Strategi Publisher dan Developer Lokal untuk Pasarkan Game di Pasar Global

Di era serba digital ini, batas antar negara semakin mengabur. Dengan internet, Anda dapat terhubung dengan hampir semua orang di seluruh dunia. Dalam industri game, keberadaan platform distribusi game digital seperti Steam dan Google Play memberikan keuntungan tersendiri. Ini memungkinkan para developer untuk bisa menyasar audiens global. Semakin besar pasar yang ditargetkan, semakin besar pula potensi pemasukan yang didapatkan. Tentu saja, ada berbagai masalah yang harus bisa diselesaikan oleh pihak developer jika mereka ingin game-nya sukses di pasar global.

Apa yang Harus Diperhatikan Ketika Menargetkan Audiens Global?

Melalui platform seperti Steam atau Play Store dan App Store, developer bisa langsung menerbitkan game buatan mereka ke pasar global selama mereka menggunakan bahasa Inggris dalam game, ungkap CEO Toge Productions, Kris Antoni saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. Dia menambahkan, “Tapi, untuk beberapa negara yang mayoritas penduduknya tidak berbahasa Inggris, misal Tiongkok, Jepang, Korea, Brazil, dan lain sebagainya, kita perlu melakukan pelokalan. Tentu, biayanya tidak murah, tapi dapat dilakukan bertahap.” Ketika ditanya tentang apa yang harus diperhatikan ketika developer hendak menyasar audiens global, dia menjawab, “Perhatikan target market-nya. Negara/region apa saja yang mau kita tuju, dibandingkan dengan biaya pelokalan dan peraturan atau kultur.”

Senada dengan Kris, CEO dan Pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron berkata bahwa sekarang, developer lokal dapat menyasar pasar global dengan lebih mudah. “Dalam konteks komoditi digital global, untuk distribusi, tinggal centrang saja di negara mana saja yang mau kita rilis. Yang membedakan adalah apresiasi dari jumlah revenue yang bisa didapatkan dari market global,” ujarnya.

“Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelokalan konten, yang bisa meliputi script text, penamaan karakter, atau bahkan sampai di perancangan desainnya. Dicari benang merahnya yang bersifat global, sehingga game bisa dimengerti secara universal,” kata Rachmad. Dia memberikan contoh dalam penamaan Linda, tokoh utama DreadOut, game horror buatan Digital Happiness. “Nama Linda yang kita gunakan adalah nama yang universal dan pengucapannya pun hampir semuanya sama,” jelasnya.

Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam
Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam

Salah satu keuntungan menyasar pasar global adalah potensi pemasukan yang lebih besar, terutama jika developer membuat game PC atau konsol premium. Memang, Indonesia merupakan pasar yang cukup besar dengan populasi mencapai lebih dari 270 juta orang. Meskipun begitu, konsumen Indonesia cenderung sensitif terhadap harga. Selain itu, masyarakat di negara berkembang juga memiliki daya beli yang lebih kuat. Jadi, developer bisa mematok harga yang lebih tinggi untuk game-nya, selama mereka dapat memberikan kualitas yang memang memuaskan.

“Dikarenakan global market khususnya Tiongkok, AS, Rusia, Eropa, ekosistem industrinya telah matang puluhan tahun jauh di depan kita, daya beli masyarakat mereka pun tinggi sehingga mendongkrak revenue kita secara umum,” ujar Rachmad. Pada saat yang sama, dia menjelaskan, menyasar pasar global juga akan meningkatkan biaya operasi developer. Alasannya, karena mereka harus menyediakan dana untuk proses pelokalan game.

Menargetkan pasar global memang menggiurkan. Sayangnya, potensi pemasukan yang besar itu hanya bisa direalisasikan jika sebuah developer bisa mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi.

Tantangan Menyasar Pasar Global?

Menurut Rachmad, salah satu tantangan yang dihadapi developer lokal ketika hendak masuk ke pasar global adalah persaingan ketat dengan para developer yang sudah lebih besar dan berpengalaman. “Kita harus bersaing dengan developer besar, yang punya ratusan pekerja dan dana ratusan juta dolar. Dibandingkan dengan kita, ya kayak bumi dan langit,” ujar Rachmad sambil tertawa.

“Semua orang bisa membuat game, tapi belum tentu kita bisa bersaing dengan developer-developer besar,” kata Rachmad. Menurutnya, bagi developer Indonesia yang enggan untuk mencoba menargetkan pasar global, mereka bisa memilih untuk fokus untuk menguasai pasar domestik. “Menarik apabila kita bisa menguasai pasar lokal. Tampaknya, kita juga nggak perlu go global, seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang,” dia bercerita.

Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam
Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam

Meskipun begitu, menurut Kris, terlepas apakah developer menyasar pasar global atau hanya menargetkan pasar domestik, mereka tetap harus bersaing dengan developer/publisher raksasa. Memang, berbeda dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia tidak membatasi developer asing yang hendak meluncurkan game buatannya di Indonesia. Di Tiongkok, jika developer asing ingin meluncurkan game di negara Tirai Bambu tersebut, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal.

Namun, Kris setuju, persaingan dengan game-game internasional merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi developer lokal yang ingin menerbitkan game-nya di tingkat global. “Kita sekarang melakukan seleksi yang cukup ketat untuk memilih game yang akan kita kembangkan dan publish. Hanya game yang memiliki keunikan yang kuat, hook dan value proposition yang kuat yang akan kita pasarkan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Kris bercerita, tantangan lain yang harus dihadapi oleh developer lokal adalah visibility dan market reach.

“Gimana caranya agar game Indonesia bisa dikenal di luar negeri? Kita berjuang keras untuk mengirimkan game-game kita ke kompetisi dan event eksibisi internasional. Dari situ, kita pelan-pelan membangun kredibilitas dan jaringan,” ujar Kris.

Strategi Dalam Menargetkan Pasar Global

Menurut laporan dari PCGamesN, pada 2019, ada 8.290 game yang dirilis di Steam. Tidak mudah bagi developer untuk membuat game-nya tampil menonjol di antara ribuan game tersebut. Karena itu, marketing menjadi sangat penting. Kris bercerita, di Toge, ketika mereka hendak memasarkan game di pasar global, mereka akan melakukan marketing secara digital. Dengan digital marketing, Toge dapat memperluas jangkauan mereka dan menekan pengeluaran, mengingat biaya marketing digital relatif lebih murah jika dibandingkan dengan marketing tradisional.

Selain itu, Toge juga melakukan pelokalan konten. Namun, terkait hal ini, Kris berkata bahwa Toge biasanya tidak mengubah isi konten game. “Pelokalan yang kita lakukan kebanyakan hanya sebatas bahasa,” ujarnya saat ditanya strategi Toge untuk masuk ke negara-negara yang memiliki budaya dan kebiasaan masing-masing.

Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam
Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam

Saat menyasar audiens global, developer bisa meluncurkan game-nya di seluruh dunia secara serentak. Namun, ada juga developer yang memilih untuk merilis game-nya di kawasan atau negara tertentu terlebih dulu, seperti yang Niantic lakukan dengan Pokemon Go. Menurut Rachmad, jika developer mengincar pasar global dan memiliki dana yang memadai, mereka sebaiknya meluncurkan game mereka secara serentak di seluruh dunia pada berbagai platform sekaligus. Idealnya, developer juga sudah menyiapkan opsi bahasa selain bahasa Inggris, khususnya bahasa Mandarin, Rusia, Prancis, Italia, Jerman, dan Spanyol.

“Dalam kasus DreadOut 1 dulu, kita memang menyasar langsung global. Indonesia sangat membantu dalam memviralkannya. Tapi, angka sales (di Indonesia) sangat jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat,” cerita Rachmad. “Untuk DreadOut 2, kami setengah-setengah. Kabar baiknya, pengguna asal Indonesia saat ini menempati urutan ke-2 pengguna berbayar, mengalahkan pemain AS yang di DreadOut 1 menempati peringkat pertama.”

Taktik Ekspansi Global oleh Developer Asing

Masing-masing developer memiliki strategi yang berbeda ketika mereka menyasar audiens global. Bagi Activision, ketika mereka menyasar pasar global dengan Call of Duty: Mobile, mereka tidak hanya berusaha untuk melokalkan konten, tapi juga berusaha untuk memastikan konten dalam game tetap relevan dengan para pemain, tak peduli di negara mana mereka tinggal. Jenny Taran, Head of Growth, Call of Duty Mobile at Activision menjelaskan, untuk membuat game terasa familier bagi pemain, Activision biasanya membuat tim lokal, yang mencakup customer support, media sosial, marketing, dan lain sebagainya, seperti dikutip dari VentureBeat.

Taran bercerita, saat hendak menargetkan pasar global, Activision memang akan melakukan pelokalan sejak awal. “Semua channel untuk akuisisi pemain dan konten kreatif dibuat secara khusus menargetkan kawasan tertentu,” ujarnya. “Terkait pelokalan, salah satu hal penting yang pelajari adalah untuk fokus pada video gameplay dari game kami.” Dia menambahkan, hal penting lainnya adalah untuk menjelaskan gameplay dengan cara yang memang dipahami dengan masyarakat di sebuah negara atau kawasan.”

Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision
Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision

Jika dibandingkan dengan developer lokal, Activision memiliki dana yang lebih besar. Namun, itu bukan berarti mereka bisa menghambur-hamburkan uang begitu saja. Ekspansi global tidak murah. Tidak hanya uang, developer juga harus siap untuk menyediakan waktu dan sumber daya ketika mereka hendak menyasar audiens global. Karena itu, Activision biasanya tidak sembarangan mencoba untuk masuk ke sebuah negara. Sebagai gantinya, mereka akan fokus pada pasar yang memang memiliki potensi besar.

Lalu, bagaimana Activision menentukan pasar mana yang harus mereka masuki? Taran menjelaskan, Activision memiliki tim analitik dan konten kreatif di seluruh dunia. Dari sini, mereka akan mencoba untuk mengetahui besar potensi pasar sebuah negara. Setelah itu, mereka akan memfokuskan sumber daya mereka — uang, pekerja, dan waktu — berdasarkan besarnya potensi pasar dari satu negara. Sementara strategi yang mereka gunakan akan ditentukan berdasarkan apa yang mereka butuhkan. “Jika ada penyalahgunaan sumber daya karena kurangnya proses otomasi, maka data dan analitik data akan menjadi prioritas kami. Jika ada banyak ide kreatif yang belum direalisasikan, maka prioritas kami adalah mengembangkan konten kreatif,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, game biasanya dikemas dalam bentuk fisik, baik berupa cartridge atau kepingan CD. Namun, sekarang, seiring dengan semakin cepatnya koneksi internet dan semakin tingginya penetrasi internet, semakin banyak juga orang yang memilih untuk membeli game melalui platform distribusi digital, seperti Steam dan Epic Store. Bagi developer game, ini berarti mereka dapat menyasar audiens global dengan lebih mudah.

Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pasar di Indonesia memang sudah cukup besar. Meskipun begitu, menyasar pasar global tetap menawarkan potensi pemasukan yang lebih besar. Pasalnya, sejumlah negara memiliki industri game yang lebih matang dan daya beli masyarakat yang lebih tinggi.

Hanya saja, untuk bisa menembus pasar global, developer juga harus bisa menawarkan game yang memang menarik bagi gamer internasional. Di sinilah pentingnya pelokalan. Biasanya, pelokalan tidak lebih dari mengganti bahasa, khususnya untuk negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Namun, ada juga developer yang membuat tim lokal untuk memastikan bahwa game mereka dapat diterima dengan baik. Pada akhirnya, tingkat pelokalan yang dilakukan oleh developer tergantung pada dana yang mereka miliki.

Sumber header: DailySocial

Cerita Tim UwU Gaming: Dari Andai-Andai Menjadi Nyata

Fighting game bisa dibilang sebagai salah satu esports tertua dalam ekosistem esports, selain dari Counter-Strike yang tak pernah mati sejak tahun 1999. Jika berpatok pada turnamen Evolution Championship Series saja, artinya komunitas fighting game sudah ada sejak dari tahun 1996. Kalau ditarik lebih jauh lagi, bibit skena ini malah mungkin sudah hadir sejak Street Fighter 2 versi arcade rilis pada tahun 1991.

Banyak yang bilang bahwa ciri khas ekosistem ini adalah hubungan emosional komunitas yang begitu erat. Itu juga yang mungkin membuat pecinta fighting game, walau berbeda permainan, tetap bersatu di bawah bendera fighting game community atau FGC.

Skena Indonesia punya ceritanya sendiri. Advanced Guard bisa dibilang adalah salah satu sosok besar dalam perkembangan FGC Indonesia. Seiring waktu, FGC Indonesia terus berkembang. Berawal dari satu komunitas, kini FGC Indonesia jadi punya ragam komunitas dengan tujuannya masing-masing.

Beberapa waktu lalu kita sudah sempat menyorot DRivals, komunitas Tekken yang berkembang pesat secara prestasi di skena kompetitif Jabodetabek dan sekitarnya. Tetapi selain dari mereka, ada juga komunitas lain yang juga bergeliat lincah di skena Tekken Jabodetabek, yaitu UwU Gaming.

Siapa mereka? Apa yang ingin mereka capai? Saya berbincang dengan Simeon Handi Kurniadi, Co-Founder UwU Gaming mencoba mengetahui cerita di balik komunitas ini, dan perjalanannya menjadi tim esports. Simak hasil perbincangan saya berikut

Terbentuk dari Kelakar Pertemanan

Anda penggemar pop culture Jepang mungkin akan memandang kata ‘UwU’ dengan cara berbeda. Ini karena ‘UwU’ kerap kali digunakan di dalam lingkungan pergaulan, terutama pop culutre Jepang, sebagai emoticon. Pertama kali muncul di forum, UwU biasanya digunakan untuk mengekspresikan perasaan senang atau kebanggaan dengan wajah gemas ala anime.

Simeon Handi Kurniadi, Co-Founder UwU Gaming juga mengatakan bahwa emoticon tersebut menjadi inspirasi dari nama komunitas ini. Tetapi selain itu, nama UwU Gaming sebenarnya juga berasal dari plesetan organisasi esports yang bergeliat di FGC internasional yaitu UYU.

“Dulu alasan memberi nama UwU karena teringat emoticon yang lucu, terus juga karena ada tim profesional bernama UYU. Akhirnya nama UwU dipilih karena niat awal bikin tim ini sebetulnya hanya untuk iseng dan tidak berniat menjadi serius.” Ucap sosok yang kerap dipanggil Handikurr di dalam komunitas.

Menariknya, meski UwU punya konotasi yang imut, tim mereka menggunakan Serigala yang garang sebagai logo tim. Handikurr lalu menceritakan selayang pandang asal usul logo tersebut.

“Kalau ditanya kenapa logonya serigala, awalnya juga karena kelakar teman-teman saja. Pertama, emoticon wajah UwU kadang ditempatkan pada wajah serigala. Kedua, karena ‘uwu’ terdengar seperti suara auman serigala. Dari situ kami lalu membahas lebih jauh lagi alasan kenapa logonya harus serigala. Saya dan kawan-kawan terpikir bahwa Serigala adalah simbol keberanian bagi orang romawi dan mesir kuno. Jadi serigala dipilih jadi simbol komunitas kami sebagai doa, agar komunitas kami memiliki jiwa keberanian.” Tuturnya.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Orang tua kita kerap berkata bahwa nama adalah doa. Doa UwU Gaming menjadi komunitas yang berani pada akhirnya benar terpancar kepada mental anggota komunitas UwU Gaming. Mereka selalu dengan berani menantang siapapun di skena Tekken 7 Jabodetabek dan sekitarnya.

Bahkan, waktu itu tiga orang anggota mereka juga dengan berani mengadu nasib di Last Chance Qualifier Tekken World Tour Finals 2019, walau mungkin hasilnya hanya pengalaman berharga saja.

Dengan umurnya yang masih muda belia, UwU Gaming bergeliat begitu lincah di tengah komunitas FGC Jabodetabek. Namun, itu mungkin tidak tercapai jika Handikurr tidak pernah mengenal Tekken ataupun komunitas fighting game sebelumnya.

Handikurr lalu menceritakan awal ia mengenal Tekken dan FGC saat masih tinggal di Yogyakarta.

“Dulu saya pertama kali kenal FGC di Jogja, karena suka berkumpul dengan komunitas pop culture Jepang, yang kebetulan banyak pemain Tekken. Saya akhirnya ikut main dan buat komunitas fighting game di sana. Dulu komunitasnya bernama FAIJO (Fighting Games Jogja). Dari situ mulai kenal teman-teman yang sudah berkecimpung di FGC.” Cerita Handikur.

“Lalu setelah itu saya pindah ke BSD karena pekerjaan. Semenjak di sana, akses turnamen lebih dekat, jadi saya lebih sering berusaha untuk kumpul dengan teman-teman FGC yang ada di Jakarta. Sampai suatu hari saya ikut turnamen tag team DRivals di suatu kafe di Jakarta Barat pada tahun 2018. Pada saat itulah saya bertemu dengan Zul (V4NZER), Faris (JUST_FRS) dan Roku (Mitsuky). Mereka bisa dibilang pencetus lebih awal dari saya, karena ikut turnamen dengan nama tim uwu.” Handikurr menjelaskan awal alasan ia membentuk UwU.

Nama UwU sebenarnya sudah terlebih dahulu digunakan oleh tiga pemain tersebut. Tetapi Handikurr bisa dibilang menjadi sosok yang membuat UwU Gaming menjadi lebih serius, bukan hanya tim untuk kelakar, tapi menjadi komunitas dan rumah bagi para pemain Tekken 7 ataupun FGC secara keseluruhan.

“Waktu itu gara-gara saya lawan mereka di turnamen tersebut. Saat melawan mereka, saya tidak merasakan tekanan, malah enjoy dan merasa fun. Dari sana saya muncul ide, dan ajak mereka obrol-obrol. Dari obrolan tersebut, muncul angan-angan membuat tim esports, bikin jersey, konten-konten menarik, dan lain sebagainya. Lucunya adalah ternyata semua andai-andai saya dan kawan-kawan yang dipikirkan saat itu ternyata sudah hampir tercapai semua.. Hahaha.” Ucap Handikurr menceritakan pengalamannya membentuk UwU.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Mulai serius di tahun 2019, perkembangan UwU Gaming sebagai komunitas terbilang cukup cepat. Konten menjadi sarana mereka memperkenalkan FGC ke khalayak umum. Walau belum belum punya ribuan follower, tapi saya akui kanal media sosial UwU Gaming yang aktif dan punya desain grafis mumpuni jadi nilai jual tersendiri bagi komunitas mereka.

Selain media sosial, modal berikutnya UwU Gaming adalah markas yang jadi pusat aktivitas mereka. Markas ini juga tercipta secara tidak sengaja, karena salah satu anggota mereka dengan baik hati menawarkan menggunakan rumahnya yang sudah lama tidak dihuni, sebagai gaming house UwU Gaming.

“Markas atau gaming house kami sebenarnya adalah rumah kosong milik salah satu anggota kami, Hanifrexxx, yang berlokasi di Gaharu, Cipete, Jakarta Selatan. Kebetulan dia bersedia meminjamkan tempat tersebut untuk jadi tempat kumpul-kumpul. Akhirnya tempat itu kami resmikan menjadi markas komunitas UwU Gaming. Sebelumnya GH kami gunakan untuk main bareng dan membuat konten. Namun saat ini segala aktivitas kami hentikan lebih dulu, karena mengikuti anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri selagi wabah COVID-19 sedang menyeruak.”

Handikurr mengaku merasa tidak sangka dengan semua pencapaian yang mereka capai lewat komunitas ini dalam waktu yang singkat. “Karena ini semua berawal sebagai bercandaan dan ide iseng saja, jadi saya dan teman-teman kadang kaget kenapa UwU Gaming tiba-tiba sudah sampai di titik ini.” Ucapnya.

Perjalanan UwU Gaming Sampai Saat Ini

Walau masih seumur jagung, UwU Gaming terbilang aktif secara kompetitif dan giat berjibaku dalam berbagai ajang adu jotos Tekken 7 di Jabodetabek. Pengalaman bertanding para anggota UwU Gaming mungkin tidak gahar seperti para anggota DRivals, yang salah satunya sempat bertanding di Rev Major. Juga tidak galak seperti Muhammad Adriansyah Jusuf (MEAT), yang sudah dipercaya mewakili Indonesia untuk cabang esports Tekken 7 di SEA Games 2019.

Akan tetapi, passion mereka terhadap Tekken memunculkan sikap berani yang patut diacungi jempol. Seperti sempat saya sebut di awal artikel, ada tiga pemain UwU Gaming yang nekat adu nasib ikut Last Chance Qualifier TWT Finals 2019 di Bangkok, Thailand. Mereka adalah Clice.L, Nafilo, dan Ar’Fear. Hasilnya tentu bukan kemenangan karena yang dicari memang pengalaman saja.

Nafilo yang punya nama lengkap Olifan Okto Pradana sempat bercerita soal pertandingannya di LCQ TWT Finals 2019. Ia mengaku mendapat banyak sekali pengalaman selama bertanding di sana, terutama saat menghadapi pemain-pemain Pakistan yang tanggap merespon kesalahan gerakan yang ia lakukan.

Sumber: Instagram UWU Gaming
Sumber: Instagram UWU Gaming

“Selama perjalanan di sana, gue belajar bahwa ada kesalahan dari metode permainan gue selama ini, seperti memilih gerakan yang berisiko ketimbang gerakan yang lebih pasti. Walau cuma bermain selama 6 menit, tetapi gue mendapat pengalaman berharga yang bisa mengubah cara pandang gue terhadap cara main Tekken.” Ucapnya.

Untuk saat ini UwU Gaming tercatat sudah memiliki 16 anggota, dengan 2 di antaranya berdomisili di Yogyakarta. Prestasi yang anggota mereka kumpulkan juga lumayan banyak. Eka Widarma (Lazt) misalnya, sudah memenangkan beberapa turnamen di skena lokal Yogyakarta. Salah satu yang paling bergengsi adalah ketika ia menjuarai kompetisi Tekken di acara KAI Esports Exhibition pada tahun 2019 lalu.

UwU Gaming juga sempat beberapa kali mengikuti gelaran Hybrid Cup. Saat Hybrid Cup hadir dengan format tim, UwU Gaming turut bertanding dan mengirimkan dua timnya. Ketika itu ada UwU Sunflower yang berisikan Ar’Fear, Nafilo, dan JUST_FRS, dan UwU Melancholy yang berisikan Davai, Astha, dan Dipicu_Ikan. Tapi UwU Gaming sayangnya mendapat hasil yang kurang memuaskan dalam turnamen yang dimenangkan oleh DRivals on Air tersebut.

UwU Gaming juga mengikuti Hybrid Cup Series – Tekken 7 Rookie. Diwakili oleh Dipicu_Ikan, UwU Gaming mendapat pencapaian yang cukup baik, berhasil mencapai peringkat top 8, walau akhirnya kalah oleh DRivals.Downfall.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Tak hanya aktif berkompetisi, UwU Gaming juga kerap kali mengadakan beberapa kegiatan komunitas. Layaknya Hybrid IDN yang memiliki dojo, UwU Gaming juga sempat sempat mengadakan dojo mereka sendiri. Ketika itu mereka baru sempat mengadakan dua kali dojo yang ternyata disambut antusias oleh FGC Jakarta.

Handikur mengatakan bahwa open dojo pertama dihadiri oleh 25 orang, sementara yang kedua dihadiri oleh 32 orang. Tak hanya itu, open dojo yang dilakukan oleh UwU Gaming juga dihadiri oleh berbagai sosok, termasuk cosplayer yang cukup ternama dalam komunitas pop culture Jepang, yaitu MamaBear.

“Kejadian mengundang MamaBear itu karena dulu saya pernah ketemu dia di event pop culture Jepang. Ketika itu dia cosplay sambil turnamen Tekken. Terus setelah itu saya ajak obrol-obrol. Sudah gitu kebetulan PapaBear juga kenalan saya dan keduanya main Tekken. Akhirnya saya ajak untuk hadir, dan mereka pun setuju untuk ikut meramaikan gejolak perjalanan UwU Gaming… Hehe.” Handikurr menceritakan asal usul kehadiran sosok cosplayer pada open dojo yang mereka selenggarakan.

Angan-Angan UwU Gaming Menjadi Organisasi Esports

Walau Handikurr mengaku hampir membuat semua ide gila yang ia bayangkan jadi nyata, tetapi ia masih punya mimpi lebih besar untuk UwU Gaming. Untuk saat ini, UwU Gaming sebenarnya bisa dibilang sudah berstatus sebagai tim esports, walau belum sebesar para raksasa seperti EVOS ataupun RRQ.

“Bersamaan dengan peresmian GH beberapa waktu lalu kami juga membagikan perubahan UwU dari komunitas menjadi tim esport. Hal ini kami ambil supaya kami bisa fokus dengan target kami di dunia bisnis. Seperti beberapa bisnis startup lain, kami memulai dengan ‘bakar duit’ dulu. Walaupun belum bisa menggaji para anggota, namun kami mulai membuka peluang bisnis di bidang esport, seperti menjadi caster game atau tawaran kontrak livestreaming.” Tukas Handikurr membeberkan status UwU Gaming saat ini.

Untuk masa depan Handikurr bercita-cita untuk membuat UwU Gaming jadi lebih berkembang. Tak hanya jadi wadah berkegiatan saja, tapi juga menjadi wadah agar para gamers bisa bekerja profesional dari hobi yang mereka suka. “Lebih jauh, saya ingin UwU Gaming tidak hanya menjadi tim saja tapi juga manajemen esports. Tujuannya adalah untuk memberi peluang gamers bisa berkarir secara profesional.”

“Makanya, apa yang ada di bayangan saya, nantinya para gamers yang berada di UwU Gaming tidak hanya mendapat peluang untuk menjadi pemain kompetitif saja, tetapi juga memberi peluang untuk menjadi talenta seperti caster, content creator, streamer, ataupun bidang-bidang lain yang bisa menyokong ekosistem esports, sesuai dengan passion dari masing-masing.” Handikurr menceritakan mimpinya.

Sumber: stuff.co.nz
Ekosistem esports bukan hanya soal menjadi pro player saja. Ada ragam pekerjaan lain, termasuk menjadi game streamer. UwU Gaming bercita-cita untuk hadir dan memfasilitasi hal tersebut. Sumber: stuff.co.nz

Mimpi tersebut mungkin terdengar sederhana, tetapi terasa seperti bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai. Apalagi mengingat persaingan ranah gaming dan esports Indonesia yang jadi semakin ketat belakangan ini. Jika bicara soal bisnis tim esports, sepanjang 2020 yang baru berjalan 4 bulan, kita sudah melihat 5 tim esports baru, hadir dan meramaikan persaingan dalam ekosistem.

Maka untuk memuluskan mimpinya, Handikurr berusaha memulai dari sesuatu yang dekat dengan dirinya, FGC dan konten. “Itu memang bukan hal mudah, tapi bukan tidak mungkin. Maka untuk tahun ini kamu mulai dengan langkah kecil berani dengan menghadirkan konten lebih dahulu. Topiknya juga dimulai dari sesuatu yang dekat dengan kami, yaitu fighting game dan komunitasnya.”

“Nanti kalau sudah ada modal, saya ingin investasi alat multimedia lebih dulu, supaya proses pembuatan konten bisa berjalan dengan baik dan menciptakan konten yang lebih bagus. Hal lain mungkin yang terpikir di kepala saya berikutnya mungkin adalah untuk aktivasi event online ataupun melakukan promosi, agar UwU Gaming bisa dikenal lebih banyak orang.” Tuturnya.

Sumber: UwU Gaming
Sumber: UwU Gaming

Lalu, dengan mimpi yang besar, tentu UwU Gaming harus punya visi, agar komunitas ini bisa naik tingkat dan menjadi apa yang diimpikan Handikurr dan para anggotanya. Terkait ini, Pria asal Yogya tersebut memberikan pandangannya. “Untuk jangka pendek di tahun 2020, dengan fokus kepada konten, kami punya target mencapai 50 ribu follower terlebih dahulu di Instagram. Bagaimanapun, menurut saya, angka adalah sesuatu yang penting di dunia digital. Karena dunia digital tanpa digit (angka) hanya akan menjadi ‘al’ saja nantinya… Hehehe.” Ucapnya seraya berkelakar.

“Untuk jangka panjang, seperti yang tadi saya bilang, kami ingin UwU Gaming bisa menjadi manajemen talenta di bidang esports. Saya ingin UwU Gaming nantinya bisa memberi gaji dan kesempatan karir yang sesuai passion para gamers. Selain itu, karena saya memulai ini dari dunia fighting game, saya ingin UwU Gaming menjadi manajemen esports top-of-mind di dalam skena. Realistisnya tentu terbaik di Indonesia, tapi kalau mau muluk saya juga ingin UwU Gaming bisa jadi yang terbaik di dunia.” Handikurr menjelaskan mimpi dan cita-citanya.

Bagaimanapun, skena game apapun mungkin bisa jadi mati suri tanpa kehadiran tim seperti UwU Gaming. Nyatanya gamers datang dengan berbagai latar belakang dan tujuan. Mungkin ada yang hanya main game untuk mengisi waktu sengan, atau mencari hiburan, atau mencari teman, atau berkompetisi, atau mungkin mencari karir.

Kehadiran entitas seperti UwU Gaming sedikit banyak bisa mewadahi kegiatan bagi para gamers, terutama pecinta fighting game, untuk mencapai tujuan mereka, apapun itu. Semoga cita-cita yang diinginkan sang founder terhadap UwU Gaming bisa tercapai sehingga FGC Indonesia bisa dikenal dunia!

Bagaimana Pengaruh Liga PUBG Mobile ke Ekosistem Esports-nya?

Setelah 4 pekan pertandingan babak Regular Season PMPL ID 2020 Season 1 (6-29 Maret 2020) dan babak Grand Final yang digelar pada tanggal 3-5 April 2020, Bigetron RA akhirnya dinobatkan jadi sang juara; berkat performa gemilang mereka yang sangat konsisten sepanjang musim. Berikut adalah hasil akhir perolehan poin 3 tim teratas di hari ketiga babak Grand Final, beserta hadiah yang berhak mereka dapatkan:

Juara 1: Bigetron RA – 233 poin/4 Chicken Dinner/87 Kill – US$20.000 (sekitar Rp330,5 juta) – Berhak melaju ke PMWL 2020 dan PMPL SEA Finals 2020

Juara 2: MORPH Team – 192 poin/2 Chicken Dinner/73 Kill – US$14.000 (sekitar Rp231 juta) – Berhak melaju ke PMPL SEA Finals 2020

Juara 3: ONIC Esports – 173 poin/2 Chicken Dinner/75 Kill – US$7.0000 (sekitar Rp115 juta) – Berhak melaju ke PMPL SEA Finals 2020

PMPL ID 2020 S1 yang menyuguhkan total hadiah sebesar US$150 ribu (sekitar Rp2,2 miliar) ini adalah liga PUBG Mobile pertama yang digelar resmi oleh Tencent di Indonesia. Biasanya, sebelum ada PMPL, format turnamen lebih sering digunakan untuk ajang-ajang kompetitif PUBG Mobile di Indonesia.

Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id
Sumber: Instagram @pubgmobile.esports.id

Karena itulah, mungkin jadi muncul sejumlah pertanyaan tentang sistem liga dan pengaruhnya untuk ekosistem esports PUBG Mobile (PUBGM). Kenapa baru ada sekarang? Negara-negara mana lagi yang punya PMPL selain Indonesia? Apakah ada kulminasi dari liga-liga tadi di tingkat dunia? Bagaimana hubungannya dengan turnamen internasional PUBG Mobile yang sudah lebih dulu ada, seperti PMCO?

Terakhir, yang tak kalah penting, apakah sebenarnya pengaruh dari sistem kompetisi berbentuk liga ini ke ekosistem esports PUBGM?

Agung Chaniago, Indonesia Esports Manager PUBG Mobile, memberikan jawabannya. Ajang kompetitif berbentuk liga sebenarnya sudah ada sejak ekosistem esports PUBG Mobile muncul namun di tingkat Asia Tenggara. Dan saat ini, pertumbuhan esports sudah begitu pesat – khususnya di Indonesia. “Jadi, kami membuat liga di Indonesia karena kami ingin menjaga ekosistem esports dari tingkat paling bawah sampai paling atas. Liga ini juga jadi cara kami untuk menunjukkan bahwa siapapun bisa jadi bintang di PUBG Mobile.”

Selain di Indonesia, PMPL juga ada di Malaysia-Singapura, Thailand, Taiwan, Asia Selatan, dan Amerika. 3 tim teratas dari masing-masing negara di Asia Tenggara akan diundang lagi untuk bertanding kembali di tingkat yang lebih tinggi, yaitu PMPL SEA Finals 2020. 2 tim teratas dari ajang tersebut akan bertanding di tingkat dunia.

Sumber: Twitter PUBG Esports
PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Lalu apa bedanya dengan PMCO? PMCO merupakan turnamen yang dijadikan jalur ke tingkat internasional buat negara-negara yang tidak memiliki PMPL. Saat ini ada PMCO untuk kawasan Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika.

Agung pun menutup perbincangan dengan menjelaskan pengaruh sistem liga ke ekosistem esports secara keseluruhan. Menurutnya, dampak dari liga ini sangat baik karena sistemnya terbuka tidak hanya untuk tim profesional, tapi juga untuk tim semi-profesional.

“Semua pemain PUBG Mobile bisa mengejar mimpinya untuk turut bertarung di PMPL Indonesia 2020 Season 2 karena kami juga membuka kesempatan seadil-adilnya lewat babak kualifikasi. Relevansinya ke tim-tim profesional juga lebih positif lagi karena setiap tim-tim besar jadi memiliki divisi PUBGM agar bisa bergabung dengan liga kami dan menjadi juara di Indonesia ataupun di dunia.” Kata Agung.

Selain perwakilan dari Tencent tadi, Agustian Hwang, CEO Mineski Global Indonesia (yang juga jadi event organizer untuk PMPL ID 2020 Season 1) dan Edwin Chia, CEO Bigetron Esports turut berbagi pandangan mereka tentang ajang kompetitif berbentuk liga.

Dari sisi penonton, jika melihat esports sebagai bentuk entertainment, Agus mengatakan bahwa sistem liga akan lebih memuaskan penonton karena tidak cuma dari segi kompetisinya saja tetapi juga dari banyak cerita dan konten yang bisa dinikmati.

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Edwin juga mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, sistem liga jauh lebih baik karena ada banyak cerita yang terjadi selama masa pertandingan. Misalnya, seperti bentuk rivalry antar tim akan lebih mudah terbangun dengan sendirinya dibanding dengan sistem turnamen yang bisa saja berakhir dalam waktu 2 hari. Dari sisi performa tim, sistem liga juga mampu menjadi indikator yang lebih baik karena ada lebih banyak pertandingan yang harus dijalani dalam durasi yang lebih lama. Sedangkan di format turnamen, sebuah tim bisa saja jadi juara jika beruntung di selama turnamen berjalan.

Itu tadi dari sisi esports sebagai tontonan. Lalu bagaimana dari sisi bisnis? Sistem seperti apakah yang lebih menguntungkan bagi sponsor kompetisi?

“Untuk perspektif bisnis, saya kira sponsor lebih yakin dalam mendukung sistem liga. Dibanding dengan sistem turnamen yang kompetisinya bisa saja berakhir dalam 2 hari, eksposur yang didapat untuk brand tentu tidak akan sebaik yang bisa ditawarkan sistem liga yang bisa berjalan setidaknya dalam waktu 1 bulan. Durasi yang lebih panjang ini juga memudahkan para sponsor untuk merancang campaign yang berjalan beriringan bersama liga tersebut.” Terang Edwin yang merintis Bigetron Esports sejak 2017.

Agus memiliki pendapat yang sedikit berbeda dalam perspektif ini. Menurutnya, perspektif bisnis ini lebih sulit digeneralisir mengingat setiap perusahaan / sponsor punya tujuan dan kondisi yang berbeda. Untuk streaming platform, misalnya, sistem liga akan lebih baik karena dapat menghasilkan jam tayang yang lebih banyak. Sedangkan untuk sponsor yang menggunakan marketing budget, mereka lebih sensitif dengan timeline kompetisi.

Bagaimana jika pengaruhnya dilihat dari sisi tim peserta (untuk Bigetron) dan event organizer (untuk Mineski)? Apakah kekurangan dari sistem liga?

Agus dan Mineski yang sudah menangani berbagai kompetisi, baik di Indonesia ataupun di tingkat internasional, mengatakan bahwa kesulitan dari sistem liga adalah mencari tempat/venue yang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang.

Sedangkan dari sisi peserta, Edwin mengungkap bahwa sistem liga lebih banyak menguras stamina para pemainnya. Para pemain yang bertanding di sistem liga harus memberikan 80% waktunya setiap pekan untuk fokus berkompetisi. Hal ini berarti mereka jadi punya waktu luang yang lebih sedikit. Sumber daya yang harus dikeluarkan oleh manajemen dalam mendukung para pemainnya juga lebih banyak. Walaupun, memang, tim jadi punya lebih banyak konten untuk diproduksi menjadi keuntungan besar dari sistem liga.

Terakhir, bagaimana sebenarnya dampak dari sistem kompetisi ini ke ekosistem esports secara keseluruhan?

Statistik PMPL S1. Sumber: PUBG Mobile Esports Indonesia
Statistik PMPL S1. Sumber: PUBG Mobile Esports Indonesia

Edwin pun berkata, “Tentu sangat positif. Sistem liga akan memperpanjang umur game yang nantinya juga berdampak pada umur ekosistem esports-nya. Tim dan sponsor pun akan lebih yakin dan percaya diri investasi ke game yang punya rencana jangka panjang.”

Di sisi lain, Agus juga menambahkan tentang pentingnya dua sistem kompetisi. “Sistem kompetisi baik liga ataupun turnamen itu sama baiknya. Menurut saya, sistem turnamen lebih terbuka dan memberikan lebih banyak kejutan karena juaranya bisa ditentukan oleh tim mana yang bisa mendapatkan momentum selama kompetisi berjalan. Sedangkan sistem liga lebih membutuhkan konsistensi untuk jadi juara. Bagi saya, baik sistem liga dan turnamen tetap penting untuk dijalankan kedua-duanya. Misalnya di sepak bola dalam satu musim selalu ada liga profesional yang diselingi oleh sistem turnamen. Keduanya memiliki keunggulan dan fungsinya masing-masing dalam memelihara ekosistem secara keseluruhan.” Tutup Agus.

Sumber Feat Image: Riedel Communication

Perjuangan Perempuan di Esports: Tak Hanya Sekadar Pemanis [Bagian 2]

Esports kini tengah menjadi fenomena global. Menurut Newzoo, industri esports akan bernilai lebih dari US$1 miliar pada 2020. Tiongkok akan menjadi pasar esports terbesar pada 2020 dengan nilai pasar US$385,1 juta. Dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang di Tiongkok yang menerima esports sebagai olahraga dan tak lagi heran ketika seseorang memutuskan untuk meniti karir sebagai atlet esports.

Sayangnya, diskriminasi gender masih terjadi di dunia esports. Li “VKLiooon” Xiaomeng, pemain perempuan pertama yang memenangkan Hearthstone World Championship, berbagi cerita tentang diskriminasi yang dialami. Dia bercerita, kehadirannya dalam sebuah turnamen Major pernah dipertanyakan oleh seorang pemain laki-laki, yang menganggap bahwa pemain perempuan seharusnya tidak ikut turnamen esports.

Xiaomeng Li. | Sumber: Blizzard Entertainment via Washington Post
Xiaomeng Li. | Sumber: Blizzard Entertainment via Washington Post

Melalui Zhihu, situs serupa Quora di Tiongkok, Li juga menceritakan masalah lain yang dia hadapi sebagai pemain profesional perempuan. Dia mengatakan, kemampuannya pernah dipertanyakan oleh pemain laki-laki yang telah dia kalahkan. Tak hanya itu, dia juga terkadang mendapatkan ejekan tentang tubuhnya. Di dunia online, sejumlah penonton mengejeknya gendut. Sayangnya, Li bukanlah satu-satunya pemain esports perempuan di Tiongkok yang menghadapi berbagai masalah ini.

Ketika membuat kesalahan, para pemain perempuan juga cenderung mendapatkan kritik yang lebih pedas. “Misalnya, Anda adalah pemain perempuan yang ikut serta dalam turnamen. Jika Anda bermain dengan baik, itu bukan masalah. Tapi, ketika Anda membuat satu kesalahan kecil, para fans akan membesar-besarkan kesalahan tersebut,” kata Zhou Jie, COO Killing Angel, tim esports khusus perempuan pada Abascus News.

Jika sebelumnya, kami pernah membahas soal bagaimana eksplorasi tubuh menjadi komoditas para perempuan yang jadi selebriti gaming, kali ini kami akan menunjukkan bahwa ruang berkarier di esports dan game buat perempuan juga bisa dilakukan tanpa perlu jadi eye-candy — selama memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya.

Diskriminasi di Indonesia

Di Indonesia, masalah diskriminasi gender juga masih terjadi. Caster Veronica “Velajave” Fortuna bercerita, dia pernah mengalami diskriminasi pada awal 2015 sampai 2017. “Kayak, perempuan itu bisa apa sih di esports. Perempuan itu cuma pemanis, nggak pantas untuk main, nggak lebih jago dari laki-laki. Nggak jago kayak caster laki-laki lain,” ceritanya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. “Tapi, belakangan diskriminasi sudah mulai menurun. Cuma hate speech saja yang semakin banyak, bukannya berkurang.”

Perempuan yang akrab dengan panggilan Vela ini mengatakan, hate speech adalah masalah yang biasa terjadi di dunia online. “Hate speech itu biasanya online. Aku juga belum pernah lihat yang langsung di depan muka. Mungkin, yang pernah aku alami di depan muka, cuma orang orang yang memandang rendah kita yang belum siapa-siapa,” ujarnya.

“Kalau di media sosial, entah itu saat sedang live, direct message, atau komentar di foto, hate speech itu sudah sangat biasa terjadi. Banyak yang tidak suka karena kita tidak secantik atau mungkin badannya tidak sekecil yang lain. Mostly body shaming,” jawab Vela ketika ditanya bentuk ujaran kebencian yang pernah dia hadapi. “Tapi, banyak juga yang benci cara kita nge-cast, cara menyampaikan kata-kata.” Dia mengaku, biasanya, dia berusaha untuk mengacuhkan hate speech yang dia terima. “Tapi, kalau lagi mau meledak banget, baru aku tanggapin ke pribadi mereka.”

Veronica "Velajave" Fortuna. | Sumber: Instagram
Veronica “Velajave” Fortuna. | Sumber: Instagram

Vela, yang telah menjadi caster selama lima tahun (saat artikel ini ditulis), mengaku tidak sengaja masuk ke dunia esports. “Dulu aku nggak kepikiran kerja di esports. Aku tuh awalnya cuma senang main game, dulu mainnya Dota 2. Terus iseng ikut turnamen perempuan. Lama kelamaan, EO tahu. Dan mereka minta aku untuk nge-cast di turnamennya,” ungkap Vela. Walau awalnya dia tidak tahu apa tugas caster, dia pada akhirnya merasa tertarik dengan tugas seorang caster. “Aku merasa itu menarik banget.”

Mengenai perlakuan atas caster perempuan dan laki-laki, Vela mengatakan, biasanya, penampilan caster perempuan akan lebih dipedulikan dari caster laki-laki. Jika caster laki-laki bisa menggunakan pakaian yang sama dalam beberapa acara, caster perempuan biasanya harus mengganti penampilan mereka. “Kalau laki-laki kan ya pakai itu-itu saja. Jasnya sama, tapi dalemannya berbeda, kaos atau kemeja. Terkadang, kalau kita perhatikan, mereka juga tidak mengganti pakaian untuk beberapa event. Kalau perempuan tidak bisa begitu. Nanti dikira tidak punya baju,” akunya sambil tertawa. “Ditambah makeup kita lebih lama, urusan rambut juga. Kalau caster laki-laki, mau pakai bedak saja sudah untung.”

Ini memunculkan pertanyaan apakah peran perempuan di dunia esports tak lebih dari eye candy atau pemanis.

Para Perempuan yang Bekerja di Belakang Layar Dalam Dunia Esports

Di dunia esports, para atlet profesional memang menjadi bintang utama yang selalu disorot oleh media. Namun, sebenarnya, ada pekerjaan lain dalam industri esports yang tak kalah penting untuk memastikan ekosistem esports tetap bertahan, mulai dari manager dan analis dalam sebuah organisasi esports sampai penyelenggara turnamen. Dan posisi tersebut bisa diisi oleh siapa saja yang memang mumpuni, tak peduli gender mereka. Buktinya, Fathia Alisha Dwikemala berhasil menjadi Head of Events di RevivalTV dan Nadya Sulastri bisa menjadi Head of Finance and Accounting di Mineski Indonesia.

Sebagai Head of Events, tugas Fathia adalah melakukan koordinasi antara tim, sponsor, klien, dan semua pihak terkait untuk memastikan sebuah acara berjalan dengan lancar. Dia bercerita, dia tidak pernah mengalami diskriminasi gender di tempatnya bekerja sekarang. “So far, nggak bermasalah dengan gender sih. Semuanya sama saja karena memang memiliki passion di esports,” akunya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dengan apa yang aku jalani saat ini, kesempatan untuk bekerja di belakang layar untuk laki-laki dan perempuan sama, karena mostly, kita memang bekerja sebagai tim. Jadi, tidak membedakan gender sama sekali.”

Mobile Legends Pro League. | Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha
Mobile Legends Pro League. | Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha

Sementara itu, menurut Nadya dari Mineski Indonesia, dalam industri esports, perempuan memang memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja di belakang layar. Tidak tertutup kemungkinan, seorang perempuan juga menduduki jabatan penting. Dia berkata, seorang perempuan bisa saja menjadi project manager yang bertanggung jawab atas turnamen sebesar Mobile Legends Pro League. “Asal orangnya memang memiliki dedikasi tinggi, berkomitmen, dan don’t crack under pressure. Bekerja di event organizer, pressure-nya memang tinggi. Karena kita tidak melakukan tugas yang sama setiap harinya. Ada banyak hal yang tidak terduga terjadi secara mendadak dan kita harus bisa mengambil keputusan, menyelesaikan masalah dengan cepat. Ini bukan masalah gender, tapi lebih ke personality,” jelas Nadya ketika dihubungi melalui telepon.

Nadya memberikan contoh, saat ini, Mineski bertanggung jawab atas dua liga besar, yaitu MPL dan PUBG Mobile Pro League. Kedua turnamen itu biasanya diadakan secara offline di hadapan para penonton. Namun, ketika virus corona memasuki Indonesia dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah, mau tidak mau, Mineski harus mencari cara agar turnamen tersebut tetap berjalan walau tidak diadakan secara offline. Akhirnya, untuk memastikan agar turnamen tetap dapat diselenggarakan dan para penonton tetap bisa menikmati pertandingan, Mineski Indonesia mengirimkan 16 orang ke masing-masing gaming house dari tim yang bertanding. Enam belas orang tersebut bertugas untuk merekam jalannya pertandingan. Selain itu, mereka juga akan mewawancara tim pemenang, sama seperti jika pertandingan diadakan secara offline. Hanya saja, wawancara pemenang ini dilakukan melalui video call.

Meskipun begitu, Nadya mengatakan, tidak semua posisi di belakang layar cocok untuk perempuan. “Tergantung departemennya. Kalau departemen yang banyak mengutamakan fisik, biasanya memang diisi oleh banyak laki-laki. Tapi, untuk departemen seperti finansial, marketing, media sosial, lebih banyak perempuan,” ujarnya. Dia tidak memungkiri, di dunia esports, peran sebagai atlet esports tetap “lebih menarik”. Meskipun begitu, tanpa keberadaan orang-orang di belakang layar — pihak penyelenggara turnamen, pihak yang menyiarkan pertandingan sehingga bisa menjadi hiburan untuk menarik sponsor — maka industri esports tidak akan berkembang.

Sementara itu, menurut Fathia, bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports memang senang bekerja di belakang layar, mereka bisa mengambil pekerjaan terkait manajemen. Menurutnya, itu karena perempuan biasanya memang lebih rapi dan teliti akan detail. “Saran aku untuk perempuan yang mau masuk ke dunia esports, jangan mundur sebelum mencoba. Karena sesuatu yang keren datangnya nggak pernah dari comfort zone,” ujarnya.

Bekerja di Industri Esports Sebagai Perempuan

“Aku enjoy banget sih jalanin pekerjaan di industri ini, karena banyak tantangannya dan aku memulai benar-benar dari nol, jadi ada banyak ilmu yang aku dapatkan,” jawab Fathia ketika ditanya bagaimana pengalamannya bekerja di dunia esports selama ini. Jika dibandingkan dengan industri lain, industri esports relatif muda. Meskipun begitu, Fathia tetap memilih untuk bekerja di dunia esports. Dia berkata, “Sejauh ini, aku percaya, industri esports akan menjadi besar nantinya, karena pelaku industri juga semakin banyak.”

Sebelum masuk ke dunia esports, Fathia pernah bekerja di industri pulp & paper. Dia mengaku, meskipun industri esports/game terlihat lebih santai, sebenarnya pekerjaan yang dia lakukan lebih keras. Hal yang sama juga dikatakan oleh Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV.

Soal budaya perusahaan, biasanya, budaya perusahaan yang bergerak di industri esports lebih menyerupai budaya startup, ungkap Nadya. “Kita seperti startup, tidak mau kaku. Kita menganut paham yang penting produktif, tidak terlalu formal, tapi, ya juga masih dalam batas wajar,” ujarnya. Sama seperti kebanyakan startup, Mineski Indonesia juga penuh dengan pekerja muda. “Pekerja yang berumur di atas 30 tahun di perusahaan kita cuma 10-20 persen. Sisanya, di bawah umur 30 tahun.”

Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menyiarkan konten esports. | Sumber: MPL Official
Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk menyiarkan konten esports. | Sumber: MPL Official

Salah satu peraturan fleksibel yang diterapkan oleh Mineski adalah terkait jam kerja. Walau jam kerja untuk departemen yang tidak terkait dengan penyelenggaraan acara — seperti HRD dan keuangan — tetap ketat, tapi divisi broadcast biasanya memiliki jam kerja yang sangat fleksibel. Alasannya, karena tim tersebut biasanya sangat sibuk menjelang penyelenggaraan turnamen. “Ketika kita menyelenggarakan event, tim broadcast bisa baru selesai setup pada pukul 2-3 pagi, sementara pada pukul 7 pagi, acara sudah dimulai,” jelas Nadya. Mineski Indonesia lalu memutuskan untuk menghargai kerja keras divisi broadcast dengan memberikan jam kerja yang fleksibel.

Saat ditanya tentang kriteria orang yang cocok untuk bekerja di dunia esports, Nadya menjawab, “Orang yang mau belajar. Karena kita tidak punya perusahaan yang bisa dijadikan contoh.” Dia menjelaskan, orang yang pernah bekerja di event organizer sekalipun, belum tentu bisa mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam menyelenggarakan turnamen esports. Tugas Mineski sebagai penyelenggara turnamen esports berbeda dari EO konvensional. Ada beberapa hal yang membedakan penyelenggaraan turnamen esports dengan acara lain, seperti prize pool. “Hampir setiap event ada prize pool, yang harus dipotong pajak. Jadi, kita harus mengumpulkan NPWP para peserta,” ungkapnya.

“Kriteria lainnya adalah harus mengerti game,” kata Nadya. Khususnya untuk orang-orang yang bekerja untuk tim broadcast. “Mereka harus tahu konten apa yang cocok untuk ditampilkan agar pertandingan terlihat seru. Karena, apa yang mau ditampilkan itu tergantung game-nya. Game MOBA atau FPS beda.” Dia menjelaskan, konten siaran turnamen esports berbeda dari acara non-esports, seperti konser musik misalnya. Dalam sebuah konser, kamera cukup menyorot sang musisi atau penyanyi. Sementara dalam pertandingan esports, konten harus dipilih sedemikian rupa sehingga penonton dapat merasakan keseruan pertandingan yang berlangsung.

Tak hanya tim broadcast, divisi lain yang tak terlibat langsung dalam penyelenggaraan acara juga harus memahami game, seperti departemen finansial. Dengan begitu, diharapkan, mereka tidak akan tertipu ketika mereka menyediakan biaya akomodasi untuk tim yang berlaga dalam turnamen.

Kesimpulan

Di industri esports, pemain profesional memang masih menjadi bintang utama. Sayangnya, pemain profesional perempuan masih mengalami diskriminasi. Dalam merekrut pemain, organisasi esports juga biasanya memilih pemain laki-laki. Meskipun begitu, itu bukan berarti perempuan tidak bisa meniti karir di esports.

Dunia esports tidak melulu soal para pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa diisi, seperti manager, penyelenggara turnamen, sampai penyiar konten. Jika tertarik dengan esports dan tidak keberatan untuk bekerja di belakang layar, ini bisa jadi kesempatan bagi perempuan. Memang, untuk mereka-mereka yang masih muda, bekerja di belakang layar seolah tidak memberikan prestise yang sama seperti menjadi atlet esports profesional, meskipun begitu, posisi tersebut tetap memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan ekosistem esports. Ditambah lagi, di belakang layar, perempuan tak perlu khawatir dengan diskriminasi karena memang berbasis pada keahlian dan perannya masing-masing alias meritokrasi.

Esports diperkirakan akan menjadi industri besar karena ia dianggap sebagai hiburan di masa depan. Dan untuk mengemas pertandingan esports menjadi konten hiburan yang layak tonton, diperlukan orang-orang yang bersedia bekerja di belakang layar.

Sumber header: Mineski Infinity Indonesia

Sejarah Counter-Strike: Yang Tak Pernah Mati Sejak 1999

Tak bisa dipungkiri bahwa CS:GO adalah salah satu fenomena budaya yang besar di kalangan gamers. Seakan hidup abadi, game ini sudah hadir selama 21 tahun lamanya, sejak 1999 lalu hingga tahun 2020 ini. Sepanjang perjalanannya, game ini juga sudah banyak memberi dampak kepada ekosistem gaming, seperti menjadi salah satu game yang mendefinisikan genre FPS, juga menjadi salah satu game yang mendefinisikan ekosistem esports sejak zaman dahulu kala dan bahkan masih jadi salah satu gelaran esports tersukses di tahun 2019 lalu.

Namun demikian semua itu tidak ada artinya jika Counter-Strike tidak pernah dibuat. Kali ini kita akan menyusuri masa lalu, melihat sejarah Counter-Strike, salah satu game yang telah mendefinisikan genre FPS dan juga esports sejak 21 tahun lalu.

Berawal dari Custom Game Half-Life

Nyatanya, tidak sedikit game yang sukses memulai perjalanannya dari custom game. Sudah banyak game jadi bukti akan hal tersebut, seperti Dota 2 dari custom game Warcraft III, PUBG dari custom game ARMA III, bahkan Dota 2 menelurkan game populer lain lewat custom game, yaitu Auto Chess.

Begitu juga dengan Counter Strike (CS), yang lahir dari custom game Half Life. Ketika itu Counter-Strike digagas oleh dua orang gamers yang memiliki ide dan mencoba menerapkan hal tersebut ke dalam Half Life. Dua orang tersebut adalah Minh Le (Gooseman) dan Jess Cliffe (Cliffe).

Pada masa itu, Minh Le dan Jess Cliffe bukanlah developer profesional, melainkan hanya mahasiswa yang menyukai video game dan ingin mencoba membuat sebuah karya dari hal yang ia sukai. Permainan yang bertema “polisi-polisian” ini juga tercetus karena kesukaan Gooseman terhadap hal tersebut.

Le sempat menceritakan ini dalam dokumenter singkat dari Valve. “Ketika itu saya sangat tertarik sekali dengan pasukan anti-teror. Saya merasa pekerjaan mereka memiliki kerumitannya tersendiri dari segi persenjataan ataupun taktik yang mereka gunakan. Saya pun berpikir bahwa hal tersebut akan menjadi tema yang keren untuk sebuah game.” ucap Gooseman dalam video tersebut.

Half-Life yang digunakan Gooseman dan Cliffe sebagai basis pengembangan CS juga berdasarkan dari tema yang ingin mereka bawa ke dalamnya. Padahal, Half-Life bukan satu-satunya game FPS yang bisa dibongkar ulang dan dijadikan game baru. Pada masa tersebut, ada juga Unreal Tournament serta Quake, dua game yang punya pengaruh terhadap perkembangan genre FPS, yang bahkan salah satunya adalah game pencipta tren kontrol WASD pada game FPS.

Half-Life pun dipilih meski Minh Le mengakui kesulitan dalam merombak engine Half-Life. “Saya mengerjakan proyek ini sekitar 30 sampai 40 jam per-minggu, sembari saya menyelesaikan studi di universitas.” Ucapnya kepada GameSpot.

Sembari pengembangan dilakukan, hal lain yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah nama game tersebut. Salah satu pengguna Reddit menemukan tangkapan gambar diskusi antara Gooseman dengan Cliffe saat mereka ingin menentukan nama game-nya. Gooseman sempat memberi ide nama Counter-Terrorist Forces. Namun Cliffe datang dengan ide nama yang juga disukai oleh Gooseman, yaitu Counter-Strike. Gooseman bahkan bercerita, sebelumnya mereka berdua sempat memikirkan nama lain seperti International World Soldiers dan Frag Forces.

Counter-Strike, Komunitas dan Dust2

Cerita sejarah CS adalah bentuk nyata dari kesuksesan pengembangan terbuka, atau yang biasa disebut Open-Source. Mengembangkan CS sambil menyelesaikan kuliah, Gooseman dan Cliffe mengaku tidak punya banyak waktu dalam memikirkan dan membuat semua elemen dari permainan Counter-Strike. Maka dari itu, pengembangan game multiplayer ini dilakukan sepenuhnya secara terbuka, dengan Gooseman dan Cliffe memberikan komunitas kebebasan untuk membuat apapun yang mereka inginkan.

“Kami sebenarnya tidak membuat satu pun map di dalam Counter-Strike. Semua map dibuat oleh komunitas. Mereka akan membuat sebuah map, lalu mengirimkannya kepada kami dan kami akan meninjau map tersebut. Selanjutnya kami akan memilih mana yang kami suka dan memasukkannya ke dalam versi CS yang akan dirilis berikutnya. Jadi pada dasarnya, begitulah game ini dikembangkan. Ketika itu ya saya, rekan saya Cliffe, dan komunitas. Bisa dibilang CS seperti game yang dikembangkan bersama.” Cerita Minh Le kepada Gamespot.

Sumber: GameReactor
Gooseman saat diwawancara oleh salah satu media game asal Eropa. Sumber: GameReactor

Cara pengembangan ini membuat komunitas jadi sangat bersemangat. Kebanyakan dari mereka bahkan menjadi bagian dari perkembangan Counter-Strike itu sendiri. “Padahal pada awalnya, kami berjuang setengah mati, memohon-mohon kepada orang orang-orang mau mencoba versi play-test dari Counter-Strike. Dahulu saya mencoba meminta pada kolega kuliah saya, dan mereka merespon dengan ‘tidak, terima kasih.” Ucap Cliffe dalam dokumenter dari Valve.

“Pada awal pengembangan, komentar dari komunitas menjadi warna bagi versi beta Counter-Strike berikutnya yang akan kami rilis. Kami merasakan energi positif yang sangat besar dari komunitas waktu itu,” cerita Clfife. “Orang-orang mengirimkan banyak sekali konten kepada kami. Mungkin kami pernah menerima ratusan map buatan komunitas dalam satu hari ketika itu.” Ucap Minh Le.

Sumber: Official CS:GO Blog
Sumber: Official CS:GO Blog

Metode ini juga yang membuat CS punya satu map yang paling legendaris, yaitu de_dust2. Seperti map lainnya, de_dust2 juga diciptakan oleh komunitas. Penciptanya adalah Dave Johnston, yang pertama kali membuat map ini pada Counter-Strike 1.0 pada tahun 2000 lalu. De_Dust2 menjadi map yang mendefinisikan Counter-Strike sejak lama.

Sebenarnya CS:GO punya ragam map yang mungkin tak kalah ikonik. Sebut saja tempat seperti cs_office, de_aztec, atau bahkan map pertama buatan Minh Le dan Cliffe yaitu cs_mansion yang selanjutnya diubah menjadi cs_estate. Namun de_dust2 seperti tak tergantikan dan bertahan sampai saat ini.

Joab Gilroy menulis di Red Bull Esports soal pengalamannya tumbuh besar bersama Counter-Strike. Pada masanya, ketika CS masuk versi beta 6.5, map Dust dan Dust 2 adalah dua map yang paling banyak dimainkan oleh para pemain. Walau ada map lain seperti, cs_office, cs_italy, atau de_aztec, namun para pemain seakan tutup mata dan hanya ingin memainkan de_dust saja.

“Mungkin karena Dust2 adalah map yang sederhana namun mendalam. Tetapi memang, popularitasnya juga terbantu karena map Dust yang sudah lebih dulu populer. Map ini jadi populer hingga kini juga mungkin karena Dust 2 adalah satu hal konstan yang membuat pemain CS dari berbagai generasi berkumpul dan menganggap map tersebut sebagai zona nyaman, walaupun map tersebut mungkin bukan yang paling seru dan mengasyikkan.” Ujar Dave Johnston dalam wawancara singkat bersama RockPaperShotgun.

Seiring pengembangan, Counter-Strike dan Dust2 mendapatkan perhatian yang sangat besar dari para gamers. Doug Lombardi dari Valve bercerita bahwa pada sekitar awal 2000an, CS sudah dimainkan 8000 orang. “Tak lama, sepekan kemudian jumlahnya meningkat jadi 12 ribu, lalu satu bulan kemudian jadi 16 ribu. Melihat keadaan ini, artinya pasti ada sesuatu di dalam komunitas. Makanya ketika itu kami dari Valve penasaran dan ingin sekali mengajak kerja sama pengembang Counter-Strike.

Sumber: Dokumenter Valve
Sumber: Dokumenter Valve

Berkat hal tersebut, Gooseman dan Cliffe direkrut oleh Valve untuk mengerjakan Counter-Strike. “Sungguh mengagumkan bisa bicara bersama Valve ketika itu. Kami mengidolakan mereka. Kami suka Half-Life dan kami juga menyukai Valve.” Sejak saat itu, popularitas Counter-Strike meledak, digunakan untuk berkompetisi, bahkan menggusur popularitas Quake sebagai game FPS kompetitif terpopuler di awal tahun 2000an. Popularitas ini membawa Counter-Strike ke tahap berikutnya.

Rilisnya Steam dan Eksperimen Valve terhadap Counter-Strike

Tahun 2003 Valve merilis Steam (Anda bisa membaca sejarah Valve di artikel yang kami tuliskan sebelumnya). Hal ini tentu berdampak langsung kepada Counter-Strike itu sendiri. Salah satunya adalah dari sisi distribusi update versi gameplay yang jadi lebih mudah. Duncan Shield (Thorin) sempat bercerita dalam dokumenter resmi Valve soal ini.

“Dahulu sebelum ada Steam, kehadiran patch terasa sangat menyedihkan karena artinya kami bakal tidak akan main CS selama 2 hari. Karena internet ketika itu masih sangat lambat. Dan tanpa Steam, semua orang di seluruh dunia terpaksa mengunduh update tersebut hanya dari satu server saja yang membuatnya terbebani dengan sangat berat.” Namun kehadiran Steam di tahun 2003 seakan menjadi penyelamat bagi komunitas. Dengan fitur auto-update dan server dari Valve, membuat update versi CS jadi lebih mudah dan cepat.

Sumber: PCGamer
Penampilan Steam saat pertama kali rilis di tahun 2003. Sumber: PCGamer

Tetapi, pasca Steam rilis pada tahun 2003, tahun berikutnya malah seperti menjadi masa kegelapan CS. Setelah sukses dengan Counter-Strike, Valve mulai bereksperimen dengan berbagai macam hal, dan mencoba menciptakan produk baru dari brand game populer ini. Satu percobaan yang pertama adalah merilis Counter-Strike untuk Xbox.

Game yang diberi nama Counter-Strike Xbox Edition pertama kali diumumkan pada Mei 2002 di gelaran E3. Berbasis kepada Counter-Strike: Condition Zero, game ini dikembangkan bersama dengan pengembang yang kini terkenal lewat seri Borderlands, yaitu Gearbox Software. Namun proses pengembangan tidak berjalan lancar, Gearbox Software meninggalkan Valve pada Juli 2002 seraya mengakhiri pengembangan terhadap Counter-Strike: Condition Zero.

Walau mengalami perjalanan pengembangan yang cukup berat akhirnya game ini rilis 18 November 2003, yang juga menjadi percobaan pertama Counter-Strike bersaing di ranah konsol. Walau berbasis pada Condition Zero, namun Counter-Strike Xbox Edition tidak menghadirkan Single-Player Campaign. Alhasil banyak komentar miring menanggapi hal tersebut. IGN, misalnya, yang mengatakan bahwa membeli Counter-Strike Xbox Edition tanpa berlangganan Xbox Live untuk kebutuhan bermain online akan jadi sia-sia.

Memang Counter-Strike Xbox Edition hanya menyertakan permainan Single-Player berupa gameplay yang serupa seperti Multiplayer, namun melawan bot atau AI. Walau mungkin Counter-Strike versi ini tidak terlalu banyak diketahui orang-orang, namun Counter-Strike Xbox Edition ternyata cukup sukses. Pada tahun 2008, game ini sudah terjual sebanyak 1,5 juta kopi di pasaran.

Sejarah Counter-Strike CS: Xbox Edition
Sumber: Official Valve

Lalu setelahnya ada juga Counter-Strike: Condition Zero. Versi Counter-Strike ini menjadi percobaan Valve menyajikan Single-Player Campaign ke dalam custom game buatan Gooseman dan Cliffe. Namun pengembangan CS:CZ mengalami jalan berliku berbarengan dengan perilisan CS: Xbox Edition.

Awal pengembangan game ini dimulai dari tahun 2001 dikembangkan bersama dengan Rogue Entertainment. Lalu melihat ketidakstabilan finansial dari pengembang tersebut, pengembangan lalu dipindah ke Gearbox Software. Namun setelah satu tahun pengembangan, Gearbox juga meninggalkan Valve sesaat Counter-Strike: Xbox Edition diumumkan. Pertengahan 2002, Ritual Entertainment mengambil alih pengembangan, sampai akhirnya Turtle Rock Studios mengambil pengembangan di pertengahan 2003 sampai akhirnya game ini selesai.

Setelah terseok-seok dan berkali-kali pindah tangan pengembangan, Counter-Strike: Condition Zero akhirnya rilis 23 Maret 2004 untuk Windows. Saat rilis, CS:CZ mendapatkan penilaian yang bercampur aduk dari media dan mendapat skor 65/100 dari Metacritic. Beberapa fitur yang dihadirkan seperti mode melawan bot dengan misi yang diberi nama Tour of Duty, mendapat ulasan yang cukup baik. PCZone bahkan mengatakan bahwa bot yang dihadirkan begitu pintar, sampai-sampai membuat “rata-rata pemain online terlihat seperti babon yang baru dilahirkan”.

Tetapi satu kritik yang senada dari game ini adalah engine game yang ketinggalan zaman. Banyak ulasan media mengatakan bahwa CS:CZ hadir terlambat, membuat game ini kalah saing secara visual jika dibandingkan dengan game shooter lain yang rilis pada masa tersebut. Namun lagi-lagi, game ini memiliki performa penjualan yang cukup lumayan, dengan total penjualan sebanyak 2,9 juta kopi terjual via retail menurut data tahun 2008.

Terakhir, pada masa yang tidak begitu jauh dari CS: Xbox Ediiton dan CS: Condition Zero, Valve juga merilis Counter-Strike: Source. Beda dengan dua versi sebelumnya yang bisa dibilang eksperimen, CS: Source mungkin dibuat untuk menjadi suksesor custom game orisinil buatan Gooseman dan Cliffe; atau mungkin bisa disebut sebagai CS 2.0?

Rilis pada November 2004, CS: Source punya gameplay yang serupa seperti versi orisinil, fokus pada multiplayer dengan membawa map-map ikonik khas Counter-Strike. Satu perbedaan yang cukup terasa adalah penggunaan engine berbeda, membuat grafis Counter-Strike jadi lebih baik. Pengembangan game ini terbilang cukup lancar-lancar saja namun yang jadi masalah bagi CS: Source adalah respon para pemain Counter-Strike generasi lama.

Menggunakan engine yang berbeda membuat beberapa mekanisme permainan jadi terasa berbeda di dalam CS:Source. Beberapa hal di antaranya seperti asap dari Smoke Grenade menyebar lebih lambat jika dibandingkan dengan CS 1.6. Efek Flashbang juga jadi lebih jelas, ditambah pantulan dalam CS:Source juga lebih terasa jika dibandingkan dengan CS 1.6.

Sejarah Counter-Strike CS: Source
Sumber: Official Valve

Recoil senjata juga jadi hal lain yang berubah di CS:Source. Recoil senjata kini jadi lebih menyebar, membuat pemain jadi kesulitan untuk menembak dengan akurat. Hal terakhir, detil yang mungkin terasa kurang penting dalam permainan kompetitif adalah kehadiran benda-benda yang akan terlempar jika terkena tembakan seperti tong besi ataupun benda-benda kecil lainnya.

Banyaknya perubahan ini banyak membuat pemain lama Counter-Strike jadi tidak nyaman dengan Counter-Strike Source. Akhirnya, game ini mengalami respon yang kurang baik, terutama dari sisi skena kompetitif. Hal ini berdampak kepada kehadiran dua kubu di dunia kompetitif. Seseorang dari forum Team Liquid dengan username SaveYourSavior menganalogikan CS:Source layaknya StarCraft 2 vs StarCraft: BroodWar atau seperti Super Smash Bros: Brawl vs Super Smash Bros: Melee. CS:Source ketika itu dianggap hanya memperbaiki Counter-Strike dari sisi grafis, namun malah memiliki banyak sekali kekurangan dari segi gameplay.

Beberapa orang dalam forum tersebut malah mengatakan bahwa CS:Source terasa lebih mudah dibanding dengan CS 1.6 karena recoil yang random, serta hitbox kepala yang terasa lebih besar sehingga headshot jadi lebih mudah. Alhasil, seakan terjadi perang sipil di antara komunitas pemain CS 1.6 melawan pemain CS: Source, layaknya perang antara pemain Dota 2 dengan pemain Custom Game Warcraft Defense of the Ancient dulu kala.

Sumber: Official Valve
Bagi Anda yang sudah main warnet sejak awal tahun 2000an mungkin akan merasakan nostalgia jika melihat gambar ini. Sumber: Official Valve

Dampak perang sipil Counter-Strike ini bahkan mencapai tingkat dunia kompetitif. Ketika istilah esports belum banyak digaungkan, penyelenggara turnamen kadang terpaksa mengadakan kompetisi untuk kedua game (Source dan 1.6). Mengutip dari Kotaku, salah satu brand kompetisi terbesar pada masa itu yaitu World Cyber Games (WCG), bahkan menerima reaksi yang sangat buruk dari komunitas ketika mereka hanya menghadirkan kompetisi Counter-Strike: Source saja. Akhirnya setelah itu WCG kembali menggunakan CS 1.6 sebagai game yang dipertandingkan dan terus dipertahankan.

Hal ini juga berdampak kepada penjualan Counter-Strike: Source. Tercatat, Counter-Strike: Source hanya terjual 2,1 juta kopi saja sampai akhir tahun 2008 lalu. Walau itu bukan angka yang kecil, namun penjualannya kalah dibanding dengan Counter-Strike: Condition Zero yang terbilang eksperimental dan tentunya Counter-Strike yang orisinil.

Counter-Strike:Global Offensive Penyelamat Counter-Strike di Masa Modern

Setelah kurang lebih delapan tahun perang sipil antara pemain Counter-Strike 1.6 dengan Counter-Strike: Source terjadi, 12 Agustus 2012 Counter-Strike:Global Offensive (CS:GO) resmi dirilis; seri terbaru Counter-Strike yang nantinya akan menjadi pemersatu komunitas. CS:GO merupakan penerus langsung dari CS 1.6 dan juga CS:Source dengan ciri khas berupa permainan yang fokus pada online multiplayer.

Namun demikian CS:GO tidak serta-merta langsung bagus dan diterima secara baik oleh komunitas saat pertama rilis. Pemain Astralis, Andreas Hojsleth (Xyp9x) sempat mengatakan dalam dokumenter TheScoreEsports bahwa dahulu ada banyak hal yang membuat CS:GO kurang menyenangkan saat pertama kali rilis. Salah satu contoh yang ia sebut adalah utility Molotov yang overpowered, membuat pergerakan jadi lambat jika terjebak di dalamnya, dan tidak bisa dipadamkan dengan smoke.

Belum lagi bug dan glitch di sana dan sini, yang membuat permainan jadi terasa kurang intuitif. Belajar dari masa gelap yang dialami Valve selama kurang lebih 8 tahun saat mereka membuat Counter-Strike: Condition Zero, Xbox Edition, dan Source, kini Counter-Strike: Global Offensive jadi lebih disukai karena respon Valve yang begitu cepat dalam menanggapi berbagai kekurangan dalam game tersebut.

Daniel Kapadia (DDK) salah satu shoutcaster di skena kompetitif CS:GO mengatakan bahwa game tersebut seakan menjadi harapan terakhir bagi Valve terhadap seri Counter-Strike. “Dan satu hal yang mengejutkan adalah game tersebut ternyata menjadi lebih baik hanya dalam 6 sampai 12 bulan saja. Perbaikan tersebut terjadi dengan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari pada yang diharapkan oleh kebanyakan para gamers.” ucapnya.

Selain dari itu, penambahan fitur juga jadi alasan CS:GO memiliki penerimaan yang sangat baik di kalangan gamers. CS:GO menjadi seri Counter-Strike pertama yang memperkenalkan fitur matchmaking.

Minh Le menyebutkan, bahwa sebelum kehadiran matchmaking, Anda harus masuk ke dalam sebuah room yang tidak Anda ketahui seberapa jago musuh yang akan Anda hadapi. Ini mungkin mirip seperti custom game Defense of the Ancient pada Warcraft III, saat Anda harus memasuki room bernama “55 APNP Kuburan Para Dewa”. Tanpa tahu siapa yang akan Anda lawan, dengan kemungkinan bertemu pemain profesional seperti Farand Kowara (Koala).

Tetapi fitur matchmaking membuat CS:GO jadi lebih user-friendly. Anda yang baru mulai main akan dipertemukan pemain lain, yang secara algoritma dianggap memiliki kemampuan main yang setara. Tak hanya itu, CS:GO juga menghadirkan Competitive Matchmaking, yang punya aturan main lebih kompetitif (menyalakan Friendly Fire contohnya), dan dilengkapi dengan rank untuk menentukan level kemampuan sang pemain.

Sumber: Steam Community Workshop
Seri Hyper Beast, salah satu skin senjata CS:GO yang cukup populer. Sumber: Steam Community Workshop

Hal lain yang juga membuat CS:GO mendapat respons yang positif dari komunitas adalah kehadiran skin di dalam game. Skin atau yang disebut sebagai “finishes” merupakan in-game items yang tergolong sebagai kosmetik di dalam CS:GO. Disebut sebagai kosmetik karena skin tidak menambah elemen apapun di dalam permainan kecuali menjadi pemanis mata bagi para pemainnya. Fitur ini sendiri bukan fitur bawaan dari CS:GO, melainkan fitur yang baru ditambahkan pada 13 Agustus 2013 lalu yang hadir lewat Arms Deal Update.

Elemen skin seakan menjadi perekat bagi komunitas, membawa pemain CS:GO bernostalgia ke zaman Counter-Strike dahulu karena memberi kesempatan bagi para pemain untuk berkontribusi terhadap game yang mereka cintai. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena skin dalam CS:GO mendukung fitur Steam Workshop, yang memungkinkan para pemain, siapapun Anda, bisa berkontribusi memberikan skin buatan Anda sendiri ke dalam game.

Nantinya ragam skin yang sudah diberikan para kontributor akan dimasukkan ke dalam peti yang bisa didapatkan para pemain. Peti bisa didapatkan secara gratis hanya dengan bermain namun kunci peti tadi hanya bisa dibeli dengan menggunakan sistem microtransaction. Tak hanya itu, skin yang Anda dapatkan nantinya juga bisa diperjual-belikan dengan pemain lainnya lewat Steam Community Market. Sistem ini membuat banyak pemain bertahan di CS:GO, karena game tersebut membuat ekonomi virtual tersendiri di dalam permainanya.

Sumber: Intelextremesmaster.com
IEM Katowice menjadi bukti bahwa CS:GO masih hidup dan sangat aktif meski sudah 8 tahun berlalu sejak game tersebut pertama kali dirilis. Sumber: Intelextrememasters.com

Berkat hal tersebut, CS:GO menjadi game yang membuat para pemainnya tetap kembali lagi, meski sudah mencoba yang lainnya. Terakhir kali, walau sudah 8 tahun beredar di pasaran, namun CS:GO masih bisa mencetak rekor dengan 1 juta pemain online secara bersamaan pada 14 Maret 2020 lalu. Apalagi sejak berubah menjadi Free to Play pada 2018 lalu, game ini menjadi semakin mudah diakses oleh pemain, termasuk para pemain CS 1.6 atau pemain yang baru mengenal game ini.

Kesuksesan ini akhirnya menurun kepada skena esports CS:GO. Membuat CS:GO berkali-kali mencetak rekor sebagai salah satu turnamen terpopuler. Kompetisi IEM Katowice yang mempertemukan Natus Vincere dengan G2 Esports masih ditonton oleh satu juta penonton secara bersamaan. Bahkan selama bulan Maret kemarin, liga CS:GO ESL Pro League Season 11 menjadi tontonan stream paling ramai di Twitch yang sudah ditonton selama 12,9 juta jam dan sempat ditonton oleh 331 ribu orang secara bersamaan.

Walau ada cerita dari organisasi esports seperti SK Gaming, yang memutuskan meninggalkan skena CS:GO untuk beberapa saat, namun CS:GO mungkin masih akan tetap bertahan setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Melihat game ini masih aktif menjadi esports dan dimainkan, mungkin hanya Tuhan yang tahu apakah game ini akan mati dan hilang bak ditelan bumi di masa depan, atau malah abadi sepanjang masa.

Cerita Di Balik Kesuksesan dan Sejarah Valve dengan Half-Life, Source, dan Steam

Di kalangan gamer PC, siapa yang tidak mengenal Valve? Melalui Steam, mereka berhasil mendominasi pasar distribusi game PC selama belasan tahun. Walaupun Steam kini tak lagi menjadi satu-satunya platform distribusi game PC digital, platform tersebut tetaplah salah satu yang paling populer. Tentu saja, kejayaan yang Valve nikmati saat ini tidak dicapai dalam waktu singkat. Perjalanan mereka pun tak selamanya mulus.

Sejarah Valve

Valve didirkan pada 1996 oleh Gabe Newell dan Mike Harrington. Newell sempat berkuliah di Harvard University, walau dia tidak pernah menyelesaikan masa kuliahnya. Dia lalu bekerja di Microsoft selama 13 tahun. Di bawah kepemimpinan Bill Gates, dia belajar banyak tentang bisnis software. Selama dia bekerja di Microsoft, dia berhasil mengumpulkan kekayaan lebih dari US$1 juta, yang akan dia gunakan untuk membangun Valve. Sama seperti Newell, Harrington juga berhasil menjadi miliarder berkat bekerja untuk Microsoft. Bersama, keduanya mendirikan Valve.

Saat didirikan, Valve merupakan LLC (Limited Liability Company), struktur perusahaan di Amerika Serikat yang biasa digunakan oleh perusahaan kecil. Jika dibandingkan dengan korporasi, LLC menawarkan beberapa kelebihan, seperti pajak yang lebih ringan dan manajemen yang fleksibel. Valve memiliki markas di Kirkland, Washington, hanya berjarak delapan kilometer dari kantor Microsoft di Redmond.

Salah satu pendiri Valve, Gabe Newell. | Sumber: The Gamer
Salah satu pendiri Valve, Gabe Newell. | Sumber: The Gamer

Sekarang, Valve mungkin lebih dikenal dengan platform distribusi game digitalnya, Steam. Namun, pada awalnya, Valve merupakan developer game. Mereka lalu memodifikasi game engine buatan id Software, Quake engine, untuk membuat game pertama mereka, Half-Life.

Valve Sebagai Developer

Meskipun Half-Life adalah game pertamanya, Valve punya ambisi besar dalam membuat game tersebut. Karena itu, tidak heran jika mereka kesulitan untuk mencari publisher yang bersedia merilis game pertama mereka. Untungnya, Sierra On-Line akhirnya mau memberikan kesempatan pada Valve dan bersedia untuk meluncurkan Half-Life. Pada November 1998, Half-Life diluncurkan. Game itu sangat sukses, jutaan unit Half-Life terjual. Sampai sekarang, Half-Life dikenal sebagai game legendaris.

Setelah sukses dengan Half-Life, Valve tidak buru-buru untuk membuat game baru. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan momentum yang mereka dapat untuk mengembangkan dunia Half-Life. Mereka meminta Gearbox Software — yang kini dikenal sebagai developer seri Borderlands — untuk meluncurkan dua expansion packs dari Half-Life, yaitu Half-Life: Oppsoing Force pada 1999 dan Half-Life: Blue Shift pada 2001, lapor Polygon.

Tak hanya itu, mulai akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an, Valve mendorong komunitas modding untuk mengembangkan mod dari Half-Life. Mereka bahkan merilis Software Development Kit (SDK) dari game itu secara gratis. Jadi, tidak heran jika ada banyak mods Half-Life yang muncul, seperti Deathmatch Classic, Ricochet, Gunman Chronicles, dan Day of Defeat. Tidak berhenti sampai di situ, Valve bahkan rela membantu beberapa kreator untuk menyempurnakan mod mereka. Inilah salah satu alasan mengapa para hardcore gamer begitu mencintai Valve.

Sampai sekarang, Half-Life masih dikenal sebagai game legendaris. | Sumber: Steam
Sampai sekarang, Half-Life masih dikenal sebagai game legendaris. | Sumber: Steam

Mod untuk Half-Life begitu beragam sehingga ada mod yang kemudian dikembangkan menjadi game yang sama sekali baru. Salah satunya adalah Counter-Strike, yang dikembangkan oleh Minh Le dan Jess Cliffe. Versi beta dari game tactical shooter itu dirilis pada 1999. Dengan cepat, game tersebut mendapatkan banyak pemain. Melihat hal ini, Valve justru merangkul Minh Le dan Cliffe. Satu tahun kemudian, Counter-Strike 1.0 dirilis. Saat itu, popularitas game tersebut sudah bisa menyaingi game-game dari franchise ternama, seperti Halo dan Call of Duty. Sekarang, Counter-Strike: Global Offensive adalah salah satu game esports paling populer di dunia.

Valve terus mendukung komunitas gamer. Namun, dari segi bisnis, ada beberapa perubahan yang terjadi. Pada 2000, Harrington keluar dari Valve, menjadikan Newell sebagai satu-satunya pendiri yang masih bertahan di perusahaan itu. Sementara pada 2003, Valve berubah menjadi Valve Corporation, tak lagi berbentuk LLC. Salah satu hal yang membedakan LLC dan Corporation adalah jika LLC dimiliki oleh seorang atau lebih pemilik, kepemilikan korporasi ada di tangan para pemegang saham. Selain itu, Valve juga memindahkan kantornya ke Bellevue, Washington.

Di tengah semua ini, Valve terus melanjutkan dua proyek penting mereka, yaitu pengembangan game engine Source dan platform distribusi game digital Steam. Kedua proyek ini akan mengubah nasib Valve sehingga mereka tak hanya dikenal sebagai developer game.

Game Engine Buatan Valve

Tiga tahun sebelum Newell dan Harrington meninggalkan Microsoft untuk membuat perusahaan game, Michael Abrash, yang merupakan mantan kolega mereka di Microsoft, juga keluar dan masuk ke dunia game. Abrash memutuskan untuk bergabung dengan id Software, developer Doom. Nantinya, dialah yang membantu Newell dan Harrington untuk mendapatkan lisensi penggunaan Quake engine milik id Software. Valve lalu memodifikasi engine tersebut dan membuat engine mereka sendiri, Goldsource, yang digunakan untuk membuat Half-Life.

Goldsource merupakan game engine pertama Valve. Mereka melakukan berbagai modifikasi pada Quake engine, seperti mengubah sisten animasi, merombak tools AI, dan menambahkan fitur Direct3D. Tujuannya adalah untuk  memastikan bahwa engine tersebut cukup mumpuni untuk merealisasikan Half-Life sesuai dengan keinginan Valve. Setelah game tersebut dirilis, Valve masih terus memodifikasi game engine yang mereka gunakan. Namun, mereka tidak ingin mengutak-atik kode programming pada Half-Life. Karena itu, mereka memutuskan untuk membuat game engine baru, yang nantinya akan dikenal dengan nama Source.

Pada zamannya, Half-Life 2 memiliki grafik yang memukau. | Sumber: Steam
Pada zamannya, Half-Life 2 memiliki grafik yang memukau. | Sumber: Steam

Dalam E3 2003, Valve memperkenalkan Half-Life 2, dengan visual yang memukau pada zamannya dan sudah terintegrasi dengan physics engine buatan Havok. Ketika itu, Valve juga memperkenalkan Source, game engine yang digunakan untuk membuat Half-Life 2. Menariknya, Source bukanlah game engine yang sama sekali baru. Engine tersebut merupakan hasil modifikasi lebih lanjut dari Goldsource. Faktanya, dalam Half-Life 2, Anda masih bisa menemukan sejumlah kode programming orisinal yang ada pada Quake engine.

Dalam mengembangkan Source, Valve menjelaskan bahwa mereka ingin menjadikan game engine tersebut sebagai fondasi yang memungkinkan developer untuk menambahkan fitur, memberikan update, dan menggunakan teknologi baru tanpa harus menggunakan engine yang sama sekali baru. Kebanyakan kreator game engine biasanya fokus untuk memaksimalkan performa GPU, membuat visual menjadi terlihat lebih realistis. Namun, Valve memutuskan untuk fokus pada penggunaan CPU. Menurutnya, bagaimana game dikonsumsi oleh gamer, inilah yang membedakan game dengan media lain seperti film.

Setelah Source, Valve juga mengembangkan Source 2, yang digunakan di Dota 2, Artifact, dan Half-Life: Alyx. Source 2 pertama kali tersedia untuk masyarakat luas pada 6 Agustus 2014 via Doat 2 Workshop Tools. Pada Maret 2015, Valve resmi mengumumkan Source 2 dalam Game Developers Conference.

Peluncuran Steam

Steam pertama kali diperkenalkan di Game Developers Conference (GDC) pada 2002. Satu tahun kemudian, Valve meluncurkan Steam secara resmi. Pada awalnya, Steam dibuat dengan tujuan untuk memudahkan para pemain mengunduh patch dan update dari game online. Namun, Valve punya rencana lain untuk Steam, yaitu menjadikannya sebagai platform distribusi game digital di PC.

Valve lalu mulai menyediakan sejumlah fitur seperti otentikasi online, game launcher, dan DRM (Digital Rights Management). Pada 2004, Valve mengumumkan bahwa ke depan, semua game mereka hanya bisa dimainkan melalui Steam. Keputusan ini membuat banyak orang marah. Salah satu alasannya, karena ketika itu, Steam masih memiliki banyak bug, yang sering membuat game menjadi crash. Tak hanya itu, antarmuka Steam juga tidak sebagus seperti sekarang.

Screenshot antarmuka Steam pada 2004. | Sumber: Reddit
Screenshot antarmuka Steam pada 2004. | Sumber: Reddit

Meskipun begitu, Valve tak menyerah. Mereka terus memperbaiki Steam dan menangani berbagai bug dan masalah yang ada di platform tersebut. Pada 2005, Valve mulai membuat perjanjian kerja sama dengan developer lain untuk mendistribusikan game mereka melalui Steam. Katalog game di Steam pun menjadi semakin banyak. Bisnis Steam terus tumbuh seiring dengan bertambahnya developer yang beralih ke model distribusi digital.

Untuk mendukung Steam, selama dua tahun, dari 2007 sampai 2009, Valve terus meluncurkan sejumlah fitur baru untuk Steam, mulai dari fitur untuk menyimpan data game dan profil pengguna di cloud sampai fitur chat, memudahkan para pengguna untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain. Sekarang, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan di Steam, mulai dari membeli konten buatan pengguna di Steam Workshop, membeli aplikasi non-gaming, sampai mendukung game yang ada di Steam Greenlight.

Pada 2010, antarmuka Steam dirombak, membuat tampilannya jauh lebih baik. Dari segi keamanan, Steam cukup baik, walau mereka sempat diretas pada November 2011. Antarmuka yang user-friendly, keamanan, dan fitur yang beragam, semua ini menjadikan Steam sebagai marketplace utama untuk game AAA dan indie di PC. Steam juga berhasil menarik puluhan juta pengguna, menjadikannya sebagai aset terpenting Steam.

Monetisasi Steam

Sumber pemasukan Steam berasal dari potongan yang mereka ambil dari pendapatan game yang dijual melalui Steam. Pada awalnya, Steam menetapkan potongan sebesar 30 persen untuk semua game. Namun, pada akhir 2018, mereka mengubah ketentuan potongan yang mereka ambil. Ketika game diluncurkan, Steam masih akan memberlakukan potongan sebesar 30 persen. Namun, setelah penjualan sebuah game mencapai US$10 juta, maka potongan yang didapatkan oleh Steam akan disesuaikan, menjadi 25 persen. Sementara jika penjualan game mencapai US$50 juta atau lebih, potongan dari Steam akan menjadi semakin kecil, yaitu 20 persen.

Untuk developer kecil yang penjualan game-nya tidak bisa mencapai US$10 juta, Steam akan mengambil potongan lebih besar. Karena, Valve memberikan banyak kemudahan pada developer tersebut dengan menyediakan sistem pembayaran dan memungkinkan game untuk ditemukan oleh jutaan pengguna Steam. Secara tidak langsung, Steam mengakui bahwa para developer kecil akan lebih membutuhkan Steam sementara Steam tidak akan mengalami masalah tanpa kehadiran developer kecil itu, menurut laporan Polygon.

Untuk game-game populer yang penjualannya berhasil mencapai lebih dari US$50 juta, Steam rela untuk mengurangi potongan yang mereka ambil menjadi hanya 20 persen. Alasannya, karena game tersebut pasti sudah memiliki audiens sendiri. Jadi, jika game itu masuk ke Steam, ini juga akan mempopulerkan Steam. Tak tertutup kemungkinan, Steam bisa mendapatkan pengguna baru. Karena itulah, potongan yang Steam terapkan lebih kecil.

Keuangan Valve

Sayangnya, Valve tidak mengumumkan laporan keuangan mereka pada publik. Namun, ada pihak ketiga yang tertarik untuk membuat estimasi dari total penjualan Steam. Salah satunya adalah Steam Spy. Seperti namanya, situs itu bertujuan mengumpulkan data tentang Steam untuk memperkirakan total penjualan game di platform tersebut. Pada 2017, pendiri Steam Spy, Sergey Galyonkin memperkirakan bahwa pemasukan Steam dari penjualan game mencapai US$4,3 miliar, naik dari US$3,5 miliar pada 2016.

Uniknya, besarnya pemasukan Steam bukan karena banyaknya game yang ada di katalog mereka. Lebih dari setengah dari pemasukan Steam berasal dari kurang dari 100 game terpopuler yang ada di platform tersebut. Padahal, Steam memiliki lebih dari 21 ribu game saat itu. Data terakhir yang kami temukan di Januari 2019, sudah ada 30 ribu game di Steam.

PUBG memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Steam pada 2017. | Sumber: Steam
PUBG memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Steam pada 2017. | Sumber: Steam

Pada 2017, game yang memberikan kontribusi paling besar pada pemasukan Steam adalah Player Unknown’s Battleground, dengan pemasukan US$600 juta. Di posisi kedua, duduk Counter-Strike: Global Offensive dengan kontribusi US$120 juta. Sementara posisi ketiga diisi oleh Grand Theft Auto V dengan pendapatan US$83 juta. Duduk di peringkat keempat, Call of Duty World War II mendapatkan pendapatan sebesar US$41 juta. Satu hal yang harus diingat, data dari Steam Spy tidak mencakup seluruh pendapatan Steam karena mereka tidak menghitung pemasukan dari microtransaction atau pembelian DLC.

Estimasi keadaan finansial Steam tidak selalu positif. Pada September 2019, No More Robots, publisher dari Descenders dan Hypnospace Outlaw, membuat laporan tentang penjualan game di Steam yang diluncurkan selama satu bulan, sejak 5 Juli 2019 sampai 6 Agustus 2019. Dalam menghitung penjualan game di Steam, mereka tidak memasukkan hasil penjualan game AAA dan juga game-game yang memiliki review kurang dari 10. Setelah itu, mereka membandingkan total penjualan di Steam selama satu bulan pada 2019 dengan periode yang sama pada 2018. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh No More Robots, mereka menemukan bahwa penjualan game di Steam turun 70 persen selama satu bulan pada 2019 jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Tak hanya itu, pendapatan Steam juga turun 47 persen.

Temuan lainnya adalah para developer dan publisher game terlibat dalam perang harga. Mereka berlomba-lomba untuk menekan harga game mereka agar menjadi serendah mungkin. Padahal, ini justru memberi dampak buruk pada penjualan game mereka. Menurut laporan GameDaily, alasan para publisher dan developer berusaha untuk menekan harga game mereka adalah karena kekhawatiran game mereka akan kalah bersaing dengan game free-to-play.  Padahal, model bisnis seperti ini memiliki masalah tersendiri.

Menariknya, menurut estimasi No More Robots, game murah tidak melulu laku. Faktanya, total penjualan game yang dihargai kurang dari US$10 justru jauh lebih rendah dari game dengan harga sekitar US$21 atau lebih. Menurut pendiri No More Robots, Mike Rose, ini terjadi karena ketika kreator game menekan harga game mereka, ini membuat orang-orang berpikir bahwa game itu tidak pantas dihargai dengan harga mahal karena memiliki kualitas buruk. Sementara jika harga game dinaikkan, ini akan membuat gamer penasaran untuk tahu lebih lanjut tentang game itu. Tentu saja, ini adalah tren global. Indonesia, yang warganya sangat sensitif terhadap harga, memiliki tren yang berbeda.

Kesimpulan

Menurut Forbes, sebagai pendiri Valve, Gabe Newell memiliki harta kekayaan sebesar US$3,5 miliar. Dia duduk di peringkat 239 dalam daftar Forbes 400 2019 dan di peringkat 529 dalam daftar Forbes Billionaires 2019.

Satu hal yang menarik dari Valve adalah bagaimana perusahaan tersebut berevolusi. Pada awalnya, Valve adalah developer game. Mereka menuai sukses dengan game pertamanya, Half-Life. Setelah itu, mereka memutuskan untuk mengembangkan dunia Half-Life dengan meluncurkan expansion packs. Mereka juga terus mendorong komunitas modding untuk membuat mod untuk game tersebut. Ada beberapa mod yang kemudian diluncurkan sebagai game mandiri dan sukses, seperti Counter-Strike.

Sebagai developer, Valve juga mengembangkan game engine sendiri, yang mereka buat dengan memodifikasi game engine buatan id Software, Quake. Berawal dari game engine Goldsource, Valve terus memodifikasi engine tersebut, sehingga mereka menghasilkan Source dan Source 2. Selain itu, Valve juga membuat platform distribusi game, Steam, yang baru saja memecahkan rekor jumlah pengguna concurrent. Dalam beberapa tahun belakangan, Valve juga aktif dalam scene esports. The International, turnamen tahunan Dota 2 terbesar, selalu menaikkan total hadiah mereka dari tahun ke tahun.

Sumber: GamesRadar, IGN, Game Industry, GameDaily, Polygon

Sumber header: Wikipedia

Wawancara Singkat Skyegrid Tentang Kondisi Pasar Cloud Gaming dan Prospeknya

Layanan cloud gaming lokal Skyegrid belum lama ini menambahkan game baru pada katalognya. Bukan sembarang game, melainkan salah satu yang masuk kategori game sejuta umat, yaitu eFootball PES 2020 Lite garapan Konami.

Game ini sekarang sudah bisa dinikmati seluruh pelanggan Skyegrid, baik yang berlangganan paket bulanan, mingguan, ataupun hariannya. Dan karena game-nya sendiri gratis, pelanggan hanya perlu memiliki akun Steam (yang dapat dibuat secara gratis), tanpa ada biaya tambahan lagi.

Dibandingkan versi full-nya, PES 2020 Lite tidak dilengkapi fitur online multiplayer. Pun begitu, mode co-op atau Local Match tetap tersedia, dan Skyegrid melihat ini sebagai alternatif yang pas untuk menemani masa-masa swakarantina seperti sekarang.

Dengan masuknya PES 2020 Lite, Skyegrid kini sudah mempunyai total 87 judul game yang berbeda, dengan komposisi 50:50 untuk game berbayar dan game free-to-play. Pertanyaannya, apakah ke depannya Skyegrid juga bakal menghadirkan PES 2020 versi full?

“Betul, rencananya akan seperti itu,” jawab CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward, saat saya hubungi melalui email. “Karena gim ini juga didaulat jadi cabang olahraga e-sport di tingkat regional, bahkan internasional. Jadi, ini sekaligus komitmen Skyegrid dalam menciptakan channelchannel baru untuk bibit atlet e-sport di tanah air.”

Rolly lanjut menjelaskan bahwa PES 2020 Lite dipilih karena game-nya gratis dan mereka ingin memantau animo konsumen terlebih dulu. Kalau memang menjanjikan dan banyak konsumen yang tertarik, mereka akan segera menambahkan PES 2020 versi full.

Saya juga sempat menyinggung soal optimasi teknologi yang Skyegrid lakukan untuk game sejuta umat ini, dan Rolly bilang bahwa mereka belakangan gencar menerapkan optimasi algoritma dari sisi port forwarding software demi menekan angka input latency.

Juga baru pada Skyegrid adalah fitur hardware acceleration, yang memungkinkan game untuk memanfaatkan tenaga dari GPU milik PC atau laptop masing-masing pengguna. Singkat cerita, semua game dipastikan berjalan lebih mulus (frame rate-nya naik) dan stabil dibandingkan pada Skyegrid versi sebelumnya.

Kondisi pasar cloud gaming di Indonesia

PES 2020 Lite

Saya juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan kondisi pasar cloud gaming di Indonesia, dan apakah kehadiran game sejuta umat macam PES bisa membantu menarik minat konsumen secara signifikan.

“Kondisi pasar masih tetap tumbuh dan menjanjikan, meski saat ini masih relatif stagnan,” jawab Muhammad Chandrataruna yang menjabat sebagai Chief Communications Officer di Skyegrid. “Belum signikan. Karena tantangannya di Indonesia belum berubah: infrastruktur telekomunikasi yang belum merata dan lisensi game AAA yang masih mahal dan belum menaruh komitmen pada cloud gaming,” lanjutnya.

Pada kenyataannya, industri cloud gaming secara global juga masih menemui sejumlah tantangan. Kita tahu bahwa Google Stadia banyak dikeluhkan oleh pelanggannya, dan terkadang juga masih terkendala soal performa. Lebih parah lagi adalah problem yang dialami Nvidia GeForce Now, yang ditinggal oleh sejumlah publisher game ternama.

“Untuk PES sendiri, selama seminggu terakhir animonya sangat baik dan terus bertambah. Jumlah pelanggan Skyegrid pun bertumbuh signifikan, yang kami yakini karena terdorong anjuran pemerintah agar #dirumahaja,” lanjut Chandra. Bukan cuma di Indonesia, kenyataannya memang belakangan semakin banyak yang mengisi waktunya dengan bermain game, dan itu dibuktikan oleh rekor jumlah concurrent users Steam baru-baru ini.

Prospek cloud gaming ke depannya

Skyegrid

Terkait prospek cloud gaming, Chandra bilang prospeknya sangat menjanjikan, meski perjalanannya masih panjang. Beliau merujuk pada riset dari Qurate, yang meramalkan bahwa di tahun 2020 market size dari industri cloud gaming secara global akan menembus angka $317,9 juta.

“Negara-negara maju, seperti Amerika, China, Eropa, telah lebih dulu mendapatkan momentum ini, karena secara infrastruktur dan sumber daya, mereka jauh lebih siap. Indonesia tidak jauh tertinggal, namun untuk beberapa hal, kita terpaksa harus lebih sabar,” lanjut Chandra.

Kunci utama cloud gaming sejatinya adalah koneksi internet, dan kita semua tahu kondisi internet di Indonesia belum sebaik di negara-negara maju seperti yang disebutkan Chandra itu tadi. Di sinilah faktor optimasi itu penting, dan untungnya Skyegrid juga memperlakukannya sebagai salah satu prioritas.

Cloud gaming dan esports

CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward / Skyegrid
CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward / Skyegrid

Saya tahu, dua hal ini memang terkesan bertolak belakang. Di satu sisi esports mengharuskan game berjalan mulus dan tanpa lag sedikitpun agar performa pemainnya bisa maksimal. Di sisi lain cloud gaming justru masih dilanda problem input latency.

Namun anggap koneksi sudah bukan masalah dan cloud gaming tak lagi terkendala performa, mungkinkah ke depannya esports bisa dijalankan via cloud gaming?

“Saya yakin bisa, sebab salah satu, atau mungkin satu-satunya, teknologi yang akan menggantikan konsol seperti PlayStation dan Xbox, adalah cloud gaming,” jawab Rolly. “Sedangkan device-nya bisa jadi perangkat yang dipakai semua orang hari ini: laptop, all-in-one PC, smart TV, dan smartphone,” lanjutnya.

Rolly juga menuturkan bahwa keputusan soal esports dan cloud gaming ini tidak bisa sepihak saja, melainkan juga harus dirundingkan dengan pihak asosiasi, penyelenggara, pemerintah, publisher, dan lain sebagainya. “Mungkin 3 – 5 tahun lagi, saya perkirakan baru dimulai perumusannya. Sekarang masih terlalu dini untuk Indonesia,” tutup Rolly.

5 Tim Esports Baru di Indonesia di Awal Tahun 2020

Ekosistem esports Indonesia berkembang pesat pasca MSC 2017 yang menjadi cikal bakal popularitas ekosistem esports mobile di Indonesia. Sejak saat itu esports di Indonesia pun berkembang mencapai banyak hal baru yang dahulu mungkin belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Penyelenggara kompetisi jadi lebih berani mencoba sistem baru di Indonesia, yaitu sistem liga franchise. Walau sempat menjadi polemik, namun liga yang digadang-gadang akan menjadi tren masa depan akhirnya diterima dengan baik dalam kancah lokal, bahkan akhirnya juga dilakukan oleh penyelenggara lainnya.

Tak hanya itu, ekosistem esports Indonesia juga jadi kebanjiran dukungan dari pihak pemerintah. Dukungan tersebut hadir dalam bentuk kompetisi seperti Piala Presiden Esports 2019 dan 2020, dan juga berbagai badan organisasi yang mencoba mengatur perkembangan ekosistem esports indonesia seperti, Asosiasi Video Game Indonesia (AVGI), Federasi Esports Indonesia (FEI), dan yang terakhir adalah Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI) yang dibuat oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Dengan geliat perkembangan yang begitu lincah juga cepat, tak heran jika kini banyak pihak juga ingin terjun ke dalam ekosistem esports Indonesia, salah satunya dengan membuat tim esports. Karena itu, meski baru berjalan 3 bulan, setidaknya ada 5 tim esports pendatang baru di Indonesia di 2020. Siapa saja mereka? Inilah daftarnya.

The Pillars

The Pillars digagas oleh salah satu musisi ternama di Indonesia, yaitu Ariel dari Band Noah. Debut pertama dari divisi pertama The Pillars sendiri ada pada ekosistem esports Free Fire. The Pillars Claymore segera berkompetisi di liga kasta utama Free Fire Indonesia, yaitu Free Fire Masters League 2020.

Sayang dalam pertandingan debutnya, The Pillars belum bisa menuai hasil yang maksimal. Mereka harus puas terhenti di peringkat 4 Pot A, kalah cukup jauh dibanding pemuncak klasemen pada grup tersebut, yaitu Rosugo Esports.

Walau baru muncul di tahun 2020, namun menurut cerita, The Pillars ternyata sudah ada sejak dari tahun 2003. The Pillars ketika itu bukanlah tim esports, melainkan hanya guild yang jadi wadah berkomunitas pemain Ragnarok Online. Ariel Noah bahkan mengakui, bahwa dirinya adalah pemain yang tergabung dalam komunitas tersebut, saat dia masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas.

“Kita sudah main sedari dulu, cuma memang sekarang dunianya sudah sangat berbeda, industrinya jadi semakin luas. Akhirnya teman-teman yang main Ragnarok hingga mobile games kumpul dan main lagi.” Ucap Ariel kepada Liputan6.com

Tahun 2020, Ariel bersama kawan-kawan lama dari Guild The Pillars tersebut kembali lagi, sampai akhirnya muncul ide untuk mengubah wadah komunitas menjadi tim esports yang lebih profesional. Saat ini The Pillars baru memiliki dua divisi. Selain The Pillars Claymore yang bertanding di skena Free Fire, ada juga The Pillars Slayer yang kini sedang bertanding di skena PUBG Mobile.

The Pillars Slayer bertanding di dalam gelaran PMPL ID 2020 Season 1. Walau mereka sempat meraung keras pada pertandingan pekan pertama, namun entah kenapa permainan mereka meredup pada pekan-pekan berikutnya. Tercatat, The Pillars Slayer sudah mengamankan 5 Chicken Dinner dari 3 pekan pertandingan. Saat ini mereka bertengger di peringkat 15 dalam klasemen keseluruhan, dengan perolehan sebesar 527 poin.

SPCE

Space Esports atau SPCE menjadi tim esports yang dibesut oleh content creator di YouTube dan Instagram, yaitu Edho Zell. SPCE pertama kali diumumkan pada akhir Desember 2019 lalu, Edho Zell menceritakannya saat diwawancara oleh salah satu media esports di Indonesia.

Tidak seperti The Pillars yang memulai debut tim mereka lewat kompetisi kasta utama, Edho Zell terlihat ingin merintis SPCE lewat komunitas terlebih dahulu. Dalam membangun komunitas, SPCE membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada siapapun yang ingin mencoba merintis karir di dunia esports.

Ketika membuka kesempatan sebesar-besarnya, SPCE di sini benar-benar terbuka terhadap peluang apapun. Tim rintisan lain biasanya akan memulai dari ekosistem esports yang sudah besar dan cukup matang di Indonesia seperti Free Fire, PUBG Mobile atau mungkin Mobile Legends Bang-Bang. Tetapi SPCE muncul dengan cukup berani, membuka jalan pada skena yang belum atau sedikit terjamah di Indonesia.

Maka dari itu, SPCE kini tak hanya memiliki divisi mobile games saja, tetapi juga memiliki beberapa divisi yang memainkan PC game. Jika melihat dari akun Instagram resmi SPCE, saat ini mereka memiliki 3 divisi, yaitu SCPE Alpha yang bertanding di PUBG Mobile, SPCE Delta yang bertanding di PUBG (PC), dan SPCE Charlie yang merupakan tim Overwatch.

Berstatus sebagai tim debutan, mereka sudah berhasil menuai prestasi. Terakhir kali SPCE Delta turut bertanding dalam gelaran Predator League 2020, dan berhasil mendapatkan posisi Second Runner-Up.

Genesis Dogma

Sumber: Dokumentasi Pribadi Bangpen
Sumber: Dokumentasi Pribadi Bangpen

Tim berlogokan dinosaurus Tyrannosaurus Rex ini juga menjadi tim esports lain dalam daftar yang dirintis oleh sosok selebriti. Adalah Filipus Fendi (Bangpen) sosok content creator gaming yang dikenal di YouTube dan sosok aktris serta presenter, Grace Blessing Marbun, yang menjadi pendiri dari tim Genesis Dogma.

Berdiri sejak akhir Januari 2020 kemarin PUBG Mobile menjadi divisi pertama dari tim Genesis Dogma. Dirintis oleh Bangpen, yang cukup berpengaruh di komunitas PUBG Mobile, tak heran jika roster PUBG Mobile Genesis Dogma cukup berkualitas. Genesis Dogma berisikan El, Danzo, Stussy dan Fallen, pemain-pemain yang sudah cukup punya pengalaman berkompetisi di skena PUBG Mobile lokal.

Walau baru seumur jagung, tapi Genesis Dogma sudah sempat berkompetisi di beberapa turnamen lokal bergengsi. Sempat turut bertanding di DG League 2020, saat ini Genesis Dogma juga sedang bertanding di dalam gelaran liga PUBG Mobile Indonesia kasta satu, yaitu PMPL ID 2020 Season 1.

Namun demikian, performa Genesis Dogma terbilang cukup tertinggal jika dibanding tim-tim lainnya di gelaran PMPL ID 2020 Season 1. Danzo dan kawan harus puas hanya mendapat satu kali Chicken Dinner saja sepanjang 3 pekan pertandingan. Dengan perolehan sebesar 149 poin saja, kondisi mereka saat ini sedang terancam di jurang degradasi, berada di peringkat 21 pada klasemen keseluruhan PMPL ID 2020 Season 1.

MORPH Team

Sumber: Hai
Sumber: Hai

MORPH Team mungkin tidak bisa dibilang sepenuhnya sebagai tim esports pendatang baru. Tim yang dibesut oleh sosok selebriti sosmed, Reza Oktavian (Arap) ini sebenarnya bisa dibilang sebagai reinkarnasi dari tim esports yang ia buat sebelumnya, We Against the World (WAW Esports). Berkolaborasi dengan BUBU.com, MORPH Team diumumkan pada awal Februari 2020 lalu dengan divisi PUBG Mobile sebagai ujung tombak.

Divisi PUBG Mobile MORPH Team berisikan pemain-pemain dengan jam terbang tinggi di berbagai kompetisi lokal. Berisikan 3 pemain ex-WAW Esports, yaitu RensKy, noMrcy, dan Zabrol, tim ini juga kedatangan pemain ex-EVOS Esports yang dahulu berhasil menaklukan Bigetron RA di gelaran PINC 2019, yaitu Jeixy.

Meski usia MORPH Team secara organisasi masih sangat muda, roster berpengalaman yang dihadirkan berhasil membuat tim ini menjadi tim yang kompetitif. Alhasil, mereka segera mendapat gelar juara saat melakukan debut pertamanya dalam turnamen DG League 2020. Tak hanya itu saja, MORPH Team juga diundang untuk bertanding di dalam liga kasta utama skena PUBG Mobile Indonesia, PMPL ID 2020 Season 1.

Pada liga kasta utama PUBG Mobile Indonesia tersebut, MORPH Team sudah menuai hasil yang cukup positif, walau mungkin masih kurang memuaskan. Saat ini Jeixy dan kawan-kawan sudah mengumpulkan 4 Chicken Dinner dari 3 pekan pertandingan dan 604 total poin keseluruhan. Perolehan tersebut membuat mereka bertengger di peringkat 10 dari klasemen PMPL ID 2020 Season 1 keseluruhan.

Walau hanya memiliki divisi PUBG Mobile saja untuk saat ini, namun MORPH Team punya satu keunikan yang menurut saya, membuat tim ini jadi lebih mudah diingat. Hal tersebut adalah bahasa desain yang digunakan untuk seragam serta jaket tim. Menggunakan bahasa desain ala Cyberpunk, penampilan MORPH Team jadi layaknya para Hypebeast yang harga pakaiannya mencapai puluhan juta rupiah, dari baju sampai sepatu.

Team ELVO

Mungkin ini menjadi satu-satunya tim esports pendatang baru dalam daftar yang tidak dirintis oleh sosok selebriti. Tim ini dirintis oleh sekelompok anak muda yang menjalankan bisnis voucher game bernama Elvonesia, yaitu Ibrahim Kamil (Ikamil) dan A. Muiz Farist (Farexcel). Dari sisi manajemen tim, ada sosok yang sudah lama malang melintang di dalam ekosistem game Indonesia, Andrew Tobias, yang dipercayakan menjadi CEO dari Team ELVO.

Kehadiran Andrew Tobias mungkin bisa dibilang jadi salah satu keunikan dari Team ELVO sendiri. Sosok yang sudah lama malang melintang di komunitas game ini mengaku bahwa dirinya ingin keluar dari zona nyaman dengan menjadi CEO Team ELVO. Alhasil, tim ini tampil menjadi seperti apa yang Andrew tahu dan mahir lakukan, tim yang punya komunitas di berbagai game dan hadir di berbagai kota.

Diresmikan pada 1 Januari 2020 lalu, saat ini Team ELVO sudah memiliki tiga divisi, yaitu Free Fire, COD Mobile, dan Arena of Valor. Divisi Free Fire menjadi ujung tombak pertama dari Team ELVO. Team ELVO juga menjadi tim berikutnya yang segera mendapat prestasi saat debut pertama mereka. Mengikuti kualifikasi Piala Presiden Esports 2020 Regional Barat, Team ELVO segera menyabet piala dan lolos ke gelaran final Piala Presiden Esports 2020.

Sayang, Team ELVO belum cukup beruntung saat mereka mengikuti liga Free Fire Indonesia kasta utama, yaitu Free Fire Master League Season 1. Bertanding dengan tim-tim ternama, Team ELVO divisi Free Fire harus rela terhempas di peringkat 4 pot B, kewalahan melawan RRQ Hades yang jadi rival satu grup mereka.

Banyaknya kehadiran tim esports di Indonesia tentu akan membuat persaingan, baik prestasi ataupun bisnis, menjadi semakin berat. Namun demikian hal ini menjadi pertanda bahwa ekosistem esports di Indonesia terus bertumbuh besar. Terlebih persaingan menghadirkan inovasi, yang diharapkan membuat ekosistem esports indonesia kian matang di masa depan.

Selain itu, meski tahun 2020 baru berjalan 3 bulan (artikel ini ditulis pada tanggal 30 Maret 2020), sudah ada 5 tim baru yang muncul. Apakah pembuatan tim-tim esports baru ini hanya sekadar latah dari berbagai selebriti? Hanya waktu yang bisa menjawab, apakah ramainya tim-tim esports baru ini memang keputusan yang matang atau latah semata.

Uniknya juga, tidak ada divisi Mobile Legends yang dibentuk oleh 5 tim baru tadi. Padahal, faktanya, Mobile Legends masih jadi salah satu esports paling populer di Indonesia menurut Esports Market Trend 2019 yang dirilis DailySocial. Apakah karena ekosistem esports MLBB yang memang punya tuntutan lebih tinggi dalam keseriusan manajemen dan sengitnya kompetisi, yang terlihat dari MDL dan MPL Indonesia? Atau apakah para pendiri tadi sudah tidak melihat ada peluang bisnis yang menguntungkan dari ekosistem MLBB?

Apakah Keunikan Pasar Esports Indonesia?

Pertanyaan tentang keunikan pasar esports Indonesia sebenarnya sering saya tanyakan ke banyak pelaku bisnis esports di Indonesia, namun sayangnya saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan dan definitif.

Jujur saja, saya juga belum punya jawaban definitifnya juga. Tulisan ini juga akhirnya nanti akan berakhir dengan pertanyaan yang sama. Tujuan saya menuliskan artikel ini memang hanya sekadar membawanya ke tingkat kesadaran atau malah memancing diskusi buat para pelaku industri yang ingin terjun ataupun bertahan di ekosistem esports Indonesia.

Kenapa penting merumuskan keunikan pasar esports Indonesia? Buat yang sudah malang melintang di sebuah industri, tentunya Anda tahu bahwa pemetaan pasar itu memang pengetahuan dasar yang wajib dipahami.

Buat yang belum tahu, pemetaan pasar berguna untuk merumuskan strategi, perencanaan, dan bentuk implementasi bisnis. Contoh sederhananya, tak hanya di Indonesia saja sebenarnya, industri esports menerima banyak pendapatan dari sponsor atau brand yang beriklan ke pasar esports. Tujuan beriklan tadi tentu ada beberapa jenis, seperti brand awareness ataupun user acquisition. Lalu bagaimana caranya beriklan yang efektif jika kita tidak memahami betul pasar yang ingin kita tuju?

Itu tadi hanya satu contoh saja. Ada terlalu banyak fungsi dari pemetaan pasar yang akan berguna buat para pelaku industri terkait jika dijabarkan semuanya di sini.

Seperti yang tadi saya tuliskan di awal, saya sering menanyakan tentang keunikan pasar esports Indonesia kepada kawan-kawan saya para pelaku di industri esports, termasuk para petinggi di perusahaannya masing-masing. Berikut ini adalah beberapa jawaban dari mereka yang menurut saya belum terlihat secara gamblang atau bahkan bisa saya sanggah mentah-mentah.

Pasar esports Indonesia jumlahnya besar?

Credits: PIXARua via DeviantArt
Credits: PIXARua via DeviantArt

Mungkin inilah jawaban yang paling sering dilontarkan oleh orang-orang dari pertanyaan tadi. Menurut saya, berhubung kebetulan saya sudah di industri terkait sejak 2008, yang jumlahnya sangat besar adalah pasar industri game.

Satu hal mendasar yang penting untuk dipahami adalah ada perbedaan antara pasar esports dan pasar industri game. Salah satu tokoh politik bahkan menyebutkan angka pasar gaming saat ditanya jumlah pemain esports ketika diwawancarai salah satu televisi swasta.

Pasar esports itu jauh lebih kecil ketimbang pasar gaming. Jika tidak percaya, mari kita hitung-hitungan produknya. Jumlah game di Google Play itu ada 349 juta — menurut Statista. Sedangkan game yang ada ekosistem esports-nya di Indonesia hanya segelintir, seperti PUBG Mobile, Mobile Legends, Free Fire ataupun yang lain yang jumlahnya bahkan tidak sampai 10 — sepengetahuan saya.

Di pasar global dan platform gaming lainnya sebenarnya juga berlaku hal yang sama. Di Steam, misalnya, ada 30 ribu game. Berapa banyak game di sana yang ada esports-nya? Dota 2, CS:GO, R6:S, rFactor 2, dan game-game lainnya yang punya ekosistem esports bahkan tidak mencapai 20 judul.

Itu tadi jika kita membedakannya antara game esports dan non-esports. Untuk setiap game esports sendiri juga harus dipahami bahwa pasar gamer dan fans esports-nya tidak harus sama, meski bisa beririsan.

Misalnya, ada gamer aktif League of Legends yang juga menonton setiap pertandingan liganya (bisa jadi LCK, LPL, LCS, dkk.). Namun ada juga “mantan” pemain (yang pernah tapi sudah tidak bermain lagi) game-nya yang masih menonton pertandingan esport-nya. Sebaliknya, ada juga yang pemain aktif tapi tidak suka menonton pertandingannya.

Hal ini juga terbukti dari statistik yang berbeda antara angka active users dan viewer pertandingan esports-nya. Misalnya, MAU (Monthly Active Users) Mobile Legends di Indonesia saja mencapai 31 juta orang di Oktober 2019. Namun demikian, concurrent viewers untuk kejuaraan dunia MLBB (M1 World Championship) di November 2019 hanya mencapai angka 600ribu orang — menurut Esports Charts.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

Hal yang sama juga terlihat dari statistik League of Legends (LoL). Laporan terakhir di bulan September 2019, LoL punya 8 juta concurrent playersSedangkan penonton World Championship 2019 (bulan November 2019) mencapai angka 44 juta concurrent viewers. Meski angkanya terbalik jika dibanding dengan MLBB dan menunjukkan pasar esports LoL itu lebih besar ketimbang gamer-nya, hal ini tetap membuktikan bahwa ada perbedaan besar antara pasar gamer dan pasar esports.

Plus, data ini juga tak bisa digunakan untuk jadi justifikasi pasar esports di Indonesia yang besar — karena ekosistem  LoL di Indonesia mungkin sudah bisa dibilang mati suri (atau malah mati beneran… wkakwakawk). Pasar esports di Indonesia sendiri juga berbeda dengan tren yang terjadi di pasar internasional, yang akan saya bahas di bagian selanjutnya nanti.

Lucas Mao, Directors of Operations dari Moonton dan MPL Indonesia League Commissioner, juga sempat mengatakan bahwa pasar esports di Indonesia itu memang belum sebesar pasar gaming.

Jangan lupa, game-game casual itu juga tidak sedikit jumlahnya apalagi pemainnya. Istri dan anak saya juga bermain game casual setiap harinya, Candy Crush, Minecraft, dkk. dan masuk dalam kategori pasar gaming. Namun mereka tidak peduli dengan esports.

Menurut saya pribadi, pasar gamer itulah yang jumlahnya sangat besar — baik di dunia ataupun spesifik di Indonesia. Bahkan, kemungkinan besar setidaknya 20 tahun lagi, semua orang bisa masuk dalam kategori pasar gaming. Pasalnya, saat ini, sebagian besar orang yang lahir di 1980an ke atas sudah pernah bermain game — apapun platform-nya, PC, console, mobile, ataupun handheld. Hal ini sudah terjadi di industri musik dan film. Karena tidak mungkin rasanya ada orang yang masih hidup hari ini yang belum pernah menonton film ataupun mendengarkan musik sekalipun. Game akan jadi bentuk hiburan untuk semua orang dalam waktu dekat, sama seperti musik dan film tadi.

Minecraft via Nintendo
Minecraft via Nintendo

Apakah semua gamer tadi akan jadi fans esports di masa depan? Saya rasa tidak. Selain pasar game casual yang kecil persentasenya berpaling ke esports, pasar enthusiast gamer pun ada juga yang tidak suka menonton esports — seperti para pemain game-game singleplayer.

Jadi, kembali ke pertanyaan pertama, apakah jumlah pasar esports di Indonesia itu besar? Buat saya, pasar esports bahkan belum sebesar pasar gaming. Apalagi jika dibandingkan dengan industri hiburan yang lebih tua, seperti musik dan film, pasar esports masih jauh lebih kecil.

Pasar esports Indonesia adalah kalangan menengah ke atas?

Mungkin hal ini jadi argumen orang-orang yang cukup banyak membaca soal industri esports di pasar global. Jika kita berbicara soal pasar global, saya setuju dengan pernyataan tadi bahwa pasar esports adalah pasar kalangan menengah ke atas yang punya disposable income.

Sumber: PC Gamer
Sumber: PC Gamer

Kenapa? Karena di pasar global, platform esports yang dominan adalah PC, setelah itu console, baru mobile. Meski memang tidak semua gamer itu jadi fans esports, sebagian besar fans esports adalah pemain game tersebut. Pasalnya, kita mungkin tidak akan bisa memahami apalagi menikmati sebuah pertandingan esports jika kita tidak pernah sekalipun memainkan game-nya — terutama MOBA.

Karena itu, fans-fans esports di pasar global yang lebih condong ke PC dan console berarti pernah memainkan game-game tersebut atau bahkan punya mesin gaming-nya. Mesin gaming tadi, kemungkinan besar, tidak akan dimiliki oleh kalangan ekonomi bawah karena memang bukan kebutuhan primer. Nah, esports di platform PC dan console tadi bisa dikatakan sebagai minoritas di ekosistem esports Indonesia sekarang. Organisasi esports dari Indonesia yang masih fokus dengan game-game PC yang populer di skena internasional bahkan hanya satu, yaitu BOOM Esports.

Mobile esports lah yang saat ini populer di industri esports Indonesia, yang juga terbukti dari Market Research tentang esports yang dilakukan oleh DailySocial di tahun 2019. Kebalikan dari PC dan console, di zaman sekarang ini, ponsel pintar yang jadi platform mobile esports sudah bisa dibilang kebutuhan primer. Ditambah lagi, game esports yang laris di Indonesia tidak membutuhkan ponsel high-end.

Inilah yang perlu dipahami juga bahwa ada perbedaan besar antara pasar esports global dan Indonesia. Karena alasan itu tadi, saya tidak setuju bahwa pasar esport Indonesia (mayoritas) adalah kelas menengah atas.

Pasar esports adalah generasi muda yang melek teknologi?

Memang, faktanya, tidak semua pasar cocok dengan generasi muda yang melek teknologi (alias tech savvy), seperti pasar Harley Davidson di Amerika Serikat sana. Memang, nyatanya juga, fans esports mayoritas datang dari generasi milenial atau yang lebih muda.

Namun begitu, saya pribadi merasa jawaban ini tidak definitif ataupun unik hanya untuk pasar esports.

Pertama, pemahaman melek teknologi itu sangat subyektif — yang sangat bergantung pada pengetahuan masing-masing orang. Apakah orang yang bisa menginstal aplikasi dan game dari Google Play itu bisa disebut tech savvy? Buat kakek atau nenek kelahiran 1950an atau yang lebih tua, mungkin iya.

Buat saya pribadi, orang yang tech savy di ranah Android adalah mereka-mereka yang setidaknya tahu dan pernah flashing ROM. Sedangkan di ranah PC, menurut saya, orang-orang tech savy minimal tahu dan mampu soal overclocking ataupun membaca kode-kode sederhana seperti di HTML, XML, JSON, dkk. Buat yang pengetahuannya lebih dalam lagi, mungkin definisi saya tadi juga tidak berlaku karena mereka punya standar yang lebih tinggi lagi.

Pemahaman tentang kemampuan dan wawasan seseorang, menurut saya, tidak bisa dijadikan patokan dalam mendefinisikan pasar bisnis yang digunakan secara luas karena jadinya akan kabur (skewed). Tak hanya soal teknologi mobile ataupun PC saja sebenarnya yang mungkin memang ranah baru, di ranah bermusik yang instrumennya bahkan sudah ditemukan sejak 43000 tahun yang lalu saja juga masih sangat relatif. Apakah mereka yang tidak bisa membaca not balok dianggap bisa bermusik? Jawabannya akan sangat tergantung pada siapa Anda menanyakan pertanyaan tersebut.

Kedua, masih banyak industri lain yang pasarnya memang generasi milenial atau yang lebih muda. Faktanya, industri hiburan yang dekat dengan kaum muda itu tidak hanya esports. Ada banyak industri lain, dari yang legal sampai ilegal, yang mampu menarik perhatian generasi muda. Saya akan membahas soal persaingan antar industri di bagian terakhir artikel ini nanti.

Di bagian ini, saya lebih ingin menambahkan soal ruang lain selain esports yang bisa digunakan untuk beriklan menyasar generasi muda yang katanya melek teknologi tadi. Ada dua nama yang jadi momok bagi banyak perusahaan media di zaman digital sekarang ini, Facebook dan Google. Saya juga pernah menuliskan panjang lebar soal perjuangan media game dan esports sekarang ini beberapa waktu yang lalu.

Tentunya membandingkan industri esports dan platform digital advertising jadi relevan karena sebagian besar pendapatan esports juga datang dari ruang beriklan untuk sponsor. Mereka-mereka yang memahami dan menyadari hal ini jadi bisa menyesuaikan diri dan menyuguhkan nilai yang berbeda dibanding Facebook dan Google, seperti media-media di zaman digital sekarang ini.

Memahami hal ini juga sebenarnya berguna untuk mulai mencoba mencari sumber pendapatan alternatif selain sponsor, seperti mendapatkan pemasukan dari fans (lewat penjualan merchandise atau yang lainnya) ataupun menghasilkan revenue dari cara lainnya (media rights dkk.), jika tidak ingin selalu berhadapan dengan dua raksasa digital advertising tadi.

Pasar esports Indonesia adalah para loyalis layaknya fans olahraga?

Inilah jawaban terakhir yang juga beberapa kali saya dengar. Beberapa orang yang saya tanyakan menyebutkan bahwa pasar esports adalah para loyalis yang fanatik sehingga cocok untuk jadi ruang beriklan.

Sumber: Jordan.com
Sumber: Jordan.com

Misalnya, sepatu Air Jordan jadi laku gara-gara banyak fans berat dari Michael Jordan. Di sepak bola juga bisa terlihat fanatisme antar pendukung klub bolanya. Masih banyak fans fanatik Arsenal meski klub ini terakhir kali juara liga Inggris di musim 2003-2004, jika saya tidak salah ingat. Tidak sedikit juga fans-fans bola fanatik yang masih memuja-muja tim jagoannya meski hanya pernah nyaris juara — saya sampai tidak berani sebut nama timnya karena takut dihujat wkwkwkwkw

Apakah hal ini juga terjadi di pasar esports Indonesia? Hmmm… Di satu sisi, saya memang sudah menemukan banyak adu mulut antara fans EVOS dan RRQ di media sosial yang membela timnya masing-masing. EVOS Esports juga sudah berhasil mendapatkan pemasukan yang lumayan dari fans-fans-nya yang membeli merchandise mereka. Mereka bisa mendapatkan Rp150 juta dari penjualan merchandise selama gelaran Grand Final MPL ID S4 dan M1 World Championship.

Namun, di satu sisi lain, saya belum menemukan fenomena seperti Air Jordan tadi. Mungkin memang fenomena Air Jordan terlalu hiperbolis untuk dijadikan patokan karena memang Michael Jordan yang terlalu istimewa untuk dibanding-bandingkan. Namun maksud saya, apakah fans esports berpaling ke produk yang jadi sponsor tim dukungan mereka sebagai bentuk nyata dari loyalitas tadi? Apakah fans RRQ jadi menggunakan Biznet? Atau fans EVOS Esports jadi menggunakan CBN Fiber? Saya jujur tidak yakin… Walaupun memang, menurut saya, alasannya lebih karena Biznet dan CBN Fiber adalah internet kabel rumahan kelas broadband — padahal EVOS dan RRQ sekarang lebih dikenal di kalangan gamer mobile.

Mungkin pengujian loyalitas fans esports ini akan lebih masuk akal dan relevan dengan pasarnya jika provider seluler yang jadi sponsor tim-tim yang besar di skena esports mobile ataupun provider internet broadband ke tim esports yang lebih fokus ke game PC.

Meski memang saya juga tidak bisa menolak argumen ini mentah-mentah, saya juga masih belum menemukan bukti konkret yang meyakinkan. Padahal faktanya, yang sering dilupakan banyak orang di industri esports Indonesia yang sudah semakin besar dan menjangkau industri non-endemic, persaingan berebut sponsor tidak hanya terjadi antara para pelaku di industri yang sama tapi juga industri yang berbeda.

Credits: JIExpo Kemayoran via Twitter
Credits: JIExpo Kemayoran via Twitter

Misalnya saja jika kita berbicara soal brand-brand non-endemic yang pernah jadi sponsor esports, baik itu event ataupun tim, seperti Indofood, Tokopedia, Gojek, Blibli, AXE, BCA, dkk. Brand-brand tersebut juga bisa saja dan mampu menjadi sponsor event yang lebih luas cakupan pasarnya. Apa yang bisa meyakinkan mereka untuk terus mendukung esports?

Indofood misalnya. Mereka juga mampu mengeluarkan biaya untuk jadi peserta pameran di Pekan Raya Jakarta yang di 2019 kemarin ditargetkan untuk mendatangkan 6,7 juta pengunjung dan nilai transaksi sebesar Rp7,5 triliun. BCA juga demikian. BCA juga bisa jadi sponsor Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019. Gelaran tersebut mampu mendatangkan 528 ribu orang dan memberikan nilai transaksi lebih dari Rp5 triliun.

Sebelum keliru dengan maksud saya, di sini saya bukannya tidak menyarankan industri non-endemic untuk menjadi sponsor lagi di esports. Saya lebih berharap dengan adanya pembuktian yang lebih konkret tentang seberapa besar pengaruh industri dan pasar esports ke industri yang lebih luas.

Penutup

Akhirnya, seperti yang saya katakan di awal artikel ini, saya juga tidak bisa memberikan jawaban definitif tentang keunikan dari pasar esports Indonesia. Namun setidaknya, mungkin artikel ini jadi berguna untuk membuka wawasan bahwa industri esports itu tidak hidup dalam dunianya sendiri.

Sebagai ruang beriklan untuk sponsor, industri esports dan industri-industri lainnya harus berhadapan dengan duopoli Google dan Facebook. Sebagai ruang untuk aktivitas bisnis (engagementsales, dkk.), industri ini juga harus berhadapan dengan industri lainnya. Pemahaman ini saya kira penting saja buat para pelaku industri esports ataupun mereka-mereka yang ingin jadi sponsor di esports.

Sumber: MPL Indonesia
Sumber: MPL Indonesia

Sekali lagi, jangan salah kaprah, saya bukannya jadi melarang para sponsor untuk mengucurkan uangnya lagi ke esports karena saya sendiri juga hidup dari industri esports. Namun, ada beberapa hal yang saya kira harus disadari dan dianalisa lebih jauh.

Pertama, misalnya, menyesuaikan iklan dengan target pasar. Jika target pasarnya adalah kelas menengah atas, ya jangan pakai konten/gaya picisan. Kedua, saya hanya berharap industri esports Indonesia sudah mulai bisa mencari ruang-ruang alternatif dalam mencari revenue selain menjadi ruang iklan. Meski memang cara-cara alternatif ini belum bisa digunakan sepenuhnya untuk menggantikan revenue yang datang dari sponsor.

Ketiga, yang tak kalah penting disadari, inilah alasan kenapa saya juga membandingkan industri esports dengan platform digital advertising ataupun industri lainnya. Faktanya, uang yang digunakan untuk kebutuhan iklan itu terbatas. Misalnya, kenapa sebuah perusahaan harus menjadi sponsor event esports jika perusahaan tersebut bisa mengucurkan dana yang sama jumlahnya (atau bahkan lebih besar) untuk event lainnya yang lebih efektif dari sisi aktivitas bisnis?

Terakhir, menyediakan bukti konkret bahwa esports memang mampu menggerakkan massanya (soal bisnis) tentu akan membuat industri ini lebih meyakinkan untuk para sponsor ataupun investor di masa depan.

Sumber header: Smash.gg

Profil Bigetron Esports: Yang Tak Terduga Menjadi Asa Meraih Juara

Bigetron Esports, tim esports Indonesia yang punya logo robot merah ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga Anda, terutama bagi Anda yang menonton dan mengikuti perkembangan skena kompetitif PUBG Mobile. Bigetron Red Aliens adalah nama yang disegani di skena kompetitif PUBG Mobile, karena dominasi tingkat dunia yang mereka dapatkan setelah memenangkan gelaran PMCO 2019.

Nama Bigetron Esports bisa dibilang sedang di atas angin pada tahun 2020 ini. Mereka menuai hasil positif di beberapa cabang game esports. Bigetron Alpha yang bertanding di MPL Indonesia Season 5 sempat memuncaki klasemen dengan rekor Win-Lose 9-1 sampai pekan ke 6. Bigetron Duty yang bertanding di dalam Call of Duty Major Series Season 2, juga berhasil meraih kemenangan dan menjadi tim COD Mobile terkuat di Indonesia.

Namun, semua itu tidak didapatkan oleh Bigetron Esports secara instan. Berbincang dengan Edwin Chia CEO Bigetron Esports, dalam artikel profil Bigetron Esports ini saya akan membahas, mulai dari sejarah terbentuk, proses menjadi juara, sampai bicara soal sisi bisnis Bigetron Esports.

Sejarah Bigetron Esports – Berawal Dari Mimpi Menjadi Pro Player

Jika Anda sempat mengikuti skena kompetitif League of Legends dalam negeri, Anda berarti mengetahui jenama Bigetron lebih lama dari kebanyakan penggemar esports. Dari sana Bigetron pertama kali muncul ke permukaan. Edwin Chia, yang sekarang merupakan CEO Bigetron Esports merintis organisasi esports ini sejak dari 27 Maret 2017 lalu.

Ketika itu Edwin adalah pemain League of Legends kompetitif yang dikenal dengan nickname Starlest. Bertanding di dalam gelaran tingkat nasional League of Legends Garuda Series Summer 2017, Bigetron adalah nama tim yang dibuat dibentuk oleh Edwin dan rekannya, Stewart Tiolamon (Teemolamon).

“Pada awalnya tim ini dibuat atas dasar hobi saja, tidak ada rencana untuk membuatnya menjadi lebih besar. Tetapi, waktunya sangat tepat ketika itu. Mobile esports sedang berkembang pesat di Indonesia lewat AOV serta Mobile Legends dan saya melihat kesempatan terbuka lebar untuk masuk ke dalam skena kompetitif kedua game tersebut dibanding dengan organisasi esports lainnya.” Ucap Edwin menceritakan asal mula Bigetron menjadi lebih besar.

Sumber: Esports ID
Tim League of Legends Bigetron Esports setelah memenangkan LGS Spring 2018. Sumber: Dokumentasi Garena

Benar saja, Bigetron (sebagai brand tim esports) segera melejit pada kedua game tersebut. Pada skena kompetitif AOV, Bigetron Esports berkali-kali mengamankan posisi 4 besar, walau belum sempat mencicipi gelar juara. Lalu setelah itu, di MLBB, Edwin juga berhasil mendapatkan pemain dari tim Player Kill yang berisikan pemain-pemain veteran di masa kini seperti Eiduart, Rekt, Emperor, Vin, Fabiens, dan Coffeeguy.

Dua kejadian tersebut berhasil membuat Bigetron dikenal lebih banyak penggemar esports, walaupun belum banyak menuai kejayaan di masa tersebut. “Ketika itu sumber dana Bigetron masih berasal dari kantong saya sendiri dan masih cukup. Penyebabnya, gaji pemain mobile esports masih sangat kecil masa itu. Saya ingat, gaji pemain cuma berada di kisaran Rp500 ribu – Rp2 juta rupiah pada masanya.” Cerita Edwin.

Setelah berbagai macam hal terjadi, Edwin lalu menceritakan bahwa pada Mei 2018 Bigetron akhirnya mencapai Break-even point (atau disebut juga balik modal). Hal tersebut terjadi karena terjun ke dalam skena kompetitif Mobile berhasil berbuah manis seperti apa yang ditinjau oleh Edwin sebelumnya. Brand Awareness meningkat dan berhasil membuat Bigetron jadi dilirik oleh beberapa sponsor.

Bigetron Esports berkembang begitu besar, dari yang awalnya hanya sebuah tim untuk berkompetisi saja, kini berubah menjadi organisasi esports profesional. Edwin lalu menceritakan bahwa hingga sampai ini, jumlah personil yang terlibat dalam perkembangan Bigetron Esports sudah hampir mencapai 60 orang.

“Secara organisasi, Bigetron Esports dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu Office Team yang berisikan saya sebagai CEO, lalu tim marketing yang termasuk tim kreatif seperti graphic designers, video editor dan videographer. Office Team memiliki anggota sekitar 10 sampai 15 orang. Bagian kedua adalah Esports Team yang berisikan Head of Esports yang mengepalai 5 manajer tim di bawahnya. Sisanya adalah pemain dengan jumlah kurang lebih sekitar 40 orang. Untuk saat ini, pengeluaran operasional terbesar terkucur kepada gaji pemain.” ujar Edwin menjelaskan dengan terperinci.

Saat ini, empat divisi terbesar dari Bigetron Esports sendiri ada di skena Mobile Legends: Bang-Bang, PUBG Mobile, Free Fire, dan Call of Duty mobile. Tak lupa, Bigetron juga kini memiliki divisi ladies bernama Belletron, yang prestasinya tak kalah dari Bigetron Esports.

Bagaimana Bigetron Esports Memenangkan Persaingan Bisnis Organisasi Esports di Indonesia.

Jika bicara peta persaingan organisasi esports, menurut saya setidaknya ada dua ranah persaingan, ranah bisnis dan prestasi. Dari ranah bisnis, Bigetron Esports mungkin terbilang masih cukup tertinggal dibanding para pesaingnya. Bigetron tidak seperti RRQ, yang punya MidPlaza Holding sebagai investor utama tim mereka. Bigetron juga tidak seperti EVOS Esports, yang sudah beberapa kali dapat pendanaan dari Venture Capital, dan punya diversifikasi produk yang matang seperti EVOS Goods, yang berhasil raup Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Edwin bahkan mengakui, bahwa dari segi finansial, sokongan dana terbesar Bigetron Esports saat ini masih datang dari keluarga dan kolega dekat. “Namun untuk langkah selanjutnya, kami sudah melakukan diskusi dengan beberapa Venture Capital,” ucapnya menjelaskan langkah bisnis Bigetron Esports.

Lebih lanjut bicara soal ranah bisnis, Edwin juga berbagi pandangannya terkait hal tersebut. “Kami adalah organisasi esports yang mengedepankan prestasi terlebih dahulu. Formula ini terbukti berhasil bagi kami hingga sejauh ini dan berencana untuk terus mendongkrak prestasi tim kami agar menjadi lebih baik lagi dengan pendanaan apapun yang kami dapatkan di masa depan.” Tukas Edwin.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Edwin Chia
Sumber: Dokumentasi Pribadi Edwin Chia

“Tetapi, saya juga sadar, bahwa bergantung kepada prestasi saja tidak cukup. Bagaimana jika di masa depan, terlepas dari usaha yang manajemen lakukan, Bigetron tetap tidak mendapat prestasi yang memuaskan? Tentu ini akan jadi tidak baik bagi keberlangsungan hidup Bigetron Esports pada jangka panjang. Maka dari itu saat ini kami sedang merintis beberapa diversifikasi bisnis seperti Bigetron Shop (Merchandise Selling) dan Starion Talents (Talent Management). Kami sudah punya banyak inisiatif yang dalam rencana dan semuanya masih terkait dengan gaming. Semua usaha ini kami lakukan demi membuat diversifikasi bisnis.” cerita Edwin Chia.

Lebih lanjut, Edwin mengatakan bahwa bisnis merchandise di Bigetron Esports masih dalam proses rintisan, sehingga sejauh porsi pemasukan yang disumbangkan penjualan merchandise masih sangatlah kecil dibanding dengan total pemasukan bulanan Bigetron Esports. “Sampai saat ini, Talent Management menjadi salah satu divisi kami yang memberi sumbangan cukup besar terhadap pemasukan Bigetron Esports. Menurut catatan saya, Starion Talent Management menyumbangkan sekitar 20% dari total pemasukan bulanan Bigetron Esports.” Jelas Edwin.

Usaha Bigetron Esports Dalam Menjadi Organisasi yang Mengutamakan Prestasi

Pada bagian sebelumnya Edwin sudah sempat menyatakan pandangan bisnisnya terhadap mengembangkan Bigetron Esports. Ia bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Bigetron Esports akan fokus untuk terus mendongkrak performa pemain semaksimal mungkin, dengan pendanaan apapun yang didapatkan oleh tim di masa depan.

Edwin sendiri mengakui, bahwa fokus tersebut menjadi salah satu jalan yang membuat Bigetron Esports bisa sampai sebesar ini. Tidak salah jika Edwin memiliki rencana tersebut, karena nama Bigetron Esports sedari dulu bergaung sebagai tim yang berisikan pemain-pemain elit yang haus akan prestasi.

Usaha pertama mereka terlihat di kancah League of Legends. Setelah merintis di LGS Summer 2017, Bigetron Esports akhirnya bisa membuktikan diri dan menjadi pemenang di LGS Spring 2018. Usaha Bigetron mengutamakan prestasi juga terlihat di kancah PUBG Mobile.

Ini juga terlihat dari bagaimana mereka mempertahankan dan mengasuh pemain berbakat seperti Zuxxy Luxxy sejak dari tahun 2018 lalu, bahkan ketika mereka masih bermain Rules of Survival. Hasilnya? Bigetron Red Aliens kini mendominasi skena PUBG Mobile lokal Indonesia dan tingkat dunia setelah memenangkan PMCO 2019.

Bigetron RA PMCO Global Finals 2019
Sumber; Official PUBG

Namun, usaha Bigetron Esports mengedepankan prestasi juga tidak selalu berhasil. Contohnya perjuangan mereka di skena MOBA Mobile, yang kerap dirundung berbagai nasib malang .

Pada kancah kompetitif Arena of Valor, walau selalu berhasil lolos sampai babak Playoff, namun tim yang ketika itu dipimpin oleh Teemolamon kerap tumbang di hari pertama. Pada kompetisi ASL Season 1 mereka tumbang oleh GGWP.ID, lalu pada kompetisi ESL Indonesia Championship Season 1 mereka tumbang oleh Saudara Esports.

Begitu juga perjuangan mereka di kancah Mobile Legends. Walau sudah mengukuhkan posisi mereka di MPL sejak dari Season 1, namun Bigetron tidak pernah menjadi nama yang bergaung kencang di kancah kompetitif MLBB. Setidaknya sampai musim ini, ketika Branz dan kawan-kawan berhasil mendominasi musim dengan catatan Menang-Kalah 9-2.

Sumber: Kincir.com
Sumber: Kincir.com

Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tahun 2020, menjadi tahunnya Bigetron, dengan ragam prestasi yang didapat berbagai divisi game esports. Edwin lalu sedikit bercerita tentang prosesnya dan peran manajemen dalam membuat Bigetron menjadi tim dengan berbagai prestasi mentereng. “Sukses yang kami nikmati sekarang ini sepenuhnya adalah hasil kerja keras.” Ucap Edwin melanjutkan ceritanya.

“Kami berusaha untuk terus memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan masa lalu. Menurut saya, salah satu faktor terbesar atas semua prestasi yang kami dapatkan belakangan ini adalah karena kami akhirnya mendapat pemain yang tepat, sesuai dengan tim, dan percaya terhadap visi serta prinsip Bigetron Esports sebagai organisasi.”

Edwin juga mengatakan, bahwa faktor lain datang dari para manajer tim yang bekerja keras siang-malam demi memenuhi kebutuhan pemain agar mereka bisa fokus latihan dan bertanding saja. “Saya sangat bersyukur atas kerja keras para manajer dan pemain untuk mencapai hal ini.”

Lebih lanjut, Edwin lalu menceritakan bagaimana Bigetron Esports melakukan proses pembentukan pemain, mulai dari pencarian bakat hingga menciptakan tim juara. Untuk proses pencarian bakat, Edwin mengaku melakukannya dengan jaringan talent scout yang ia miliki. Tak hanya itu, pencarian bakat juga terkadang dilakukan oleh pemain dan pelatih, yang juga lihai melihat bakat terpendam dari seorang pemain.

Setelahnya pemain yang sudah diincar tersebut akan direkomendasikan ke dalam tim. Ketika masuk ke dalam tim Bigetron, proses seleksi tidak selesai begitu saja. Para pemain akan melalui masa percobaan terlebih dahulu selama 1 sampai 2 pekan. Selama masa percobaan, pemain akan bermain di fasilitas latihan Bigetron Esports untuk memastikan kemampuannya seimbang dengan rekan tim lainnya, menakar serta menimbang apakah pemain tersebut memiliki pribadi baik dan punya keinginan kuat untuk menjadi juara.

Sumber: Official Facebook Bigetron Esports
Kyy dan Warlord dua pemain muda yang menunjukkan bakatnya selama MPL ID S5 menjadi bukti usaha Talent Scouting dan pengembangan pemain yang dilakukan Bigetron Esports. Sumber: Official Facebook Bigetron Esports

Namun, Edwin mengakui proses tersebut belum sepenuhnya baik, karena persaingan perekrutan pemain kini jadi semakin ketat. Apalagi, tim seperti RRQ yang kini punya RRQ Academy sebagai wadah mereka untuk mencari bakat. “Pasti kami akan mencari cara untuk membuat proses talent scouting jadi lebih baik lagi. Apalagi perebutan talenta pemain jadi semakin ketat dengan banyaknya tim yang masuk ke dalam ekosistem esports saat ini. Membuat akademi juga menjadi salah satu yang ada di dalam rencana kami.”

Setelah proses scouting, yang tersisa tinggal proses latihan. Untuk itu, Edwin mengatakan bahwa ia selalu mengusahakan untuk menghadirkan setidaknya satu coach dan satu manajer pada setiap divisi. “Kami percaya bahwa kerja keras bisa mengalahkan bakat. Karenanya rezim latihan Bigetron Esports sudah pasti keras. Namun bukan berarti latihan tersebut hanya bermain game saja. Kami juga memasukkan aktivitas lain ke dalam rezim latihan kami, seperti Team Bonding, mengulas pertandingan, latihan mental, dan lain sebagainya.” Edwin menjelaskan

Soal proses membuat tim juara ini, Edwin menyatakan kelebihan Bigetron dibandingkan tim lain dengan cukup percaya diri. “Saya rasa salah satu kelebihan Bigetron Esports adalah posisi saya sebagai CEO yang pernah menjadi profesional player dan memenangkan kejuaraan nasional sebelumnya.”

Memang Edwin Chia yang juga dikenal dengan nama in-game Starlest bahkan masih bermain di kancah kompetitif League of Legends sampai tahun 2018, ketika Bigetron Esports memenangkan League of Legends Garuda Series Spring Split 2018.

“Karena itu saya merasa dapat lebih memahami kebutuhan dan kesulitan dari para pemain dibanding dengan organisasi esports lain di Indonesia.” Edwin melanjutkan. “Memahami kebutuhan dan kesulitan pemain memungkinkan saya untuk merencanakan struktur organisasi serta para personil manajemen yang tepat agar dapat membantu mereka menuju kesuksesan.”

Pandangan Masa Depan Bigetron Esports Dari Edwin Chia

Walau Bigetron Esports bukan yang terbaik di semua ranah kompetisi esports, namun saya merasa mendominasi di dua liga skena esports terbesar di Indonesia (PUBG Mobile dan MLBB) sudah cukup membuat Bigetron dipandang di ekosistem esports Indonesia, secara prestasi.

Namun demikian itu semua tentu belum cukup. Edwin mengaku masih punya beberapa target dan juga rencana ekspansi yang akan ia lakukan. Untuk ekspansi terdekat Edwin mengatakan, “Sudah pasti League of Legends Wild Rift.” Lebih lanjut Edwin juga mengatakan bahwa ia ingin mencoba menggapai mimpinya, memiliki divisi dari game yang ia mainkan secara profesional sebelumnya yaitu League of Legends, seperti Gary Ongko yang membuat divisi CS:GO BOOM Esports di Brazil.

“Saya sangat ingin Bigetron Esports masuk skena League of Legends lagi, tapi mungkin di negara lain. Rencana ekspansi internasional sudah pasti akan kami lakukan, namun hal tersebut butuh waktu untuk dipertimbangkan, apakah biaya operasional untuk tim tersebut sebanding dengan benefit yang Bigetron dapatkan secara bisnis. Saya melihat banyak organisasi esports Indonesia lain yang mencoba, dan akhirnya terpaksa menutup divisi tersebut. Kami tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Tetapi pada intinya, Bigetron Esports tetaplah menjadi organisasi esports yang mengutamakan skena lokal Indonesia terlebih dahulu.” Edwin menjelaskan pandangannya soal ekspansi internasional.

Menutup pembicaraan, Edwin lalu menceritakan soal visi, serta perasaannya merintis Bigetron dari hanya sebuah tim saja, hingga menjadi organisasi esports. Edwin mengaku, “jujur, saat awal mendirikan tim ini, saya sebenarnya tidak memiliki mimpi yang konkret untuk Bigetron. Saya bahkan tidak pernah menyangka bahwa Bigetron bisa menjadi besar seperti sekarang. Bigetron terasa seperti kecelakaan yang tidak diharapkan, bahkan masih terasa seperti mimpi bahwa saya bisa membawa Bigetron sampai titik ini!”

Sumber: Twitter PUBG Esports
Sumber: Twitter PUBG Esports

“Namun demikian saya tetap bersyukur kepada Tuhan, karena seiring perjalanan, terbuka juga banyak kesempatan baru. Juga tentunya, saya ingin berterima kasih atas usaha yang dilakukan oleh kolega serta para pemain yang percaya terhadap visi dan tetap bertahan dengan Bigetron Esports melalui masa-masa berat.”

“Terima kasih kepada para penggemar yang telah mendukung Bigetron, yang telah membuat Bigetron menjadi besar seperti hari ini. Memandang ke depan, mimpi saya tentunya adalah membawa brand organisasi Bigetron Esports setingkat dengan brand organisasi esports internasional. Mencapai ini, saya percaya Bigetron Esports akan dapat membuat Indonesia bangga nantinya!” Jelas Edwin menutup perbincangan

Itulah sedikit perbincangan saya dengan Edwin Chia CEO Bigetron Esports, bicara soal sejarah, proses menjadi juara, sampai pandangan Edwin Chia dalam mengembangkan bisnis Bigetron Esports.

Dengan proses yang sudah dilewati, apa yang didapat Bigetron Esports tahun ini tentu menjadi buah manis yang patut untuk dinikmati atas berbagai usaha dan perjuangan yang dilakukan oleh Edwin dan manajemen. Kira-kira bagaimana perkembangan Bigetron Esports di masa depan? Akankah tim berlogokan robot merah dapat meraih ambisinya menjadi organisasi esports nomor satu di Indonesia?