Nintendo Luncurkan Turnamen Resmi Super Smash Bros. Ultimate dan Splatoon 2

Nintendo punya sedikit rekam jejak buruk di dunia esports. Bukan hanya tidak memfasilitasi para atlet yang bermain Super Smash Bros. secara profesional, mereka juga sempat membuat Super Smash Bros. Melee tidak bisa tampil di turnamen EVO karena alasan hak cipta. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama. Suara lantang para penggemar berhasil meluluhkan hati Nintendo, dan kini perusahaan tersebut menjadi sponsor setia EVO.

Di tahun 2019 ini tampaknya Nintendo semakin mantap menunjukkan dukungan terhadap esports. Mereka baru saja mengumumkan pembukaan bukan hanya satu, bukan dua, tapi tiga turnamen esports sekaligus. Tiga turnamen itu adalah Super Smash Bros. Ultimate North America Open 2019, Super Smash Bros. Ultimate European Smash Ball Team Cup 2019, dan terakhir Splatoon 2 North America Inkling Open 2019.

Ini bukan pertama kalinya Nintendo menggelar kompetisi Splatoon 2 berskala besar. Tahun 2018 lalu pun mereka memiliki beberapa turnamen seperti Splatoon 2 US/Canada Inkling Open 2018, Splatoon Koshien 2018, dan sebagainya. Akan tetapi bagi Super Smash Bros. Ultimate yang baru saja dirilis, dua turnamen di atas merupakan turnamen resmi pertama (Super Smash Bros. Ultimate Invitational 2018 tidak dihitung karena saat itu game ini bahkan belum dirilis).

SSBU North America Open 2019 terbuka untuk semua orang yang bertempat tinggal di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Nintendo mengadakan tiga kali Online Qualifier pada bulan Februari dan Maret, dengan masing-masing kualifikasi menghasilkan empat pemain terbaik. Dua belas kontestan itu kemudian akan bertanding di final dalam acara PAX East 2019, kota Boston, tanggal 30 Maret. Nintendo tidak menjelaskan berapa hadiah yang diperoleh pemenang turnamen ini, namun seluruh biaya transportasi dan akomodasi ke PAX East akan ditanggung, dengan nilai setara kurang lebih US$2.300 (sekitar Rp32,5 juta).

Tahukah Anda, apa yang membuat turnamen ini menarik? Nintendo memperbolehkan penggunaan item! Penggunaan item di Smash kompetitif umumnya tidak diperbolehkan karena menambah unsur random. Akan tetapi desainer seri Smash, Masahiro Sakurai, pernah menyatakan bahwa justru item membuat game ini lebih menarik dan menyenangkan. Apakah adanya item merupakan hal yang baik atau buruk, silahkan Anda nilai sendiri.

Di belahan dunia lain, SSBU European Smash Ball Team Cup 2019 menawarkan kompetisi di 12 wilayah benua Eropa dengan format team battle. Wilayah yang termasuk adalah:

  • Inggris Raya dan Irlandia
  • Perancis
  • Jerman
  • Spanyol
  • Portugal
  • Italia
  • Rusia
  • Belanda
  • Belgia
  • Austria
  • Swiss
  • Nordik (Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia)

Lain dengan turnamen sebelumnya, SSBU European Smash Ball Team Cup 2019 tidak memperbolehkan penggunaan item (kecuali Smash Ball). Format pertandingan juga berbeda karena ini adalah kompetisi antar tim. Satu tim beranggotakan tiga orang, dan mereka harus bertanding melawan tim-tim lain dalam mode pertarungan 2v2 Smash, Smashdown, serta 3v3 Squad Strike. Final SSBU European Smash Ball Team Cup sendiri akan digelar pada musim semi 2019.

Terakhir, Splatoon 2 North America Inkling Open 2019 akan memulai babak kualifikasi online pada tanggal 10 Februari. Tim beranggotakan tiga pemain dapat adu semprot cat di mode pertarungan Turf War. Delapan tim terbaik kemudian bertanding di Online Qualifier Finals tanggal 2 Maret, dan dari sini akan diambil empat tim untuk maju ke babak final di PAX East 2019. Ya, final Splatoon 2 North America Inkling Open 2019 akan diadakan bersama dengan final SSBU North America Open 2019. Aturan serta fasilitas yang diperoleh pemain pun kurang lebih sama.

Nintendo seolah membuat sebuah pernyataan lewat pengadaan turnamen-turnamen ini, terutama SSBU North America Open. Mereka ingin memfasilitasi esports, sesuai dengan tren yang sedang berkembang serta minat para penggemar. Akan tetapi Nintendo juga tidak ingin melepas suasana inti Smash yang berpusat pada kegembiraan.

Adanya unsur random pasti akan membuat kompetisi sedikit chaos. Bila chaos terjadi saat kita bercanda bersama teman mungkin kita hanya akan tertawa. Tapi bila hal itu terjadi di tengah ketegangan turnamen, di mana para pemain bermain secara profesional dengan mempertaruhkan uang hadiah, masih bisakah kita tertawa?

Sumber: Nintendo of America, Nintendo UK, IGN

Bagaimana Esports Mengubah Dunia Motorsport Menjadi Lebih Baik

Federasi Otomotif Internasional alias FIA sudah cukup lama menunjukkan dukungan yang kuat terhadap dunia esports. Sejak tahun 2017 lalu misalnya, FIA telah bekerja sama dengan Polyphony Digital untuk menyelenggarakan kompetisi esports internasional berbasis game Gran Turismo Sport. Kompetisi yang berada langsung di bawah sertifikasi FIA itu mencapai puncaknya pada bulan November 2018, dan dimenangkan oleh pemain asal Brasil bernama Igor Fraga.

FIA bukan satu-satunya lembaga otomotif yang mendukung perkembangan esports. Organisasi lain seperti NASCAR, Nissan, dan McLaren juga menunjukkan ketertarikan yang serupa. Akan tetapi terjunnya FIA ke dalam esports bukan semata-mata mengikuti tren atau mencari keuntungan. Menurut mereka esports dapat menjadi bagian terintegrasi dari dunia balap mobil, bahkan membuatnya jadi lebih baik. Bagaimana bisa demikian?

Peran besar Gran Turismo di dunia motorsport

Ikatan antara dunia balap mobil nyata (motorsport) dengan video game adalah ikatan yang terjalin secara perlahan-lahan selama lebih dari dua dekade, dan tak bisa lepas dari peran Polyphony Digital. Perusahaan tersebut merupakan developer di balik seri Gran Turismo, salah satu game balap mobil andalan Sony hingga saat ini.

Sejak Gran Turismo pertama dirilis pada tahun 1997, Polyphony Digital selalu fokus pada satu hal, yaitu realisme. Beda seperti seri game balap mobil lainnya seperti misal Ridge Racer atau Need For Speed, Gran Turismo mengusung tagline “The Real Driving Simulator”. Daya tarik utama seri ini terletak pada simulasi fisika yang akurat, mobil berlisensi dengan desain sama seperti aslinya, serta fitur tuning yang lengkap dan mendetail.

Generasi console PS1 dan PS2 masih memiliki banyak keterbatasan dalam mencapai visi realisme tersebut. Akan tetapi hal itu berubah sejak era PS3. Video game akhirnya mampu menampilkan kualitas visual yang sangat nyata, juga memiliki kemampuan komputasi yang cukup untuk menghasilkan simulasi fisika dengan optimal.

Gran Turismo 5 di PS3 merupakan titik awal penting terhadap hubungan antara video game dan dunia motorsport. Setelah game tersebut dirilis, tepatnya pada tahun 2008, Polyphony Digital kemudian menjalin kerja sama dengan Nissan Europe untuk menciptakan program pendidikan khusus pembalap via medium video game. Program tersebut disebut Nissan GT Academy (atau NISMO PlayStation GT Academy).

Gran Turismo 5
Gran Turismo 5, gebrakan besar pada zamannya | Sumber: Polyphony Digital

Nissan GT Academy berhasil menunjukkan bahwa video game bisa melatih seseorang untuk menjadi pembalap sungguhan, berkat tingginya tingkat realisme di dalam Gran Turismo. Tentu saja si pembalap butuh adaptasi ketika berpindah dari kursi gamer ke kursi balap asli, tapi yang jelas potensi itu benar-benar ada. Nissan GT Academy pun terus berjalan selama 10 tahun, dengan salah satu peserta asal Indonesia yaitu Andika Rama Maulana berhasil menjadi juara 2 di GT Academy angkatan 2015.

FIA membuat video game “naik kasta”

Jarak antara video game dan dunia nyata semakin menyempit, dan FIA sebagai organisasi yang membawahi jagat motorsport tak abai akan hal ini. “Menurut federasi (FIA), jelas sekali terlihat bahwa masyarakat berevolusi seiring perubahan zaman,” kata Stephane Fillastre, kepala urusan licensing dan merchandising FIA, dilansir dari Autosport. “Kami butuh kesempatan untuk mengakui dan mensertifikasi video game sebagai bagian dari portofolio kami. Karena (video game) ini adalah bagian besar dari ekosistem (motorsport), bagian besar dari pola hidup para driver, jadi kami jelas ingin memiliki hubungan tersebut.”

Sebelumnya memang sudah ada beberapa game balap mobil yang bekerja sama dengan organisasi motorsport, misalnya Codemasters yang bekerja sama dengan Formula 1. Tapi FIA ingin menawarkan sesuatu yang lebih. Mereka ingin menyediakan sebuah platform yang tersertifikasi dan memiliki regulasi layaknya regulasi motorsport milik FIA selama ini.

Pucuk dicinta ulam tiba, visi FIA yang begitu besar bertemu dengan Polyphony Digital yang telah memiliki pengalaman 10 tahun di Nissan GT Academy. Mereka pun menciptakan program baru, FIA-Certified Gran Turismo Championship. Program ini punya perbedaan besar dari Nissan GT Academy. Bila Nissan GT Academy bertujuan mengubah gamer menjadi pembalap sungguhan, FIA-Certified Gran Turismo Championship adalah program balap virtual murni. Dengan kata lain, sebuah program esports.

“Sepuluh tahun sudah berlalu sejak (peluncuran GT Academy) itu. Dan ketika kami berbicara pada para kompetitor sekarang, tidak semuanya ingin menjadi pembalap sungguhan. Sebagian dari mereka ingin, tapi tidak semua. Dan saya pikir bagus bila ada pilihan lain,” kata Kazunori Yamauchi, produser seri Gran Turismo pada Autosport.

Visi tersebut kini menciptakan hubungan yang unik antara video game dengan motorsport. Dengan adanya program esports seperti FIA-Certified Gran Turismo Championship, FIA dan Polyphony Digital telah menaikkan “kasta” video game ke posisi yang setara dengan motorsport. Tidak hanya batu loncatan, balap video game kini menjadi sesuatu yang profesional, sama profesionalnya dengan motorsport.

Perbedaan besar motorsport dengan olahraga lain

Hubungan video game (juga esports) dengan motorsport tergolong unik. Mereka memiliki kedekatan yang tidak ada dalam cabang-cabang olahraga lain. Penyebabnya, karena mengemudikan mobil virtual dan mengemudikan mobil asli adalah dua hal yang sangat serupa.

Dibandingkan dengan sepak bola misalnya, serealistis apa pun Pro Evolution Soccer 2019, kita tetap hanya bermain menggunakan controller, bukan berlari dan menendang bola sungguhan. Begitu pula dengan bola basket, tenis, atau golf. Sehebat apa pun teknologinya, bahkan dengan bantuan VR atau AR, tetap sulit menyajikan pengalaman seperti olahraga asli (kecuali bila seseorang berhasil menciptakan NerveGear dalam waktu dekat).

Sementara itu, dengan perlengkapan racing wheel dan monitor berkualitas, ditambah game yang mumpuni, pengalaman menyetir bisa sangat mirip dengan aslinya. Memang ada beberapa hal yang tidak bisa disimulasikan, seperti g-force atau pengaruh cuaca terhadap fisik pemain. Tapi dibandingkan olahraga lain, kemiripannya jauh lebih tinggi.

Nissan GT Academy
Balap virtual dan balap sungguhan, tidaklah jauh berbeda | Sumber: Nissan

“Saya rasa jembatan dan transisi antara dunia virtual dan dunia nyata sangat jelas. Salah satu contohnya yaitu perilaku dan bahasa tubuh pemain-pemain kita, yang mana pada dasarnya sudah persis sama dengan pembalap ketika berada di mobil sungguhan, ini sesuatu yang tidak Anda miliki di, misalnya, turnamen sepak bola,” kata Stephane Fillastre pada Autosport.

Kemiripan tersebut, dan tingkat realisme yang sudah begitu tinggi di video game, kini menciptakan aksesibilitas terhadap dunia motorsport yang belum pernah ada sepanjang sejarah. Motorsport dulunya adalah olahraga yang mahal dan sulit dilakukan. Paling minimal, kita butuh sebuah mobil dan sebuah sirkuit. Tidak semua orang bisa mendapatkan keduanya, apalagi di usia muda. Tapi kini gamer bisa mendapatkan pengalaman menyetir mobil yang sangat nyata lewat video game. Dan lewat esports bersertifikasi seperti FIA-Certified Gran Turismo Championship, mereka bisa merasakan kompetisi motorsport sama seperti aslinya. Perihal apakah si pemain akan jadi atlet esports/motorsport profesional nanti, itu terserah dia.

Manfaat besar dua arah

Akses terhadap motorsport jauh lebih mudah hanyalah salah satu manfaat yang bisa dirasakan oleh para “motorhead” (penggemar otomotif). Masih ada banyak manfaat lain, salah satunya yaitu munculnya oportunitas baru bagi penyandang difabilitas.

Perbedaan fisik sering kali menghalangi seseorang untuk melakukan suatu olahraga. Andai bisa pun, olahraga tersebut tetap memiliki perbedaan dari versi aslinya (contoh: bola basket dan basket kursi roda). Tidak demikian dengan dunia motorsport. Bagaimana pun kondisi fisik seseorang, asal ia bisa menggerakkan roda setir dan menekan pedal, ia dapat ikut berkompetisi, setara dengan atlet motorsport lainnya.

Billy Monger
Billy Monger, pembalap F4 British Championship | Sumber: Autosport

Kesetaraan ini tidak terbatas pada kaum difabel. Faktor-faktor lain seperti gender atau usia juga bisa dieliminasi, dan semua orang bisa berkompetisi pada level yang sama asalkan mereka memiliki kemampuan dan kekuatan mental untuk melakukannya. Namun untuk membuktikan kemampuan itu langsung di sirkuit aspal tentu sulit. Di sinilah esports berperan, sebagai jembatan sekaligus fasilitas tempat siapa saja bisa unjuk keahlian, dan akhirnya, mendapat lisensi pembalap dari FIA.

Manfaat yang muncul dari esports ini berlaku dua arah, tidak hanya terhadap pembalap tapi juga terhadap dunia balap atau asosiasi balap itu sendiri. Bahwasanya esports dapat membantu motorsport menjangkau pasar yang lebih luas itu sudah jelas, tapi Fillastre juga memikirkan kegunaan lain.

Saat kompetisi terjadi di sirkuit, orang yang bekerja bukan pembalap saja. Ada juga peran teknisi, petugas track safety (track marshal), organizer atau steward, dan sebagainya yang jumlahnya sangat banyak. Esports dapat menjadi sarana latihan bagi pemegang peran-peran tersebut, baik latihan teknis atau latihan komunikasi.

FIA juga dapat memanfaatkan esports untuk menguji coba regulasi dan format-format balapan baru. Hal-hal seperti panjang balapan baru, perubahan posisi grid, pemberat mobil (weight ballast), dan sebagainya, sangat kompleks serta mahal untuk diuji coba di balapan sungguhan. “Video game adalah sebuah cara untuk mensimulasikan adaptasi regulasi-regulasi baru seperti itu, dan untuk melihat apakah masuk akal untuk diterapkan. Apakah dapat menjamin keamanan? Apakah dapat menjamin kesetaraan sportivitas? Apakah itu membuat motorsport makin diminati?” ujar Fillastre.

Formula 1 Australian Grand Prix 2016
F1 Australian GP 2016, menggunakan sistem kualifikasi yang aneh | Sumber: Formula 1

Ide tentang pemanfaatan esports sebagai lahan uji coba tidak hanya ada di benak FIA, tapi juga diinginkan oleh para pelaku Formula 1. “Kami tertarik menggunakan lingkungan virtual untuk menguji beberapa regulasi baru ini. Kemudian, apa yang kami lakukan adalah melihat data statistik. Ini akan memberikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang biasanya tidak bisa disimulasikan secara mudah,” ujar Pat Symonds, analis Sky Sports F1, dilansir dari Motorsport.com.

Symonds berkata bahwa pernah terjadi kekacauan di dunia Formula 1 pada tahun 2016 gara-gara regulasi yang belum teruji. Saat itu Formula 1 menerapkan sistem kualifikasi baru di mana seorang driver bisa teriliminasi walaupun balapan belum selesai. Aturan baru itu menuai protes besar, dan baru satu bulan berjalan, Formula 1 langsung membatalkannya. Symonds ingin agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Hubungan antara video game, esports, dan motorsport kini memasuki babak baru, dan masih banyak potensi yang belum tergali di dalamnya. Entah inovasi apa lagi yang akan muncul di bidang ini nantinya, akan tetapi satu hal yang jelas. Esports sedang mengubah dunia motorsport, dan perubahan itu masih akan terus berjalan.

Sumber: Autosport, Motorsport.com, Polyphony Digital, BBC, Formula 1, Nissan

Pindah ke Tigers, Dendi Bermain Bersama Sang Rival, Mushi

Berita mencengangkan datang pagi hari ini dari jagat kompetitif Dota 2 Internasional. Salah satu pemain legendaris asal Ukraina, Danil “Dendi” Ishutin, secara resmi pindah ke tim Tigers. Kepindahan Dendi terbilang tidak diduga, karena selama ini Dendi hampir tidak pernah bermain Dota di jagat kompetitif Dota SEA.

Belakangan Tigers memang sedang mencari pemain. Hal ini dilakukan setelah tim yang digawangi oleh Theeban “1437” Siva ditinggal oleh dua pemain terbaiknya yaitu Lai “Ahjit” Jay Son dan pemain kebanggan Indonesia Muhammad “InYourDream” Rizky. Pengumuman berita ini sendiri datang cukup tiba-tiba, bahkan mungkin tak ada yang menduga hal ini sebelumnya.

Kehadiran Dendi ke dalam tim, melengkapi roster dari tim Tigers. Sebelum Dendi, Tigers mengumumkan kehadiran sang legenda jagat kompetisi Dota SEA ke dalam tim, Chai “Mushi” Yee Fung. Selama ini Mushi dan Dendi selalu menjadi rival dalam berbagai kompetisi Dota sejak dari zaman dahulu. Ibaratnya, Dendi menjadi jendral jagat kompetisi Dota regional CIS (Eropa Timur) sementara Mushi adalah jendral dari jagat kompetisi Dota SEA (Asia Tenggara).

Kehadiran Dendi tentu membuat Tigers makin menarik untuk disimak. Lebih menarik lagi, adalah melihat bagaimana nantinya perkembangan permainan dari satu-satunya pemain Indonesia yang tersisa di tim Tigers, Kenny “Xepher” Deo. Dengan kehadiran 3 pemain senior yang sudah banyak makan asam garam di kancah kompetisi Dota, yaitu Mushi, 1437, dan Dendi, tentunya kita berharap akan memberi banyak pengalaman berarti kepada Xepher.

Mushi-Team-Malaysia-Dota-2
Sumber: Dota Blast

Dengan ini maka lengkap sudah roster dari tim Tigers, berikut roster pemain tim Tigers setelah kehadiran Dendi.

  • David “MoonMeander” Tan
  • Kenny “Xepher” Deo
  • Chai “Mushi” Yee Fung
  • Theeban “1437” Siva
  • Danil “Dendi” Ishutin

Kalau melihat dari jajaran roster ini, kemungkinan besar Dendi akan tetap berada di dalam posisi andalannya yaitu midlaner. Hybrid memprediksi hal ini karena melihat empat pemain sisanya yang sudah punya role andalan masing-masing, MoonMeander di Off-lane, Mushi di carry, Xepher di 2nd Support, dan 1437 di Hard Support.

Setelah kepergiannya dari tim Navi, Dendi terbilang tak banyak bicara soal masa depan yang akan ia rengkuh di kancah kompetisi Dota. Ia sempat bilang bahwa ia akan istirahat dari jagat kompetisi Dota, namun beberapa kali juga ia sempat terlihat bermain bersama Vega Squadron dengan kawan-kawannya.

Dengan ia bergabung di tim Tigers, sepertinya Dendi sudah mendapatkan kembali semangat jiwa kompetisinya, dan siap untuk kembali memperebutkan Aegis of Champions di tahun 2019 ini!

BOOM.ID Masuk Daftar Tim Undangan Turnamen Dota 2 Stockholm Major

Babak kualifikasi turnamen Dota 2 Stockholm Major segera dimulai menjelang akhir bulan Januari 2019 ini. Tepatnya mulai tanggal 24 Januari untuk Open Qualifiers, sementara Closed Qualifiers menyusul mulai tanggal 1 Februari. Sesuai aturan Dota Pro Circuit, pada turnamen Major tidak boleh ada tim yang langsung diundang untuk bermain di babak utama. Tapi masih ada beberapa tim undangan yang boleh langsung maju ke babak Closed Qualifiers tanpa mengikuti Open Qualifiers terlebih dahulu.

DreamHack selaku penyelenggara Stockholm Major (yang sebenarnya adalah DreamLeague Season 11) telah mengumumkan siapa saja tim yang diundang ke Closed Qualifiers itu. Dari enam wilayah kompetisi, DreamHack mengambil 28 tim, masing-masing wilayah empat tim kecuali Eropa dan Tiongkok yang menyumbang lima tim. Berikut ini daftar timnya.

Gambit Esports
Gambit Esports mendapat undangan setelah juara 2 Bucharest Minor | Sumber: Gambit Esports

Amerika Utara

  • J.Storm
  • Forward Gaming
  • Evil Geniuses
  • TEAM TEAM

Amerika Selatan

  • Chaos E.C.
  • Thunder Predator
  • Playmakers Esports
  • InFamous

Eropa:

  • Team Secret
  • Team Liquid
  • Alliance
  • Ninjas in Pyjamas
  • OG

Persemakmuran Negara-Negara Merdeka:

  • The Pango
  • Virtus.pro
  • Gambit Esports
  • Pavaga Gaming

Tiongkok:

  • Team Aster
  • Vici Gaming
  • PSG.LGD
  • EHOME
  • Keen Gaming

Asia Tenggara:

  • Fnatic
  • TNC Predator
  • BOOM.ID
  • Mineski

Ya benar, BOOM.ID yang merupakan tim Dota 2 asal Indonesia ternyata mendapat undangan ke Stockholm Major Closed Qualifiers! Beberapa waktu lalu BOOM.ID menunjukkan performa yang cukup baik dengan peraihan peringkat tujuh di Bucharest Minor, jadi mereka memang layak mendapat undangan ini. Tapi BOOM.ID tidak boleh terlena karena mereka masih harus menghadapi tim-tim Asia Tenggara lainnya sebelum maju ke babak utama.

Dari wilayah Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) dua nama besar CIS yaitu Natus Vincere dan Team Empire ternyata tidak masuk undangan. Performa mereka belakangan ini memang sedang kurang prima. Pavaga Gaming yang baru juara LOOT.BET Winter Masters serta Gambit Esports yang kemarin meraih juara 2 Bucharest Minor menggantikan posisi mereka. Tim Gambit Esports saat ini merupakan mantan anggota tim ferzee yang diakuisisi pada Oktober 2018 lalu.

EHOME - Bucharest Minor
EHOME setelah menjuarai Bucharest Minor | Sumber: EHOME

Sayangnya, kualifikasi Stockholm Major kemungkinan akan berjalan sambil menimbulkan rasa khawatir di kalangan sebagian pemain. Masalahnya saat ini turnamen Chongqing Major masih berjalan. Seluruh tim yang sedang bermain di Chongqing Major memang menerima undangan sehingga tidak perlu mengikuti Open Qualifiers di Stockholm Major, tapi tetap saja jarak antara kedua turnamen ini terlalu dekat. Apalagi mereka harus bepergian dengan jarak yang sangat jauh, dari Tiongkok ke Swedia.

Tim-tim asal Tiongkok punya kekhawatiran ekstra, karena Closed Qualifiers nanti akan bertabrakan dengan Tahun Baru Imlek. Bagi masyarakat Tiongkok, Tahun Baru Imlek adalah liburan sekaligus tradisi yang selalu ditunggu-tunggu setiap tahunnya, di mana mereka punya kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga besar. Akan tetapi tampaknya kali ini mereka tidak akan bisa melakukannya. Semoga saja tim-tim Tiongkok ini mendapat kesempatan liburan panjang setelah Stockholm Major berakhir.

Sumber: DreamHack, VPEsports

Melihat Perjuangan Atlet dari Sudut Pandang Psikologi Esports

“Wah enak ya cuma main game doang bisa dapat uang” kalimat tersebut cukup sering dikatakan oleh orang awam, ketika melihat profesi gamers profesional. Maksud saya gamers profesional di sini adalah mereka yang bermain game dibayar untuk bertanding di ajang kompetitif. Jadi kata gamers profesional di sini tidak termasuk game streamer atau pun youtuber game yang tidak berprofesi sebagai atlet esports.

Masyarakat awam, atau mungkin bahkan gamer itu sendiri, sering salah kaprah mengira bekerja sebagai gamer profesional itu mudah serta menyenangkan. Padahal profesi ini seperti profesi lainnya, memiliki kesulitan dan tantangannya tersendiri. 

Hybrid sempat membahas bagaimana beratnya menjadi atlet esports yang terbaik, berikut dengan berbagai pengorbanan yang harus dilakukan oleh para atlet. Tingkat stres menjadi seorang atlet esports terbilang cukup tinggi, mengingat mereka harus bangkit melawan banyak hal; diri sendiri, tim musuh yang dihadapi, dan gempuran nyinyiran para haters.

Beberapa waktu yang lalu kita juga melihat bagaimana perjuangan BOOM.ID di Bucharest Minor berakhir di luar ekspektasi. BOOM.ID dianggap menyerah terlalu dini ketika harapan dalam pertandingan melawan TeamTeam sebenarnya masih ada. Hal ini segera mendapat perhatian dari komunitas dota internasional dan ditulis sebagai “most bizarre ending in Dota 2 History” oleh joinDOTA, salah satu laman situs komunitas Dota 2 yang diakui khalayak Dota internasional.

Ini segera menjadi santapan hangat bagi para netizen. Mereka langsung saja sekuat tenaga memberikan komentar negatif kepada salah satu tim Dota 2 Indonesia ini, yang bisa dibilang sebagai tim dengan komitmen paling tinggi. Namun apakah BOOM.ID berhak atas semua omongan buruk para haters dan juga netizen hanya karena satu momen buruk tersebut?

Menilik Kerasnya Perjuangan Atlet esports Dari Sudut Pandang Psikologi Olahraga

Sumber: today.line.me
Yohannes Paraloan Siagian saat menghadiri konferensi pers JD.ID High School League. Sumber: Line Today

Mencoba melihat dari sudut pandang lain, saya penasaran ingin melihat kasus ini dari sudut pandang psikologi. Walau psikologi esports adalah hal yang krusial dan tidak mudah, namun sayang kerap dianggap remeh. Kebanyakan orang biasanya langsung sampai pada kesimpulan bahwa seorang pro player “harusnya” punya mental yang mantap. Nyatanya, mentalitas setiap orang berbeda-beda, latihan keras bertahun-tahun tak lantas membuat mental seorang manusia jadi unbreakable.

Untuk menjawab hal tersebut Hybrid mewawancarai Yohannes Paraloan Siagian S.Psi. Sosok yang akrab disapa Joey ini terkenal di dunia esports karena jabatannya sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD, sekolah pertama di Indonesia yang memiliki program pembinaan esports. Joey bercerita bahwa dirinya sudah hampir 20 tahun menjadi praktisi di bidang psikologi olahraga. Ia punya pengalaman membina dan melatih atlet serta remaja, bahkan beberapa yang ia latih pernah mewakili Indonesia di tingkat tim nasional.

Melihat apa yang terjadi pada BOOM.ID dalam game pertama melawan TeamTeam, Joey mengatakan bahwa nyatanya kesalahan tersebut sebenarnya bukan soal BOOM.ID saja. Menurut pengamatannya pada keadaan itu, kedua tim sebenarnya melakukan kesalahan yang sama. Hanya saja BOOM.ID ketika itu kelihat lebih salah, karena mereka yang kalah gara gara keadaan tersebut. Penyebabnya? Menurut Joey hal tersebut dikarenakan mereka yang tidak sadar dengan keadaan, tidak fokus main sampai permainan benar-benar selesai.

Sumber: nytimes.com
Sumber: The New York TImes

Menurutnya keadaan tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah soal disiplin dan fokus. Untuk menjelaskan hal tersebut, Joey lalu meminjam analogi dari olahraga bola basket yang punya istilah “play to the buzzer”. Istilah ini digunakan untuk menyebut mentalitas permainan yang memaksa pemain untuk tetap fokus bermain, sampai bel babak terakhir berbunyi, tanpa perlu memikirkan hasil. Jadi, menurutnya, kasus tersebut bisa terjadi karena mentalitas itu kurang terlatih, baik di dalam tim BOOM.ID ataupun TeamTeam itu sendiri.

Lalu bagaimana dari sisi psikologi dan mentalitas? Joey menjelaskan lebih lanjut bahwa keadaan psikologis atau mental dari setiap atlet, termasuk atlet esports, memiliki batasan tenaga serta daya tahan. Seperti fisik, kekuatan mental juga butuh istirahat agar bisa kembali prima. Jadi secara umum mental juga dapat mengalami kelelahan atau disebut juga sebagai Mental Fatigue. Keadaan mental fatigue bisa terjadi pada atlet jika mereka mengalami tekanan yang sangat tinggi, namun kekuatan serta stamina mental mereka sudah tak sanggup menahan segalah hal tersebut.

Mengutip tulisan psikolog bernama Karen Nimmo dari medium.com, ada beberapa indikator ketika mental fatigue terjadi pada atlet. Menurutnya dalam keadaan mental fatigue, atlet akan lebih sering melakukan kesalahan, sulit untuk fokus, overthinking terhadap segala hal yang menciptakan keresahan, pergerakan kaku sehingga performa menurun, kehilangan motivasi, serta munculnya pikiran buruk yang membuat atlet takut salah bahkan dalam melakukan hal yang ia sangat mahir.

Sumber: knowtechie.com
Sumber: KnowTechie

Kompetisi sebesar Bucharest Minor merupakan kompetisi dengan tekanan mental yang sangat tinggi. Ada beberapa faktor penyebab kompetisi ini memberi tekanan mental tinggi, seperti panggung besar, sorotan khalayak Dota internasional, lawan kelas berat, serta tanggungan beban membawa nama baik negara sendiri. Menghadapi kompetisi ini, jelas seorang atlet esports harus memiliki kekuatan mental yang besar serta stamina mental yang tinggi; agar tidak mengalami mental fatigue dan bisa mengeluarkan performa konsisten sepanjang kompetisi.

Menutup obrolan, saya menanyakan soal pentingnya kehadiran pelatih mental di dalam sebuah tim esports? “S-A-N-G-A-T!!” Jawab Joey semangat. Ia mengatakan bahwa aspek tersebut harus ada di dalam program pelatihan esports, karena esports layaknya olahraga, bukan hanya soal fisik tapi juga mental yang prima. “Tim apapun yang mengabaikan aspek mental ibarat membangun rumah dengan mengabaikan beberapa tembok kemudian bingung kenapa rumah tersebut bisa roboh” ucap Joey.

Cerita Atlet Esports Senior Soal Tekanan Mental di Dalam Sebuah Kompetisi

Sumber: mineski.net
Koala (Pojok kiri) bersama tim Rex Regum Qeon saat memenangkan Kaskus Battle Ground musim pertama. Sumber: Mineski.net

Tak adil rasanya jika kita tidak melihat dari sisi pengalaman sang atlet esports itu sendiri. Menjawab hal ini saya menanyakan pendapat salah satu atlet esports Dota 2 legendaris. Pemain yang jadi narasumber untuk artikel ini adalah seorang pemain senior yang terakhir kali bermain di dalam tim Rex Regum Qeon, yaitu Farand ‘Koala’ Kowara. Koala berkarir di dunia esports Dota 2 sejak dari lama, sekitar tahun 2006, dan ia sudah menghadapi kerasnya jagat kompetisi DotA bersama tim XcN, ketika bahkan Dota 2 belum rilis. Dulu ia juga bahkan sempat memenangkan MGC 2008 di Tiongkok saat masih bergabung di Fnatic.

Sejak tahun 2017 lalu, Koala sudah gantung keyboard dan memilih untuk undur diri dari jagat kompetitif Dota 2. Alasan ia gantung keyboard adalah untuk memberi kesempatan kepada pemain-pemain muda agar dapat menunjukkan bakatnya. Namun pensiun bukan berarti Koala sepenuhnya mundur dan tidak mengamati situasi dalam jagat kompetitif Dota.

Saya pun menanyakan soal pendapatnya terhadap apa yang terjadi dalam pertandingan BOOM.ID melawan TeamTeam di Bucharest Minor 2019. Koala juga turut mengakui bahwa situasi yang mereka alami tersebut merupakan situasi penuh tekanan. Tak heran jika mereka secara tim keseluruhan mengalami panik sampai akhirnya menciptakan keadaan tersebut.

Sumber: duniagames.co.id
Sumber: Dunia Games

Berangkat dari kasus tersebut, saya melanjutkan perbincangan membicarakan soal bagaimana sebenarnya tekanan dari menjadi seorang atlet esports. Koala menceritakan pengalamannya sendiri sambil menceritakan cerita kawan-kawannya yang juga berjuang di jagat esports Dota 2.

Menurutnya soal tekanan itu tergantung dari masing-masing orang, seberapa serius mereka menekuni dunia esports. “Tetapi jika sudah mencapai tingkat profesional tangapannya pasti berbeda, mereka dituntut untuk menang, ada hak dan kewajiban, belum lagi kalau kalah dibacotin, tapi balik lagi ke kekuatan mental individunya sendiri, ada yang bisa aja nggak kuat lalu merasa tertekan ada yang cukup kuat jadi biasa aja.” Tambah Koala.

Ia juga mengamini bahwa tekanan pertandingan di atas panggung itu jauh berbeda, tentunya tidak sebanding jika dibandingkan dengan sebuah game MMR di Dota 2. “Balik lagi ke momen BOOM, kalau game MMR gue yakin mereka pasti bisa sadar dengan keadaan. Tapi ini beda, ini tanding di panggung, tekanannya sudah jelas beda. Hal itu nggak cuma dialami BOOM kok, semua tim juga kaya itu” jelas Koala.

Sumber: dota2.com
Sumber: Dota 2 Blog

Bicara soal tekanan di dalam pertandingan Koala pun menceritakan bahwa dirinya sendiri cukup sering mengalami hal tersebut. “Hal kaya gitu sering banget, hampir setiap kali qualifier besar atau final kompetisi pasti ada pressure mental kaya gitu” cerita Koala. Ia melanjutkan bahwa seberapa besar tekanan dalam tim, itu tergantung seberapa besar tim tersebut peduli dengan ekspektasi orang sekitar, serta seberapa besar keinginan suatu tim untuk menang. Semakin besar pemain atau tim tersebut peduli dengan faktor eksternal dan internal tersebut, bukan tidak mungkin tekanan yang dialami akan semakin tinggi.

Lalu bagaimana cara untuk menghadapi keadaan penuh tekanan seperti ini? Setiap individu tentu punya cara dan siasatnya tersendiri, juga tergantung dari kekuatan serta stamina mental seseorang. Koala cerita ia punya cara yang cukup sederhana. “Just play and have fun, gak usah mikirin hasil, main dan lakukan yang terbaik” jawab Koala menutup obrolan kepada Hybrid.

Jika melihat bagaimana tim esports Indonesia kerap gagal ketika main di panggung internasional, saya merasa memang sudah saatnya menghadirkan sosok psikolog atlet. Terkait hal itu Joey juga menjelaskan bahwa memang tak harus selalu ada coach khusus mental yang merupakan lulusan psikologi. Menurutnya coach rangkap teknis dengan mental pun tak apa, selama ia mengerti serta mau belajar soal psikologi dan mentalitas atlit di dalam sebuah pertandingan.

Bagaimanapun jika melihat kemampuan bermain atau kerjasama permainan atlet-atlet Indonesia, mereka semua tak bisa dikatakan buruk; malah kadang bisa jadi lebih bagus dari pemain internasional. Terbukti beberapa pemain Indonesia skill-nya diakui oleh khalayak esports internasional, Hansel “BnTeT” Ferdinand dari CS:GO atau Kenny “Xepher” Deo dari Dota 2 contohnya.

Akhirnya, pelatihan mental dan pemahaman psikologi esports yang dilakukan sama kerasnya dengan pelatihan skill bermain tentunya akan membuat lebih banyak lagi para pemain Indonesia yang sukses menggaungkan namanya di tingkat dunia. Meski memang, hal ini juga akan kembali lagi ke kecepatan masing-masing pemain dalam menyerap berbagai pelatihan tersebut.

Cerita Perjuangan BOOM.ID di Dota 2 Bucharest Minor 2019

Pekan lalu kita melihat bagaimana perjuangan tim BOOM.ID dalam kompetisi Bucharest Minor, salah satu kompetisi yang masuk dalam rangkaian Dota 2 Pro Circuit 2018-2019 (DPC 2019). Secara hasil, BOOM.ID mungkin belum bisa memenuhi ekspektasi para netizen bermulut tajam namun perjuangan mereka patut diapresiasi berkat kegigihan mereka untuk lolos ke kompetisi internasional.

Penasaran dengan sepak terjang mereka selama di Bucharest Minor, Hybrid mewawancara Brando Oloan, manajer tim Dota 2 BOOM.ID selama di Bucharest Minor kemarin. Bucharest Minor sendiri merupakan salah satu kompetisi bagian dari DPC 2019, yang tergolong sebagai kompetisi Minor.

Sumber:
Sumber: PGL Dota 2

Kompetisi Minor bisa dibilang seperti liga divisi 2 dalam jagat kompetisi Dota internasional. Jadi Bucharest Minor menjanjikan sang juara poin DPC untuk dapat lolos ke Dota 2 The International dan juga slot untuk menuju ke Major berikutnya; dalam hal ini adalah slot menuju Chongqing Major yang didapatkan oleh tim EHOME. Bisa melihat tim Indonesia menunjukkan kemampuannya di Bucharest, Hungaria, Brando mengaku benar-benar merasa senang dan bangga. Apalagi, lawan mereka ketika itu juga merupakan beberapa tim yang punya nama besar, OG contohnya tim juara TI 8 yang performanya sedang menurun belakangan.

Mereka memang sempat melakukan satu kesalahan yang membuat nama BOOM.ID menjadi sorotan di jagat kompetisi Dota internasional. Namun mungkin yang para khalayak Dota baik lokal maupun internasional tidak lihat, adalah bagaimana proses perjuangan mereka untuk sampai di sana.

Sumber: BOOM.ID
Sumber: BOOM.ID

Brando lalu menceritakan proses perjuangan mereka. Ia mengatakan bahwa para player BOOM.ID benar-benar disiplin dengan apa yang mereka lakukan, mulai dari latihan dan belajar dari setiap game. Tapi lagi-lagi, nyatanya bermain di panggung internasional tidak semudah dan sesederhana itu. Selain gameplay, mental memegang peranan penting di sana; seperti yang sudah sempat Hybrid bahas dalam artikel soal esports dan psikologi olahraga.

Salah satu yang unik dari kompetisi ini bagi BOOM.ID adalah kehadiran Mikoto sang wonderkid wajah baru jagat kompetisi Dota 2 Indonesia. Sepak terjang Mikoto sudah layaknya Topson dari tim OG, bedanya, Bucharest Minor yang jadi kompetisi internasional pertama bagi Mikoto. Tercatat, baru 2 tahun dia berkelana di jagat kompetisi esports. Walau singkat, Mikoto sudah menunjukkan potensi besarnya. Akhirnya berkat pembuktian yang ia lakukan, ia pun ditarik ke dalam tim BOOM.ID untuk menggantikan SaintDeLucaz yang rehat dari dunia kompetitif Dota.

Sebagai kompetisi internasional pertamanya, Brando mengatakan bahwa Mikoto ada perasaan nervous pada saat bermain di Bucharest Minor. “Soalnya turnamen pertama dia keluar negeri, ditambah ini juga Valve event kan” tambah Brando. Penasaran soal gameplay dan mekanik, menariknya Brando mengakui bahwa sebenarnya skill mekanik pemain Indo itu nggak kalah dari mereka yang punya jam terbang jauh lebih tinggi di jagat kompetitif Dota 2.

Sumber: Metaco
Sumber: Metaco

“Kalau mekanik sih Indonesia nggak kalah ya, cuma gue akui memang kelemahan kita itu dari segi strategi dan META understanding aja ya,” jawab Brando kepada Hybrid. Terakhir, mencoba melihat sisi positif dari hasil yang didapat BOOM.ID selama Bucharest Minor kemarin, Brando mengatakan bahwa kompetisi ini merupakan pelajaran besar bagi BOOM.ID.

Hard work get you further than anything, latihan terus, belajar terus, karena setiap hari, setiap game, setiap latihan pasti selalu ada yang bisa kita pelajari untuk menjadi yang lebih baik.” Jawab Brando menutup obrolan dengan Hybrid.

Sekali lagi selamat kepada BOOM.ID, yang sudah mencurahkan segala daya dan upaya agar dapat tembus sampai ke kompetisi tingkat Internasional. Meski mendapat hasil yang kurang memuaskan, namun hal ini tentu menjadi pelajaran besar yang bisa membuat jagat kompetisi Dota 2 Indonesia semakin hebat lagi ke depannya.

ESL Indonesia Championship Season Pertama Disponsori oleh Indofood

Season perdana kompetisi ESL Indonesia Championship telah dimulai, dan ESL kini mengumumkan siapa saja partner yang akan turut berkontribusi menyelenggarakan kompetisi tersebut. Sebagai sponsor utama atau Presenting Partner, ESL rupanya bekerja sama dengan Indofood. Ini merupakan kolaborasi yang cukup dahsyat, di mana perusahaan esports terbesar di dunia telah menggandeng perusahaan makanan dan minuman terbesar di Indonesia.

Selain Indofood, ESL juga berkolaborasi dengan tiga brand makanan/minuman lain sebagai Premium Partner, yaitu PopMie, Chitato, dan Indomilk. Sementara ACER Predator, CBN Fiber, Elevenia, dan Ottopay berperan sebagai Official Partner. Mereka semua turut mendukung terwujudnya kompetisi Dota 2 dan Arena of Valor se-Indonesia dengan total hadiah senilai US$100.000 (sekitar Rp1,42 miliar) ini.

Dota 2
Dota 2 | Sumber: Valve

“Kami sangat antusias karena dapat bekerjasama dengan brand seperti Indofood, PopMie, Chitato, dan Indomilk dalam merintis jejak esports yang membanggakan di Indonesia,” kata Nick Vanzetti, Managing Director dari ESL Gaming Asia Pacific dan Jepang dalam siaran persnya. “Rekan-rekan kami sangat berharga dalam membantu kita menciptakan fondasi untuk pemain Indonesia untuk bersinar, dan mendapat kesempatan untuk mencapai kancah internasional.”

Ini bukan pertama kalinya Indofood menjejakkan kaki di dunia esports. Sebelumnya, Indofood lewat brand Indomie pernah mensponsori kompetisi di luar negeri yang bernama Australian Esports League (AEL) University Cup 2018. Namun untuk kompetisi dalam negeri, ESL Indonesia Championship adalah kiprah perdana mereka.

“ESL adalah salah satu pionir di bidang esports di dunia dan kami sangat bangga untuk bekerja bersama mereka untuk membangun esports di Indonesia. Bersama ESL, Indofood ingin menyediakan sarana yang menarik dan pengalaman terbaik untuk player esports lokal dalam mencapai kesuksesan. Kami berharap dengan kolaborasi ini, akan lebih banyak lagi player Indonesia yang bisa unggul di kancah dunia,” demikian ujar Axton Salim, Direktur Indofood di siaran pers.

Arena of Valor
Arena of Valor | Sumber: Tencent

Bila Anda perhatikan, beberapa brand yang mendukung ESL Indonesia Championship ini adalah brand yang berada di bawah Salim Group, termasuk juga Indofood sebagai sponsor utama. ESL memang memiliki komitmen kerja sama dengan Salim Group untuk mengembangkan ekosistem esports di Indonesia. Akan tetapi tidak hanya Salim Group saja, ESL juga menggandeng pihak lain seperti ACER, Ottopay, dan sebagainya, menunjukkan bahwa dunia esports Indonesia sudah mampu menarik minat brand dari berbagai bidang industri.

ESL Indonesia Championship Season 1 dimulai sejak tanggal 16 Januari 2019 untuk Dota 2, dan 19 Januari 2019 untuk Arena of Valor. Anda dapat menonton pertandingan-pertandingannya secara langsung dari studio baru ESL Gaming Indonesia di Jakarta, atau secara streaming lewat channel YouTube resmi ESL Indonesia. Untuk mengetahui jadwal lengkap kompetisi ini, Anda bisa mengunjungi situs resmi ESL, atau mengikuti akun media sosial ESL di Facebook, Twitter, dan Instagram.

Turnamen Dota 2 ESL One Mumbai Digelar April 2019, Hadiah US$300.000

Meski bukan bagian dari Dota Pro Circuit, ESL One tetap merupakan salah satu seri kompetisi paling bergengsi di dunia. Akhir tahun 2018 lalu ESL One telah menyambangi kota Hamburg, Jerman, dalam turnamen yang akhirnya dimenangkan oleh Team Secret. Kemudian ESL juga telah mengumumkan keberadaan ESL One Katowice (Polandia) yang akan digelar pada bulan Februari 2019, serta ESL One Birmingham yang rencananya berlangsung akhir Mei 2019.

Kini ESL mengumumkan satu lagi kompetisi ESL One, yang secara cukup mengejutkan, ternyata hadir di negara India. Kompetisi itu bernama ESL One Mumbai 2019, dan akan berlangsung pada tanggal 19 – 21 April nanti. Ini adalah pertama kalinya ESL One hadir di India. Bahkan menurut ESL, inilah acara esports berskala stadion besar pertama di India.

ESL One - Crowds
Kemeriahan acara ESL One Genting | Sumber: ESL

ESL One Mumbai 2019 mempertandingkan 12 tim jagoan Dota 2 dari seluruh dunia untuk berebut hadiah uang senilai US$300.000 (setara dengan turnamen Dota 2 Minor). Dari 12 tim itu, tujuh di antaranya merupakan undangan, sementara lima sisanya masuk dari jalur kualifikasi. ESL membuka kualifikasi dari lima wilayah, yaitu Amerika Utara, Eropa/PNM, Tiongkok, Asia Tenggara, serta India. Saat ini belum ada pengumuman tentang siapa saja tim undangan tersebut.

Lokasi pertandingan yang dipilih adalah National Sports Club of India (NSCI) Dome di kota Mumbai. Gedung ini tidak hanya berfungsi sebagai gedung olahraga, tapi sudah sering dipakai untuk acara-acara konser musik, pertunjukan broadway, konferensi TEDx, hingga Miss India 2018. Meski India tidak dikenal sebagai wilayah dengan kompetisi Dota yang kuat, ESL One berjanji akan menghadirkan suasana khas ESL One seperti biasanya. Mulai dari pertandingan-pertandingan kelas dunia, sesi temu atlet dan tanda tangan, kontes cosplay, dan lain-lain.

ESL One - Signing
Pemain-pemain top dunia akan berkumpul di India | Sumber: ESL

ESL telah berkomitmen untuk mengembangkan iklim esports Dota 2 di seluruh dunia sejak tahun 2014. Dimulai dari ESL One Frankfurt 2014, kompetisi ini telah menyambangi begitu banyak negara, dari Amerika Serikat, Jerman, Filipina, hingga Malaysia. ESL One juga sempat masuk menjadi bagian dari Dota Pro Circuit dan menawarkan hadiah US$1.000.000. Akan tetapi sejak tahun 2018 kompetisi ini kembali berdiri independen.

Indonesia juga menjadi salah satu negara potensial yang dimasuki oleh ESL. Pada bulan September 2018, ESL telah menjalin kerja sama dengan Salim Group untuk mendirikan ESL Indonesia. Tujuannya, tentu mengembakan ekosistem esports yang sehat dan sustainable di negara ini. Dengan diadakannya ESL One Mumbai 2019, mudah-mudahan iklim esports di India juga bisa terpicu untuk maju, serta menambah variasi wilayah kompetisi Dota 2 di masa depan.

Sumber: ESL, GosuGamers

Regular Season MPL ID Season 3 akan Digelar di Studio TV

15 Januari 2018, Moonton menggelar konferensi pers untuk Mobile Legends: Bang Bang Professional League (MPL) Indonesia Season 3 di Djakarta Theater XXI. Turnamen yang menawarkan total hadiah sampai dengan US$120 ribu (atau setara dengan Rp1,7 miliar) ini telah memastikan jadwal dan sistem turnamennya.

Tahap kualifikasi online nya telah berlangsung dari tanggal 9 sampai 13 Januari 2019. Setelah tahapan tersebut, akan ada Final Qualifier yang berlangsung dari tanggal 24-27 Januari 2019. Sedangkan babak Regular Seasonnya akan digelar dari 16 Februari – 31 Maret 2019.

Sistem turnamen MPL ID S3 sendiri tak jauh berbeda dengan musim sebelumnya. Dari Online Qualifier, ada 8 tim yang akan diadu lagi di Final Qualifier bersama dengan 2 tim peringkat 7-8 di Grand Final MPL ID S2. Berikut ini adalah 10 tim yang akan bertanding di Final Qualifier (24-27 Januari 2018):

  • The Prime
  • XcN
  • Star8 Esports
  • Revo
  • Alter Ego
  • Vins
  • Aura Esports
  • Sadboys G6
  • Bigetron Esports (Direct Invite dari Grand Final MPL ID S2 – Peringkat 7)
  • SFI (Direct Invite dari Grand Final MPL ID S2 – Peringkat 8)
Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Di babak Final Qualifier yang dibagi jadi 2 grup, 3 tim tertinggi dari masing-masing grup akan melaju ke babak Regular Season bersama dengan 6 tim peringkat 1-6 di Grand Final MPL ID S2. Keenam tim yang telah menunggu di babak Regular Season adalah:

  • RRQ.O2
  • EVOS Esports
  • ONIC Esports
  • Louvre
  • Saints Indo
  • Aerowolf Roxy

Sistem pertandingan yang nantinya digunakan di Regular Season S3 juga tak jauh berbeda dengan S2. Namun demikian, karena ada 6 tim yang akan maju dari babak Final Qualifier dan 6 tim yang telah menunggu dari Direct Invite, ada total 12 tim yang akan mengikuti babak Regular Season MPL ID S3. Jumlah ini berbeda dengan yang ada di Season sebelumnya karena hanya 10 tim di Season 2 ataupun Season 1.

Selain itu, buat yang mengikuti MPL dari Season 1, ada juga perbedaan signifikan soal Direct Invite antar Season. Dari Season 1 ke Season 2,  slot Direct Invite diberikan untuk pemain misalnya dari TEAMnxl yang berubah jadi Aerowolf ataupun Elite8 yang berubah jadi SFI. Sedangkan dari Season 2 ke Season 3, slot tersebut dipegang oleh klub/organisasi karena ada 2 klub, yang sepengetahuan saya, bahkan sudah kehilangan 4 pemain (atau lebih) yang sebelumnya bermain untuk MPL ID S2 yaitu Bigetron Esports dan Saints Indo.

Lius Andre saat di konferensi pers MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
Lius Andre saat di konferensi pers MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Mengenai perubahan ini, Lius Andre, Indonesian eSports Manager Moonton mengatakan dalam konferensi pers bahwa tim-tim peserta MPL sekarang sudah dijalankan secara profesional karena itulah slot diberikan kepada klub. Ia juga mengatakan bahwa MPL ingin mengadopsi sistem yang sudah lebih dahulu diterapkan di liga sepak bola.

Berbicara mengenai perubahan, buat para pemerhati industri esports Indonesia, mungkin juga menyadari ada perubahan besar dalam hal organizer. Di 2 Season sebelumnya (S1 dan S2), MPL Indonesia dijalankan oleh RevivalTV. Namun di Season 3 ini MPL akan diorganisir oleh Mineski Event Team (MET).

Keduanya sebenarnya sama-sama EO esports terbesar yang ada di Indonesia saat ini. RevivalTV punya beberapa punggawa seperti Ahmad Syandy (CEO), Irliansyah Wijanarko (CGO), ataupun Affan Edvartha (COO). Sedangkan MET juga punya segudang bintang orang-orang esports belakang layar seperti Agustian Hwang (Country Manager), Tribekti Nasima (Head of Operation), Reza Afrian Ramadhan (Head of Marketing), dan yang lainnya.

Lalu apa yang akan membedakan antara Season 3 dan Season 1-2?

Lius sempat memberikan komentarnya tentang MPL ID S3 di dalam rilis yang kami terima, “MPL Season 3 tahun ini hadir lebih besar dan spektakuler, diikuti ratusan tim terbaik dan didukung studio professional terbaik serta teknologi level broadcast yang canggih. Hal itu tentu akan membuat suasana pertandingan jauh lebih seru dari gelaran tahun sebelumnya. Kami pun sangat senang bisa meramaikan dunia esports Indonesia yang dinamis. Kami yakin bahwa penggemar di Indonesia dapat turut merasakan keseruan dari persaingan antar pemain profesional Mobile Legends: Bang Bang,

Sedangkan Agus dari MET juga memberikan pernyataan dalam rilis yang sama, “Kami bangga dapat menjadi penyelenggara turnamen liga Mobile Legends profesional terbesar di Indonesia. Dengan pengalaman menangani ratusan turnamen esports skala internasional, MET berkomitmen untuk menyajikan turnamen MPL Indonesia Season 3 yang menarik, profesional, dan menjunjung tinggi fair play. Besar harapan kami, Indonesia dikenal memiliki basis pemain Mobile Legends: Bang Bang terbesar dan MET berkomitmen untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi para pemain yang pasti akan bersemangat untuk bangkit menghadapi tantangan di MPL.”

Reza Afrian Ramadhan. Dokumentasi: Yota Reiji
Reza Afrian Ramadhan. Dokumentasi: Yota Reiji

Dari kutipan tadi, memang tak ada jawaban tentang perbedaan kongkret seperti apa yang nanti bisa kita harapkan. Namun Reza juga sempat memberikan informasi saat ia presentasi di konferensi pers bahwa Regular Season MPL Indonesia S3 akan digelar secara tatap muka di stasiun TV dan terbuka untuk penonton sampai 150-200 orang. Hal ini sangat berbeda dengan yang sebelumnya dilakukan karena hanya 1 pertandingan di tiap minggu yang tatap muka (atau bahasa primitifnya: offline) dan tak terbuka untuk penonton.

Selain itu, adakah hal lain yang akan berbeda? Saya pun menghubungi Reza untuk berbincang lebih lanjut mengenai hal ini. Ia mengatakan bahwa gaya yang lebih profesional namun menghibur adalah yang biasa ditawarkan oleh MET. Ia juga menambahkan bahwa tujuan MET adalah, “Reinvent esport as a new media of entertainment.” Jadi, MET ingin menawarkan konsep-konsep baru sembari menaikkan standar yang sudah ada. Ia juga menambahkan bahwa MET ingin agar esports juga bisa dinikmati oleh semua orang. Ia berargumen bahwa esports sebelumnya memang sudah menghibur untuk komunitas gamer namun belum untuk semua orang.

Jawaban tadi mungkin memang masih sedikit konseptual dan pembuktiannya nanti memang hanya bisa dilihat dari seperti apa jalannya MPL ID S3 bersama MET.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Jujur saja, saya pribadi memang penasaran soal apakah EO esports dapat memberikan warna yang berbeda, yang unik dari masing-masing layaknya industri kreatif lainnya. Sedangkan MPL Indonesia ini mungkin bisa menjadi proyek unik untuk melihat apakah ada perbedaan tersebut mengingat liga ini seperti sequel dari musim sebelumnya.

Jadi, MPL Indonesia Season 3 ini sebenarnya tak hanya menarik buat para fans esports MLBB yang mengikuti perjalanan tim-tim terbaik dari 2 musim sebelumnya. Namun juga untuk orang-orang belakang layar yang berkecimpung di industri esports untuk melihat seperti apa perbedaan yang mungkin terjadi dan pelajaran yang bisa dipetik.

 

OpTic Gaming Bubarkan Divisi PUBG dan Fortnite

Popularitas battle royale di beberapa tahun terakhir ini adalah hal yang nyata. Sudah bukan rahasia lagi bahwa PUBG Mobile adalah salah satu mobile game tersukses di tahun 2018, juga bahwa Fortnite: Battle Royale berkembang begitu pesat sampai-sampai Epic Games harus menutup Paragon demi fokus ke game ini. Begitu pula di dunia esports. Beragam kompetisi bergenre battle royale sudah banyak digelar, bahkan dengan skala internasional.

Akan tetapi mungkin masa depan esports battle royale tidak secerah yang kita kira. Setidaknya begitu menurut OpTic Gaming, salah satu tim esports terbesar asal Amerika Serikat. OpTic Gaming baru saja membubarkan divisi esports Fortnite: Battle Royale mereka dan berpisah dengan dua atletnya, Gunfly (Stephen Brown) dan Baldy (Keneth Anderson). Hal ini diungkapkan oleh kedua pemain itu via Twitter pada 13 Januari lalu.

https://twitter.com/OpTicBaldy/status/1084165711155609600

“Kami didatangi oleh Kenneth (Baldy) dan Stephen (Gunfly), dan mereka menjelaskan bahwa mereka ingin bermain dengan partner lain. Kami sangat menghormati para pemain Fortnite kompetitif di OpTic, sama seperti mereka berdua, jadi kami merasa tidak adil bila kami menghukum atau menghalangi mereka dari hal yang menurut mereka terbaik untuk meraih sukses. Pada dasarnya kami memberi pilihan untuk tetap tinggal sebagai duo atau berpisah,” demikian kata Kodiak Shroyer, Esports Director dari Infinite Esports & Entertainment, via Reddit. Infinite Esports & Entertainment adalah perusahaan holding yang membawahi berbagai tim, termasuk OpTic Gaming.

OpTic juga sempat mempertimbangkan untuk merekrut pemain baru sebagai partner Baldy dan Gunfly. Namun ada beberapa kendala yang membuat OpTic tidak bisa melakukannya. Misalnya karena partner yang diinginkan ternyata masih bergabung dengan tim lain. Karena itu akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah saja secara baik-baik.

“Kamu akan terus memantau scene (Fortnite) dan talenta yang naik daun, tapi untuk sementara kami tidak punya pemain yang tergabung dalam tim kompetitif,” lanjut Kodiak. Baldy dan Gunfly sendiri selama ini memang kurang bersinar. Mereka hanya mencapai peringkat 50 di kompetisi Fortnite Fall Skirmish, dan peringkat 38 di turnamen World Showdown of Esports (WSOE) 3.

OpTic Gaming - Hector Rodriguez
Hector Rodriguez, bos OpTic Gaming | Sumber: eSportsLive Network

Ini bukan pertama kalinya OpTic Gaming membubarkan divisi battle royale. Pada bulan Desember 2018, mereka juga telah melepas divisi PUBG mereka. Padahal divisi PUBG OpTic Gaming baru saja meraih runner-up di kompetisi Global Loot League (GLL) Season 3. Enam pemain pergi peninggalkan tim ini kala itu, dan sebagian di antaranya akhirnya membentuk tim Why Tempt Fate (WTF).

Akan tetapi alasan pelepasan divisi PUBG berbeda. OpTic Gaming rupanya merasa ragu akan masa depan dunia esports PUBG. CEO OpTic Gaming, Hector Rodriguez, bahkan pernah dengan gamblang berkata bahwa ia merasa PUBG akan gagal sebagai sebuah esports. Sama seperti H1Z1 yang telah gagal terlebih dahulu. Namun OpTic tetap terbuka terhadap perubahan. Bila di masa depan kondisi PUBG membaik, mereka bisa saja kembali untuk bertarung di Erangel.

Mengapa genre battle royale sulit menjadi esports yang sustainable? Alasannya bisa bermacam-macam. H1Z1 dulu gagal karena terlalu sedikitnya peminat, tapi PUBG dan Fortnite bisa gagal karena sebab lain. Misalnya pasar yang sudah terlalu penuh, apalagi ditambah dengan kemunculan Counter-Strike: Global Offensive Danger Zone dan Call of Duty: Black Ops 4 Blackout.

OpTic Gaming - Gears of War
OpTic Gaming punya divisi Gears of War yang berprestasi | Sumber: OpTic Gaming

Menurut OpTic, H1Z1 gagal karena “pada orang dewasa tidak melakukan kewajibannya”. Ini berhubungan dengan kompensasi yang tidak dibayar ketika H1Z1 league dibubarkan. Sementara untuk PUBG, menurut Rodriguez perkembangannya tidak secepat yang ia inginkan, dan ia merasa PUBG akan mengalami hal sama seperti H1Z1. OpTic juga merasa format dan struktur kompetisi esports PUBG tidak memuaskan, terutapa di National PUBG League (NPL).

Dengan CS:GO yang kini telah menjadi free-to-play, dan CoD: Black Ops 4 Blackout diprediksi akan mengalami hal serupa, tampaknya Fortnite dan PUBG terancam oleh persaingan ketat di tahun 2019 ini. Mungkin masih terlalu cepat untuk menilai bahwa masa depan esports di genre battle royale akan suram. Tapi setidaknya OpTic Gaming sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.

Sumber: Fox Sports Asia