, The Asahi Shimbun, ESPN

Kawinkan Capcom Pro Tour dan Neo Geo World Tour, FV x SEA Major 2019 Digelar di Malaysia

Capcom Pro Tour sudah di depan mata! Terhitung mulai bulan Maret ini, serangkaian turnamen di seluruh dunia akan digelar untuk memberikan CPT Point kepada para petarungnya, untuk kemudian menentukan siapa yang berhak maju ke acara puncak Capcom Cup 2019 di bulan Desember. Sirkuit turnamen resmi ini akan berlangsung selama sembilan bulan, dengan total prize pool mencapai lebih dari US$600.000.

Sesuai pengumuman dari Capcom di akhir Januari kemarin, sirkuit Capcom Pro Tour 2019 memiliki empat tingkatan turnamen, yaitu Super Premier Event, Premier Event, Ranking Event, dan Online Ranking Event. Salah satu organizer populer Asia Pasifik, BEast of the East, dalam waktu dekat akan menggelar turnamen berkasta Ranking Event di kota Kuala Lumpur, Malaysia. Turnamen ini bernama FV x SEA Major 2019.

Mengapa namanya demikian? Itu karena turnamen ini merupakan hasil kerja sama antara BEast of the East dengan Flash Vision Esports, organisasi fighting game terbesar di Malaysia. Flash Vision sendiri selama ini sudah memiliki turnamen yang cukup bergengsi dengan nama FV Cup, namun sejak tahun 2018, FV Cup telah terintegrasi sebagai bagian dari kompetisi SEA Major.

FV x SEA Major 2019 - Poster
Sumber: BEast of the East

Berbeda dengan kompetisi-kompetisi genre lain yang biasanya berwujud satu event berdiri sendiri, sudah jadi hal lumrah di dunia fighting game bila ada satu event yang diisi beragam kompetisi sekaligus. Contohnya bisa kita lihat dalam turnamen Fight Fest 2019 yang berlangsung pada bulan Januari lalu. FV x SEA Major 2019 pun isinya bukan hanya Ranking Event Capcom Pro Tour, tapi melingkupi beberapa acara lain.

Berikut ini daftar kompetisi dalam FV x SEA Major 2019, beserta game yang dilombakan:

  • CPT Asia Ranking 2019 (Street Fighter V: Arcade Edition)
  • Neo Geo World Tour 2 (The King of Fighters XIV, The King of Fighters 98, Metal Slug)
  • Console Games (Tekken 7, Dragon Ball FighterZ, Soulcalibur VI, Super Smash Bros. Ultimate, Ultra Street Fighter IV)
  • Mobile Games (Mobile Legends: Bang Bang)

Sama seperti Fight Fest 2019, rupanya FV x SEA Major 2019 juga merupakan salah satu pemberhentian kompetisi Neo Geo World Tour 2. Uniknya lagi rupanya tak hanya fighting game, tapi judul yang dilombakan juga mencakup Metal Slug. Kompetisi final SEA Major 2019 sendiri nantinya akan digelar di Singapura pada tanggal 12 Oktober, dan merupakan turnamen CPT dengan kasta Premier Event.

FV x SEA Major 2019 - MLBB
Ada turnamen MLBB juga di sini | Sumber: BEast of the East

Berhubung FV x SEA Major 2019 merupakan turnamen CPT, sudah bisa ditebak bahwa akan muncul pemain-pemain kawakan yang turut bertanding. Beberapa nama yang sudah dikonfirmasi BEast of the East antara lain meliputi Itabashi Zangief, OilKing, Fujimura, Sako, Tokido, John Takeuchi, Bonchan, dan lain sebagainya. Anda yang mengikuti dunia esports Street Fighter pasti tahu bahwa mereka semua adalah nama-nama besar dengan prestasi tingkat dunia.

FV x SEA Major 2019 akan digelar di gedung Lightbox, Kuala Lumpur, Malaysia. Turnamen ini terselenggara berkat dukungan berbagai pihak, temasuk di antaranya Victrix Pro, GameStart Asia, Capcom Pro Tour, Twitch, dan XSplit. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengunjungi situs resmi BEast of the East di tautan berikut.

Sumber: BEast of the East

Mobile Legends Intercity Championship, Usaha Moonton Beri Panggung Pemain Semi-Pro

Hingar bingar esports Indonesia kini, tentu jauh berbeda jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Dahulu, jangankan masuk televisi, diliput media nasional saja sudah jadi kebanggaan tersendiri bagi komunitas gamers.

Kendati demikian, kebanyakan kegiatan esports selama beberapa tahun belakangan terbilang masih terpusat di Jakarta Raya. Maka dari itu Moonton berinisiatif membuat sebuah jenis kompetisi baru yang bernama Mobile Legends Intercity Championship (MIC 2019).

Kompetisi ini diselenggarakan Moonton dengan tujuan untuk memberi panggung para player amatir dan semi-pro di berbagai daerah. Turnamen resmi dari Moonton ini diadakan di 8 kota: Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.

Agar dapat mencapai visi tersebut, maka ada dua peraturan penting yang jadi nafas dari kompetisi ini. Pertama, peraturan bahwa para pemain MPL Season 3 dilarang mengikuti turnamen yang bisa dibilang sebagai kompetisi serie B ini. Kedua, peraturan bahwa harus ada setidaknya 3 pemain yang berdomisili dari kota tempat MIC 2019 diselenggarakan atau kota sekitarnya.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Kehadiran MIC 2019 ini menurut saya adalah iktikad yang sangat baik dari Moonton dan Revival TV untuk memajukan dan menyamaratakan kesempatan untuk terjun ke dunia esports di Indonesia. MIC 2019 ibarat jadi oase bagi kota besar luar Jakarta, yang selama ini mungkin hanya bisa mengikuti euforia esports lewat layar kaca saja.

Tetapi jika MIC hanya berfungsi untuk menyebarkan euforia esports ke berbagai kota, hal ini seperti mengurangi potensi yang sebenarnya, dari konsep kompetisi semi-pro itu sendiri.

Akan lebih baik jika para peserta, baik secara tim ataupun individu, punya jenjang yang jelas untuk masuk ke dalam liga Mobile Legends kasta utama setelah dari MIC 2019 ini bukan?

Dokumentasi resmi Revival TV
Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dari Revival TV. Dokumentasi resmi Revival TV

Sayangnya hal semacam integrasi kompetisi antara MIC dengan MPL tersebut masih belum direncanakan. Lius Andre, selaku Esports Manager dari Moonton Indonesia mengatakan, bahwa MIC ini kurang lebih seperti baru menjadi prototipe akan tujuan besar tersebut.

“Intinya kami ingin pemain Mobile Legends amatir dan semi-pro dari berbagai regional itu dapat sorotan. Maka dari itu kami, bekerja sama dengan Revival TV, menyediakan panggung untuk mereka lewat gelaran MIC 2019. Terkait integrasi, saya belum bisa bicara banyak, sebab mungkin saja nanti kebijakan dari Moonton berubah.” Lius menjawab dalam sesi tanya jawab konferensi pers MIC 2019.

Dokumentasi Resmi Revival TV
Lius Andre selaku perwakilan dari Moonton. Dokumentasi resmi Revival TV

Walaupun perkembangan esports di Indonesia cukup pesat, namun hal yang patut disayangkan adalah perkembangan ini tidak disertai dengan regenerasi. Yohannes. P. Siagian, Kepala Sekolah SMA PSKD 1 sempat mengatakan hal ini dalam sebuah bincang-bincang bersama Hybrid.

Ia mengatakan bahwa perkembangan esports di Indonesia itu seperti buah yang dikarbit, yang perkembangannya tanpa atau hanya sedikit memperhatikan dan merawat batang serta akarnya.

MIC 2019 yang membawa konsep kompetisi amatir atau semi-pro, sebenarnya punya potensi besar untuk meregenerasi para atlet esports Mobile Legends. Apalagi kalau kompetisi ini punya integrasi atau jalur jenjang karir yang jelas ke jenjang yang lebih tinggi.

Padahal kalau jagat esports MLBB punya jenjang karir yang jelas, dominasi esports MLBB di Indonesia bisa jadi akan bertahan lebih lama. Semakin banyak orang main Mobile Legends karena ingin meniti karir jadi pro player. Makin banyak player, makin menguntungkan bagi Moonton.

Para player juga diuntungkan, karena jadi pro-player kini lebih mudah dengan jalur dan jenjang yang jelas. Jagat esports MLBB selalu punya bibit pemain baru, keseruan pertandingan MLBB tak ada habisnya, keuntungan bagi Moonton dan organisasi yang tergabung di dalam ekosistemnya.

Sumber: Youtube EVOS TV
Jess no Limit tak dipungkiri masih jadi yang terpopuler di tahun ini, tapi apa jadinya kalau dia harus pensiun di tahun berikutnya? Tanpa regenerasi pemain, ini tentu akan menjadi kerugian bagi Moonton sendiri. Sumber: Youtube @EVOS TV

Turnamen MIC 2019 ini memperebutkan total hadiah sebesar US$5000 (sekitar Rp70 juta) dan 162000 Diamonds. Juara di kota pertama nantinya diberangkatkan ke kota MIC 2019 berikutnya untuk bertarung dalam pertandingan yang dinamakan City Fight. Juara City Fight nantinya berhak mendapatkan hadiah sebesar US$1000 (Sekitar Rp14 juta) dan juga kesempatan untuk terbang serta kembali mengikuti City Fight di kota berikutnya.

Walau belum ada integrasi dengan MPL, namun MIC 2019 tetap jadi inisiatif yang baik untuk menyebarkan kesempatan mencicipi panasnya kompetisi Mobile Legends di berbagai daerah. Semoga saja MIC nantinya bisa memberi jenjang karir yang jelas, untuk menjadi professional player Mobile Legends yang sesungguhnya.

Hantam Dominasi Vietnam, Rizky Faidan Jadi Juara PES SEA Finals 2019

Bersamaan dengan prestasi timnas sepakbola Indonesia U-22 di kompetisi AFF, pemain sepakbola digital (PES 2019) asal Indonesia pun turut tuai prestasi di gelaran SEA Finals 2019. Dia adalah Rizky Faidan, pemain PES asal Bandung, Jawa Barat, yang berhasil runtuhkan dominasi Vietnam di jagat kompetisi PES 2019 tingkat Asia Tenggara.

Sebelumnya pada tingkat nasional, ada Liga1PES terlebih dahulu yang digelar pada 16-17 Februari 2019 lalu. Dari Liga1PES akhirnya terpilih empat orang untuk mewakili Indonesia di SEA Finals 2019 yaitu: Rizky Faidan, Rommy Hadiwijaya, Elga Cahya Putra, dan Ardi Agung Nugroho.

Indonesia juara SEA Finals 2019 1
Sumber: Facebook @Liga1PES

Bertanding di Thailand E-Sports Arena, tak diduga ternyata Rizky Faidan tampil bersinar dan berhasil kalahkan lawan-lawannya. Pada kompetisi ini Rizky harus menghadapi jagoan PES 2019 dari tujuh negara di Asia Tenggara, yaitu: Vietnam, Myanmar, Thailand, Singapura, Laos, Kamboja, dan Malaysia.

Sampai babak final, Rizky harus kembali menghadapi regional juara bertahan PES Asia Tenggara, Vietnam. Pertarungan berjalan sangat sengit, apalagi setelah permainan mencapai skor 1-1 dari seri best-of-3.

Pertarungan antara Indonesia vs Vietnam semakin panas. Setelah 2×45 menit berlalu, skor pertandingan masih 4-4. Bahkan dengan adanya babak tambahan 2×15 menit, masih belum ada kesimpulan atas pertarungan dari dua negara yang terkenal paling keras di kancah esports PES Asia Tenggara ini.

Indonesia juara SEA Finals 2019 2
Sumber: Facebook @Liga1PES

Akhirnya pertandingan harus diselesaikan lewat sebuah adu penalti. Adu penalti juga berlangsung alot. Namun setelah satu tendangan dari wakil Vietnam berhasil ditepis, Rizky Faidan akhirnya keluar sebagai juara SEA Finals 2019.

Menarik melihat perjuangan Rizky Faidan ini, apalagi mengingat usia si jagoan PES yang masih sangat belia. Dijuluki sebagai “The Wonder Boy”, Rizky ternyata baru genap berusia 16 tahun pada 2019 ini.

Walau masih sangat muda, tapi perjuangan Rizky tidak main-main di jagat kompetitif PES Indonesia. Ia sudah aktif bermain, bahkan berhasil jadi juara di kompetisi PES tingkat nasional, sejak masih berusia 13 tahun. Tercatat, sudah tiga kali ia lolos babak final Liga1PES dan dua kali mewakili Indonesia di SEA Finals sejak dari tahun 2016 lalu.

Indonesia juara SEA Finals 2019 3
Sumber: Facebook @Liga1PES

Kemenangan ini memberikan Rizky hadiah yang sebesar 50.000 Baht Thailand atau sekitar Rp22 juta. Kemenangan ini juga memberikan sang wonder boy kesempatan untuk berkompetisi ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kompetisi PES Asia yang akan digelar di Tokyo, Jepang, pada 20-21 April 2019 mendatang.

Selamat Rizky yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah sepakbola digital PES 2019. Jangan lengah karena di tingkat Asia pertarungan tentu akan lebih berat lagi. Maju terus, esports PES Indonesia!

Regenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi

Di balik hingar bingarnya teriakan para pendukung fanatik, gemerlap lampu panggung, serta ratusan juta atau bahkan miliaran Rupiah total hadiah dan anggaran event; buat yang peduli dengan ekosistem esports, ada sebuah kegetiran yang harus dihadapi. Perkara regenerasi para pemain profesional di esports menjadi sebuah kekhawatiran nyata yang harus dicoba diselesaikan bersama.

Imbas dari impotensi regenerasi tadi tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Sejarah bulu tangkis Indonesia jadi catatan perjalanan salah satu efek buruk tadi. Dulu, kita punya Rudi Hartono yang pernah menang 7 kali kejuaraan All-England berturut-turut. Ada juga Susi Susanti, sang srikandi yang legendanya bisa jadi abadi. Sekarang…?

Selain itu, sebaliknya, regenerasi yang baik juga bisa jadi langkah progresif untuk mengukir prestasi. Ekosistem sepak bola kita yang mungkin bisa dibilang lebih baik dalam hal regenerasi (setidaknya dibanding bulu tangkis tadi) berhasil mencetak pemain-pemain muda baru berbakat. Terbukti, timnas sepak bola U19 dan U23 Indonesia justru bisa meraih prestasi yang sedikit lebih baik ketimbang para seniornya.

Regenerasi yang ideal di esports Indonesia juga saya percaya bisa menghantarkan prestasi tanah air kita ke arah yang lebih cerah.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport

Meski begitu, mungkin memang ada yang tak percaya bahwa ekosistem esports Indonesia punya kekhawatiran soal regenerasi tadi atau bahkan mungkin merasa masalah itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Untuk itulah, saya mengajak berbincang Yohannes P. Siagian yang merupakan Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports. Bersamanya, kita akan mencoba mengupas tentang permasalahan regenerasi, dari abstraksi sampai solusi.

Sebelumnya, mungkin saya perlu menyebutkan singkat pengalaman beliau sebagai sebuah justifikasi pilihan saya menjadikannya narasumber soal ini. Awalnya, ia diberi mandat untuk menjadi Kepala Pengembangan untuk Program Olahraga di SMA 1 PSKD. Seiring waktu, Joey (panggilannya) pun naik ‘kasta’ jadi Kepala Sekolah di SMA yang sama. Sampai artikel ini ditulis, ia sudah mengantongi jam terbang sepuluh tahun sebagai kepala sekolah. 3-4 tahun terakhir, ia juga menjabat sebagai Head of Esports Program di sekolah tadi. Sekarang (saat wawancara kami), ia juga memegang peran ganda sebagai Vice President untuk salah satu organisasi esports terbesar di Indonesia, EVOS Esports. Di bulan Mei 2019, ia akan mundur dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah untuk full-time di EVOS.

Ekosistem Esports Indonesia yang Terlalu Cepat Matang

Yohannes setuju dengan saya bahwa memang ada sebuah problematika soal regenerasi pemain. Dari pengalamannya sendiri, ia melihat ada 2 permasalahan regenerasi pemain. Pertama, memang ada beberapa game yang kesulitan cari talenta baru. Namun di sisi lain, ada beberapa game yang kesulitan cari pemain baru dengan mentalitas yang benar.

“Untuk game mobile, ada banyak talent baru tapi masalahnya udah ada di mentalitasnya. Di level pro pun ada kendala. Di cabang lain, Dota 2 misalnya, hampir tidak kelihatan. Kalaupun ada, sangat susah untuk mencarinya.” Jelas Kepala Sekolah pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, Perancis ini.

Jika kita berkaca dari industri pada umumnya, atau kerja kantoran istilah pintarnya, jenjang karier itu sudah cukup sistematis. Kemungkinan besar, mereka-mereka yang baru lulus tidak akan serta merta jadi manajer atau direktur. Mereka harus berangkat dulu dari posisi bawah untuk mengumpulkan jam terbang sebelum naik ‘kelas’. Saya kira inilah salah satu penyebab kenapa ada masalah regenerasi di ekosistem esports kita saat ini.

Joey pun mengatakan yang serupa. Lebih lanjut menjelaskan, menurutnya, masalahnya esports itu di Indonesia terlalu cepet matang atau ibarat matangnya dikarbit. Ia pun membandingkannya dengan olahraga tradisional. Di sepak bola atau basket, para pemain harus menjalani ratusan jam latihan dan bertanding di level junior. Mereka harus bertanding dulu atas nama sekolah, daerah, dan jenjang lainnya sebelum ke tingkat pro.

“Di esports, ini memang tidak ada. Talent muncul ada langsung loncat ke tim pro atau mengincar pro. Ujung-ujungnya para pemain yang sampai level atas ini, mereka belum siap.” Padahal, ada banyak masalah yang sebenarnya dapat dengan mudah terselesaikan otomatis hanya dengan jam terbang ribuan jam seperti disiplin diri dan mentalitas daya juang.

Lebih lanjut Joey menjelaskan bahwa, menurutnya, level permainan di semifinal ataupun final (offline) nya justru malah lebih rendah di bawah level permainan di babak penyisihan yang online. Hal ini disebabkan karena demam panggung ditonton 10 ribu orang yang meneriakkan nama mereka. Esports Indonesia sendiri memang besar sekali seperti sebuah pohon yang daunnya sudah lebat. Namun sayangnya, pohon itu tadi belum ada batang ataupun akarnya. Hal ini akan membuat pohon itu ambruk ketika hujan badai.

Walaupun demikian, Joey juga menambahkan bahwa hal ini memang wajar karena kebanyakan orang memang hanya melihat rimbunnya sebuah pohon. Lebih banyak orang melihat apa yang ada di permukaan, apa yang menyilaukan dari sebuah industri. Meski faktanya, industri tanpa fondasi yang kuat adalah ekosistem yang berbahaya.

Selain absennya konsentrasi terhadap fondasi industri esports, permasalahan regenerasi ini juga disebabkan oleh beberapa unsur intrinsik ataupun ekstrinsik game-nya itu sendiri.

Maksud saya seperti ini, MOBA di PC (Dota 2 dan LoL) punya learning curve yang cukup terjal. Saya sendiri masih ingat betul saat awal-awal belajar bermain DotA, saya harus menghabiskan waktu 3 bulan untuk belajar Last-Hit. Dari waktu 3 bulan itu pun, kesuksesan Last Hit saya juga baru 60% per Creep Wave. Demikian juga saat saya belajar bermain LoL di penghujung tahun 2009. Kala itu, saya harus belajar Warding, baik soal lokasi ataupun timing-nya.

MOBA di mobile, baik itu MLBB ataupun AoV misalnya, memang lebih sederhana dari segi gameplay karena ada banyak aspek yang dihilangkan atau disederhanakan seperti aspek Warding dan Last Hit tadi. Hal ini tentu saja akan membuatnya lebih ramah untuk para pemain pemula. Belum lagi, perangkat ponsel yang digunakan untuk bermain juga lebih terjangkau harganya. Atau setidaknya, ponsel sekarang jadi layar pertama kebanyakan orang. Berbeda seperti desktop ataupun laptop yang mungkin lebih mahal dan belum tentu jadi kebutuhan setiap generasi muda.

Teorinya, hal ini menarik karena para pemain pemula bisa belajar dulu di MOBA mobile sebelum beranjak ke PC. Learning curve yang curam bisa diperlandai dengan masuk ke MOBA mobile. Saat para pemula tadi ingin mencari tantangan lebih, mereka bisa migrasi ke MOBA PC tanpa harus memulai belajar konsep dasar permainan dan strateginya.

Namun menurut Joey, itu tadi memang teori yang menarik untuk mengatasi masalah regenerasi. Namun, pada prakteknya, hal ini tak bisa berjalan karena exposure dan benefit yang ditawarkan oleh esports MOBA mobile jauh lebih besar. Joey pun mencontohkan seperti ini: katakanlah ada salah seorang pemain MOBA mobile yang ingin mencari tantangan lebih dan ia pun tertarik untuk mencoba MOBA PC. Sayangnya, ketika mereka menanyakan soal benefit (misalnya gaji) ataupun popularitas, MOBA di PC sayangnya memang berada di bawah MOBA mobile di 2 aspek tadi saat ini di Indonesia.

Karena itulah, teori tadi hanya dapat berlaku untuk para pemain yang benar-benar mencari tantangan tanpa memedulikan keuntungan materi ataupun popularitas.

Sumber: Rainmakrr
Sumber: Rainmakrr

Kebutuhan untuk Pemikiran Dewasa demi Kemaslahatan Bersama

Selain barrier (baik dari segi gameplay ataupun perangkat) dan jenjang amatir (ataupun semi-amatir) yang masih absen, ada 2 hal lagi menurut Joey yang menjadi penyebab impotensi regenerasi esports di Indonesia.

Pertama, hal ini terkait dengan paradigma kalangan mainstream tentang esports sendiri yang masih negatif. Hal tersebut menjadi penghalang sosial bagi para dewasa muda yang ingin serius bergabung ke organisasi. Namun demikian, menurut Joey, hal ini sebenarnya sudah mulai berjalan solusinya dengan pengakuan pemerintah yang menggelar Piala Presiden dan yang lain serta kehadiran mereka di berbagai kompetisi.

Faktor kedua yang menjadi penghambat regenerasi esports menurut Joey adalah ekosistem esports nya itu sendiri. Saat ini, memang sudah banyak yang investasi ke esports namun sebagian besar (jika tidak mau dibilang semuanya) masih berupa investasi jangka pendek. Misalnya saja, hal yang ia rasakan sendiri sebagai kepala sekolah adalah masih lebih banyak yang tertarik untuk sponsori klub esports ketimbang sekolahan karena eksposure yang ditawarkan. Padahal, sekolah sebenarnya bisa jadi penyalur dan pencari bakat sebelum bisa dilempar ke klub.

Buat para pembaca setia Hybrid, Anda juga pasti pernah membaca soal investasi besar yang hanya untuk game-game yang itu-itu saja. Masih banyak genre yang termarginalkan seperti esports fighting (Tekken dan Street Fighter), olahraga (FIFA dan PES), FPS (Rainbow Six: Siege, Overwatch, dkk.), ataupun yang lainnya.

Di sisi warnet sendiri juga demikian. Warnet sendiri sebenarnya dapat menjadi faktor pendukung esports. Sayangnya, warnet-warnet besar yang cukup mumpuni dan nyaman, seperti Highground, warnet TNC, ataupun Mineski Infinity, juga tak tersebar merata. Bahkan di Jakarta sekalipun, sulit rasanya menyebutkan warnet-warnet kelas atas di wilayah Jakarta Pusat, Selatan, ataupun Timur. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah luar Jakarta. Ada beberapa daerah yang memang punya warnet yang bahkan bersertifikasi NVIDIA iCafe Platinum namun ada kota-kota yang bahkan tak punya warnet berkelas satu pun.

Implementasi Solusi atas Permasalahan Regenerasi

Setelah kita berbicara panjang lebar soal berbagai penyebab problematika regenerasi, bagaimana solusi yang bisa kita coba bersama-sama sebagai sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai elemen seperti sponsor, EO, tim esports, ataupun yang lainnya?

Menurut Yohannes, yang bisa dilakukan oleh para pemilik kepentingan adalah mulai mencoba investasi ke level bawah. Mereka harus mulai berpikir bagaimana membuat project yang tak hanya menguntungkan diri sendiri tapi juga untuk kepentingan bersama. Para pemilik kepentingan ini harus benar-benar peduli dengan masa depan jangka panjang industri dan ekosistem esports Indonesia.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Atau, opsi lainnya adalah berharap pada dukungan pemerintah. Jika dukungan pemerintah ini tak hanya menjelang pemilu dan mereka bisa satu ‘halaman’ untuk seluruh Indonesia, bukan tidak mungkin, mereka bisa mematangkan ekosistem esports dalam hitungan bulan.

Walau demikian, terlalu berharap pada pemerintah untuk menyelesaikan semua permasalahan kita sebenarnya terlalu naif juga, jika tak mau dibilang hiperbolis. Apalagi, berkaca pada saudara kita sesama industri kreatif – musik – masih ada beberapa kebijakan yang mungkin patut dipertanyakan atau malah diragukan dampak positifnya (khususnya yang baru-baru ini).

Akhirnya, sebelum tulisan ini jadi skripsi 500 halaman, saya dan Joey setuju bahwa memang dibutuhkan para pelaku dan konsumen esports yang berpikiran dewasa – yang benar-benar peduli dengan kemaslahatan jangka panjang seperti mulai mencari dan implementasi solusi tentang regenerasi.

Semoga saja, hal ini tak hanya berakhir jadi wacana semata…

Hybrid Day: Diskusi dan Edukasi Mengenai Ekosistem Esports

Hybrid.co.id adalah media online yang membahas tentang esports ecosystem (ekosistem esports) dan gaming, khususnya di Indonesia dan secara umum di seluruh dunia. Tujuan utama didirikannya Hybrid adalah untuk berperan serta dalam mengembangkan dan memajukan ekosistem esports dan gaming di Indonesia, serta menjadi penghubung antara para pelaku di dalam ekosistem tersebut, mulai dari para pemain (gamer), industri dan pengembang game, penyelenggara kompetisi esports, hingga kepada pemerintah yang menyediakan regulasi.

Hybrid.co.id merupakan sister site dari DailySocial.id yang diluncurkan pada bulan Oktober 2018 lalu. Salah satu misi Hybrid adalah memberikan edukasi kepada masyarakat umum mengenai kondisi dan perkembangan ekosistem esports di Indonesia, serta berbagai nilai positif dari esports yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat.

Sebagai upaya mewujudkan visi dan misinya, Hybrid menyelenggarakan Hybrid Day dengan tema How to Kickstart Your Career in Esports di SMA 1 PSKD, Jakarta Pusat pada tanggal 6 Maret 2019. Tema tersebut diharapkan dapat memberikan wawasan kepada para audiens bahwa Esports juga dapat menjadi salah satu potensi karir yang sangat menjanjikan. Bukan hanya menjadi pemain professional, berbagai jenis karir lainnya juga tersedia seperti shoutcaster, host, coach, analyst, developers, publishers, dan banyak lagi.

hybrid day esports

Dalam acara ini akan dilaksanakan talkshow dengan berbagai pembicara dari kalangan industri esports. Mulai dari Yohannes P. Siagian (Executive Principal SMA 1 PSKD), Dimas “Dejet” Surya Rizki (Professional Caster), Andrew Tobias (Esport Manager Tencent Games), Marzarian Ojan (General Manager BOOM ID), dan Yabes Elia (Senior Editor Hybrid.co.id). Pembicara yang dihadirkan mewakili latar belakang karir yang berbeda, namun tetap dalam satu ranah yaitu esports. Acara ini juga dapat terselenggara berkat dukungan dari beberapa brand, yaitu Logitech, Tencent Games, dan INDOMOG.

Hybrid Day kali ini merupakan acara pertama yang diselenggarakan oleh Hybrid.co.id, sekaligus sebagai pembuka bagi Hybrid Day selanjutnya yang akan dilaksanakan secara berkala di berbagai sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Hybrid Day diharapkan dapat meningkatkan pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana ekosistem esports ini bekerja, serta mengedukasi masyarakat tentang peluang esports sebagai sebuah industri.