Christian “Lichic” Dari tim Alter Ego Berbagi Tips Juara Bermain Brawl Stars

Gelaran Supercell Gamers Day telah selesai digelar. Juara-juara dari masing-masing cabang, yaitu Clash Royale, Brawl Stars, dan Clash of Clans, telah ditentukan.

Namun dari semua gelaran kompetisi tersebut, satu yang menarik untuk disorot adalah dari kompetisi Brawl Stars. Satu alasannya adalah karena dalam kompetisi tersebut ada tim Alter Ego, yang berhasil secara berturut-turut menyabet perstasi di dua kompetisi resmi besutan dari Supercell.

Selain menjadi juara di gelaran Supercell Gamers Day, Alter Ego juga menjadi juara di Brawl Stars Open – Indonesia. Melihat prestasi yang berhasil mereka dapatkan, kita jadi penasaran, apa faktor kunci yang membuat mereka menjadi juara? Adakah tips bermain Brawl Stars tertentu yang perlu dicatat jika kita ingin jadi juara di dalam kompetisi Brawl Stars?

Sumber: Dokumentasi Chrsitian "AE.Lichic"
Anggota tim Alter Ego dari kiri ke kanan, Christian “Lichic” Lim, M. Rifqi “Kasa” Riza Abdillah, dan Isabella “Aminerva” Nikita Kaligis. Sumber: Dokumentasi Chrsitian “AE.Lichic”

Penasaran dengan hal ini, saya menghubungi Christian “Lichic” Lim, salah satu anggota tim Alter Ego. Ia lalu akhirnya setuju untuk membagikan sedikit tips bermain Brawl Stars secara umum. Menurutnya, setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan oleh pemain yang ingin menjadi juara dalam kompetisi Brawl Stars.

Kombinasi Brawler Pada Map yang Dipertandingkan

Tips bermain Brawl Stars pertama yang disebut oleh Lichic adalah soal drafting, alias pemilihan Brawler (sebutan untuk karakter-karakter Brawl Stars). Berhubung pertandingan Brawl Stars menggunakan macam-macam map, kombinasi Brawler juga akan beragam sesuai dengan map yang dimainkan.

Lichic lalu menyebut satu contoh kombinasi Brawler yang cocok dimainkan untuk map Junk Park, salah satu map yang dipertandingkan dalam kompetisi Brawl Stars Open – Indonesia. “Menurut saya, kombinasi Brawler terbaik untuk map tersebut adalah Bibi, Rosa, dan Tick.” ucap Lichic.

Sebelum melanjutkan penjelasan soal alasan pemilihan Brawler tersebut, mari saya jelaskan dahulu objektif map Junk Park secara singkat. Pada map ini Anda punya dua tugas: 1) mengumpulkan baut (Bolts) sebanyak 10 buah, 2) Mempertahankan IKE Turret (semacam tower jika kita bicara game MOBA) dari serangan musuh. Jika Anda berhasil mengumpulkan 10 Bolts terlebih dahulu, akan ada robot besar dari sisi Anda yang akan menyerang dan membantu Anda menghancurkan IKE Turret musuh.

Melanjutkan penjelasan, Lichic lalu menjabarkan kenapa masing-masing Brawler tersebut jadi cocok digunakan. Pertama soal Bibi, menurutnya Brawler ini jadi bagus karena punya kemampuan untuk knocback musuh. Kemampuan tersebut membuat Brawler ini sangat kuat dalam menjalankan tugas sebagai mid control alias menguasai wilayah tengah.

“Jangan lupa untuk memilih Home Run sebagai Star Power. Karena efek penambahan movement speed dari Star Power itu akan sangat membantu kalian untuk mencapai wilayah tengah lebih dulu daripada musuh.” lanjut Lichic.

Lalu selanjutnya Rosa. Sebagai Brawler tipikal tanky, karakter ini cocok untuk mendukung Bibi di tengah. Soalnya, Bolt tidak hanya muncul dari sisi Anda saja, bisa juga muncul dari sisi musuh. “Karena darahnya yang tebal dan damage yang lumayan, Rosa bisa dengan lebih berani melangkah ke sisi musuh tanpa harus terlalu takut mati.”

Rosa juga punya skenario kegunaan lain. Ketika Anda kalah mengumpulkan Bolt dan robot musuh mulai menyerang, Rosa bisa digunakan untuk menahan serangan robot agar tidak menyentuh IKE Turret Anda. “Super (Semacam skill ultimate kalau di dalam MOBA) milik Rosa yang sifatnya damage reduction, menjadi alasan kenapa Rosa adalah penahan serangan robot terbaik untuk sementara waktu ini.” Lichic menjelaskan soal Rosa.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

Terakhir ada Tick. Menurutnya Brawler ini sangat cocok untuk membantu Bibi dan Rosa ketika mereka akan menyerang. Serangan Brawler ini memang sangat menganggu. Setelah melemparkan semacam rudal ke udara, rudal tersebut lalu pecah, dan melemparkan tiga proximity mine yang akan meledak jika ada musuh di dekatnya. Dengan serangan tersebut tugas Tick hanyalah bersiaga dari posisi belakang sambil melemparkan rudal-rudal tersebut, agar musuh jadi enggan untuk bergerak ke area yang sudah penuh dengan proximity mine.

Dari contoh Brawler yang disebutkan Lichic, saya simpulkan bahwa Brawler yang Anda pilih harus punya salah satu dari tiga karakteristik berikut ini:

  1. Tanky: Brawler dengan darah yang banyak dan juga punya skill yang membuatnya jadi makin sulit dibunuh.
  2. Rusher: Semacam 2nd tanker, yang bisa maju dengan cepat, punya kemampuan serangan yang cukup kuat, dan memiliki kemampuan crowd control agar musuh jadi makin sulit untuk mendekat.
  3. Damager/Area Control: Brawler yang punya kemampuan memberi damage dengan maksimal kepada musuh dari jarak jauh. Tipe Damager juga bisa diganti dengan tipe Area Control, yang juga menyerang dari jarak jauh, namun efeknya membuat suatu area jadi sulit dimasuki musuh; contohnya serangan Brawler seperti Tick atau Barley.

Maksimalkan Positioning Berdasarkan Dari Map yang Dimainkan

Hal kedua yang perlu dikuasai menurut Lichic adalah positioning. Kunci dari hal ini sebetulnya cuma dua hal, yaitu memaksimalkan fungsi tembok dan bush alias semak yang biasa digunakan untuk bersembunyi. Tetapi, soal positioning ini juga ada pengaruhnya dengan soal Brawler tadi.

“Map yang punya banyak rumput itu cocok untuk Brawler Rosa. Kenapa? Karena dia punya Star Power bernama Plant Life, yang efeknya adalah menyembuhkan 200 HP per detik ketika berada di dalam rumput.” Lichic menjelaskan.

Tapi selain itu juga, bush bisa dimanfaatkan untuk sembunyi dan menyerang tiba-tiba. Contoh pemanfaatannya adalah pada map Double Swoosh yang punya mode Gem Grab. Map ini bisa dibilang punya area mid dengan banyak rumput. Maka dari itu pada map tersebut Anda bisa lebih maksimal dalam melakukan serangan tiba-tiba. Ini akan jadi tambah efektif jika Anda menggunakan Brawler bersenjatakan shotgun seperti Bull.

Sumber: Tangkapan Layar
Sumber: Tangkapan Layar

Lichic juga menjelaskan bahwa rumput atau semak bisa digunakan untuk menggocek musuh. “Karena ketika kita masuk ke rumput, lawan tidak bisa melihat, jadi ada kemungkinan prediksi tembakan lawan bisa lepas yang membuat kita jadi berhasil menyelamatkan diri.

Selain dari itu, Lichic juga membagikan sedikit tips untuk melawan musuh-musuh yang ada di rumput. Menurut dia, salah satunya adalah dengan menggunakan Brawler Bo. “Soalnya Bo memang punya Star Powers Circling Eagle, yang memungkinkan dia melihat ke dalam semak dari luar semak.”

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

Selanjutnya adalah soal tembok. Menurutnya fungsi paling jelas dari tembok adalah untuk berlindung dari tembakan. Lalu, bagaimana melawan musuh yang ada di balik tembok. “Ini tergantung seberapa penting Brawler musuh tersebut. Kalau memang membunuh dia akan memberi dampak yang signifikan di dalam permainan, maka kalian bisa langsung keroyok saja dia.” Lichic menjelaskan.

“Alternatif lainnya, kalian bisa menggunakan Brawler thrower (seperti Tick dan Barley). Kalian tinggal lemparkan saja satu serangan ke arah Brawler musuh yang ada di belakang tembok. Kalau sudah terdesak, sang musuh tentu harus pindah posisi.” lanjut Lichic.

Investasi Brawler Secara Lebih Efektif

Banyaknya ragam mode dan map yang ada dalam game Brawl Stars, memaksa Anda menguasai banyak Brawler sekaligus. Seperti yang disebutkan Lichic sedari awal, masing-masing Brawler punya spesialisasinya tersendiri untuk masing-masing map.

Berhubung Anda harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk memaksimalkan kekuatan Brawler dengan lebih cepat, Lichic membagi penjelasannya soal investasi Brawler ini menjadi dua bagian.

Pertama, investasi Brawler untuk tipe pemain free player. Tipe pemain ini termasuk juga untuk Anda yang cuma sesekali saja mengeluarkan sejumlah uang entah untuk memperkuat Brawler atau membeli Brawler baru.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Brawler gratisan seperti Barley juga jadi yang patut untuk dipelajari. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

“Kalau menurut gue, investasi terbaik buat free player adalah kepada Brawler yang masuk meta. Rekomendasi dari gue adalah Rosa, Penny, Bull, Bibi, Rico, Barley, Tick, Piper, Brock, Gene, Bo, Spike dan El Primo.” Lichic mendaftar Brawler-Brawler yang masuk meta.

Menurutnya, daftar Brawler yang ia sebut barusan kemungkinan besar terpakai pada map kompetitif yang digunakan belakangan. Kalau Anda free player, yang Anda perlu investasikan adalah waktu, yang digunakan untuk mempelajari Brawler tersebut. Tujuannya adalah agar Anda lebih paham cara main dan celah terbaik dalam memanfaatkan sang Brawler di masing-masing map. “Kalau untuk kompetitif, semua Brawler otomatis jadi level maksimal, jadi tak perlu terlalu khawatir kalau level asli Brawler kamu bukanlah level maksimal.”

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Kalau Anda ingin jadi tipe pemain yang spending, pastikan untuk investasi sekaligus secara maksimal ya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

Lebih lanjut soal meta Brawler, menurut Lichic salah satu alasannya adalah karena pilihan map yang digunakan untuk kompetitif. “Contohnya saja map Siege: Junk Park yang gue jelaskan pada saat membahas drafting Brawler. Contoh lain untuk mode kompetisi Brawl Ball, El Primo jadi bagus karena darah yang tebal dan bisa dive sambil membawa bola. Apalagi dia juga punya Super yang bisa menghancurkan dinding dekat gawang lawan untuk mempermudah memasukkan bola.”

Kedua, investasi untuk tipe player spending atau mengeluarkan biaya. Menurut Lichic, jika Anda ingin mengeluarkan biaya baiknya jangan setengah-setengah. “Lebih baik Anda langsung spending semaksimal mungkin, lalu pelajari dengan seksama setiap dari Brawler yang ada. Saya sendiri adalah tipe player spending. Ini saya anggap sebagai investasi, saya kuasai semuanya, kejar top lokal agar mendapat perhatian dari tim-tim esports dan juga bisa lebih fasih dalam berkompetisi.” Lichic menceritakan perjuangannya menjadi pemain pro Brawl Stars secara singkat.


Itu dia sedikit tips bermain Brawl Stars dari pemain Alter Ego, Christian “Lichic” Lim. Catat tipsnya, dan bersiaplah berkompetisi di kancah esports Brawl Stars berikutnya!

 

[Statistics] Menyambut Grand Final MPL ID S4 dengan Angka

Perhelatan esports paling dinamis di Indonesia, Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) Professional League (MPL) Indonesia Season 4, tidak lama lagi akan memasuki babak penentuan pada tanggal 26-27 Oktober 2019 di Tennis Indoor Stadium Gelora Bung Karno.

Dari 8 tim yang mengikuti babak Regular Season selama 8 pekan (23 Agustus – 13 Oktober 2019), 6 tim dengan peringkat tertinggi berhak melanjutkan perjuangannya dalam mengadu nasib merebutkan gelar tim MLBB terbaik di Indonesia.

Berikut adalah klasemen akhir dari Regular Season MPL ID S4:

Sumber: MET Indonesia
Sumber: MET Indonesia

Dari hasil klasemen di atas, 2 tim yang harus merelakan kesempatannya untuk bertanding di Grand Final adalah Geek Fam dan Genflix Aerowolf. Sedangkan dua tim teratas, EVOS dan RRQ, akan mendapatkan keuntungan di Upper Bracket.

Tabel klasemen tadi mungkin memang kelihatannya jelas dan mudah dipahami namun demikian ternyata ada beberapa statistik menarik yang mungkin tidak dapat langsung terlihat jelas buat para penonton. Selain itu, melihat ketatnya persaingan di papan atas (1-3) dan papan tengah (4-6), angka statistik mungkin juga dapat digunakan untuk memetakan seperti apa pertandingan di Grand Final ini nantinya.

Angka statistik ini kami dapatkan dari MET Indonesia, selaku organizer untuk MPL ID Season 4. Terima kasih untuk Pratama “Yota” Indraputra, sang Show Director dan Stats Manager, yang telah mengumpulkan angka-angka statistik tadi dan membagikannya kepada Hybrid.

Sumber: MET Indonesia
Bracket Grand Final MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

First Blood

TEAM FIRST BLOOD KILLS TEAM FIRST BLOOD DEATHS TEAM AVG. FIRST BLOOD TIMING
GEEK 20 EVOS 14 EVOS 01:30
EVOS 18 GEEK 14 BTR 01:37
GFLX 18 BTR 17 GFLX 01:38
AE 18 GFLX 17 GEEK 01:42
BTR 17 AURA 17 AURA 01:48
RRQ 17 RRQ 17 ONIC 01:55
AURA 13 AE 18 AE 01:57
ONIC 12 ONIC 20 RRQ 01:57

Dari statistik First Blood di atas, hal tersebut menunjukkan superiornya EVOS di beberapa aspek ini. Menariknya, hal yang sama tidak terlihat di RRQ dan Alter Ego yang menempati peringkat 2 dan 3 klasemen akhir Regular Season. Meski begitu, statistik ini membuktikan bahwa EVOS sudah cukup galak sejak early game.

Objectives

Jika berbicara soal objective di MLBB, ada 3 hal yang bisa dijadikan patokan yaitu, Turret, Turtle, dan Lord. Berikut ini adalah data yang kami dapatkan.

TEAM FIRST TURTLES TEAM FIRST TURRETS TEAM FIRST LORDS
GFLX 21 RRQ 25 RRQ 22
AE 21 EVOS 24 AE 20
ONIC 19 BTR 17 EVOS 19
RRQ 18 ONIC 14 AURA 16
EVOS 15 GEEK 14 ONIC 14
GEEK 14 AURA 14 BTR 13
AURA 14 GFLX 13 GEEK 12
BTR 12 AE 13 GFLX 9
TEAM TURTLE KILLS TEAM TOWER KILLS TEAM LORD KILLS
GFLX 34 RRQ 1125 RRQ 24
RRQ 33 AE 995 EVOS 23
AE 33 EVOS 985 AE 22
ONIC 30 AURA 880 AURA 19
EVOS 29 ONIC 795 ONIC 16
GEEK 26 BTR 695 GEEK 16
AURA 25 GFLX 695 BTR 13
BTR 24 GEEK 690 GFLX 12

Dari statistik di atas tentang objective, terlihat jelas bahwa RRQ memang fokus mengejar aspek ini. Mungkin inilah rahasia dari kesuksesan Lemon dan kawan-kawan menempati peringkat 2 Regular Season. Alter Ego dan EVOS juga terlihat cukup rajin mengejar aspek ini namun tetap kalah dari RRQ di keseluruhan aspek objective.

Gold

TEAM GOLD EARNED TEAM AVG. TEAM GOLD PER MIN TEAM AVG. TEAM GOLD DIFF.
RRQ 1657642 RRQ 3219 RRQ 4273
AE 1635975 EVOS 3206 EVOS 4264
GFLX 1510344 AE 3112 AE 1446
EVOS 1440206 ONIC 2999 ONIC 513
ONIC 1382807 BTR 2982 AURA -330
GEEK 1381874 AURA 2945 BTR -1353
AURA 1351501 GFLX 2859 GFLX -3826
BTR 1247042 GEEK 2811 GEEK -4747

Berkaitan dengan statistik sebelumnya, dengan rajinnya mengejar objective, RRQ juga berhasil menjadi tim yang paling kaya selama pertandingan Regular Season. Namun demikian, salah satu yang menarik dari statistik gold kali ini adalah nama Aerowolf yang bertengger di posisi ketiga soal jumlah total keseluruhan gold yang dikumpulkan. Sayangnya, mengingat mereka gagal melaju ke Grand Final, gold yang mereka dapatkan berarti tak dapat dimanfaatkan dengan baik.

K/D/A

Setelah mengintip dari sisi kekayaan masing-masing tim di dalam permainan, kali ini kita akan melihat statistik yang paling sering diagung-agungkan oleh banyak orang: Kill/Death/Assist (KDA). Namun demikian, terbukti dari statistik berikut bahwa KDA bukan segala-galanya. Faktor kekayaan tim dan seberapa cepat mereka mengumpulkannya justru lebih berbanding lurus dengan prestasi mereka masing-masing.

TEAM KILLS TEAM DEATHS TEAM ASSISTS
AE 567 ONIC 384 AE 1183
RRQ 563 EVOS 408 RRQ 1098
GFLX 480 AURA 410 GFLX 1002
EVOS 461 BTR 418 AURA 974
AURA 424 RRQ 464 EVOS 962
ONIC 422 GEEK 507 BTR 932
BTR 407 AE 531 ONIC 877
GEEK 392 GFLX 607 GEEK 800

Dari 3 tabel di atas, Alter Ego yang mendapatkan jumlah Kill dan Assist terbanyak justru menempati posisi 3. Sedangkan ONIC yang mendapatkan Death paling sedikit justru berada di peringkat 5. Aerowolf bahkan menempati posisi ketiga soal jumlah Kill, di atas EVOS yang bertengger di peringkat 1 Klasemen Akhir Regular Season.

Teamwork & META

Terakhir, yang tidak kalah penting dan bisa digunakan untuk memprediksi pertandingan Grand Final nanti adalah soal aspek penguasaan META dan soal kerja sama tim.

TEAM PLAYERS USED TEAM UNIQUE PICKS TEAM AVG. KILL PARTICIPATION
GEEK 10 RRQ 41 AURA 64.80%
RRQ 10 GFLX 37 BTR 63.27%
BTR 7 GEEK 36 GFLX 61.92%
AE 7 AE 35 ONIC 61.38%
AURA 6 BTR 35 EVOS 60.97%
ONIC 6 ONIC 35 AE 60.46%
GFLX 5 AURA 34 GEEK 59.62%
EVOS 5 EVOS 32 RRQ 57.60%

Dari 3 tabel di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Pertama adalah soal EVOS Esports. Meski mereka memberikan performa yang luar biasa hebat di Regular Season, EVOS hanya menggunakan 5 pemain. Hero pool mereka juga paling sedikit dibanding yang lain. Hal ini bisa berarti 2 hal, positif dan negatif.

Positifnya, siapa tahu EVOS memang tidak memainkan kelima pemain sisa ataupun menggunakan semua hero karena memang ingin menyimpan strategi untuk Grand Final. Namun, di sisi lain, hal ini juga bisa berarti EVOS tidak memiliki tingkat skill yang rata dari masing-masing pemainnya. Hal yang sama juga bisa dilihat dari variasi hero yang digunakan karena EVOS bisa saja memang sangat terbatas dari jumlah hero yang dikuasai. Jika penyebabnya adalah yang kedua, hal ini berarti strategi dan META yang akan digunakan EVOS sama persis dengan yang ada di Regular Season.

Di sisi lain, kebalikan dari EVOS, RRQ lebih berani mencoba memainkan lebih banyak hero dan pemain. Namun, RRQ memiliki persentase kill participation paling rendah dari semua tim yang ada. Hal ini juga bisa berarti 2 hal. Kerja sama antar pemain dari RRQ bisa jadi paling buruk atau skill individu masing-masing pemain di tim ini adalah yang paling baik — atau bisa juga keduanya benar.

Akhirnya, itu tadi sejumlah statistik yang dicatat oleh MET Indonesia yang coba kami jelaskan relevansinya. Benarkah EVOS memiliki keterbatasan soal pemain dan hero pool? Apakah mereka akhirnya bisa menjadi juara setelah 2x jadi Runner Up?

Bagaimana dengan RRQ? Formasi mereka kali ini sungguh meyakinkan di setiap lini. 10 pemain RRQ sekarang juga bisa dibilang sama kuat satu sama lain. Namun, biasanya pemain bintang itu memang lebih sulit diajak bekerja sama…

Atau justru malah Alter Ego, yang baik dari berbagai segi dan tercermin dari statistiknya, yang akan membuat sejarah baru lagi di gelaran MPL? Bagaimana dengan ONIC? Memang sungguh tidak ada yang istimewa terlihat dari statistik ONIC di Regular Season kali ini namun siapa tahu mereka bisa menemukan kembali chemistry dan keganasan yang mereka miliki di Season 3.

Bigetron dan Aura juga tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Siapa tahu, keajaiban MPL ID S1 yang fenomenal akan terjadi lagi… Kala itu, semua orang memprediksi EVOS yang juara dan memandang rendah NXL. Namun ternyata takdir mengguratkan garis yang berbeda.

Sumber: Mobile Legends: Bang Bang
Sumber: Mobile Legends: Bang Bang

Sumber Featured Image: Dokumentasi MPL ID Indonesia|MET Indonesia

Mengukur Peran Media Game di Ekosistem Esports Indonesia

Douglas Rushkoff (Throwing Rocks at the Google Bus, 2017) berargumen bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi dana yang luas dan cepat. Pasalnya, dengan sirkulasi dana yang luas dan cepat, setiap pihak yang berkepentingan bisa terus bertahan dan memainkan perannya masing-masing. Sebaliknya, industri yang tidak sehat adalah industri yang hanya berusaha menggemukan 1-2 pihak saja karena model yang seperti ini justru memiskinkan banyak pelaku lainnya.

Lalu apa hubungannya argumentasi Rushkoff tadi dengan media game dan ekosistem esports di Indonesia? Besarnya anggaran esports yang berputar di ekosistem kita masih belum dapat dinikmati oleh para pelaku media game dan esports. Bahkan, jika mau lebih seksama melihatnya, baru 2 komponen di ekosistem esports yang bisa menuai banyak keuntungan saat ini: organisasi (tim) dan event organizer esports.

Jangankan media, publisher game-nya sendiri sebenarnya juga belum sebanyak itu mendapatkan keuntungan dari esports-nya. Memang, pendapatan dari penjualan item mall (in-app purchase) buat sejumlah game publisher bisa mencapai miliaran Rupiah setiap bulannya (meski sayangnya, saya tidak bisa menyebutkan nama publisher atau sumber informasi saya di sini). Namun demikian, tidak banyak pendapatan langsung yang diterima publisher dari setiap gelaran esports game mereka; seperti pendapatan yang diterima Valve setiap kali menggelar The International, berkat penjualan Battle Pass.

Korelasi yang jelas antara besaran pendapatan dari in-app purchase dengan ramainya ajang esports tiap game pun sebenarnya juga masih belum terdefinisikan dengan gamblang. Rata-rata memang masih hanya berpendapat soal esports sebagai sarana marketing dari game tersebut. Itu pun juga masih belum bisa dipastikan efektivitasnya.

Mungkin lain waktu kita akan membahas lebih dalam soal korelasi antara pendapatan publisher dengan ajang esports karena kali ini saya ingin membahas lebih jauh soal peran media game dan esports di dalam ekosistem kita.

Untuk membahas hal ini, saya telah mengajak berbincang beberapa kawan-kawan saya yang tahu punya cukup pengalaman soal media game. Kawan-kawan saya yang saya ajak berbincang kali ini adalah Michael Samuel (Editor-in-Chief untuk EsportsID), Bambang Tri Utomo (COO dari IndoEsports), Edi Kusuma (Pendiri Hasagi dan mantan Editor untuk VGI), dan salah seorang lagi yang menolak untuk disebutkan namanya di sini (sebut saja Mawar namanya). Izinkan saya juga menuangkan pendapat saya di sini karena saya juga memang punya pengalaman spesifik berkarier di media game dari 2008, di media cetak ataupun digital.

Kondisi Media Game dan Esports Sekarang

Sebelum kita menggali lebih dalam soal peran media di ekosistem, ada baiknya kita melihat sebentar pada kondisi media game dan esports di Indonesia saat ini. Dari pengakuan kawan-kawan, baik yang saya sebutkan tadi ataupun yang tidak, kondisi keuangan kebanyakan media game saat ini memang masih bleeding alias lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.

Kalaupun ada pendapatan yang cukup besar, biasanya hal tersebut datang (atau setidaknya lebih besar) dari penyelenggaraan event — bukan seperti layaknya sumber pendapatan media zaman cetak dulu (iklan display, advertorial, ataupun banderol harga yang harus dibayarkan oleh pembaca).

Esports Indonesia
Esports market trend report 2019. Sumber: DailySocial

Ada banyak faktor sebenarnya yang membuat kondisi industri media digital berubah drastis dibanding zaman sebelumnya. Berhubung supaya tidak jadi buku ratusan halaman, saya hanya akan menyebutkan beberapa hal yang menurut saya relevan dengan bahasan kita kali ini.

Pada zaman sebelum digitalisasi, media memiliki peran besar dalam mengatur arus informasi. Media, zaman itu, bahkan juga bisa saja semena-mena menutup keran informasi tentang sebuah cerita, kasus, atau apapun itu. Maka dari itu, para diktator negara juga biasanya tahu betul bahwa pengekangan arus informasi menjadi sebuah kunci keberlangsungan suatu rezim.

Kala itu, kekuasaan memegang arus informasi juga terbagi menjadi 3 kanal besar yaitu televisi, radio, dan media cetak. Pembagian 3 kanal besar ini berkaitan erat dengan industri periklanan yang sebelumnya jadi mata air utama pendapatan perusahaan media. Pasalnya, ketika itu, tidak ada 1 ruang atau platform beriklan yang mampu mencapai semua pengguna. Sekarang, pasca digitalisasi media, ada duopoli Google dan Facebook yang mungkin bisa dibilang mencakup gabungan pengguna 3 kanal tadi. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi ruang beriklan yang utama atau setidaknya sudah tidak jadi satu-satunya ruang beriklan. Meski memang, masih ada banyak juga pelaku industri yang percaya untuk menjaga hubungan baik dan menghidupi media agar terus menjaga perannya dalam sebuah ekosistem industri.

Sayangnya, di industri game atau esports saat ini, mayoritas para pelakunya lebih suka menggunakan Google atau Facebook (serta turunannya) sebagai ruang beriklan, publikasi, ataupun menyebarkan informasi. Hal inilah yang jadi salah satu faktor terbesar terhadap minimnya pendapatan media game saat ini.

Ketika saya masih di media cetak dulu, media game mendapatkan pemasukkan paling banyak dari publisher game lokal (Lyto, Megaxus, WaveGame, dkk.). Sekarang, publisher lokal yang tadinya menguasai industri game nasional sudah tergerus kencang oleh publisher internasional. Sedangkan publisher internasional tadi memang mayoritas lebih suka menggunakan Facebook atau Google untuk beriklan. Di sisi lain, Facebook dan Google memang nyatanya mampu menawarkan harga iklan yang lebih terjangkau, yang bahkan bisa dibeli secara ‘eceran’.

Mawar, yang awalnya lebih memilih diam di sudut meja saat kami duduk bersama di sebuah kafe di sekitaran SCBD, tiba-tiba mengatakan, “(melihat kondisi pendapatan media game sekarang,) ajaib jika (sejumlah media game) masih hidup.”

Itu tadi jika kita melihat faktor eksternalnya. Jika melihat sisi medianya sendiri, sayangnya, memang ada banyak hal yang mungkin bisa dibenahi ataupun ditambah.

Pertama, media digital antara satu dengan yang lainnya memang lebih saturated dibanding zaman cetak dulu. Hal ini juga terjadi di media yang spesifik membahas game dan esports. Maksudnya, ciri khas masing-masing media (termasuk media game) jadi tidak terlalu terlihat. Seingat saya, dulu perbedaan antara HotGame, GameStation, dan PC Gamer itu jelas sekali terlihat. 3 majalah game tadi juga setahu saya mengincar target pasar yang tidak sama persis dan menyuguhkan artikel eksklusifnya masing-masing.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Mike, panggilan sayang dari Michael Samuel, juga setuju bahwa memang media game yang seharusnya bisa menunjukkan ciri khasnya masing-masing. Ia juga menambahkan bahwa media tak bisa sepenuhnya menyalahkan para pengiklan karena ada tuntutan adaptasi yang harus dijalani para pelaku media. Adaptasi untuk terus bertahan ini akan saya lanjutkan pembahasannya di bagian selanjutnya namun ada juga persoalan adaptasi yang berpengaruh terhadap kondisi media game saat ini.

Faktor internal kedua yang menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi media game saat ini ada di para pengambil kebijakannya. Mereka-mereka yang punya pengalaman membesarkan media justru kalah suaranya dengan mereka yang belum punya ataupun minim pengalaman. Faktanya, membesarkan sebuah media itu tidak mudah. Setidaknya, jelas tidak seperti memperlakukan layaknya akun-akun anonim di media sosial karena ada kode etik dan kredibilitas (baik brand media ataupun nama baik para jurnalisnya) yang harus dijaga.

Antara Media, Media Sosial, dan Influencer

Jika berbicara soal media, apalagi di ekosistem gaming dan esports, saya kira perlu juga dibuat satu bahasan khusus yang membandingkannya dengan media sosial atau malah influencer.

Menurut Edi, atau yang biasanya lebih dikenal dengan Edel, media itu seharusnya bisa menawarkan informasi yang lebih kredibel ketimbang media sosial. Ia juga menambahkan media sosial biasanya lebih cenderung untuk menggiring opini, ketimbang menyajikan fakta. Namun demikian, menurut Edel juga, perbedaan antara media dan media sosial juga sebenarnya bergantung pada selera si pembacanya. “Apakah lu mau berita yang cepet dan rame atau mau berita yang bisa dipertanggungjawabkan.” Ujarnya.

Sedangkan jika dibandingkan dengan influencer, Edel berpendapat bahwa influencer memang hanya bisa menyatakan pendapat pribadinya dan bisa saja merasa selalu benar. Sedangkan media seharusnya bisa lebih netral dan mencoba meluruskan informasi sesuai dengan fakta yang ada.

Sumber: GoodRebels.com
Sumber: GoodRebels.com

Sang COO IndoEsports yang mengaku lebih suka dipanggil Tommy juga menambahkan pendapatnya mengenai perbedaan antara media dengan media sosial dan influencer. Menurutnya, ada 2 jenis berita yang harus dipahami, “berita yang kita MAU tahu dan yang kita PERLU tahu.”

Pendapatnya senada juga dengan yang disampaikan oleh Mike. “Media itu tidak hanya soal hiburan tapi juga menyuguhkan informasi.” Kata Editor-in-Chief yang telah melanglang buana di industri game Indonesia.

Mawar juga mengamini bahwa media memang punya batasan yang jauh lebih banyak dibanding media sosial dan influencer.

Meski demikian, saya sendiri percaya sebenarnya media, (akun) media sosial, ataupun influencer bisa bersinergi membangun ekosistem asalkan memang perannya masing-masing disadari oleh banyak pihak. Konsepnya sederhana namun kenyataannya memang tidak mudah dijalankan. Karena tidak jarang media memang tidak mungkin secepat, sefrontal, ataupun semurah media sosial ataupun influencer. Pasalnya, media jelas statusnya sebagai perusahaan yang bayar pajak, harus mengikuti sekian banyak batasan (ataupun undang-undang), dan harus mendapatkan keuntungan agar bisa bertahan lama.

Peran Media Game di Ekosistem

Worst case, apa yang terjadi jika media-media niche yang khusus membahas esports dan game tak mampu bertahan? Apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports Indonesia?

Mawar berpendapat bahwa media-media portal (yang punya berbagai kanal) yang akan jadi lebih aktif membahas game dan esports. Namun demikian, media-media tersebut tetap saja tidak akan bisa membahas lebih banyak atau lebih dalam soal esports dan game. Kecuali, mereka akan menarik para penulis atau jurnalis yang memang punya spesialisasi expertise di sini. Namun jika media-media portal yang akhirnya membahas game dan esports juga tidak mampu mendatangkan penghasilan dari industri atau ekosistem ini, mustahil juga mereka menjadikan topik bahasan game dan esports sebagai prioritas.

Saat ini, media-media mainstream (yang bukan niche) memang sudah mencoba memasukkan topik bahasan game dan esports namun, sejauh yang saya tahu, mereka masih sebatas testing the water. 

Andai saja kondisi terburuk tadi memang terjadi, kondisinya mungkin akan sama dengan ekosistem olahraga di Indonesia saat ini. Bahkan media-media yang khusus membahas sepak bola pun tidak sedikit yang gulung tikar. Saya tahu ini karena memang ada media esports di Indonesia yang mayoritas isinya mantan jurnalis bola. Itu tadi masih sepak bola yang merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Kita belum berbicara soal exposure dan publikasi untuk olahraga-olahraga lain seperti basket, voli, bulu tangkis, dan kawan-kawannya.

Sumber: Bola.net
Sumber: Bola.net

Jika melihat publikasi dan exposure sepak bola, hal yang serupa juga dilakukan oleh sejumlah organisasi esports karena setiap tim besar punya kanal YouTube mereka masing-masing seperti Persija, Persib, ataupun Persebaya.

Dengan adanya media mainstream yang juga bisa membahas esports ataupun game secara umum dan kemudahan setiap pelaku industri (organisasi esports, EO, publisher) punya ruang distribusi publikasi sendiri, nilai jual media game dan esports memang jadi terlihat semakin kecil.

Maraknya platform yang mengijinkan user-generated content (YouTube, Facebook, Instagram, Twitch, Twitter) membuat banyak orang memang jadi menganggap membuat konten dan publikasi itu mudah dan murah. Namun, faktanya, expertise itu tidak pernah mudah apalagi murah jika memang ingin berkelas (yang bukan picisan). Sayangnya, memang lebih banyak orang-orang berpikiran dangkal yang lebih suka menyederhanakan segala sesuatunya dan tak mampu (atau mau) melihat setiap hal dari berbagai perspektif.

Misalnya tadi soal akses mudah ke platform user-generated content, banyak pelaku industri (dari semua sisi, termasuk produsen konten ataupun sponsor) menjadikan kuantitas semata sebagai tolak ukur utama dan bahkan rela mengorbankan banyak hal demi tujuan tadi. Banyak yang jadi tidak sadar bahwa kemudahan akses ruang publikasi ataupun distribusi konten itu justru membuat tolak ukur lain selain kuantitas (viewer, trafficsubscriber, dkk.) semakin dibutuhkan dan penting untuk dirumuskan.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena nyatanya, video anak kecil makan bakso saja bisa mengalahkan popularitas video dari pro player. Nyatanya, saat artikel ini ditulis, jumlah subscriber Najwa Shihab bahkan di kisaran angka yang sama dengan sang anak kecil tadi. Dengan mudahnya akses publikasi dan distribusi konten, keahlian dan keberhasilan jadi tidak bisa semata-mata dinilai dari popularitas.

Maksud saya menjabarkan hal tadi karena saya kira penting juga untuk disadari bahwa ruang publikasi dan distribusi yang mudah dan murah itu juga menuntut pertimbangan yang lebih jauh dari yang kelihatan jelas di permukaan. Sampai hari ini, memang saya tahu juga ada beberapa pelaku di esports, seperti EO, yang sudah menyadari pentingnya peran dan expertise media dan mengalirkan dana ke sana (thanks buat kliennya Hybrid wkwkwkwk…) namun masih banyak juga yang belum sampai memikirkan bagaimana nasib para pekerja media game dan esports.

Namun demikian, di sisi lain, kembali ke perkataan Mike tadi memang media game dan esports juga harus beradaptasi dan upgrade kelas untuk terus bertahan dan memainkan perannya dalam ekosistem.

Saya sepenuhnya setuju soal adaptasi dan upgrade tadi karena, menurut saya, banyak media juga belum mampu menunjukkan ciri khasnya masing-masing dan menyuguhkan konten yang benar-benar berkualitas. Mungkin karena memang standar rekrutmen atau gajinya juga terlalu rendah (nyahahaha). Tidak jarang media juga malah jadi sekadar pengikut tren dan bahkan malah mengambil peran influencer ataupun akun anonim yang lebih suka terlibat atau malah memulai kegaduhan dan keonaran yang tidak berfaedah (alias drama).

Adaptasi dalam mencari pendapatan juga sebenarnya bisa dilakukan kawan-kawan media game yang memang memiliki keahlian di sana, asalkan juga disadari oleh tim, event, ataupun sponsor yang memang memahami pentingnya brand image-nya masing-masing. Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, adalah memainkan peran media relation. Perusahaan media game yang punya orang-orang berkualitas, seperti kawan saya Mike, Mawar, ataupun yang lain-lainnya juga sebenarnya mampu menawarkan knowledge soal esports ataupun game yang mendalam namun juga tahu bagaimana membuat rilis ataupun bentuk publikasi lain yang lebih proper. Membangun kerangka narasi besar yang ingin dibentuk untuk jangka panjang serta implementasinya juga bisa dilakukan jika disadari kebutuhannya oleh para pelaku.

Sekali lagi, expertise jurnalistik dan berbahasa itu tidak mudah. Saya kira hal ini juga penting untuk disadari betul oleh para pelaku industri. Pasalnya saya sudah beberapa kali mendengar seperti ini, “menulis itu kan gampang, Bes…” Hmmm, bagi saya, jangan pernah mengaku bisa berbahasa jika belum bisa membedakan antara kata kerja, kata sifat, dan saudara-saudaranya. Itu tadi bahkan masih pengetahuan dasar berbahasa, belum sampai keahlian untuk merangkainya menjadi sebuah cerita karena masih ada soal kekayaan diksi, koherensi antar paragraf, penjabaran argumentasi, ataupun segudang hal lainnya. Ini juga masih soal berbahasa juga belum sampai soal kode etik jurnalistik.

Expertise inilah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan lebih variatif jika memang disadari oleh berbagai pelakunya, seperti beberapa contoh yang saya sebutkan tadi.

Akhirnya, bisa jadi saya memang bias dalam memandang peran media game di dalam ekosistem ini. Namun saya sangat percaya bahwa peran media sebagai ruang informasi dan edukasi terbuka yang bermartabat dan berpatutan punya andil besar sebagai salah satu dari pilar-pilar penting: media, komunitas (di dalamnya termasuk influencer, pekerja perorangan, dkk), EO, sponsor, tim/organisasi, dan publisher; dalam membangun industri esports yang berkesinambungan.

Sumber Header: IGN

Daftar Turnamen Esports Berhadiah Terbesar di Indonesia 2019

Menjadi atlet esports kini tak sekadar mimpi. Pemerintah Indonesia bahkan menyatakan rencananya untuk mengembangkan industri game dan esports untuk menyerap tenaga kerja. Turnamen esports kini bisa menarik perhatian hingga jutaan orang. Karena itu, jangan heran jika total hadiah yang ditawarkan bisa menyaingi kompetisi olahraga tradisional.

Di India, negara yang memiliki karakteristik serupa Indonesia, total hadiah turnamen esports pada tahun ini naik hingga 118 persen dari tahun lalu. Tahun ini, hype esports masih cukup tinggi, termasuk di Indonesia. Esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Setelah menjadi pertandingan eksibisi pada Asian Games tahun lalu, esports kini menjadi cabang olahraga dengan medali pada SEA Games. Dengan hype yang masih tinggi, tentu saja jumlah turnamen esports di Indonesia masih cukup banyak. Walau masih sedikit kalah jika dibandingkan dengan tahun lalu, total hadiah yang ditawarkan pun masih cukup fantastis.

Inilah beberapa turnamen esports berhadiah terbesar pada tahun ini.

1. Mobile Legends Professional League (MPL) Season 4 – Rp4.250.000.000 (US$300.000)

Selain menjadi turnamen dengan hadiah terbesar tahun ini, Mobile Legends Professional League (MPL) Season 4 juga menjadi liga esports pertama di Indonesia yang menggunakan sistem franchise league. Itu artinya, setiap tim yang hendak bertanding harus ikut menyumbangkan dana investasi. Dalam kasus ini, delapan tim yang tertarik untuk bermain di MPL Season 4 harus membayarkan dana Rp15 miliar. Meskipun sempat menuai pro dan kontra, MPL Season 4 tetap berjalan. Delapan tim yang bertanding antara lain Alter Ego, Aura, Bigetron, EVOS Esports, Geek Fam ID, Genflix Aerowolf, ONIC Esports, dan RRQ.

Berbentuk liga, MPL Season 4 berlangsung selama delapan Minggu, mulai pada 23 Agustus sampai 13 Oktober 2019. Pertandingan musim reguler akan diadakan di XO Hall, Tanjung Duren sementara babak final akan diadakan pada 26-27 Oktober 2019 di Tennis Indoor Senayan.

Sumber: Situs MPL S4
Sumber: Situs MPL S4

2. SEACA 2019 – Rp2.400.000.000

SEACA pertama kali diadakan tahun lalu. Tahun ini, UniPin Esports kembali menggelar SEA Cyber Arena (SEACA) . Kompetisi tersebut diklaim sebagai kompetisi terbesar di Asia Tenggara. SEACA akan diadakan di Balai Kartini pada 8-10 November 2019. Ada empat game yang akan diadu, yaitu Dota 2, Free Fire, Player Unknown’s Battleground (PUBG) Mobile, dan Tekken. SEACA menawarkan total hadiah Rp2,4 miliar. Kompetisi ini menggunakan sistem terbuka, yang berarti semua tim dan pemain, tak peduli apakah mereka pemain profesional atau amatir, boleh ikut serta dan memiliki kesempatan untuk menang.

3. Mobile Legends Profesional League (MPL) Season 3 – Rp1.700.000.000 (US$120.000)

Mobile Legends Professional League Season 3 dimulai dengan tahap kualifikasi online yang diadakan pada 9-13 Januari 2019. Setelah itu, babak Final Qualifier diadakan pada 24-27 Januari 2019. Sama seperti musim sebelumnya, delapan tim terbaik dari Online Qualifier harus bertanding dengan dua tim yang duduk di peringkat tujuh dan delapan pada Season 2.

Musim Reguler dimulai setelah babak kualifikasi selesai. Musim Reguler diadakan pada 16 Februari sampai 31 Maret 2019. Satu hal yang membedakan Season 3 dengan dua musim sebelumnya adalah jumlah tim. Kali ini, ada 12 tim yang bertanding, bertambah dari 10 tim pada Season 2 dan Season 1. Sebanyak enam tim dapat langsung bertanding di Musim Reguler berkat Direct Invite sementara enam tim lainnya dipilih dari Final Qualifier. Total hadiah dalam MPL Season 3 mencapai US$120 ribu atau sekitar Rp1,7 miliar.

4. Piala Presiden – Rp1.500.000.000

Jika MPL Season 4 adalah liga pertama (dan saat ini, satu-satunya) yang menggunakan model franchise, Piala Presiden adalah turnamen pertama yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia. Turnamen tersebut diselenggarakan dengan bantuan Indonesia Esports Premiere League (IESPL). Piala Presiden diadakan dengan tujuan untuk menjadi wadah bagi para gamers di Indonesia. Babak kualifikasi regional diadakan di delapan daerah, yaitu Palembang, Bali, Makassar, Surabaya, Manado, Bekasi, Pontianak, dan Yogyakarta.

Sumber: Piala Presiden Official Media
Tim Onic saat memenangkan Piala Presiden | Sumber: Piala Presiden Official Media

Piala Presiden dimulai pada 28 Januari 2019. Sementara babak final diadakan pada 30-31 Maret 2019 di Istora Senayan. Pada babak final, ada 16 tim yang bertanding. Selain mendapatkan uang, tiga tim terbaik di Piala Presiden juga berhak untuk ikut serta dalam Pelatnas sebagai persiapan untuk bertanding di SEA Games yang akan diadakan di Filipina.

5. ESL National Championship Season 1  – Rp1.400.000.000 (US$100.000)

ESL National Championship dimulai pada Januari dan berakhir pada Maret. Di sini, ada dua game yang diadu, yaitu Dota 2 dan Arena of Valor. Dalam group stage, delapan tim esports akan saling diadu dengan format single round-robin. Empat tim dengan poin terbanyak akan maju ke babak playoff. Baik pertandingan di grup stage atau semi-final menggunakan sistem Best of Three. Namun, pada babak final, sistem yang digunakan adalah Best of Five.

Dalam pertandingan Dota 2, BOOM.ID keluar sebagai juara, membuktikan bahwa mereka memang tim Dota 2 terbaik di Indonesia. Mereka berhasil keluar sebagai juara setelah memenangkan pertandingan dengan The Prime di semi-final dan mengalahkan Aura Esports pada babak final. Sementara di Arena of Valor, EVOS Esports berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Saudara e-Sports di babak final.

6. JD.ID High School League 2019 – Rp1.200.000.000

Sesuai namanya, JD.ID High School League ditujukan untuk pemain SMA atau setingkat. Ada tiga cabang kompetisi, yaitu liga Dota 2, turnamen Dota 2, dan turnamen Mobile Legends. Tujuan dari HSL adalah untuk melatih karakter para gamer muda yang nantinya akan menjadi bagian dari industri esports. Selain itu, dari HSL, juga diharapkan akan ditemukan gamer yang tidak hanya memiliki potensi untuk menjadi pemain profesional, tapi juga memiliki disiplin dan sportivitas tinggi.

High School League 2018.

7. Arena of Valor Star League Musim 3 – Rp1.000.000.000

Dalam dua musim sebelumnya, AOV Star League diadakan oleh Garena. Namun, ESL menjadikan ASL Season 3 dari program National Championship mereka. Meskipun begitu, mereka masih bekerja sama dengan Garena Indonesia untuk mengadakan turnamen ini. Menggunakan format liga, ASL berlangsung selama tiga minggu. Di sini, tujuh tim AOV terbaik di Indonesia yang akan bertanding dengan format double round robin. Itu artinya, semua tim akan bertemu dengan satu sama lain sebanyak dua kali sepanjang liga. Pemenang ditentukan menggunakan sistem Best of Three.

Ekspektasi akan ASL cukup tinggi. Tidak aneh, mengingat ESL memang sudah dikenal sebagai penyelenggara turnamen besar di dunia. Dalam konferensi media, ESL memang menjanjikan akan memberikan yang terbaik, baik dari segi penyelenggaraan turnamen maupun sisi broadcast. ASL dimulai pada 17 Juli 2019, sementara babak final diadakan pada 14 September di Tennis Indoor Senayan. Pada babak final, EVOS Esports bertemu dengan Saudara eSports, sebelum tim dengan loga macan itu keluar sebagai juara.

7. PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) 2019 – Rp1.000.000.000

PINC pertama kali diadakan pada 2018. Sama seperti ASL, babak final PINC 2019 juga diadakan di Tennis Indoor Senayan. Mengingat stadion khusus esports di Indonesia memang tidak banyak, bukan hal yang aneh jika akhirnya, exhibition hall atau mall juga digunakan sebagai tempat. Babak kualifikasi PINC diadakan di 48 kota, tapi hanya 16 tim terbaik yang bisa bertanding di PINC.

Pihak PUBG Mobile mengatakan, tujuan mereka mengadakan turnamen ini adalah untuk mengembangkan scene esports di Indonesia. Selain turnamen PUBG Mobile, PINC juga menawarkan hiburan lain, seperti Ladies Tournament, yang dimenangkan oleh Belletron eSports. Sementara tim yang berhasil menjadi juara dan membawa pulang Rp400 juta adalah EVOS Esports.

7. Indonesia Esports League (IEL) – Rp1.000.000.000

IEL Universities Series diadakan oleh Indonesia Esports Association (IESPA) dengan kerja sama dari MIX 360. Seperti namanya, IEL hanya akan mengadu para mahasiswa. IEL diikuti oleh 12 kampus. Menariknya, sama seperti Piala Presiden, IEL juga juga didukung oleh berbagai elemen pemerintahan, seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Tujuan dari IEL adalah untuk mencari talenta esports di kalangan mahasiswa.

Para peserta IEL masuk dalam kategori pemain semi-pro. Pihak MIX 360 mengatakan, untuk membantu para pemain semi-pro ini agar bisa maju ke tingkat profesional, mereka bekerja sama dengan meta.us dan Razer. Dengan diadakan IEL, diharapkan para pemain yang berbakat dapat memamerkan kemampuan mereka dan dilirik oleh tim profesional.

IEL University Series 2019 - UMN Dota 2
Tim Dota 2 Universitas Multimedia Nusantara

8. Bubu Esports Tournament (BEST) in IDBYTE – Rp750.000.000

Esports tengah booming. Bubu.com mengambil kesempatan ini untuk menjadikan esports sebagai tema dalam IDBYTE. Di sini, mereka tidak hanya mengadakan konferensi esports dengan mengundang pembicara ternama seperti COO Twitch, Kevin Lin tapi juga menggelar turnamen esports. Game yang diadu adalah PUBG Mobile. Total hadiah yang diberikan adalah Rp750 juta. Masing-masing turnamen pria dan perempuan memiliki total hadiah Rp290 juta, sementara Rp54 juta adalah hadiah talent hunt.

Shinta Dhanuwardoyo, CEO dan Pendiri Bubu.com serta Chairwoman IDBYTE Esports 2019 mengklaim bahwa BEST menawarkan prize pool terbesar untuk kompetisi esports perempuan di Asia Tenggara. Shinta ingin menjadikan turnamen esports untuk perempuan ini sebagai wadah bagi gamer perempuan untuk unjuk gigi. Harapannya, di masa depan, pemain perempuan dan laki-laki bisa bermain bersama tanpa harus memandang gender.

9. Free Fire Asia Invitational (FFAI) 2019 – Rp713.000.000 (US$50.000)

Indonesia terpilih untuk menjadi tuan rumah dari Free Fire Asia Invitational. Turnamen ini diadakan di ICE BSD pada September lalu. Dalam turnamen ini, ada 13 tim yang bertanding dari berbagai negara di Asia. Selain Indonesia, negara-negara yang mengirimkan tim di sini adalah Thailand, Taiwan, Vietnam, India, Singapura/Malaysia, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Ada tiga tim yang mewakili Indonesia di sini, yaitu RRQ Poseidon, EVOS Roar, dan Island of Gods. Tiga tim itu terpilih setelah masuk dalam tiga besar di Free Fire Summer League 2019. Island of Gods keluar sebagai juara dan membawa hadiah sebesar US1.000 atau sekitar Rp14,2 juta.

9. ESL Clash of Nations (SEA) Arena of Valor – Rp713.000.000 (US$50.000)

Dalam Clash of Nations, enam tim Arena of Valor dari Indonesia dan Asia Tenggara akan bertanding untuk memperebutkan gelar juara. Kompetisi tersebut diadakan di Jakarta International Expo (JIE) selama tiga hari, yaitu pada 29-31 Maret 2019. Dari enam tim yang bertanding, dua tim merupakan tim yang lolos babak kualifikasi ESL Indonesia Championship. Sementara empat sisanya merupakan perwakilan dari Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia/Singapura.

Babak playoff memiliki sistem double-elimination. Pemenang ditentukan menggunakan metode Best of Three, kecuali pada babak final, yang menggunakan sistem Best of Five. EVOS Esports berhasil menjadi juara satu setelah mengalahkan Devita dari Thailand.

Jika Anda membandingkan daftar turnamen dengan hadiah terbesar pada 2018 dengan 2019, Anda akan menemukan dua fakta menarik. Pertama, ada lebih banyak turnamen dengan hadiah sama atau lebih besar dari Rp1 miliar pada tahun lalu. Tahun ini, hanya ada 9 turnamen esports dengan hadiah setara Rp1 miliar atau lebih besar, sementara tahun lalu, ada 12 turnamen yang menawarkan hadiah setara atau lebih besar dari Rp1 miliar.

MPL Season 4 menjadi turnamen dengan hadiah terbesar pada tahun ini. Sementara tahun lalu, gelar itu dipegang oleh GESC: Indonesia Dota 2 Minor, walau keduanya menawarkan total hadiah yang sama, yaitu US$300 ribu. Hal ini sebenarnya memang tidak aneh, mengingat dua game esports paling populer di Indonesia memang game mobile.

Tahun 2019 memang belum berakhir. Namun apakah ada lagi turnamen lain yang bisa menawarkan total hadiah yang lebih besar dari US$300 ribu? Bagaimana dengan tahun depan? Apakah trennya akan menurun lagi rata-ratanya seperti dari 2018 ke 2019, meski nominal tertingginya masih di angka yang sama?

Emmanuel “QuanTel” Enrique Bicara Soal Komunitas StarCraft II dan SEA Games 2019

Kancah kompetitif StarCraft II, meski secara lokal jarang terdengar, namun game besutan Blizzard yang satu ini kerap dipertandingkan dalam kompetisi olahraga multi-cabang. Terakhir kali ada ASIAN Games 2018 yang menjadikan esports sebagai salah satu cabang eksibisi dan turut mempertandingkan StarCraft II. Hal ini, menurut saya, membuat StarCraft II jadi penting bagi Indonesia. Apalagi setelah kini SEA Games cabang esports juga turut mempertandingkan StarCraft II.

Membahas lebih lanjut soal ini, saya lalu mencoba berbincang dengan Emmanuel “QuanTel” Enrique, salah satu kontingen Indonesia untuk cabang esports StarCraft. Kami berbincang seputar komunitas StarCraft luar dan dalam negeri, serta seputar persiapan jelang SEA Games 2019 ataupun WESG SEA mendatang.

Akbar Priono (AP): Halo salam kenal QuanTel, pertama-tama selamat atas kemenangannya di WESG Indonesia Finals ya. Boleh perkenalan dulu mungkin bro QuanTel.

Emmanuel QuanTel (EQ): Ya terima kasih. Nama saya Emmanuel Enrique, usia 19 tahun, saya bermain race Protoss di StarCraft II, rank saya GrandMaster untuk saat ini.

AP: Quantel bermain StarCraft II sedari kapan? Lalu terjun ke ranah kompetitif sejak kapan?

EQ: Kalau StarCraft II sebetulnya baru main dari Januari kemarin, tapi sebelumnya saya sudah bermain StarCraft I (Brood War) dari tahun 2009. Saya terjun kompetitif sejak dari tahun 2017 kemarin, sejak StarCraft: Remastered dirilis.

AP: Apa yang membuat QuanTel memilih untuk kompetitif pada game StarCraft dan bertahan sampai sekarang?

EQ: Saya suka konsep Real-Time Strategy (RTS) yang disajikan dalam StarCraft, yang ada unsur mengatur ekonomi dan mengatur pasukan secara mikro. Saya juga banyak terinspirasi pemain pro StarCraft, yang membuat saya jadi ingin bermain seperti mereka.

Bisu, salah satu pemain StarCraft ternama di dunia Internasional. Sumber: Liquidpedia
Bisu, salah satu pemain StarCraft ternama di dunia Internasional. Sumber: Liquidpedia

Salah satu yang juga jadi inspirasi saya adalah Bisu, pemain asal Korea Selatan, yang juga bisa dibilang sebagai salah satu pemain legend di StarCraft. Secara permainan, dia itu punya kemampuan multitasking yang sangat baik di dalam game. Jadi dalam sekian detik dia bisa melakukan banyak gerakan. Kemampuan dia dalam mengendalikan unit secara satu persatu atau istilahnya micro-management dia juga sangat bagus.

Kalau alasan bertahan, menurut saya para penggemar RTS cenderung loyal sama game mereka. Kalau alasan saya sendiri adalah karena konsep permainan ini nggak bikin bosan ketika dimainkan. Setiap permainan selalu beda dan selalu ada hal yang bisa diperbaiki lagi di setiap permainan.

Selain itu, keikutsertaan StarCraft dalam event olahraga multi-cabang seperti ASIAN Games dan SEA Games juga jadi alasan lain saya bertahan di scene kompetisi ini. Jadi sebetulnya nggak terlalu masalah walaupun di tingkat lokal jarang ada kompetisi.

AP: Berhubung saya cukup awam dengan scene StarCraft, jadi sebetulnya bagaimana keadaan scene StarCraft secara internasional?

EQ: Scene StarCraft secara internasional menurut saya terus berkembang dari tahun ke tahun, apalagi setelah tahun 2017 StarCraft: Remastered rilis dan StarCraft II menjadi free-to-play. Dari segi kompetisi, secara jumlah event dan prizepool juga terus bertambah menurut saya.

AP: Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Bagaimana komunitasnya?

EQ: Di Indonesia juga terus berkembang. Tahun ini banyak pemain baru yang mulai ikut main. Bahkan, banyak juga pemain lama yang terjun lagi untuk ikut meramaikan komunitas StarCraft di Indonesia. Tanggal 5 Oktober 2019 kemarin juga ada kompetisi untuk pemain baru dengan hadiah Rp2 juta.

Komunitas StarCraft Indonesia saat menghadiri WESG Indonesia Finals kemarin. Sumber: Facebook Eliandy
Komunitas StarCraft Indonesia saat menghadiri WESG Indonesia Finals kemarin. Sumber: Facebook Eliandy

Lalu komunitas di Indonesia, saat ini kurang lebih yang aktif ada sekitar 70 member. Kalau kegiatan komunitas, selain event besar tahunan seperti SEA Games kita juga ada turnamen komunitas yang diadakan 3 bulan sekali. Antusiasme komunitas juga terbilang stabil bahkan terlihat ada peningkatan yang signifikan.

AP: Kalau menurut pengamatan saya, scene esports StarCraft terbilang stagnan atau mungkin menurun, gimana pendapat Quantel?

EQ: Sebetulnya nggak bisa dibilang menurun juga, dari tahun ke tahun grafik jumlah pemainnya juga terus meningkat. Apalagi StarCraft sendiri juga sudah mulai masuk event olahraga multi-cabang seperti ASIAN Games 2018 kemarin dan juga SEA Games 2019 yang mendatang.

AP: Pernah kepikiran untuk terjun ke scene esports lain? Mengingat RTS bisa dibilang nenek moyang MOBA, mungkin mencoba peruntungan di Dota 2 atau terjun ke scene esports mobile?

EQ: Mungkin untuk saat ini untuk kompetitif hanya StarCraft saja, kalau game lain sih hanya untuk iseng-iseng saja…..hehe.

AP: Oke lanjut membahas soal WESG dan SEA Games nih. Sejauh ini persiapannya sudah sampai mana dan gimana sih Bro QuanTel?

EQ: Kalau untuk WESG SEA Final, persiapan saya terbilang sudah cukup matang, karena bulan lalu sudah sempat melakukan training camp. Kalau untuk SEA Games, sepertinya masih perlu penyesuaian lagi, karena nanti setelah BlizzCon di bulan November akan ada balancing patch. Jadi tentunya gue harus sedikit menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

AP: Lalu kalau bicara soal SEA GAmes, menurut QuanTel gimana potensi Indonesia di pertandingan tersebut? Siapa yang akan menjadi lawan terberat nantinya?

EQ: Menurut saya potensi Indonesia di SEA Games sih sangat besar, karena kita sudah mempersiapkan strategi yang jitu untuk dipakai saat berlaga nanti. Cuma, memang masih butuh latihan sedikit lagi untuk mematangkannya.

Lawan terberat, Filipina. Alasannya karena mereka kuat dari segi build order. Maksud build order sendiri adalah urutan membuat bangunan atau unit. Jadi maksudnya unggul dari segi build order artinya mereka sudah menemukan urutan membuat bangunan dan unit yang efektif.

StarCraft II, game yang tidak hanya mengandalkan strategi pertarungan, tapi juga rencana dalam membangun markas. Sumber: Polygon
StarCraft II, game yang tidak hanya mengandalkan strategi pertarungan, tapi juga rencana dalam membangun markas. Sumber: Polygon

Selain itu mereka juga kuat dari segi macro-management. Maksud macro-management sendiri salah satunya termasuk dari sisi resource management. Jadi mereka bisa mengumpulkan resource yang banyak dengan yang cepat, dan paham cara spending yang efektif.

Kalau dari kami kontingen StarCraft untuk SEA Games, memang juga harus lebih mematangkan soal build order ini supaya tidak ketinggalan dari Filipina.

AP: Lanjut soal WESG, kalau lolos dari SEA kemungkinan kan akan bertemu sama Korea Selatan? Menurut QuanTel sendiri, sebetulnya apa sih yang membuat Korea Selatan itu jadi sangat hebat di StarCraft? Lalu, apa yang membuat Indonesia ketinggalan dengan hal tersebut?

EQ: Kalau di Korea Selatan, regenerasi pemain baru mereka bisa dibilang sangat cepat. Di sana mereka sudah bermain StarCraft sejak usianya di bawah umur 10 tahun, lalu umur belasan mereka sudah terjun ke kancah kompetitif. Jadi, menurut saya, jika game ini dikenalkan sedari dini; Indonesia juga bisa saja punya banyak pemain jago seperti di Korea Selatan sana. Tapi memang cukup sulit, karena StarCraft tidak begitu populer di Indonesia.

AP: Lalu bagaimana pendapat QuanTel terhadap keikutsertaan StarCraft II di berbagai kompetisi olahraga multi-cabang?

EQ: Menurut saya ini sangat positif bagi komunitas. Saya yakin akan banyak pemain baru yang jadi berminat untuk turut memainkan game ini setelah keikutsertaannya dalam ASIAN Games 2018 kemarin, dan juga tentunya SEA Games 2019 nanti.

AP: Oke, terakhir. Apa yang ingin QuanTel capai sebagai seorang pemain StarCraft? Juga, Apa harapan QuanTel terhadap esports StarCraft?

EQ: Kalau hal yang ingin dicapai, pastinya ingin dapat berkompetisi di tingkat paling tinggi. Bermain dengan pemain terbaik di dunia, harapan tertingginya mungkin bisa bermain di BlizzCon haha…semoga saja bisa kesampaian.

Kalau harapan untuk esports StarCraft, pastinya ingin StarCraft terus berkembang di Indonesia seperti negara-negara tetangga. Lagi-lagi berkaca ke Korea Selatan, di sana bahkan game ini sudah seperti menjadi budaya. Maka dari itu mengingat StarCraft sudah dipertandingkan di kompetisi olahraga multi-cabang, harapannya ini juga akan membantu mengembangkan komunitas StarCraft di Indonesia.

AP: Oke QuanTel, terima kasih atas waktunya, good luck untuk perjuangannya di WESG dan juga SEA Games 2019 nanti!

EQ: Sama-sama, terima kasih juga atas dukungannya.

QuanTel akan bertanding di WESG SEA dan juga cabang esports SEA Games 2019 pada sekitar bulan Desember 2019 mendatang. Semoga QuanTel bisa mendapatkan hasil yang terbaik dan membanggakan nama Indonesia di tingkat Asia Tenggara!

[Featured] Mengulik Tantangan Stadion dan Venue Esports di Indonesia

Tahun ini, esports menjadi bahan pembicaraan hangat. Tidak heran, dengan jumlah penonton hampir mencapai satu miliar orang, esports kini menjadi industri bernilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, sebenarnya, turnamen esports besar sudah diadakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Intel Extreme Extreme Masters yang telah diadakan sejak 2014 atau League of Legends Championship untuk Amerika Utara yang dimulai sejak 2015. Turnamen besar ini biasanya mendundang penonton yang tidak sedikit. Para penyelenggara turnamen seperti ESL biasanya menggunakan stadion untuk menyelenggarakan turnamen tersebut. Misalnya, babak akhir IEM biasanya diadakan di Spodek, Katowice, Polandia. Spodek adalah komplek multifungsi dengan kapasitas penonton mencapai 11.500 orang. ESL harus menggunakan komplek multifungsi karena memang saat ini, belum banyak stadion khusus esports dengan kapasitas besar.

Menurut data dari The Esports Observer, stadion khusus untuk esports dengan kapasitas lebih dari 400 tempat duduk sebenarnya telah ada sejak 2013. Ialah Nexon E-sports Stadium dengan kapasitas 436 orang yang terletak di Seoul, Korea Selatan. Stadion khusus esports dengan kapasitas terbesar berada di Tiongkok, yaitu Zhongxian E-sports Stadium, yang dibuka pada 2018. Stadion yang terletak di di Chongqing itu memiliki luas 5.574 meter persegi dan kapasitas 7.000 orang. Pada tahun yang sama, Texas juga membuka stadion khusus esports dengan luas lebih dari 9.200 meter persegi dan kapasitas 1.000 orang. Anda bisa melihat daftar stadion esports dengan kapasitas di atas 400 orang pada tabel di bawah.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Allied Esports Entertainment dan Bisnis Stadion Esports

Di Amerika Serikat, satu nama yang dikenal ketika membahas soal bisnis stadion esports adalah Allied Esports Entertainment. Perusahaan itu berdiri ketika Black Ridge Acquisition Corp (BRAC) mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises. Pada awalnya, BRAC adalah perusahaan tempurung dari perusahaan minyak dan gas yang dibuat hanya untuk mengakuisisi perusahaan lain. Setelah mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises pada Agustus lalu, BRAC banting setir dari sektor energi ke esports.

Di situs resminya, Allied Esports Entertainment mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang menaungi beberapa stadion dan fasilitas produksi konten. Memang, dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang, 4 di antaranya ada di bawah manajemen Allied Esports Entertainment. Namun, bukan berarti perusahaan itu mendapatkan untung besar. Allied Esports Entertainment mengatakan, sebelum akuisisi, Allied Esports dan WPT Enterprises mengalami kerugian sebesar US$3,9 juta pada semester pertama 2019. Sementara selama 2018, keduanya mengalami kerugian sebesar US$31 juta. Meskipun begitu, kepada The Esports Observer, juru bicara Allied Esports Entertainment mengaku optimistis. Dia berkata, “Ke depan, kami percaya diri dengan strategi kami dan kami akan memanfaatkan momentum pada semester pertama 2019, ketika pendapatan kami naik 40 persen.”

HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: Hyperxgaming
HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: hyperxgaming

Menariknya, kerugian yang dialami Allied Esports dan WPT Enterprises tidak menghentikan TV Azteca dan Simon Property Group untuk mengucurkan dana investasi pada Allied Esports Entertainment. TV Azteca dan Simon Property Group masing-masing menanamkan US$5 juta pada Allied Esports Entertainment. Sebagai perusahaan properti, Simon Property mendapatkan US$5,66 miliar pada 2018. Investasi mereka pada Allied Esports Entertainment terbilang kecil. Pihak Simon menjelaskan, mereka tertarik untuk melakukan investasi di ranah esports karena mereka ingin melihat dampak adanya tempat khusus esports pada jumlah pengunjung dan kebiasaan belanja konsumen di pusat perbelanjaan mereka. Bersama Allied Esports Entertainment, Simon membuat longue Allied Esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.

“Fokus kami adalah menyediakan tempat bagi komunitas untuk berkumpul, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbelanja, makan, dan menikmati hiburan,” kata Executive Vice President dan COO of Development, Simon, Mark Silvestri, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Esports adalah cara inovatif bagi kami untuk memperkuat aspek komunal dengan format baru yang unik agar dapat menarik perhatian banyak orang.” Menurut Simon, sukses atau tidaknya pengintegrasian longue esports ke mall mereka akan didasarkan penerimaan pengunjung mall akan keberadaan tempat khusus esports ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, arena khusus esports masih belum banyak. Salah satu perusahaan yang memiliki stadion khusus esports adalah Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Namun, tidak sedikit turnamen yang diadakan di pusat perbelanjaan seperti Mall Taman Anggrek atau exhibition hall seperti Jakarta International Expo. Pihak penyelenggara memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan tempat untuk turnamen esports. Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memilih tempat turnamen esports adalah besarnya turnamen tersebut.

“Kalau level nasional, offline to online, dengan kapasitas dua sampai tiga ribu penonton dan tribune seat, mungkin Tennis Indoor Senayan atau Britama Kelapa Gading sangat oke supaya bisa dapat dokumentasi yang legendary,” kata Rezaly ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id via pesan singkat. “Itu hanya untuk turnamen satu game. Tapi, kalau turnamen multigame, bisa gunakan exhibition hall seperti Kartika Expo, JIE Expo, atau Mall Taman Anggrek.”

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Penonton ESL Indonesia Championship Season 2 di Tennis Indoor Senayan. | Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah tempat lokasi. “Kayak ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga sepreti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Senada dengan Rezaly, Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing and Creative MET Indonesia juga mengatakan bahwa kapasitas tempat dan kemudahan akses memang faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu, spesifikasi tempat, seperti luas area, kemungkinan untuk dekorasi tempat, adalah hal lain yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara.

Dunia Games adalah salah satu dari sedikit eksibitor yang memiliki arena khusus esports. Meski enggan untuk menyebutkan jumlah investasi untuk membangun DG Esports Stadium yang terletak di Pluit Selatan, Rezaly mengungkap bahwa proses touchup stadion itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Stadion tersebut biasanya digunakan untuk acara kelas menengah, dengan jumlah penonton sekitar 300-400 orang. “Di kantor juga ada ruangan di vertical garden atau diorama lantai 10. Ada LED khusus di sana, tinggal dipakai. Kalau untuk grassroot level, selain cafe, kita juga memaksimalkan penggunaan kantor GraPari di 141 titik di Indonesia.”

Rezaly mengaku, saat ini, mencari klien yang mau mengadakan turnamen di DG Esports Stadium adalah hal yang menantang. Memang, dia menjelaskan, ada banyak turnamen online yang diadakan. “Tapi, kalau offline, selain publisher atau BEKRAF, tahun ini tidak banyak yang mau investasi besar-besaran. Karena klien lebih memilih untuk menggunakan mall untuk acara kelas menengah karena jumlah penonton yang cenderung aman,” katanya. “Tapi, untuk High Grounds, Dunia Games atau Liga Games, yang punya stadion untuk in-house production, itu masih oke. Toh ada bisnis utama yang menghitung fasilitas sebagai aset.” Padahal, dia memperkirakan, jika penyelenggara menggunakan stadion khusus esports, mereka bisa menghemat biaya hingga 40-60 persen. Tidak hanya itu, pihak penyelenggara juga tak lagi direpotkan dengan mobilisasi peralatan atau internet. Karena, biasanya tempat khusus untuk esports sudah dilengkapi dengan semua itu.

AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com
AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com

Reza dari MET Indonesia, setuju dengan pendapat Rezaly. “Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujarnya, melalui pesan singkat.

“Kalau diselenggarakan di mall, ada opportunity penonton yang datang lebih banyak, tergantung dari trafik mall-nya sendiri,” kata Reza. “Tapi, setiap mall juga pasti memiliki aturan-aturan yang membatasi keleluasaan penyelenggara event, misalnya seperti ukuran panggung yang terbatas, pencahayaan yang tidak boleh terlalu gelap, dan lain-lain. Sedangkan kalau di venue khusus esports, hal-hal seperti itu bisa lebih dikustomisasi sehingga penyelenggara bisa lebih mengeskplorasi ide-ide untuk membuat event yang lebih out of the box.” Dia memberikan Regular Season MPL ID S4 sebagai contoh. Dia bercerita, MET Indonesia menyelenggarakan kompetisi itu di tempat khusus berupa hall kosong. Dengan begitu, mereka bisa menghias ruangan sesuai kebutuhan agar penonton dan pemain bisa merasa lebih nyaman. “Sejauh ini, review-nya positif. Semua senang dan penonton yang hadir setiap harinya bisa mencapai 400 orang dan bahkan mencapai 1000 orang kalau big match.”

Menurut Reza, salah satu masalah yang ditemui oleh penyelenggara ketika tidak ada tempat khusus untuk acara esports adalah terkait jadwal. “Padatnya jadwal penggunaan tempat sehingga penyelenggara harus berebut dengan acara konvensional lain dan spesifikasi tempat yang belum sesuai dengan kebutuhan turnamen,” katanya. “Namun tantangan ini dapat ditanggulangi selama penyelenggara sanggup untuk memproduksi kebutuhan dekorasi panggung dan interior lainnya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara tersebut.”

Potensi Bisnis Stadion Esports di Indonesia

Ketika ditanya tentang potensi bisnis pembangunan stadion khusus esports, Rezaly mengatakan investasi besar yang digelontorkan untuk membangun stadion tersebut tidak dapat kembali dalam waktu singkat. “Kalau untuk komersil jangka pendek, jujur, saran saya, lebih baik dikalkulasi ulang. Karena investasi dan biaya operasinya berat,” ungkap Rezaly. Meskipun begitu, dia merasa bahwa Telkomsel tidak menyesal untuk membuat DG Esports Stadium. “Ya worth it, jika dihitung nilai PR-nya. Tapi kalau dari segi komersil, masih challenging,” akunya. Masalah utama yang mereka hadapi saat ini adalah mencari klien.

DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com
DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com

Menariknya, meskipun Rezaly mengatakan mencari klien untuk DG Esports Stadium tidak mudah, dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan Telkomsel akan membuat arena khusus esports lain. “Terutama untuk luar Jawa alias Indonesia Timur dan Sumatera,” ujarnya. “Kita ada beberapa titik Loop Station yang didesain agar bisa menjadi gamers hub juga.” Informasi tambahan, Loop Station adalah kantor layanan Telkomsel yang menargetkan anak muda, yang merupakan pelanggan Loop. Berbeda dengan GraPARI yang merupakan kantor layanan Telkomsel biasanya, Loop Station dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga ia cocok untuk digunakan sebagai tempat hangout. “Karena ada LED besar dan koneksi internet di Loop Station, tinggal manage komunitas lokal untuk isi acaranya.” Dia menceritakan, bagi Telkomsel, membuat acara pada level grassroot lebih menarik. “Karena kami juga harus memberikan pelayanan ke pelanggan kami di rural area. Di sana, tidak ada hiburan. Games itu bisa mempersatukan merek non-endemik seperti kami ke generasi milenial.”

“Di luar Jawa, masih ada potensial untuk menggarap berbagai kegiatan sebagai jalur agar gamers di kawasan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi champion di wilayahnya dan berlanjut ke nasional. Karena di kota-kota besar dan Jakarta, kan sudah banyak tim pro. Mereka pasti sudah minder duluan,” ungkap Rezaly. Dia mengatakan, Telkomsel rutin mengadakan turnamen setiap minggu pada level yang berbeda-beda. “Baik kelas warung, ruko, cafe, sampai dengan mall. Yang online juga, kita maintain sendiri para pemainnya di platform turnamen Dunia Games dengan WhatsApp atau Discord.” Salah satu alasan Dunia Games lebih tertarik untuk mengembangkan komunitas di luar Jawa adalah potensi pendapatan yang lebih besar. “Secara revenue untuk top up voucher, pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa, walau jumlah pengguna data dan smartphone tetap lebih banyak di Jawa. Namun, keinginan untuk membeli, lebih merata di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Sumatera.”

Industri esports melibatnyak banyak pelaku, mulai dari developer dan publisher game, tim dan atlet profesional, sampai penyelenggara turnamen. Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab untuk membuat stadion esports? Soal ini, Reza menjawab, “Pada dasarnya semua pihak yang ingin mendorong perkembangan ekosistem esports bisa saja turun tangan untuk penggarapan venue khusus esports, karena semua yang bersinggungan dengan esports bisa memanfaatkan adanya venue tersebut.” Dia mengaku, sebagai penyelenggara, MET juga memiliki rencana untuk membuat tempat khusus esports. Sayangnya, dia enggan untuk membagikan informasi lebih lanjut.

NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid
NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid

Selain DG Esports Stadium, Anda juga bisa menemukan NXL Esports Center di The Breeze, BSD City. Satu hal yang menarik dari NXL Esports Center adalah karena ia merupakan gaming house yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tidak hanya itu, Anda bahkan bisa mengasah kemampuan Anda bermain game di sini. “Tempat kita itu utamanya untuk tempat latihan, tempat tanding, pengajaran, shooting, stream, mini museum, dan toko offline,” kata Richard Permana, CEO dari TEAMnxl> saat dihubungi melalui pesan singkat. “Para atlet kami datang setiap hari untuk latihan sekaligus bertanding. Untuk sesi pengajaran, biasanya di akhir minggu kami undang pengajar yang paling kompeten di game tersebut. Ke depan, event pengajaran mau kami level up lagi. Jadi, orang sekali bayar, ikut kelasnya misalnya lima kali dalam satu bulan.”

[In-Depth] Karena Passion di Esports Saja Tidak Cukup

Sejak 2018 kemarin, perputaran uang di industri esports Indonesia memang sudah mencapai miliaran Rupiah. Menurut catatan kami di Hybrid, kompetisi dengan total hadiah yang ‘hanya’ mencapai Rp1 miliar saja tidak masuk daftar 10 turnamen dengan hadiah terbesar di 2018.

Gemerlap dan hingar bingar esports juga mungkin membuat banyak orang awam takjub dengan industri baru ini. Namun demikian, dari perbincangan saya dengan sejumlah orang-orang di belakang layar, ada sebuah kekhawatiran tentang bagaimana industri dan ekosistem esports di Indonesia bisa sustain untuk jangka panjang dan scaling ke tingkat yang lebih tinggi ataupun lebih lebar.

Berhubung saya kebetulan sudah bekerja di industri game (khususnya media) dari 2008, menurut saya pribadi, ada satu kekurangan utama yang menjadi penyebab kekhawatiran atas sustainability dan scalability di industri game dan esports Indonesia yakni: minimnya kapasitas (skills, knowledge, dan perspectives) dan romantisme hiperbolis atas passion. Hal ini juga disadari oleh Yohannes Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD; sekaligus pionir yang membawa esports masuk ke dalam institusi pendidikan formal kala ia menjabat sebagai Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD.

Menurutnya, banyak orang di esports Indonesia saat ini memang tidak mengenal bidang yang ia geluti. Ia memberikan pengandaian seperti seorang ABG yang baru saja punya pacar. ABG tersebut hanya tau yang sebatas kasat mata, seperti namanya siapa, mukanya cantik atau tidak; namun ia tidak memahami level yang lebih mendalam seperti kepribadian, kebutuhan, idealisme, tujuan hidup, impian, dan lain sebagainya.

Masalah kompetensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama di industri ini; bahkan ketika esports belum sebesar sekarang ini. Namun, satu pertanyaan dari kawan saya, Wibi Irbawanto (yang mencoba menggalakan kesadaran dan kebutuhan soal legalitas dan hukum di esports), yang membuat saya akhirnya ‘terpaksa’ menuliskan artikel ini.

Pertanyaannya kala itu ke saya adalah, “apa yang terjadi jika pertumbuhan industri di esports tidak berbanding lurus dengan kapasitas para profesional yang menjalankannya?”

Faktanya, hal tersebut sebenarnya sudah terjadi meski memang gap antara pertumbuhan industri dan kapasitas para profesionalnya memang belum terlalu besar; karena nilai industrinya sendiri juga masih imut-imut menurut saya. Tribekti Nasima, salah satu penggiat esports Indonesia kelas kakap yang juga sudah malang melintang bekerja dari berbagai elemen ekosistem seperti publisher, tim esports, ataupun event organizer ini juga menyatakan keresahannya saat saya ajak berbincang. Menurutnya, rendahnya kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) yang memunculkan keresahan atas keberlanjutan (sustainabilityesports Indonesia. “Uangnya (industri esports) ada buat sustain tapi kualitas (SDM) nya yang sangat minimalis.” Ujarnya.

Contoh pertama adalah soal konten di ekosistem dan industri game (termasuk esports) di Indonesia. Karena pengalaman saya yang memang lebih banyak di media dan konten, izinkan saya mengutarakan pendapat soal ini.

The Bad

Para pembuat konten dan para pengambil kebijakannya di industri ini masih banyak sekali yang berpatokan pada kuantitas semata, mengesampingkan kualitas, dan bahkan mengorbankan banyak hal lainnya demi kuantitas tadi (seperti reputasi, hubungan baik dengan ekosistem, ataupun paradigma tentang industrinya itu sendiri).

Menurut saya pribadi, salah satu penyebabnya ada di kapasitas orang-orang itu yang memang masih minim. Maksud saya seperti ini, setiap pelaku industri tentu harus punya tolak ukur keberhasilan di ranahnya masing-masing namun karena kapasitasnya masih minim mereka baru mampu melihatnya dari sisi kuantitas. Saya percaya bahwa setiap orang ingin juga mengukur seberapa bagus hasil karya/produksi mereka sendiri namun, karena keterbatasan tadi, acuan yang yang paling mudah digunakan adalah angka-angka yang terpampang jelas seperti jumlah subscriber, follower, pageviews, users, dan lain sebagainya.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Argumentasi saya ada dua. Pertama, produk kreatif tak bisa hanya ditakar dari segi kuantitatif. Misalnya saja antara seri Lord of the Rings (Tolkien), seri Harry Potter (Rowling), atau malah Fifty Shades of Grey (James). Buat yang benar-benar tahu soal karya populis, saya kira jawabannya sudah jelas mana yang menang dalam soal plot, penokohan, penyajian cerita, ataupun soal pengaruhnya ke ekosistem di sekitarnya. Lainnya, andai dunia kreatif hanya mengenal popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan, mungkin kita tidak akan punya nama-nama besar seperti Jostein Gaarder, Dream Theater, Quentin Tarantino, George Carlin, dan kawan-kawannya.

Sumber: QuoteFancy
Sumber: QuoteFancy

Kedua, popularitas/viralitas itu tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan. Kita mungkin memang hidup di jaman duopoli digital oleh Google dan Facebook yang sangat besar pengaruhnya terhadap pola pikir banyak orang, termasuk para pembuat konten. Berkat kedua perusahaan raksasa tadi, para produsen konten digital dan orang-orang di sekitarnya (seperti sponsor, pengiklan, dkk.) jadi seolah tak mampu berpikir kritis dan menemukan alternatif dari popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan dan keuntungan.

Padahal, kenyataannya, popularitas dan keuntungan perusahaan tidak selalu berbanding lurus. Setelah artikel ini, saya akan lebih detail membahas soal media dan konten karena bisa jadi terlalu panjang untuk dijabarkan semuanya di sini. Namun, satu hal yang pasti, kenapa saya bisa bilang popularitas atau kuantitas itu tak selalu berbanding lurus dengan keuntungan perusahaan; karena kelas sosial dan ekonomi itu nyata, sedangkan Google dan Facebook belum mampu mengukur hal tersebut…

Contoh lainnya adalah dari sisi bisnis event di esports. Dari beberapa obrolan saya dengan sejumlah sponsor yang sudah mencoba masuk ke esports, ada sejumlah kekecewaan yang mereka utarakan. Untuk membahas hal ini, saya pun menghubungi kawan saya lainnya, Kris Ardianto yang sekarang menjadi Head of Business Development untuk MET Indonesia. Keistimewaan kawan saya yang satu ini, dibanding orang-orang bisnis lain yang bekerja di perusahaan esports di Indonesia sekarang, ada di pengalamannya yang pernah bekerja untuk perusahaan-perusahaan endemic kelas kakap, seperti NJT (salah satu distributor hardware PC terbesar di Indonesia), NVIDIA, dan ASUS. Karena sebelumnya ia bertanggung jawab mengurus masalah penjualan, pemasaran, dan penjenamaan, ia jadi pernah merasakan bagaimana berada di posisi sponsor. Perspektifnya tentu saja berbeda dari orang-orang bisnis lain yang belum pernah merasakan di posisi yang sama.

Kekecewaan yang diutarakan oleh beberapa sponsor tadi, menurut saya, memang karena banyak pelaku di industri ini masih terlalu mengagungkan yang namanya viewership. Kris pun setuju soal ini. Ia memang tidak menafikkan pentingnya viewership namun tidak hanya itu yang harus dipikirkan oleh para penyelenggara event esports. “Viewership itu ibarat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Penting memang tapi kemampuan seseorang yang sebenarnya kan tidak bisa hanya diukur dari sana.”

Menurutnya, sponsor event di jaman sekarang pasti juga sudah mengejar ke arah engagement ataupun activation. Bentuk konkretnya seperti apa? Kris pun memberikan beberapa contoh. Pertama, ada sponsor yang ingin menargetkan product experience. Ada juga yang ingin langsung mengejar transaksi atau penjualan. Menurutnya, penyelenggara acara yang baik juga seharusnya mampu merumuskan dan menjalankan campaign seperti apa yang diinginkan sponsor.

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3 yang merupakan garapan dari MET Indonesia. Dokumentasi: Hybrid

“Kalau memang ada yang kecewa, itu berarti ada ekspektasi sponsor yang tidak tercapai. Sampai hari ini, selama saya kerja di MET, belum pernah ada sih sponsor yang kecewa.” Ujar Kris yang memulai kariernya sejak 2009.

Lalu apa rule of thumb untuk mereka yang ingin terjun jadi orang bisnis? Saya pun bertanya. “Know your market. Know your product. Semuanya harus based on data. Memang ga bisa kalau nekat.”

Dua contoh konkret tentang pemahaman pasar yang ia maksud tadi misalnya adalah berapa banyak kompetitor di pasar ini dan seberapa besar pasarnya? Selain 2 itu tadi, ada satu skill lagi yang dibutuhkan di semua profesi termasuk bisnis, yaitu komunikasi. “Contohnya di ranah bisnis soal komunikasi itu ya soal mencari tahu ekspektasi klien. Kalau sampai ekspektasinya bisa ga sinkron ya berarti skill komunikasinya yang kurang.”

Namun demikian, di sisi lain, Joey (panggilan Yohannes Siagian) juga menambahkan soal ketidaksesuaian ekspektasi bisnis. Menurutnya, “Sebagian masalah soal kekecewaan sponsor tentang esports itu datang dari mereka juga sih. Mereka cuma melihat angka-angka viewer dan mendengar popularitas esports. Tapi mereka tidak punya orang yang benar-benar paham esports. So they make bad or misinformed investments, then they are disappointed with results.”

Itu tadi beberapa contoh konkret dari yang saya lihat di ekosistem kita sekarang. Namun demikian, terlalu picik juga rasanya jika kita tidak mencoba mencari tahu akar permasalahannya. Daniel J. Boorstin, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge.”

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Joey. “Banyak juga orang esports yang sangat tertutup mengenai input dari luar pemahaman mereka mengenai esports. Tidak sekali dua kali saya mendengar dari orang yang dianggap ‘ahli’ bahwa “ini kan esports”, berbeda dengan olahraga atau bidang lainnya. Ada semacam pandangan di antara beberapa komponen ekosistem bahwa esports itu bidang yang unik dan berbeda yang tidak bisa dipahami oleh orang dari luar ekosistem esports.

Menurutnya, hal itu juga lah yang menyebabkan banyak pelaku di esports yang hanya punya parameter kesuksesan itu-itu saja.

Berhubung saya memang fans beratnya Socrates, saya percaya bahwa hal terpenting yang harus dimiliki setiap manusia untuk berkembang adalah kesadaran diri bahwa kita memang belum tahu apa-apa tentang hidup, dunia ini, dan segala macam yang ada di dalamnya. Sebaliknya, merasa sudah tahu dan berhenti bertanya membuat kita terjebak dalam kebodohan kita sendiri.

Sebenarnya ada satu lagi penyebab yang diutarakan oleh Yohannes mengenai minimnya kompetensi di antara para pelaku esports. “Overall, the whole esports industry is lacking experience; and I’m not just talking esports experience but things like life experience and maturity as well. The average age in the esports industry is pretty low in comparison to other fields that have similar amounts of money flowing through it.

Di satu sisi, saya setuju dengan pendapatnya bahwa usia dari kebanyakan para pelaku esports yang relatif muda – jika dibandingkan dengan nominal uang yang berputar di dalam industri ini – memang bisa berarti minimnya pengalaman, baik soal pengalaman hidup ataupun pengalaman sebagai seorang profesional. Saya percaya minimnya pengalaman hidup (personal) dan bekerja (profesional) memang berpengaruh terhadap kekayaan perspektif ataupun tingkat kesadaran menjalani proses namun, di sisi lain, saya harus menambahkan perspektif saya agar hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Pertama, saya percaya bahwa usia dan kedewasaan berpikir itu bisa saja tidak berbanding lurus. Maksudnya, ada orang-orang yang masih muda tapi cukup dewasa dalam berpikir. Sebaliknya, ada juga generasi tua yang berpikir kekanak-kanakan. Di sisi lainnya, usia muda ataupun minimnya pengalaman itu tidak bisa jadi alasan untuk malas belajar dan lamban menyadari proses.

The Solution

Lalu, bagaimana solusinya?

Sumber: Instagram ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Sebelum ke sana, saya harus tegaskan bahwa bukan berarti tulisan ini menihilkan pentingnya passion di esports. Bagaimana pun juga, saya percaya passion tetap bisa jadi landasan yang baik untuk menggeluti dan belajar di satu bidang. Namun, seperti judulnya, tujuan saya menuliskan artikel ini adalah untuk menyuguhkan argumentasi agar kita semua tidak terjebak dalam romantisme passion yang terlalu hiperbolis karena ada hal-hal lanjutan yang harus disadari dan dipelajari.

Jika kita berbicara soal solusi, ada 2 yang opsi yang sebenarnya bisa dipilih atau dijalankan bersama-sama. “Salah satunya menarik SDM berkualitas masuk. Karena orang bagus akan menarik orang-orang bagus juga. Namun pertanyaannya adalah bagaimana caranya membuat orang-orang tersebut tertarik masuk ke esports.” Ujar Bekti.

Hal ini sebenarnya jugalah yang sudah dilakukan oleh MET Indonesia. Selain kawan saya Kris tadi, ada juga beberapa nama profesional berpengalaman dari industri terkait yang ditarik ke MET Indonesia, seperti Reza Afrian Ramadhan (Head of Marketing MET Indonesia) ataupun Herry Wijaya (Head of Operation MET Indonesia).

Sayangnya, nama-nama di atas memang berasal dari industri terkait. Reza sebelumnya dari ASUS dan Acer. Sedangkan Herry merupakan salah satu senior di ranah EO esports Indonesia yang paling dipandang. Menarik saja rasanya, menurut saya, andai ada para senior dari industri non-endemik (perbankan, hukum, properti, dkk.) yang berubah halauan ke esports karena ada perspektif baru yang bisa ditawarkan. Itulah sebabnya, Yohannes Siagian sering jadi target narasumber saya di banyak artikel berat (wkakwkkwa) karena ia sudah mengantongi belasan tahun pengalaman dari industri pendidikan.

Mencari orang-orang yang tepat dan punya jam terbang tinggi di spesialisasi tertentu itu, bagi saya, salah satu cara yang tepat untuk memperbesar peluang kesuksesan sebuah perusahaan ataupun keseluruhan ekosistem. Sayangnya sampai hari ini, tidak sedikit juga yang masih meremehkan ranah-ranah tertentu.

Mungkin memang gampang kalau yang dikejar adalah kualitas KW 2; namun untuk tingkatan yang benar-benar dapat dijaga konsistensi kualitas atau performanya, saya kira hal tersebut tidak mudah diberikan. Ibaratnya, anak SD saja juga bisa masak mie instant ataupun merebus air. Tapi untuk meracik hidangan yang sekelas hotel ataupun restoran bintang 5?

Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian
Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian

Selain solusi pertama menarik orang-orang yang memang sudah punya kapasitas (baik dari industri endemik ataupun non-endemik), solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memaksa para profesional yang sudah ada di industri esports sekarang (ataupun akan datang) untuk belajar dengan cepat dan terbiasa untuk melihat segala sesuatunya dari beragam perspektif.

Ada banyak sekali hal yang bisa dikejar untuk meningkatkan kemampuan, tergantung dari skill yang diinginkan. Menurut Bekti, misalnya, buat yang ingin jadi orang bisnis, mereka bisa baca Never Eats Alone (Keith Ferrazi & Tahl Raz) ataupun buku-buku lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan skill jualan. Di sisi lain, jika yang dibutuhkan adalah posisi Project Manager (PM), “PM itu kan paling utama ada di organizational skill nyaJadi, harus belajar terstruktur. PM itu juga harus mempelajari semua hal yang dikerjakan oleh anak buahnya sehingga bisa menakar beban kerja masing-masing anggotanya. Belajar stress management dan self development itu juga saya kira penting buat yang mau jadi PM berkualitas.” Ujarnya.

Buku-buku teori tentunya bisa jadi sumber utama bagi mereka-mereka yang memang serius ingin belajar. Namun, berhubung saya tahu kadang waktu kita sebagai para pekerja sudah tidak sebanyak dibanding saat kita kuliah dulu, berbagai video seminar bisa jadi semacam ‘cemilan sehat’. Artikel-artikel panjang seperti yang kami coba tawarkan di Hybrid (Meninjau Kembali tentang Tren BA Esports Cantik di Indonesia: Sebuah OpiniUpaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 IndonesiaRegenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi, dkk.) juga sebenarnya bisa jadi langkah awal untuk mengusik rasa keingintahuan. Promosi dulu yak… Wkwkawkwak.

Berbicara soal belajar, saya kira saya juga harus membahas soal ilmu yang kita dapatkan dari institusi pendidikan formal. Pasalnya, menurut saya, ada salah kaprah yang terjadi di pola pikir kaum muda termasuk di para pekerja esports. Dari perbincangan saya dengan banyak orang, tidak sedikit yang percaya bahwa ilmu yang didapat di bangku kuliah itu tidak relevan lagi termasuk di bidang esports.

Memang, belajar itu bisa dilakukan di mana pun kita berada; tak harus terkurung di ruang-ruang edukasi formal. Memang, tidak semua teori yang kita dapatkan saat sekolah dan kuliah itu punya nilai pragmatis di setiap desk job kita sebagai seorang profesional. Namun, saya sungguh percaya mindset dan logika berpikir yang bisa dipelajari dari ruang pendidikan formal itu bisa digunakan di setiap keputusan kita (jika memang disadari dan dipahami).

Misalnya, mereka-mereka yang belajar dan memahami aljabar linear bisa mencari logika apa yang ada di balik sistem itu. Saya sendiri yang lulusan Fakultas Sastra juga bisa menggunakan mindset storytelling (atau malah teori Hegemoni dari Gramsci) yang saya dapatkan saat saya kuliah dulu dalam banyak hal yang saya lakukan sebagai seorang pekerja sekarang: bagaimana bercerita tentang perusahaan, produk, event, atau apapun. Setidaknya menurut Yuval Noah Harari, cerita dengan kekuatan narasi yang istimewa bahkan mampu menguasai dunia.

Saya sungguh percaya ada banyak benang merah yang bisa ditemukan dari teori-teori yang kita dapat di institusi pendidikan formal dengan yang kita hadapi sehari-hari (personal ataupun profesional), asalkan kita memang mampu memahaminya di tingkat yang paling dalam.

The Good News

Meski penjabaran dan argumentasi saya tadi mungkin terasa pesimistis, perspektif positif sebenarnya juga bisa digunakan untuk membaca kondisi esports kita sekarang ini.

Dengan kapasitas SDM saat ini saja, esports Indonesia sudah berhasil menarik perhatian banyak pihak dan mengalirkan dana yang lumayan. Bayangkan jika SDM nya bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi…

Saya sudah berada di industri ini cukup lama dan melihat naik turunnya bak jungkat-jungkit. Bagi saya, hal ini tidak bisa dimaklumi, apalagi dijadikan pembenaran. Jujur saja, ambisi pribadi saya saat ini adalah bagaimana industri ini tidak kehilangan momentumnya sehingga bisa terus berkembang dan memakmurkan semua pihak yang terkait di dalamnya.

Semoga saja, artikel ini bisa menjadi memancing kesadaran dan keinginan belajar bagi semua orang yang berkepentingan dan berkeinginan melihat industri game dan esports Indonesia bisa terus berkembang dan bertahan. Satu hal yang saya percayai sejak lama, belajar itu bisa juga menyenangkan. Apalagi buat mereka-mereka yang memang punya passion bermain game, proses pembelajaran itu sendiri juga bisa dimaknai sebagai sebuah permainan.

Akhirnya, izinkan saya menutup artikel panjang ini dengan sebuah kutipan dari salah satu tokoh yang menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan bermain game.

The spirit of playful competition is, as a social impulse, older than culture itself and pervades all life like a veritable ferment. Ritual grew up in sacred play; poetry was born in play and nourished on play; music and dancing were pure play….We have to conclude, therefore, that civilization is, in its earliest phases, played. It does not come from play…it arises in and as play, and never leaves it.” Johan Huizinga (Homo Ludens: A Study of the Play-Elements in Culture).

10 Fighting Game Unik dan Seru yang Kini Hilang Ditelan Zaman

Sejak dipopulerkan oleh Street Fighter II di awal tahun 90an, genre fighting game terus mengalami evolusi, baik itu karena perkembangan teknologi ataupun karena kreativitas para pembuatnya. Luasnya variasi ini kemudian memberikan daya tarik tersendiri. Anda bisa saja tak cocok dengan suatu judul—katakanlah, Tekken—tapi dengan begitu banyak judul fighting lainnya, besar kemungkinan akan ada salah satu yang pas dengan selera Anda.

Sayangnya, besarnya variasi itu juga menjadi semacam pedang bermata dua. Sering ada developer yang menciptakan fighting game unik namun tidak berhasil meraih audiens mainstream. Akibatnya, banyak judul fighting yang kemudian hanya jadi relik sejarah, kalah dengan judul-judul yang lebih populer dan hilang ditelan zaman.

Saya ingin mengajak Anda mengenang sejenak beberapa fighting game unik tersebut. Beberapa di antaranya mungkin pernah Anda mainkan, tapi mungkin ada juga yang bahkan tidak pernah Anda dengar. Mana di antara judul berikut yang pernah mengisi hari-hari Anda?

Ehrgeiz

Ehrgeiz
Sumber: The Fighters Generation

Mendengar nama perusahaan Square Enix atau Squaresoft, hal pertama yang terpikirkan oleh kita pasti adalah judul-judul RPG ternama seperti Final Fantasy atau Kingdom Hearts. Tapi tahukah Anda bahwa Squaresoft juga pernah menerbitkan fighting game? Game itu berjudul Ehrgeiz, atau lengkapnya, Ehrgeiz: God Bless the Ring.

Dirilis untuk PS1 pada tahun 1998, Ehrgeiz merupakan fighting game 3D yang unik karena memiliki gameplay yang terinspirasi dari gulat profesional, dan memiliki fitur-fitur aneh yang biasanya tak ada di fighting game lain. Contohnya arena yang bertingkat-tingkat, sistem kombinasi tombol yang unik, hingga sistem “magic point” untuk mengeluarkan jurus spesial tertentu.

Mungkin fitur paling berkesan dari Ehrgeiz adalah adanya karakter-karakter playable dari Final Fantasy VII seperti Cloud, Sephiroth, Yuffie, dan Zack. Game ini juga memiliki mode petualangan (Quest Mode) yang akan mengingatkan Anda pada game Diablo.

Rival Schools

Rival Schools 2
Sumber: Capcom Database

Rival Schools adalah seri fighting game buatan Capcom yang keren, namun lebih sering dikenang bukan karena pertarungannya. Pasalnya, seri ini menyediakan segudang mode sampingan yang tak kalah seru dari pertarungan itu sendiri. Sesuai judul, Rival Schools memiliki tema kehidupan sekolah, karena itu karakter-karakternya pun dibuat berdasarkan berbagai kegiatan sekolah. Contohnya Roberto yang pemain sepak bola, Shoma yang pemain bisbol, atau Natsu yang pemain bola voli.

Kita dapat memainkan karakter-karakter itu dalam mini-game yang berhubungan dengan kegiatan mereka. Tersedia mini-game adu penalti, memukul home run, bermain voli, dance, dan sebagainya. Lebih seru lagi, Rival Schools juga memiliki mode dating sim, di mana kita menjalani kehidupan sekolah, berinteraksi dengan para karakter dalam game, serta menjalin hubungan persahabatan atau asmara bersama mereka. Semua ini sangat fun!

Seri Rival Schools terakhir kali terbit di Dreamcast dengan judul Project Justice. Beberapa karakter dari Rivals Schools kini muncul dalam Street Fighter V, namun hanya sebagai figuran yang menghiasi latar belakang. Kapankah Capcom akan membangkitkan kembali seri ini?

Gundam Battle Assault

Gundam Battle Assault
Sumber: Gundam Wiki

Fakta ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi Bandai memiliki seri fighting game 2D bertema Gundam yang sangat keren dan sempat berjalan cukup lama. Dikembangkan bekerja sama dengan Natsume, Gundam Battle Assault pertama kali muncul di PS1 dan telah singgah juga di platform lain seperti PS2 dan GBA. Di Jepang, seri ini dikenal dengan judul Gundam: The Battle Master.

Berhubung Gundam adalah pertarungan antar robot, gameplay dalam seri ini agak berbeda dari fighting game pada umumnya. Setiap robot, misalnya, memiliki jatah peluru dan energi untuk serangan spesial yang terbatas dan tidak bisa dipulihkan. Robot-robot ini juga bisa melayang di udara dengan menggunakan thruster, namun durasinya terbatas. Gerakan juga terasa berat dan mengguncang tanah, sebagaimana seharusnya gerakan sebuah robot raksasa.

Saat ini Bandai Namco sudah memiliki seri fighting game Gundam lain yang juga populer, yaitu Gundam Versus. Akan tetapi seri tersebut mengusung sistem permainan 3D, jauh berbeda dengan Gundam Battle Assault.

Fatal Fury

Garou Mark of the Wolves
Sumber: MaiOtaku

Berasal dari seri game apakah karakter Terry Bogard, Mai Shiranui, dan Geese Howard? Kalau Anda menjawab The King of Fighters (KOF), Anda salah. Sebelum muncul di KOF, mereka sudah memiliki seri fighting game orisinal terlebih dahulu dengan judul Fatal Fury (alias Garou Densetsu).

KOF sebetulnya merupakan kompilasi dari berbagai seri game berbeda bikinan SNK, di antaranya Fatal Fury, Art of Fighting, Ikari Warriors, dan Psycho Soldier. Kenal karakter Athena Asamiya dan Sie Kensou? Mereka berasal dari game Psycho Soldier, karena itulah tim mereka di KOF dikenal dengan nama “Psycho Soldier Team”. Hal serupa juga berlaku untuk beberapa karakter lain, seperti Ryo Sakazaki atau Leona Heidern.

Sayangnya, judul-judul yang merupakan “rumah” dari banyak karakter KOF itu kini justru tak diproduksi lagi. Fatal Fury sendiri terakhir muncul pada tahun 1999, dengan judul Fatal Fury: Mark of the Wolves. Di kalangan penggemar fighting game retro, judul ini masih sering dibahas sebagai salah satu game terbaik era tersebut.

One Piece: Grand Battle

One Piece Grand Battle 3
Sumber: Game Planet

Satu lagi seri fighting game keren yang dibuat berdasarkan anime adalah One Piece: Grand Battle. Game ini memiliki kontrol yang cukup sederhana, dengan jurus-jurus spesial yang bisa dikeluarkan dengan menekan dua tombol saja. Namun meski kontrolnya sederhana, One Piece: Grand Battle punya gameplay yang cukup solid dan layak dimainkan dengan serius.

Ketika muncul di era PS1, One Piece: Grand Battle menggunakan arena pertarungan 2D bertingkat seperti seri Super Smash Bros. Tapi memasuki era PS2 seri ini berubah menjadi pertarungan 3D sepenuhnya. Daya tarik utama game seri ini, selain cerita yang mengikuti komik aslinya, adalah jurus-jurus karakter yang digambarkan dengan keren dan kocak seperti adegan anime.

One Piece: Grand Battle punya banyak kemiripan dengan seri Naruto: Ultimate Ninja Storm. Bila fighting game Naruto bisa terus hidup dan laku keras hingga saat ini, saya pikir seharusnya One Piece juga bisa. Tapi developernya yaitu Ganbarion akhirnya beralih fokus menjadi pengembang game action-adventure, seperti One Piece: Unlimited World RED dan yang terbaru One Piece: World Seeker.

Darkstalkers

Darkstalkers Resurrection
Sumber: WallpaperBro

Seri fighting game yang dikenal dengan judul Vampire di Jepang ini pasti tak asing bagi Anda yang sering mengunjungi arcade center di tahun 90an. Wajar bila Darkstalkers digemari banyak orang, karena game ini memang memiliki kualitas tinggi sebagaimana standar developernya yaitu Capcom.

Dengan desain yang terinspirasi gaya gotik, serta karakter-karakter berbasis makhluk-makhluk mistis (seperti drakula, mumi, dan jiangshi), Darkstalkers berhasil menjadi alternatif bagi penggemar fighting game yang bosan dengan desain Street Fighter. Tapi belum ada sekuel baru dalam seri ini sejak Darkstalkers 3 (Vampire Savior di Jepang) di tahun 1997. Setelah itu yang kita dapatkan hanyalah rilis ulang atau kompilasi di era PS2 dan PS3.

Meski tidak ada sekuel selama 22 tahun, Darkstalkers masih populer di berbagai belahan dunia dan sering dipertandingkan di turnamen. Salah satunya turnamen Combo Breaker 2019 beberapa waktu lalu. Darkstalkers juga menginspirasi pembuatan sebuah judul fighting game populer lainnya, yaitu Skullgirls.

Capcom vs. SNK

Capcom vs. SNK
Sumber: Polygon

Pada era 90an hingga awal 2000an, Capcom sempat menjalin kerja sama jangka panjang dengan SNK yang membuat mereka berhasil menelurkan sejumlah game brilian. Sistemnya begini: Capcom boleh mengembangkan fighting game menggunakan karakter-karakter SNK, dan sebaliknya SNK pun boleh mengembangkan fighting game berisi karakter-karakter Capcom.

Game hasil kolaborasi yang dikembangkan oleh SNK disebut sebagai SNK vs. Capcom (SVC), sementara yang dibuat oleh Capcom disebut Capcom vs. SNK (CVS). Kedua seri sama-sama menarik karena mengkombinasikan gameplay dari berbagai judul fighting milik Capcom dan SNK sekaligus. Hasilnya adalah fighting game yang sangat kompleks, sangat variatif, dan mendorong kreativitas strategi para pemain.

Di antara sejumlah judul dalam seri SVC dan CVS, yang paling berkesan mungkin adalah Capcom vs. SNK 2: Mark of the Millennium 2001. Memiliki total 48 karakter dan sistem unik bernama “Groove”, game ini benar-benar menawarkan variasi permainan yang seolah tak ada habisnya. Sistem Team Battle asimetris di dalamnya juga memberikan tambahan strategi tersendiri. Setiap tim bisa memiliki jumlah karakter berbeda, dan dengan mengurangi jumlah anggota, karakter yang Anda mainkan akan menjadi lebih kuat.

Virtua Fighter

Virtua Fighter 5 Final Showdown
Sumber: Microsoft

Sebetulnya masih belum bisa dipastikan apakah Virtua Fighter telah mati atau tidak, namun yang jelas kita sudah lama sekali tidak mendapat sekuel dari game ini. Sekuel terakhirnya, Virtua Fighter 5, dirilis pada tahun 2006 yang berarti 13 tahun lalu. Setelah itu SEGA sempat merilis versi update berjudul Virtua Fighter 5 R dan Virtua Fighter 5 Final Showdown, tapi tak ada kabar mengenai Virtua Fighter 6.

Peran Virtua Fighter dalam sejarah fighting game sangat besar. Seri ini merupakan pionir fighting game 3D, dan banyak menciptakan pakem yang populer hingga sekarang seperti konsep ring out, juggle combo, serta motion capture. Bahkan konon, popularitas Virtua Fighter adalah alasan mengapa Sony dan SEGA berminat mengembangkan console yang fokus pada teknologi 3D (PS1 dan Saturn).

Beberapa karakter Virtua Fighter sempat muncul di Dead or Alive 5, seperti Akira Yuki, Jacky dan Sarah Bryant, serta Pai Chan. Sayangnya mereka tidak muncul kembali dalam Dead or Alive 6.

Bushido Blade

Bushido Blade 2
Sumber: RetroMags

Bushido Blade memperkenalkan sebuah konsep radikal, yaitu pertarungan bersenjata di mana setiap serangan bersifat mematikan. Seperti dunia nyata, dalam game ini, satu sabetan pedang saja bisa membuat karakter Anda langsung tewas. Tentu dengan syarat serangan itu mengenai musuh secara telak.

Karena setiap serangan bisa berakibat fatal, pertarungan di Bushido Blade lebih banyak melibatkan aksi berlari, menghindar, dan menangkis. Kita dapat memilih berbagai macam senjata, dari yang khas Jepang seperti katana, nodachi, dan naginata, atau yang kebarat-baratan seperti rapier, longsword, dan broadsword. Beberapa karakter juga memiliki senjata spesial, seperti pisau lempar, shurikendual katana, bahkan pistol (ya, ini bukan game yang adil).

Bushido Blade mungkin tidak punya jurus-jurus flashy seperti game berbasis senjata lainnya, misalnya Samurai Shodown dan Soulcalibur. Akan tetapi pertarungan “instant death” ini memiliki sensasi tersendiri yang belum tergantikan hingga sekarang. Bayangkan seperti apa pertarungan yang muncul bila game seperti ini dimainkan di level esports!

Bloody Roar

Bloody Roar 3
Sumber: Listal

Game terakhir dalam daftar ini adalah game yang pasti sangat familier di kalangan gamer millennial. Mengusung konsep di mana setiap karakter bisa berubah menjadi siluman binatang (beast), Bloody Roar adalah game yang menarik perhatian karena begitu keren untuk dilihat. Gameplay di dalamnya pun sangat solid, dengan gerakan-gerakan cepat serta combo yang ganas.

Seri Bloody Roar sempat sangat populer di Indonesia di era PS1, dengan entri andalannya saat itu yaitu Bloody Roar 2: The New Breed. Terakhir kali, seri ini muncul di PS2 dengan judul Bloody Roar 4, namun setelahnya tidak terdengar lagi. Salah satu penyebab Bloody Roar menghilang adalah karena penerbitnya, yaitu Hudson Soft, mengalami kebangkrutan di tahun 2012.

Setelah kebangkrutannya, Hudson Soft diakuisisi dan dilebur menjadi salah satu bagian dari Konami. Sementara itu studio co-developer Bloody Roar yaitu Eighting masih terus aktif hingga sekarang. Mereka berada di balik berbagai fighting game Kamen Rider, dan telah membantu Capcom dalam pengembangan Marvel vs. Capcom 3 serta beberapa judul Monster Hunter.

Secara pribadi, hampir semua judul di atas punya kesan tersendiri dalam kehidupan saya. Virtua Fighter 3 misalnya, sempat menemani malam-malam saya ketika masih kuliah dulu dan bertemu dengan teman yang sama-sama menyukai fighting game. Gundam Battle Assault 2 mengisi hari-hari ketika saya duduk di bangku SMP, menghabiskan waktu untuk bermain PS1 di rental dan membaca ulasan strateginya di majalah Hotgame. Sementara Darkstalkers saya kenang sebagai game yang selalu saya tonton di arcade center tapi tidak pernah saya mainkan karena saya tidak paham cara mainnya (waktu itu saya masih SD).

Tapi bila boleh memilih satu saja judul untuk dibangkitkan kembali di console modern, tanpa pikir panjang lagi saya akan memilih Bloody Roar. Memang, game ini tidak punya cerita menarik dan terkenal punya balance yang sama sekali tidak balanced. Tapi seri ini sangat menyenangkan untuk dimainkan, dengan tema yang tak biasa dan jurus-jurus yang keren untuk dilihat. Semoga saja suatu saat Konami berminat menghidupkan kembali Bloody Roar, apalagi mengingat esports merupakan salah satu pilar penting dalam strategi Konami di tahun 2019 ini.

Cerita Violetta “Caramel” Soal EVOS Esports dan Jadi Player Esports Perempuan

Beberapa waktu lalu EVOS mengumumkan divisi Mobile Legends Ladies milik mereka. Roster ini tampil menjanjikan dengan menampilkan pemain-pemain Mobile Legends perempuan kawakan seperti Winda “Earl” Lunardi dan Crestisa “Pucci”. Tak lupa, roster terbaru ini juga memasukkan Violetta “Caramel” Aurelia.

Pemain ini bisa dibilang sebagai salah satu pemain Mobile Legends perempuan yang punya komitmen untuk mendapatkan prestasi. Terakhir kali bersama tim SFI Queen, Caramel dan kawan-kawan berhasil mendapatkan posisi runner-up. Pindah ke EVOS Esports, kami pun mencoba berbincang dengan Violetta seputar kepindahannya dan perjuangannya menjadi srikandi esports Indonesia.

Akbar (A): Halo, boleh minta waktunya untuk tanya-tanya

Violetta (V): Boleh-boleh

(A): Topiknya kali ini seputar EVOS dan perjuangan jadi player esports perempuan, agak panjang nggak apa-apa yaa.

(V): Sip, nggak apa-apa

(A): Soal kepindahannya ke EVOS, Waktu sama SFI Queen, Vio dan kawan-kawan bisa dapat prestasi yang cukup baik, chemistry permainan juga sepertinya sudah terbangun, terus sekarang pindah ke EVOS, kenapa?

(V): Soal kepindahan ke EVOS itu karena masa kontrak di SFI sudah habis. Setelah habis ada ditawari buat perpanjang tapi aku gak ambil karena kepingin rehat sebentar dan mau cari suasana yang baru.

Jadi keputusan buat lanjut atau nggak itu ada di pribadi masing2 member. Saat itu aku milih nggak lanjut dan ada juga yg milih buat perpanjang. Tapi pas milih nggak lanjut, ada jeda beberapa waktu dan ada beberapa tawaran dari berbagai tempat, dan akhirnya EVOS yang aku pilih.

Sumber: Instagram EVOS Esports
Sumber: Instagram EVOS Esports

(A): Kenapa akhirnya milih EVOS?

(V): Setelah beberapa pertimbangan dan melihat member yang sudah dikumpulkan dari beberapa tim, ternyata aku udah kenal beberapa dari mereka cukup lama, dan sering main bareng. Jadi lebih klop dan akhirnya itu jadi alasan milih EVOS.

(A): Salah satu media menyebutkan roster EVOS Ladies ini adalah roster yang kuat, karena melihat pengalaman pemain-pemainnya seperti Earl dan Pucci. Komentar Vio terhadap hal tersebut gimana?

(V): Roster EVOS Ladies yang sekarang menurutku memang udah punya basic yang cukup kuat dari pengalaman-pengalaman. Tapi harus dikembangin lagi soal chemistry.

Chemistry itu adalah yang paling penting di tim dan yang paling susah dibangun. Apalagi kami dari background tim yang beda2. Jadi kami masih banyak harus berkembang supaya bisa jadi tim yg kuat.

(A): Bersama EVOS Ladies, kompetisi terdekat apa yang dituju? Apa yang ingin Vio capai bersama roster EVOS Ladies ini?

(V): Soal tujuan, PR utama kami sekarang itu harus bangun chemistry tim yg kuat. Prepare dari sekarang supaya siap kalau ada kompetisi nanti. Untuk kompetisi terdekat belum ada, karena seperti yang kita tahu di Mobile Legends baru ada satu kompetisi khusus buat ladies, yaitu FSL (Female Esports League MLBB); yang sudah selesai beberapa waktu lalu. Ke depannya, kami bakal ikut bersaing di kompetisi untuk umum tapi untuk sekarang kami masih fokus tiap hari latihan untuk dapat chemistry dulu.

(A): Lanjut ke topik menjadi player esports perempuan. Untuk sekarang ini, kan udah cukup banyak perempuan berkarir di esports. Tapi most of them jadi influencer, caster, atau Brand Ambassador (BA). Menariknya, dibanding pilihan karir tersebut, kok Vio malah memilih jadi player, kenapa?

(V): Untuk soal karir di esports ini awalnya aku ada ditawari jadi influencer, BA, team manager, streamer tapi memang nggak berminat ke sana. Aku sendiri sudah main Mobile Legends dari season 2, udah cukup lama main dan ikutin perkembangan esports. Pas melihat pro-player bisa main di atas stage, angkat piala gitu kayak merinding dan kepingin bisa merasakan hal yang sama. Jadi mimpiku memang ke arah sana, yang membuat aku akhirnya lebih milih jalan menjadi player.

(A): Siapa sosok tersebut yang menginspirasi Vio?

(V): Kalau soal ini dulu aku sempat jadi manager tim Critical (Sekarang GEEK FAM). Pas melihat mereka yang dari tim kecil-kecilan, lalu bisa jadi kuda hitam di season 1 MPL, aku jadi terinspirasi dan kepingin jadi player juga. Mulai dari sana aku memulai karir esports sebagai player.

(A): Kenapa Vio lebih memilih main sama tim ladies? Apakah pernah mencoba gabung ke tim campuran yang berisi laki-perempuan?

(V): Pernah coba gabung ke tim campuran beberapa kali, tapi merasa memang sulit buat bersaing melihat tim-tim pro yang udah ada sekarang. Jadi udah coba gabung tim ladies sudah dari season 3. Jadi ketika itu sambil jalan dan mencoba dua-duanya (tim campuran dan ladies). Akhirnya kini merasa lebih bisa berkembang di tim ladies, yang membuat aku memilih fokus ke tim ladies.

Caramel bertanding di gelaran FSL Mobile Legends saat masih bersama tim SFI Queen Sumber: FSL Elite Official Page
Caramel bertanding di gelaran FSL Mobile Legends saat masih membela tim SFI Queen Sumber: FSL Elite Official Page.

(A): Prestasi tertinggi apa yang ingin Vio capai sebagai player

(V): Kepingin jadi best female MLBB player. Itu mimpi tertinggi yg kepingin aku capai.

(A): Pernah bermimpi bisa bertanding di MPL nggak? Terus kalau masuk MPL, kepingin sebagai tim campuran atau membawa tim ladies?

(V): Aku cukup berharap bisa ikut bertanding di kompetisi kelas itu. Untuk mencapainya aku lebih berharap dengan tim ladies, karena bakal lebih mencolok dan kelihatan dibanding tim campuran. Karena menurutku, untuk dapat masuk ke dalam tim campuran itu kecil banget kemungkinannya untuk dimainkan.

(A): Lanjut ke topik soal berkompetisi sebagai perempuan. Kalau bicara esports, bisa dibilang nggak ada batas fisik untuk pemainnya. Jadi baik laki/perempuan harusnya punya kemampuan berkompetisi yang sama. Berangkat dari hal ini, menurut Vio sendiri, perlu nggak sih kompetisi esports khusus perempuan? 

(V): Untuk ini sangat perlu. Walaupun nggak ada batasan fisik buat pemain, tapi pada kondisi esports sekarang, pemain perempuan jadi sulit ikut berkompetisi di kompetisi resmi karena alasan seperti, perempuan itu susah dikendalikan emosinya, baperan dan lain sebagainya.

(V): Untuk kenapa harus ada pembedaan, sebenarnya lebih ke arah agar dapat mendorong para pemain perempuan untuk turut berkompetisi. Karena untuk sekarang, perempuan yang main game di tingkat kompetitif itu masih sedikit. Dengan munculnya tournament khusus ladies, harapannya para pemain perempuan bisa terbuka dan menarik lebih banyak perhatian dengan pasarnya tersendiri.

(A): Untuk sekarang apakah kompetisi khusus perempuan sudah ada selain dari FSL? Adakah respon dari Moonton terhadap antusiasme player ladies seperti Vio ini?

(V): Untuk saat ini kompetisi khusus perempuan masih belum ada. Jadi mungkin bakal lebih banyak latihan dulu di turnamen umum demi membentuk mental kompetisi. Soal respon dari moonton, kebetulan belum ada sampai sekarang. Padahal sepertinya untuk game lain seperti FREE FIRE dan PUBG MOBILE sudah sering ada event kompetisi khusus perempuan dan terbilang cukup menarik perhatian di esports.

(A): Sebagai penutup, Vio ada pesan-pesan nggak buat penggemar esports secara umum atau para srikandi esports yang sedang berjuang?

(V): Pesan buat semuanya, khususnya ladies player yang kepingin masuk ke kancah kompetitif dan mau ikut kembangin esports untuk perempuan, banyak-banyak latihan dan belajar. Semangat terus, supaya perempuan di esports bisa ikut unjuk gigi. Buktikan bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa sukses sebagai pemain di esports, tapi perempuan juga.

(A): Oke terima kasih ya Vio atas waktunya

Sama-sama.

 

[TEAM PROFILE] Alter Ego: Tim Ambisius yang Haus Akan Prestasi

Nama Alter Ego mungkin sudah cukup lama malang melintang di dunia esports, tetapi sebagian dari Anda bisa jadi belum terlalu kenal dengan organisasi yang satu ini. Kali ini, Hybrid akan mencoba membahas tim yang satu ini. Namun, kita akan membahas Alter Ego dari sisi divisi Dota mereka yang sedang bertanding di ESL Indonesia Championship Season 2.

Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari kita lihat sepak terjang divisi Dota Alter Ego di ESL Indonesia Championship Season 2. Jika dibahas secara performa, tim ini adalah salah satu tim papan tengah yang cukup kuat.

Saat ini, mereka menempati posisi ketiga dengan perolehan sebesar 27 poin, dan hanya terpaut 3 poin dari tim peringkat 2, EVOS Esports. Tim ini memiliki performa yang cukup stabil. Hasil-hasil pertandingan dari Alter Ego kerap kali sesuai dengan apa yang diharapkan.

Ketika harus melawan tim-tim papan bawah, mereka hampir selalu berhasil mengamankan poin. Seperti saat melawan The Prime di pekan kelima atau melawan Hans Pro Gaming di pekan keempat.

Performa stabil ini bisa dibilang didapatkan berkat kehadiran salah satu pemain senior di kancah kompetitif Dota, Farand “Koala” Kowara, ke dalam tim. Hal ini juga diakui sendiri oleh Ramzi “Ramz” Bayhaki, midlaner tim Dota Alter Ego.

Menurutnya sosok Koala betul-betul seperti menjadi penengah bagi tim. Peran Koala saat ini sangat membantu kawan-kawan Alter Ego baik dari sisi in-game maupun out-game.

“Dari out-game sendiri Koala banyak bantu ketika team meeting. Jadi sebelum bermain biasanya kita bahas strategi dan segala macam. Terus juga bantu memberi insight kalau lagi bahas replay segala macam. Kalau di luar teknis, Koala juga sering bantu menengahi tim kalau lagi konflik, menyemangati tim kalau lagi kalah. Hal-hal itu betul-betul sangat membantu bagi tim kami untuk berkembang lebih.” ujar Ramzi.

Kendati demikian, bukan berarti Alter Ego sudah puas hanya dengan kehadiran Koala saja. “Buat roster yang sekarang, menurut saya hanya butuh waktu latihan yang cukup buat bersaing dengan tim-tim papan atas Indonesia, kurang lebih sih begitu.” Ramzi melanjutkan

Sumber: Instagram @Alter Ego e-sports
Sumber: Instagram @Alter Ego e-sports

Dota 2 sendiri yang bisa dibilang menjadi akar bagi organisasi esports yang satu ini. Menariknya, terbentuknya Alter Ego justru berawal dari ketidaksengajaan. Indra “DRA” Hadiyanto, Co-Founder & COO Alter Ego menceritakan terbentuknya Alter Ego kepada redaksi Hybrid. Awal mula Alter Ego adalah dari tim The Watcher, sebuah tim yang berisikan: Spaceman, Feuru, KelThuzard, Ars, dan Huppey.

Potensi mereka terlihat saat mereka bertanding di salah satu kompetisi dan berhasil menjadi juara. Merasa ada peluang, akhirnya pada roster ini diakuisisi dan mereka maju dengan membawa nama Alter Ego pada Januari 2017.

“Berselang kurang lebih dua bulan, tim ini berhasil menunjukkan potensinya. Dapat peringkat 3 di Acer Predator League 2017 dan juga menjadi runner-up di kualifikasi Indonesia untuk GESC Indonesia Minor 2018.” Indra menceritakan.

Dota 2 menjadi game pertama yang dilirik oleh Alter Ego, karena Dota yang kala itu memang sedang berjaya di ekosistem esports Indonesia. “Apalagi ketika itu kami melihat KelThuzard, SpaceMan dan kawan-kawan yang memang pemain berbakat.” Tambah Indra, memperkuat alasannya mengambil tim Dota 2 sebagai divisi pertama Alter Ego.

Sumber: DRA Official Page
DRA, sosok COO dan CoFounder tim Alter Ego yang juga sempat malang melintang sebagai caster di kancah kompetitif Dota 2. Sumber: DRA Official Page

Mengikuti perkembangan zaman, kini Alter Ego berkembang menjadi organisasi esports multi-divisi. Saat ini, sudah ada total 8 divisi Alter Ego, yaitu: Dota 2, MLBB, Point Blank, Fortnite, PUBG Mobile, Tekken 7, Free Fire, dan Apex Legends.

Indra juga sempat cerita soal tantangan mengelola tim Dota, terutama di masa ini, ketika tren esports Indonesia mulai beralih ke arah mobile games. “Untuk sampai saat ini, yang terberat masihlah dalam membentuk tim solid tanpa harus ganti-ganti roster.” ujar Indra.

Memang, roster shuffle masih jadi momok bagi sebuah organisasi esports. Dalam scene Dota internasional, roster shuffle bahkan sudah dianggap lumrah, terutama setelah gelaran dota Dota 2 The International selesai digelar. Padahal OG sudah mencontohkan perjuangan mempertahankan roster, yang berbuah dua trofi Aegis of Champion. Nyatanya mempertahankan roster tetap menjadi hal yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Terkait tren Dota sebagai esports yang sudah menurun, Ramzi juga terbilang tak terlalu mendengarkan opini-opini tersebut. “Gue sih nggak terlalu peduli dengan hal itu, karena gue cinta sama game Dota itu sendiri.” Ramzi mengatakan.

Lanjut soal tantangan di kancah kompetitifnya tersendiri, Indra terbilang masih mencari cara yang tepat untuk bisa menumbangkan BOOM.ID di kompetisi lokal. Ramzi juga turut mengakui hal ini, tapi lebih ke arah mencoba melakukan intropeksi terhadap posisi tim Alter Ego itu sendiri apda saat ini. “Menurut gue, hal yang harus dihadapi oleh tim Alter Ego untuk saat ini adalah kenyataan bahwa posisi kami masih jauh buat bersaing sama tim Indonesia lainnya.” Ramzi menjelaskan.

Menariknya, scene Indonesia justru bukan menjadi tujuan bagi Ramzi untuk saat ini. “Gue sih nggak terlalu mikirin harus mengalahkan tim Indonesia tertentu, lebih mikirin gimana bisa compete di scene SEA aja. Jadi kita fokus untuk lebih giat lagi dalam segi latihan. Nanti bertahap, kalau di SEA kita udah bisa compete, lanjut ke tahap berikutnya. Bisa sampai tahap minor atau major gue anggap sebagai bonus atau rejeki aja.”

Sumber: Instagram @alteregoesports
Sumber: Instagram @alteregoesports

Lalu berlanjut membahas tim peserta ESL Indonesia Championship Season 2 ini, Ramzi juga memberikan beberapa pendapatnya. Untuk tim terkuat, tentunya tak lain dan tak bukan adalah BOOM.ID. Menariknya, menurut Ramzi, kehadiran Muhammad “InYourDream” Rizky bukan merupakan hal yang besar bagi tim ini.

“Menurut gue BOOM.ID sebetulnya udah cukup kuat dengan Jhocam dulu ya. Apakah kehadiran IYD akan membuat BOOM.ID jadi lebih kuat atau sama aja? Kita lihat saja nanti deh……hahaha.” ujar Ramzi sembari sedikit bercanda.

Lalu kalau tim yang paling potensial, Ramzi berpendapat bahwa setidaknya ada dua tim, yaitu EVOS dan PG.Barracx. “Kalau PG.Barracx bisa kita lihat mereka bisa lolos ke SEA Games untuk mewakili Indonesia. Sementara untuk EVOS, menurut gue lebih soal pengalaman bermain ya. Apalagi roster mereka saat ini juga jadi cukup kuat dengan kehadiran Carry asal Laos (Jaccky).”

Terakhir, ia juga memberi pendapat terhadap tim yang sebetulnya kuat di atas kertas, namun masih belum bisa menunjukkan performa sesungguhnya. Tim tersebut adalah PG.Orca. Menurutnya, tim tersebut adalah tim yang performanya masih naik-turun sejauh ini. “Menurut gue kurangnya PG.Orca adalah dari sisi carry-nya. Mungkin karena mereka masih muda, jadi ya cukup wajar juga. Tapi mereka nggak perlu banyak khawatir, karena masih punya banyak waktu untuk berkembang menurut gue.”

Untuk saat ini, Alter Ego kembali menyajikan roster yang cukup menjanjikan. Berikut daftar pemain divisi Dota 2 Alter Ego untuk ESL Indonesia Championship Season 2:

Sumber: ESL Official Site
Sumber: ESL Official Site
  • Brizio “Hyde-“ Adiputra
  • Rudy “MyDearest” Lucky (dulu bernama Barbie-Usagi)
  • Farand “Koala” Kowara
  • Michael “KelThuzard” Samsir
  • Ramzi “Ramz” bayhaki

Selain dari Ramzi dan Koala, KelThuzard sendiri juga merupakan salah satu nama yang sudah cukup lama malang melintang di kancah kompetitif Dota. Tetapi bagamana dengan MyDearest dan Hyde-? Mereka sendiri ternyata sudah ada di tim Alter Ego selama satu musim belakangan.

Sebelumnya mereka bermain untuk tim Pandora pada tahun lalu. Ramzi juga membagikan sedikit pendapatnya soal dua pemain ini “Kalau in-game, yang gue suka mereka selalu fokus dan punya mental haus akan kemenangan. Out-game-nya mereka gampang bergaul dan juga anak yang asik sih.”

Terakhir, Indra juga menyampaikan komentarnya seputar ESL Indonesia Championship Season 2. “Harapannya sih event ini jadi sesuatu yang rutin. Karena sebenarnya dari TI 9  kemarin, kita bisa lihat bahwa Dota masih punya penggemarnya tersendiri.

Saat ini Alter Ego masih sedang berjuang di Week 7 gelaran ESL Indonesia Championship Season 2. Dengan poin yang diperoleh, Alter Ego sudah hampir bisa dipastikan lolos ke jenjang berikutnya, yaitu ESL Clash of Nations Bangkok 2019 (25-27 Oktober 2019).

Akankah Alter Ego mencapai tujuannya menjadi tim yang dipandang di tingkat Asia Tenggara? Semoga ajang ESL Clash of Nations bisa menjadi pembuktikan bagi Ramzi, Koala dan kawan-kawan.