4 Dampak Negatif Esports untuk Kaum Muda di Indonesia

Biasanya, opini-opini tentang dampak negatif esports dan game datang dari kalangan konservatif ataupun masyarakat awam. Sebaliknya, para pelaku yang punya kepentingan di esports seringnya, jika tak mau dibilang selalu, meneriakkan betapa mulianya pengaruh esports bagi kaum muda.

Saya? Saya memang aneh… Saya pribadi memang punya kepentingan dan keinginan melihat industri dan ekosistem esports di Indonesia maju karena kebetulan saya sudah berkarier di industri game dan sekitarnya dari 2008. Namun demikian, saya tak ingin terjebak dengan bias-bias kognitif yang biasanya terlihat jelas pada dikotomi pilihan politik.

Lagipula, saya percaya betul bahwa setiap hal pasti punya dampak positif dan negatif di saat yang sama. Demikian juga dengan dampak esports yang kini sedang hingar bingar di kalangan anak muda ataupun industri. Lalu apa tujuannya? Saya hanya berharap dengan menyuguhkan wacana ini, kita, semua yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports, bisa setidaknya menyadari atau bahkan menentukan sikap lanjutan.

Tanpa panjang lebar lagi, inilah 4 dampak negatif esports bagi kaum muda di Indonesia.

Pemupuk Arogansi Dosis Tinggi

Sumber: Escape Artist
Sumber: Escape Artist

Sepanjang perjalanan saya jadi seorang jurnalis dari 2008, inilah keanehan yang saya temukan. Atlet ataupun selebriti esports seringkali lebih arogan ketimbang petinggi perusahaan internasional sekalipun. Kebetulan saja, saya sudah mewawancarai sejumlah petinggi perusahaan, bahkan yang kelasnya internasional ataupun konglomerasi. Kebanyakan dari mereka justru lebih ramah menjawab ataupun merespon pertanyaan saya ketimbang saat saya mewawancarai atlet esports ataupun beberapa selebriti sosmed yang berkecimpung di sini.

Memang, ada banyak juga pro player ataupun mereka-mereka yang sering tampil di industri esports itu begitu terbuka dan ramah terhadap media — setidaknya ke saya… Di sisi lain, saya juga beberapa kali menemukan petinggi perusahaan yang jelas menunjukkan keengganannya berinteraksi dengan media — atau mungkin, spesifik ke saya saja juga kwkakwka…

Di satu sisi, hal tadi memang aneh mengingat petinggi perusahaan biasanya punya kuasa, kapasitas, dan pengalaman yang lebih berharga ketimbang para atlet esports yang memang relatif muda. Meski demikian, di sisi lainnya, saya juga memahami kenapa hal ini bisa terjadi.

Ketika seseorang yang masih berusia 20an (atau bahkan belasan) sudah merasa berada di puncak dunia, arogansi itu memang mungkin tak bisa dibendung. Setidaknya saya pribadi juga dulu merasakan hal tersebut. Komunitas esports memang punya kecenderungan mengelu-elukan dan memuja-muja jagoan atau idolanya masing-masing. Hal inilah yang memupuk arogansi ego masing-masing dengan dosis tinggi.

Kenapa saya bisa bilang arogansi jadi sebuah dampak negatif? Karena, saya kira setiap manusia punya kecenderungan untuk memilih lebih banyak berinteraksi dengan mereka-mereka yang menerima dengan tangan terbuka. Ditambah lagi, arogansi membuat kita kehilangan empati dan kian sempit melihat dunia.

Indoktrinasi Budaya Instan

Dengan pesatnya industri dan ekosistem esports di Indonesia, hal ini menyebabkan para pelaku di dalamnya terbiasa dengan budaya instan. Hal ini sebenarnya pernah dibahas di artikel yang saya tulis soal regenerasi esports namun izinkan saya menjelaskannya singkat di sini.

Ekosistem dan industri esports kita saat ini memang bisa saja meroketkan karier seseorang dengan begitu cepat. Atlet esports yang tadinya bukan siapa-siapa bisa jadi idola sejumat ‘umat’ dalam sekejap. Dibandingkan dengan atlet olahraga, menurut penjelasan Yohannes Siagian yang saat ini jadi Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD (saat kami berbincang soal regenerasi tadi), karier instan ini lebih jarang terjadi. Pasalnya, di olahraga ‘tradisional’, mereka yang ingin jadi atlet pelatnas harus melewati berbagai fase seperti mewakili sekolah, kota, ataupun provinsi.

Sayangnya, hal ini juga terjadi tak hanya untuk pro player tapi para profesional yang berkecimpung di esports. Dengan antusiasme pasar esports yang memang sedang tinggi-tingginya, tak sedikit juga banyak orang yang jadi merasa ‘ahli’ di esports padahal pengalamannya baru seumur jagung. Tak sedikit juga para pelaku esports di Indonesia sekarang ini yang hanya bermodal passion.

Sumber: Acadia Software
Sumber: Human Resource Online

Mungkin memang saya yang terlalu konservatif soal hal ini namun saya sangat percaya bahwa belajar itu mengalami. Saya juga percaya betul bahwa setiap keahlian, apapun itu bidangnya, butuh proses yang panjang, melelahkan, dan tak jarang membosankan.

Sebenarnya indoktrinasi budaya instan ini juga terjadi tak hanya karena esports tapi juga karena kemajuan industri digital dan teknologi yang kerap kali menyuguhkan gratifikasi instan.

Meski begitu, menurut saya, indoktrinasi budaya instan ini aneh karena justru bertentangan dengan apa yang coba diajarkan dari kegiatan bermain gameGame itu justru memberikan penekanan bahwa semua hal pasti butuh proses. Anda tidak mungkin tiba-tiba level 100 saat mulai bermain. Anda harus membasmi ribuan atau bahkan jutaan musuh untuk mengumpulkan EXP yang dibutuhkan untuk naik level di RPG. Anda juga harus bertahap mendaki competitive ranks di game-game multiplayer yang kompetitif.

Menjadikan Uang Sebagai Tujuan Akhir

Sumber: Every Geek
Sumber: Every Geek

“Kenapa harus terjun ke esports? Karena Anda bisa mendapatkan banyak uang dari sana…”

Mungkin itulah argumentasi yang paling sering saya temui di banyak talkshow soal esports yang belakangan juga mulai menjamur. Di luar acara-acara kampus dan sekolah, seperti di artikel, video, postingan sosmed atau apapun itu, uang jugalah yang dijadikan motivasi utama kenapa generasi muda harus terjun ke esports. Saya sendiri juga harus mengaku ‘dosa’ karena menyuguhkan argumentasi yang sama di beberapa kali kesempatan.

Tidak, saya tidak akan berargumen soal uang yang tidak bisa membeli semua hal. Saya sendiri cinta uang (wkwkwkwk) dan percaya banyak, jika tidak semua, hal bisa dibeli dengan uang. Kita bisa mempercepat proses belajar dengan uang. Kita juga bisa memperkaya pengalaman dengan membayar. Bahkan cinta pun katanya juga bisa dibeli dengan uang.

Argumentasi soal uang tadi sebenarnya wajar karena jadi jawaban paling mudah yang bisa dipahami semua orang. Namun sekarang, saya akan mencoba menawarkan argumentasi yang lebih jauh lagi.

Di sini, saya lebih berargumen bahwa yang negatif adalah menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Muasalnya, uang hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan, bukannya tujuan akhirnya itu sendiri. Lalu, apa contoh tujuan akhir yang lebih konkret kalau bukan uang? Banyak…

Ingin membelikan rumah untuk orang tua atau untuk membiayai orang tua agar bisa naik haji adalah tujuan akhir yang lebih masuk akal — meski jadinya overused untuk jadi konten… Kuliah bahkan sampai S3, beli rumah atau apartemen mewah, ataupun modal mendirikan startup sendiri adalah contoh-contoh lain dari tujuan akhir yang memang butuh uang. Bahkan menikah pun juga butuh uang, apalagi bagi yang berniat poligami ataupun poliandri — I won’t judge.

Beberapa contoh yang saya sebutkan tadi lebih positif karena hal tersebut membuat kita punya rencana yang lebih panjang dan terarah. Lagipula, sejumlah tujuan akhir tadi juga tak hanya butuh uang namun juga menuntut hal-hal lainnya untuk bisa diwujudkan.

Izinkan saya menutup bagian ini dengan sebuah analogi. Di game MOBA, kita juga harus mengumpulkan gold/uang dari creeping, jungling, atau bahkan membunuh lawan. Namun apakah tujuan akhirnya hanyalah sekadar mengumpulkan gold? Bisa dipastikan Anda akan kalah dan menanggung malu jika Anda hanya mengumpulkan gold sebanyak-banyaknya tanpa mengubahnya jadi item/equipment yang lebih pragmatis.

Seperti tadi saya sebutkan soal uang yang hanya jadi alat untuk meraih tujuan akhir, demikian juga hal ini berlaku di MOBA. Tujuan akhirnya adalah mengalahkan lawan — menghancurkan base/nexus tim musuh. Untuk sampai ke sana, selain butuh gold, juga butuh kerja sama, strategi, dan mental juara.

Ruang Sembunyi atas Kemalasan

Sumber: University of Rochester
Sumber: University of Rochester

Sebelum esports berkembang sampai ke titik ini, profesi yang bisa dikembangkan dari hobi bermain game itu memang sungguh sangat terbatas — seperti jadi jurnalis media game, game master di publisher, tukang farming gold dan item langka, atau joki level/rank.

Sekarang, dengan perkembangan esports, ada banyak sekali ruang-ruang profesional baru yang bisa dikejar oleh komunitas gamer. Sayangnya, hal ini kadang jadi alasan atau bahkan kambing hitam atas kemalasan.

Misalnya, seorang pelajar jadi melupakan atau meninggalkan kewajibannya demi bermain game dengan alasan ingin menjadi pro player. Saya juga beberapa kali menemukan judul berita seperti ini, “seorang anak mencuri uang orang tuanya demi membeli game.” Ada juga bentuk tindak kriminal lain yang lebih parah yang menjadikan game sebagai kambing hitam.

Selain itu, berhubung saya juga sudah lumayan lama bekerja di industri game dan sekitarnya (yang kebanyakan para pekerjanya memang gamer), saya juga beberapa kali menemukan para pekerja yang gagal memenuhi tanggung jawabnya karena terlalu lama/sering bermain.

Entah kenapa, saya paling tidak suka melihat yang seperti itu… Saya juga gamer dan saya bahkan tidak jarang menghabiskan waktu 2-8 jam sehari untuk bermain game (bahkan weekdays sekalipun). Tahun ini, saya bahkan menghabiskan anggaran sampai Rp30 juta agar PC saya bisa menghasilkan performa yang mulus dengan setting rata kanan saat bermain game.

Dokumentasi Pribadi
Pamer PC kesayangan boleh yak… Dokumentasi: Pribadi

Namun demikian, saya selalu mencoba untuk bisa diandalkan dari sisi profesional — yang akhirnya waktu tidur yang biasanya saya korbankan — meski memang saya sendiri juga mengaku masih punya banyak sekali kekurangan soal ini.

Lagi-lagi, kemalasan ini juga bertolak belakang dengan filosofi hidup yang coba diajarkan dari game. Kembali ke analogi MOBA, Anda harus farming lebih cepat dari yang lain jika ingin cepat kaya. Reward & punishment di game itu dijabarkan dengan gamblang dan diimplementasikan dengan lebih adil.

Bagi saya pribadi, mungkin inilah kekurangan utama hidup dibanding game. Saya tahu betul bahwa kadang orang yang lebih pintar, rajin, dan selalu berbuat baik kepada sesamanya bisa saja kalah sukses dengan yang beruntung. Meski demikian, bukan gamer juga namanya jika kita mengasihani diri, menyalahkan keadaan, dan menyerah pada tantangan.

Akhirnya

Saya di sini hanya ingin menyuguhkan pendapat saya tanpa bermaksud menggurui atau malah menghakimi. Saya hanya berharap dengan industri esports yang semakin besar, hal tersebut tidak mengingkari sejumlah pelajaran hidup yang sebenarnya bisa ditawarkan dari sebuah permainan.

Sumber Feature Image: MPL Indonesia

Melihat Potensi Perkembangan League of Legends Wild Rift di Indonesia?

Memasuki tahun ke-10, Riot Games mulai melakukan ekspansi terhadap dunia Runeterra. Sepuluh tahun belakangan, Riot Games fokus membesarkan satu game saja, yaitu League of Legends. Lewat acara Riot Pls: 10th Anniversary Edition mereka mengumumkan jajaran game terbarunya. Ada beberapa game yang mereka umumkan, ada Teamfight Tactics (auto-battler berisikan Champion League of Legends) versi mobilegame kartu bernama Legends of Runeterra, proyek game fighting League of Legends, dokumenter, sampai serial televisi.

Namun dari semua pengumuman tersebut, satu yang cukup ramai diperbincangkan adalah League of Legends Wild Rift (selanjutnya disebut Wild Rift), versi mobile dari League of Legends yang sudah cukup lama ditunggu-tunggu. Mengingat eksistensi League of Legends tanah air padam sejak tahun tahun 2018 lalu, Wild Rift diprediksi akan menjadi fenomena baru di pasar lokal. Mengapa demikian? Organisasi esports seperti GGWP.ID mengambil langkah berani dan sudah mempersiapkan divisi League of Legends: Wild Rift. BOOM Esports juga menunjukkan gelagat akan membuat divisi League of Legends: Wild Rift.

Melihat hingar-bingar ekosistem tanah air terhadap Wild Rift, pantas rasanya jika kita bertanya-tanya. Apakah Wild Rift benar-benar akan sukses di Indonesia

Sebelum mulai membahasnya, mari kita mundur sedikit dan melihat sepak terjang League of Legends di ekosistem esports Indonesia terlebih dahulu.

Sepak terjang League of Legends di Indonesia

Setelah dirilis secara global pada tanggal 27 Oktober 2009, League of Legends (LoL) hanya butuh tiga tahun untuk menjadi game paling digemari Amerika dan Eropa. Dikutip artikel Forbes rilisan 11 Juli 2012, League of Legends sudah dimainkan selama total 1,3 miliar jam, sejak dari tahun 2009 sampai tahu 2012.

Melihat kesuksesan tersebut, Garena Indonesia memutuskan mengasuh League of Legends dan merilis versi lokal pada 25 Juli 2013. Selain menghadirkan client berbahasa Indonesia dan konektivitas lokal, esports juga jadi strategi lain yang dilakukan Garena Indonesia demi membuat League of Legends mengakar di antara para gamers.

Mari kita berkenalan dengan narasumber kami yang pertama, Pratama “Yota” Indraputra. Sempat menjabat sebagai pengembang esports di Garena Indonesia, ia memberikan cerita di balik dapur publisher asal Singapura tersebut.

“League of Legends membuka server Indonesia tahun 2013. Saat itu animo di Indonesia cukup baik, meski tidak bisa dibilang booming. Mayoritas pemain yang menerima inisiatif ini memang mereka yang sudah main League di server luar. Namun karena image Dota lebih melekat, diperparah dengan perkara drama Pendragon, ada juga sedikit reaksi negatif.”

Sumber: Dokumentasi Pribadi Yota
Sumber: Dokumentasi Pribadi Yota

Menyinggung drama Pendragon yang disebut Yota, saya ingin mengajak Anda intermezzo sedikit akan kejadian tahun 2008 silam. Steve “Pendragon” Mescon, adalah founder forum dota-allstars.com. Selama 4 tahun, forum tersebut dipercaya menjadi wadah komunitas berdiskusi seputar strategi, berbagi fan-art, dan ide desain hero. Setelah masa tersebut berlalu, Pendragon pindah ke Riot Games dan menutup forum tersebut. Membawa semua hal dari dota-allstars.com, Pendragon dianggap mencuri ide-ideo hero milik komunitas dan dicap sebagai pengkhianat. Sejak tragedi itu, Riot Games jadi dibenci komunitas Dota.

Yota lalu menceritakan strategi Garena Indonesia dalam mengolah LoL menjadi game esports pilihan di tanah air. Rupanya, kompetisi LoL tingkat profesional, League of Legends Garuda Series, hanyalah satu dari rentetan rencana kerja Garena. “Dulu ada Kennen Cup, Teemo Cup untuk turnamen tingkat grassroots. Lalu juga ada roadshow ke iCafe sampai daerah pelosok. Bahkan sempat ada program Dota2LoL yang memberi benefit kepada pemain Dota 2 yang ingin coba bermain League.” tuturnya.

Ia pun mengungkapkan pendapatnya soal keberhasilan strategi tersebut “Meski berhasil menarik perhatian pemain yang baru bermain MOBA, strategi ini kurang efektif terhadap pemain MOBA berpengalaman. Scene esports Dota 2 sedang panas ketika itu, sehingga kami hanya mampu menarik perhatian mantan pemain Heroes of Newerth (HON) saja.”

Sayangnya 5 tahun usaha tersebut seperti hangus begitu saja. Yota menyebut cost dan effort tidak sebanding dengan pertumbuhan revenue, player base ataupun viewership. Game ini tak lagi menguntungkan secara bisnis, operasional League of Legends Indonesia tumbang pada 15 Mei 2019. Server lokal Indonesia digabung dengan server Singapura. Program esports lokal Indonesia (LGS) terhenti sejak 2018, dan kini diubah menjadi program esports tingkat regional SEA yang diberi nama LoL SEA Tour (LST).

Menghadapi persaingan ketat

Hybrid, mengutip tulisan milik Henri Brouard analis dari NetEase Games, sempat membahas alasan Free Fire sukses di Asia Tenggara. Ia mengatakan setidaknya ada 4 faktor penting, pertama bisa dimainkan pada smartphone low-endkedua punya gameplay super kasual, ketiga monetisasi dengan sedikit elemen RPG, dan keempat merangkul komunitas dengan konten-konten bernuansa lokal.

Sejauh ini, empat faktor kunci tersebut bisa jadi adalah alasan Mobile Legends: Bang-bang (MLBB) sukses di Indonesia. Menurut pengamatan saya, mereka setidaknya memenuhi 3 dari 4 faktor, yaitu: bisa dimainkan pada smartphone low-endgameplay paling kasual dibanding MOBA lainnya, dan merangkul komunitas lokal lewat event, bahkan turut menghadirkan Gatot Kaca sebagai hero bernuansa lokal Indonesia.

Tetapi, apakah lantas 4 faktor itu bisa sekonyong-konyong membuat game sukses di pasar Indonesia? Saya menanyakan hal ini kepada beberapa sosok di industri game Indonesia. Selain Yota, saya juga menjadikan Senior Editor Hybrid, Yabes Elia sebagai narasumber dalam pembahasan ini.

Yabes sebagai sosok yang dianggap “sepuh” mungkin bisa dibilang salah satu yang paling khatam jika bicara soal ekosistem dan industri. Malang melintang di industri game Indonesia selama kurang lebih 10 tahun sebagai seorang jurnalis, sosok yang pernah menjadi Managing Editor majalah PC Gamer Indonesia pada tahun 2009 lalu ini mungkin sudah kenyang makan asam-garam serta pahit-manis industri game di Indonesia. Terkait Wild Rift, ia merasa bahwa faktor sukses game bukan hanya soal 4 hal tersebut saja, tapi ada juga faktor lain, yaitu momentum.

“Kalau bicara League of Legends dulu, telat masuk bisa dibilang jadi alasan kenapa League kurang sukses di Indonesia. Gue sudah main di server NA (Amerika Serikat) selama 2 tahun, baru setelahnya server Indonesia hadir. Karena telat, League of Legends nggak dapat momentum, yang akhirnya diambil oleh Dota 2 terlebih dahulu.” Yabes menjawab.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Yabes Elia saat menjadi moderator dalam acara Hybrid Day. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Saya cukup setuju dengan pendapat Yabes. Kenapa? Karena jika kita berkaca pada apa yang diceritakan Yota dan bersandar pada 4 faktor itu saja, League of Legends harusnya sudah sukses di Indonesia bukan?

Secara grafis, League terbilang lebih ringan pada zamannya, gameplay MOBA terpopuler ini juga lebih kasual jika dibanding dengan Dota. Garena juga sudah berusaha sekuat tenaga mendorong perkembangan ekosistem lokal lewat berbagai kegiatan esports. Tapi kenapa League of Legends malah harus mengalami nasib buruk di Indonesia?

Melanjutkan soal ini Yabes mengatakan “Itu sebenarnya baru faktor internal. Jika ingin sukses, Wild Rift juga harus menyadari soal faktor eksternal lewat ekosistem pendukung, seperti tim, event organizerpublisher, dan media.”. Peran ekosistem lokal dalam perkembangan suatu game terbilang cukup penting. Apalagi jika berbagai elemen bergandengan tangan untuk menjaga sebuah game agar tetap hidup di ekosistem lokal. Soal bagaimana ekosistem lokal bisa berperan akan saya bahas lebih lanjut di bagian berikutnya.

Melanjutkan pembahasan potensi Wild Rift di Indonesia, saya juga berbicara dengan Edwin Chia Co-Founder dan CEO Bigetron Esports sebagai narasumber yang bisa melihat dari sudut pandang organisasi esports. Pendapat Edwin kurang lebih senada dengan Yabes, besar-kecil potensi Wild Rift adalah tergantung eksekusi publisher.

Edwin menyoroti soal peran “kearifan lokal” dalam menyukseskan Wild Rift di Indonesia. “Jika mereka (Riot Games dalam mengembangkan Wild Rift) ingin sukses, mereka setidaknya harus punya kantor di Indonesia. Mereka harus mendengarkan masukan komunitas, dan melakukan pemasaran secara agresif ketika peluncuran. Mereka harus bisa bereaksi sesuai dengan respon pasar dan menyesuaikan kembali strategi mereka dari hal tersebut.” tukas Edwin.

“Mereka juga tidak boleh setengah hati jika ingin menumbangkan posisi King of Indonesia MOBA, yaitu MLBB. Orang-orang Indonesia secara historis sangat enggan berpindah game ketika mereka sudah nyaman dengan yang satu. Hal ini sudah terjadi dengan beberapa contoh seperti, alasan orang-orang lebih memilih Point Blank daripada CS:GO ataupun Overwatch, dan alasan orang-orang lebih memilih Dota daripada LoL ataupun HoN.” Edwin melanjutkan penjelasannya.

Apa yang dibilang Edwin ada betulnya, bahwa jika Riot Games ingin menumbangkan MLBB, maka ia harus melakukan pemasaran secara agresif, dan mendengarkan pendapat komunitas lokal. Yabes juga mengatakan, bahwa dahulu MLBB gencar melakukan pemasaran secara digital, sambil tetap menjaga komunitasnya di Indonesia. Tapi kata kunci dari pendapat Edwin adalah soal keinginan.

Ini memunculkan pertanyaan lain di kepala saya. Apakah Riot Games punya keinginan menggeser MLBB di persaingan MOBA Indonesia? Apakah Riot perlu menggeser tahta MLBB sebagai raja MOBA di Indonesia? Apakah pasar Asia Tenggara atau pasar Indonesia penting untuk dimenangkan? Kalau bicara secara rasional, Riot Games sudah menghasilkan US$2,1 juta di tahun 2017 lalu, hanya dengan menjadi jagoan di pasar Asia (bisa dibilang Korea Selatan dan Tiongkok), Eropa, dan Amerika Serikat.

Yabes lalu menyatakan pendapatnya terkait hal ini. “Market SEA terbilang cukup penting, karena belum dioptimalkan namun punya potensi yang besar. Apalagi kalau dibanding EU dengan NA, user acquisition di SEA cenderung lebih murah. Cuma balik lagi dari masing-masing publisher, mau ke market mahal dulu baru ke market murah, atau ke market murah baru ke market mahal.” ujarnya.

Peran ekosistem lokal

Jika anggaplah Wild Rift sudah memenuhi faktor internal, dan punya keinginan memenangkan market esports MOBA di Indonesia, lantas apa yang harus mereka lakukan? Soal mencari momentum bisa jadi hal pertama yang dilakukan.

Sejauh ini antusiasme komunitas dan ekosistem esports Indonesia terhadap Wild Rift memang terbilang cukup baik. Secara global, penerimaan pasar terhadap MOBA di perangkat bergerak juga semakin positif lewat Arena of Valor (yang juga dikembangkan oleh Tencent, investor Riot Games). Untuk konteks lokal, saya sudah sempat mendengar bahwa beberapa pemain profesional pada genre MOBA terdahulu tertarik main Wild Rift, dan punya kemungkinan akan pindah jika Wild Rift punya scene kompetisi yang sehat.

“Benar seperti yang kamu katakan, mantan pemain dari berbagai MOBA terdahulu punya ketertarikan untuk mencoba Wild Rift. Para organisasi esports seharusnya sudah sama-sama tahu siapa pemain-pemain ini, dan mereka (para tim) sudah bisa menakar dengan kasar, pemain mana yang punya kemungkinan untuk sukses di Wild Rift nanti. Sejauh ini antusiasmenya memang tinggi, terutama dari sisi komunitas League terdahulu.” Edwin menceritakan antusiasme pasar terhadap Wild Rift.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Edwin Chia
Edwin Chia, Co-Founder serta CEO tim Bigetron Esports. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Selain GGWP.ID dan BOOM Esports, para organisasi esports juga sudah menyiapkan mata mengawasi perkembangan Wild Rift. “Most of them (organisasi esports) are just in the wait-and-see-the-results stance, begitupun dengan Bigetron. Kami sudah punya daftar pemain yang siap untuk bertanding di Wild Rift ketika Open Beta game tersebut nanti dirilis.” ujar Edwin.

Oke, jadi Wild Rift sudah punya momentum dengan antusiasme positif dari pemain dan ekosistem lokal. Kini sukses tidaknya Wild Rift tinggal tergantung pada eksekusi sang publisher saja, Riot Games. Bagaimana eksekusi terbaik agar Wild Rift bisa sukses di Indonesia?

Kembali meminjam pendapat dari Yabes, jawabannya mungkin ada pada faktor eksternal. Dalam pembahasan potensi ekosistem game Blizzard di Indonesia, Yabes mengatakan bahwa salah satu strategi agar sebuah game berkembang adalah dengan merangkul lebih banyak pihak dan menjadikannya sebagai stakeholders. Dengan cara tersebut, semua bagian ekosistem turut peduli akan hidup-mati dari sebuah game; karena mereka yang sudah kecipratan rezeki dari game tersebut tentu tak mau game-nya mati.

Yabes menjelaskannya lebih lanjut ketika membahas kegagalan League of Legends di pasar game Indonesia. Menurutnya alasan kegagalannya adalah karena publisher menanggung beban pengembangan ekosistem League of Legends seorang diri di Indonesia. “Jadi ya isi ekosistem cuma publisher dan komunitas. Pihak ketiga? EO mungkin lebih baik menggarap turnamen Dota 2, karena bisa dapat untung dari sana. Asalkan Riot tidak mengulang hal seperti itu dalam mengembangkan Wild Rift di Indonesia, maka ia punya kemungkinan untuk sukses.” ucap Yabes.

Yota juga mengatakan pendapatnya soal dampak strategi tersebut kepada kegagalan League of Legends di Indonesia. Karena monopoli publisher, komunitas jadi cenderung pasif. “Karena terlalu terbiasa disuapin, komunitas terbiasa menerima tanpa ingat untuk memberi kembali. Mereka jadi ‘manja’ dan tidak inisiatif untuk, setidaknya mengajak teman terdekatnya untuk main League.” kata Yota kepada saya.

Strategi pengembangan League of Legends di Indonesia kala itu mungkin bisa saja benar. Anggap saja begini, kalau publisher punya kemampuan finansial yang besar dan rela berdarah-darah secara keuangan untuk terus “menyuapi” komunitas, strategi ini mungkin boleh-boleh saja dilakukan.

Namun demikian, dengan strategi tersebut, fondasi ekosistem game tersebut juga jadi lebih rentan karena hanya mengandalkan satu ujung tombak saja. Kalau publisher menyerah atau kehabisan dana, tamat sudah riwayat game tersebut. Elemen-elemen ekosistem mungkin tidak terlalu peduli game tersebut mati, karena tetap hidup pun game tersebut tidak memberi keuntungan kepada ekosistem.

League of Legends Wild Rift
Wild Rift

Melibatkan banyak pihak dalam ekosistem suatu game akan membangun fondasi yang lebih kuat. Banyak pihak jadi peduli dengan hajat hidup game tersebut. Kalau game tersebut tumbang, ekosistem juga yang dirugikan, karena kehilangan salah satu sumber pendapatan. Mungkin ini juga alasan kenapa MLBB mengubah sistem liga di MPL Indonesia menjadi franchise model, agar lebih banyak pihak jadi peduli dengan keberlangsungan MLBB di ekosistem industri game Indonesia.


Akhir kata, Wild Rift sebenarnya sudah punya momentum. Kemungkinan besar, gamers di Indonesia juga dapat menerima gameplay League of Legends, karena sudah terbiasa dengan MLBB ataupun Arena of Valor. Maka dari itu penetunya tinggal dari Riot Games sebagai publisher. Saya rasa, jika Riot Games secara aktif menggandeng komunitas dan ekosistem, maka Wild Rift bisa jadi penantang besar MLBB di Indonesia.

 

Antara Venture Capital dan Esports Asia Tenggara: Kemesraan di Masa Penjajakan

Perusahaan venture capital sekarang tidak hanya melirik startup untuk didanai, tapi juga organisasi esports. Memang, industri esports dunia ataupun Indonesia, berkembang dengan pesat belakangan ini. Pada Mei 2019, Skystar Capital mengaku mereka akan menanamkan investasi di salah satu tim esports lokal. Pada awal November 2019, EVOS Esports mengumumkan bahwa mereka baru saja mendapatkan pendanaan sebesar US4,4 juta atau sekitar Rp61 miliar. Insignia Venture Partners menyumbangkan US$3 juta dari total pendanaan Seri A ini.

Menurut CrunchBase, Insignia adalah perusahaan venture capital yang memfokuskan diri pada investasi startup. Sementara di situs resminya, Insignia mengklaim bahwa mereka mendedikasikan diri untuk mendukung perusahaan paling berpengaruh di Asia Tenggara. Dengan menanamkan investasi pada EVOS, secara tidak langsung, Insignia menyatakan bahwa EVOS merupakan perusahaan yang berpengaruh yang cukup besar di Asia Tenggara. Perusahaan VC itu mengatakan, mereka mencoba untuk berkontribusi dalam mengembangkan industri esports dan karir pemain profesional di Asia Tenggara dengan berinvestasi di EVOS. Sementara alasan mereka ingin mendukung esports adalah karena mereka merasa industri ini memiliki potensi besar dalam beberapa tahun ke depan. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, saat ini, valuasi industri esports telah mencapai US$1,1 miliar dan akan mencapai US$2,9 miliar pada 2022. Jadi, ya, esports telah menjadi industri yang besar dan tampaknya, masih akan terus tumbuh.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

Lalu, kenapa harus EVOS? Oke, EVOS memang terbukti memiliki prestasi dan reputasi. Tapi, di Asia Tenggara, ada banyak organisasi esports yang tidak kalah pamor. Misalnya, RRQ dari Indonesia, ataupun Mineski, dan TNC dari Filipina.

“EVOS tidak hanya memiliki roadmap yang jelas, mereka juga memiliki kemampuan untuk mengeksekusi rencana tersebut dan membawa gamer di Asia Tenggara ke level berikutnya,” kata Insignia pada Hybrid. “Kami percaya dengan pendekatan yang mereka lakukan dan dengan pencapaian mereka sejauh ini dalam membuat ekosistem esports yang mandiri untuk mendukung para gamer di Asia Tenggara.” Lebih lanjut mereka mengatakan, EVOS berhasil menjalin kerja sama dengan sejumlah platform, publisher, dan merek ternama. Semua ini, ditambah dengan divisi entertainment EVOS, memungkinkan tim dengan logo harimau putih itu untuk menyokong tim esports mereka. “Divisi entertainment mereka dapat memanfaatkan influence mereka untuk menarik perhatian banyak gamer dan enthusiasts. Dari sini, mereka akan dapat menemukan talenta baru,” ujar Insignia.

Memang, investasi yang diberikan oleh Insignia justru akan digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment EVOS dan bukannya tim esports mereka. Menurut Insignia, keputusan EVOS untuk mengembangkan divisi influencer mereka bukan berarti mereka menganaktirikan tim esports mereka. Ini justru dianggap sebagai cara EVOS untuk menyokong tim esports mereka. “Hubungan antara divisi EVOS layaknya anggota tim dalam game MOBA. Tim esports EVOS mengambil midlane sebagai carry atau tank, sementara divisi entertainment mereka merupakan jungler atau support, yang akan mendukung kesuksesan dari tim esports mereka. Lebih mudah bagi para pemain hebat untuk menjadi influencer dan dengan bantuan influencer, EVOS dapat menciptakan ruang untuk mencari talenta baru,” ungkap mereka.

Hanya karena EVOS memiliki divisi entertainment memang bukan berarti mereka tak lagi mendorong tim esports mereka untuk meraih kemenangan. Tahun ini, mereka telah memenangkan sejumlah turnamen besar termasuk Mobile Legends Professional League Season 4 (dengan hadiah sebesar US$150 ribu atau sekitar Rp2,1 miliar) dan Mobile Legends M1 World Championship 2019 (dengan hadiah US$80 ribu). Secara total, hadiah yang mereka menangkan sepanjang tahun 2019 telah mencapai sekitar Rp6 miliar.

Tren perusahaan venture capital mendukung organisasi esports tampaknya masih akan terus berlanjut. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports asal Indonesia yang telah mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. ONIC Esports, yang menjuarai Piala Presiden 2019 dan MPL Season 3, juga didukung oleh perusahaan venture capital, yaitu Agaeti Venture. Beberapa waktu lalu, venture partner, Agaeti Venture Carey Ticoalu mengatakan bahwa alasan mereka mendukung ONIC adalah karena tim esports tersebut dianggap memberikan dampak sosial yang besar, terutama pada generasi muda Indonesia.

Seberapa besar potensi esports di Asia Tenggara?

Saat ini, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi investor pelaku esports. Hal ini dianggap sebagai salah satu bukti bahwa industri esports telah semakin matang. Satu hal yang membuat perusahaan — termasuk yang tidak ada kaitannya dengan dunia game atau esports — tertarik masuk adalah karena jumlah penonton esports yang terus naik. Menurut survei yang dilakukan oleh Goldman Sachs dan Newzoo, jumlah penonton esports pada 2022 akan naik menjadi 276 juta dari 194 juta pada 2019. Tak hanya itu, hampir 80 persen dari penonton esports memiliki umur di bawah 35 tahun, generasi milenial dan gen Z, yang memang dikenal sulit untuk ditargetkan pengiklan karena mereka sudah jarang menonton televisi dan menggunakan ad blocker saat menjelajah internet. Karena itulah, esports jadi salah satu jalan bagi perusahaan untuk mendekatkan diri dengan generasi milenial tersebut.

Sementara itu, menurut Niko Partners, industri game di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (Greater Southeast Asia) akan memiliki nilai US$8,3 miliar pada 2023, naik dari US$5 miliar pada tahun ini. Salah satu pendorongnya adalah bertambahnya jumlah gamer PC dan gamer mobile. Esports juga dianggap menjadi alasan lain industri game di kawasan GSEA akan berkembang pesat.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Goldman Sachs

“Audiens esports untuk kawasan Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai 31,9 juta orang pada tahun ini. Dan esports juga akan masuk ke dalam cabang olahraga SEA Games pada akhir bulan November. Dua hal ini membuktikan bahwa esports telah menjadi semakin mainstream,” jawab Insignia ketika ditanya soal potensi pasar esports di Asia Tenggara. “Namun, masih banyak kesempatan untuk gamer yang belum direalisasikan, terutama dari segi karir jangka panjang. EVOS telah memanfaatkan kesempatan ini. Dan mereka akan terus merealisasikan potensi yang ada berkat jutaan follower dan subscriber, prestasi mereka di turnamen regional, dan ekosistem infrastruktur yang mendukung pertumbuhan komunitas di platform mereka.”

Insignia mengatakan, ke depan, tim-tim esports asal Asia Tenggara akan masuk ke kancah global. “Memasuki kompetisi global berarti, talenta esports harus diasah untuk dapat bertanding tidak hanya di kawasan Asia Tenggara. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan kesempatan yang ada di masing-masing negara,” kata Insignia. Mereka menambahkan, kemampuan EVOS untuk bekerja sama dengan platform, komunitas, dan perusahaan Indonesia membuka jalan bagi gamer Indonesia untuk bertanding di tingkat regional. “Tiongkok dan Korea Selatan memanfaatkan jaringan internet cepat dan jumlah gamer yang banyak. Sementara Asia Tenggara memiliki talenta yang bervariasi. Ini akan membuka kesempatan bagi industri esports untuk tumbuh di kawasan ini.”

EVOS adalah salah satu organisasi esports Indonesia yang tak hanya beroperasi di Indonesia. Dengan total pemain sebanyak 62 orang, EVOS terbagi ke dalam 13 tim yang berlaga di 6 game. EVOS memiliki tim di beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. EVOS bukan satu-satunya organisasi esports yang telah merekrut pemain di negara tetangga. RRQ juga memiliki tim di luar Indonesia. Faktanya, RRQ Athena dari Thailand merupakan salah satu tim RRQ yang memberikan kontribusi besar pada total hadiah Sang Raja pada tahun 2019.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Co-founder EVOS dan CEO RRQ dalam panggung SMW | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Dalam acara Social Media Week yang digelar pada minggu lalu, Andrian Pauline (AP), yang hadir sebagai Ketua Federasi Esports Indonesia (FEI), tapi juga merupakan CEO RRQ, mengatakan bahwa dia percaya, pada akhirnya esports akan menembus batas negara. “Esports sendiri kan medium yang universal. Semua orang bisa berpartisipasi, berkembang bareng,” katanya. Ke depan, dia merasa bahwa tim esports akan menyerupai tim sepak bolah Eropa. Anggota tim esports mungkin tak semua berasal dari Indonesia, tapi di bawah bendera tim asal Tanah Air, maka nama Indonesia yang akan dikenal. Dia memberikan contoh RRQ Athena, yang berisi pemain Thailand. “Itu mereknya adalah merek lokal. Ini menunjukkan bahwa tak hanya talenta Indonesia, tapi secara merek, kita diterima kok (di luar Indonesia),” ujarnya.

Pada akhirnya…

Semakin banyak organisasi esports yang mendapatkan dukungan dari perusahaan venture capital. Di Indonesia, ada EVOS Esports dan ONIC Esports. Secara global, sejumlah organisasi esports juga mendapatkan investasi dari berbagai pihak. Misalnya, pada November 2019, Gen.G mengumumkan bahwa mereka mendapatkan investasi dari akselerator asal New York. Sementara investor 100 Thieves menyiapkan US$100 juta sebagai dana investasi khusus untuk industri esports. Astralis bahkan tengah menyiapkan untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Semakin banyak investor yang masuk ke ranah esports adalah kabar baik karena ini berarti ranah competitive gaming semakin matang.

Pada saat yang sama, masuknya perusahaan venture capital sebagai investor berarti pelaku industri esports akan dituntut untuk dapat bertanggung jawab atas modal yang mereka terima. Jadi, mereka harus bisa menghadapi berbagai masalah yang ada di dunia esports, seperti regenerasi dan ketiadaan regulasi, setidaknya di Indonesia. Masalah lain yang harus dihadapi di industri esports adalah kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang mumpuni jika dibandingkan dengan industri lain yang lebih tua. Tak aneh, karena biasanya, pelaku esports mulai membuat tim profesional karena mereka memang senang bermain game. Passion. Walau terdengar romantis, tapi passion saja tak lagi cukup. Para pelaku esports tak lagi bisa sekadar mengejar kesenangan mereka. Sekarang, mereka dituntut untuk menjadi businessman dan mulai memperhitungkan apakah bisnis esports memang akan mendapatkan untung.

After all, money makes the world go round…

Sumber header: Twitter

Mampukah Ekosistem Game Blizzard di Indonesia Bertumbuh Subur?

Buat para gamer multiplayer yang seleranya tidak murahan apalagi gratisan, harusnya Anda sudah tidak asing dengan nama besar Blizzard. Khususnya buat mereka-mereka yang sudah mencicipi PC gaming sejak tahun 90an. Pasalnya, jika Bioware adalah trendsetter RPG singleplayer di tahun 90an, Blizzard adalah developer game yang jadi kiblat semua developer lainnya soal multiplayer.

Era Kejayaan Blizzard

Mereka menciptakan seri StarCraft (1998) dan WarCraft (1994) yang kemudian jadi kiblat genre RTS (Real-time strategy). Dua game ini jugalah yang jadi cikal bakal dari MOBA yang sekarang bisa dianggap mendominasi genre esports. Sedikit belajar sejarah, cikal bakal genre MOBA pertama kali dipopulerkan dari sebuah Custom Map untuk StarCraft yang bernama Aeon of Strife — meski memang, jika lebih panjang lagi dirunut, bibit genre ini sudah hadir di game Herzog Zwei yang dirilis untuk SEGA Genesis tahun 1989.

Beberapa tahun berselang, Kyle Sommer alias Eul merilis Custom Map untuk Warcraft 3: Frozen Throne yang bertajuk Defense of the Ancients (DotA). Steve “Guinsoo” Feak pun melanjutkan pengembangan Custom Map tadi di 2004. Di 2005, Feak pun melemparkan tongkat estafet kembali ke IceFrog. Buat yang ingin belajar lebih detail, Anda bisa membaca sejarah lengkapnya di artikel dari Venture Beat ini.

Selain jadi pelopor genre MOBA, perkembangan sejarah industri game dunia juga berhutang pada Blizzard dalam genre Action-RPG dan MMORPG. Adalah seri Diablo (1996) yang menjadi kiblat dari segala jenis Action-RPG dan berbagai jenis varian barunya. Sedangkan World of Warcraft (2004) menjadi panutan berbagai developer game dalam mengembangkan MMORPG. WoW bahkan menyandang Guiness World Record 2009 untuk game MMORPG paling populer di dunia. Di 2014, Blizzard mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan 100 juta akun pelanggan yang berbeda untuk WoW.

Anda boleh percaya atau tidak, namun faktanya tidak ada developer game lain yang lebih sukses dari Blizzard di tahun 1990an akhir dan 2000an awal. Sayangnya, hidup itu memang penuh liku karena Blizzard yang sekarang mungkin harus melepaskan titel jawara developer game multiplayerGame dengan jumlah pemain terbanyak selama beberapa tahun terakhir dipegang oleh LoL dari Riot Games dengan total 80 juta pemain dan 27 juta pemain setiap harinya. Di sisi esports, turnamen dengan hadiah terbesar dipegang oleh The International untuk Dota 2 besutan Valve; terakhir adalah The International 9 yang menyuguhkan total hadiah sebesar US$34,3 juta (atau setara dengan Rp483 miliar).

Lalu apa yang bisa dilakukan Blizzard untuk bisa kembali ke masa kejayaannya? Nanti kami juga akan membahasnya.

Blizzard di Indonesia

12 September 2019 yang lalu, AKG Games (publisher game yang berada di bawah Salim Group) mengumumkan kerja sama mereka dengan Blizzard. Pada konferensi pers yang digelar di CGV Grand Indonesia Paul ChenManaging Director regional Taiwan/SEA, menjelaskan, “saat ini ada 40 juta pemain Overwatch dan 100 juta pemain Hearthstone secara global. Lewat kerjasama ini kami ingin mengembangkan komunitas di Indonesia, meningkatkan pengalaman bermain mereka, dan membangun perkembangannya mulai dari tingkat grassroots.”

Sumber: AKG Games
Sumber: AKG Games

Tak lama berselang, 13 November 2019, AKG Games menggelar konferensi pers untuk mengumumkan dukungan mereka terhadap atlet StarCraft 2 yang akan bertanding ke SEA Games 2019. Bentuk dukungan mereka adalah mengirimkan 2 pemain StarCraft 2 yang jadi perwakilan Indonesia ke Korea Selatan. Kedua pemain tersebut adalah Bondan “Deruziel” Lukman dan Emmanuel “Quantel” Enrique. Keduanya akan dikirim untuk berlatih di bawah  Jake “NoRegreT” Umpleby.

Sampai artikel ini ditulis, AKG Games, yang juga merupakan pemegang lisensi resmi trading card game untuk Pokemon, sudah cukup rutin menggelar berbagai turnamen untuk game-game Blizzard secara berkala. Silakan cek Facebook Page dari AKG Games atau Instagram mereka untuk informasi terbaru untuk turnamen-turnamen game Blizzard di Indonesia seperti Hearthstone, Overwatch, dkk.

Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh AKG Games sampai hari ini memang sangat positif. Namun ada satu strategi yang, menurut saya, harus dilakukan untuk membesarkan ekosistem game Blizzard di Indonesia.  Saya akan membahas lebih detail tentang strategi tadi di bagian selanjutnya. Namun sebelumnya, mari kita lihat tantangan apa yang mereka hadapi dengan kondisi pasar gaming PC ataupun console di Indonesia — khususnya PC yang jadi platform yang membawa Blizzard ke puncak kejayaannya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Banyak para pelaku industri yang memang mengatakan bahwa mobile gaming lebih populer di Indonesia ketimbang platform lainnya. Namun, tidak banyak yang mampu menjabarkan alasannya. Maka dari itu, izinkan saya mencoba menjawabnya.

Pertama, menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna internet di Indonesia tahun 2019 itu menembus angka 171 juta jiwa. Di sisi lain, angka pelanggan Indihome — yang seharusnya memiliki market share terbesar untuk internet kabel di Indonesia — hanya ada di 6,5 juta pelanggan. Jika kita berasumsi marketshare Indihome ada di 60% untuk pasar internet kabel di Indonesia, berarti total pengguna internet kabel di Indonesia hanya sekitar 10 juta orang atau 5% dari total semua pengguna internet.

Kenapa angka tadi jadi penting? Karena, normalnya, para gamer PC ataupun console memang akan menggunakan koneksi internet kabel. Seberapa banyak dari Anda yang menggunakan koneksi 4G atau malah GPRS untuk bermain Overwatch, Dota 2, Tekken 7, ataupun game-game non-mobile lainnya?

Selain itu, nyatanya, anggaran belanja rata-rata penduduk Indonesia memang masih rendah. Mengingat ponsel sekarang jadi perangkat wajib dan PC gaming ataupun console jadi perangkat mewah buat sebagian besar masyarakat, hal ini membuat keterbatasan akses juga ke banyak game-game Blizzard — yang bahkan bisa dibilang lebih cocok untuk pasar menengah ke atas.

Sumber: DataReportal
Sumber: DataReportal

Masa Depan Ekosistem Game Blizzard

1-2 November 2019, bertempat di Anaheim Convention Center, California, Amerika Serikat, Blizzard pun menggelar konferensi tahunan mereka; Blizzcon 2019. Di acara ini, mereka mengumumkan banyak update termasuk game-game baru yang akan datang seperti Overwatch 2 dan seri terbaru dari franchise legendaris Blizzard, Diablo IV.

Sebelum membahas strategi apa yang bisa dilakukan di Indonesia, saya ingin membahas dulu peluang mereka di pasar global.

Apakah semua update dan game-game baru yang diumumkan di Blizzcon 2019 akan membuat Blizzard kembali ke puncak kejayaannya seperti dulu? Menurut saya pribadi, andaikan mereka menyadari apa yang hilang dari game-game mereka dulu, Blizzard masih punya peluang untuk kembali jadi jawara game multiplayer.

Bagi saya, ada 2 aspek penting yang tak bisa ditemukan lagi dari game-game Blizzard saat ini; yang dulu jadi keunggulan utama mereka.

Pertama, mari kita berkaca dari World of Warcraft. Ada buanyaaak sekali hal yang membuat WoW sukses besar sebenarnya. Pengalaman bermain yang autentik dan inovatif, penekanan pada aspek teamwork, konten yang sungguh kaya dan sangat variatif, dan cerita yang begitu berkesan. Aspek cerita dari WoW, menurut saya pribadi, adalah pembeda terbesar game tersebut dari kebanyakan MMO lainnya. Pasalnya, kebanyakan MMO bahkan tidak menggarap aspek ini dengan serius. Sedangkan WoW menawarkan aspek cerita yang sulit terlupakan.

Sayangnya, Diablo 3, Overwatch, ataupun Hearthstone, belum mampu menawarkan pengalaman bermain yang benar-benar selengkap WoW. Update dari WoW belakangan pun juga masih belum bisa menyamai kekayaan update-update sebelumnya. Pada Blizzcon 2019, Blizzard juga mengumumkan tentang expansion terbaru untuk WoW, yaitu Shadowlands.

Dari penjelasannya, Shadowlands kedengarannya memang sangat menjanjikan. Saya pribadi berharap ekspansi ini mampu mengobati kerinduan semua pecinta MMO. Semoga saja eksekusinya sesuai dengan apa yang dijanjikan dan ekspektasi para fans beratnya.

Andai saja Blizzard bisa kembali menyematkan berbagai keriangan di segala aspek yang membuat WoW istimewa di zamannya ke game-game lainnya (ataupun terbarunya), tidak mustahil juga mereka bisa kembali ke puncak kejayaannya. Namun demikian, WoW bukanlah game yang seistimewa itu jika ia mudah direplikasi — bahkan oleh developernya sendiri. Karena itu, ada satu hal lain yang bisa mereka coba untuk kembali menjadi developer yang begitu dekat dengan komunitas hardcore gamer-nya.

Jawabannya adalah game modding. Buat yang belum tahu apa itu game modding, fitur ini adalah sebuah akses (yang memang sengaja diberikan oleh sang developer ataupun yang ditemukan sendiri oleh komunitasnya) untuk memodifikasi file game yang digunakan. Modding paling sederhana misalnya adalah mengganti value dari file konfigurasi untuk game tersebut, seperti yang bisa dilakukan untuk Pillars of Destiny 2: Deadfire.

Faktanya, game modding jugalah yang sebenarnya berjasa membawa esports sampai ke titik ini. Seperti yang saya bilang tadi, genre MOBA berawal dari Custom Map untuk StarCraft dan Warcraft 3. Tanpa akses ke Custom Map di 2 game tadi, mungkin tidak ada yang namanya Dota 2 dan LoL hari ini. Selain itu, esports FPS yang paling laris sampai hari ini, CS:GO, juga berawal dari game modding untuk Half-Life.

Tak hanya StarCraft dan Warcraft 3, salah satu franchise legendaris dari Blizzard yaitu Diablo juga sebelumnya ramah terhadap modding. Sayangnya, semakin ke sini, semakin banyak developer dan publisher game yang meninggalkan ataupun bahkan menutup akses ke game modding — termasuk Blizzard. Meski memang belum ada yang mengatakannya terang-terangan, kian langkanya akses ke game modding mungkin disebabkan karena fitur ini dianggap tak mampu mendatangkan revenue lebih atau bahkan mengurangi pendapatan.

Padahal, di sisi lain, modding mengijinkan sebuah game bertahan jauh lebih lama dan membuat komunitasnya tetap hidup dan aktif selama bertahun-tahun. Diablo 2, misalnya, meski sudah dirilis 19 tahun silam masih ada mod baru yang dirilis bulan November 2019. Borderlands 2, besutan Gearbox, masih dimainkan oleh 1 juta orang dalam sebulan meski sudah berusia 6 tahun — yang menurut saya diakibatkan juga oleh aktifnya komunitas modding mereka. Komunitas modding Skyrim juga masih aktif yang membuat game tersukses besutan Bethesda tersebut masih eksis meski dirilis 8 tahun silam. GTA V yang juga punya koleksi mods begitu besar bahkan mencetak rekor sebagai produk media terlaris sepanjang masa — mengalahkan semua produk game, film, ataupun musik dalam sejarah dengan angka penjualan sekitar US$6 miliar. Sebagai perbandingan, Avengers: Endgame (2019) ‘hanya’ mencetak angka penjualan sebesar US$2,7 miliar. Apalagi contoh lainnya? Tahu seberapa populer Minecraft? Menurut laporan dari Business Insider di September 2019, Minecraft punya 112 juta pemain setiap bulannya. Game ini punya 52.579 mod (setidaknya saat artikel ini ditulis) di salah satu komunitasnya.

Strategi untuk Ekosistem Game Blizzard di Indonesia

Jujur saja, saya sendiri berpikir bagian sebelumnya dari artikel ini tadi terlalu muluk-muluk… Karena seakan mustahil saja Blizzard mendengarkan pendapat seorang gamer jarang mandi yang satu ini. Namun demikian, mungkin yang lebih realistis adalah soal strategi yang bisa dilakukan oleh AKG Games sebagai publisher game Blizzard di Indonesia.

Dari pilihan kata yang digunakan di sini, mungkin sudah terlihat jelas 2 aspek yang harus ada. Saya memilih kata “ekosistem” bukan tanpa alasan yang gamblang. Definisi ataupun konsep ekosistem menekankan pada keragaman entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.

Jadi, menurut saya, salah satu strategi yang bisa dilakukan AKG dalam mengembangkan ekosistem game Blizzard adalah merangkul lebih banyak pihak dan menjadikan mereka sebagai stakeholders. Misalnya, mereka bisa memberikan motivasi kepada sejumlah media untuk mengambil peran publikasi, memberikan proyek event ke MET Indonesia atau EO lainnya, dan menugaskan RevivalTV untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan talent. Dengan demikian, pihak-pihak yang kebagian rezeki tadi jadi merasa turut memiliki dan peduli atas keberhasilan ekosistemnya di Indonesia.

Mari kita lihat sebuah studi kasus tentang sejarah ekosistem League of Legends (LoL) di Indonesia. Kala itu, LoL memang hanya digarap oleh satu pihak. Aliran dananya hanya di pusaran itu-itu saja. Otomatis, banyak pihak jadi tak peduli dengan hidup dan matinya. Sederhananya, pola pikirnya seperti ini, “jika saya tidak mendapatkan keuntungan ataupun pendapatan dari sana, kenapa saya harus peduli?” Sebaliknya, di periode yang sama, banyak pihak lebih diuntungkan menggarap Dota 2. Makanya, Dota 2 lebih dipilih oleh kebanyakan para pelaku esports kala itu.

Menurut saya, banyak orang belum menyadari bahwa ada 2 kategori faktor bagaimana sebuah game bisa berkembang di satu negara yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ditemukan dari game itu sendiri, seperti platform-nya, mekanisme gameplay, kebutuhan spek, ataupun yang lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah soal komunitas, ekosistem esports, talent, tim, media, dan segudang hal lain.

Jika kita bandingkan antara LoL dan Dota 2, faktor internalnya tidak berbeda jauh. Sama-sama di PC, sama-sama tak butuh spek tinggi, sama-sama gratis, dan sama pula genre-nya. Perbedaan yang besar ditemukan di faktor eksternalnya karena semua orang bisa saja menggarap event Dota 2 dan meraup keuntungan dari sana.

Di sisi lain, jika kita ingin membandingkan salah satu game Blizzard, yaitu Overwatch; game lainnya yang bisa dianggap sekelas adalah Rainbow Six: Siege (R6S). Setidaknya, keduanya ditujukan untuk kelas atas. Nyatanya, saat ini R6S bisa dibilang lebih hidup dibandingkan dengan Overwatch di Indonesia. Buktinya, ada Aerowolf (organisasi esports asal Indonesia, meski untuk tim R6S nya tidak ada lagi pemain asal Indonesia) dan Team Scrypt (tim Indonesia yang juga seluruh pemainnya dari Indonesia) ikut R6S Pro League Season 11 bersama dengan tim-tim lain asal Asia Tenggara.

Turnamen yang digarap dan ditujukan untuk komunitas juga sudah rutin dilakukan untuk R6S dari tahun 2017. Jika faktor internal antara kedua game tersebut tidak berbeda jauh, apa yang membedakan? Menurut saya, faktor eksternal tadilah jawabannya. Komunitas R6S lewat R6 IDN yang digawangi oleh Bobby Rachmadi Putra sudah aktif sejak lama. Komunitas R6 IDN juga bekerja sama dengan kami di HYBRID ataupun sejumlah pihak lain (ESL, ESID, dkk) dalam berbagai kesempatan.

Satu contoh lagi, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang paling bagus saat ini adalah Mobile Legends: Bang Bang (MLBB). Ekosistem MLBB saya bilang bagus karena hidup dan masih positif sejak 2017. Proyeksi trennya pun juga harusnya masih positif setidaknya sampai 2 tahun ke depan. Memang, banyak yang mengatakan bahwa MLBB punya ekosistem esports yang subur berkat dirilis di platform mobile dan butuh spek ringan. Saya tidak menafikkan argumentasi tersebut namun itu baru dari sisi internalnya. Ada banyak orang yang tidak melihat apa yang terjadi dari sisi faktor eksternalnya. Moonton mengajak MET Indonesia untuk menggarap MPL ID S3 dan S4. Di sisi lain, mereka juga mengajak RevivalTV untuk menjalankan MIC di 2019 ini. Sebelumnya, RevivalTV juga yang menjalankan MPL ID S1 dan S2. Masih ada sejumlah pihak lain yang dirangkul dan kebagian rezeki dari ekosistem esports MLBB. Karena itulah, semua pihak-pihak tadi tentunya tidak ingin juga kehilangan salah satu sumber pendapatannya.

MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia
MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia

Mungkin memang terlalu naif juga jika berharap game-game Blizzard bisa selaris MLBB di Indonesia. Bukan karena kualitasnya, namun karena target pasarnya dan faktor internal tadi. Bahkan Hearthstone yang tersedia di platform mobile pun punya target pasar kelas menengah ke atas atau setidaknya di atas pasar MLBB yang menargetkan semua golongan. Apalagi jika kita berbicara soal game-game PC dan console milik Blizzard. Ini juga relevansinya kenapa saya tadi menjabarkan beberapa tantangan untuk game-game di platform non-mobile. Tentunya, masih ada PR besar soal infrastruktur ataupun kebijakan ekonomi makro yang mungkin memang jauh dari jangkauan.

Namun demikian, seharusnya game-game Blizzard di Indonesia mampu mengalahkan Rainbow Six: Siege (karena sama-sama ditujukan kelas high-end) dan bersaing popularitasnya dengan Dota 2, Tekken 7, FIFA, PES, ataupun CS:GO (yang cocok untuk kelas menengah) — karena ada publisher yang turun tangan langsung ke pasar Indonesia.

Penutup

Akhirnya, salah satu alasan kenapa Dota 2 punya ekosistem yang paling bergairah di Indonesia pada zamannya adalah karena banyaknya stakeholders yang mau menggarap ekosistem tersebut. Penurunan trennya pun belakangan juga diakibatkan oleh berkurangnya stakeholders di ekosistem ini. Ditambah lagi, tidak ada juga publisher Dota 2 di Indonesia yang akan mendapatkan insentif dari perkembangan komunitas dan hidupnya ekosistem esports tanah air.

Saya pribadi sungguh berharap ekosistem game Blizzard bisa tumbuh subur di Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut dapat memancing publisher barat lainnya untuk turut terjun langsung ke sini. Plus, kesuksesan itu sekaligus membuktikan juga bahwa ekosistem esports Indonesia itu tak hanya cocok untuk kalangan kelas bawah namun juga untuk kelas menengah ataupun atas.

Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

Studi Kasus tentang Umur Pro Player: Adakah Tempat Bagi Gamer Tua di Industri Esports?

Performa atlet olahraga biasanya sangat dipengaruhi oleh kebugaran fisiknya. Seiring dengan bertambah umur, kebugaran fisik biasanya akan mengalami penurunan. Namun, itu bukan berarti seorang atlet tak lagi dapat meraih gelar juara. Serena Williams misalnya. Petenis perempuan asal Amerika Serikat itu masih bisa memenangkan Wimbledon ketika dia berusia 35 tahun. Seorang atlet biasanya mengompensasi penurunan performa akibat umur dengan bermain dengan lebih cerdas, berdasarkan pengalaman mereka.

Memang, meski kebugaran fisik seorang atlet menurun seiring dengan bertambahnya umur, pengalaman justru hanya terus bertambah. Namun, jika dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional, umur pensiun atlet esports lebih singkat. Dari kebanyakan contoh yang kami temukan, umur pro player paling ideal ada di 20an. Padahal, jika kita melihat sejarah atlet sepak bola, Pele masih mampu membawa Brazil jadi juara dunia di usia 30 tahun (Piala Dunia tahun 1970). Buffon masih bermain untuk tim kasta tertinggi, PSG, saat sudah berusia 41 tahun. Sebaliknya, sekilas pemain esports “hanya” harus duduk di depan layar dan bermain game. Meski memang anggapan itu salah. Anda bisa membaca tentang pengorbanan yang harus dilakukan atlet esports di sini.

Kebugaran fisik juga penting bagi atlet esports. Hendry ‘Jothree’ Handisurya yang mewakilkan Indonesia di cabang Hearthstone dalam SEA Games 2019, pernah menjelaskan betapa pentingnya kesehatan fisik bagi seorang atlet esports. Hal lain yang penting bagi seorang pemain esports adalah reaction time, yaitu waktu yang diperlukan seseorang untuk bereaksi ketika mereka mendapatkan stimulus. Semakin baik reaction time seorang gamer, biasanya performanya juga semakin baik. Masalahnya, sama seperti kebugaran fisik, reaction time akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur.

Pada 2014, Joe Thompson — yang ketika itu masih menjadi murid Ph.D psikologi di Saint Francis University — membuat studi pada lebih dari 3.000 pemain StarCraft II pada rentang umur 16 tahun sampai 44 tahun. Dari studi itu, dia menemukan bahwa reaction time menurun seiring dengan bertambahnya umur pemain. Temuan ini tidak mengejutkan sebenarnya karena Anda juga pasti menyadari bahwa seseorang jadi lebih lambat bereaksi saat mereka bertambah tua. Satu hal yang menarik dari studi Thompson adalah reaction time mulai mengalami penurunan ketika seseorang masih sangat muda, yaitu 24 tahun. Seolah itu tidak cukup buruk, berdasarkan studi Thompson, seorang pemain tidak bisa memulihkan reaction time mereka setelah mengalami penurunan. Pertanyaannya: apakah pengalaman seorang atlet esports cukup untuk mengompensasi penurunan performa akibat turunnya reaction time?

Sumber: Vox
Sumber: Vox

Sama seperti atlet olahraga tradisional, seorang atlet esports juga semakin berpengalaman seiring dengan bertambahnya umur. Semakin tua seorang pemain, seharusnya mereka bisa menggunakan taktik yang lebih cerdas. Namun, tak begitu faktanya, menurut studi yang dilakukan pada 2017. Studi ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama bertujuan untuk memahami kaitan antara tingkat kecerdasan seseorang dengan performa mereka saat bermain game MOBA seperti League of Legends dan Dota 2.

Di bagian ini, para peneliti menguji tingkat kecerdasan para pemain LoL lokal dengan meminta mereka untuk membuat strategi secara mendadak. Para peneliti kemudian membandingkan tingkat kecerdasan pemain dengan matchmaking ranking (MMR) mereka. Sesuai dugaan, semakin cerdas seseorang, semakin tinggi pula ranking-nya. Pada bagian kedua, para peneliti membandingkan ranking pemain di empat game (Destiny 2, League of Legends, Battflefield 3, dan Dota 2) dengan umur pemain. Athanasios Kokkinakis, penulis utama studi ini, menemukan, ranking tertinggi dipegang oleh pemain yang memiliki umur pada awal sampai pertengahan 20 tahun. Itu artinya, umur yang lebih tua tak menjamin strategi yang lebih baik.

Sementara itu, studi tentang dampak umur pada perilaku pemain Battlefield yang dilakukan Shoshanna Tekofsky pada 2016 menunjukkan bahwa grafik yang membandingkan umur pemain dan performa mereka biasanya memiliki bentuk U terbalik. Jadi, performa pemain remaja cukup baik, performa di awal 20-an tahun adalah yang terbaik, dan pada akhir umur 20-an, performa atlet esports akan mengalami penurunan. Untuk membuat studi ini, Tekofsky menggunakan data dari lebih dari 10 ribu pemain Battlefield.

Dia mengaitkan umur pengguna dengan berbagai achievement dalam game , seperti score, penggunaan class ability, dan apakah pemain sukses mencapai objektif dalam game. Dari studi ini, Tekofsky menemukan, rasio kill dan death tertinggi ada pada pemain pada akhir masa remaja dan pemain yang ada di awal umur 20-an. Rasio kill dan death ini mengalami penurunan pada pemain di pertengahan dan akhir 20 tahunan. “Secara umum, puncak performa terjadi ketika seseorang berumur 20-an,” kata Tekofsky, seperti dikutip dari VICE.com.

Apa itu artinya tak ada tempat untuk pemain yang berumur tua? 

Ialah Stan Horaczek, seorang pria berumur 36 tahun yang ingin bermain Overwatch bersama anaknya yang berumur 9 tahun. Ketika dia masih kuliah, dia ikut serta dalam kompetisi LAN Unreal Tournament. Meskipun begitu, dia tetap kesulitan untuk bisa mengimbangi permainan sang anak. “Pada satu titik, terlihat jelas bahwa dia bermain dengan jauh lebih baik dari saya,” katanya pada VICE. “Saya senang bermain dengan anak saya, tapi saya merasa saya mengecewakannya ketika kami bermain bersama.” Karena itu, dia lalu mengambil waktu ekstra untuk berlatih dan belajar strategi dalam bermain Overwatch. Setelah sang anak tidur, dia menghabiskan waktu ekstra untuk bermain Overwatch. Tak hanya itu, dia juga membaca strategi tentang cara memainkan karakter main-nya, Moira. Pada akhirnya, Horaczek merasa dia bisa menyeimbangi permainan sang anak. Sayangnya, ini hanya berlaku ketika mereka bermain Overwatch. Saat mereka bermain game lain, seperti Fortnite, Horaczek kembali mengalami masalah. “Anak saya bisa mencoba game baru dan belajar sambil memainkannya,” kata Horaczek. “Otak tua saya tidak bisa belajar dengan kecepatan yang sama.”

Padahal, generasi milenial tumbuh besar di tengah-tengah sejumlah teknologi baru, termasuk game. Menurut Nielsen, 40 persen audiens game adalah generasi milenial. Selain itu, generasi milenial juga memainkan game online lebih sering daripada Gen X dan mereka juga menonton siaran Twitch sesering Gen Z. Generasi milenial merupakan juga generasi yang paling banyak menghabiskan uang di game jika dibandingkan dengan generasi lain. Sayangnya, ini tidak diikuti dengan performa permainan yang baik.

Memang mudah untuk menyalahkan umur atas penurunan performa seseorang dalam bermain game, baik gamer amatir ataupun profesional. Namun, keberadaan video game sendiri masih cukup muda. Studi yang dilakukan terkait performa bermain game dan umur masih belum konklusif. Masih ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan tentang mengapa keahlian seseorang dalam bermain game mengalami penurunan. Salah satu faktor yang harus diperhitungkan adalah pengalaman hidup. Karena, seseorang yang tumbuh besar dengan ikut serta dalam turnamen LAN akan memiliki pengalaman berbeda dengan remaja yang tumbuh besar menonton pemain profesional bermain game esports.

Kenaikan IQ masyarakat di berbagai benua | Sumber: World in Data
Kenaikan IQ masyarakat di berbagai benua | Sumber: Our World in Data

Kokkinakis mengaitkan tentang performa generasi muda yang lebih baik dengan Flynn Effect. “Pada dasarnya, dalam satu abad terakhir, generasi muda memang mendapatkan nilai yang lebih baik dalam tes IQ jika dibandingkan dengan generasi tua,” kata Kokkinakis. “Sebagian orang percaya, ini karena nutrisi yang lebih baik. Sementara sebagian yang lain percaya, generasi muda lebih baik dalam mengerjakan tes.” Dia menganggap, inilah yang terjadi di dunia game dan esports. Generasi milenial memang generasi pertama yang terjun dalam competitive gaming, tapi generasi muda justru mendapatkan untung lebih besar karena mereka bisa mengakses pengetahuan yang dikumpulkan oleh generasi yang lebih tua berdasarkan pengalaman mereka. Gamer muda tak lagi perlu bereksperimen untuk menemukan strategi terbaik dalam sebuah game, mereka bisa menemukan strategi itu di internet dan menerapkannya langsung dalam game. Kokkinakis memberikan contoh, 10 tahun lalu, tips untuk bisa bermain CS:GO lebih baik mungkin hanyalah untuk menembak musuh tepat di kepala. Tapi sekarang, seorang pemain bahkan bisa melatih dirinya untuk terbiasa dengan efek recoil dari senjata.

Omongan Kokkinakis disetujui oleh Eric “adreN” Hoag, pemain CS:GO berumur 29 tahun yang kini menjadi pelatih dari Team Liquid dan pernah menjadi pemain esports selama hampir sepuluh tahun. Menurutnya, ada dua alasan mengapa pemain esports kini menjadi semakin muda. Pertama, pemain muda memiliki waktu yang lebih banyak untuk berlatih. Kedua, mereka mewarisi pengetahuan, tips, dan trik dan generasi yang lebih tua. Inilah yang menyebabkan munculnya banyak talenta muda sekarang.

“Ada begitu banyak detail di Counter-Strike, jika Anda tidak bermain terus-terusan, perlahan, performa Anda akan turun,” kata Hago. “Saat Anda masih muda, Anda bisa menemukan hal-hal kecil baru dalam game itu. Muncul banyak pemain baru, mereka hanya tahu CS:GO terbaru yang dimainkan saat ini, jadi mereka tidak punya kebiasaan buruk dari ketika mereka bermain Counter-Strike: Source, atau Counter-Strike 1.6 (yang merupakan salah satu versi tertua dari CS). Mereka lahir ketika game yang kini dipertandingkan telah ada, dan telah diketahui cara untuk mengeksploitasi game dan menguasai mekanik game. Saya rasa, bagi pemain yang lebih tua, sulit untuk menyesuaikan diri.”

Bagaimana dengan pemain profesional di Indonesia?

Farand “Koala” Kowara, yang masih aktif bermain sebagai anggota Alter Ego walau kini dia telah berumur 31 tahun, berbagi sedikit pengalamannya sebagai pemain esports. Dia bercerita, dia menjadi pemain Dota 2 profesional ketika dia masih berumur 17 tahun. Ketika itu, dia menjadi pro karena bermain memang hobinya. Dia mengakui, seiring dengan bertambahnya umur, dia merasa bahwa reaction time-nya mulai mengalami penurunan. Menurut perkiraannya, waktu reaksinya mulai mengalami penurunan pada umur 28 tahun. “Tapi, primanya sih pas umur 17 tahun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

Farand "Koala" Kowara | Sumber: ggScore
Farand “Koala” Kowara | Sumber: ggScore

Sementara ketika ditanya tentang cara yang dia lakukan untuk mengatasi masalah akibat menurunnya reaction time, dia menjawab bahwa dia menjadi lebih sering bermain. “Intinya, reaction time segala macam turun belum tentu benar. Bisa jadi itu apa yang ada di kepala kita sendiri, lebih ke masalah mental saja,” ungkapnya. Sekarang, dia memang masih aktif sebagai pemain Dota 2 profesional. Namun, dia mengaku bahwa dia telah mempertimbangkan untuk pensiun beberapa kali. “Tapi ujung-ujungnya rindu adrenalin saat bertanding,” ujarnya, menjelaskan alasannya untuk kembali ke competitive gaming scene. Ke depan, dia bercerita, rencananya setelah pensiun adalah untuk menjadi shoutcaster.

Kesimpulan

Studi yang dilakukan tentang performa seorang gamer dan umur memang mengesankan bahwa tak ada lagi tempat bagi pemain esports yang sudah “berumur” — yang mungkin sebenarnya masih dianggap muda di luar scene esports. Namun, sebenarnya, tak ada yang menghentikan seseorang untuk bermain, sebagai hobi atau sebagai profesional, ketika dia telah mencapai umur tertentu. Isaak Hayik mencetak rekor sebagai pemain sepak bola profesional tertua dengan umur 73 tahun. Dan dia tetap ingin bermain. Sementara pada 2017, sebuah tim CS:GO bernama Silver Snipers menarik perhatian banyak orang karena anggotanya berada di rentang umu 62 tahun sampai 81 tahun. Ketika itu, mereka masih berlatih secara rutin dan ingin bisa bertanding di turnamen Dreamhack. Tentu saja, ketika sudah mulai menua, pencapaian seorang atlet mungkin tak lagi sehebat ketika dia masih di umur prima.

Dan jika seorang atlet esports memutuskan untuk pensiun, bukan berarti mereka tak lagi bisa berkontribusi di dunia esports. Setelah selesai berkarir sebagai pemain, seseorang bisa menjadi pelatih. Dan pelatih memiliki peran penting dalam pengembangan talenta di masa depan, walau mungkin, pelatih tak lagi jadi sorotan masyarakat. Pelatih tak hanya dicari oleh tim profesional, tapi juga sekolah yang ingin menyediakan program esports. Mantan pemain profesional juga bisa menjadi pelatih dari pemain amatir. Walau ini belum menjadi tren di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, semakin banyak pemain amatir yang mencari pelatih untuk bisa bermain lebih baik walau mereka tak memiliki aspirasi untuk menjadi pemain profesional.

Opsi lain yang bisa dipertimbangkan mantan pemain profesional adalah dengan menjadi bagian dari manajemen tim esports. Lagi-lagi, ini adalah pekerjaan di belakang layar. Meskipun begitu, peran manajemen tim juga penting dalam keberlangsungan esports sebagai ekosistem. Jadi, bagi pemain esports yang memang merasa sudah waktunya pensiun tapi masih ingin berkecimpung di dunia esports, tak usah berkecil hati, masih ada pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan selain menjadi pemain.

Sumber header: Lenovo via The Verge

MPL ID Season 4 Telah Selesai, Seberapa Manis Buah Investasi Rp15 miliar?

Setelah tiga musim Mobile Legends: Bang Bang Professional League Indonesia (MPL ID), Moonton, sebagai pengembang dan penggagas liga profesional MLBB, mengambil langkah berisiko di musim keempat. Agustus 2019, lewat sebuah gelaran konferensi pers, mereka memutuskan untuk mengubah sistem liga terbuka (yang selama ini jadi norma umum di esports Indonesia) menjadi sistem liga tertutup alias sistem liga franchise.

Hal ini sempat menjadi polemik sebelumnya. Salah satu organisasi esports di Indonesia ketika itu buka ucapan soal penjualan slot peserta MPL sebesar Rp15 miliar. Hal ini sebetulnya tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Karena biaya yang dibayarkan dalam sistem liga franchise sebenarnya adalah bentuk investasi, yang akan memberikan keuntungan kembali kepada organisasi esports yang telah tergabung di dalamnya.

Kini, MPL ID Season 4 telah selesai. EVOS Esports berhasil mendapatkan titel juara yang diidam-idamkannya setelah tiga musim sebelumnya cuma bisa murung karena dua kali dapat gelar runner-up dan satu kali jadi tim yang pulang di hari pertama babak Playoff.

Lalu setelah satu musim berjalan, apa kabar liga franchise yang telah dijalankan? Apakah memberikan hasil yang sepadan? Apa rencana selanjutnya dari franchise model MPL Indonesia?

Saat gelaran MPL ID Season 4 berlangsung, saya sempat berbincang dengan Dylan Chia, MPL Indonesia Marketing Director. Mengawali sesi wawancara, awak media mempertanyakan, kenapa sistem liga terbuka yang selama ini jadi norma umum di Indonesia harus diubah menjadi sistem liga tertutup?

Dylan menjawab, salah satu alasannya karena ia merasa MPL ID sudah mencapai puncaknya saat itu. MPL ID memang sudah mendapat perhatian dari berbagai pihak dan menjadi salah satu helatan esports terbesar di Indonesia. Namun demikian, ia merasa ekosistem cenderung jadi tidak teratur dengan sistem terbuka.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

“Kami merasa para tim tidak punya struktur liga yang jelas. Para tim sebetulnya bisa berkembang lebih besar lagi, namun ruang gerak mereka terbatas karena struktur liga terbuka yang diusung ketika itu. Jadi kami tersadar, bahwa kami ingin mendorong liga kami (MPL) lebih jauh lagi, dan yang harus kami lakukan adalah membuat struktur esports MLBB jadi lebih rapih.” Dylan menjelaskan alasan perubahan bentuk menjadi franchise model di MPL ID Season 4.

“Kami sadar bahwa Indonesia memang cukup baru dengan hal ini. Franchise model sebenarnya membuat liga menjadi milik bersama. Ketika ingin membuat MPL jadi lebih besar lagi, kami tahu bahwa kami tidak bisa melakukannya sendirian. Maka dari itu kami berpikir untuk mengundang organisasi esports di Indonesia untuk turut berinvestasi, dan berkembang bersama lewat gelaran MPL Indonesia.” Dylan penjelasannya soal alasan penerapan franchise model untuk MPL Indonesia.

Apa Kabar Franchise Model Setelah Satu Musim? 

Lalu dengan penerapan franchise model untuk MPL ID Season 4, bagaimana dampaknya kepada liga? Kembali berbicara dengan Dylan, dia sendiri mengaku puas dengan perkembangan MPL sejauh ini.

“Perkembangan MPL sejauh ini adalah berkat usaha bersama. Perkembangannya sangat terasa, terutama dari viewership musim keempat yang meningkat. Jumlah penonton tertinggi MPL ID Season 4 di saat bersamaan mencapai 250 ribu penonton (peak concurrent views), hanya untuk streaming di FB Gaming saja. Social media awareness juga sangat luar biasa, tentunya juga dengan bantuan tim peserta MPL, yang turut membuat konten bersama kita.” Dylan menceritakan soal peningkatan MPL dari season 3 ke season 4.

Lalu bagaimana dari sudut pandang tim esports? Apakah dengan perubahan ini memberikan hasil yang baik? Redaksi kami bicara dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports. Chandra ternyata turut merasakan apa yang dijelaskan oleh Dylan.

Sumber: Esports Charts
Jumlah penonton tertinggi di saat bersamaan yang mencapai 289 ribu ini menjadi satu indikator kesuksesan dari MPL ID Season 4. Sumber: Esports Charts

Dari sudut pandang organisasi esports, ia merasa bahwa MPL ID Season 4 mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan musim lalu. “Sejauh ini kami (ONIC Esports) merasa MPL ID Season 4 mengalami perkembangan yang sangat positif, jika dibanding dengan season 3. Mulai dari viewershipattendance penonton saat offline eventproduction value jadi lebih baik, ditambah euphoria penonton yang meningkat jauh.” Chandra menjelaskan.

Seperti tadi disebut di awal, franchise model menggunakan sistem investasi. Tim yang ingin bergabung harus menginvestasikan sejumlah uang, yang dijanjikan akan kembali setelah beberapa waktu. Moonton mematok harga Rp15 miliar bagi tim yang ingin investasi untuk MPL ID Season 4. Sebagai ganti, tim yang berani investasi dipastikan berada di dalam liga dan mendapat keuntungan lainnya.

Harga yang dipatok tidak bisa dibilang kecil, apalagi untuk ekosistem esports Indonesia yang masih seumur jagung. “Jujur, saat awal Moonton membuka pembicaraan soal ini, ONIC Esports banyak melakukan pertimbangan terlebih dahulu.” Chandra bercerita.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports Sumber: Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata

Lalu, apakah investasi tersebut menguntungkan bagi organisasi esports? “Kalau dilihat secara umum, saya melihat kehadiran sistem ini memaksa semua bagian dari ekosistem jadi berkembang. Menjalankan tim esports bukan lagi cuma hobi, yang mana sekadar punya tim, ikut kompetisi, lalu menang. Tim atau organisasi jadi harus berjalan dengan lebih proper, harus punya manajemen bagus yang profesional. Ini juga memicu ONIC untuk lebih serius, membuat esports betulan jadi bisnis. Ini positifnya dari franchise model kalau menurut aku. Apalagi karena kita semua sudah invest, kita jadi punya kepentingan bersama untuk memajukan ekosistem ini.”

Setelah melihat jawaban-jawaban tersebut, mungkin Anda jadi penasaran dengan keuntungan finansial yang didapat tim peserta MPL ID Season 4. Namun karena franchise model MPL ID baru berjalan selama satu musim, hitung-hitungannya memang belum masuk akal. Kenapa?

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Tak hanya itu, antusiasme penonton untuk menyaksikan keseruan pertandingan MPL ID Season 4 juga dianggap menjadi indikator kesuksesan lainnya. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Coba kita hitung kasar saja. Misalnya, Moonton harus mengembalikan uang investasi ataupun menyuguhkan value yang sama dalam satu musim. Anggap memang benar nilai investasinya Rp15 miliar tiap tim. Ditambah lagi, dalam satu musim, MPL dibagi jadi 2 babak: Regular Season dan Playoffs. Mengingat nilai babak Playoffs lebih besar, anggap saja kita bagi nilai investasinya jadi 50-50 — meski babak Playoffs hanya menyuguhkan 8 pertandingan.

Mari kita hitung nilai yang harus diberikan untuk Regular Season terlebih dulu. Babak Regular Season terbagi jadi 8 pekan dan setiap pekan ada 3 Match Day. Berarti, dalam satu Regular Season ada total 24 Match Day. Dengan nilai babak Regular Season sebesar Rp7,5 miliar (karena sudah dibagi 2 dengan Playoffs), hal ini artinya setiap Match Day harus menyuguhkan nilai sebesar Rp312,5 juta.

Sedangkan untuk Playoffs, seperti yang kemarin sudah dilaksanakan (26-27 Oktober 2019), ada total 8 pertandingan. Dengan demikian, nilai tiap pertandingan di babak Playoffs adalah Rp937,5 juta (Rp7,5 miliar dibagi 8).

Jangan lupa, hitungan tadi baru menghitung nilai investasi dari 1 tim. Berhubung ada 8 tim peserta MPL ID S4 berarti nilai investasinya berubah jadi Rp120 miliar. Dengan hitungan yang sama dengan sebelumnya namun dengan nilai investasi yang baru, nilai setiap Match Day untuk Regular Season jadi Rp2,5 miliar. Sedangkan untuk Playoffs, nilai yang harus diberikan setiap pertandingan adalah Rp7,5 miliar.

Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia
Kalau sekian banyak penonton ini bisa membayar tiket Rp4 juta setiap kali menonton Regular Season MPL ID Season 4, niscaya investasi Rp15 miliar bisa segera kembali dalam jangka waktu dua bulan saja. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia

Jadi, nilai tadi memang tidak masuk akal. Namun demikian, dari kabar yang kami dengar, nilai investasi dari MPL tadi akan dikembalikan dalam waktu 36 bulan atau 3 tahun. Melihat ke belakang, MPL menggelar 2 Season setiap tahunnya. Hal ini berarti akan ada 6 Season dalam kurun waktu 3 tahun.

Bagaimana hitung-hitungan nilai investasinya jika Rp120 miliar tadi disesuaikan untuk durasi investasi 36 bulan? Rumus yang kami gunakan masih sama dengan yang pertama. Dengan demikian, nilai yang harus diberikan setiap Match Day selama Regular Season adalah Rp416,7 juta. Sedangkan nilai setiap pertandingan di Playoffs menjadi Rp1,25 miliar.

Hitung-hitungan nilai investasi tadi memang membuatnya jadi terdengar mengerikan. Apalagi, MPL juga belum punya sumber pendapatan yang jelas, selain dari sponsor. Contoh paling sederhana, Regular Season dan Grand Final memang ramai penonton, tapi belum ada biaya tiket untuk menonton MPL. Tidak ada biaya tiket, berarti tidak ada pemasukan bagi MPL ID Season 4, setidaknya dari sisi ticketing.

Jika MPL ingin mengembalikan uang investasi tersebut lewat pemasukan dari ticketing saja, hitungan kasarnya akan seperti ini. Anggaplah XO Hall, Tanjung Duren, venue MPL ID Season 4 selama Regular Season, bisa menampung 500 orang penonton. Dari hitungan terakhir (yang menggunakan durasi pengembalian nilai investasi selama 36 bulan), nilai setiap Match Day adalah Rp416,7 juta. Ini berarti tiket yang harus dibayarkan setiap penonton yang ingin menonton langsung adalah sekitar Rp833 ribu.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Pertanyaannya, siapa yang mau membayar Rp833 ribu hanya untuk menonton esports di Indonesia? Reza Ramadhan, Head of Marketing MET Indonesia, pernah mencoba menggunakan sistem tiket masuk untuk MPL ID Season 3. Dengan harga cuma Rp20 sampai 35 ribu saja sudah cukup membuat antusiasme penonton jadi menurun. Padahal penonton sudah bisa mendapatkan berbagai merchandise dan in-game item yang sepadan dengan harga tiket tersebut. Lalu jika kita bandingkan dengan industri olahraga, harga tiket NBA, yang bisa dibilang sebagai liga bola basket paling prestisius di dunia, ada di kisaran US$100 (sekitar Rp1,4 juta) untuk sekali pertandingan. Rasanya jadi semakin tidak mungkin untuk mematok tadi di Indonesia.

Jadi, mungkin memang perhitungan keuntungannya tak bisa dinilai dari sisi finansial namun dengan dampak positif seperti yang disebut oleh Chandra Wijaya dari ONIC Esports tadi. Namun apakah nilainya memang worth dengan harga yang harus dibayarkan? Jawabannya kembali ke masing-masing pemilik tim.

Apa Langkah Moonton Untuk MPL ID Season 5?

Jika MPL ID Season 4 berhasil memberi sentimen positif, berarti MPL ID Season 5 harus menjadi lebih besar lagi dan lebih baik lagi bukan? Dylan beberapa kali mengatakan, walau MPL ID Season 4 terlihat lebih besar, lebih baik, lebih positif daripada musim sebelumnya, namun ini baru permulaan saja.

Untuk season 5, Dylan menceritakan setidaknya dua rencana. Pertama adalah rencana membuat developmental league atau semacam liga seri B kalau dalam sepakbola Italia. Kedua adalah rencana menyelenggarakan MPL di kota lain. “Untuk membuat MPL ID Season 5 jadi lebih besar lagi, kami sedang mempersiapkan inisiatif developmental league. Kami ingin memberikan kesempatan kepada tim MLBB kelas dua untuk berkembang sehingga bisa menciptakan talenta-talenta baru. Harapannya, talenta-talenta baru ini nanti bisa membantu MPL menjadi semakin besar dan semakin kompetitif. Untuk saat ini rencana akan hal tersebut masih dalam proses diskusi.” Dylan mengatakan.

Polemik yang muncul pertama dan masih bertahan sekarang, salah satunya adalah soal ekosistem amatir ataupun semi-pro. Jika tim harus menggelontorkan dana Rp15 miliar untuk masuk MPL, bagaimana nasib tim kecil atau pemain semi-pro, yang sebelumnya bisa berharap masuk MPL karena menggunakan sistem terbuka? Kehadiran developmental league mungkin bisa menjadi jawaban atas keinginan komunitas tersebut. Semoga saja hal ini akan memberi jalur yang jelas bagi pemain amatir dan semi-pro untuk bermain di MPL, sehingga menjadi pemain profesional tak lagi hanya sekadar mimpi.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Dylan Chia, MPL Indonesia Marketing Director. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Ketika MPL ID Season 4 berjalan, Moonton sebenarnya menjalankan program Mobile Legends Intercity Championship (MIC). Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberi panggung bagi pemain semi-pro. MIC diselenggarakan di delapan kota yaitu Palembang, Medan, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Kendati program ini berjalan dengan cukup meriah, namun publikasinya di dunia maya cenderung kurang terasa. Seharusnya, publikasi MIC juga jadi salah satu fokus Moonton karena bisa digunakan untuk menekan sentimen negatif soal ekosistem grass root.

Ditambah lagi, kompetisi ini juga tidak punya jenjang lanjutan. Pemenang kompetisi memang mendapat gelar The Legend of Nusantara, tapi perjuangan mereka hanya akan terhenti di MIC saja; tetap tak punya kesempatan untuk menuju ke MPL. Tapi bisa saja, program tersebut adalah persiapan Moonton untuk menyelenggarakan developmental league yang akan hadir di season 5 nanti.

Selain itu, Dylan juga sedikit membocorkan rencana mengadakan MPL di kota lain. “Kami (Moonton) juga sedang mempertimbangkan, apakah MPL ID Season 5 akan tetap berada di Jakarta atau pindah ke kota lain. Hal ini kami lakukan demi membuat esports jadi semakin mainstream di Indonesia. Namun, ini masih dalam perencanaan, tapi saya merasa itu akan menjadi salah satu perkembangan terbesar untuk MPL ID Season 5 nanti.”

Strategi ini sebenarnya juga sudah sempat dicoba oleh Moonton ketika menyelenggarakan MPL ID Season 2. Setelah sukses besar di musim pertama, MPL lalu mencoba untuk menyajikan kasta tertinggi kompetisi MLBB di kota Surabaya pada musim kedua. Percobaan Moonton cukup sukses saat itu. Walau tidak diadakan di Jakarta, ribuan penggemar MLBB dari Surabaya dan kota-kota sekitar ternyata sangat antusias hadir untuk menjadi saksi kemenangan RRQ.O2 dalam MPL ID Season 2 yang diadakan di Jatim Expo, Surabaya.

Siapa tahu, Moonton akan mencoba untuk memisah waktu dan tempat pertandingan babak Playoffs di MPL ID Season 5. Jadi misalkan Playoffs diselenggarakan di Surabaya, Grand Final pertandingan best-of-7 diadakan di Bali agar pemain bisa lebih fokus dan euphoria penonton bisa terkumpul di satu tempat. Kalau rencananya seperti itu, mungkin kami para media yang paling senang; karena bisa jalan-jalan sekaligus meliput MPL… Hehe.


Dengan semua nada positif yang didapatkan MPL ID Season 4 (setidaknya jika tidak melihat hitung-hitungan finansial seperti yang kami jabarkan tadi), tentunya kita berharap MPL ID Season 5 akan jadi lebih terstruktur, lebih besar, dan mampu menjaga antusiasme penonton terhadap kompetisi esports paling dinamis di Indonesia ini. Meskipun memang, ada sejumlah hal yang bisa diperbaiki ataupun hal baru yang bisa dicoba untuk selanjutnya.

Sebagai pionir, saya berharap model ini bisa sukses di Indonesia. Bagaimanapun, kesuksesan Moonton lewat franchise model MPL ID bisa menjadi sarana ekosistem esports Indonesia untuk belajar dengan sistem baru ini.

Berapa Total Hadiah Kemenangan yang Didapatkan RRQ Sepanjang 2019?

Esports kini telah jadi industri dengan nilai lebih dari US$1 miliar. Menjadi pemain esports pun tak lagi sekadar mimpi di siang bolong. Sama seperti atlet olahraga tradisional, pemain esports juga mendapatkan gaji bulanan. Beberapa developer bahkan menetapkan gaji minimal untuk pemain esports yang berlaga di liga game esports buatannya. Misalnya, Activision Blizzard menetapkan bahwa para pemain yang bertanding di Overwatch League berhak atas gaji minimal US$50 ribu per tahun, tempat tinggal, asuransi kesehatan, dan bahkan dana pensiun.

Jika tim esports harus membayar para pemainnya setiap bulan, maka mereka juga harus memiliki pemasukan. Di dunia sepak bola, sebuah tim bisa mendapatkan pemasukan dengan menjual merchandise pada fans. Itulah mengapa stadion yang menjadi markas sebuah klub biasanya dilengkapi dengan toko merchandise. Selain dari merchandise, sebuah klub sepak bola juga bisa “menjual” para pemainnya ke klub lain.

Sementara di industri esports, sponsorship menjadi sumber pemasukan utama, setidaknya untuk saat ini. Menurut laporan Newzoo, walau sponsorship masih menjadi sumber pemasukan terbesar di industri esports, hak siaran media mengalami pertumbuhan yang lebih besar. Tak tertutup kemungkinan, ke depan, hak siar media justru jadi sumber pemasukan utama di industri esports. Hadiah yang didapatkan tim esports ketika memenangkan turnamen juga bisa menambah kas tim, terutama karena turnamen esports kini memiliki hadiah yang tak kalah besar dengan kompetisi olahraga konvensional. Namun, sebagian dari hadiah yang dimenangkan oleh sebuah tim biasanya diberikan langsung pada para pemain.

RRQ TCN - PBWC 2019 Winner
Juara dunia! | Sumber: Point Blank Indonesia

RRQ merupakan salah satu tim esports paling ternama di Indonesia. Menurut situs resminya, ada puluhan gelar juara yang telah didapatkan oleh tim dengan julukan Sang Raja itu. Namun, berapa banyak total hadiah yang telah dimenangkan oleh RRQ sepanjang tahun ini?

Hybrid mencoba untuk menelusuri turnamen-turnamen yang telah dimenangkan oleh RRQ sepanjang 2019 dan juga besar hadiah yang mereka dapatkan. Meski tidak dapat mengumpulkan data secara lengkap, kami menemukan bahwa selama 2019, RRQ berhasil memenangkan total hadiah setidaknya Rp5,7 miliar. Salah satu kontribusi terbesar berasal dari RRQ Athena, yang bersama RRQ Kenboo, berhasil memenangkan PUBG Mobile Star Challenge dan memenangkan US$100 ribu (sekitar Rp1,4 miliar). RRQ Athena juga baru saja memenangkan PMCO Fall Split SEA dan membawa pulang US$35 ribu atau sekitar Rp490 juta. Sementara pada awal Oktober 2019, RRQ Epic menyumbangkan Rp580 juta dengan memenangkan PBNC 2019 dan menjadi juara dari PBIC 2019. RRQ Endeavor, yang dijagokan sebagai juara PBNC, justru hanya berkontribusi Rp20 juta sebagai juara tiga dari PBNC 2019.

Inilah beberapa turnamen dengan hadiah terbesar yang telah dimenangkan oleh RRQ pada 2019.

1. PUBG M Star Challenge 2019 – Rp1,4 miliar(US$100 ribu)
2. MPL ID S4 (runner-up) – Rp980 juta (US$70 ribu)
3. PMCO Fall Split SEA – Rp490 juta(US$35 ribu)
4. PUBG Mobile Club Open SEA Finals 2019 – Rp425 juta (US$30 ribu)
5. Point Blank World Championship 2019 – Rp425 juta (US$30 ribu)
6. Point Blank National Championship 2019 Season 2 – Rp300 juta
7. Point Blank National Championship 2019 Season 1 – Rp300 juta
8. Point Blank International Championship 2019 (juara dua) – Rp283 juta (US$20 ribu)
9. PUBG Southeast Asia Championship 2019 – Phase 2 – Rp283 juta (US$20 ribu)
10. Free Fire Indonesia Master Season 2 (juara 2) – Rp150 juta
11. Piala President Esports (juara 3) – Rp100 juta
12. IGL FIFA 2019 – Rp 50 juta

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena sebagai pemenang PUBG M Star Challenge di Dubai pada 2018. Sumber: PUBG Mobile

Tahun 2019 belum berakhir, RRQ telah berhasil membawa pulang setidaknya Rp5,7 miliar. Meskipun terdengar besar, ketika dihubungi melalui pesan singkat, CEO RRQ Andrian Pauline (AP) mengatakan bahwa jumlah hadiah yang dimenangkan oleh tim-tim RRQ tidak signifikan jika dibandingkan dengan total pendapatan RRQ sebagai tim. Alasannya, karena sebagian besar dari hadiah yang didapatkan oleh tim diberikan pada para pemain. Sayangnya, AP enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut saat ditanya tentang persentase pembagian antara tim dan para pemainnya.

Dia mengatakan, sumber pendapatan terbesar RRQ saat ini masih berasal dari sponsorship. Pada awal tahun ini, dalam sebuah wawancara bersama media, AP mengatakan bahwa sponsorship memang masih jadi sumber pemasukan utama. Ketika itu, dia berkata, sebagai tim ternama yang sudah menyandang berbagai gelar, RRQ relatif lebih mudah untuk mencari sponsor. Memang, salah satu sponsor terbaru RRQ, GoPay, mengungkap bahwa alasan mereka memutuskan untuk mensponsori RRQ adalah karena reputasi Sang Raja yang baik dan prestasi mereka yang cukup banyak. Namun, AP mengatakan, bagi tim pemula, mendapatkan sponsor bukanlah perkara mudah.

EVOS Esports Dapatkan Pendanaan Sebesar Rp61 Miliar

EVOS Esports mungkin memang bisa dibilang sebagai salah satu organisasi / startup esports paling sukses yang berasal dari Indonesia. Meski baru berdiri dari tahun 2017, mereka langsung mencuri perhatian banyak pelaku industri dari dalam dan luar negeri. Sekarang, mereka juga bisa dianggap sebagai salah satu yang paling berhasil di kawasan Asia Tenggara.

Saat artikel ini ditulis, EVOS memiliki 13 tim di 6 game berbeda (dengan total 62 pemain), yang berada di 5 negara. Saat ini, EVOS juga sudah memiliki sekitar 120 karyawan, 100 di antaranya berasal dari Indonesia.

Bagi Anda yang ingin cari tahu lebih jauh mengenai perjalanan EVOS Esports jadi sebesar ini, Anda bisa membaca sendiri terjemahan tulisan dari Ivan Yeo, CEO dan Co-Founder EVOS Esports yang terbagi jadi 4 bagian.

Menurut Business Times, tahun ini (2019), mereka bahkan berhasil mendapatkan pendanaan seri A dengan jumlah fantastis sebesar US$4,4 juta (atau setara dengan Rp61 miliar). Pendanaan pertama, yang hampir mencapai angka US$3 juta, mereka dapatkan dari Insignia Venture Partners di awal tahun. Sedangkan sisanya, US$1,4 juta, mereka dapatkan dari sekelompok angel investor yang terdiri dari sejumlah konglomerasi asal Indonesia dan juga petinggi dari pemain ecommerce asal Tiongkok.

Menariknya, meski sebagai klub esports yang kompetitif, EVOS tak bisa dipandang remeh di AOV (yang langganan juara nasional dari musim pertama ASL), MLBB (yang baru saja memenangkan MPL ID S4 dan juga MPL MY/SG), Free Fire, ataupun PUBG Mobile, pendanaan ini justru difokuskan untuk EVOS sebagai manajemen influencer.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Manajemen influencer dari EVOS sendiri saat ini diklaim sudah mengatur 50 influencer eksklusif dan bekerja sama dengan 250 talent. Menurut Ang Teng Jen, Chief Strategic Officer EVOS, saat diwawancarai oleh Business Times, “Agustus lalu, influencer gaming papan atas dunia, Tyler “Ninja” Blevins, meninggalkan Twitch untuk kontrak eksklusif dengan Mixer dari Microsoft; dengan nilai kontrak yang perkiraannya mencapai US$20-30 juta.

Kami melihat tren yang sama di Asia Tenggara, dengan influencer papan atas di kawasan ini yang mendapatkan sekitar US$30-60 ribu sebulan — seratus kali lebih besar dari gaji kebanyakan fresh graduate.”

Ivan Yeo juga sempat memberikan pendapatnya di artikel yang sama. Menurutnya, esports memang jadi salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat secara global. Namun ada banyak potensi yang belum dimaksimalkan di wilayah Asia Tenggara. Untungnya, sekarang lebih banyak brand yang mulai melirik esports — nilai sponsorship sekarang sudah lebih dari US$500 ribu, dibandingkan dulu yang masih di kisaran US$10 ribu saat EVOS baru mulai.

“Intinya, Ivan dan timnya memiliki rencana yang gamblang untuk mendominasi pasar Asia Tenggara, memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak-pihak penting di kawasan ini.” Ujar Tan Yinglan, Founding Managing Partner dari Insignia Ventures Partners.

Sumber Feature Image: ESL Indonesia

Membawa Esports ke Sekolah, Mungkinkah?

Di tengah perkembangan esports yang sangat pesat, memulai karir sebagai pemain profesional bukan sekadar mimpi. Di Indonesia, ada beberapa tim profesional yang menawarkan pelatihan bagi gamer yang ingin naik level menjadi pemain profesional, seperti TEAMnxl> dengan NXL Esports Center dan RRQ dengan RRQ Academy. Pelatihan serupa juga bisa Anda temukan di Singapura dan Tiongkok. Beberapa universitas di Inggris Raya dan Amerika Serikat membawa pendidikan esports ke level yang lebih tinggi dengan menawarkan program S1 di bidang esports.

University of Staffordshire adalah salah satunya. Ryan Chapman, yang masih berumur 18 tahun, adalah salah satu mahasiswa jurusan esports di universitas tersebut. Dia mengaku, pada  awalnya, orangtuanya skeptis ketika dia mengatakan ingin mengambil jurusan esports. “Tapi, kini mereka tahu seberapa besar industri ini, betapa cepatnya pertumbuhan industri esports. Mereka sekarang benar-benar mendukung saya karena esports adalah industri yang besar,” kata Champan, menurut laporan CBS News. Tidak tanggung-tanggung, bersamaan dengan program S1 esports, University of Staffordshire juga meluncurkan program S2 esports. Universitas itu bukanlah satu-satunya perguruan tinggi yang tertarik dengan pendidikan esports. Becker College juga memperkenalkan program “Bachelor of Science” untuk manajemen esports pada Oktober 2019 setelah melakukan “soft release” pada tahun lalu. Para mahasiswa di jurusan esports tak melulu bermain game. Di kampus, mereka sebenarnya mempelajari kemampuan terkait marketing dan manajemen industri esports.

Sumber: The Esports Observer
Pertandingan esports tingkat perkuliahan | Sumber: The Esports Observer

“Banyak orang tidak sadar tentang industri esports,” kata Matt Huxley, dosen di Digital Institute London dari Staffordshire University. Huxley mengajar tentang cara untuk menyelenggarakan turnamen esports. Dia berkata, belajar tentang esports mirip dengan jurusan tentang manajemen olahraga. “Jika Anda ingin menjadi direktur klub sepak bola, Anda tidak belajar untuk bermain bola, Anda belajar bisnis tentang transfer pemain, bagaimana Anda bisa mengelola stadion, dan kemampuan operasional lainnya.”

Chichester University mempekerjakan mantan pro gamer Rams “R2K” Singh sebagai dosen di program esports mereka, yang menyertakan pelajaran tentang cara bermain FIFA dan League of Legends. Ohio State University juga dikabarkan berencana untuk membuka program S1 jurusan esports dan game. Salah satu hal yang dipelajari mahasiswa di sini adalah cara mengaplikasikan game ke industri kesehatan dan obat-obatan.

Game tak lagi dimainkan oleh anak-anak dari basement rumah mereka,” kata Dean of Becker’s College’s School of Design and Technology, Alan Ritacco. “Pemain esports ternama sekarang memiliki penghasilan yang sama dengan atlet bintang di olahraga tradisional, seperti golf atau tennis.” Omongan Ritacco bukanlah omong kosong. Tim OG, yang memenangkan The International 2019, mendapatkan US$15,6 juta. Itu berarti, masing-masing anggota OG mendapatkan lebih dari US$3,1 juta. Sebagai perbandingan, Tiger Woods “hanya” mendapatkan US$2,07 juta setelah memenangkan Masters 2019. Sementara pemenang Wimbledon di kategori solo, Novak Djokovic dan Simona Halep, masing-masing mendapatkan US$2,9 juta.

Esports di dunia pendidikan Indonesia

Di Indonesia, ada setidaknya 20 kampus dan sekolah yang menawarkan program pendidikan game. Sayangnya, belum ada institusi pendidikan formal yang berani menyediakan program khusus untuk esports. Pada Maret 2019, Imam Nahrawi, yang ketika itu masih menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, membuat wacana untuk memasukkan esports ke dalam kurikulum sekolah. Dia mengatakan, esports dapat melatih fisik dan mental pemain. Dan memang, atlet esports tak hanya harus jago dalam bermain, tapi juga dapat berpikir strategis dan memiliki fisik yang tangguh. Hendry “Jothree” Handisurya yang mewakili Indonesia dalam pertandingan esports Hearthstone di SEA Games 2019 mengatakan, latihan fisik merupakan bagian dari persiapan di Pelatnas. Dalam pertandingan esports, pemain dipaksa untuk memutar otak selama berjam-jam. Agar dapat memberikan performa yang optimal, sang atlet harus memiliki fisik yang tangguh.

Saat Imam Nahrawi mengungkap wacananya untuk memasukkan esports ke kurikulum, ide ini disambut dengan baik oleh para murid SMA. Namun, ada juga pihak yang menentang, seperti pemerhati pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoma. “Kurikulum itu kalau mau ditambahkan materi pembelajaran, itu ada aturannnya. Jadi artinya kita tidak bisa setiap kali ada kebutuhan, kepentingan, lalu kemudian semua akan dimasukkan ke dalam kurikulum,” katanya, dikutip dari Antara News. Jika pemerintah ingin memasukkan esports ke dalam sekolah, dia menyarankan agar esports dimasukkan hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler.

Ki-ka: Merril Riandi dan Coach Michael Chandra | Sumber: Dokumentasi Hybrid
Ki-ka: Merril Riandi dan Coach Michael Chandra | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Dalam acara RRQ Academy yang diadakan di Raffles College pada Senin, 28 Oktober 2019, Head of RRQ Academy, Merril Riandi mengatakan bahwa membawa esports ke kurikulum bukanlah hal yang mudah. “Banyak pintu yang harus dibuka satu per satu. Salah satu yang ada, Federasi Esports Indonesia. Itu bisa jadi pondasi. Dari asosiasi, esports bisa diakui secara resmi oleh pemerintah,” ujarnya. Dia mengatakan, Indonesia memiliki talenta esports yang tak kalah jika bertanding di kancah internasional. Ini terbukti ketika Indonesia memenangkan medali emas dalam cabang esports Clash Royale ketika esports masuk sebagai pertandingan eksibisi di Asian Games 2018. Untuk memasukkan esports ke sekolah, Riandi merasa, hal ini bisa dimulai dari kegiatan ekstrakurikuler. “Di sekolah kan sudah ada ekskul olahraga, seperti basket atau tenis meja. Sebenarnya, esports bisa masuk di situ,” ungkapnya. Dan sama seperti pelajaran olahraga, esports di sekolah tak melulu hanya bermain game, tapi juga mempelajari teori yang ada. “Sejak kecil, anak-anak sudah pegang smartphone, ada akses ke dunia game. Kenapa nggak coba diarahkan ke sesuatu yang lebih positif?”

Tantangan membawa esports ke dunia pendidikan

Yohannes P. Siagian yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan Vice President EVOS Esports menyayangkan fakta bahwa Imam Nahrawi tak pernah memberikan rencana yang konkret terkait wacananya untuk memasukkan esports ke sekolah. “Tapi overall, menurut saya memasukan esports ke program sekolah merupakan hal yang positif. Banyak benefit yang bisa didapat murid dari esports,” ujarnya ketika ditemui oleh Hybrid pada Rabu, 30 Oktober 2019. Soal jenjang sekolah, dia mengatakan bahwa esports belum pantas untuk dimasukkan ke kurikulum SD, tapi sudah bisa dimasukkan ke kurikulum SMP. “Yang penting, ada title yang kontennya cocok dengan jenjang umur,” katanya.

Menurut Yohannes, durasi waktu yang ideal untuk pelajaran esports di sekolah adalah empat sampai enam jam per minggu, yang dibagi dalam dua pertemuan. “Kalau hanya kumpul satu kali seminggu untuk main bersama dan tidak ada upaya pengembangan skill, itu bukan esports,” ujarnya. Dia merasa. pihak sekolah harus dapat membedakan antara “gaming” dan “esports“. Dalam esports, murid tak hanya bermain untuk bersenang-senang, tapi ada pengajaran dan tujuan yang jelas, untuk meningkatkan kemampuan siswa.

Menurutnya, inilah mengapa mencari pelatih yang mumpuni menjadi salah satu tantangan tersulit dalam membawa esports ke sekolah. “Coaching sangat penting dan kendala paling besar dalam mengembangkan esports di sekolah adalah coach,” ujarnya. Saat ini, mencari pelatih yang memang ahli lebih sulit dari sekadar mencari sponsor. Alasannya karena memang belum ada pelatih yang hebat di Indonesia. Selain itu, orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi pelatih biasanya lebih memilih untuk menjadi pelatih tim profesional daripada pelatih di sekolah. “Nyari coach yang kompeten itu susahnya bukan main. Jangankan di level sekolah, di level pro saja cari coach susah. Nggak ada yang mau jadi coach, semua mau jadi pemain,” dia bercerita.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com

Masalah lain dalam membawa esports ke dunia pendidikan adalah orangtua. Sebagian orangtua percaya, esports berpotensi untuk merusak anak. Padahal, menurut Yohannes, ada banyak soft skills yang bisa dipelajari oleh siswa jika mereka aktif dalam esports, seperti strategi, problem solving, dan juga komunikasi. Anak juga bisa belajar tentang cara mengatasi tekanan dan cara menghadapi kekalahan. Memang, ada orangtua yang sangsi akan keuntungan yang didapat oleh para pemain esports, tapi Yohannes percaya bahwa selama pihak sekolah dapat memberikan penjelasan yang baik dan konsisten akan manfaat esports, orangtua akan paham. Untuk memberi pemahaman pada orangtua, guru memang harus rela untuk bekerja ekstra. Dia menyayangkan, banyak guru di Indonesia yang enggan untuk menghabiskan waktu dan tenaga ekstra untuk memberikan penjelasan. Sambil bercanda, dia berkata bahwa kebanyakan guru di Indonesia saat ini akan segera beranjak pulang ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Pada saat yang sama, jika guru tak kooperatif dan memiliki pemikiran kolot, mereka justru bisa menjadi tantangan lain dalam membawa esports ke pendidikan. Dia lalu berbagi cerita tentang usahanya sebagai kepala sekolah PSKD untuk mengadakan program esports. Berdasarkan pengalamannya, tak banyak guru yang menentang rencananya. Dia merasa, hanya ada satu atau dua guru yang memang berumur tua — 50-60 tahun — yang menyatakan keberatan akan program esports.

Sebenarnya, tak aneh jika banyak orangtua yang masih sangsi tentang program esports di sekolah. Sebagai industri yang masih baru, memang masih banyak orang yang tak paham dengan esports. Karena itulah, para pelaku esports harus melakukan edukasi. Yohannes mengatakan, idealnya, semua pelaku yang berkecimpung di dunia esports — mulai dari pemain dan tim profesional, penyelenggara, panitia, hingga organisasi-organsisasi esports seperti FEI (Federasi Esports Indonesia), IESPA (Indonesia Esports Association), dan AVGI (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia) — harus ikut berkontribusi dalam mengembangkan esports dengan memberikan edukasi pada masyarakat. “Cuma, kadang, mereka saling tunggu-tungguan,” keluhnya. Banyak pihak yang lebih memilih untuk menggunakan dana yang mereka miliki untuk melakukan hal lain daripada edukasi.

Kalau sekolah mau memulai program esports, mulai dari mana?

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh DS Research, dua dari lima game esports yang paling populer di Indonesia saat ini adalah game mobile. Meskipun begitu, secara global, turnamen untuk game-game esports PC seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, dan Overwatch juga masih diminati. Sementara game esporst fighting seperti Tekken 7 atau olaharga seperti FIFA, juga memiliki fans tersendiri. Lalu, jika sekolah memang ingin mengadakan program esports, sebaiknya platform apa yang mereka harus gunakan?

Mobile,” jawab Yohannes cepat. “Karena paling murah, paling accessible.” Selain itu, investasi awal yang perlu dikeluarkan oleh sekolah juga bisa ditekan. “Tidak mudah bagi sekolah untuk menyediakan PC gaming,” ujarnya. Dia memperkirakan, jika sebuah sekolah ingin memastikan program esports berjalan dengan baik, diperlukan setidaknya 10 PC gaming, yang memiliki harga setidaknya Rp12 juta. Itu artinya, sekolah harus menyiapkan setidaknya Rp120 juta. Dia bercerita, berdasarkan pengalamannya untuk membuat laboratorium esports di PSKD, selain investasi awal, pihak sekolah juga harus mempertimbangkan hal lain seperti maintenance. Selain itu, dengan memilih platform mobile, siswa yang ingin berlatih bisa menggunakan smartphone mereka sendiri. Jadi, pihak sekolah tak perlu khawatir siswa akan merusak PC yang disediakan oleh sekolah.

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Sekarang, mulai banyak turnamen yang ditujukan untuk tingkat pelajar dan mahasiswa. Sebut saja High School League dari JD.ID, yang mengadu Dota 2. Dalam konferensi pers, pihak JD.ID menjelaskan bahwa alasan mereka memilih Dota 2 adalah untuk memudahkan pihak sekolah mengawasi siswa yang ikut dalam turnamen agar mereka tidak bermain di dalam kelas. Saat ditanya tentang pengawasan murid di kelas, Yohannes mengatakan, biasanya, siswa yang ikut serta dalam esports akan memiliki disiplin diri yang lebih baik, sama seperti murid yang ikut dalam kegiatan kompetitif lain, seperti basket atau musik. Karena, dia menegaskan, berlatih untuk bertanding dalam turnamen berbeda dengan sekadar bermain game. “Harus ada titik dimana kita percaya sama murid,” katanya. Dia mengungkap, murid yang bertanding di kompetisi lain, seperti olahraga tradisional, juga harus dipercaya untuk tidak mengorbankan pendidikan mereka demi berlatih.

Walau Yohannes percaya pembinaan esports sebaiknya dilakukan sejak muda — layaknya pembinaan atlet olahraga tradisional– dia juga mengatakan, pengadaan jurusan esports di universitas Indonesia juga memiliki prospek yang menarik. “Kampus yang pertama buka (jurusan esports), akan langsung full kuotanya,” ujarnya percaya diri. “Memang perlu, dari segi manajemen dan bukan pemain. Orang sering salah paham, jurusan esports dikira hanya main. Padahal, definisi esports adalah kompetisi yang dilakukan melalui media digital.” Dia merasa, saat ini industri esports masih sangat muda dan belum berkembang. Dan walau pemain profesional selalu menjadi sorotan media, ada banyak pihak lain yang terlibat dalam esports, mulai dari pihak manajemen tim esports sampai penyelenggara turnamen.

Mencari talenta vs eksploitasi anak

Jika dibandingkan dengan pekerja kantoran, umur karir atlet relatif singkat. Rata-rata umur pensiun pemain bola adalah 35 tahun, menurut Professional Footballers’ Association (FPA). Umur atlet esports bisa lebih singkat dari itu. Tak sedikit atlet esports yang puncak karirnya saat mereka berumur belasan tahun. Misalnya, Kyle “Bugha” Giersdorf memenangkan Fortnite World Cup ketika dia masih berumur 16 tahun. Sayangnya, itu berarti, atlet esports pensiun ketika umur mereka masih muda, pada umur 20-an. Setelah pensiun, sebagian pemain profesional seperti Michael “Shroud” Grzesiek memutuskan untuk menjadi streamer. Ada juga pilihan untuk menjadi pelatih pemain amatir.

Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer
Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer

Yohannes percaya, atlet bisa berprestasi karena dia dibina sejak dini. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk esports, tapi juga olahraga tradisional, seperti bulu tangkis. Musisi atau penari balet juga biasanya sudah memulai latihan sejak usia muda. Namun, tak semua orang memiliki pendapat yang sama dengan Yohannes. Sebagian orang menganggap remaja yang menjadi atlet esports sebagai eksploitasi anak. Sebelum beranjak dewasa, seorang anak tidak seharunya bekerja. Yohannes mengatakan, memang, dalam dunia ideal, remaja seharusnya fokus pada pendidikan mereka dan bukannya memikirkan cara mencari uang. Sayangnya, dunia yang kita tinggali jauh dari ideal. “Kalau pilihannya antara menjadi pemain esports atau bekerja di sawah, pilih yang mana?” tanyanya. Tak sedikit anak yang harus putus sekolah karena keluarga mereka tak sanggup untuk membiayai.

“Bagi orangtua, membiarkan anaknya pergi jauh bukanlah perkara simpel. Jangankan ketika anak masih SMP, berangkat kuliah saja, terkadang orangtua tak membiarkan anak keluar dari kota tempatnya tinggal,” ujar Yohannes. “Tapi, kita juga harus melihat apa yang bisa didapatkan si anak.” Dia berkata, jika hidup sang anak menjadi lebih baik setelah dia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannnya — demi menjadi atlet esports atau mengejar beasiswa misalnya — maka itu tidak termasuk eksploitasi anak. Dia mengakui, garis antara eksploitasi anak dan usaha untuk membantu anak mendapatkan masa depan yang lebih baik memang sangat tipis.

Dia berkata, manajemen tim esports juga memiliki tanggung jawab dalam menjamin masa depan para atletnya, terutama yang masih muda. “Ada tim yang menawarkan homeschooling,” katanya. Ketika seorang anak memutuskan untuk berhenti sekolah atau tidak kuliah demi menjadi atlet profesional dan bergabung dengan sebuah tim, Yohannes merasa, pendidikan sang atlet menjadi tanggung jawab tim sampai pendidikan sang anak berakhir. “Karena komitmen si anak untuk berhenti sekolah bukan komitmen satu, dua tahun, tapi sampai sekolah/kuliah selesai. Seharusnya, tim memberikan homeschooling sampai dia lulus,” katanya. “Tim juga harus mengupayakan pendampingan agar si atlet tak keluar dari rel.” Karena, mudah bagi para atlet esports — yang biasanya sudah mendapatkan gaji besar di usia muda — untuk terjerumus.

Dia merasa, eksploitasi anak adalah ketika sebuah tim mengajak atlet untuk keluar dari sekolah dan tak bertanggung jawab atas masa depannya, misalnya dengan memutus hubungan kerja secara sepihak ketika performa sang atlet menurun walau sang atlet telah rela untuk keluar dari sekolah. Dia membandingkan dengan sistem beasiswa olahraga di PSKD. “Beasiswa berlaku sampai lulus. Kecuali murid buat pelanggaran yang parah, terkait perilaku, beasiswa takkan dicabut,” ujarnya. Jika sang penerima beasiswa ternyata tak memiliki performa yang baik, dia merasa, itu adalah kesalahn sekolah dalam memilih dan membina siswa. Pada akhirnya, dia mengatakan bahwa apakah anak menjadi korban eksploitasi ketika mereka bergabung dengan tim esports adalah masalah serius yang seharusnya dibahas secara mendalam. Di industri esports, seharusnya ada guideline untuk menentukan apakah sebuah tim melakukan eksploitasi anak. Sayangnya, dia tak melihat organisasi yang mumpuni untuk membuat guideline tersebut.

Akhir kata…

Esports akan menjadi industri yang besar. Menurut Goldman Sachs dan Newzoo, dalam waktu tiga tahun, esports akan menjadi industri dengan nilai miliaran dollar. Namun, valuasi industri esports bukan satu-satunya indikator yang menunjukkan esports akan terus berkembang di masa depan, tapi juga dari segi penonton. Jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 194 juta pada tahun ini dan akan naik menjadi 276 juta orang pada 2022. Dan sebanyak 79 persen penonton esports adalah orang-orang di bawah umur 35 tahun, yang kini tak lagi menonton media tradisional seperti televisi. Ini menunjukkan esports akan menjadi salah satu opsi hiburan bagi para generasi milenial dan gen Z.

Namun, sama seperti segala sesuatu yang baru, esports juga memiliki dampak negatif. Dan wajar jika masyarakat memiliki kekhawatiran akan esports, terutama jika pengetahuan tentang competitive gaming minim. Tapi, itu seharusnya tidak dijadikan alasan untuk tidak ikut serta dalam industri esports. Karena, kemajuan zaman tak terelakkan, layaknya teknologi yang awalnya ditakuti dan kini justru terbukti memudahkan kehidupan banyak orang. Risiko akan selalu ada. Esports bukanlah pengecualian. Yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi diri sendiri agar kita bisa meminimalisir risiko.

Sumber header: Wikipedia