Degradasi Kualitas Konten Digital Adalah Keniscayaan

Sponsorship adalah salah satu sumber pemasukan utama organisasi esports. Untuk menarik para sponsor, sebuah organisasi esports tidak hanya harus punya prestasi, tapi juga punya fanbase. Salah satu cara membesarkan dan menjaga fanbase adalah dengan aktif di media sosial, termasuk YouTube. Sayangnya, terkadang, tidak semua pelaku esports sabar membangun fanbase, apalagi di industri niche seperti competitive gaming. Ada pihak yang memilih untuk mengambil jalan pintas. Salah satu caranya dengan mengunggah konten eksploitatif, seperti video yang menjurus ke hal-hal tak senonoh, drama pribadi, ataupun konten picisan lainnya.

Sayangnya, membuat konten kontroversial tampaknya akan menjadi tren yang tak terelakkan di masa depan. Kenapa bisa begitu?

 

Semakin Banyak Orang yang Ingin Menjadi Kreator Konten

Di Indonesia, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi kreator konten. Buktinya, berdasarkan Google Trends 2020, “Cara menjadi YouTuber pemula” merupakan kata kunci paling populer kedua dalam kategori “Bagaimana cara”. Sementara itu, “Cara menjadi terkenal” ada di peringkat lima. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak masyarakat Indonesia yang tertarik untuk menjadi bintang di internet.

Tren pencarian di Google pada 2020. | Sumber: Google Trends

Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seseorang ingin menjadi kreator konten. Toh, besar pemasukan yang didapatkan seorang YouTuber cukup menggiurkan. Setiap bulan, seseorang bisa mendapatkan jutaan Rupiah per bulan “hanya” dengan mengunggah video ke YouTube. Sementara menurut Kompas, Deddy Corbuzier, yang masuk ke dalam daftar lima YouTuber paling sukses di Indonesia, diperkirakan punya pemasukan sekitar US$34-543,3 ribu (Rp495 juta-Rp7,9 miliar) per bulan. Dengan iming-iming penghasilan hingga miliaran Rupiah dan juga popularitas, siapa yang tidak tergiur?

Satu hal yang harus diingat, semakin banyak orang yang menjadi kreator konten, maka persaingan juga akan semakin ketat. Ibarat sebuah kue, semakin banyak orang yang ingin memakan kue itu, maka semakin sedikit pula porsi yang diterima oleh setiap orang. Tentu saja, di dunia nyata, tidak semua orang mendapatkan jatah yang sama. Ketika masyarakat berbondong-bondong untuk menjadi YouTuber, sebagian dari mereka mungkin akan sukses, sementara kebanyakan mungkin akan tumbang. Masalahnya, seberapa besar kesempatan seseorang bisa sukses sebagai kreator konten?

Berdasarkan data dari Social Blade, lima YouTuber dengan pemasukan terbesar di Indonesia antara lain Deddy Corbuzier, Ria Ricis, Baim Wong, Raffi Ahmad, dan Atta Halilintar. Dari lima orang itu, tiga di antaranya merupakan selebriti, yang sudah memiliki fans bahkan sebelum mereka mulai membuat konten di YouTube. Bagi orang yang bukan siapa-siapa, mereka harus bekerja lebih keras untuk bisa menggaet penonton. Sebagian orang bahkan rela untuk mempertaruhkan nyawanya demi konten. Dan pernyataan itu tidak hiperbolis. Salah satu bukti nyata, pada April 2021, seorang pemuda meninggal terlindas truk karena dia mencoba untuk menghadang truk yang sedang melintas. Kenapa dia melakukan hal itu? Karena dia dan teman-temannya sedang berusaha untuk membuat konten viral. Kejadian serupa terjadi para Maret 2021.

Kabar baiknya, para pemain esports kini mendapat status idola layaknya atlet profesional atau selebritas. Jadi, bagi pemain atau organisasi esports profesional, mereka bisa langsung menargetkan para fans competitive gaming. Masalahnya, jumlah penonton esports terbatas. Memang, audiens esports menunjukkan tren naik. Pada 2021, jumlah penonton esports di dunia diperkirakan mencapai 474 juta orang.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Newzoo

Hanya saja, jika dibandingkan dengan total pengguna internet — yang mencapai 4,72 miliar orang — tentu saja jumlah penonton esports masih jauh lebih sedikit. Jadi, tidak heran jika ada pelaku esports yang tergiur untuk “keluar jalur” dan menargetkan pengguna internet yang mungkin bukan fans esports. Dan ketika Anda melompat masuk ke kolam yang lebih besar, Anda juga harus siap dengan tantangan yang lebih sulit.

 

Seberapa Ketat Persaingan untuk Mendapatkan View?

Menurut hukum permintaan dan penawaran, nilai sebuah produk ditentukan oleh ketersediaan dan permintaan akan barang tersebut. Semakin banyak orang yang tertarik untuk membeli sebuah produk, semakin tinggi harganya. Sebaliknya, semakin banyak jumlah orang yang menyediakan produk itu, semakin turun harganya. Pada satu titik, keduanya akan saling bertemu.

Dalam industri pembuatan konten, kreator konten merupakan penyedia produk. Sementara penonton adalah pembeli. Untuk memperkirakan penawaran dan permintaan konten, ada beberapa tolok ukur yang bisa kita gunakan. Jumlah channel YouTube atau jumlah video atau artikel digital bisa menunjukkan sisi penawaran, sementara jumlah pengguna internet dan durasi menonton bisa menjadi cerminan dari permintaan pasar akan konten.

Pertama, mari kita melihat data tentang jumlah pengguna internet di dunia. Menurut Statista, pada 2021, tingkat penetrasi internet di dunia mencapai 53,7%. Hal itu berarti, jumlah pengguna internet mencapai 4,2 miliar orang. Jika dibandingkan dengan tingkat penetrasi pada 2020, tingkat penetrasi pada 2021 menunjukkan kenaikan, meski tidak besar, hanya 1,3%. Dari tahun 2014, tingkat penetrasi internet di dunia memang terus menunjukkan kenaikan. Bagi kreator konten atau orang yang ingin menjadi kreator konten, hal ini adalah kabar baik karena jumlah audiens mereka terus bertambah dari tahun ke tahun.

Persentase pengguna internet di dunia dari tahun ke tahun. | Sumber data: Statista

Namun, jika Anda mengamati garis merah pada grafik di atas, Anda akan melihat pada pertumbuhan tingkat penetrasi pengguna internet di dunia menunjukkan tren menurun sejak 2017. Artinya, jumlah pertumbuhan pengguna internet mengalami perlambatan.

Di Indonesia, tren jumlah pengguna internet juga menunjukkan pola yang sama seperti tingkat penetrasi internet di dunia. Pertumbuhan jumlah pengguna internet Indonesia diperkirakan akan memuncak pada 2019, sebelum mengalami penurunan dalam beberapa tahun ke depan. Berikut grafik berdasarkan data dari Statista.

Jumlah pengguna internet di Indonesia dan laju pertumbuhannya. | Sumber data: Statista

Sekarang, mari kita meninjau data terkait YouTube. Pada 2020, ada 37 juta channels YouTube secara global. Angka ini naik 23% dari tahun 2019, berdasarkan data dari Social Blade. Sementara itu, setiap menit, 500 juta jam video diunggah ke YouTube. Berikut grafik yang menunjukkan pertumbuhan jumlah channel YouTube dari tahun 2017 sampai 2020.

Pertumbuhan jumlah channel YouTube. | Sumber: Social Blade, tubics

Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah pengguna internet, pertumbuhan jumlah channel YouTube jauh lebih tinggi. Dan hal ini bisa menjadi masalah bagi kreator konten. Alasannya, ketika tingkat pertumbuhan channel YouTube lebih tinggi dari pertumbuhan jumlah pengguna internet, maka suplai konten akan naik drastis, sementara jumlah penonton atau konsumen cenderung stagnan. Jika persediaan produk naik tapi permintaan tetap, maka hal ini akan membuat harga turun dan jumlah produk yang berlebihan.

Jumlah pengguna internet bukan satu-satunya metrik yang bisa digunakan untuk menunjukkan tren konsumsi video. Kita juga bisa melihat hal ini dari jumlah pengguna YouTube. Menurut Hootsuit, YouTube memiliki 2 miliar pengguna aktif bulanan. Mengingat Anda tetap bisa menonton YouTube tanpa harus login, maka kemungkinan, jumlah penonton YouTube lebih besar dari itu. Sementara penonton dewasa — yang berumur setidaknya 18 tahun — menghabiskan 41,9 menit untuk menonton YouTube setiap harinya. Jadi, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penonton YouTube per minggu adalah 4,9 jam atau 255 jam per tahun. Secara total, pengguna YouTube mengonsumsi lebih dari 1 miliar jam video setiap hari.

Angka ini memang terlihat besar. Namun, setiap menit, ada 500 juta jam video baru yang diunggah ke YouTube. Hal itu berarti, dalam sehari, total durasi konten baru yang diunggah ke platform video tersebut akan menembus 720 miliar jam, jauh lebih besar dari total durasi konten yang dikonsumsi setiap hari.

Semua data di atas menunjukkan betapa ketatnya persaingan untuk mendapatkan view di YouTube. Jadi, jangan heran jika ada kreator konten baru, termasuk pelaku dunia esports, yang tergiur untuk mengambil jalan pintas ke popularitas dengan membuat konten yang berbau drama atau bersifat kontroversial.

Pertanyaannya…

 

Apa yang Membuat Konten Kontroversial Begitu Menarik?

Setiap orang punya standar “konten kontroversial” masing-masing. Apa yang saya anggap sebagai kontroversial, mungkin tidak aneh bagi sebagian orang. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, dalam artikel ini, saya akan membatasi definisi konten kontroversial menjadi konten yang menampilkan drama atau menjurus ke konten kurang senonoh.

Menurut Psych Central, ada beberapa alasan mengapa seseorang suka menonton konten berupa drama atau konflik. Salah satu alasannya adalah karena masalah yang dihadapi oleh orang lain bisa mengalihkan perhatiannya dari masalah yang tengah ia hadapi. Jadi, menonton konten merupakan bentuk pelarian dari kenyataan. Alasan lainnya adalah karena bagi sebgian orang, konflik yang berujung pada drama adalah hal yang wajar, yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, orang-orang yang punya pikiran seperti ini tumbuh besar di keluarga yang kurang akur, sehingga mereka terbiasa melihat konflik.

Menariknya, faktor biologis juga punya peran dalam membuat seseorang senang menonton konten berupa drama konflik. Pasalnya, ketika Anda menonton konten berisi konflik, hal ini bisa memicu rasa marah Anda. Dan rasa marah tersebut bisa membuat tubuh mengeluarkan endorfin, hormon yang berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan memberikan perasaan positif. Alhasil, orang-orang menjadi “kecanduan” menonton konten dramatis demi mendapatkan endorfin.

Dalam studi berjudul “Social Transmission, Emotion, and the Virality of Online Content”, Jonah Berger dan Katherine L. Milkman mencoba untuk mencari tahu akan karakteristik konten viral. Mereka menemukan emotional engagement merupakan kunci penting untuk membuat sebuah konten viral. Salah satu tipe konten yang punya potensi menjadi viral adalah konten yang menginspirasi atau lucu. Uniknya, konten yang memicu rasa marah juga berpotensi viral.

Studi yang dilakukan oleh University of Indiana juga menunjukkan hal yang sama: konten yang memicu rasa marah punya kesempatan lebih besar untuk viral. Namun, rasa marah yang dimaksud di sini bukanlah rasa marah yang membuat seseorang ingin melakukan kekerasan, tapi rasa marah yang mendorong seseorang untuk berdebat. Misalnya, jika seorang kreator konten membuat video yang menyebutkan, PUBG Mobile merupakan game esports yang lebih baik dari Free Fire — atau sebaliknya — video tersebut kemungkinan akan dibanjiri komentar dari fans kedua game tersebut. Hanya saja, tolong ingat kalau netizen Indonesia mendapatkan gelar “paling tidak sopan” se-Asia Tenggara. Jadi, kreator konten yang membuat konten kontroversial dan mengundang debat harus siap mental menghadapi netizen.

Menariknya, kreator konten bukan satu-satunya pihak yang mencoba untuk merangsang emosi pengguna demi mendapatkan penonton, studio film pun melakukan hal yang sama. Hal ini terlihat dari perubahan tren villain pada film-film Hollywood. Pada tahun 1950-an, kebanyakan film mengangkat tema “kita vs mereka”. Dalam film-film itu, seorang villain digambarkan sebagai penjahat yang menjadi jahat karena memang terlahir sebagai penjahat. Ada garis jelas yang memisahkan antara sang villain dan protagonis.

Sementara sekarang, kebanyakan villain justru bisa menarik simpati penonton. Misalnya, Killmonger dari Black Panther atau Thanos dari Avengers: End Game. Kedua villain itu berusaha untuk memecahkan masalah di status quo demi menciptakan dunia yang lebih baik. Hanya saja, mereka menggunakan cara yang terlalu radikal, sehingga mereka dicap sebagai villain dan bukannya pahlawan.

 

Kesimpulan

Belakangan, esports semakin disorot. Bahkan pemerintah pun menunjukkan ketertarikan dengan esports. Hal ini membuat semakin banyak orang tertarik untuk masuk ke esports. Di satu sisi, meningkatnya jumlah pelaku di dunia esports adalah kabar baik. Di sisi lain, hal itu membuat persaingan menjadi ketat, termasuk dalam memenangkan hati fans. Tak berhenti sampai di situ, ketika sebuah tim atau seorang atlet esports sukses mendapatkan fanbase, mereka juga harus bersaing dengan konten-konten non-esports, seperti konten musik, dokumenter, vlog, dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga, setiap manusia hanya punya waktu 24 jam sehari. Waktu yang digunakan untuk menonton konten gaming dan esports juga waktu yang sama yang bisa digunakan untuk bekerja, tidur, ataupun hiburan lainnya seperti musik, film, ataupun yang lainnya.

Persaingan yang ketat mungkin akan memicu sebagian orang untuk menjadi lebih semangat. Hanya saja, kompetisi juga justru membuat orang-orang memilih untuk mengambil jalan pintas. Dalam pembuatan konten, salah satu jalan pintas yang bisa seseorang ambil adalah membuat konten yang kontroversial. Misalnya, membuat pernyataan yang mengundang perdebatan, membahas drama pribadi, atau bahkan membuat konten yang menjurus ke ranah pornografi.

Sayangnya, hal ini tidak hanya merugikan pelaku, tapi juga ekosistem esports secara keseluruhan. Pasalnya, ada berbagai stigma negatif yang sudah melekat di industri game dan esports; stigma yang sampai sekarang belum hilang sepenuhnya. Sayangnya, baik di ranah esports, gaming, ataupun kebanyakan ranah lainnya, degradasi kualitas konten adalah sebuah keniscayaan.

How the Gaming & Esports Industry in Indonesia and China Reflect the Respective Characteristics and Policies of each Country

Indonesia and China have several things in common, such as their unusually large population. China is the country with the largest population size, while Indonesia has the fourth largest population size. From a geographical standpoint, Indonesia and China are also quite close, facilitating some extent of cultural exchange between the two countries. Therefore, it is not surprising that the leadership style of the Indonesian government closely mimics that of China’s government. But of course, this notion does not imply that Indonesia’s government follows communist ideologies.

In this article, we will discuss the similarities between the regulations that the Indonesian and Chinese governments impose on the games and esports. We will also compare the two governments in different sectors such as internet infrastructure, smartphones, and state-owned enterprises. From this discussion, we hope to see if the regulations these governments impose in the gaming and esports industry arise from laws in other related fields.

 

The Gaming Industry

Nationalism is one of the prevalent topics that are discussed in both the Indonesian and Chinese gaming industry. In Indonesia, there are often marketing using the sentiment of “games made by Indonesian children!” It is undeniable that certain segments are truly interested in these games. However, this marketing strategy can certainly backfire if the game is not equipped with interesting gameplay. In the end, we mostly play games for the sake of our own satisfaction and not for supporting the sovereignty of a country. Despite that, developers often incorporate local culture features into the game in the right place and time to attract specific users.

The sense of nationalism is also held in high esteem in China. Beijing even intervenes directly to ensure that all games released in China do not introduce content that contradicts their country’s ideology. This concept also applies to foreign developers who want to publish their games in China. Nationalism in China is held to the extent that all in-game texts must be translated to Simplified Chinese. According to the Niko Partners report, there are even games that got banned because they display English words such as “Winner” or “Attack”.

In China, the number of games released each year is also limited. Games that promote Chinese culture or history will also be prioritized. The government’s goal of filtering the release of games is to improve the quality of games and expand the audience that they can reach. By limiting the release of foreign-made games in China, the government indirectly protects local game developers by eliminating competition.

On the other hand, the Indonesian government does not impose any limitations or filter the circulation of games in the country. Instead, the government supports the local developers by hosting events, such as Game Prime, that showcase the creations of these developers. Furthermore, they are also trying to facilitate local developers through investments and the promotion of local games, such as Lokapala.

Chairman of the Indonesian National Sports Committee (Komite Olahraga Nasional Indonesia or KONI), Norman Marcioano, visited the headquarters of Anantarupa Studios – the developer of Lokapala – in December 2020. At that time, he expressed his desire for KONI to participate in promoting Lokapala as a national esports game, as quoted from Kompas. The goal can be achieved by including the game as part of a competition in the XX Papua National Sports Week (Pekan Olahraga Nasional or PON) 2021. Fortunately, Lokapala is also now one of the games competed in the Menpora Cup.

Lokapala jadi salah satu game yang diadu di PON 2021. | Sumber: Suara
Lokapala is included as a competition in PON 2021. | Source: Suara

Apart from upholding nationalism, both Indonesia and China also have another thing in common, namely the tendency to block games. In 2017, the Ministry of Communication and Informatics blocked a game called Fight of Gods. The game was blocked as it features characters in the form of religious figures or gods from various beliefs, such as Jesus, Buddha, Zeus, and Anubis. At that time, Kominfo explained that their premise of blocking the game was to prevent quarrels between religious adherents.

Furthermore, the Indonesian Ulema Council also issued a fatwa declaring the haram of PUBG Mobile. The news prompted Aceh to ban PUBG Mobile and other similar games. According to a CNBC Indonesia report, MUI argues that PUBG has the potential to alter the behavior of its players and harm their health. This event triggered rumors that Kominfo will also block PUBG Mobile. Unfortunately, in March 2019, Kominfo claimed that they were ready to block PUBG if MUI deemed it necessary. However, Kominfo later confirmed that all this news was just nothing more than a hoax.

Interestingly enough, PUBG Mobile is also blocked in China despite being released by Tencent Games, a Chinese company. The Chinese government blocked the game due to the violent and explicit content they display. As a result, in May 2019, Tencent relinquished the development of PUBG Mobile and launched a similar game called Peacekeeper Elite. The game has the exact same gameplay as PUBG Mobile but introduces a theme of war against terrorism instead of killing for survival.

 

The Esports Industry

The Indonesian and Chinese governments also share a common view towards esports. Although both of them seem to support the industry, they have their own unique methods in doing so.

For example, the Chinese central government supports the industry by declaring esports professional players as official jobs. In Indonesia, however, the local government often shows its support through financial means. Shanghai is one of the cities in China that is deeply invested in the esports ecosystem. In 2019, the local Shanghai government expressed their desire to make the city the “capital of esports”. They hope to realize this plan within the next 3-5 years.

Shanghai is not the only city that cares about the esports industry. The Hangzhou government has also shown an interest in making the city the central hub for esports. To achieve this goal, the Hangzhou government has prepared a budget of US $ 280 million to build a 360 thousand square meters esports complex. The Hangzhou government’s decision prompted LGD Gaming and Allied Gaming to open offices in the complex. LGD Gaming is an esports organization that has several successful esports teams. On the other hand, Allied Gaming operates the esports network in China. The action taken above shows the synergy and support between the government and private organizations in the esports industry.

Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Sumber: SCMP
Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Source: SCMP

In January 2021, the Shanghai government showcased the design of the esports hub they were planning to build. The esports hub, called the Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center, will open in 2024. It is estimated that the Shanghai government will spend US $ 900 million to build this 500 thousand square meter facility. One of the functions of the esports hub is to host esports tournaments. It can also accommodate six thousand people in the arena. Once this esports hub is established, it will become one of the largest esports stadiums in the world. So far, most esports stadiums have a capacity of fewer than six thousand people. As a comparison, Arlington Esports Stadium, the largest esports stadium in North America, only has a capacity of 2.5 thousand spectators.

These two facilities are not the first dedicated esports stadiums to be built in China. In 2018, the Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium was built, which has a capacity of 7 thousand people. The stadium is also equipped with a plaza on the outside that can accommodate up to 13 thousand people. The spectators outside will be able to watch the games through a giant LED screen on the outer wall of the stadium.

In Indonesia, the government supports the esports industry by forming an umbrella organization for esports called Pengurus Besar Esports, aka PB Esports, led by General Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan. However, before the formation of PB Esports in 2020, there already several similar organizations that exist. These are organizations such as Asosiasi Olahraga Video Game Indonesia (AVGI), formed in July 2019, or Federasi Esports Indonesia (FEI) founded in October. 2019.

At the inauguration of PB Esports members, Budi Gunawan explained that the government wants to prepare everything needed by the esports industry, from regulations to training centers. The place chosen to be the esports training center is Sentul, Bogor. Unfortunately, there is yet news about the training center construction process.

Another form of support from the Indonesian government is the declaration of esports as a legitimate sport in August 2020. At that time, PB Esports representatives revealed that one of the concrete steps they took to develop the esports ecosystem was to capture hidden talents across the country. They will search for talented players at the provincial level and spar them against the national-level teams. In addition, PB Esports also intends to provide guidance to these athletes.

Looking at PB Esports’ official Instagram account, they have held many esports competitions at the provincial level with various games, including PUBG Mobile, Mobile Legends, and PES. Moreover, they also held numerous national-level esports tournaments, such as the Student Cup, which offered a total prize pool of up to IDR 500 million, and the KONI Cup, which has a total prize pool of IDR 200 million.

Piala KONI juga memasukkan esports. | Sumber: Esports.id
Piala KONI also includes esports | Source: Esports.id

In terms of gaming and esports culture, Indonesia also has similarities with China. For example, mobile esports is growing rapidly in both countries. In China, this happened because Beijing had banned the sale of consoles before 2015. As a result, only PC and mobile games are developing in the country.

In Indonesia, however, mobile games and esports are growing as a result of the introduction of smartphones. Smartphones are much cheaper compared to PCs or consoles and provide other functionalities than just access to games. Furthermore, most mobile games can be downloaded and played for free. The accessibility to games that smartphones provided single-handedly boosts the growth and development of the mobile esports ecosystem in the country. If you are interested, we’ve also explained why popular esports games are often free in this article.

 

Internet Infrastructure and Smartphone Business

Like it or not, the gaming and esports industries cannot stand alone. The existence and growth of these two industries are highly dependent on other industries. For example, the smartphone industry and the internet infrastructure greatly dictates the direction of the esports industry. No matter how skillful a player is, he/she will still not be able to play online games or compete in esports competitions if there is no access to a decent smartphone and internet. A poor internet network can even force teams to withdraw from the tournament. This exact incident happened to the Dota 2 national team during the qualifying round of the IESF World Championship 2020 for the SEA region.

Indonesia and China are both developing countries. However, China is much more advanced when it comes to internet quality and speed. Based on data from Speedtest, the mobile internet speed in China reaches up to 113.35 Mbps which is only slightly below South Korea’s internet speed (121 Mbps). Meanwhile, the mobile internet speed in Indonesia barely reaches 16.7 Mbps. The broadband internet speed in the country is also relatively awful, only reaching 22.35 Mbps. On the other hand, China’s broadband internet speed has reached 138.66 Mbps. In comparison, Singapore – being the country with the highest broadband speeds – has internet speeds of up to 226.6 Mbps.

However, the Indonesian and Chinese governments have a similar approach to the internet: they both care about censorship. China is famous for its massive internet censorship program called the Great Firewall of China. As a result of this program, titan tech companies such as Facebook and Google are restricted from operating in China.

There are three main reasons why Beijing censors the internet. Firstly, the government wants to maintain control of the masses. There are many incidents where social media were used to gather protests against the government. Indeed, not all Twitter hashtags end up affecting real-world outcomes. However, there are many cases where the power of netizens can surface and wreak havoc. One week ago, All England presumably deleted their Instagram account because of the onslaught of Indonesian netizens. Indonesian netizens assumed that the competition was rigged as the Indonesian team was prohibited to play due to a positive case of corona.

Akun Instagram All England sempat hilang. | Sumber: CNN Indonesia
The All-England Instagram account was lost | Source: CNN Indonesia

Another reason the Chinese government restricts access to the internet is to control sensitive information. By restricting people’s access to the internet, there is only a limited amount of information that can be shared or received. Therefore, in theory, the government can filter the information that reaches the public, especially on sensitive topics like the Hong Kong protests. China also censors the internet to protect local industries. The Chinese government bans the operation of foreign companies like Google and Facebook to allow local companies, such as Baidu and Weibo, to thrive.

Just like China, the Indonesian government also censors the internet. However, their objective of restricting internet access is to censor “negative” content, such as pornography. To achieve this goal, Kominfo is even willing to prepare Rp. 194 billion to get a crawling machine. Despite the effort, I’m very sure that it is still impossible to fully censor pornographic content. In March 2018, Kominfo also blocked Tumblr. However, you can easily bypass the blockade by using a VPN. These two examples, unfortunately, show the ineffectiveness of internet censorship in our country.

The Indonesian government sometimes also uses censorship as a means to filter sensitive information. For example, in August 2019, the government throttled the internet speed in Papua and soon blocked their internet access altogether. According to Tirto, the government claimed that they attempted to prevent the circulation of hoaxes that emerged after the Papuan people staged massive protests against the racist treatment of Papuan students in Surabaya.

Pemerintah Indonesia sempat memblokir internet di Papua. | Sumber: Deposit Photos
Source: Deposit Photos

Now, let us discuss the smartphone industry. We all know China for their vast amounts of factories and immense work power. Meanwhile, Indonesia began discussing the provisions of the Domestic Content Level (Tingkat Kandungan Dalam Negeri or TKDN) in 2015. Local components that can be integrated into smartphones are hardware, software, or investment. To fulfill TKDN, smartphone companies sometimes collaborate with local factories or even create their own factories. However, the reasons for manufacturing smartphone factories in Indonesia and China are somewhat different. Indonesia implements TKDN with the hope of advancing the local component industry.

On the other hand, most smartphone companies choose to manufacture their cellphones in China. Labor cost in China is relatively cheap since the employee salaries are usually lower compared to other manufacturing countries. Besides that, China has an immense workpower. Most of these workers in China also do not mind living in dormitories close to factories to reduce commuting time. China also provides an extent of geographical advantage as they are located near countries with raw supplies. Of course, since there is less distance to cover when importing raw materials, there is far less time and cost spent during the manufacturing stage.

Indonesia and China have also shared some similarities in their State-Owned Enterprises. As the name suggests, these are companies whose shares are controlled by the government. IN SOEs, the government usually owns a majority (at least 51%) or all of the company shares. Generally, there are two types of SOEs. The first type is called profit-oriented SOEs, and examples of these enterprises are PT Telekomunikasi Indonesia or Telkom, and PT Garuda Indonesia. There are also State-Owned Enterprises that focus on providing affordable quality goods and services to the public. Examples of these SOEs are Perum Damri, Perum Perumnas, and so forth. The same is true in China.

Furthermore, both Jakarta and Beijing also impose strict regulations on the financial sector. In Indonesia, one obvious form of government interference in the financial sector is the supervision of the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan or OJK) on fintech startups. In September 2018, OJK issued 9 new regulations regarding fintech, including monitoring and supervision of fintech startups.

In China, regulations in the financial sector are even tighter when compared to Indonesia. For instance, Beijing highly restricts foreign investors to invest in Chinese companies. If foreign investors wish to invest in China, they have to fulfill some set of requirements. These are requirements such as living in China, working for a well-known company from China, or having a residence in China. If an investor was not able to meet at least one of these criteria, the government will carry out an extensive background check before permitting the investor to carry out their business in China. Moreover, the only shares that foreign investors can purchase are non-voting stocks. In other words, they will not have any say or power in the company.

In January 2021, the Indonesian government plans to limit foreign investors by setting a minimum investment of IDR 10 billion. Furthermore, according to CNN Indonesia, foreign investors must also establish a limited company if they want to carry out business activities in Indonesia. However, this regulation does not apply to technology startups wishing to invest in special economic zones. Although the regulations related to Indonesian foreign investment are not as strict as those of China, SOEs usually still dominate the market. For example, IndiHome still stands as one of the biggest ISPs in Indonesia despite receiving lots of criticism and complaints.

 

Conclusion

The Chinese government does not hesitate to limit people’s access to the internet. They conduct this form of censorship to prevent protests and protect local companies from global competition. This philosophy is also reflected in the decisions the government takes in the gaming and esports industry. For instance, Beijing does not hesitate to restrict the release of foreign games if it does not comply with the regulations or display a contradiction against the state’s ideology.

The Chinese government also greatly supports the esports industry, spending millions of dollars to build high-end esports facilities. The Chinese government’s decision to ban console sales has also affected the growth of the esports ecosystem.

Furthermore, the various decisions taken by Beijing have painted them as an oppressive government to the outside world. However, based on a survey conducted by the Ash Center, Chinese people are incredibly satisfied with the decisions and work of their government. In 2016, 95.5% of the respondents said they were “quite satisfied” or “very satisfied” with their central government. On the flip side, most of the Chinese citizens were unhappy with the local government. In fact, only 11.3% of the respondents said they were content with the work of the local government, as noted by the Harvard Gazette.

Although the Indonesian government shares many similarities with the Chinese government, there are also some key differences between the two. One example is consistency. The Chinese government is far more consistent in enforcing the rules they set compared to Indonesia. They were never hesitant to restrict and push out tech giants like Google or Facebook. Apple and the NBA have even complied fully with rules set by the Beijing government when they wish to create a venture in China.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured Image via: Glogster

PUBG Mobile vs Free Fire: Statistics, Esports Ecosystem, and Their Respective Future

PUBG Mobile and Free Fire are two games that often get compared to each other and one can debate on which of these games are far more superior. However, the metrics in which we rate these games are often very subjective. Therefore, let’s try to be more objective in comparing the two games. In this article, we will use concrete data as well as predict the future of these games and their esports ecosystem.

Without further ado, let’s start discussing these two hottest Battle Royale games in the market.

 

The Surface of PUBG Mobile and Free Fire 

Before discussing the more in-depth aspects of the games, let’s start from the very basic, such as the gameplay of the two games. We already know that the two games are both Battle Royales. But what is Battle Royale and how do you play it?

Battle Royale is a relatively brand-new genre in the gaming world. The concept was first introduced in 2017 and immediately caught the attention of many gamers and developers. In the mobile gaming realm, the two biggest and most popular Battle Royales are PUBG Mobile and Free Fire.

What’s the difference between Battle Royale and other game genres? Competitive games generally use the concept of team vs team of 5 people. This concept applies to MOBA games (Mobile Legends for example) and First-Person Shooter (Point Blank or Counter-Strike). However, Battle Royale is slightly different.

Battle Royale competitive mode pits 14 teams at a single match. Each team usually contains 4 players. The goal is to survive the longest and be the last standing group on the map. Strategies to achieve this objective can vary from hiding passively or playing with full aggression to eliminate teams when they least expect it. In PUBG Mobile and Free Fire, you eliminate teams and their members by shooting them down with weapons scattered around the map.

So, what are the main differences between PUBG Mobile and Free Fire? The difference mostly occurs in the game mechanics. Just like any other shooting game, the player’s ability to aim is of paramount importance.

In Free Fire, the process of aiming and shooting enemies is highly assisted by the game system itself. For example, the crosshair will change color when it is pointing right at an enemy, and the system will sometimes also help you lock on to an enemy (also called aim-assist). The weapon recoil in Free Fire is also relatively predictable, making it easy to hit your targets continuously.

What about PUBG Mobile? The shooting mechanics in PUBG Mobile tends to be more difficult and requires more skill to control. Furthermore, there is far less assistance from the game system provided to the players. For instance, the crosshair color will not change regardless if you are aiming right at an enemy, although it still provides visual feedback (or hit markers) to show that your shot is registered. PUBG also has built-in aim assist systems, but it is far less helpful compared to Free Fire. Moreover, the aim-assist feature in PUBG Mobile can also be turned off, unlike in Free Fire. The weapon recoil in PUBG Mobile also simulates real-world physics and is, therefore, much more erratic.

Due to the difference in the game mechanics, PUBG Mobile and Free Fire tend to attract different player segments. PUBG Mobile tends to be liked by competitive players who like challenges and learning games to a deep level. On the other hand, Free Fire attracts more casual and, sometimes, younger players.

PUBG Mobile and Free Fire also have several differences in visual themes. PUBG Mobile tends to be more realistic and presents a “military” theme in their game. Although they sometimes release colorful skins, the equipment in the game is based on real military weaponry (such as grenades, flashbangs, and various types of firearms that do exist in the real world).

Free Fire has a more colorful or playful visual theme consisting of several futuristic and or fictional equipment. Free Fire actually still has some real-world firearms, but there are also several imaginary weapons. Some examples are the Gloo Wall which allows players to bring up ice walls to survive, characters with special abilities, and futuristic-looking vehicles.

After comparing the game from a basic standpoint, let’s dive into the “in-depth” aspect I mentioned earlier. These are topics such as the esports ecosystem, the growth of the player base, and the revenue generated by both games.

 

The Esports Ecosystem of PUBG Mobile and Free Fire

We have discussed the PUBG Mobile esports ecosystem scheme in an earlier article. What about the Free Fire esports ecosystem? Are there any competitive tournaments in the game? What is the scheme behind their esports sector? Free Fire has four primary competitions in Indonesia. There are the Free Fire Masters League and the Free Fire Indonesia Masters as the two “main cast” of the esports tournaments created by Garena Indonesia, the game developer company. Free Fire Masters League can be interpreted as the Regular Season round of a competitive league, while the Free Fire Indonesia Masters is similar to Playoff rounds.

Apart from these two main competitions, Garena Indonesia also has two other types of tournaments. There is Free Fire The One which is targeted at solo players and Free Fire Royale Combat, a tournament for amateur teams. We can say that Free Fire adopts a mixed system for these two particular competitions.

However, Garena Indonesia implements a closed system for the Free Fire Masters League. The FFML League is classified as a closed system because the selection of teams is incredibly limited. The team that wants to participate in the tournament needs more than just raw skill power. Christian Wihananto, Free Fire Producer from Garena Indonesia, briefly explained the process of entering into FFML at the press conference for the launch of FFML Season 1 held in early January 2020. Chris explained that there are administrative selections and buy-in slots worth IDR 50 million for teams wishing to enter the FFML league.

Skema Esports Free Fire Masters League.
Free Fire Masters League Esports Scheme.

However, there is a slight difference between the closed system applied in the Free Fire Masters League and the Franchise League applied by Mobile Legends: Bang-Bang in the MPL league. The franchise model in the MPL league stipulates 8 teams as permanent participants, without any promotion or relegation systems.

On the other hand, the buy-in slot for the Free Fire Masters League is only valid for a single season. As the league continued to develop into its third season, it introduced FFML Division 2 and included a promotion-relegation system. As a result, FFML Division 2 participants who achieved outstanding performances will have an opportunity to move up to division 1 and vice versa (Division 1 team that performs poorly will get relegated in the following season). Therefore, the FFML league itself cannot be said to be a purely franchise league.

In the interview I conducted, Christian Wihananto mentions that he prefers to call the FFML league a buy-in model. Furthermore, the Free Fire esports scene also includes an open system through the Free Fire Indonesia Masters (FFIM) competition. The FFIM competition brings together the best 12 teams in Indonesia. The 12 teams gathered consist of 6 teams from the Free Fire Masters League and 6 teams from the Play-Ins round.

 

Skema Esports Free Fire Indonesia Masters bagi peserta umum.
Free Fire Indonesia Masters esports scheme for general participants

What about the Free Fire esports business ecosystem? The Free Fire esports ecosystem business model is, in many ways, similar to PUBG Mobile and Mobile Legends: Bang-Bang. The similarities can be observed from the huge role that the developers (Garena Indonesia) play in the Free Fire esports business. FML, FFIM, and even amateur-level tournaments – such as FFRC and FF The One – are all organized by Garena Indonesia themselves.

However, the differences can be seen in the student-level tournaments in the PUBG Mobile and Free Fire scene. In the PUBG Mobile ecosystem, student-level competitions are held by Tencent Games, the game developer, just like all the pro-level tournaments. The tournament is called the PUBG Mobile Campus Championship or PMCC.

Meanwhile, on the other hand, most student tournaments in the Free Fire ecosystem are organized by third parties, some of which even involve government agencies. Some examples are the Dunia Games Campus League (2019) and the IEL University Series (2020).

Furthermore, PUBG Mobile organizes tournaments at the college or the university level whereas Free Fire more often hosts more tournaments at the school level (below university). Apart from the two examples I mentioned above, Free Fire also organized the Student Cup (for high school students) and the Menpora Esports Cup (open to high school and university students). Just like before, these two tournaments are held by third-party organizations.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Image Source: Piala Menpora Esports Official Website.

I will continue the discussion of the difference between these two games in the next sub-topic. Now let’s take a look at the global presence of the two games in the esports world.

In 2020, both games held online international tournaments. PUBG Mobile held the PUBG Mobile World League from July to August, while Free Fire held the FF Continental Series in November.

The two tournaments equally divide the participants by region to solve several technical problems (such as ping differential) that will occur. PMWL divides the tournament into two regions: East Region (Asia) and West Region (western region). FFCS divides its tournament into three different regions: EMEA (Middle East), Americas, and Asia (SEA).

Even though Free Fire has more competition regions, PUBG Mobile has more country representatives. Quoting from Liquidpedia’s data, there are 31 countries represented through players who are members of the PWML: West Region and 13 countries for the PMWL East Region. Therefore, a total of 44 countries were represented in the PMWL event.

Quoting again from Liquipedia, the number of countries represented in FFCS is much smaller. It is recorded that there are 12 countries represented through the players who are participants in FFCS: Americas, 13 countries in FFCS: EMEA, and 7 countries in FFCS Asia. Therefore, only a total of 32 countries were represented in the FFCS event.

We can also measure the global presence of the two games by counting the number of languages they broadcast in. According to data from the pro features of Esports Charts, PMWL broadcasts in 16 different local languages (excluding English), PMWL East broadcasts in 9 languages, while PMWL West broadcasts in 7 languages.

With regards to Free Fire, FFCS broadcasts in 10 different local languages (excluding English) from the 3 competitive regions (2 languages in FFCS: EMEA, 6 languages in FFCS: Asia, and 2 languages in FFCS: Americas.

Sumber: Esports Charts
FFCS: Asia Viewership Data. Source: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
PMWL: East Region viewership data. Source: Esports Charts

What about international viewership? To investigate this matter, we can use data from Esports Charts. According to the data, PUBG Mobile is superior compared to Free Fire in terms of views. However, both their largest fan base is located in Asia. As proof, PMWL: East only managed to record around 1.1 million peak viewers while FFCS: Asia recorded over 2.5 million peak viewers. You can observe the data in detail in the figures above.

 

Player Growth and Revenue Generated by PUBG Mobile and Free Fire

As we mentioned previously, the two games target two different player segments. We can see the evidence on their respective Google Play pages. We can see that PUBG Mobile is rated 16+ while Free Fire only has a minimum age requirement of 12. Therefore, it is not surprising why Free Fire provides much simpler gameplay equipped with colorful and futuristic visual aspects.

Despite targeting different markets, the two games are still undergoing stiff competition. Let’s first observe the player count statistics. Quoting from Invenglobal, which refers to the Business of Apps, PUBG Mobile reached 65 million peak Daily Active Users in 2020.

Sumber: Google Play
Free Fire has a rating of 12+. Source: Google Play
Sumber: Google Play
PUBG Mobile has a rating 16+. Source: Google Play

For Free Fire, we can refer to their SEA’s (Garena’s parent company) financial statements published in August 2020. In the report, it was stated that Free Fire had reached 100 million peak Daily Active Users. The report also mentioned that Free Fire made it to the Top Grossing list in Latin America and Southeast Asia. Furthermore, Free Fire was claimed to be the 3rd most downloaded mobile games globally.

Let’s move the discussion to the revenue generated by each of these two games. Even though PUBG Mobile has a smaller player base, the game developed by Lightspeed & Quantum turns out to be more profitable than Free Fire.

Sumber Data - Sensor Tower.
Source: Sensor Tower.

In December 2020, Sensor Tower reported that PUBG Mobile managed to generate a revenue of US $ 2.6 billion. This figure combines the profit acquired from the global PUBG Mobile game version and the local Chinese version, Peacekeeper Elite. With this total revenue, PUBG Mobile cemented themselves as the highest grossing mobile game, superseding Honor of Kings (Chinese version of AOV), Pokemon GO, and 3 other casual games (Coin Master, Roblox, and Monster Strike).

On the other hand, Free Fire managed to accumulate a revenue of US$ 2.13 billion, according to SuperData. As a result, Free Fire claims the title of the highest grossing free-to-play game in 2020, along with Pokemon GO, Roblox, League of Legends, and so on.

From these statistics, we can conclude that Free Fire and PUBG Mobile have their own respective successes in the Battle Royale genre. Free Fire managed to attract many players through the more casual gameplay and colorful cosmetics. On the flip side, although PUBG Mobile has a smaller player count, they are more likely to attract users that will perform in-app purchases due to the more mature segmentation of players.

With the various successes they have had in 2020, what will be the future of both of these games?

 

The Future of Battle Royale and the Development of PUBG Mobile and Free Fire

Unfortunately, PUBG Mobile might not have the most promising future with regards to its development as the game has experienced a lot of controversies both internationally and locally.

PUBG Mobile is often viewed as a game that inflicts “negative impact” upon its players. The game was blocked in Pakistan for this very reason. It is also blocked in India, though it was for another reason. In the local spectrum, PUBG Mobile has also been labeled haram by the Aceh Ulama Consultative Assembly since last June 2019.

According to Kompas.com, PUBG Mobile got blocked because it was inducing addictive behavior. This exact reasoning is also brought up in the previously mentioned international incidents such as Pakistan. Quoting India.com, the community considered PUBG Mobile to be addictive and had the potential to harm children’s physical and psychological health.

The addiction argument is often used by the community when discussing the impacts of online games. However, game addiction is actually not a very viable argument. You can see why in this Hybrid.co.id article.

Apart from addiction, I feel that the militaristic theme might also be another reason behind the paranoia caused by PUBG Mobile. If you play PUBG Mobile without the skins or cosmetics, the game actually presents you with a somewhat dark, war-filled, and violent world.

PUBG Mobile is also ironically blocked in China, where the game developer company is based, due to the violent content they display. As a result, PUBG Mobile rebranded to Peacekeeper Elite in China and minimized the disturbing content in the game.

Tencent – the game publisher – and Lightspeed & Quantum – as the game developer – may also be aware that their violent content might be the cause of the controversies they received. Therefore, along with its development, PUBG Mobile is also trying to add more color to the PUBG Mobile game. They achieve this by introducing various futuristic-themed cosmetics, which you can see in the recently released Royale Pass Season 18.

pubgm royale pass 18

What about Free Fire? Even though they are both Battle Royales, Free Fire tends to have less controversies. In terms of content, the Free Fire game looks realistic during its release. But over time, Free Fire also continues to develop its content towards the futuristic theme.

Free Fire had collaborated with the Money Heist series from Netflix, soccer player Christiano Ronaldo in presenting the character Chronos, and even the Attack on Titan anime to feature Eren Jaeger into the game. Free Fire had also been blocked by the Indian government, but it was due to the boycott of products made by China as there were some conflict between the two countries.

As a final discussion, what will be the fate of the Battle Royale in the esports realm? Even though the Battle Royale genre did receive criticism as a competitive esports, the rapid development of Free Fire and PUBG Mobile competitions has actually become a proof of some market interest in the genre.

However, along with its development, both PUBG Mobile and Free Fire often make format changes. The current competitive esports state of these two games is far from perfect, considering that they are a relatively new genre. Many changes must be made to make the scene highly competitive.

In the case of PUBG Mobile, for example, there was a discussion on the possibility of using First-Person mode for esports matches. Furthermore, using the First-Person perspective is only one of the aspects that can be improved. There are still other aspects that can also be discussed, such as the tournament formats or for fair point distributions in both games.

Then what about the Battle Royale genre itself? Will the genre die out in the near future?

To answer this matter, I will refer to my discussion about the causality between free games and esports. In the article, we can observe that a healthy esports ecosystem can prolong the lifespan of a particular game. As long as the esports exist in the genre, new players will continue to come, either because they aspire to be a pro or simply attracted from watching the game.

The Battle Royale genre already has the perfect high-action gameplay with a fitting duration. With this notion in mind, we can safely predict that the Battle Royale esports ecosystem is not going anywhere any time soon.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Menilik Potensi Ladang Bisnis Platform Turnamen Esports

Di tengah perkembangan esports, kehadiran kompetisi tidak hanya dibutuhkan pemain profesional, tetapi juga para pemain amatir yang baru ingin terjun mencicipi dunia esports. Platform turnamen esports mencoba hadir mengisi ruang kosong tersebut, yaitu turnamen bagi pemain-pemain amatir.

Pertanyaannya, apa benar kehadiran platform turnamen esports jadi angin segar bagi pemain amatir? Bagaimana perkembangan bisnis platform turnamen esports sendiri? Semua hal tersebut akan kita kupas satu per satu. Namun sebelum menuju pembahasan, mari saya antar lebih dulu agar mengenal apa yang dimaksud dengan platform turnamen esports.

 

Platform Turnamen Esports – Berkembang Didorong Teknologi

Sebelum menuju pembahasan, mungkin ada baiknya apabila kita menyamakan persepsi terlebih dahulu soal apa itu platform turnamen esports. Sebenarnya tidak ada seseorang atau suatu badan yang meresmikan definisi platform turnamen esports. Maka dari itu, di sini saya mencoba memberi definisi platform turnamen esports sebagai situs atau aplikasi yang digunakan sebagai wadah berkompetisi oleh para pemain. Dalam situs atau aplikasi tersebut, pemain biasanya bisa mendaftar, bertanding, atau membuat turnamennya sendiri.

Sebagai salah satu contoh salah satu platform esports yang paling berkembang mungkin adalah FACEIT. Aplikasi FACEIT mungkin tidak segitu dikenal di Indonesia, namun bisa dibilang sebagai salah satu aplikasi platform turnamen esports wajib bagi pemain kompetitif CS:GO terutama yang berada di wilayah barat (Amerika Serikat dan Eropa).

Namun memang FACEIT bukan sekadar website biasa. FACEIT tidak hanya menyediakan turnamen, tetapi juga menyediakan server game untuk pemain CS:GO berkompetisi. Ya benar, Anda tidak salah baca, server game sendiri sebagai wadah berkompetisi CS:GO.

Platform Turnamen Esports
Sumber Gambar – Tangkapan Layar

Game CS:GO memang memperkenankan pemainnya untuk membuat dedicated server masing-masing. Karena hal tersebut FACEIT jadi bisa melakukan apa yang jadi salah satu jasa andalannya sebagai sebuah platform turnamen esports. Apalagi FACEIT juga menawarkan beberapa kelebihan dari aspek kompetitif, ketimbang server matchmaking CS:GO. Kelebihan yang mereka tawarkan yaitu server dengan 128 tick-rate yang meminimalisir delay atau lag dan juga sistem anti-cheat sendiri yang dianggap lebih mutakhir oleh komunitas.

Karena hal tersebut, dalam perkembangannya, FACEIT pun menjadi wadah berkompetisi utama bagi para pemain CS:GO. Bahkan, rank pemain di FACEIT tergolong lebih diakui ketimbang rank di game CS:GO itu sendiri. FACEIT bahkan menjadi server pilihan dalam menyelenggarakan turnamen-turnamen CS:GO profesional. Karenanya FACEIT sendiri pun memiliki turnamen CS:GO mereka sendiri yang sudah cukup besar. Salah satunya adalah seperti FACEIT Esports Championship Series Season 8.

Dalam perkembangannya, FACEIT pun bahkan tidak hanya tersedia untuk game CS:GO saja, tetapi juga termasuk game seperti PUBG (PC), Dota 2, ataupun game mobile seperti Brawl Stars dan Clash Royale.

FACEIT mungkin bisa dibilang sebagai contoh platform turnamen esports yang paling ideal. FACEIT saya katakan ideal karena platform tersebut benar-benar mencoba menjadi solusi bagi pemain CS:GO yang sebelumnya kesulitan berkompetisi karena kualitas server Valve yang tergolong belum “esports-ready”.

Selain dari FACEIT ada juga contoh lain dari platform turnamen esports yang fungsinya tergolong lebih sederhana. Challonge.com misalnya, yang fungsinya sederhana dan jelas, yaitu sebagai bracket generator. Walaupun fungsinya tergolong sederhana namun Challonge juga menjadi salah satu platform esports favorit karena fungsinya penting dan dibutuhkan oleh para penyelenggara turnamen.

Dalam praktiknya, walau kerap digunakan penyelenggara turnamen, Challonge malah jarang digunakan oleh pemain. Pemain bisa mendaftar menggunakan medium lain. Setelah mendaftar, penyelenggara biasanya akan membuat sebuah halaman Challonge yang berisi data-data bracket, tangga, serta jam pertandingan. Beberapa penyelenggara turnamen esports lokal di Indonesia juga menggunakan Challonge sebagai sarana membuat dan mengatur bracket kompetisi, bahkan termasuk turnamen sekelas Indonesia Games Championship.

Platform Turnamen Esports
Sumber Gambar – Tangkapan Layar

Lalu selain itu ada juga website seperti Battlefy.com yang fungsinya tergolong masih agak mirip-mirip dengan Challonge. Namun demikian Battlefy mencoba memusatkan segala aktivitasnya di laman website mereka. Pemain bisa langsung mendaftar turnamen di website Battlefy.com tanpa harus repot-repot menggunakan medium lain untuk mendaftar turnamen.

Dalam praktiknya Battlefy masih melibatkan API dari pihak developer game, bahkan juga terlihat bekerja sama dengan developer terkait. Salah satu contohnya terlihat dari turnamen Hearthstone Masters Qualifiers yang menggunakan platform Battlefy sebagai wadah pendaftaran. Pendaftarnya juga bisa langung menyambungkan akun Battle.net mereka ke laman Battlefy untuk mempermudah pendaftaran.

Beberapa contoh di atas adalah platform turnamen esports yang berbasis di luar negeri. Lalu bagaimana dengan di Indonesia sendiri?

 

Platform turnamen esports di Indonesia

Seiring dengan berkembangnya esports di Indonesia, peluang bisnis platform turnamen esports pun tak terlewat digarap oleh para pelaku bisnisnya. Berbarengan dengan perkembangan ekosistem esports, platform turnamen di Indonesia kini sudah semakin menjamur. Beberapa contoh platform turnamen esports lokal adalah seperti Yamisok.com, Metaco.gg, GGWP.id, duniagames.co.id, ESPL.gg, padiplay.com, dan lain sebagainya.

Apabila Anda mungkin sadar, tiga dari total enam platform turnamen esports yang saya sebut sebenarnya lebih dulu dikenal sebagai media berita esports. Tiga platform tersebut adalah Metaco.gg, GGWP.id, dan duniagames.co.id. Pada sisi lain, Yamisok.com sebetulnya juga punya media esports yang tersaji pada domain serta branding yang berbeda yaitu Esports.id.

Dari semua platform turnamen esports yang saya sebut barusan, Yamisok.com bisa dibilang sebagai salah satu yang paling tua usianya. Mengutip dari laman LinkedIn milik Yamisok, disebutkan bahwa Yamisok pertama kali berdiri pada tahun 2017 lalu. Sementara platform lainnnya, sejauh yang saya ingat, baru mulai muncul di sekitar tahun pertengahan 2018 dan setelahnya.

Mencoba menggali lebih jauh seputar perkembangan bisnis platform esports dan penggunaannya di kalangan gamers, saya pun mencoba mewawancara beberapa pihak. Pihak tersebut adalah pelaku bisnis platform turnamen esports, tim esports profesional, dan gamers kompetitif secara umum.

Dari pihak pelaku bisnis platform turnamen esports, saya telah mewawancara ESPL.gg dan Metaco.gg. Lalu sebagai perwakilan tim esports profesional ada Aerowolf Pro Team yang diwakili Wiyanto Yashin atau yang lebih dikenal dengan panggilan “Shin” selaku Head of Esports Aerowolf Pro Team. Lalu untuk mewakili gamers kompetitif secara umum, saya mencoba melakukan survey kecil-kecilan menggunakan Google Form yang disebarkan kepada komunitas gamers.

Pertama-tama dari sisi pelaku bisnis esports, ada Iskandar Ramli selaku CEO dari Metaco.gg. Seperti saya sebut sebelumnya, Metaco.gg pada awalnya berkembang sebagai media esports. Pada laman website-nya, Anda dapat melihat berbagai berita seputar esports beserta berbagai tips dan trik seputar game-game kompetitif. Seiring waktu, Metaco.gg pun mulai menghadirkan turnamen-turnamen esports pada tingkat komunitas sampai akhirnya berkembang menjadi platform esports tersendiri.

Melihat perkembangannya tersebut, hal yang saya cukup penasaran mungkin adalah “kenapa harus platform turnamen esports“. Pertanyaan tersebut muncul juga karena mengingat kehadiran Metaco.gg sebagai platform turnamen esports terbilang cukup baru, yaitu sekitar tahun 2020 lalu.

Platform Turnamen Esports
Iskandar Ramli CEO Metaco.gg

Menjawab hal tersebut, Iskandar Ramli menjawab. “Ide besar platform kami sebenarnya adalah untuk membuat masyarakat lebih tertarik untuk bergabung ke dalam dunia gaming, yang otomatis meningkatkan minat ke esports. Karenanya fokus utama platform Metaco adalah membuat komunitas berisi gamer yang suka bermain dengan sesama gamer. Kami juga yakin bahwa Anda (para gamers) tidak harus jadi pemain kompetitif tingkat tinggi atau mengikuti turnamen prestisius untuk dapat mengikuti dan menikmati video game bersama.”

Dari penjelasan tersebut, kurang dan lebihnya bisa saya tafsirkan bahwa Metaco di sini berusaha menyasar kalangan pemain amatir yang punya semangat kompetisi. Hal tersebut juga ditegaskan kembali saat saya mempertanyakan soal solusi yang ditawarkan Metaco melalui platform turnamen esports-nya.

“Fokus kami adalah membuat lingkungan bermain yang seru dan menghibur sehingga bisa diikuti oleh semua jenis pemain. Perlahan kami mencoba menghilangkan pandangan bahwa esports dan gaming ada dua hal yang berbeda. Kami percaya bahwa game apapun bisa menjadi bagian dari esports dan esports merupakan bagian dari gaming.” Iskandar Ramli menjelaskan.

Menariknya, apa yang jadi visi bagi Metaco ternyata kurang dan lebihnya serupa dengan ESPL.gg. Saya juga bertanya kepada perwakilan ESPL.gg terkait dua pertanyaan tersebut.

Perwakilan ESPL.gg pun menjawab terkait alasannya membangun platform turnamen esports. “ESPL fokus pada level amatir yang memiliki basis pemain leibh besar. Seiring berkembangnya industri esports, maka brand akan memerlukan akses ke market esports amatir.” Jawab sang CEO, Michael Broda.

Lebih lanjut soal solusi, perwakilan ESPL.gg juga mengatakan. “Seperti yang sebelumnya disebutkan, misi ESPL adalah memberi kesempatan kepada pemain amatir untuk menjadi profesional. Maka dari itu ESPL hadir agar pemain tersebut cukup satu kali daftar saja di laman ESPL, maka ia sudah bisa mengikuti berbagai turnamen tanpa harus repot mendaftar ulang lagi melalui medium lainnya. Semua proses pertandingan pun kami sajikan di website, seperti bracket dan informasi lainnya. Selain dari itu, ESPL.gg juga memberikan kesempatan bagi pemain Indonesia bertanding melawan pemain dari negara lain.”

Platform Turnamen Esports
Michael Broda CEO ESPL.gg

Perkara solusi yang ditawarkan ini sebenarnya memang jadi penting bagi perkembangan bisnis platform turnamen esports. Kenapa? Menurut asumsi saya, tanpa solusi yang jelas, kehadiran platform turnamen esports justru bisa jadi malah cuma memberi satu langkah tambahan (yang bisa jadi mempersulit) dibanding mendaftar turnamen esports online pada umumnya.

Pada umumnya, di Indonesia, mendaftar turnamen esports online cukup melihat informasi dari Instagram misalnya, lalu daftar lewat aplikasi chat seperti Whatsapp, mengikuti technical meeting yang juga bisa dilakukan via aplikasi chat, lalu bertanding. Cara umum tersebut tergolong lebih mudah, apalagi juga mengingat aplikasi media sosial dan aplikasi chat sudah jadi bagian dari keseharian kita.

Tanpa solusi yang jelas, seperti yang saya bilang tadi, platform turnamen esports malah bisa jadi cuma menambah kerumitan proses mendaftar turnamen esports. Pemain jadi harus membuka dan mendaftarkan akun di website yang bisa jadi di luar dari kebiasaan mereka sehari-hari untuk ikut turnamen. Belum lagi semisal platform turnamen esports terkait tetap melempar media komunikasinya melalui aplikasi chat yang umum (Whatsapp, Line, Discord misalnya), sehingga malah membuat kehadiran platform tidak efektif dari sisi pengguna.

FACEIT lagi-lagi saya jadikan contoh. Sebagai platform turnamen esports ideal. Kehadiran FACEIT sebagai platform turnamen dan platform matchmaking esports menawarkan solusi jelas berupa server yang lebih baik dan teknologi anti-cheat yang lebih baik. Hal tersebut membuat orang jadi punya alasan yang jelas untuk menggunakan platform tersebut.

Shin dari Aerowolf ternyata juga punya pendapat yang serupa seperti saya. Saya menanyakan kepada Shin soal bagaimana tim esports memanfaatkan platform esports yang ada.

Divisi Wild Rift dari Aerowolf Pro Team.

Shin menjawab, “kalau ditanya apakah tim esports profesional seperti Aerowolf pakai platform turnamen esports atau tidak? Jawabannya tidak. Jujur kalau soal penyebaran informasi turnamen, kami lebih sering mendapatkannya dari media sosial Instagram atau Facebook. Ditambah, media sosial juga tergolong sudah menjadi daily habit dan basic needs di masa kini, sehingga jadi lebih praktis. Biasanya kami membuka platform turnamen esports hanya apabila tim kami harus registrasi melalui platform tersebut sebagai persyaratan.”

Tapi memang, tim esports profesional seperti Aerowolf mungkin bisa dibilang bukan target market dari platform turnamen seperti Metaco.gg atau ESPL.gg. Shin juga setelahnya menjelaskan kenapa tim esports profesional seperti Aerowolf tidak menggunakan platform turnamen esports, sembari menjelaskan salah satu divisi yang masih mengikuti turnamen dari suatu platform turnamen esports.

“Kalau ditanya divisi apa yang masih pakai platform online turnamen esports, saat ini mungkin cuma Wild Rift. Kenapa Wild Rift? Karena skena esport-nya tergolong baru di Indonesia. Ditambah, terakhir kali ada turnamen juga diadakan oleh platform luar negeri seperti ESL. Kalau divisi lainnya, lebih ke arah karena tim-tim kami sudah tergolong sebagai tim yang diakui. Karenanya divisi-divisi tersebut biasanya hanya mengikuti turnamen official atau juga mendapat undangan langsung ke turnamen tertentu.” Jawab Shin.

Setelah melihat pendapat Shin, lalu bagaimana dengan pendapat dari komunitas sendiri? Apakah kehadiran platform turnamen esports benar membantu mereka atau justru malah menyulitkan? Dari survey kecil yang kami lakukan, kami berhasil mendapatkan 15 responden yang menjawab survey tersebut.

Survey Platform Turnamen Esports
Demografi usia pengisi survey. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id
Survey Platform Turnamen Esports
Demografi pendidikan dan game yang dimainkan pengisi survey. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id

Kami memiliki dua pertanyaan seputar pola penggunaan platform turnamen esports, yaitu intensitas mengikuti turnamen esports secara online dan intensitas menggunakan platform turnamen esports unntuk mendaftar pertandingan yang digambarkan melalui skala likert (1-5).

Menariknya, terkait pertanyaan pertama, ada 10 orang yang mengisi di angka 3-5 (sering hingga sangat sering) dalam hal intensitas mengikuti turnamen esports. Namun demikian, hanya 7 orang yang mengisi di angka 3-5 dalam hal intensitas menggunakan platform turnamen esports.

8 orang sisanya mengisi di angka 1-2 (Jarang hingga jarang sekali) dalam hal intensitas menggunakan platform turnamen esports. Hal menarik lainnya lagi adalah, ternyata ada sebanyak 11 orang yang mengisi di angka 3-5 (memudahkan hingga sangat memudahkan) dalam hal tingkat kemudahan menggunakan platform turnamen esports.

Survey Platform Turnamen Esports
Intensitas mengikut turnamen esports secara online dari pengisi survey. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id
Survey Platform Turnamen Esports
Intentsitas penggunaan platform turnamen esports dari pengisi survey. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id
Survey Platform Turnamen Esports
Tingkat kemudahan menggunakan platform turnamen esports dari pengisi survey. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id

Dari survey kecil tersebut, kita bisa melihat gambaran kecil bagaimana platform turnamen esports tergolong belum menjadi sebuah kebiasaan utama para gamer kompetitif. Walau belum jadi sebuah kebiasasan, terlihat juga bahwa kebanyakan pemain tersebut sebenarnya tidak enggan juga untuk mencoba. Beberapa yang mencoba bahkan merasa bahwa platform turnamen esports cukup memudahkan.

Karenanya jadi tidak heran apabila jumlah pengguna platform turnamen esports juga tergolong berkembang perlahan.

Perwakilan ESPL.gg menceritakan bahwa sudah ada sekitar 150.000 pemain terdaftar dari Indonesia. Patut diketahui juga bahwa ESPL.gg adalah platform turnamen esports yang hadir untuk beberapa negara di Amerika Latin (Kolombia, Ekuador, dll), Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya), serta Asia Selatan (India,Bangladesh dan sekitarnya). ESPL.gg juga menjelaskan jumlah pendaftar baru harian, yaitu sekitar 200 orang pemain baru yang mendaftar setiap harinya.

Lalu dari sisi Metaco.gg, Iskandar Ramli juga menceritakan bahwa saat ini mereka sudah menjalankan 100 turnamen untuk 13 game yang berbeda. Dari turnamen-turnamen tersebut, total ada sekitar 7000 pemain yang mendaftar untuk ikut. “Saat ini kami sudah menyentuh mayoritas game mobile yang populer di Indonesia dan kami ingin mulai menyebarkan jangkauan ke judul-judul game yang tergolong niche. Kami selalu berusaha meningkatkan jumlah turnamen yang kami adakan setiap bulannya.”

Tetapi memang, di masa ketika esports sedang gencar gaungnya, peminat kompetisi pun mungkin secara otomatis meningkat juga. Pada artikel saya soal alasan orang menonton esports juga dijelaskan, bahwa salah satu alasan menonton esports adalah karena memang orang tersebut juga ikut kompetisinya atau mencoba sarana mencari ilmu agar sang penonton bisa bermain lebih baik. Karenanya, turnamen amatir menjadi krusial untuk pemain, entah yang tujuannya memang serius jadi pemain profesional, sekadar menikmati keseruan kompetisi, atau mungkin berburu uang hadiah.

Maka dari itu mungkin jadi tidak heran juga kalau platform turnamen esports ternyata juga berhasil memenuhi permintaan atas turnamen-turnamen amatir yang punya hadiah cukup besar di kelasnya dan bisa dipastikan keamanannya. Apalagi kedua platform turnamen esports yang jadi narasumber memang juga menyelenggarakan turnamennya sendiri yaitu MAX Series pada Metaco.gg dan ESPL Series pada ESPL.gg.

Hal tersebut juga cukup tergambar dari jawaban terhadap alasan kenapa menggunakan platform turnamen esports. Ada yang mengatakan karena aspek keamanannya, gara-gara turnamen esports yang diadakan oleh platform dianggap turnamen yang hadiahnya sudah jelas dan tidak akan dibawa kabur.

Survey Platform Turnamen Esports
Beberapa pendapat pengisi survey seputar alasan menggunakan platform turnamen esports. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id.

Ada beberapa yang mengatakan alasannya adalah karena platform turnamen esports memang wajib digunakan. Jawaban tersebut menjadi sedikit gambaran bagaimana komunitas gamers butuh turnamen amatir dan platform turnamen esports hadir memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga mereka secara tidak langsung “terpaksa” menggunakan platform demi dapat ikut turnamen amatir. Apalagi ada juga jawaban yang mengatakan bahwa turnamen dari platform esports biasanya punya hadiah besar selain dari turnamen official.

Selain itu, kebanyakan dari para penggunanya juga merasa bahwa platform turnamen esports memang sudah cukup memudahkan mereka untuk ikut turnamen. Ada yang menjawab mudah mendaftarnya, mudah diakses, ada juga yang mengatakan bahwa hanya registrasi awalnya saja yang rumit namun akan mudah untuk ikut turnamen-turnamen berikutnya di platform yang sama.

Dari sisi platform yang paling banyak digunakan, Metaco.gg kebetulan juga menjadi salah satu platform yang paling banyak dipilih, dengan GGWP.id sebagai platform kedua terbanyak. Tapi memang kebanyakan pengisi survey kami adalah pemain game VALORANT dan Wild Rift. Dua platform tersebut tergolong sedang gencar mengadakan turnamen di dua game tersebut, Metaco.gg gencar dari sisi VALORANT lewat gelaran MAX VAALORANT Minor Series dan GGWP.id lewat Wyvern Wild Rift Series.

Platform Turnamen Esports
Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id
Platform Turnamen Esports
Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id
Survey Platform Turnamen Esports
Beberapa pendapat pengisi survey soal fitur yang perlu ditambahkan di platform turnamen esports. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id
Survey Platform Turnamen Esports
Beberarpa pendapat pengisi survey soal fitur yang membuat platform turnamen esports jadi kurang nyaman digunakan. Sumber Gambar – Riset Mandiri Hybrid.co.id

Lalu dari sisi feedback, kebanyakan jawaban tergolong sama. Walaupun banyak yang merasa bahwa pendaftarannya cukup mudah, namun banyak yang merasa ketentuan dan peraturan yang kadang sulit dimengerti.

Selain itu ada juga yang memberi pendapat dari sisi user-journey. Ada yang merasa bahwa keharusan mendaftar akun untuk masing-masing pemain (biasanya 5) saat mendaftarkan tim ke dalam turnamen terlalu merepotkan. Lebih lengkapnya, Anda bisa melihat rentetan gambar di atas yang berisi pendapat-pendapat pengisi survey terhadap platform turnamen esports.

Setelah kita melihat kondisinya kini, kira-kira bagaimana masa depan dari platform turnamen esports sendiri? Mari kita berlanjut ke sub-topik selanjutnya soal tantangan dan peluang.

 

Tantangan dan Peluang Platform Turnamen Esports

Pertanyaan soal tantangan dan peluang menjadi pertanyaan terakhir di dalam daftar pertanyaan yang saya berikan kepada dua narasumber saya, yaitu Iskandar Ramli selaku CEO Metaco.gg dan perwakilan dari ESPL.gg.

Dalam membicarakan tantangan, Iskandar Ramli bercerita bahwa salah satunya adalah proses menicptakan rasa kepercayaan kepada pemain dan pengguna baru. “Kami selalu bisa menyediakan inisiatif, produk, dan aktivitas baru untuk klien, pemain, dan pengguna yang sudah ada. Tetapi bagi pemain dan pengguna baru, mempercayai produk dan aktivitas kami bukanlah hal yang mudah. Saya rasa hal tersebut adalah penghambat perkembangan Metaco saat ini.”

Platform Turnamen Esports
Tampak depan laman turnamen metaco.gg. Sumber Gambar – Tangkapan Gambar

ESPL.gg juga mengakui permasalahan yang serupa, soal market platform turnamen yang memang masih tergolong muda belia. “Untuk saat ini, market platform turnamen esports tergolong masih ada di tahap earlydevelopment, lalu value propopsition kami terhadap brand juga masih perlu pembuktian, dan juga beberapa judul game yang memang masih belum sebegitu populer.”

Selain dari itu, saya juga penasaran dan menanyakan model monetisasi dari platform turnamen esports tersebut. Metaco.gg dan ESPL.gg mengakui bahwa mereka masih mengandalkan B2B (Business to Business) sebagai arus pemasukan utama dari turnamen-turnamen tersebut.

Iskandar Ramli menjawab, “dalam hal monetisasi, ide dan model kami masih cukup standar. Menurunnya pasar film, TV, dan radio membuat banyak brand mencari medium beriklan alternatif. Saya yakin gaming dan esports akan menjadi entitas penting di masa depan nantinya. Lalu kalau dari sisi B2C (Business to Consumer), saat ini kami belum menekankannya secara signifikan. Untuk saat ini, kami ingin membuat ekosistem yang solid lebih dulu dan fokus pada B2B.”

ESPL.gg juga memiliki jawaban yang kurang lebih serupa. Ditambah lagi, ESPL.gg juga tercatat sebagai partner dari beberapa title game besar seperti Riot Games (Wild Rift dan VALORANT), Moonton (MLBB), Tencent (PUBG Mobile), Garena (Free Fire) dan sebagainya.

“Kebetulan karena kami merupakan official partner dari para publilsher, kami jadi dilarang membuat turnamen berbayar. Makanya kalau bicara monetisasi, biasanya kami lakukan melalui sponsorship, branded tournament, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan brand selaku sponsor.” tulis perwakilan dari ESPL.gg.

Platform Turnamen Esports
Tampak deman laman espl.gg. Sumber Gambar – Tangkapan Gambar

Terakhir adalah soal potensi dan peluang. Iskandar Ramli selaku CEO Metaco.gg masih percaya dengan potensi 100 juta gamers yang dimiliki Indonesia. “Saya merasa potensi besar yang ada di esports saat ini adalah menciptakan minat ke pemain baru. Menurut berbagai sumber, tahun 2021 ini ada sekitar 100 juta pemain game di Indonesia dan memicu minat esports ke 100 juta orang tersebut akan menjadi tugas yang penting bagi kita semua.” tuturnya.

Lalu dari sisi ESPL.gg, Michael Broda menyampaikan melalui perwakilan ESPL bahwa ada beberapa potensi monetisasi bagi masa depan platform turnamen esports. Beberapa potensi yang disebutkan seperti OTT Channel (seperti YouTube, Twitch, dsb), streaming, dan subscription model. Michael Broda juga menambahkan bahwa perkembangan platform turnamen esports sendiri masih membuka beberapa ruang inovasi. Ruang inovasi yang terbuka menurutnya sendiri adalah seperti pemanfaatan AI, fitur team finders, coaching services, dan marketplatce.

Melihat penjelasan para pelaku bisnis esports dan hasil survey di atas, bisa disimpulkan bahwa platform turrnamen esports memang punya potensi berkembang di masa depan. Apalagi komersialisasi liga esports tingkat profesional tergolong sudah cukup stabil sekarang. Jadi tidak heran apabila kebutuhan turnamen di tingkat amatir pun jadi semakin meningkat.

Namun demikian, saya sendiri cukup setuju seperti apa yang dikatakan oleh Michael Broda dan Iskandar Ramli, bahwa market platform turnamen esports tergolong masih dalam tahap early development. Para penggunanya harus diperkenalkan dengan kemudahan yang bisa dinikmati dengan menggunakan platform turnamen esports.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi bagi Anda semua, entah Anda yang sedang ingin membangun bisnis esports atau sekadar ingin tahu perkembangan industri esports.

Sumber Gambar Utama – Dribble Mockup By Ono

Bagaimana Etnis dan Budaya Memengaruhi Kemampuan Bermain Game Esports

Pemain esports profesional, Lee “Fearless” Eui-seok menceritakan pengalamannya terkait rasisme yang dia alami selama dia tinggal di Amerika Serikat melalui sebuah video singkat. Lee merupakan pemain Overwatch League asal Korea Selatan. Dia sempat bermain untuk Shanghai Dragons sebelum dia pindah ke Dallas Fuel yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat.

“Tinggal di sini sebagai orang Asia itu menakutkan,” kata Lee, seperti dikutip dari The Washington Post. “Banyak orang yang sengaja mencari masalah dengan kami. Setiap mereka melihat kami, mereka selalu mendatangi kami. Bahkan ada orang yang batuk ke arah kami. Kali ini adalah pertama kalinya saya merasakan rasisme. Dan rasisme di sini… cukup parah. Mereka mencoba menakut-nakuti kami — banyak dari mereka mencoba untuk membuat kami takut.”

Padahal di AS, ada banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Korea Selatan. Menurut Yahoo, lebih dari setengah pemain di Overwatch League berasal dari Korea Selatan. Selain Korea Selatan, Tiongkok menjadi negara Asia lain yang banyak menelurkan pemain esports berbakat.

 

Kenapa Banyak Gamer Profesional yang Berasal dari Asia?

Jumlah gamers profesional yang muncul di satu negara tergantung pada seberapa besar komunitas gamers di negara tersebut. Semakin banyak jumlah gamers di sebuah negara, semakin besar pula kesempatan negara itu punya pemain-pemain esports berbakat. Begitu juga dengan Korea Selatan dan Tiongkok. Mereka bukannya punya susunan genetik khusus yang membuat warganya punya Actions Per Minute (APM) yang tinggi. Hanya saja, budaya di kedua negara itu memang mendukung pertumbuhan industri gaming.

PC bang banyak ditemukan di Korea Selatan. | Sumber: Wikipedia

Korea Selatan adalah negara yang padat. Jadi, jumlah tanah lapang yang bisa digunakan oleh anak-anak dan remaja untuk bermain bola atau olahraga lainnya terbatas. Sebaliknya, warnet — yang disebut PC bangs — justru menjamur. Seperti yang disebutkan oleh InvenGlobal, di Korea Selatan, dalam satu bangunan, terkadang ada lebih dari satu PC bang. Selain itu, biaya untuk bermain di PC bang juga terjangkau. Alhasil, banyak anak-anak SMA yang bermain game untuk melepas penat.

Tak hanya itu, keterbatasan lahan juga memengaruhi pertumbuhan bisnis di Korea Selatan. Karena lahan terbatas, maka perusahaan di Korea Selatan biasanya fokus pada industri dengan teknologi canggih yang membutuhkan pekerja dengan edukasi tinggi. Jadi, jangan heran jika 70% lulusan SMA di Korea Selatan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Dan hal ini menumbuhkan budaya kompetitif di tengah masyarakat Korea Selatan, termasuk di kalangan para siswa SMA.

Tak hanya itu, nilai seorang murid bahkan bisa menentukan lingkaran pergaulannya. Pasalnya, di Korea Selatan, murid-murid yang ada di level yang sama akan cenderung berkumpul bersama. Satu hal yang unik, walau para murid membentuk kelompok pertemanan sendiri-sendiri, mereka juga saling bersaing dengan satu sama lain. Perilaku kompetitif ini juga tercermin dalam diri para gamers. Walau seorang gamer di Korea Selatan mengatakan bahwa dia tidak peduli pada rank, pada akhirnya, dia tetap akan berusaha untuk bisa menjadi juara. Dan budaya kompetitif inilah yang mengasah kemampuan para pemain esports profesional asal Korea Selatan.

Bahkan setelah menjadi atlet esports profesional sekalipun, semangat kompetitif seorang gamer Korea Selatan tak padam. Dan mereka tidak hanya bersaing dengan atlet esports dari tim lawan, tapi juga dengan rekan satu tim mereka sendiri. Para pemain esports Korea Selatan juga punya dedikasi tinggi. Jika dibandingkan dengan tim dari kawasan lain, tim Korea Selatan biasanya rela untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk berlatih. Semua faktor inilah yang menjadi alasan mengapa ada banyak pemain profesional berbakat yang datang dari Korea Selatan.

Gamers Tiongkok biasanya kompetitif. | Sumber: Asia Times

Budaya gaming di Tiongkok sedikit mirip dengan budaya gaming di Korea Selatan. Gamers di kedua negara itu sama-sama menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial dan punya semangat kompetisi yang tinggi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Quantic Foundry dan Niko Partners, gamers asal Tiongkok cenderung lebih kompetitif dari gamers asal Amerika Serikat. Dari survei yang dirilis pada awal 2019 itu, diketahui bahwa salah satu motivasi utama bagi gamers Tiongkok untuk bermain game adalah Completion, yaitu ketika mereka harus mengumpulkan poin/trofi dan menyelesaikan berbagai task/quest. Faktor lain yang memotivasi gamers Tiongkok adalah kompetisi.

Hal lain yang membedakan gamer Tiongkok dengan gamer AS adalah motivasi gamers Tiongkok cenderung tidak berubah, meski umur mereka bertambah. Di AS, semakin berumur seorang gamer, minatnya untuk bersaing dengan pemain lain juga akan turun. Sementara di Tiongkok, umur gamer tak punya dampak signifikan pada semangat mereka untuk berkompetisi, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat.

 

Bagaimana dengan Stereotipe di Indonesia?

Indonesia juga punya budaya gaming yang khas. Hal ini juga memunculkan tren tertentu di kalangan pemain esports profesional. Salah satunya, di awal era kemunculan esports pada tahun 2000-an, kebanyakan pemain esports PC adalah warga keturunan Tionghoa. Menurut pengamatan Editor in Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, yang sudah melanglang buana di dunia jurnalisme gaming selama ratusan belasan tahun, tren ini muncul karena gaya asuh orangtua dari keluarga Tionghoa yang unik. Biasanya, mereka cenderung lebih suka jika anak mereka diam di rumah. Dan untuk itu, mereka rela memfasilitasi anak mereka dengan PC atau konsol. Alhasil, anak-anak dari keluarga keturunan Tionghoa sudah familier dengan game sejak mereka kecil. Jadi, tidak heran jika ketika mereka beranjak dewasa, mereka tertarik untuk menjadi pemain profesional.

Sekarang, tren ini sudah mulai berubah. Game tak lagi menjadi hobi mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Perubahan tren ini terjadi berkat kemunculan mobile game. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol, harga smartphone lebih murah. Jadi, jumlah orang yang bisa membeli smartphone pun jauh lebih banyak. Buktinya, secara global, penjualan Sony PlayStation 4 hanya mencapai 112,3 juta unit. Sementara menurut Katadata, jumlah pengguna smartphone di Indonesia pada 2019 mencapai 63% dari total populasi, atau sekitar 170 juta orang. Karena smartphone bisa didapatkan dengan lebih mudah, jumlah gamers di Indonesia pun meroket. Alhasil, semakin banyak orang-orang yang punya kesempatan untuk menjadi pemain esports.

Penetrasi smartphone di Indonesia. | Sumber: Kata Data

Salah satu tren yang ada di Indonesia saat ini adalah kebanyakan pemain  esports profesional berasal dari pulau luar Jawa. Sebelum ini, kami bahkan sempat membahas bahwa sejak Mobile Legends Professional League Season 1 sampai Season 4, selalu ada pemain asal Pontianak yang jadi juara. Sekali lagi, tren ini muncul bukan karena orang-orang dari Sumatera, Kalimanta, Sulawesi, Maluku, atau Papua susunan genetik khusus yang membuat mereka menjadi lebih jago dalam bermain game dari gamers asal Jawa.

Tren tersebut muncul karena faktor lingkungan. Pembangunan infrastruktur di Indonesia cenderung fokus pada pulau Jawa. Alhasil, Jawa dipenuhi dengan berbagai tempat hiburan, mulai dari mall sampai kedai kopi kekinian. Buktinya, jumlah mall di Pulau Jawa jauh lebih banyak dari pusat perbelanjaan di luar Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 650 pusat perbelanjaan di Indonesia pada 2019. Dan Jawa punya 395 pusat perbelanjaan, lebih dari setengah total mall di Indonesia. Sebagai perbandingan, Sumatera hanya punya 113 pusat perbelanjaan, Bali dan Nusa Tenggara 30 mall, Kalimantan 42 mall, serta Papua dan Maluku 20 mall.

Persebaran mall di Indonesia. | Sumber: BPS

Tak hanya itu, tujuh mall terbesar di Indonesia, semuanya terletak di Pulau Jawa. Sebanyak empat mall terbesar ada di Jakarta, dua lainnya ada di Surabaya, dan yang terakhir ada di Yogyakarta. Berikut data tujuh mall terbesar di Indonesia berdasarkan pada total luas lantai yang disewakan (NLA), menurut data dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI).

1. Mal Pakuwon – Surabaya
2. Tunjungan Plaza – Surabaya
3. Summarecon Kelapa Gading – Jakarta
4. Grand Indonesia – Jakarta
5. Mal Taman Anggrek – Jakarta
6. Central Park – Jakarta
7. Hartono Mall – Yogyakarta

Lalu apa korelasi antara jumlah mall di sebuah pulau dengan kemampuan para gamers yang tinggal di pulau tersebut? Sederhana saja. Karena jumlah mall di luar Jawa terbatas, hal itu berarti tempat hiburan yang bisa dijangkau oleh masyarakat di sana juga terbatas, apalagi untuk remaja yang hanya berbekal uang saku dari orangtua. Jadi, tidak aneh jika mereka menghabiskan lebih banyak waktu luang mereka untuk bermain game. Seperti kata pepatah, bisa karena terbiasa. Ketika seseorang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game, tentunya kemampuannya pun jadi lebih baik.

Tren terkait etnis tidak hanya muncul di kalangan pemain profesional, tapi juga  di level pemilik organisasi esports. Di Indonesia, kebanyakan pemilik organisasi esports adalah keturunan Tionghoa. Hal ini masih ada kaitannya dengan fakta bahwa pada awal kemunculan esports, sebagian besar pemain profesional merupakan keturunan Tionghoa. Biasanya, salah satu alasan seseorang membuat organisasi esports adalah karena dia memang punya passion di dunia competitive gaming, seperti Gary Ongko, pemilik dari BOOM Esports. Motivasi lain seseorang membuat organisasi esports adalah karena dia pernah menjadi atlet esports, contohnya Richard Permana dari NXL.

 

Apa Pentingnya Membahas Rasisme di Esports?

Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, esports lebih inklusif. Pasalnya, esports tidak mengadu kekuatan fisik. Jadi, idealnya, hampir semua orang bisa ikut serta dalam esports. Sayangnya, esports masih belum bebas dari diskriminasi, baik yang didasarkan atas ras maupun gender. Belum lama ini, Gabriel “NTX” Garcia, pemain PUBG Mobile Pro League (PMPL) di Brasil terkena larangan bermain selama satu tahun karena membuat komentar rasis. Dia adalah pemain PMPL Brasil kedua yang terkena hukuman karena membuat komentar rasis. Sebelum itu, Lucas “Goodzin” Martins melakukan kesalahan yang sama.

Diskriminasi karena ras juga dialami oleh pemain Asia, seperti yang terjadi pada Lee “Fearless” Eui-seok. Sayangnya, perlakuan rasis juga bisa terjadi dalam turnamen. Misalnya, di turnamen Dota 2 Minor pada 2018. Dalam pertandingan antara tim asal Amerika Utara, Complexity Gaming dan tim asal Tiongkok, Royal Never Give-Up, pemain Complexity, Andrei “skem” Ong membuat komentar rasis, memanggil pemain RNG dengan sebutan “Ching chong”. Hal ini mendorong ImbaTV — platform streaming yang menyiarkan turnamen DreamLeague di Tiongkok — untuk protes pada DreamHack dan Valve.

Komentar rasis dari Kuku. | Sumber: The Esports Observer

Komentar rasis juga terkadang muncul dari sesama pemain esports Asia. Beberapa hari setelah kasus Ong, pemain TNC asal Filipina, Carlo “Kuku” Palad membuat komentar serupa, lapor The Esports Observer. Palad lalu dikenakan sanksi oleh TNC, yang membuat pernyataan resmi terkait hal itu di Weibo dan Facebook.

Rasisme adalah masalah yang harus diatasi. Pasalnya, ia bisa menyebabkan banyak masalah, baik pada individual yang menjadi korban rasisme ataupun sebuah komunitas. Bagi orang-orang yang menjadi korban, rasisme bisa membuat mereka merasa marah dan bahkan depresi. Selain itu, mereka juga akan selalu khawatir mereka akan diserang, baik secara verbal dan fisik. Dan hal ini bisa berdampak buruk pada komunitas, seperti merusak kepercayaan antar anggota komunitas.

Di dunia esports, rasisme tak hanya merugikan orang-orang yang menjadi target diskriminasi, tapi juga pihak publisher. Pasalnya, perilaku para gamers — apalagi pemain profesional — bisa menjadi cerminan dari reputasi sebuah game. Tak tertutup kemungkinan, komunitas yang toxic membuat orang-orang enggan untuk mencoba bermain sebuah game. Selain itu, jika publisher tidak menangani masalah rasisme dengan serius, hal ini bisa membuat para pemain melakukan protes. Mereka juga bisa memutuskan untuk tidak mendukung sebuah publisher dengan tidak membeli item dalam game, yang akan menyebabkan penurunan pemasukan publisher.

 

Kesimpulan

Di dunia olahraga tradisional, sempat muncul mitos yang menyebutkan bahwa orang-orang berkulit hitam memang punya susunan genetik yang unik, memungkinkan mereka unggul di bidang olahraga. Teori ini dipercaya oleh masyarakat Amerika Serikat pada 1991. Namun, pada 1971, sosiolog AS keturunan Afirka, Harry Edwards mengungkap bahwa kepercayaan ras memengaruhi kemampuan fisik seseorang merupakan teori yang rasis.

Sementara berdasarkan studi, kemampuan olahraga seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh susunan genetik mereka, tapi juga faktor lingkungan. Dan hal ini terbukti di dunia esports. Korea Selatan menelurkan banyak pemain esports berbakat karena keadaan di negara itu memang mendukung budaya gaming yang kompetitif. Sementara di Indonesia, gamers di luar Jawa cenderung lebih jago karena kemungkinan, mereka memang menginvestasikan lebih banyak waktunya untuk berlatih.

Melihat Perkembangan Penggunaan Data Statistik di Esports

Sains dan data statistik mungkin bisa dibilang sudah menjadi sesuatu yang lekat dengan perkembangan industri olahraga. Bahkan, keputusan memisahkan pertandingan olahraga perempuan dengan laki-laki saja didasarkan penelitian saintifik. Lalu apabila kita mencerminkan perkembangan esports dari perkembangan olahraga, pertanyaannya, bagaimana perkembangan “esports science”?

Dalam artikel ini kita tidak akan membahas terlalu jauh, kita akan fokus pada perkembangan data statistik esports terlebih dulu, baik di luar negeri atau lokal Indonesia. Namun sebelum itu, mari saya jelaskan terlebih dahulu kenapa data statistik itu penting bagi perkembangan olahraga.

 

Moneyball: Ketika Data Statistik Membawa Tim Olahraga Lebih Maju Satu Langkah

Dalam industri olahraga, mengumpulkan data statistik permainan untuk mengukur performa pemain sudah umum dilakukan. Setelah dikumpulkan, data statistik tersebut biasanya digunakan untuk berbagai macam hal.

Dari sisi B2C (Business-to-Consumer), data dapat digunakan penonton untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap kondisi yang terjadi dari suatu pertandingan. Dari sisi B2B (Business-to-Business), data biasanya digunakan oleh tim sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, seperti aspek apa yang harus diperbaiki dari satu pemain, atau mungkin pertimbangan saat akan membeli pemain baru, dan lain sebagainya.

Karena hal tersebut, data pun jadi penting bagi perkembangan industri olahraga, bahkan berkembang menjadi lini bisnis tersendiri. Istilah atau konsep moneyball mungkin bisa jadi salah satu contoh bagaimana pentingnya data statistik bagi perkembangan industri olahraga.

Konsep moneyball pertama kali datang dari olahraga Baseball, tepatnya dari pendekatan yang dilakukan manajer Oakland Athletic yaitu Billy Beane dalam membangun roster tim yang berbasis data analitik pada awal tahun 2000an. Dalam kisahnya yang tertulis dalam bentuk novel dan dijadikan film, Billy Beane bukan sekadar menggunakan data-data yang umum digunakan. Billy juga mencoba membongkar kebiasaan yang sudah lama terpatri dan mencoba melihat ke perspektif lain dengan menganalisa data-data yang justru tergolong undervalue pada masa itu.

Mitchell Layton/Getty Images/AFP. Diikutip dari Beritasatu.com
Pada masanya, tim baseball biasanya hanya melihat statistik persentase keberhasilan memukul bola saja | Mitchell Layton/Getty Images/AFP. Dikutip dari jakartaglobe.com

Tim baseball pada zaman itu biasanya hanya melihat data-data yang umum saja, contohnya seperti persentase keberhasilan pemain memukul bola. Karenanya pemain dengan statistik di bidang tersebut biasanya punya nilai transfer yang tinggi.

Oakland Atheltic, dengan dana yang tidak seberapa, mencoba menganalisis lebih dalam dan mencari data statistik yang kurang dihargai. Dalam moneyball, data yang jadi contoh adalah keberhasilan pemain mencapai base. Karena kurang dihargai, pemain dengan statistik tersebut cenderung punya nilai transfer yang rendah.

Setelah melalui berbagai analisa yang dilakukan manajemen, akhirnya Oakland Athletic pun mencoba mengambil jalan berisiko dengan analisis tersebut dan berhasil mencapai prestasi luar biasa. Mengutip dari wikipedia, Oakland Athletics diestimasi hanya mengeluarkan dana sebesar US$44 juta untuk gaji pemain. Namun mereka tampil sangat kompetitif dibanding tim yang lebih kuat finansialnya di zaman itu, yaitu New York Yankees yang mengeluarkan dana sebesar US$125 juta untuk gaji pemain di musim yang sama.

Maka dari itu, Moneyball sendiri secara umum sebenarnya bisa dibilang sebagai bentuk pengambilan keputusan yang berbasis kepada data. Tetapi secara khususnya, mencari data yang tergolong undervalue namun berpotensi tinggi di masa depan. Pada perkembangannya, bukan hanya baseball saja yang menggunakan data statistik dalam mengembail keputusan tertentu. Pada video di atas, ada pesepakbola N’Golo Kante sebagai contohnya.

Pada awal masa karirnya, ia bermain untuk klub asal Prancis, FC Caen. Saat bermain di tim tersebut, tidak banyak yang sadar bahwa ia adalah pemain yang berpotensi. Sampai akhirnya datanglah Leicester City melihat potensi Kante dari statistik Tackles per Game, Interceptions per Game, dan Clearance per Game. Leicester City membeli Kante seharga 7,65 juta Poundsterling tahun 2015 dan berhasil menjuarai Barclays Premier League di musim 2015/2016. Pasca kemenangan tersebut, nilai transfer Kante meningkat drastis, sehingga Chelsea merekrut dirinya dengan harga 35 Juta Poundsterling di tahun 2016.

Pengantar di atas memperlihatkan bagaimana data statistik digunakan di industri olahraga. Lalu bagaimana dengan esports?

 

Kabar Data Statistik Esports: Butuh Peran Aktif Pihak Pertama?

Sifat alami esports adalah kompetisi permainan yang disajikan lewat medium digital. Menariknya, walau sifat alami esports adalah permainan digital, perkembangan data statistik sebagai ranah bisnis di esports justru malah bisa dikatakan sebagai ladang baru yang masih hijau.

Namun demikian, ada alasan tersendiri kenapa data statistik di esports masih bisa dikatakan sebagai ranah “blue ocean”. Dari ranah game mobile kompetitif misalnya, Moonton (publisher Mobile Legends: Bang Bang) diwakili oleh Azwin Nugraha selaku PR Manager sempat mengatakan, bahwa alasan perkembangan esports science tergolong pelan salah satunya adalah karena perbedaan prioritas. Lebih lanjut, Azwin juga menjelaskan bahwa Moonton sendiri masih sedang membangun kapabilitas tim mereka untuk dapat memproduksi liga yang lebih berkelas lagi secara pelan-pelan.

Di luar dari apa yang dijelaskan oleh Azwin dari sudut pandang mobile gaming, bisnis data statistik justru tergolong berkembang dengan cukup cepat dari sudut pandang esports game PC terutama di negara-negara barat. Menurut opini saya, setidaknya ada tiga faktor yang mungkin jadi alasan atas perkembangan hal tersebut.

Sumber: MPL Indonesia
Di tengah perkembangan pesat dari esports game mobile, kehadiran data statistik yang detil menjadi salah satu hal yang cukup didamba-damba beberapa pihak. Sumber: MPL Indonesia

Pertama, pengembangan API yang dapat menjembatani sisi teknis pihak pertama (game developer) dengan pihak ketiga (pelaku bisnis data esports) mungkin cenderung lebih mudah di ranah game PC. Kedua, pelaku bisnis data esports dengan game developer yang sama-sama berasal dari negara barat mungkin jadi faktor juga. Ketiga, perkembangan teknologi dan talenta teknis programming negara barat yang lebih maju mungkin bisa jadi faktor juga.

Sebagai bukti kemajuannya, mari coba kita lihat data-data yang disediakan secara bebas oleh pihak ketiga untuk game-game esports PC. Perkenalan pertama saya dengan data statistik esports yang mendalam adalah dari Dotabuff. Seperti namanya, Dotabuff menyediakan data-data statistik seputar game Dota 2. Datanya tidak hanya tersedia untuk profesional saja, tetapi pemain casual juga bisa menikmati statistik permainannya sendiri hanya dengan menghubungkan Dotabuff dengan akun Steam saja.

Data yang tersedia dalam Dotabuff juga cukup mendalam, mulai dari yang standar seperti pick-rate atau win-rate, sampai yang tergolong advanced seperti jumlah damage yang dihasilkan terhadap tower dan bangunan lainnya. Dotabuff bahkan juga menyediakan data combat log (apa yang terjadi di menit berapa) yang mungkin bisa digunakan tim dalam mengevaluasi permainannya.

Selain Dotabuff di Dota 2, game-game esports lain yang ada di ranah PC juga hampir rata-rata memiliki data statistik permainan yang disediakan oleh pihak ketiga. OP.gg di skena League of Legends misalnya, yang menyediakan data-data seputar meta permainan mulai dari sekadar win-rate champion sampai win-rate berdasarkan build skill, item, serta rune dari sebuah champion.

Sumber Gambar - Dotabuff
Dotabuff memberi data yang cukup detil dan bisa diakses oleh semua orang, salah satu contohnya adalah combat log seperti di atas. Sumber Gambar – Dotabuff

VALORANT dan CS:GO juga punya beberapa penyedia data yang serupa. Dari sisi VALORANT, Thespike.gg adalah salah satu contohnya. Thespike.gg sendiri cenderung fokus menyediakan data-data statistik pemain-pemain profesional. Seperti pihak ketiga lainnya, data-data statistik yang disediakan cukup beragam mulai dari data sederhana seperti win-rate atau KDA, sampai data yang cukup mendalam seperti angka persentase area yang sering jadi target (kepala, badan, dan kaki). CS:GO juga punya csgostats.gg yang menyediakan data yang kurang lebih serupa.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, kehadiran API yang sifatnya terbuka jadi salah satu alasan perkembangan penyedia data statistik di esports game PC. Dalam hal Dota 2 dan CS:GO, Valve selaku developer kedua game tersebut memang memperkenankan penggunanya untuk menggunakan API milik Steam untuk dapat mengakses data-data digital terkait permainan tersebut.

Lalu dari sisi VALORANT serta League of Legends, Riot Games sendiri juga memang menyediakan dan memperkenankan komunitas untuk mengakses API tersebut untuk membuat produk data statistiknya masing-masing. Dalam hal League of Legends, Riot Games bahkan juga menyertakan daftar ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengembang pihak ketiga apabila ingin memonetisasi data-data yang mereka dapatkan dari API tersebut.

Bagiamana dengan mobile games? Sejauh ini, API yang dapat diakses sepertinya masih belum umum untuk game mobile. Karena penasaran, saya pun mencoba melakukan googling terhadap keyword terkait API dari game mobile kompetitif yang populer di Indonesia. Hasilnya pun nihil. Alih-alih memberi kata “API” sebagai keyword suggestion, game mobile malah memberi saya keyword suggestion berupa “APK Download”.

Dalam konteks Mobile Legends: Bang Bang, Moonton sendiri memang sempat mengatakan bahwa mereka masih sedang mengembangkan API secara internal. Hal tersebut diungkap oleh Azwin pada saat diwawancara Hybrid.co.id ketika membahas kerja sama Moonton dengan JOIDATA.

Sumbar Gambar - Tangkapan Gambar Pribadi
Walaupun data-datanya tak tersedia di luar game, tetapi game seperti PUBG Mobile tetap mencatat statistik permainan walau sifatnya personal dan hanya tersedia di dalam in-game. Sumbar Gambar – Tangkapan Gambar Pribadi
Sumbar Gambar - Tangkapan Gambar Pribadi
Beberapa data statistik yang ditunjukkan di dalam game Mobile Legends: Bang-Bang. Sumbar Gambar – Tangkapan Gambar Pribadi

API sebagai sarana berbagi data statistik memang belum marak digunakan di ranah game mobile kompetitif, tetapi bukan berarti game mobile tidak menyediakan data-data statistik permainan. Dari sisi esports MLBB, data statistik pemain MPL dan MDL tersedia di masing-masing laman resminya. Begitupun dengan esports PUBG Mobile yang juga menyediakan catatan data statistik pemain sepanjang PMPL Indonesia berjalan di website resminya.

Walaupun tersedia, namun data statistik yang ada di laman-laman resmi tersebut cenderung hanya data yang umum saja. Data statistik di laman MPL Indonesia misalnya, hanya menyediakan data yang umum digunakan seperti torehan KDA ataupun torehan total damage yang diberikan. PUBG Mobile pun sama, hanya menyediakan data KDA dengan tambahan Total Survive Time dan Max Kill Distance. Di luar dari esports, pemain juga bisa melihat data statistik permainannya sendiri melalui profil in-game masing-masing. Jadi, walaupun belum ada API dari pihak eksternal, namun data statistik sebenarnya sudah ada di ranah game mobile kompetitif walau lingkupnya masih tergolong sempit.

 

Data Statistik di Lingkup Esports Lokal

Setelah membahas soal moneyball di olahraga dan mencoba melihat ketersediaan data statistik di ranah esports (game mobile ataupun PC), satu hal yang membuat penasaran mungkin adalah kisah moneyball di dalam ranah esports, terutama esports lokal. Untuk itu saya pun berbincang dengan Pratama “Yota” Indraputra selaku analis tim Bigetron Alpha (divisi MLBB Bigetron Esports).

Berbicara dengan Yota, saya membincangkan soal bagaimana data statistik dapat membantu mendongkrak performa sebuah tim esports. Mengawali pembicaraan, Yota pun mengutarakan pendapatnya soal manfaat data statistik bagi sebuah tim.

“Sebetulnya ada banyak potensi yang bisa datang dari data, tergantung tim tersebut mau menggali sedalam apa. Tindakan mengambil keputusan saat drafting atau menggali hero baru yang berpotensi sebagai meta sebenarnya bisa dianalisis menggunakan statistik. Tetapi tentunya tidak semua data punya relevansi yang setara. Karenanya, tugas bagi tim adalah untuk mengambil dan menganalisa data yang diperlukan saja.”

Setelah itu, saya juga mempertanyakan soal ketersediaan data statistik permainan serta cara tim mendapatkan data-data tersebut. Yota pun memberi cerita pengalamannya.

Sumber Gambar - Instagram Bigetron Esports.
Yota yang kiniSumber Gambar – Instagram Bigetron Esports.

“Kalau menurut gue data statistik esports itu sudah cukup tapi masih kurang. Dalam ranah MLBB misalnya, kita enggak bisa melihat statistik creep score atau jumlah last-hit. Karena data tersebut enggak ada, kita jadi sulit mendata siapa pemain yang unggul dari segi CS dan seberapa besar pengaruh CS terhadap kekuatan laning ataupun timing mendapatkan item tertentu. Kalau mau, kita sebenarnya bisa saja mengakalinya dan mendapatkan data tersebut. Tetapi saya rasa akan makan waktu terlalu banyak untuk mendapat data tersebut. Maka dari itu sekarang cukup melihat statistik gold saja.”

Dalam hal mendapatkan data, Yota menjelaskan bahwa hampir semua data direkap secara manual. Tapi memang, seperti yang saya katakan tadi, walaupun MPL menyediakan data statistik di laman resminya, namun data tersebut tergolong terlalu sederhana untuk bisa digunakan sebagai sarana analisa performa tim. Karenanya jadi tidak heran apabila seorang analis seperti Yota lebih memilih merekap semua data secara manual yang bisa didapatkan melalui post-match statistics yang muncul di dalam game.

Lebih lanjut Yota juga menjelaskan soal beberapa data yang jadi andalan bagi pembelajaran tim. Yota mengatakan bahwa data statistik yang kerap kali digunakan adalah data soal pick & ban, data seputar pola pergerakan, torehan damage, gold, serta objektif yang didapatkan.

Bagaimana dengan data statistik lain? “Kalau dari pengalaman gue pribadi, ada statistik yang namanya adalah damage per gold ratio. Statistik tersebut memperkenankan kita untuk mengetahui seberapa efektif pemain memberikan damage dengan gold yang didapat. Lalu apabila dari MOBA secara umum, ada juga data yang bernama jungle proximity yang fungsinya untuk mengetahui lane yang diprioritaskan seorang jungle untuk di gank pada fase early game. Namun demikian, data tersebut enggak gue gunakan di MLBB karena sifat alami gameplay MLBB yang lebih cair.”

Di atas tadi kita membahas bagaimana penggunaan data statistik dari sudut pandang analis. Lalu bagaimana penggunaan data statistik dari sudut pandang manajemen tim esports? Aldean Tegar Gemilang selaku Head of Esports di EVOS Esports juga turut menyampaikan pendapat serta pengalamannya.

Dalam hal perspektifnya terhadap data statistik, Aldean mengatakan bahwa bagi dirinya, data statistik adalah filter pertama sebelum berlanjut ke proses-proses selanjutnya. Ia pun menjelaskan hal tersebut sembari menjawab soal ketersediaan data statistik di esports game-game mobile yang populer di Indonesia.

“Kalau ditanya apakah data pemain bisa diakses bebas, jawabannya tidak. Kalau soal rekrutmen pemain, sebetulnya ada banyak cara, bisa scouting atau open recruitment. Kalau scouting, EVOS Esports biasanya memanfaatkan analis untuk mencari data pemain terkait, yang mana datanya datang dari in-game profile. Kalau misal metode perekrutannya adalah open recruitment, data statistik biasanya kami jadikan sebagai proses penyaringan awal.” Jawab Aldean.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar Gemilang, Head of Esports dari EVOS Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel Jonathan Liandi (Emperor).

Lebih lanjut, Aldean juga kembali menegaskan posisi dirinya dalam melihat data statistik dalam proses perekrutan. “Menurut saya data statistik ini penting, tapi tetap hanya sebagai lapisan awal untuk menilai pemain. Masih banyak sekali faktor major dan minor yang perlu dilihat untuk menilai seberapa besar value (skill atau dampak-nya ke tim) seorang pemain.” Tutur Aldean.

Ia pun lalu juga menceritakan bagaimana perekrutan pemain kadang justru sulit apabila hanya berdasarkan data statistik saja. “Kalau berdasarkan pengalaman saya, hal tersebut terjadi terutama saat mencari pemain-pemain dengan role support. Pemain support biasanya punya data statistik yang cenderung kurang pasti (bias). Beberapa poin-poin penting pemain role support itu justru baru terlihat saat trial dilakukan secara offline.”

Terakhir, ia juga sedikit pandangannya soal jumlah ketersediaan data statistik di game-game esports sejauh ini. “Seperti tadi saya bilang, data statistik ini sebenarnya memang penting. Namun sayangnya ketersediaannya tergolong belum cukup untuk kebanyakan game mobile. Kalau dibandingkan dengan game seperti Dota 2 atau LoL, menurut saya masih cukup jauh. Salah satu alasan pendapat saya tersebut adalah karena game-game tersebut sudah punya wadah yang mempermudah melihat data statistik, salah satu contohnya adalah Dotabuff.” Jawab Aldean.

Pembeberan di atas adalah jawaban dari perspektif manajemen tim esports. Lalu bagaimana dengan usaha Moonton sendiri? Dalam menyediakan data statistik game untuk esports MLLB, usaha terakhir Moonton yang terlihat adalah kerja sama mereka dengan JOIDATA pada bulan Februari 2021 kemarin.

Pada kesempatan tersebut, Azwin Nugraha selaku PR Manager Moonton juga sempat menjelaskan bahwa kerja sama tersebut akan berfokus kepada data statistik game, termasuk usaha Moonton untuk menyediakan API agar pihak eksternal dapat mengakses data-data statistik game tersebut.

Karena penasaran, saya pun mempertanyakan bagaimana proses pengerjaan API tersebut demi ketersediaan data statistik untuk esports MLBB. Azwin pun mengatakan “Saat ini kerja sama mendalam masih terus dilakukan, kami masih menimbang beberapa kemungkinan yang nantinya berpengaruh terhadap penggunaan data tersebut.”

Di luar dari API, sebenarnya saya juga cukup penasaran, bagaimana semisal ada pihak ketiga yang mampu mengekstrak data statistik tersebut dengan menggunakan VOD pertandingan MPL saja? Hal tersebut sebenarnya bisa saja terjadi. Kalau dari sisi olahraga sepak bola, kita bisa melihat contohnya melalui Signality.

Signality mengembangkan semacam program AI dalam bentuk Computer Vision yang mampu mengenali gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemain bola. Dalam praktiknya, Signality bisa mengekstrak data statistik sepak bola hanya bermodalkan rekaman pertandingan saja.

Teorinya, kalau teknologi computer vision mampu mengenali gerakan manusia, maka kemungkinan besar teknologi tersebut mampu atau mungkin lebih fasih mengenali pergerakan di dalam video game. Lalu bagaimana sikap Moonton apabila misalnya ada sebuah startup yang mampu menciptakan teknologi tersebut untuk game esports MLBB?

Azwin pun merespon. “Tidak ada batasan bagi seseorang untuk berinovasi, apalagi jika inovasi yang dihasilkan dapat memberi manfaat dan turut berkontribusi dalam perkembangan esports. Kalau terkait izin, menurut saya berinovasi tidak memerlukan izin. Namun demikian, bagaimana inovasi tersebut digunakan nantinya adalah sesuatu hal yang perlu diperhatikan dan ditelaah lebih jauh.”

 

Kehadiran data statistik yang lebih lengkap dan mendetil tentunya adalah sesuatu yang baik bagi perkembangan esports. Dari sisi olahraga, kita bisa melihat sendiri bagaimana data statistik bahkan bisa membantu sebuah tim berkembang dari yang awalnya kurang kompetitif menjadi lebih kuat di dalam liga. Selain itu dari sisi penonton, data statistik juga bisa membuat tontonan esports jadi semakin seru untuk diikuti.

Jadi seberapa penting kehadiran data statistik bagi perkembangan esports? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun meminjam jawaban dari Yota.

“Intinya statistik ini menurut gue seperti suplemen saja, bukan kewajiban atau keharusan dan tidak menjamin kemenangan juga. Tetapi, ibarat tubuh manusia, meminum suplemen kesehatan tentu akan membuat tubuh jadi lebih kuat dan lebih siap melawan penyakit ataupun cidera.” Tutupnya.

Antara Perempuan dan Laki-Laki di Game dan Esports Menurut Hasil Sejumlah Penelitian

Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, perempuan memang berbeda dari laki-laki dari aspek biologis. Dan perbedaan biologis itu punya pengaruh pada berbagai aspek kehidupan seseorang. Salah satunya dalam kompetisi olahraga. Sampai saat ini, kebanyakan pertandingan olahraga biasanya dipisahkan berdasarkan gender.

Atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki karena memang ada perbedaan kemampuan fisik di antara keduanya. Lalu, bagaimana dengan esports? Dalam competitive gaming, kebugaran fisik bukanlah faktor penentu kemenangan utama. Idealnya, perempuan bisa bertanding berdampingan dengan laki-laki.

 

Kenapa Olahraga Tradisional Dipisahkan Berdasarkan Gender?

Dalam pertandingan olahraga, kemenangan memang penting. Namun, kemenangan bukanlah segalanya. Cara seseorang mendapatkan kemenangan juga tidak kalah penting. Karena itu, dalam kompetisi olahraga bergengsi seperti Olimpiade, fair play menjadi salah satu nilai yang dijunjung tinggi.

It takes more than crossing the line first to make a champion. A champion is more than a winner. A champion is someone who respects the rules, rejects doping and competes in the spirit of fair play.” – Jacques Rogge

Jacques Rogge adalah Presiden dari International Olympic Committee pada 2001-2013. Dari kutipan di atas, terlihat jelas bagaimana dia menjunjung fair play. Selain semangat fair play, elemen lain yang tidak kalah penting dalam kompetisi olahraga adalah level playing field. Menurut BBC, level playing field merupakan keadaan dimana semua peserta kompetisi bertanding menggunakan peraturan yang sama dan punya kesempatan yang sama untuk menang. Lebih dari itu, level playing field juga berarti peserta yang diadu dalam sebuah kompetisi ada pada level yang sama. Jadi, seorang atlet NBA tidak akan diadu dengan orang yang hanya bermain basket sebagai hobi.

Pentingnya fair play dan level playing field dalam kompetisi olahraga menjadi salah satu alasan mengapa atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki di kebanyakan cabang olahraga. Pasalnya, secara fisik, pria dan perempuan memang berbeda. Pria punya massa otot dan massa tulang yang lebih besar. Selain itu, kadar lemak di tubuh perempuan juga lebih tinggi. Kadar lemak di tubuh atlet perempuan berkisar pada 14-20%, sementara pada atlet laki-laki, kadar lemak di tubuh mereka hanyalah 6-14%. Tak hanya itu, pria dewasa juga biasanya punya kapasitas paru-paru yang lebih besar. Semua ini membuat pria lebih unggul dari perempuan dalam segi kekuatan.

Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor
Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor

Menurut studi yang berjudul Women and Men in Sport Performance: The Gender Gap has not Evolved since 1983, performa atlet perempuan memang masih kalah dari atlet laki-laki. Dalam studi itu, para peneliti menganalisa rekor dunia di berbagai cabang olahraga. Mereka juga mengamati performa para atlet Olimpiade di lima kategori olahraga dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan data dari para atlet dalam 82 Olimpiade.

Data dari studi itu menunjukkan, rata-rata, performa atlet perempuan 10% lebih rendah dari atlet laki-laki. Tergantung pada olahraga yang diadu, perbedaan performa antara atlet laki-laki dan perempuan bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Performa atlet perempuan paling mendekati performa atlet pria dalam olahraga renang gaya bebas. Perbedaan performa antara atlet perempuan dan laki-laki di cabang olahraga itu hanyalah 5,5%. Sementara itu, ada perbedaan yang sangat besar — sekitar 36,8% — pada kemampuan atlet pria dan perempuan dalam cabang olahraga angkat berat.

“Perempuan dan laki-laki memang punya fisik yang berbeda. Biasanya, perbedaan itu terkait kekuatan,” kata Andy Lane, psikolog olahraga di University of Wolverhampton pada How We Get to Next. Memang, dalam olahraga tertentu — khususnya olahraga yang melibatkan stamina aerobik, seperti lari jarak jauh — atlet perempuan bisa unggul dari laki-laki. Kabar baiknya, tidak semua olahraga mengadu fisik para atletnya. Ada beberapa cabang olahraga yang lebih mengutamakan aspek lain, seperti esports.

 

Apa Faktor yang Memengaruhi Performa Atlet Esports?

Tak peduli gender atau keadaan fisik seseorang, hampir semua orang bisa bermain game. Buktinya, Rocky Stoutenburgh, yang juga dikenal dengan nama RockyNoHands, berhasil menjadi streamer di Twitch meski dia hanya dapat menggerakkan kepalanya karena kelumpuhan di bagian leher ke bawah. Tentu saja, hal itu bukan berarti semua orang bisa menjadi atlet esports tingkat dunia, seperti Johan “N0tail” Sundstein dari OG atau Made Bagas “Zuxxy” Pramudita dan Made Bagus “Luxxy” Prabaswara dari Bigetron. Faktanya, kemungkinan seseorang sukses sebagai atlet esports hanyalah 0,0001%.

Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP
Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP

Kebugaran fisik memang bukan tolok ukur utama akan kemampuan seorang atlet esports. Namun, tetap ada beberapa keahlian yang harus seseorang kuasai untuk bisa menjadi pemain profesional ternama. Salah satunya adalah kemampuan sensorik-motorik. Kemampuan sensorik berkaitan dengan kemampuan untuk mengantarkan informasi yang diterima panca indera ke otak, sementara kemampuan motorik mengacu pada kemampuan untuk menyampaikan instruksi dari otak ke organ tubuh, seperti tangan. Kemampuan sensorik-motorik penting karena ia memengaruhi seberapa cepat seseorang dapat memproses apa yang dia lihat pada layar, mengambil keputusan akan apa yang harus dia lakukan, dan mengeksekusi keputusan yang dia buat dengan mengoperasikan perangkat game, seperti mouse, gamepad, keyboard, atau smartphone.

Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah spatial abilities atau kemampuan visual-ruang, termasuk kemampuan untuk membaca peta dan mengetahui posisi dari obyek yang ada di sekitarnya, baik obyek yang diam maupun obyek yang bergerak. Spatial abilities juga mencakup kemampuan seseorang untuk memprediksi dan mengantisipasi gerakan obyek atau aksi dari pemain lain. Misalnya, ketika Anda hendak menembak musuh yang sedang bergerak, Anda harus bisa memperkirakan ke mana dia akan bergerak untuk memastikan tembakan Anda akurat.

Selain kemampuan sensorik-motorik dan spatial abilities, kemampuan kognitif taktis juga memengaruhi kemampuan seseorang dalam bermain game, menurut studi The structure of performance and training in esports. Kemampuan kognitif taktis sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti persepsi, kreativitas, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Cakupan kemampuan kognitif taktis juga cukup luas. Jadi, kemampuan kognitif taktis biasanya dibagi ke beberapa bagian seperti ingatan dan konsentrasi, perencanaan, dan cara mengatasi masalah kompleks. Untuk bisa menjadi pemain esports yang handal, seseorang harus menguasai semua bidang kognitif taktis. Dia harus bisa memerhatikan keadaan sekitar sambil melakukan tugas lain, mengalisa situasi dan memutuskan tindakan yang harus diambil, membayangkan setiap langkah dari aksi yang hendak dilakukan, serta membuat rencana dan mengeksekusinya.

Pembagian kemampuan kognitif.
Pembagian kemampuan kognitif.| Sumber: Journals.plos.org

Konsentrasi jadi aspek lain yang tak kalah penting bagi pemain esports. Bagi atlet olahraga sekalipun, kemampuan untuk berkonsentrasi dalam waktu lama adalah kemampuan yang penting. Meskipun begitu, konsentrasi biasanya punya peran yang lebih penting bagi pemain esports. Karena, dalam olahraga tradisional, para pemain biasanya punya waktu untuk beristirahat, seperti saat time out. Sementara pada kompetisi esports, pertandingan biasanya akan berlangsung tanpa jeda.

Kemampuan sosial — termasuk kemampuan komunikasi dan bekerja sama — juga memengaruhi performa seorang atlet esports. Terakhir, kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah mengendalikan emosi. Hal ini tidak mudah, mengingat tekanan mental yang harus dihadapi oleh atlet esports papan atas sama seperti para atlet Olimpiade. Kegagalan seseorang untuk mengendalikan emosi dalam pertandingan — rasa kecewa atau marah karena melakukan kesalahan, misalnya — justru bisa membuat mereka tidak bisa memberikan performa yang maksimal.

 

Perbedaan Kemampuan Kognitif Pada Perempuan dan Laki-Laki

Industri esports memang lebih inklusif dari olahraga tradisional. Meskipun begitu, industri esports tetap didominasi oleh pria. Buktinya, kebanyakan pemain profesional merupakan laki-laki. Sebagian orang percaya, hal ini terjadi karena pemain pria dapat bermain game dengan lebih baik. Namun, apa memang benar begitu? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba untuk membandingkan kemampuan kognitif laki-laki dan perempuan berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan.

Berdasarkan studi Comparison of Cognitive Functions Between Male and Female Medical Students: A Pilot Study, kemampuan kognitif pria dan perempuan dalam fase folikular sama. Sementara perempuan yang memasuki fase luteal dari siklus menstruasi akan dapat melakukan executive tasks — tugas-tugas yang memerlukan ingatan, cara pikir yang fleksibel, dan kendali diri — dengan lebih baik. Sayangnya, daya konsentrasi perempuan di fase luteal biasanya lebih rendah dari pria.

Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI
Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI

Ketika membandingkan kemampuan peserta perempuan dan laki-laki, para peneliti di studi ini juga memerhatikan siklus menstruasi dari peserta perempuan. Alasannya, siklus menstruasi memengaruhi hormon perempuan. Secara garis besar, ada empat fase menstruasi. Fase folikular dimulai ketika seorang perempuan menstruasi sampai fase ovulasi dimulai. Sementara fase luteal juga dikenal dengan nama postovulatory phase atau fase pramenstruasi. Dalam fase ini, jumlah hormon progesteron pada perempuan akan naik.

Studi di atas bukan satu-satunya riset yang membahas tentang bagaimana gender memengaruhi kemampuan kognitif. Ada beberapa riset lain yang membahas tentang pengaruh gender pada kemampuan kognitif dan spatial seseorang. Kontra dengan hasil penelitian tadi, dalam studi Sex/gender differences in cognition, neurophysiology, and neuroanatomy, dijelaskan bagaimana Janet S. Hyde melakukan tes psikologis dan kognitif pada perempuan dan laki-laki. Di studi itu, Hyde menguji 124 variabel, termasuk kemampuan matematis, verbal, persepsi, dan motorik.

Dari penelitian tersebut, dia menemukan, gender tidak punya pengaruh yang signifikan pada performa seseorang dalam 78% variabel. Gender hanya punya pengaruh signifikan pada kemampuan motorik seseorang, seperti kecepatan melempar. Temuan lain dari studi itu adalah pria mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam tes rotasi obyek 3D, yang sering dikaitkan dengan IQ yang lebih tinggi dan kemampuan terkait STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) yang lebih baik. Hasil dari studi ini memperkuat asumsi bahwa pria punya kemampuan matematis dan spatial yang lebih baik. Sementara perempuan diangggap memiliki kemampuan verbal yang lebih baik.

Namun, riset terbaru menunjukkan, perempuan dan laki-laki punya spatial cognition yang tidak jauh berbeda. Penelitian itu dilakukan oleh Dr Mark Campbell dan Dr Adam Toth dari Lero Esports Science Research Lab menggunakan teknologi eye-tracking terbaru. Dari tes yang mereka lakukan, mereka menemukan, hasil tes spatial cognition dari peserta pria tidak lebih baik dari peserta perempuan, khususnya dalam tes rotasi obyek.

“Jadi, apakah laki-laki lebih baik dari perempuan? Sebenarnya, tidak juga. Studi kami menemukan bahwa pria tidak lebih baik dalam tes rotasi mental,” kata Toth, seperti dikutip dari Technology Networks. “Dengan memperpanjang durasi tes, perempuan bisa memberikan performa yang sama seperti pria. Hal ini membuktikan bahwa asumsi pria lebih baik dalam tes rotasi mental adalah salah atau disebabkan oleh faktor lain selain gender.”

 

Kesimpulan

Para peneliti telah melakukan berbagai studi untuk mengetahui pengaruh gender pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk dalam cara berpikir. Sayangnya, tidak semua studi memberikan hasil yang sama. Sebagian menyebutkan bahwa pria memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik — yang berarti mereka bisa bermain game dengan lebih baik pula — sementara sebagian yang lain menyebutkan bahwa kemampuan kognitif perempuan dan pria tidak jauh berbeda.

Sayangnya, belum banyak studi yang secara khusus membahas tentang hubungan gender dengan kemampuan seseorang dalam bermain game. Tampaknya, industri esports memang masih terlalu muda sehingga penelitian terkait competitive gaming pun belum menunjukkan kesimpulan yang konklusif. Terlalu naif juga, atau malah arogan, menyimpulkan sendiri hasil yang kita inginkan karena faktanya memang belum ada hasil yang definitif dari penelitian Satu hal yang pasti, bermain game adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari gender, kemampuan fisik, dan status ekonomi seseorang.

The Unsuccessful of Twitch in Indonesia: Data Package Prices Determine Everything

Today, playing games can be much more than just a hobby. Moreover, people are not only attracted to playing games but also watch other people play. Because of this, both the esports and streaming industries are currently rapidly growing. Many companies also took the opportunity to invest in this thriving business. However, the streaming market is still dominated by several big platforms, such as Twitch, YouTube, and Facebook.

Globally, Twitch is still the number one game streaming platform. However, Twitch is not very popular in Indonesia. Data from DSResearch at the end of 2019 shows that Twitch is actually the least popular streaming platform in the country. Instead, YouTube is the most popular game streaming platform in Indonesia, followed by Facebook and NimoTV.

But why is this?

 

The State of the Streaming Industry

The gaming industry was one of the few industries that experienced growth during the COVID-19 pandemic. Simply put, people spend a lot of their time playing games or watching game content while quarantining at home. In 2020, the number of viewers for live streaming games doubled that of the previous year. Throughout 2020, the total hours of viewed gaming content was 12 billion, while total hours streamed reached 916 million hours, according to StreamLab data.

Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab
Source: StreamLab

In the second quarter of 2020, Twitch broke the record for their total watch hours. For the first time in history, their watch hours reached 5 billion million hours. They broke this record again later in the fourth quarter of the year, accumulating 5.44 billion watch hours. This figure shows that Twitch contributed to 65.8% of the total hours watched in the streaming industry. In comparison, YouTube only contributed 23.3% or about 1.9 billion watch hours, while Facebook only had 901.1 million watch hours (10.9%)

Apart from their massive watch hour numbers, Twitch also excels in streaming hours (the broadcasting duration of streamers in the platform). In the last quarter of 2020, all streamers on Twitch broadcasted 230.5 million hours of content. Facebook only reached a figure of 14.5 million hours while YouTube Gaming only had 10.4 million hours. This statistic is relatively predictable considering that Twitch’s primary use case is streaming. On the other hand, Facebook is a social media that also offers an extra feature of streaming while YouTube specializes in non-live content.

Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista
Number of streamers on Twitch from 2018 to 2021| Source: Statista

In the past year, the number of streamers on Twitch has also increased dramatically, as seen from the figure above. At its peak, the number of streamers on Twitch was 9.89 million, according to data from Statista. However, in February 2021, the number of streamers on Twitch had dropped to 9.52 million people. Despite this, data from Twitch Tracker shows that the number of streamers on Twitch will again increase in March 2021, to 9.6 million people. In the past week, Just Chatting is still the most popular category on Twitch. Grand Theft Auto V ranked second, followed by League of Legends, Fortnite, and Call of Duty: Warzone.

In comparison, YouTube revealed that the number of active gaming channels on their platform will reach 40 million in 2020. They also expect their watch hours on gaming content will reach 100 billion hours, and also subsequently reach 10 billion watch hours in their gaming streams. Interestingly, the games that are popular on YouTube are somewhat different from the games that are popular on Twitch.

Here is a list of the top 5 most popular games on YouTube:

  • Minecraft – 201 billion views
  • Roblox – 75 billion views
  • Free Fire – 72 billion views
  • Grand Theft Auto V – 70 billion views
  • Fortnite – 67 billion views

Streamers’ opinions

To find out what streamers or content creators think about Twitch and the streaming industry in Indonesia, Hybrid conducted an interview with several of these people. One of them is Cindy “Cimon” Monika, who started streaming as a brand ambassador. Cimon chose YouTube as her primary platform to broadcast her content because she felt that the platform has provided the best stage for video content, including gaming content. She also believes that the gaming audience on YouTube is much bigger than any other streaming platform.

“YouTube is already a popular or common app from the get-go so you don’t need to download an application or go to a specific link to watch,” said Cimon when contacted by Hybrid via text message. “Most people don’t really want to download new applications to watch gaming contents.” Cimon said she did use Twitch previously for quite some time. She felt that Twitch was a suitable platform for streamers who were targeting audiences from Western countries. “Twitch also has several ’embellishments’, which makes streaming look like a legitimate ‘profession’, such as overlays,” she said. Even so, features such as overlays can also be found on other streaming platforms, including YouTube.

The case is different with Clara Vauxhall aka Iris, who prefers to stream on Twitch. She has even entered into the Twitch Affiliate program. A Twitch Affiliate can monetize his/her channel by offering subscriptions, Bits, and sales of games or in-game items. Clara revealed to Hybrid that her reason for streaming on Twitch is to target an audience outside Indonesia.

“I chose Twitch because the audience is more dominated by foreigners, which makes me more comfortable,” said Clara. “YouTube viewers are usually predominantly domestic, often more stubborn and less lenient when compared to Twitch viewers.”

Clara didn’t want to get involved in any sort of conflicts with the local community. However, that does not mean that she completely ignores the local audience. “I try to balance my domestic and foreign audiences, although there are fewer domestic audiences than those from abroad,” she said.

Clara also liked Twitch’s design and overall looks. She also likes the existence of the Channel Points System that encourages viewers to watch the stream for a longer duration. The system will reward viewers with points as they view the stream. These points can then be used to redeem special rewards or requests such as asking the streamer to sing. “However, the requests that can be requested by viewers are different between streamers. The streamers themselves decide what kind of rewards can be redeemed,” she said. “I think this system provides a chance for the audience to have a deeper interaction with the streamer.”

Contoh sistem Channel Points di Twitch.
Channel Points on Twitch.

Of course, Clara ran into many problems while streaming on Twitch. One of the major problems she faced is the much more stringent Terms of Service. “Other toxic words outside the scope of ethnicity, religion, race, and inter-group relations – such as simp and virgin – shouldn’t be used at Twitch,” she said. She also often experiences a large ping when collaborating with streamers outside Indonesia. “When it comes to collaborating with other streamers that have an overseas audience causes many problems such as ping latency, time zone difference, and so on,” she said. “In these sorts of cases, having a domestic audience is much easier to manage.”

The streaming industry is also used by companies engaged in gaming and esports to grow their popularity. One of them is RevivalTV. Just like Cimon, YouTube is RevivalTV’s preferred platform. However, they are also active on Nimo TV, a brand under HUYA and a streaming platform from China. Chief Growth Officer of RevivalTV, Irliansyah Wijanarko Saputra, explained the main reason why RevivalTV chose these two Nimo and YouTube is the gaming and esports community that they have built on the platform.

“The community is there and we’re part of it,” said Irli with a smile. He mentioned that the two largest gaming communities on YouTube and Nimo TV are Mobile Legends and PUBG Mobile. He revealed that YouTube and Nimo TV have built their ecosystem for the gaming and esports community, esports company officials, and Key Opinion Leaders (KOL). This is one of the advantages of streaming on these platforms.

Irli mentions that the single factor that determines the success of a streaming platform in Indonesia is its internal community. Streamer benefits and audience-streamer interaction also play a crucial part. He further explained why Nimo TV was much more popular than Twitch in Indonesia.

“Twitch is a western product while Nimo is an eastern product. The approaches of the developers of Twitch and Nimo are also very different,” said Irli. “Twitch’s approach is relatively passive. They don’t give any other benefit besides the fact that their platform is already huge and popular compared to other streaming platforms. Eastern streaming platforms, such as Nimo, go down to the grassroots and choose to grow with the community. Furthermore, Twitch can sometimes be slow to adapt and change. In 2016-2017, they didn’t have many rivals in the streaming industry, which prompted them to not host a server in SEA, causing many viewers from that region to lag out. Of course, this causes a huge loss of audience for Twitch.”

 

Comparing the Viewing Experience Between Twitch and YouTube Live

Lag is one of the prominent problems that Indonesian netizens have to face when watching Twitch, allegedly. To confirm the theory, I kept track of the downstream data rates while watching Twitch on a laptop. I then compared this data to the downstream speed when watching YouTube. When I watched a 720p stream on Twitch, the download speed was in the range of 1.1 Mbps to 3.2 Mbps, with an average speed of 2.5 Mbps.

In comparison, the downstream speed when I watch videos with the same resolution on YouTube is much more volatile or unstable. The download speed ranges from as low as 8 kbps to as high as 16.4 Mbps. The average downstream data rate I experience is around 3.4 Mbps. Therefore, you actually don’t need a faster connection to watch Twitch.

Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.
Each operator usually has a special package for social media and YouTube.33

I also did the exact same test using a smartphone. When watching a 720p stream on Twitch, the lowest speed I got is 360 kbps, the highest speed is 1.1 Mbps, while the average downstream data rate is at around 790 kbps. In comparison, when I watched YouTube, the lowest speed was 133 kbps and the top speed was 367 kbps, with an average download speed of 307 kbps. Thus, unlike laptops or PCs, YouTube requires a much slower speed than Twitch in mobile.

Each operator usually has a special package for social media and YouTube.

When discussing the source of income for streamers, I once asked Fandra “Octoramonth” Octo the reason behind the lack of popularity of Twitch in Indonesia. According to him, the absence of special mobile data offers or packages for watching Twitch is one of the culprits behind this trend. Indeed, when I checked the list of internet packages offered by Telkomsel, there were packages for YouTube, Facebook, and Instagram, but there were none for Twitch.

Without any special packages or offers for using Twitch, to what extent does this impact the users’ mobile data fees? To answer this question, we need to compare watching YouTube with operator packages and watching Twitch without any of those offers.

To watch 1 hour of 720p video, you will need to spend around 1.6GB of mobile data. Given that Twitch doesn’t have a special data package, I will use the regular mobile data pricing from Telkomsel. One of the packages that Telkomsel provides is the OMG package. With this package, you can get 27GB of mobile data for a month at a price of IDR 152,000, which means that 1GB is valued at IDR 4.7 thousand. Therefore, if you watch a 720p video for an hour, then you will roughly spend around IDR 7.5 thousand.

Now, let’s move on to the costs involved when watching YouTube with a special package. Telkomsel provides a “YouTube package” that allows you to watch YouTube as much as you want for a week for only IDR 15.2 thousand. Assuming you have work or college activities, you can probably only set aside about 4 hours each day watching YouTube – which means you can watch 28 hours of content every week. Therefore, the cost you have to spend to watch YouTube videos for 1 hour in this scenario is IDR 15.2 thousand divided by 28 hours or is IDR 542.

If you are a busy person and can only watch videos on YouTube for 2 hours every day, so you have to spend Rp1.1 thousand watching YouTube videos for an hour. The calculation above concretely shows that special packages can make a huge difference in user’ fees when using Twitch and YouTube.

 

Conclusion

At first glance, Twitch, YouTube Gaming, and Facebook Gaming offer the exact same thing: a streaming platform for gaming content creators. However, the three of them actually have different focuses and primary use cases. In the beginning, YouTube was created as a place to share pre-recorded videos. On the other hand, Facebook started as a social media. Twitch, since its inception, serves as a streaming platform.

As one of the early pioneers in the industry, it is no wonder that Twitch dominates the streaming market. To date, Twitch is still the number one game streaming platform globally. One of the advantages of Twitch is the countless features that it possesses, such as the Channel Point System. Twitch also supports special features for popular games, such as Live Tracker for League of Legends. Unfortunately, these features are usually only available for PC games. However, in Indonesia and Southeast Asia, mobile games are far more popular than their PC counterparts. Therefore it is expected that most Indonesian streamers are less interested in using Twitch.

Twitch also tends to be much more passive than other platforms. So far, they have not collaborated with any local telecommunication operators. As a result, there are no special packages for watching Twitch that can incentivize viewers to use the platform. If this laid-back ideology persists, Twitch can never attract the audience of a country where mobile data fees and quotas are still incredibly limited.

Feat Image Credit: Creatopy. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Lesunya Twitch di Indonesia: Harga Paket Data Tentukan Segalanya

Sekarang, bermain game tidak lagi menjadi hobi bagi segelintir orang. Faktanya, orang-orang tak hanya suka bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itulah, industri esports dan game streaming bisa tumbuh pesat. Hal ini menarik banyak perusahaan untuk masuk ke industri game streaming. Namun, pasar game streaming tetap dikuasai beberapa pemain besar, seperti Twitch, YouTube, dan Facebook.

Di level global, Twitch masih menjadi platform game streaming nomor satu. Hanya saja, platform game streaming milik Amazon itu justru tidak terlalu dikenal di Indonesia. Riset dari DSResearch pada akhir 2019 menunjukkan, Twitch justru menjadi platform game streaming paling tidak populer di Tanah Air. Di Indonesia, YouTube merupakan platform game streaming terpopuler, diikuti oleh Facebook dan NimoTV.

Lalu, kenapa Twitch tidak populer di Indonesia?

 

Keadaan Industri Game Streaming 

Selama pandemi, industri game menjadi salah satu industri yang justru mengalami pertumbuhan. Pasalnya, orang-orang yang tidak bisa pergi keluar rumah menghabiskan banyak waktunya bermain game atau menonton konten game. Pada 2020, jumlah penonton live streaming konten game naik dua kali lipat jia dibandingkan dengan pada 2019. Sepanjang 2020, total hours watched dari konten game adalah 12 miliar, sementara total hours streamed mencapai 916 juta jam, menurut data StreamLab.

Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab
Total hours watched dari Twitch, Facebook Gaming, dan YouTube Gaming. | Sumber: StreamLab

Pada Q2 2020, Twitch memecahkan rekor total hours watched. Untuk pertama kalinya, total hours watched mereka mencapai 5 miliar juta jam. Pada Q4 2020, mereka kembali memecahkan rekor ini. Di kuartal akhir 2020, total hours watched Twitch mencapai 5,44 miliar jam. Hal ini berarti, Twitch memberikan kontribusi 65,8% dari total hours watched di industri game streaming. Sebagai perbandingan, YouTube menyumbangkan 23,3% atau sekitar 1,9 miliar jam dan Facebook memberikan 901,1 juta jam atau sekitar 10,9%.

Selain total hours watched, Twitch juga unggul dari segi hours streamed (total durasi konten yang disiarkan oleh para streamers). Pada Q4 2020, semua streamers di Twitch menyiarkan 230,5 juta jam konten. Sementara di Facebook, angka ini hanya mencapai 14,5 juta jam dan di YouTube Gaming, hanya 10,4 juta jam. Hal ini tidak aneh, mengingat fungsi utama Twitch memang sebagai platform game streaming. Sementara Facebook merupakan media sosial yang juga menawarkan fitur game streaming dan YouTube lebih fokus pada konten yang tidak live.

Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista
Jumlah streamers di Twitch dari 2018 sampai 2021. | Sumber: Statista

Pada tahun lalu, jumlah streamers di Twitch juga naik drastis, seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas. Pada puncaknya, jumlah streamers di Twitch mencapai 9,89 juta orang, menurut data dari Statista. Namun, pada Februari 2021, jumlah streamers di Twitch sempat turun menjadi 9,52 juta orang. Kabar baiknya, data dari Twitch Tracker menunjukkan bahwa jumlah streamers di Twitch kembali naik pada Maret 2021, menjadi 9,6 juta orang. Dalam seminggu terakhir, Just Chatting masih menjadi kategori paling populer. Posisi kedua diduduki oleh Grand Theft Auto V, diikuti oleh League of Legends, Fortnite, dan Call of Duty: Warzone.

Sebagai perbandingan, YouTube mengungkap bahwa pada 2020, jumlah active gaming channels di platform mereka mencapai 40 juta channels. Sementara total hours watched dari konten game di YouTube mencapai 100 miliar jam dan total hours watched dari live streaming konten game naik menjadi 10 miliar jam. Menariknya, game-game yang populer di YouTube agak berbeda dari game yang populer di Twitch.

Berikut daftar 5 game yang populer di YouTube:

  • Minecraft – 201 miliar views
  • Roblox – 75 miliar views
  • Free Fire – 72 miliar views
  • Grand Theft Auto V – 70 miliar views
  • Fortnite – 67 miliar views

Apa Kata Para Streamers?

Untuk mengetahui pendapat para streamers/kreator konten akan Twitch dan industri game streaming secara umum, Hybrid mewawancara beberapa orang. Salah satunya adalah Cindy “Cimon” Monika, yang mulai melakukan streaming karena tugasnya sebagai brand ambassador. Perempuan yang akrab dipanggil Cimon ini memilih YouTube sebagai platform utamanya. Dia menjelaskan, alasannya memilih YouTube adalah karena dia merasa, YouTube memang platform yang dibuat sebagai wadah konten video, termasuk konten gaming. Selain itu, dia percaya, audiens game streaming di YouTube lebih besar dari platform streaming lainnya.

“Dan YouTube sudah umum, Anda tidak perlu download aplikasi atau pergi ke link tertentu untuk menonton,” ujar Cimon saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. “Karena biasanya, orang cukup malas ya untuk download aplikasi baru untuk menonton.” Dia bercerita, dia sempat menggunakan Twitch, walau tidak lama. Dia merasa, Twitch adalah platform yang cocok untuk digunakan bagi streamers yang memang menargetkan penonton dari negara-negara Barat. “Twitch juga punya ‘hiasan’, yang membuat streamer layaknya sebuah ‘profesi’, seperti overlay dan lain-lain,” ujarnya. Meskipun begitu, saat ini, fitur seperti overlay juga sudah bisa ditemukan di platform streaming lain, termasuk YouTube.

Lain halnya dengan Clara Vauxhall alias Iris, yang lebih memilih untuk melakukan streaming di Twitch. Dia bahkan sudah masuk ke dalam program Twitch Affiliate. Pada dasarnya, seseorang yang sudah menjadi Twitch Affiliate dapat memonetisasi channel-nya dengan menawarkan langganan, Bits, dan penjualan game atau item dalam game. Ketika dihubungi oleh Hybrid, Clara mengungkap, alasannya untuk melakukan streaming di Twitch adalah karena dia memang menargetkan audiens di luar Indonesia.

“Saya memilih Twitch karena penontonnya lebih didominasi oleh orang luar negeri, yang membuat saya lebih nyaman dibandingkan dengan penonton dalam negeri,” ujar Clara. “Viewers YouTube biasanya didominasi oleh orang dalam negeri, sering lebih keras kepala dan kurang lenient jika dibandingkan dengan penonton Twitch.”

Selain itu, Clara memutuskan untuk tidak mengincar audiens lokal karena tidak ingin terlibat konflik internal dalam komunitas, yang bisa memicu drama. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti dia mengacuhkan audiens lokal sama sekali. “Kalau saya prbadi, saya mencoba untuk menyeimbangkan penonton dari dalam dan luar negeri, meski penonton yang dari dalam negeri lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang luar negeri,” katanya.

Clara bercerita, alasan lain dia memilih Twitch adalah karena desain tampilannya yang sesuai dengan seleranya. Dia juga cukup senang dengan keberadaan sistem Channel Points, yang mendorong audiens untuk menonton lebih lama. Pada dasarnya, dengan sistem Channel Points, seorang penonton akan mendapatkan poin berdasarkan pada durasi dia menonton. Poin ini bisa digunakan oleh penonton untuk meminta sang streamer melakukan sesuatu, seperti menyanyi. “Tapi, permintaan yang bisa diminta oleh penonton juga tergantung masing-masing streamer. Para streamers sendiri yang menentukan apa saja yang bisa di-redeem,” ujarnya. “Menurutku, hal ini bisa mendorong interaksi audiens dengan sang streamer.”

Contoh sistem Channel Points di Twitch.
Contoh sistem Channel Points di Twitch.

Tentu saja, selama melakukan streaming di Twitch, Clara juga menemui masalah. Salah satunya adalah Terms of Service yang lebih ketat. “Kata-kata yang sebenarnya tidak mengandung SARA, seperti simp dan virgin, tidak boleh digunakan di Twitch,” katanya. Masalah lain yang kerap dia hadapi adalah ping yang besar ketika dia berkolaborasi dengan streamer lain dari luar Indonesia. “Ketika hendak melakukan kolaborasi dengan streamer lain, karena target audiensnya luar negeri, ada beberapa masalah vital, seperti latensi ping, zona waktu, dan lain sebagainya,” ungkapnya. “Dalam hal ini, memiliki audiens dalam negeri lebih menguntungkan.”

Platform game streaming tidak hanya digunakan oleh para individu yang ingin beken di kalangan para gamers, tapi juga perusahaan yang berkutat di bidang game dan esports. Salah satunya adalah RevivalTV. Sama seperti Cimon, YouTube menjadi platform pilihan RevivalTV. Hanya saja, mereka juga aktif di Nimo TV, merek di bawah HUYA, platform game streaming asal Tiongkok. Chief Growth Officer, RevivalTV, Irliansyah Wijanarko Saputra menjelaskan alasan utama mengapa RevivalTV memilih kedua platform ini adalah karena komunitas gaming dan esports memang sudah tumbuh besar di kedua platform tersebut.

The community is there and we’re part of it,” ujar Irli sambil tersenyum. Dia menyebutkan, dua game yang komunitasnya besar di YouTube dan Nimo TV adalah Mobile Legends dan PUBG Mobile. Dia mengungkap, YouTube dan Nimo TV merupakan tempat berkumpul bagi komunitas game dan esports, petinggi perusahaan esports, serta Key Opinion Leaders (KOL). Hal ini menjadi salah satu kelebihan dari kedua platform tersebut

Ketika ditanya tentang faktor yang menentukan sukses atau tidaknya sebuah platform streaming game di Indonesia, dia menjawab, “Tongkrongan/komunitas/main sama siapa. Benefits ke streamer-nya apa dan kedekatan dengan streamer mereka.” Lebih lanjut, dia menjelaskan kenapa Nimo TV lebih diterima daripada Twitch.

“Twitch itu produk barat dan Nimo produk timur. Approach orang-orang di belakang Twitch dan Nimo juga berbeda jauh,” ujar Irli. “Twitch pasif. Mereka tidak berikan benefit lain selain fakta bahwa platform mereka memang sudah bagus. Produk timur, termasuk Nimo, mereka turun ke grassroot, growing bareng komunitasnya. Selain itu, Twitch juga terlambat untuk beradaptasi. Pada 2016-2017, mereka tidak punya saingan, tapi mereka tidak buka server di SEA, sehingga nge-lag. Their loss.”

 

Biaya Menonton Twitch vs YouTube Secara Live

Lag menjadi salah satu kekhawatiran netizen Indonesia saat hendak menonton Twitch. Untuk mengetahui apakah kekhawatiran ini nyata, saya mencatat kecepatan data downstream saat menonton Twitch di laptop. Setelah itu, saya membandingkannya dengan kecepatan downstream saat menonton YouTube. Ketika saya menonton video 720p secara live di Twitch, kecepatan download ada di kisaran 1,1 Mbps sampai 3,2 Mbps, dengan kecepatan rata-rata 2,5 Mbps.

Jika dibandingkan, keceptan downstream saat saya menonton video dengan resolusi yang sama di YouTube jauh lebih fluktuatif. Kecepatan terendah ada di 8 kbps sementara kecepatan tertinggi mencapai di 16,4 Mbps. Sementara kecepatan data downstream rata-rata adalah 3,4 Mbps. Hal ini menunjukkan, Anda tidak memerlukan koneksi yang lebih cepat untuk bisa menonton Twitch.

Selain di laptop, saya juga melakukan pengujian yang sama di smartphone. Saat menonton video 720p di Twitch, kecepatan terendah ada di 360 kbps dan kecepatan tertinggi pada 1,1 Mbps. Sementara kecepatan data downstream rata-rata adalah 790 kbps. Sebagai perbandingan, saat saya menonton YouTube, kecepatan terendah ada di 133 kbps dan kecepatan tertinggi 367 kbps, dengan kecepatan download rata-rata 307 kbps. Artinya, di mobile, YouTube memerlukan kecepatan yang lebih rendah daripada Twitch.

Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.
Masing-masing operator biasanya punya paket khusus untuk media sosial dan YouTube.

Saat membahas soal sumber pemasukan streamers, saya juga pernah bertanya pada Fandra “Octoramonth” Octo alasan mengapa Twitch tidak populer di Indonesia. Menurutnya, tidak adanya paket khusus untuk menonton Twitch menjadi salah satu alasannya mengapa Twitch kurang populer di Indonesia. Dan memang, saat saya memeriksa daftar paket internet yang ditawarkan oleh Telkomsel, saya menemukan “paket ketengan” untuk YouTube, Facebook, dan bahkan Instagram, tapi tidak ada paket khusus untuk Twitch.

Pertanyaannya, apa ketiadaan paket khusus untuk Twitch memberikan dampak besar? Mari kita menghitung berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan untuk menonton konten di YouTube menggunakan paket khusus dan di Twitch tanpa paket apapun.

Untuk menonton video 720p selama 1 jam, Anda membutuhkan sekitar 1,6GB data. Mengingat Twitch tidak punya paket data khusus, saya akan menggunakan harga paket data biasa dari Telkomsel. Salah satu paket yang Telkomsel sediakan adalah paket OMG. Dengan paket ini, Anda bisa mendapatkan 27GB selama sebulan dengan harga Rp152 ribu. Hal itu berarti, 1GB dihargai Rp4,7 ribu. Dan jika Anda menonton video 720p selama 1 jam, berarti Anda akan mengeluarkan biaya sekitar Rp7,5 ribu.

Sekarang, mari beralih ke biaya yang diperlukan untuk menonton YouTube dengan paket khusus. Telkomsel menyediakan “paket ketengan YouTube”. Anda bisa menonton YouTube sepuasnya selama seminggu hanya dengan Rp15,2 ribu. Dengan asumsi Anda harus bekerja atau mengerjakan tugas sekolah kuliah, Anda hanya bisa menyisihkan waktu sekitar 4 jam setiap hari untuk menonton YouTube — yang berarti Anda bisa menonton 28 jam konten selama seminggu. Jadi, biaya yang harus Anda keluarkan untuk menonton video YouTube selama 1 jam adalah Rp15,2 ribu dibagi 28 jam, yaitu Rp542.

Jika Anda adalah orang yang sibuk dan hanya bisa menonton video di YouTube selama 2 jam setiap hari, berarti uang yang harus Anda keluarkan untuk menonton 1 jam konten adalah Rp1,1 ribu. Ilustrasi di atas membuktikan, tanpa paket khusus, biaya untuk menonton Twitch memang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya untuk menonton YouTube.

 

Kesimpulan

Sekilas, Twitch, YouTube Gaming, dan Facebook Gaming menawarkan hal yang sama, yaitu platform streaming untuk para kreator konten game. Meskipun begitu, ketiganya sebenarnya punya produk utama yang berbeda-beda. Pada awalnya, YouTube dibuat sebagai wadah untuk mengunggah video yang sudah direkam. Sementara Facebook sejatinya merupakan media sosial. Dan Twitch, sejak awal, platform ini memang dibuat sebagai platform game streaming.

Sebagai salah satu pioneer di ranah game streaming, tidak heran jika Twitch mendominasi. Sampai saat ini, Twitch juga masih menjadi platform game streaming nomor satu secara global. Salah satu keunggulan Twitch adalah ia kaya akan fitur. Contohnya, fitur Channel Points. Selain itu, Twitch juga mendukung fitur khusus untuk game-game populer, seperti Live Tracker untuk League of Legends. Sayangnya, fitur khusus tersebut biasanya hanya tersedia untuk game PC. Sementara di Indonesia dan Asia Tenggara, mobile game justru jadi populer. Jadi, tidak heran jika tidak banyak streamers Indonesia yang tertarik untuk menggunakan Twitch.

Alasan lain mengapa Twitch kurang populer adalah karena mereka cenderung pasif. Sejauh ini, mereka tidak menjalin kerja sama apapun dengan operator telekomunikasi. Jadi, tidak ada paket khusus untuk menonton Twitch, yang bisa menekan biaya data yang digunakan para penonton. Di Tanah Air Tercinta, yang orang-orangnya masih sering berbagi berita tanpa membaca isinya karena keterbatasan kuota, saya rasa, besar kuota yang diperlukan untuk menonton sebuah konten adalah masalah penting.

Jasa Coaching Esports di Indonesia: Diperlukan atau Dilupakan?

Esports coaching platform adalah fenomena besar di luar negeri sana, terutama di negara-negara barat. Penyedia jasanya bahkan bukan cuma pemain atau pelatih esports profesional saja, tetapi juga termasuk pemain amatir yang memiliki rank tinggi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Dalam artikel ini saya berbincang dengan manajemen RRQ Academy dan mantan pelatih EVOS AOV yaitu Priyagung “Ruichen” Satriono untuk mengupas bagaimana kondisi ladang bisnis esports coaching di Indonesia.

Sebelum menuju pembahasan tersebut, mari kita melihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan esports coaching platform di luar negeri.

 

Esports Coaching di Luar Negeri: Mulai dari Dilatih Manusia sampai Dilatih oleh AI

Jasa coaching atau pelatihan atau kursus dalam ranah gaming dan esports berkembang pesat di negara-negara barat. Dalam perkembangannya, jasa kursus gaming dan esports di negara barat bahkan sampai melibatkan teknologi (baik AI ataupun software khusus) demi memenuhi kebutuhan pasar. Tetapi memang, kebutuhan jasa coaching gaming dan esports tidak berkembang secara tiba-tiba. Saya merasa hal tersebut terjadi karena memang berlatih bermain game sudah lama diperkenalkan di wilayah barat, terutama Amerika Serikat.

Nintendo Game Play Counselor mungkin adalah kasus pertama yang menjadi bibit terciptanya kebiasaan kursus belajar bermain game. Pada tahun 80an, menamatkan game seperti Mario Bros atau Zelda tergolong sulit. Apalagi informasi tips dan trik serta guide belum dapat diakses mudah seperti pada era internet sekarang. Ditambah lagi, kebanyakan pemain game tersebut juga adalah anak-anak berusia 8-13 tahun.

Sumber Gambar - Twitter @ArtofNP
Nintendo Game Play Counselor yang ditampilkan dalam dokumenter di dalam Netflix. Pekerjaan sebagai Game Play Counselor bisa dibilang menjadi bibit-bibit jasa game coaching yang populer saat ini. Sumber Gambar – Twitter @ArtofNP

Karenanya, Nintendo menciptakan Game Play Counselor untuk “melatih” anak-anak tersebut agar bisa melewati bagian sulit dari suatu permainan. Pemain cukup menelpon nomor hotline yang disediakan, mengutarakan di bagian game mana mereka mengalami kesulitan, lalu para Counselor akan mengajari serta memberi tips untuk melewati bagian sulit tersebut.

Kini semua hal tersebut mungkin bisa teratasi dengan menonton video YouTube atau membaca artikel tips dan trik. Namun ternyata jasa coaching tersebut tetap dibutuhkan, salah satunya mungkin karena kehadiran fenomena esports.

Apabila Anda pergi ke fiverr.com (situs penyedia jasa freelance), tulis “gaming coach” di boks pencarian, Anda bisa menemuan sekitar 192 (48 penyedia jasa di 4 halaman pencarian) lebih penyedia jasa yang akan melatih Anda bermain game (entah itu catur, VALORANT, Overwatch, sampai Roblox). Harganya pun beragam, mulai dari US$5 (sekitar Rp72 ribu) sampai US$25 (sekitar Rp425 ribu). Apabila Anda mencari yang lebih spesifik, misalnya “League of Legends coach”, jumlah penyedia jasanya malah bisa lebih banyak lagi.  Sejauh penemuan saya, pencarian “League of Legends coach” berisi sekitar 528 penyedia jasa (48 penyedia jasa di 11 halaman).

Seperti tadi saya sebut, harga jasa pelatih di fiverr beragam. Beda harga juga beda pelatih dan beda pelatihan yang diberikan. Contoh jasa coaching US$5 dari Vahele misalnya. Dengan harga tersebut, Vahele hanya mengajarkan hal-hal dasar seperti map awareness, cara last-hit yang efektif, warding, dan lain sebagainya. Vahele juga hanya seorang pemain League of Legends dengan rank Diamond saja.

Ada juga jasa coaching League of Legends seharga US$50. Sosok yang menawarkan jasa tersebut juga berbeda. Pelatihnya adalah seseorang dengan nickname Nalu yang sudah punya 7 tahun pengalaman melatih League of Legends dan sempat melatih tim Origen juga.  Dengan harga US$50, Anda cuma dapat satu jam pelatihan, namun dengan isi pelatihan yang lebih mendalam. Dari laman fiverr miliknya, Anda akan mendapat pelatihan makro (map awareness misalnya) yang lebih mendalam, pelatihan mikro (mekanik Champion misalnya), bahkan sampai pelatihan mental serta tips cara berlatih yang efisien.

Di luar dari fiverr, ada juga berbagai platform yang menyediakan jasa coaching game dan esports. Salah satu yang besar mungkin adalah GamerzClass.com dan Proguides.com. Esports coach platform biasanya menggunakan sistem pembayaran berlangganan. GamerzClass memiliki biaya langganan sebesar US$9.99 per bulan. Dengan harga tersebut, GamerzClass menjanjikan pelatihan dari pemain-pemain profesional seperti N0tail dari tim OG Dota 2 atau Jensen dari Team Liquid League of Legends. Tetapi melihat dari laman resminya, bentuk pelatihan yang diberikan sepertinya hanya video online course yang bisa Anda tonton untuk belajar.

Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar - GamerzClass website
Harga yang dikenakan untuk berlangganan GamerzClass. Sumber Gambar – GamerzClass website

Proguides.com menawarkan harga yang lebih murah, yaitu US$7.99 yang ditagih secara tahunan. Dengan biaya yang lebih murah, Proguides.com menawarkan jasa yang tergolong lebih banyak. Selain dari video online course yang bisa ditonton, Proguides.com juga menawarkan sesi konsultasi dari para pelatih. Mengutip dari laman resminya, sesi konsultasi dibatasi sekitar 4 jam setiap bulannya. Di luar dari jasa coaching online yang berbayar, Proguides.com juga menawarkan beberapa konten-konten tips dan trik yang bisa diakses gratis via YouTube.

Proguides.com dan GamerzClass.com masih memanfaatkan jasa dari pemain lainnya untuk menyediakan pelatihan. Selain itu, ada juga esports coaching platform yang memanfaatkan teknologi. Beberapa contohya seperti Gosu.ai, aplikasi Aim Lab, atau bahkan Dota Plus. Platform tersebut mungkin tidak bisa sepenuhnya disebut coaching platform, namun tiga program tersebut tetap merupakan sebuah platform yang dapat digunakan oleh pemain untuk bermain lebih baik.

Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar - Website Proguides.com.
Harga yang dikenakan untuk menikmati esports coaching platform Proguides.com. Sumber Gambar – Website Proguides.com.

Gosu.ai misalnya, menggunakan teknologi AI dan API yang disediakan oleh game terkait. Dengan menggunakan dua teknologi tersebut, pemain yang sudah memiliki akun akan diberi informasi detil dari permainan sebelumnya yang sudah dianalisis. Saya sempat menggunakan Gosu.ai agar dapat bermain PUBG (PC) dengan lebih baik. Setiap kali selesai permainan, Gosu.ai akan memberi data yang berisikan di area mana dan berapa lama Anda bertahan hidup, tingkat akurasi senjata yang Anda gunakan, ke bagian tubuh mana saja tembakan Anda mendarat, dan lain sebagainya.

Aim Lab berbeda lagi. Aim Lab bersifat sebagai sebuah training platform yang fungsinya untuk melatih kemampuan pemain menggunakan mouse untuk membidik musuh di game FPS.  Berhubung hanya training platform, Anda harus berlatih sendiri di Aim Lab. Namun Aim Lab menyediakan beragam porsi latihan yang dibutuhkan untuk melatih aspek-aspek kemampuan menembak. Misalnya untuk berlatih flickshot, Anda akan diberikan tantangan untuk menembak satu target ke target lain dengan cepat. Lalu untuk melatih akurasi, target akan datang lebih lambat namun ukurannya jadi kecil sekali.

Dota Plus berbeda lagi. Dota Plus mungkin bisa dibilang satu-satunya training platform yang disediakan oleh pihak pertama yaitu Valve sendiri sebagai developer game Dota 2. Mirip seperti Gosu.AI, Dota Plus akan menyediakan data-data mendalam yang dapat membantu pemain membuat keputusan dalam memenangkan permainan. Data-data yang diberikan seperti termasuk harus pakai hero apa, skill apa yang harus dinaikkan, item apa yang harus dibeli, dan lain sebagainya. Dota Plus dijual seharga US$3.99 setiap bulan yang juga berisi berbagai macam kosmetik untuk mempercantik beberapa aspek di dalam permainan.

 

Melihat Lanskap Bisnis Esports Coaching di Indonesia: Terbentur Sumber Daya dan Perkara Edukasi Market

Dari sedikit penjelasan deskriptif saya di atas, Anda bisa melihat sendiri banyaknya tawaran dari berbagai pihak terhadap jasa pelatihan gaming (entah dalam bentuk pelatih berupa pemain profesional atau dalam bentuk program yang menyajikan data-data) di luar sana. Banyaknya penawaran jasa coaching sedikit banyak bisa menggambarkan tingkat permintaan jasa coaching gaming dan esports di sana. Lalu bagaimana dengan pasar lokal Indonesia sendiri?

Esports 2.0 di Indonesia sendiri bisa dibilang baru mulai berkembang pesat sekitar 3 sampai 4 tahun belakangan. Karena itu, membayar untuk jasa coaching di bidang gaming dan esports mungkin masih dirasa asing. Sejauh yang saya tahu, baru ada dua buah esports coaching platform yang ada di Indonesia. Dua platform tersebut adalah RRQ Academy dan juga Aegis.gg. Di luar dari dua esports coaching platform tersebut, ada juga beberapa sosok pelatih esports yang menjajakan jasa pelatihan secara freelance.

Untuk menakar kondisi serta potensi bisnis jasa esports coaching di pasar lokal, saya mencoba menghubungi manajemen RRQ Academy dan Priyagung “Ruichen” Satriono sebagai dua narasumber. RRQ Academy diwakili oleh Ajeng Hendarmin selaku Head of RRQ Academy dan Ahmad Zaki Zunnuroin selaku Head of Curriculum RRQ Academy. Lalu Priyagung “Ruichen” Satriono sendiri sebelumnya merupakan salah satu sosok di balik layar dari kesuksesan EVOS AOV. Setelah EVOS AOV bubar, Agung (panggilan akrab Ruichen) kini sedang mencoba menjajaki bisnis jasa esports coaching secara freelance untuk game genre MOBA secara umum.

Pertama-tama saya mewawancara manajemen RRQ Academy terlebih dahulu. Saya menanyakan terlebih apa itu RRQ Academy secara umum. Setelahnya lalu dijelaskan oleh Ajeng dan Zaki. “RRQ Academy adalah semacam tempat kursus yang dibuat dengan harapan untuk meningkatkan standar kualitas pemain esports di Indonesia. Dibuatnya RRQ Academy sendiri sebenarnya juga bisa dibilang sebagai cara bagi kami untuk memberikan kembali bagi komunitas RRQ ataupun komunitas game secara umum.”

Berhubung Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa RRQ Academy adalah lembaga kursus, maka para calon murid pun harus membayar sejumlah uang apabila ingin mengikuti kelasnya. Berapa biaya yang dibayarkan? Ajeng dan Zaki mengatakan bahwa biaya untuk kelas reguler adalah Rp199.000 per orang. RRQ Academy memiliki beberapa tingkatan harga bagi para pesertanya.

Sumber Gambar - Website RRQ Academy
Pendaftaran bahkan kini sudah masuk gelombang ke-12. Sumber Gambar – Website RRQ Academy

Mengutip laman resminya, Kelas Reguler (di website diberi nama Kelas Semi-Pro) memiliki harga lain yaitu Rp250.000, Rp385.000, Rp460.000, dan Rp750.000. Semua tingkatan memiliki kurikulum yang sama, namun dengan benefit yang berbeda. Untuk harga Rp250.000, kursus menyertakan sertifikat cetak dan lanyard. Harga Rp385.000 menyertakan jersey RRQ Academy dengan custom nickname. Harga Rp460.000 menyertakan jersey custom nickname beserta sertifikat cetak, sementara harga yang terakhir yaitu Rp750.000 ditujukan untuk tim.

Dengan patokan harga yang cukup tinggi untuk pasar Indonesia, kira-kira berapa jumlah peminat jasa coaching yang disediakan oleh RRQ Academy sendiri. Ajeng dan Zaki tidak bisa menyebut angka pastinya, namun kurang dan lebihnya jumlah pendaftar RRQ Academy sendiri sudah mencapai angka ribuan menurut mereka.

Sebagai gambaran lain antusiasme calon peserta terhadap kelas RRQ Academy, kita mungkin bisa juga melihat sudah sampai di gelombang ke berapa dari masing-masing kelas. Saat ini RRQ Academy membuka kelas untuk empat game: MLBB, Wild Rift, PUBG Mobile, dan Free Fire. MLBB sudah menutup kelas gelombang ke-10 dan 11, Wild Rift baru akan memulai kelas gelombang pertama, PUBG M sudah menutup kelas gelombang ke-5 dan Free Fire telah menutup pendaftaran kelas gelombang ke-2. Dari jumlah gelombangnya, kita bisa melihat langsung bagaimana antusiasme para pemain terhadap jasa esports coaching ternyata cukup tinggi.

Lebih lanjutnya Ajeng dan Zaki juga menjelaskan. “Sejauh pengamatan saya, kebanyakan tim yang mengikuti turnamen semi-profesional itu bersedia membayar jasa esports coaching. Namun memang bagi kebanyakan tim yang masih bersifat swadaya, soal biaya itu sendiri adalah tantangannya. Karena itu kelas RRQ Academy memang sengaja kami rancang memiliki harga yang terjangkau. Jadi, walau sifatnya bukan privat, tetapi kami berharap murid-muridnya di sini jadi punya akses untuk berdiskusi dengan para pelatih yang profesional.”

Lalu apa saja yang diajarkan RRQ Academy kepada para murid-muridnya? Ajeng dan Zaki bercerita bahwa ilmu, pengalaman, serta tips dan trik game hanyalah satu bagian pengajaran saja. “Selain itu kami juga memberi materi komunikasi tim dan juga materi nilai profesionalisme sebagai persiapan mereka apabila terjun ke kancah profesional. Selain dari itu, RRQ Academy juga memasangkan pendaftar yang bersifat individual ke dalam satu tim.”

Ajeng dan Zaki juga menjelaskan bahwa isi pengajarnya adalah pelatih dari tim esports aktif, mantan pemain profesional, dan juga analis. Namun satu yang patut disadari, walau semua pengajar yang jadi pelatih punya pengalaman yang bagus dalam memahami permainan, kemampuan mengajar bisa dibilang sebagai kemampuan terpisah yang belum tentu dimiliki orang-orang tersebut.

Terkait hal tersebut manajemen RRQ Academy pun menceritakan. “Satu hal yang pasti, sebelum kelas dimulai, jajaran pengajar RRQ Academy akan saling tukar pikiran terlebih dahulu. Tukar pikiran tersebut membahas soal hal apa yang bisa diberikan kepada para murid nantinya. Kalau terkait ‘cara mengajari’, kebanyakan pelatih yang ada di RRQ Academy sendiri sudah memiliki kemampuan tersebut.” Tuturnya.

Menutup pembahasan, saya sendiri penasaran dengan cerita-cerita sukses dari para peserta RRQ Academy serta pendapat manajemen terhadap prospek serta tantangan bisnis jasa esports coaching. Dalam hal cerita sukses, manajemen RRQ Academy berkata bahwa sudah ada beberapa murid yang mencapai sesuatu setelah lulus dari RRQ Academy.

“Ada yang namanya Cello, dia pernah menjadi peserta Esports Star Indonesia. Ada juga beberapa nama yang masuk tim, walau mungkin bukan yang tier 1 seperti ‘Raja‘ yang sekarang membela XCN di MDL. Beberapa yang lain ada juga yang menjadi bagian RRQ pada divisi RRQ Streamers. Tetapi memang, untuk saat ini, belum ada satupun lulusan akademi yang tembus rekrutmen tim utama RRQ ataupun tim profesional lainnya.” Tutur manajemen RRQ Academy. Dalam hal potensi, manajemen RRQ Academy menjawab, “saya merasa bisnis jasa esports coaching punya prospek yang sangat menjanjikan walau tantangannya adalah jumlah sumber daya manusia untuk melatih yang masih belum banyak.”

Setelah selesai dengan RRQ Academy, narasumber berikutnya adalah Priyagung “Ruichen” Satriono. Sosok Ruichen sendiri memang sudah punya pengalaman yang malang melintang sebagai pelatih, walau lingkupnya mungkin hanya AOV saja. Dirinya bersama EVOS AOV telah berhasil membawa tim tersebut memenangkan liga AOV Indonesia (ASL) selama beberapa musim berturut-turut dan membawa timnas AOV Indonesia mendapatkan medali perak di SEA Games 2019. Setelah EVOS AOV bubar bulan Oktober 2020 lalu, Ruichen pun melanjutkan karirnya sebagai pelatih, namun kini sebagai freelance yang menyediakan jasa esports coaching game MOBA secara umum kepada tim.

Berbeda dengan RRQ Academy yang bergerak sebagai satu divisi, Ruichen hanya seorang diri di sini. Mungkin karena hal tersebut juga, jumlah orang yang mengikuti jasa esports coaching dari Ruichen cenderung lebih sedikit. “Kalau ditanya soal demand coaching di Indonesia, menurut gue sih sedikit. Mungkin karena menurut para penggunanya masih terlalu mahal juga. Kalau ditanya berapa orang yang pernah ikut kelas coaching dari gue, yang jelas masih di bawah 100 orang.”

Satu yang saya cukup penasaran sebenarnya mungkin adalah soal orang yang menggunakan jasa pelatih esports tersebut. Apabila kita mundur ke tahun 2018 lalu, sempat ada fenomena ketika banyak orang tua di Amerika Serikat mempekerjakan esports coach untuk melatih anaknya bermain Fortnite. Hal tersebut sepertinya agak tidak mungkin terjadi di Indonesia, mengingat beberapa orang tua Indonesia juga belum bisa menerima fenomena esports. Tetapi, apakah ada orang yang menggunakan jasa pelatihan hanya agar dapat bermain lebih baik saja?

Dalam kasus Agung, dirinya menceritakan bahwa pernah ada orang seperti itu yang menggunakan jasa pelatihannya. “Kalau ditanya siapa yang menggunakan jasa coaching gue, kebanyakan adalah pemain yang ingin naik ke jenjang karir pemain profesional. Kalau pemain casual yang sekadar ingin naik rank sih ada, tapi sejauh perjalanan gue sendiri baru ada satu orang saja.”

Selanjutnya saya juga menanyakan soal biaya yang dikenakan agar dapat dilatih oleh seorang Ruichen. “Coaching dari gue sendiri memiliki rate harga sekitar Rp350 ribu sampai 500 ribu setiap sesi. Dalam satu sesi bisa berjalan selama 1,5 sampai 3 jam, tergantung dari kesepakatan awal antara saya dengan tim/orang yang ingin dilatih. Semisal tim/orang tersebut ingin rutin dilatih beberapa sesi dalam setiap bulan, rate harga tentu masih bisa nego nantinya.” Tuturnya.

Di luar dari itu, saya juga sedikit berdiskusi soal berapa harga yang pas untuk sebuah sesi esports coaching. Pada kasus RRQ Academy kita bisa melihat sendiri bahwa mereka sudah hampir mendapatkan ribuan peserta dengan harga Rp200.000. Harga tersebut lebih murah ketimbang jasa esports coaching milik Ruichen yang harganya sekitar Rp350 ribu namun hanya dalam sesi satu jam saja.

Sumber: Agung "RuiChen" pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports.
Sumber: Agung “RuiChen” pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports pada zamannya.

“Kalau soal harga coaching, jujur ini sih gue masih kurang tahu ya. Tetapi menurut pengamatan gue, kebanyakan orang saat ini masih cenderung memandang rendah soal pentingnya pemahaman sebuah game. Orang-orang hanya berpikir untuk sekadar main saja.” Tutur Agung memberi pendapatnya.

Lebih lanjut, Agung juga menjelaskan soal metode pelatihannya. “Ada beberapa tim yang gue ajari dari hal yang paling mendasar: seperti soal tanggung jawab, tujuan, serta maksud dari pemain profesional itu sendiri. Semisal yang minta dilatih adalah tim profesional (sempat diminta oleh tim luar negeri), biasanya mereka lebih butuh vod review sama konsultasi saja. Namun demikian, hari pertama latihan akan tetap gue ajari hal dasar seperti itu juga. Kalau ditanya bagaimana metode gue dalam melatih, mungkin penjelasaannya begini. Ibarat mau makan, gue cuma menyediakan piring, nasi, sendok, dan memberi tahu bagaimana caranya makan. Tetapi apabila ingin makan, maka orang itu (pengguna jasa coaching) harus makan sendiri, bukan disuapi.”

Terakhir menutup perbincangan kami, saya juga menanyakan pendapatnya soal potensi masa depan bisnis esports coaching di Indonesia? “Kalau di Indonesia sepertinya masih susah.” Ucapnya membuka pembahasan.

“Kalau di luar negeri, potensinya sudah sangat besar. Di luar negeri sana sudah banyak sekali platform jasa esports coaching. Lalu kalau dalam kasus gue sendiri, gue bahkan sempat dapat client dari luar yang minta dilatih langsung dengan share-screen sembari gue memantau dan memberi tahu dia skill apa yang harus digunakan. Jadi sebetulnya kalau ditanya bagaimana potensi jasa coaching untuk jadi bisnis di masa depan, menurut gue potensinya ada aja. Cuma sepertinya kalau untuk saat ini belum cocok untuk dijadikan sebagai pekerjaan utama. Menurut gue, Indonesia masih butuh lebih banyak edukasi soal jasa coaching dan konsultasi esports ini. Soalnya gue merasa masih banyak yang memandang remeh perkara mental dan pentingnya konsultan.” Jawab Agung menutup perbincangan.

 

Pada Akhirnya

Apabila melihat dari penjelasan dua narasumber terkait, bisnis esports coaching sepertinya punya posisi yang menarik. Pada satu sisi, esports yang kini sedang melaju pesat di Indonesia sepertinya memang berhasil menciptakan keinginan para penontonnya untuk mencapai posisi yang sama seperti sosok-sosok yang ditontonnya. Minat untuk menjadi pemain esports yang tinggi secara tidak langsung mungkin meningkatkan minat untuk menggunakan jasa coaching esports. Salah satu contoh hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari sisi RRQ Academy. Menggunakan nama besar RRQ di Indonesia, RRQ Academy cenderung menarik minat lebih banyak orang untuk menggunakan jasa esports coaching.

Pada sisi lain, apa yang dikatakan oleh Agung mungkin ada benarnya. Jasa coaching esports berbayar bisa dibilang sebagi bisnis jasa yang masih baru di ekosistem gaming/esports Indonesia. Karenanya masih butuh lebih banyak edukasi lagi kepada calon penggunanya, agar dapat memahami pentingnya jasa coaching seperti apa yang diberikan oleh Agung.

Lalu, apakah biaya menjadi masalah? Apabila melihat penjelasan Agung serta manajemen RRQ Academy beberapa pengguna jasa coaching esports sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan biaya. Pada RRQ Academy misalnya, kelas tersebut bahkan kini sudah mencapai pendaftaran gelombang ke-12 walau punya banderol harga jasa sebesar Rp199.000. Begitu juga dengan jasa coaching esports yang ditawarkan Agung. Dengan banderol harga yang ditetapkan, ia masih bisa mendapatkan banyak orang yang ingin menggunakan jasa esports coaching yang diberikan.

Bagaimana dengan potensi masa depan bisnis platform atau jasa coaching esports? Saya di sini mencoba menggabungkan pendapat manajemen RRQ Academy dan Agung. Jawabannya mungkin adalah, potensinya ada namun masih butuh dikembangkan lebih lanjut dengan cara edukasi seraya menambahkan kuantitas dan kualitas sumber daya pelatih di esports sendiri.

Sumber Gambar Utama – DotEsports