10 Turnamen Esports Berhadiah Terbesar di Indonesia Tahun 2018

Tahun 2018 telah berakhir, menyisakan sejumlah kenangan tentang ingar-bingarnya dunia esports yang begitu semarak di Indonesia. Di tahun ini, esports beralih dari the next big thing menjadi the current big thing. Berbagai organizer dari seluruh penjuru negeri berlomba-lomba menciptakan turnamen terbesar dan termegah, sementara puluhan brand non-gaming dan non-endemic tak mau ketinggalan berebut “kue” yang menjanjikan ini.

Dulu, mendengar kemunculan turnamen esports berhadiah ratusan juta mungkin kita akan merasa heboh sekali. Tapi hal itu berubah jadi sangat lumrah. Tak hanya ratusan juta malah, negara kita juga bertabur sejumlah kompetisi esports dengan hadiah miliaran rupiah. Berikut ini adalah beberapa kompetisi esports di Indonesia yang memiliki hadiah paling besar sepanjang tahun 2018.

GESC: Indonesia Dota 2 Minor – Rp4.300.000.000 (US$300.000)

Berbicara tentang prize pool, Dota 2 memang rajanya. Meski secara jumlah pemain mungkin kalah dari MOBA di smartphone, game yang satu ini masih menawarkan hadiah terbesar, apalagi di turnamen resmi Dota Pro Circuit.

Tahun ini, Jakarta terpilih menjadi salah satu kota tempat penyelenggaraan turnamen Dota 2 Minor. Sesuai aturan Dota Pro Circuit, turnamen Minor haruslah memiliki hadiah senilai minimal US$300.000, atau sekitar Rp4,3 miliar. Turnamen yang digelar di ICE BSD pada bulan Maret lalu ini dimenangkan oleh Evil Geniuses.

AOV Star League Season 2 – Rp2.600.000.000

Arena of Valor di bawah naungan Garena sangat aktif dalam menjalankan kompetisi esports. Dalam satu tahun saja, mereka telah menggelar empat turnamen berskala nasional, yaitu AOV Star League (ASL) Season 1 dan 2, serta AOV National Championship (ANC) Season 1 dan 2. Ini masih ditambah berbagai turnamen resmi skala kecil di berbagai penjuru nusantara, misalnya XL Axiata Digifest.

ASL Season 2 adalah sorotan utama, dengan total hadiah Rp2,6 miliar. Digelar setiap hari Selasa dan Kamis, turnamen ini dimulai sejak September 2018 dan akan selesai pada Januari 2019 nanti. Tujuh tim pilihan bertanding dalam kompetisi ini, salah satunya adalah Headhunters yang baru bergabung di Season 2. Siapa kira-kira yang akan menjadi juaranya?

EVOS ASL Season 1
EVOS saat menjuarai ASL Season 1 | Sumber: Kincir.com

Point Blank National Championship 2018 – Rp2.200.000.000

Melihat dominasi PUBG Mobile dan Mobile Legends di Indonesia, mungkin cukup mengejutkan bahwa peringkat tiga turnamen esports berhadiah terbesar ternyata dipegang oleh game Point Blank. Tahun ini, Point Blank National Championship (PBNC) digelar bersamaan dengan dua turnamen lain, yaitu Point Blank School Competition (PBSC) dan Point Blank Ladies Championship (PBLC). Hadiah yang ditawarkan pun dua kali lebih besar dari PBNC 2017 yang “hanya” 1 miliar rupiah.

RRQ Endeavour keluar sebagai juara PBNC 2018, dan berhak mewakili Indonesia untuk bertanding di Point Blank International Championship (PBIC) 2018, Seoul, Korea Selatan. Performa mereka di PBIC pun sangat mengesankan. Setelah menempati posisi juara Grup A, RRQ Endeavour meraih juara dua PBIC 2018, hanya kalah dari tim asal Thailand yaitu Signature.PB.

Asia Pacific Predator League 2018 – Rp2.170.000.000 (US$150.000)

Sebuah turnamen yang diadakan oleh Acer, Asia Pacific Predator League mempertandingkan tim-tim Dota 2 dari tujuh negara Asia Pasifik. Negara itu adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, India, Hong Kong, dan Singapura. Pada akhirnya juara kompetisi ini diraih oleh tim asal Malaysia, yaitu Geek Fam. Mereka mengalahkan BOOM.ID dari Indonesia di babak final yang cukup sengit.

Asia Pacific Predator League saat ini juga tengah menjalani babak kualifikasi regional untuk kompetisi tahun 2019 di Thailand. Acer tampak semakin serius menggarap kompetisi tersebut, dengan total hadiah mencapai US$400.000 dan dua cabang game yang dilombakan, yaitu PUBG dan Dota 2. Mungkinkah Predator League akan menjadi “ESL One-nya Asia” di masa depan?

IESPL Tokopedia Battle of Friday – Rp1.900.000.000

IESPL Tokopedia Battle of Friday (TBOF) adalah kompetisi jangka panjang yang diluncurkan pertama kali di tahun 2018 lalu. Dimulai sejak bulan Agustus, hingga saat artikel ini ditulis kompetisi ini masih sedang berjalan. Sesuai namanya, IESPL Tokopedia Battle of Friday memiliki jadwal pertandingan seminggu sekali, mirip seperti liga sepak bola profesional.

Kemiripan lain dengan liga sepak bola adalah format kompetisinya yang tertutup, hanya diikuti oleh 12 tim esports profesional. Anda bisa menyaksikan tim-tim seperti Bigetron Esports, BOOM.ID, EVOS Esports, dan lain-lain memperebutkan hadiah di empat game berbeda (Dota 2, CS:GO, Mobile Legends, dan Point Blank). Tayangan IESPL TBOF dapat Anda tonton secara live lewat channel YouTube IESPL.

AOV Star League Season 1 – Rp1.600.000.000

Debut liga all-star Arena of Valor digelar pada bulan Januari 2018, dengan enam tim yang dipandang sebagai tim-tim terbaik Indonesia. Turnamen ini juga merupakan debut Saudara e-Sports (SES) di dunia esports profesional. SES berhak maju ke AOV Star League berkat prestasi mereka menjadi juara di ajang AOV National Championship Season 1.

Beda dengan ASL Season 2, ASL Season 1 hanya diikuti oleh enam tim yaitu EVOS.AOV, SES, RRQ Nova, Bigetron Esports, GGWP.ID Elite, dan DG Esports. EVOS.AOV adalah juara kompetisi ini, dan mereka telah maju mewakili Indonesia dalam turnamen AOV World Cup 2018 di Los Angeles, Amerika Serikat.

MPL ID Season 2 - EVOS
EVOS di playoff MPL ID Season 2 | Sumber: Moonton

MLBB Professional League Indonesia Season 2 – Rp1.500.000.000

Baru selesai pada bulan November lalu, turnamen yang satu ini pasti masih segar dalam ingatan para penggemar esports Mobile Legends: Bang Bang. Acara puncak yang berlangsung di Surabaya begitu meriah, dengan jumlah penonton membludak sampai-sampai melebihi kapasitas venue. Ini bukti bahwa peminat Mobile Legends begitu banyak, dan potensi esports tidak hanya ada di Jakarta.

MLBB Professional League Indonesia (MPL ID) Season 2 menunjukkan rivalitas yang sangat sengit antara dua tim, yaitu RRQ.O2 dan EVOS Esports. Season sebelumnya, RRQ.O2 harus puas di peringkat tiga sementara EVOS di peringkat dua (juara Season 1 adalah Team nxl>). Akan tetapi tahun ini RRQ.O2 tampil sangat mendominasi di Winners’ Bracket. Mereka juga berhasil merebut gelar juara setelah mengalahkan EVOS di Grand Final.

Mobile Legends Southeast Asia Cup 2018 – Rp1.440.000.000 (US$100.000)

Sebagai lanjutan dari MPL Season 1 di akhir tahun 2017, Moonton menggelar turnamen regional yang mempertemukan tim-tim terbaik dari Asia Tenggara. Turnamen ini bertajuk Mobile Legends Southeast Asia Cup atau disingkat MSC 2018. Lokasinya sendiri bertempat di Jakarta International Expo, dan digelar pada bulan Juli.

Tiga tim asal Indonesia turut berlaga di turnamen ini, yaitu RRQ.O2, EVOS Esports, dan Aerowolf Roxy. Selain itu, MSC 2018 juga diikuti oleh tim-tim dari negara Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Juaranya sendiri diraih oleh Aether Main dari Filipina.

Southeast Asia Cyber Arena 2018 – Rp1.400.000.000

Southeast Asia Cyber Arena (SEACA) 2018 adalah sebuah pesta esports besar-besaran. Lebih dari 230 atlet esports berpartisipasi dalam acara ini, dari berbagai negara Asia Tenggara. Game yang dilombakan pun sangat bervariasi, mulai AOV, Point Blank, Dota 2, PUBG, hingga tentu saja, Mobile Legends.

Babak Grand Final SEACA 2018 yang digelar di Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat, juga berlangsung dengan sangat meriah. Selain kompetisinya yang seru, acara ini juga diwarnai oleh berbagai hiburan dan penampilan dari band Indonesia yaitu RAN. Negara kita meraih gelar juara di cabang AOV, PUBG, dan Point Blank. Sementara juara MLBB diraih Filipina, dan juara Dota 2 direbut oleh Malaysia.

JD.ID High School League 2018 – Rp1.200.000.000

Satu turnamen yang baru saja berakhir di bulan Desember lalu adalah JD.ID High School League (HSL) 2018. Meski “hanya” turnamen tingkat SMA, hadiah di turnamen ini tak main-main, mencapai Rp1,2 miliar. Ada dua game yang dilombakan di turnamen ini, yaitu Dota 2 dan Mobile Legends: Bang Bang.

Uniknya, untuk dapat mengikuti JD.ID High School League, para siswa diharuskan memiliki standar nilai tertentu yang ditentukan oleh masing-masing sekolah. JD.ID memang tidak hanya ingin menyuburkan ekosistem esports, tapi juga ingin menunjukkan pada orang tua dan guru bahwa esports memiliki nilai-nilai positif. Siapa tahu kelak akan muncul atlet-atlet profesional dari jajaran peserta High School League ini.

Honorable Mentions:

Belajar Tentang Perbedaan, Daya Juang, dan Keterbatasan dari Seorang Gamer Difabel

Wajahnya sumringah sembari melambaikan tangannya di bawah dagu saat video call saya tersambung dengan Angga. Bersama dengan ibunya yang setia berada di sampingnya di sebuah kamar kecil yang sederhana, Angga tak terlihat lesu meski berada di atas kursi roda.

Obrolan kami bertiga kala itu pun sedikit berbeda dengan kebanyakan video call. Angga mengetikkan jawaban lewat Whatsapp dari pertanyaan yang saya lontarkan di video call karena ia juga tuna wicara. Ibu Angga, Nurhikmah, sesekali menerjemahkan desahan suara Angga sehingga lebih mudah dipahami.

Cerita Angga Tribuana Putra

Sumber: Angga Zerotoshine
Angga bersama ibunya. Sumber: Angga Zerotoshine

Angga Tribuana Putra adalah nama lengkapnya. Ia tak bisa berbicara, kedua kakinya pun tak dapat bergerak. “Dokter bilang aku polio akut. Jadi syaraf tulang belakangku terjepit dan pita suaraku ga berfungsi. Dan kalau ga ileran, kepalaku yang besar.” Cerita Angga. Ibunya Angga pun menambahkan bahwa hanya jari tangan kanannya saja yang bisa bergerak.

Gamer yang mengaku suka dengan Pro Evolution Soccer (PES) dan Clash Royale ini menjelaskan bahwa ia suka bermain game karena bisa mendapatkan semangat, selain kesenangan. Baginya, game bukanlah sekadar hobi. Ia melihat game sebagai salah satu sarana untuk mencetak prestasi. Bagi Angga, esports adalah salah satu hal yang bisa membuatnya menghadapi dunia dengan penuh senyuman. Pasalnya, di esports ia bisa mengembangkan bakatnya, menggunakan otak, dan melatih tangannya.

Angga yang menyukai PES karena, menurutnya, game tersebut adalah yang paling realistis ini mengaku sekarang sedang menjalani lisensi untuk kepelatihan PSSI. Karena hal itu jugalah ia selalu setia bermain PES karena ia percaya strategi yang ada di PES bisa juga diterapkan di sepak bola. “Dari PES lah aku mengenal sepak bola. Aku main game bukan untuk menang tapi untuk mendalami taktiknya.” Jawab Angga yang bercita-cita menjadi pelatih sepak bola.

Menariknya, penggemar Manchester United, Christiano Ronaldo, dan Ibrahimovic ini pun berpesan untuk semua gamer untuk tak mudah menyerah dan ia juga berharap ada kompetisi game untuk para difabel.

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Sedangkan buat kawan-kawannya yang sesama penyandang disabilitas, Angga pun mengajak untuk terus berjuang melawan gejolak batin dan berhenti mempertanyakan di mana keadilan Tuhan. Baginya, para penyandang disabilitas adalah manusia-manusia fenomenal yang harus mampu menunjukkan pada dunia bahwa mereka punya kelas dan kemampuan yang luar biasa.

Saya pun juga sempat berbincang dengan sang ibu lewat Whatsapp untuk cari tahu lebih jauh tentang kehidupan dan keseharian Angga. Kesehariannya, Angga selalu dibantu oleh ibunya karena keterbatasannya. Namun ibunya masih bersyukur karena merasa Angga punya banyak kelebihan.

Ibunya mengaku bahwa Angga bisa menggunakan PS3 ataupun PC tanpa bantuan dari siapapun. Sampai hari ini, Angga juga tidak sekolah. Ibunya mengaku karena ada dua alasan, yaitu karena memang keterbatasan dana dan memang Angga sendiri tidak mau. “Katanya, ga usah sekolah Ma. Nanti insya Allah Angga bisa sendiri.” Ujar Ibunya menirukan Angga.

Ibunya pun tak menyangka bahwa Angga dapat belajar membaca ataupun menggunakan komputer secara otodidak. Ia juga bercerita bahwa memang tak sedikit orang yang menghina dan memandang Angga sebelah mata. Bahkan menurut penuturan sang ibu, hanya ia lah yang mendukung Angga dari sisi keluarganya.

Sumber:
Sumber: Angga Zerotoshine

Ibunya berharap agar Angga bisa terus semangat dan berjuang demi impian dan cita-citanya meski kerap diremehkan dan dianggap berhalusinasi. Namun demikian, Angga juga mungkin memang istimewa. “Mama tenang. Insya Allah Angga bisa membanggakan Mama satu saat. Angga juga ga mau lihat Mama bersedih terus.” Cerita Nurhikmah kembali menirukan Angga.

Itu tadi secuil cerita Angga dan ibunya, Nurhikmah, tentang perjuangannya masing-masing. Memang tentunya keterlaluan memampatkan satu kisah hidup dalam satu tulisan, bahkan ribuan halaman sekalipun. Namun, saya pribadi percaya ada 2 hal penting yang bisa kita pelajari dari perjuangan Angga dan ibunya tadi.

Komunitas Gamer yang Seharusnya adalah Komunitas Inklusif

Dari cerita Angga, game adalah kegiatan yang bisa membuatnya semangat untuk menjalani hidup. Game mampu memberikannya tantangan-tantangan baru tanpa melihat keterbatasan dari aspek fisik. Esports bisa memberikannya sebuah sense of achievement yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh ranah lainnya.

Sebenarnya, ranah lainnya yang lebih tradisional seperti kesenian (musik, seni lukis, dan yang lainnya) juga dapat memberikan tantangan dan tujuan baru tanpa melihat keterbatasan fisik. Namun game dan esports sekarang juga bisa jadi tujuan hidup baru buat semua orang, tanpa terkecuali.

Sumber:
Sumber: Angga Zerotoshine

Sayangnya jejaring sosial yang begitu dominan di kehidupan sehari-hari kita sebagai masyarakat modern tak jarang justru semakin meruncingkan perbedaan, termasuk di komunitas gamer.

Faktanya, perdebatan antara MOBA mana yang lebih baik, game-game mana yang lebih sahih diangkat di event olahraga seperti SEA Games ataupun ASIAN Games, platfom gaming mana yang lebih ideal, dan segala macam perdebatan lainnya tak akan berdampak positif di perkembangan industri game ataupun esports Indonesia; setidaknya jika bentuk perdebatannya masih sebatas kekonyolan yang sering terjadi di dunia maya sekarang ini.

Saya sendiri yang sudah 10 tahun di industri gaming mendapatkan banyak kawan-kawan baru sesama gamer dari latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Bagi saya pribadi, inilah komunitas gamer yang seharusnya: komunitas yang tak pandang bulu soal agama, pandangan politik, kelas ekonomi, latar belakang budaya, jenis kelamin, apalagi soal keterbatasan fisik.

Silakan setuju atau tidak, namun bagi saya gamer sejati adalah mereka-mereka yang terbuka dengan segala macam perbedaan. Kenapa? Karena faktanya, game sendiri adalah kulminasi antara titik bertemunya seni dan teknologi yang mungkin dianggap terlalu berbeda bagi orang-orang tradisional.

Gamer Sejati tak Mudah Mengeluh dan Tak Berhenti Berjuang

Sumber:
Sumber: Angga Zerotoshine

Nyatanya, banyak orang merasa bahwa merekalah orang paling menderita di muka bumi ini. Tak jarang, kita manusia memang lebih mudah melihat keterbatasan dan ketidakberuntungan hidup kita masing-masing.

Saya pribadi percaya bahwa gamer sejati ya seharusnya seperti Angga. Dengan segala keterbatasannya, ia tak berhenti berjuang. Ia tak mau menyerah dan menyalahkan nasib. Selain Angga, saya kira ibunya pun juga bisa diteladani ketekunan dan ketahanannya karena selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Angga.

Terlepas dari apakah Angga bisa mewujudkan impiannya atau tidak nanti, saya kira itu urusan belakang. Hal yang lebih penting di sini, bagi saya, adalah bagaimana kita tak menjadikan keterbatasan diri sebagai alasan untuk berhenti berjuang. Bahkan faktanya, gamer sejati seharusnya adalah orang-orang yang justru tertarik saat bertemu tantangan baru ataupun yang berat.

Sumber: Angga
Sumber: Angga Zerotoshine

Baik singleplayer ataupun multiplayer, kita menikmati proses bermain game karena ada tantangan dan ada tujuan yang ingin kita selesaikan – kecuali Anda bermain Pou atau My Little Pony di Android ataupun iOS (yang berarti Anda salah masuk website).

Akhirnya, tak ada salahnya juga jika kali ini kita semua berkaca dari Angga dan ibunya. Kemungkinan besar, kita semua lebih beruntung dari Angga karena keterbatasan kita kebanyakan adalah soal tatanan sosial dan ekonomi (itupun juga tak separah yang Anda bayangkan jika Anda masih punya akses internet). Jadi, bersyukurlah dan teruslah berjuang…

Katsuhiro Harada Diangkat Menjadi Supervisor Esports di Bandai Namco

Sepanjang 2018, Bandai Namco adalah salah satu penerbit game yang berperan sangat aktif di dunia esports. Mulai dari penampilan debut Dragon Ball FighterZ di EVO, Tekken World Tour yang akhirnya dimenangkan oleh pengguna karakter Panda, hingga Dragon Ball FighterZ World Tour Saga, rasanya selalu ada kejadian menarik dalam tahun tersebut. Kini Bandai Namco menyambut kedatangan tahun baru 2019 dengan strategi baru pula.

Katsuhiro Harada, director serta produser yang menangani seri Tekken dan Summer Lesson, kini mendapatkan jabatan baru, yaitu kepala dan supervisor tim Fighting Game Esports Strategy di Bandai Namco. Dalam surat terbuka yang disampaikannya lewat media sosial, Harada berkata bahwa Bandai Namco akan terus mengembangkan turnamen serta komunitas esports di sekitar tiga seri fighting game andalan mereka, yaitu Dragon Ball FighterZ, Tekken, dan Soul Calibur.

Katsuhiro Harada
Katsuhiro Harada juga tetap menjadi penanggung jawab seri Tekken | Sumber: Katsuhiro Harada

“Kami sudah merencanakan sebanyak mungkin turnamen resmi selama tahun depan (2019), sambil terus mendukung turnamen yang digelar oleh komunitas. Ditambah lagi, kami juga ingin mencari cara untuk membantu aktivitas turnamen serta komunitas di masa depan,” ujar Harada dalam surat terbuka tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa kondisi Bandai Namco di setiap wilayah bisa berbeda, jadi bila komunitas fighting game memiliki pertanyaan atau masalah, sebaiknya langsung menghubungi kantor Bandai Namco terdekat.

Update kondisi Dragon Ball FighterZ

Anda yang mengikuti dunia fighting game kompetitif mungkin sudah tahu bahwa beberapa waktu lalu Dragon Ball FighterZ sempat mengalami masalah. Game ini ditarik dari sejumlah turnamen besar tanpa alasan yang jelas, namun diskusi di komunitas fighting game memunculkan kecurigaan pada masalah lisensi. Salah satu turnamen besar yang batal menampilkan Dragon Ball FighterZ adalah EVO Japan 2019.

Banyak penggemar Dragon Ball FighterZ yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap Toei Animation, selaku pemegang hak cipta atas film animasi Dragon Ball. Akan tetapi Toei Animation telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang penarikan Dragon Ball FighterZ dari turnamen tersebut.

Bila bukan Toei Animation, siapa “dalang” di balik masalah ini? Sulit untuk menebaknya, karena hak cipta akan franchise Dragon Ball itu sendiri dipegang oleh banyak pihak. Selain Toei Animation, ada Bird Studio, Shueisha, Funimation Productions, serta Bandai Namco sendiri yang turut terlibat. Tapi setidaknya kini kemungkinan penyebabnya sudah semakin menyempit. Mudah-mudahan saja masalah ini cepat terselesaikan.

Kedudukan turnamen dalam hak cipta

Menurut Ultra David (tokoh veteran fighting game yang berprofesi sebagai pengacara), legalitas penggunaan suatu properti intelektual (IP) dalam wujud turnamen sebetulnya masih abu-abu. Tapi pada dasarnya, pemegang hak cipta memang berhak mengatur siapa saja yang boleh menampilkan IP mereka di depan publik. Bila dianalogikan dengan olahraga, hak cipta atas olahraga sepak bola memang tidak ada, tapi tetap ada hak cipta atas penyiaran olahraga tersebut, misalnya di stasiun televisi.

Ultra David & James Chen
Ultra David dan James Chen di Capcom Cup 2018 | Sumber: Ultra David

Selama ini legalitas turnamen tidak pernah menjadi masalah karena turnamen itu sendiri skalanya masih kecil. Andai dipermasalahkan pun, biaya yang dikeluarkan untuk mengurusnya di meja hijau akan terlalu besar. Tapi zaman sekarang berbeda. Esports telah menjadi industri bernilai jutaan dolar, dan masalah hak cipta mulai terasa penting untuk diperhatikan.

Ultra David sendiri tidak bisa memastikan siapa yang menyebabkan masalah di sekitar Dragon Ball FighterZ. Tapi hukum atas hak cipta ini sudah sangat jelas. Karena itu ia menyarankan, bila komunitas esports ingin mempertahankan pengadaan turnamen tak resmi, sebaiknya mereka melakukannya lewat bada legislatif, bukan lewat pengadilan. Bila komunitas bisa meyakinkan badan legislatif untuk menciptakan undang-undang mengayomi turnamen esports, itu akan jauh lebih baik daripada “berkelahi” melawan pemegang hak cipta.

Sumber: EventHubs, Katsuhiro HaradaDPG at Law, Toei Animation

Analisa dan Prediksi EVOS Esports Pasca Masuknya G dan Rekt

Second place is just the first place loser.” Dale Earnhardt.

Perjalanan tim Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) dari EVOS Esports memang selalu menarik diikuti. Tim ini memang bisa dibilang tim papan atas dari sejak MPL (Mobile Legends Profesional League) Indonesia Season 1. Namun, tergantung dari perspektif Anda, tim ini bisa dibilang mujur atau naas karena mereka hanya berhasil menjadi juara kedua baik di MPL Season 1 ataupun Season 2.

Berakhir jadi juara 2 itu sebenarnya posisi yang sangat unik. Juara 2 memang bisa dibilang tim terkuat kedua, setelah sang juara. Namun Dale Earnhardt, salah satu pembalap NASCAR paling gemilang yang meninggal di tahun 2001, mengatakan juara kedua adalah pecundang pertama. Kenapa? Karena juara kedua adalah kontestan yang paling berpeluang untuk jadi juara satu namun justru gagal dalam pertandingan terakhirnya.

So close, yet so far from paradise… Jika meminjam lirik dari salah satu lagu Elvis Presley.

Sumber: MLBB
Roster MLBB EVOS Esports di MPL ID S2. Sumber: MLBB

Perjalanan EVOS Esports di MPL ID S1 dan S2

Mari kita melihat ke belakang sejenak perjalanan EVOS Esports di MPL Indonesia, turnamen MLBB paling bergengsi di Indonesia, di musim pertama dan kedua.

Di musim pertama, yang Grand Finalnya digelar di Mall Taman Anggrek tanggal 30 Maret – 1 April 2018, perjalanan EVOS Esports memang begitu meyakinkan. Mereka maju ke babak utama setelah menempati peringkat kedua di klasemen akhir Regular Season MPL ID S1. Di babak Grand Final, mereka juga tak terkalahkan sampai di partai penghujung. Mereka berhasil menendang TEAMnxl> (yang kemudian berganti jadi Aerowolf Roxy) ke Lower Bracket yang sebelumnya berhasil mengalahkan RRQ.O2 yang juga merupakan salah satu kandidat terkuat saat itu.

Namun, naasnya, EVOS justru kalah melawan nxl setelah tim ini mengalahkan semua lawannya di Lower Bracket. Sungguh, tak ada fans MLBB yang menduga bahwa EVOS Esports akan kalah saat itu.


Musim kedua, cerita tim MLBB EVOS Esports juga tak kalah menarik. Tim ini memang terseok-seok di pekan-pekan pertama Regular Season karena tak pernah menang. Namun mereka berhasil memutarbalik keadaan dan berhasil mengakhiri Regular Season MPL ID S2 di peringkat keempat.

Di babak Grand Final MPL ID S2 yang digelar di JX International Convention Exhibition pada 17-18 November 2018, EVOS Esports pun menjadi salah satu jagoan juara menurut para pemerhati MLBB berkat performa mereka yang sangat baik menutup Regular Season.

Meski demikian, RRQ.O2 memang jauh lebih diunggulkan kala itu karena formasi mereka yang bisa dibilang sempurna di segala lini. Atas segala jerih payah EVOS Esports, tim ini pun berhasil berhadapan dengan RRQ.O2 di babak final. Namun, Lemon, Tuturu, dan kawan-kawannya berhasil memukul telak Oura, JessNoLimit, dan segenap pemain EVOS Esports dengan skor akhir 3-0!

Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha
Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha

Prediksi dan Peluang EVOS Esports bersama G dan Rekt

Mengingat RRQ.O2 yang sekarang sedang berada di puncak dunia persilatan MLBB Indonesia, saya akan membandingkan formasi baru EVOS ini dengan rival beratnya itu tadi.

Formasi baru ini sudah dikonfirmasi oleh Aldean Tegar Gemilang, Manajer Tim untuk EVOS Esports. Kelima pemain EVOS Esports saat ini adalah:

  • Oura
  • JessNoLimit
  • IOS
  • G
  • Rekt

Aldean juga mengatakan mereka akan memasukkan satu lagi pemain yang belum dapat diungkap (setidaknya saat artikel ini ditulis). Namun, kelima pemain ini, buat saya pribadi seharusnya sudah mampu mengimbangi RRQ.O2 (setidaknya di atas kertas).

Kenapa saya bisa bilang demikian? Mari kita lihat satu persatu.

Sumber: MPL
Sumber: MPL

Bagi saya pribadi, Afrindo “G” Valentino adalah satu-satunya Mage di dunia persilatan MLBB Indonesia yang bisa disejajarkan dengan Lemon dari RRQ. Fans berat Lemon mungkin bisa jadi tak setuju namun, faktanya, G sudah pernah beberapa kali mengalahkan Lemon di panggung-panggung besar.

G, yang waktu itu bersama dengan Aerowolf Roxy, pernah mengalahkan Lemon dan RRQ di babak Grand Final MPL ID S1 2 kali (di Upper dan Lower Bracket). Ia juga kembali menundukkan Lemon dan kawan-kawan di Regular Season MPL ID S2.

Saya sempat berbincang singkat juga dengan G mengingat ia adalah salah satu icon di tim lamanya (Aerowolf Roxy) yang sebelumnya terlihat begitu kompak. Afrindo sempat mengutarakan alasannya kenapa ia pindah. “Karena saya ingin tantangan baru.”

Ia juga mengatakan bahwa tak ada masalah juga sebenarnya ia di Aerowolf. Bahkan ia sangat mengapresiasi manajemen Aerowolf dalam memberikan dukungan ke para pemainnya. Ia juga tak ada masalah dengan pemain-pemain lainnya di sana. Ia mengaku mau ke EVOS Esports karena menurutnya tim ini sungguh berminat mengajaknya bergabung karena bukan kali ini saja ia ditawari.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Di sisi lainnya, Rekt merupakan salah satu dari 3 Marksman paling jago di dunia persilatan MLBB Indonesia. Tiga Marksman paling hebat itu tadi adalah: Spade (SFI), Tuturu (RRQ), dan Rekt (sebelum ini di Louvre). Sebelum Rekt masuk, EVOS bahkan tak punya pemain Marksman. Jadi, kemungkinan besar, mereka pasti kesulitan jika permainan berjalan cukup lama ke late game.

Masuknya Rekt akan membuka besar peluang EVOS untuk berhadapan dengan Tuturu di late game.

Oura, yang masih setia dengan EVOS Esports; bagi saya pribadi, adalah pemain Assassin MLBB terbaik di Indonesia yang tak akan terbantahkan bahkan dibanding AyamJago dari RRQ sekalipun. Namun sebelumnya Oura tak punya kawan yang sama-sama bisa disebut pemain terbaik di rolenya masing-masing. Kekurangan Oura di EVOS hanya hal itu tadi yang sekarang sudah ketemu solusinya.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

JessNoLimit mungkin memang hebat sekali bermain sebagai Assassin ataupun Fighter namun tetap saja tak bisa dibilang pemain teratas di 2 peran tadi. Meski demikian, peran JessNoLimit di EVOS Esports sekarang bisa lebih fleksibel mengikuti draft tim lawan karena gamer profesional paling populer ini cukup baik dalam berganti-ganti peran (dan mungkin bisa dilebarkan lagi hero pool ataupun penguasaan perannya, seperti sebagai Support ataupun Tanker).

Di sisi Tanker, IOS mungkin masih berada sedikit di bawah Instinct/AmpunOm dari RRQ ataupun Donkey (yang sebelumnya bermain untuk EVOS di MPL ID S1) namun ia juga tak bisa dibilang jelek juga permainannya. Setidaknya, IOS punya kedewasaan yang mungkin akan jadi salah satu faktor penting buat kawan-kawannya pemain bintang di atas tadi. Di bayangan saya, IOS bisa menjadi voice of reason mengingat keempat pemain di atas adalah tipe-tipe pemain super agresif.

Sumber: EVOS Esports
Sumber: EVOS Esports

Itu tadi prediksi dan analisa saya atas formasi baru dari EVOS Esports. Di atas kertas, tim ini sekarang punya formasi All-Star di tiga lini: Assassin, Mage, dan Marksman. Jadi, seharusnya EVOS bisa memberikan performa yang jauh lebih baik dibanding formasi sebelumnya dan mengalahkan rival beratnya, RRQ.O2. Meski begitu, itu tadi memang masih sebatas prediksi di atas kertas. Faktanya, satu tim dengan formasi pemain bintang justru juga bisa jadi tak dapat bekerja sama dengan baik (seperti saat Figo dan Zidane satu tim di Real Madrid).

Bagaimana performa EVOS Esports pasca masuknya G dan Rekt? Apakah benar prediksi saya mereka benar-benar dapat menundukkan RRQ.O2 ataupun tim-tim lainnya? Atau justru malah sebaliknya?

NASCAR: Kami Ingin Atlet Esports yang Bisa Tampil di Depan Kamera

Asosiasi stock car racing NASCAR telah meluncurkan liga esports profesional yang disebut eNASCAR Heat Pro League. Mengusung game terbaru terbitan 704Games, berjudul NASCAR Heat 3, liga ini melombakan para pemain dari seluruh Amerika Serikat, kemudian menyaring driver terpilih untuk mewakili tim-tim ternama NASCAR. Perlombaan dalam eNASCAR Heat Pro League juga akan disiarkan secara global dengan format seperti balap NASCAR sungguhan.

Babak kualifikasi online eNASCAR Heat Pro League telah berjalan sejak 6 Desember lalu, dan kini Dale Earnhardt Jr. memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan tujuan diadakannya liga tersebut. Dale Earnhardt Jr. adalah co-owner dari tim JR Motorsports, salah satu tim profesional yang turut berpartisipasi dalam eNASCAR. Menurutnya, eNASCAR bisa menjadi gerbang bagi para pecinta otomotif untuk masuk ke dunia NASCAR dunia nyata.

Dale Earnhardt Jr.
Para co-owner tim JR Motorsports | Sumber: 704Games

Esports telah menjadi bisnis yang besar, tapi juga memberi manfaat pada para gamer, dengan adanya kompetisi resmi yang sah. Ini baik bagi Anda para gamer di luar sana, dan masuknya (esports) ke dunia motorsports adalah hal yang sudah lama tertunda,” kata Dale Jr.

Kelly Earnhardt, juga dari JR Motorsports, menambahkan, “Kita bisa menarik kawula muda untuk melihat olahraga ini, karena NASCAR adalah olahraga yang tidak bisa Anda mainkan di luar, misalnya di sekolah. Anak-anak dan pemuda bisa terlibat dan memiliki liga semacam ini di esports, menurut saya itu sangat keren. Terutama untuk olahraga seperti ini (stock car racing), Anda jadi bisa merasa ikut terlibat di dalamnya.”

Organisasi atau tim seperti JR Motorsports selalu mencari bintang baru, baik di dunia motorsports maupun esports. Tapi untuk menjadi seorang bintang, menurut Dale Jr. keahlian menyetir saja tidak cukup. Ia juga harus bisa menampilkan persona yang baik di muka publik, apalagi karena ia akan membawa nama tim. “Tentu kami menginginkan para pembalap dengan talenta terbaik, tapi kami juga ingin dia bisa dekat, berinteraksi dengan penggemar juga para pembalap lain. Ia harus bisa memasarkan dan merepresentasikan dirinya serta tim kami dengan baik,” ujar Dale Jr.

NASCAR Heat 3 - Screenshot
NASCAR Heat 3 | Sumber: Microsoft

Kehidupan atlet esports di eNASCAR Pro League akan sangat sibuk, dan media sosial menjadi kunci utama kesibukan tersebut. JR Motorsports sendiri misalnya, memiliki program penciptaan konten digital sendiri, seperti video dan podcast. Kemampuan untuk berpartisipasi dalam konten-konten tersebut tak kalah penting dari keahlian menyetir itu sendiri. Singkatnya, tim-tim NASCAR ingin pemain yang bisa tampil baik di depan kamera.

“Mereka haruslah orang-orang yang bisa memikirkan cara mempromosikan tak hanya diri mereka sendiri, tapi juga mempromosikan organisasi kami, mempromosikan produk (game), balapannya, liganya, dan melakukan semua ini lewat konten digital, media sosial, dan sebagainya. Jadi mereka akan sangat sibuk,” lanjut Dale Jr.

Sentimen serupa juga diutarakan oleh Bryan Cook dari Joe Gibbs Racing. “Bukan berarti Anda harus jadi Carl Edwards-nya dunia esports,” kata Bryan. Carl Edwards adalah mantan bintang NASCAR yang terkenal suka melakukan selebrasi dengan cara bersalto di atas mobil. Lanjutnya, “Tapi setidaknya Anda harus punya suatu penampilan, jadi diri sendiri. Kami ingin orang-orang yang otentik dan natural di sirkuit balap, juga di depan kamera, bahkan meski hanya menggunakan webcam.”

Kualifikasi online eNASCAR Pro League akan berlangsung hingga tanggal 15 Januari 2019. Kemudian pada bulan Februari, masing-masing dari 16 tim NASCAR yang tergabung dalam Pro League akan memilih dua driver sebagai perwakilan tim mereka. Kini kita jadi lebih tahu, kriteria seperti apa yang mereka inginkan.

Sumber: Yahoo! Sports

Mengintip Sekilas Pengorbanan Para Atlet Esports dalam Menjalani Karier

Video game kompetitif telah berkembang sangat pesat, dari sekadar persaingan di game center menjadi industri bernilai jutaan dolar. Para pemain, yang kini sudah layak menyandang gelar “atlet”, menyandang reputasi serta popularitas layaknya selebritas. Esports membuat video game berubah bukan hanya hiburan lagi tapi juga menjadi mata pencaharian yang menjanjikan.

Begitu gemerlap dunia esports terlihat di permukaan. Tapi mungkin kita tidak sadar bahwa di balik semua itu ada harga yang harus dibayar. Ketika seseorang terjun menjadi atlet profesional, ia harus mencurahkan seluruh energinya, terkadang sampai harus mengorbankan banyak aspek kehidupan lain.

Stasiun berita CBS baru-baru ini merilis dokumenter singkat yang mengisahkan tentang perjuangan atlet esports dengan judul Esports: The Price of the Grind. Mereka mewawancara orang-orang dari berbagai elemen esports, termasuk di antaranya Doublelift (Yiliang Peng) yang merupakan atlet League of Legends di Team Liquid, SPACE (Indy Halpern) yang bermain di tim Overwatch Los Angeles Valiant, hingga Thresh (Dennis Fong) yang tercatat di Guinness World Record sebagai gamer profesional pertama di dunia.

Risiko menjadi atlet esports

Para pegiat esports ini sepakat bahwa karier di dunia esports adalah karier yang berisiko. Ada berbagai hal yang dapat membuat profesi tersebut terasa sangat berat, bahkan bisa menghancurkan karier seseorang sewaktu-waktu. Berikut ini di antaranya.

Masalah kesehatan

Anda yang sering bermain MMORPG pasti mengenal istilah “grinding”, yaitu melakukan suatu kegiatan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama untuk meningkatkan level karakter kita. Banyak atlet esports percaya bahwa untuk menjadi pemain yang baik, mereka pun harus melakukan grinding di dunia nyata. Seorang gamer profesional bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam sehari hanya untuk bermain, berlatih, dan meningkatkan keahlian.

Pola hidup seperti ini pada akhirnya bisa berujung pada cedera, terutama cedera tangan. SPACE misalnya, berkata, “Bila saya bermain terlalu lama, saya akan merasa sakit (di pergelangan tangan) pada malam harinya.” Begitu pula dengan bagian tubuh lain seperti punggung atau pundak. Gamer profesional rawan terkena cedera otot, sindrom carpal tunnel, dan berbagai kondisi medis lainnya. Padahal SPACE baru berusia 18 tahun.

Stres dan burnout

Bermain game itu memang menyenangkan. Tapi ketika sudah menyandang gelar profesional, game tak lagi hanya hiburan melainkan juga profesi. Ada tuntutan yang harus dipenuhi, dan seorang pemain harus menghabiskan banyak waktu memainkan satu game saja hingga mahir. Ini bisa menimbulkan rasa bosan, bahkan burnout yang membuat atlet jadi kehilangan motivasi bermain.

“Dulu ketika saya bermain di SMP atau SMA, rasanya tidak terlalu stres karena saya tidak berkompetisi begitu keras. Tapi ketika saya memasuki esports, tingkat tekanannya jauh berbeda karena saya bermain melawan para profesional,” ujar SPACE. Isu stres ini menjadi masalah besar terutama ketika menjelang pertandingan besar. Atlet esports punya banyak penggemar, dan keinginan untuk tidak mengecewakan mereka adalah beban tambahan yang dapat membuat atlet susah tidur. Apalagi bila mereka bermain di tim yang mewakili kota atau negara tertentu.

SPACE
SPACE (Indy Halpern) mengaku sering mengalami sakit di pergelangan tangan | Sumber: Altletics

Stigma negatif masyarakat

Saat ini esports memang sudah sangat populer, bahkan mungkin mendekati mainstream. Di negara seperti Amerika Serikat sudah banyak kampus-kampus yang menawarkan program pendidikan esports, begitu pula di Indonesia sudah mulai ada beberapa. Akan tetapi, mereka yang belum tenar sering kali masih dipandang sebelah mata. Mereka dianggap hanya buang waktu, atau dianggap hanya sekumpulan nerd yang tidak bisa bersosialisasi.

Padahal pada kenyataannya, kehidupan sebagai gamer profesional menuntut atlet untuk bisa bekerja dengan baik dalam tim, malah mungkin menjadi pemimpin di antara kawan-kawannya. Program pendidikan esports pun tidak hanya mengajarkan soal cara bermain, tapi juga cara komunikasi serta penyusunan strategi.

Sulit menjalani percintaan

Tim esports sering kali tinggal di satu rumah yang sama, baik itu sebagai asrama tetap ataupun bootcamp sementara. Selain itu mereka juga banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Sulit bagi atlet dengan pola hidup seperti ini untuk berkenalan dengan orang lain dan menjalin hubungan asmara. Mereka yang sudah memiliki kekasih pun, akan merasa teruji ketika salah satu pihak masuk ke dunia esports.

“Ketika Anda tinggal bersama dengan 6-7 lelaki lain, dan semuanya begitu serius berlatih, mana mungkin akan pergi bersantai selama akhir pekan? Saya rasa ada tekanan sosial seperti itu, bahkan meskipun tidak ada yang mengatakan atau membuat aturan tertulis,” kata Thresh.

Sebuah game bisa mati kapan saja

Jurnalis esports senior Richard Lewis memaparkan bahwa esports berbeda dengan olahraga biasa. “(Pemegang kekuatan terbesar) adalah para developer. Mereka yang membuat game, dan game itu adalah properti intelektual mereka. Tidak ada asosiasi pemain, tidak ada perserikatan… Tidak ada orang yang menjaga Anda,” jelasnya.

Tidak ada pemain sepak bola yang perlu takut bahwa tahun depan sepak bola akan punah. Begitu juga cabang-cabang olahraga lainnya. Mereka juga memiliki lembaga-lembaga yang memayungi seperti NFL, FIFA, atau NBA. Tapi hal ini beda dengan esports. Bayangkan bila Valve tiba-tiba memutuskan untuk menutup server Dota 2. Ke mana para atlet Dota 2 harus berpulang? Jangankan menutup server, menutup kompetisi Dota Pro Circuit saja sudah bisa membuat banyak orang kehilangan mata pencaharian. Wajar bila kemudian karier atlet esports sering berumur pendek.

Thresh
Thresh dikenal sebagai pro gamer di seri Quake | Sumber: Thresh

Wujud dukungan yang dibutuhkan atlet esports

Atlet esports telah berkorban begitu banyak, dan hasilnya, mereka pun mendapat penghasilan serta ketenaran yang layak. “Saya selalu berkata bahwa ya, terkadang (esports) menyebalkan, karena semua masalah yang ada. Tapi pada akhirnya, semua itu sungguh setimpal, dan bagi banyak orang hidup saya adalah mimpi yang jadi kenyataan,” kata Doublelift.

Akan tetapi meski pengorbanannya “worth it”, bukan berarti masalah-masalah di atas lalu kita biarkan begitu saja. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak sekitar atlet untuk mendukung perjuangan mereka, yang pada akhirnya juga akan berdampak positif pada ekosistem esports keseluruhan.

Dukungan orang tua

Esports adalah sebuah karier. Profesi. Cita-cita. Sama seperti cita-cita lainnya, seorang anak tidak akan bisa mencapainya dengan maksimal apabila tidak mendapat restu orang tua. Sudah banyak legenda-legenda esports yang membuktikan bahwa dukungan orang tua sangat penting. Sumail dari tim Evil Geniuses misalnya, orang tuanya bahkan rela memboyong seluruh keluarga dari Pakistan ke Amerika agar sang anak dapat bermain Dota. Begitu pula dengan atlet-atlet lain, seperti misalnya JessNoLimit yang selalu berkata bahwa ia ingin membanggakan orang tua.

Salah satu orang tua itu adalah Kara Dang Vu, ibu dari pemuda bernama Conner Dang Vu yang sedang berusaha menjadi pemain Overwatch profesional. Ia sadar bahwa zaman sudah berubah, dan orang tua harus memahami perubahan tersebut. “Mungkin sudah waktunya bagi kita, sebagai generasi yang berbeda, untuk melihat dunia dari mata mereka,” ujarnya.

Kara Dang Vu
Conner Dang Vu dan Kara Dang Vu, keluarga esports | Sumber: CBS

Dokter dan psikolog dalam tim

Kesehatan atlet sangat penting untuk diperhatikan, jadi tim esports sebaiknya memiliki dokter atau kru medis yang bertugas memantau kondisi para anggotanya. Akan tetapi kesehatan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal mental.

Tim esports seperti Los Angeles Valiant memiliki psikolog tersendiri yang dapat membantu para pemain mengatasi stres. Metodenya bisa bermacam-macam, bahkan sebagian melibatkan aktivitas fisik juga. Olahraga memang telah lama dipercaya dapat meredam emosi negatif, karena dengan berolahraga, tubuh akan terangsang untuk memproduksi hormon yang bersifat sebagai antidepresan. Dengan penanganan seperti ini, diharapkan atlet dapat berlatih dengan lebih nyaman dan tidak sampai burnout.

Pendidikan atau beasiswa

Saat ini kita sedang berasa di “generasi pertama esports”. Ekosistem ini muncul dengan menjanjikan jumlah uang yang besar, dan masih terus berevolusi untuk menuju industri yang sustainable. Agar esports bisa menjadi sesuatu yang berkesinambungan layaknya olahraga konvensional, kita butuh regenerasi. Bukan hanya atlet tapi juga peran-peran lainnya. Esports adalah sebuah profesi, dan profesi tidak bisa dilakukan tanpa adanya keahlian sebagai bekal.

Karena itulah, munculnya pendidikan esports di SMA dan kampus-kampus merupakan langkah yang sangat baik. Saat ini kita masih meraba-raba. Tapi di generasi esports berikutnya, mereka akan menjalankan industri ini dengan ilmu serta pengalaman yang terakumulasi dari generasi sebelumnya. Saya pun yakin esports akan terus ada untuk waktu yang lama, tapi tidak ada yang bisa menebak bentuknya nanti seperti apa.

SPACE - Therapy
Kesehatan adalah aset terbesar seorang atlet | Sumber: CBS

Catatan Tambahan: Sebuah pelajaran dari Daigo Umehara

Ada satu hal yang membuat saya merenung setelah menonton Esports: The Price of the Grind. Bila kita kerucutkan, sepertinya masalah utama esports saat ini ada pada sustainability. Semua pihak sedang berusaha menuju ke sana. Penyelenggara turnamen ingin agar kompetisi bisa lebih sustainable, atlet ingin terus bisa bermain dalam waktu yang lama, dan developer ingin game mereka tetap hidup dan dimainkan oleh banyak orang.

Namun untuk mencapai tahap sustainable itu, sepertinya “grinding” bukanlah jawaban yang tepat. Ketika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus, nilai tambah dari kegiatan itu justru makin mengecil (diminishing result). Kita bisa belajar sedikit tentang sustainability ini dari salah satu atlet esports paling veteran di dunia, Daigo Umehara.

Dalam bukunya yang berjudul The Will to Keep Winning, Daigo berkata bahwa berlatih dan bermain terlalu banyak itu adalah hal yang buruk. Atlet esports seharusnya tidak memforsir diri demi mengejar target jangka pendek, karena itu akan membuat mereka hancur baik secara fisik maupun secara mental.

Daigo sendiri memiliki rutinitas latihan yang berkisar hanya antara tiga sampai enam jam sehari. Menurutnya, kualitas latihan lebih penting daripada kuantitas. Lebih baik menghabiskan sedikit waktu namun berhasil mempelajari hal baru, daripada bermain belasan jam tapi tidak mendapat peningkatan apa-apa.

Mungkin para pegiat esports bisa belajar dari prinsip ini, bahwa untuk menciptakan ekosistem yang sustainable kuncinya adalah dengan menciptakan rutinitas yang sustainable pula. Ini tidak hanya berlaku bagi atlet. Organizer turnamen juga harus merancang jadwal kompetisi yang sustainable, yang memberi ruang bagi tim-tim esports untuk beristirahat serta mengeksplorasi hal baru. Sementara developer game harus bisa menyeimbangkan kecepatan update konten dengan stabilitas meta. Jangan sampai developer terlalu bernafsu merilis konten baru demi monetisasi, sementara para pemain kelabakan dengan meta yang berubah terlalu cepat.

Masalah sustainability di dunia esports ini bisa jadi bahan diskusi panjang sendiri, dan saya rasa para pegiat esports pun sudah banyak yang memikirkannya. Mudah-mudahan artikel ini dan dokumenter dari CBS bisa menjadi pengingat, atau pemicu munculnya ide baru yang akan memajukan ekosistem esports, terutama di Indonesia.

Sumber: CBS

YukiUsagi, Juara Hearthstone Wanita Asia Tenggara yang Mengaku Murah Senyum

Hari Minggu 16 Desember 2018 lalu, kualifikasi WESG 2018 untuk kawasan Asia Tenggara rampung dilaksanakan. Sayangnya, Indonesia hanya berhasil meloloskan 2 perwakilannya di cabang Dota 2 dan Hearthstone (Wanita). Di Dota 2, BOOM ID yang akan mewakili Indonesia setelah berhasil menempati posisi 2nd Runner Up (karena ada 4 kursi yang tersedia untuk cabang Dota 2). Tim ini mungkin memang tak perlu dibahas lagi di sini karena mereka memang sudah selayaknya lolos di tingkat Asia Tenggara setelah sebelumnya berhasil memenangkan Closed Qualifier SEA (South East Asia) untuk The Bucharest Minor.

Di sisi lainnya, ada YukiUsagi yang mungkin baru dikenal di dunia persilatan Hearthstone Indonesia namun langsung menjadi juara di tingkat Asia Tenggara. Tahun sebelumnya, Indonesia juga berhasil mengirimkan perwakilan untuk cabang Hearthstone (wanita) juga di main event WESG 2017. Namun kala itu, Indonesia diwakili oleh CarolinaLittleAurora” Edjam.

YukiUsagi, yang ingin nama aslinya hanya ditulis Feby Dwi ini berhasil menjadi juara setelah mengalahkan jagoan wanita asal Singapura, Wolfsbanee, di partai penghujung. Karena itulah, Hybrid mengajaknya berbincang-bincang untuk cari tahu lebih jauh tentang pemain Hearthstone yang sekarang juga sedang kuliah di semester kelimanya.

Awal Permainannya dengan Hearthstone

Novan Kristanto (kiri) bersama Yukiusagi (kanan). Sumber: Unipin Esports
Novan “Nexok40” Kristanto (kiri) bersama Yukiusagi (kanan). Sumber: Unipin Esports

Feby bercerita bahwa ia bermain Hearthstone (HS) pertama kali di sekitar bulan Juli 2015. Kala itu, setelah turnamen Yu-Gi-Oh! (trading card game) ada Novan “Nexok40” Kristanto dan kawan-kawannya yang lain yang bermain HS dan ia pun diajak. Setelah mencobanya, Feby pun merasa tertarik untuk bermain lebih lanjut. Namun begitu, Feby mengaku sempat berhenti bermain dan hanya menjalankan Quest harian sampai aktif kembali di Februari 2018.

Di kualifikasi Asia Tenggara kemarin, Nexok40 yang merupakan salah seorang pemain Hearthstone kelas veteran dari Indonesia pun menjadi coach untuk YukiUsagi. Bagaimana ceritanya?

Kak Nexok kan udah sering main di turney HS, banyak pengalamannya, gua juga sering nontonin dia maen, banyak belajar juga dari dia dan dia juga yang ngasih tau kalo ada WESG… Gimana ga cocok dijadiin coach coba? Haha…” Kata Feby sumringah.

Jadi, apakah bakal lebih dari sekedar coach juga nantinya? Eh..

Perjalanannya di Kualifikasi WESG 2018 untuk SEA dan Indonesia

Mungkin karena memang HS bukan game esport paling populer di Indonesia dan cabang ini hanya untuk wanita, YukiUsagi adalah satu-satunya pemain Hearthstone wanita yang datang saat kualifikasi WESG 2018 untuk Indonesia. Karena itulah, dia langsung lolos ke babak selanjutnya, yaitu kualifikasi Asia Tenggara.

“Iya cuma gua (yang daftar). Ga tau juga kenapa cewe yang lain ga pada daftar. Katanya sih mereka ga tau kalau ada WESG…” Ujar Feby. Lalu bagaimana perasaannya waktu itu? “Perasaan? Merasa aneh menang tanpa bertanding haha…”

Di babak terakhir saat melawan pemain dari Singapura, YukiUsagi sebenarnya sudah sempat memimpin perolehan skor 2-1 atas lawannya. Namun lawannya tadi berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Feby ternyata punya cerita menarik di pertandingan pamungkasnya itu.

“Sebelumnya gua udah nyangka bakal maen 5 game sih. Jadi pas (skor) 2-1 terus dia pake Control Priest (dan) gua pake Token Druid, dari awal udah nyangka bakal susah menang. Pas habis main dikasih tau nexok kalo gua misplay: harusnya bisa menang fatigue. Sorry coach!” Cerita Feby semangat.

“Jadi harapan terakhir ya menangin lawan Hunter… Itu gua dah pusing sih pas lawan Hunter. Jadi main pasrah aja. Taunya lawan misplay gak bunuh minion gua… Menurut gua, gua menang gara-gara musuhnya misplay, kayaknya dia ga tau cara ngelawan Token Druid.”

Rencananya ke Depan

Sumber: WESG SEA
Sumber: WESG SEA

Terlepas dari misplay atau tidak, atas kemenangan tersebut, YukiUsagi berhak melaju ke babak utama WESG 2018. Bagaimana persiapannya, mengingat ia harus bertemu dengan lawan-lawan yang mungkin lebih tangguh di Tiongkok yang juga berhasil menjadi juara di regionalnya masing-masing?

“Ini nih yg bikin sedih. Finalnya kan bulan Maret dan itu pas lagi UTS (Ujian Tengah Semester) jadi galauuu. Sebenernya waktu yang SEA, gua ga mau dateng soalnya lagi UAS. Berat banget rasanya. H-2 aja masih mikir-mikir mau pergi apa engga meski akhirnya pergi sih. Kalo latihan bakal rutin abis expansi terakhir sebelum final WESG aja. Kalo sekarang paling main biasa biar mengurangi misplay. Kadang kalo lagi males main paling nontonin streamer.” Feby pun bercerita tentang jadwal pertandingan yang bentrok dengan kesibukan kuliahnya.

Seperti yang sempat kami sebutkan tadi, di WESG 2017, Indonesia juga berhasil mengirimkan wakilnya untuk cabang Hearthstone wanita. Namun, LittleAurora nampaknya sudah tak terdengar lagi kiprahnya di esport Hearthstone setidaknya sampai artikel ini ditulis.

Sumber: WESG SEA
Sumber: WESG SEA

Bagaimana dengan Feby? Apakah ia akan terus melanjutkan bermain HS pasca WESG 2018, apapun itu hasilnya? Ia pun mengatakan rencananya hanya ingin mencoba Legend (Ranked) setiap bulan.

Akhirnya, Feby juga memiliki pesan yang ia ingin sampaikan sebelum menutup perbincangan kami. “Buat teman-teman, maaf ya foto gua di WESG SEA kemarin manyun semua. Bukan gak friendly ato gak seneng menang… Jadi pas final tuh gua lagi sakit yang lumayan jadi emang males senyum, tapi aslinya murah senyum kok hahaha…”

Itu tadi sedikit perbincangan kami dengan Febi “YukiUsagi” Dwi. Bagaimana perjalanannya di main event WESG 2018 nanti, yang rencananya akan digelar bulan Maret 2019? Semoga ia bisa bermain lebih maksimal ya! Kita dukung saja nanti agar Feby lebih semangat.

 

Bermasalah dengan Lisensi, Esports Dragon Ball FighterZ Mati Suri?

Sepanjang 2018, kehadiran Dragon Ball FighterZ telah membuat dunia kompetitif fighting game terasa begitu segar. Game yang diciptakan oleh Arc System Works ini punya kualitas begitu tinggi dan sangat digemari di kalangan para pegiat fighting game. Begitu pun di dunia esports, turnamen Dragon Ball FighterZ di EVO menjadi salah satu turnamen paling populer, bahkan game ini mendapat predikat Fighting Game of the Year dari ESPN.

Akan tetapi masa depan dunia esports Dragon Ball FighterZ mendadak terlihat suram, bahkan mungkin saja bisa punah. Kegaduhan ini muncul sejak adanya pengumuman dari Aksys Games bahwa Dragon Ball FighterZ batal masuk ke turnamen Anime Ascension 2019 yang akan diadakan pada bulan Februari mendatang. Aksys Games sendiri merupakan penerbit berbagai fighting game ternama seperti seri Under Night In-Birth dan Guilty Gear.

Anime Ascension bukan turnamen pertama yang gagal menampilkan Dragon Ball FighterZ. Sebelumnya, DreamHack Atlanta juga mengalami hal serupa. Game ini juga tidak muncul di EVO Japan 2019. Para organizer turnamen tidak menyebutkan apa alasan mereka gagal menampilkan Dragon Ball FighterZ, tapi diskusi di komunitas-komunitas fighting game memunculkan kecurigaan pada masalah lisensi. Beberapa tokoh fighting game yang mengemukakan hal tersebut misalnya YouTuber Maximillian Dood, YouTuber D-Piddy, dan Ultra David yang berprofesi sebagai pengacara.

Dragon Ball adalah salah satu properti intelektual (IP) terbesar dan terpopuler sepanjang masa. Namun hak cipta atas IP ini telah mengalami perjalanan yang cukup rumit. Pemilik IP Dragon Ball orisinal adalah Bird Studio (studio milik Akira Toriyama) dan Shueisha selaku penerbit komiknya. Namun IP ini juga dimiliki bersama oleh Toei Animation selaku penyiar serial animasi Dragon Ball.

Untuk wilayah di luar Jepang, Dragon Ball juga berada di bawah Funimation Productions selaku pemegang lisensi animasi, sementara Bandai Namco sendiri memegang lisensi sebagai penerbit game Dragon Ball. Terlepas dari developernya yaitu Arc System Works, ada lima perusahaan yang terlibat dalam hak cipta franchise Dragon Ball sejauh ini. Karena itulah Anda dapat melihat copyright footnote yang cukup panjang di sampul ataupun situs resmi Dragon Ball FighterZ.

Dragon Ball FighterZ - Copyright Footnote
Copyright footnote di Dragon Ball FighterZ | Sumber: Bandai Namco

Tidak diketahui perusahaan mana yang menyebabkan isu pelarangan turnamen Dragon Ball FighterZ, akan tetapi ini bukan pertama kalinya Dragon Ball terkena masalah lisensi. Salah satu contoh ekstrem adalah kejadian di bulan Maret 2018, di mana kedubes Jepang mengirim permintaan pada pemerintah Meksiko untuk melarang acara nonton bareng anime Dragon Ball Super tanpa izin.

Cuitan Joey Cuellarco-founder EVO—menunjukkan bahwa dampak pelarangan ini sangat serius. Bahkan mungkin saja menyebabkan “kematian” dunia kompetitif Dragon Ball FighterZ. Beberapa pemain Dragon Ball FighterZ profesional juga mengekspresikan rasa frustrasi. Yohosie, misalnya, mengalami kerugian karena sudah terlanjur memesan tiket pesawat ke lokasi turnamen, tapi akhirnya harus membatalkannya.

Menurut Maximillian Dood, ada kemungkinan pelarangan ini hanya bersifat sementara. Dulu pun Nintendo pernah melakukan hal yang sama, yaitu melarang pengadaan turnamen Super Smash Bros. Pada akhirnya, komunitas fighting game berhasil meyakinkan Nintendo untuk menghapus larangan tersebut, dan kini Nintendo menjadi salah satu sponsor tetap di EVO.

Nakkiel, salah satu pemain Dragon Ball FighterZ profesional di bawah tim Panda Global, juga menyatakan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir, karena persoalan lisensi di dunia esports sudah lumrah terjadi. Semoga saja dalam waktu dekat game ini bisa kembali muncul di turnamen. Tapi bila itu tidak terjadi, maka masa depan dunia esports Dragon Ball FighterZ ini benar-benar terancam.

Sumber: EventHubs

Victim Reality Wakili Indonesia ke Ajang PUBG Terbesar di Asia

23 Desember 2018 kemarin, Victim Reality berhasil mendapatkan satu-satunya slot untuk bertanding kembali di ajang kompetitif PUBG terbesar di Asia, NVIDIA GeForce Pacific Cup. Tim ini berhasil lolos setelah menjadi juara kualifikasi Indonesia yang diselenggarakan di berbagai NVIDIA iCafe terpilih yang digelar pada tanggal 24-29 November 2018 untuk babak penyisihan dan 1-2 Desember 2018 untuk babak final.

Babak penyisihan tadi diikuti oleh 300 tim yang menyusut jadi 20 tim di babak final. Victim Reality yang beranggotakan Angga “Raeylk” Maulana, Irham “Vandal9” Fikri, Septianto “BuckyJn0”, dan Alvin “Miseryy” Sahri Ramadhan berhasil mengalahkan tim-tim lain yang mungkin lebih diunggulkan sebelummnya seperti Aerowolf Team 1, 7, dan 8, RRQ, Aura Esports, BOOM ID, The Prime, dan yang lainnya.

Victim Reality sendiri berhasil mendapatkan 1x Chicken Dinner dan 12 kill dalam delapan game berbeda. Atas konsistensi mereka, tim ini pun berhasil mendapatkan poin tertinggi dan memenangkan kualifikasi. “Kami sangat bersyukur atas apa yang kami capai di tahun ini, mengingat tim ini baru berdiri. Kami berharap akan tampil lebih baik lagi di tahun mendatang.” Ungkap Hafiz Rachman, sang manajer PUBG Victim Esports dalam rilis yang kami terima.

Untuk main event nanti, NVIDIA akan menggelar NVIDIA GeForce PUBG Pacific Cup di ChangSha, Hunan, Tiongkok pada tanggal 4-7 Januari 2018. Di babak ini, tim Indonesia akan bertanding melawan tim-tim terkuat dari berbagai negara seperti Vietnam, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja, dan delapan tim yang lolos dari kualifikasi regional Tiongkok.

Mampukah Victim Esports mengukir prestasi yang membanggakan tanah air di Tiongkok nantinya?

Clinton “Fear” Loomis Ungkap Pengaruh Usia terhadap Performa Atlet Esports

Karier olahraga profesional dan usia adalah dua musuh abadi yang sulit dipisahkan. Di dunia olahraga, umumnya masa jaya atau puncak kehebatan seorang atlet terjadi ketika usianya berada di sekitar 20 tahun akhir atau 30 awal. Di bawah itu, kemampuan serta pembentukan tubuh atlet itu mungkin belum maksimal. Sementara di atas itu, performa tubuhnya sudah mulai menurun. Memang ada beberapa pengecualian, seperti “King Kazu” (Kazuyoshi Miura) yang tetap bermain di liga Jepang meski usianya sudah 51 tahun. Tapi kasus seperti ini jelas sangat jarang.

Dunia esports rupanya menunjukkan tren serupa soal usia, namun lebih parah. Fear alias Clinton Loomis beberapa waktu mengungkapkannya dalam sebuah tulisan di media sosial. Fear adalah atlet Dota 2 profesional yang kini telah berusia 30 tahun. Sepanjang kariernya, ia sudah memenangkan banyak kejuaraan ternama, bahkan mengantar tim Evil Geniuses menjadi juara dunia di The International 2015. Namun ia tidak selalu menjadi pemain.

Fear pernah “pensiun” dari roster Evil Geniuses, dan beralih menjadi pelatih. Namun pada akhirnya ia kembali menjadi pemain. Kini pun, meski sudah tidak bersama Evil Geniuses, Fear masih merupakan pemain aktif di tim J.Storm. Peraihan posisi pertama Chongqing Major North America Qualifier membuktikan bahwa usia tua tidak membuat taring dan cakarnya tumpul. Sesuai namanya, Fear tetaplah pemain yang ditakuti di dunia Dota 2. Sayangnya, tidak semua atlet esports punya jalan hidup seperti Fear.

Fear - J.Storm
Fear kini berusia 30 tahun dan bermain untuk tim J.Storm | Sumber: J.Storm

Usia 30 di esports, waktunya pensiun?

“Saat ini, banyak pemain, penggemar, bahkan organisasi memperlakukan para pemain berusia 20an akhir sebagai pemain tua yang sudah hampir pensiun. Karena itulah, menjadi pemain profesional di esports, dibandingkan olahraga lainnya, adalah investasi yang buruk untuk masa depan—bahkan meskipun Anda sukses. Saya melihat banyak pemain kehilangan kepercayaan diri dan pensiun karena miskonsepsi yang muncul di kalangan komunitas ini,” demikian tulis Fear.

Bila kita bandingkan dengan dunia sepak bola misalnya, kita tidak akan bilang Cristiano Ronaldo sudah waktunya pensiun ketika usianya menginjak 30. Pesepak bola asal Portugal itu justru meraih puncak kariernya di usia 31, ketika ia memenangkan Euro 2016 dan menjadi top scorer nomor satu sepanjang masa di Real Madrid. Ronaldo di usia 31 adalah masa keemasan, tapi mengapa Fear di usia yang sama malah dianggap sudah waktunya pensiun?

“Ekspektasi karier di olahraga tradisional punya jangka waktu satu dekade lebih panjang daripada di esports,” lanjut Fear. Alasannya, salah satunya, adalah karena olahraga tradisional dari masa ke masa hampir tidak pernah berubah. Sementara esports selalu berubah, dan game yang saat ini populer bisa saja tenggelam dalam beberapa tahun ke depan.

“Wajar bila sebagian besar pemain hanya hebat di satu game tertentu saja, dan begitu game itu mati, mati pulalah masa depan mereka yang memainkannya. Saya percaya bahwa lebih mudah untuk mempelajari sebuah game ketika Anda masih muda, dibanding ketika sudah tua,” jelasnya. Ini sangat masuk akal. Meski Fear sangat ahli bermain Dota 2, belum tentu dia bisa punya prestasi yang sama bila berpindah ke League of Legends. Sama halnya seperti Cristiano Ronaldo belum tentu jadi juara Eropa bila ia pindah jadi pemain basket.

Cristiano Ronaldo - Juventus
Cristiano Ronaldo mencapai puncak kejayaan di usia 31 | Sumber: Goal.com

Pensiun karena suatu game mati itu wajar, misalnya seperti yang terjadi di dunia Heroes of the Storm baru-baru ini. Tapi menurut Fear, tidak ada alasan bagi seorang pemain untuk pensiun karena alasan usia. Hanya saja memang jarang sekali ada atlet esports yang cukup beruntung bisa memainkan satu game yang sama hingga mereka berusia 30 tahun lebih.

Dota adalah game yang sangat spesial karena game ini telah bertahan hidup selama 15 tahun lebih, sejak era Warcraft III di tahun 2003 dulu. Jadi Dota bisa menjadi lahan karier bagi atlet-atlet esports yang sudah berusia cukup tua. Dan menurut Fear, usia tidak akan membuat performa permainan seorang atlet esports menurun. Asalkan game yang dimainkan masih hidup, ia tetap terus bisa berkompetisi.

“Saya pernah mendengar argumen bahwa refleks Anda di video game menurun seiring usia bertambah, tapi saya sering memainkan tes reaksi melawan pemain yang lebih muda seperti Sumail, dan saya tetap bisa mengalahkan mereka walau dengan perbedaan usia 11 tahun,” cerita Fear.

“Saya mungkin salah satu pemain pertama yang masih bermain Dota di usia 30 tahunan, tapi saya berharap lebih banyak pemain mengikuti jejak saja karena saya percaya ini baik untuk Dota maupun esports secara keseluruhan. Penting bagi kita untuk tidak merasa terbatas atau tertekan oleh rentang usia fiktif yang dibuat-buat oleh orang yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”

Komunitas esports perlu belajar dari fighting game

Menariknya, bila kita memandang esports bukan sebagai MOBA saja, ucapan Fear justru telah terbukti benar sejak lama. Ada dunia esports di mana pemain tua sama sekali bukan hal yang langka. Dota boleh bangga karena sudah hidup selama 15 tahun, namun sebenarnya ada game kompetitif lain yang bahkan sudah hidup selama lebih dari 30 tahun: Street Fighter.

Salah satu pemain Street Fighter terbaik dunia, yang hingga kini masih bermain di level kompetitif yang tinggi, adalah Daigo Umehara dengan usia 37 tahun. Pemegang peringkat 1 Capcom Pro Tour 2018, sama-sama dari Jepang, adalah Hajime Taniguchi alias Tokido dengan usia 33 tahun. Dan masih banyak nama legenda lainnya di dunia Street Fighter seperti Justin Wong, Momochi, atau Infiltration, yang semuanya berusia di atas 30 tahun dan masih aktif, bahkan sangat ditakuti.

Tokido - Murderface
Tokido masih terlihat muda, tapi usianya sudah kepala tiga | Sumber: Echo Fox

Tren “pemain tua” ini tidak terjadi di Street Fighter saja, namun juga di fighting game lain. Di dunia Guilty Gear/BlazBlue, kita mengenal nama Ogawa Zato dan Dogura. Di dunia Dragon Ball FighterZ, ada GO1 dan Kazunoko. Di Tekken pun ada legenda-legenda seperti Qudans dan JDCR. Semuanya berusia 30an.

Fighting game punya tingkat kesulitan tinggi dan membutuhkan refleks luar biasa cepat, apalagi di dunia profesional. Oleh karena itu tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa pemain-pemain “tua” di atas punya refleks yang buruk. Persis seperti ucapan Fear, dunia fighting game sudah menunjukkan bahwa usia sama sekali bukan patokan bagi akhir karier seorang atlet esports, setidaknya untuk sekarang.

Bisa saja memang ada titik di mana refleks seorang atlet esports bisa menurun. Tapi kita belum tahu kapan itu akan terjadi. Usia 30 tahun terbukti salah, tapi bagaimana dengan usia 40? Atau mungkin 50? Tidak ada yang tahu, dan mungkin kita baru bisa mengetahuinya lewat statistik jauh di masa depan.

Keberadaan video game dan esports sendiri masih cukup baru, jadi kita belum bisa melihat dengan pasti di mana titik penurunan tersebut. Lain dengan olahraga tradisional yang sudah punya sejarah berabad-abad. Saat ini, pandangan masyarakat tentang batas usia dalam karier esports masih sebatas asumsi, dan tugas para atletlah untuk mematahkan asumsi-asumsi negatif itu. Bila atlet fighting game bisa, mengapa atlet MOBA tidak?

Sumber: Clinton “Fear” Loomis, VPEsports