Ekosistem Esports Indonesia Dirilik Venture Capital Lokal

Ketika DailySocial memutuskan untuk mendirikan sister company esports platform Hybrid, ada kesadaran bahwa momen untuk para VC yang biasa berinvestasi di ekosistem startup teknologi akan juga berinvestasi di ekosistem esports lokal akan tiba. Dan momennya telah tiba, ada kemungkinan trennya akan semakin meningkat.

Informasi dari beberapa sumber yang Hybrid dapatkan, bahwa salah satu tim besar di Indonesia sedang dalam proses untuk mendapatkan investasi dari salah satu VC yang didukung grup media besar tanah air. Adalah Skystar Capital yang kami dengar akan berinvestasi ke tim esports lokal. Nama tim yang akan diinvestasi sudah kami dapatkan, tetapi berhubung informasinya belum publik, kami belum bisa menginformasikan ke khalayak umum.

Salah satu tim besar lokal

Untuk memastikan perihal investasi ini, kami mencoba untuk mengontak Skystar Capital untuk mendapatkan komentar, Michelle Irawan – Principal Skystar Capital mengatakan bahwa, “We (Skystar Capital – ed) are in close discussion to invest in one of the best esports team in the country. After exploring different opportunities in the space, we have decided that the team has the best management, giving us comfort on the sustainability of our investment. We are extremely interested in eSports due to the high growth potential and will continue to look for opportunities to invest in the sector.”

Skystar mengkonfirmasi rencana mereka untuk berinvestasi di ekosistem esports lokal, lewat tim. Memang tak ada nama tim yang disebutkan dikomentar di atas, atau setidaknya belum. Prediksi kami, biasanya kalau sedang ‘in close discussion’ seperti yang disebutkan di atas, maka proses yang terjadi adalah sedang dalam tahap finalisasi, biasanya urusan paperworks. Artinya, dalam waktu dekat kemungkinan besar kita akan mendapatkan informasi secara gamblang, tim mana yang mendapatkan investasi ini, dan akan digunakan untuk apa dana yang diterima. Apakah pengembangan tim, memperluas jaringan ke regional atau yang lainnya.

Satu hal bisa digarisbawahi dari pernyataan perwakilan Skystar Capital adalah ‘the best esports team in the country’. Kalau mau ditelaah, sebenarnya dari sekian banyak tim esports lokal, bisa dibilang jumlahnya menjadi tidak banyak. Pembaca Hybrid juga bisa mengingat bahwa ada satu tim yang bisa menjuarai dua kompetisi besar di salah satu game mobile. Kalau melihat belum banyak VC yang secara publik mengumumkan investasi ke ranah esports, kemungkinan besar akan menyasar tim yang besar di game populer yang dimainkan di Indonesia. Meski demikian, sebelum nama tim menjadi informasi publik, kita masih harus tunggu info selanjutnya.

Tentang Skystar Capital dan dampaknya di ekosistem

Jika ada pembaca sister company Hybrid.co.id yaitu DailySocial.id, tidak akan asing dengan nama Skystar Capital. VC yang satu ini telah berinvestasi di berbagai startup, beberapa diantaranya Bridestory, Hijup, Laku6, Sweet Escape bahkan Grab. Salah satu nama yang ikut andil mendirikan VC ini adalah Geraldine Oetama, cucu dari pendiri KG Jakoeb Oetama. Dalam laman resminya juga disebutkan bahwa Skystar didukung oleh grup korporasi yang memiliki akses ke media, hospitality dan edukasi, tidak lain dan tidak bukan adalah Grup Kompas Gramedia.

Pergerakan VC yang berinvestasi ke esports adalah hal yang menarik. Satu mimpi yang saya pikirkan ketika mendirikan Hybrid adalah akan ada banyak integrasi yang bisa dilakukan dari pengembangan teknologi di startup dengan ekosistem esports, dan hal itu bisa dimulai dengan investasi ke tim. Portofolio yang ada di VC, yang sebagian besar berbasis teknologi, bisa diintegrasikan dan menjadi pelengkap di ekosistem. Memang untuk hal ini masih membutuhkan waktu, tetapi bibitnya sudah mulai tumbuh. Mimpi semacam AI yang bertanding melawan tim esports yang sudah terjadi di luar negeri, adalah mimpi yang bisa dikejar jadi mimpi bersama esports lokal.

Di sisi lain, masuknya dana VC juga bisa berperan untuk mengembangkan tim ke ranah yang lebih profesional, setidaknya membuka peluang untuk VC lain melirik peluang di ekosistem esports, yang kini sedang bertumbuh. Persoalan struktur organisasi sebagai sebuah perusahaan, standar gaji sampai dengan profesionalitas manajemen adalah beberapa hal yang (seharusnya) bisa terbantu dengan kehadiran VC di ranah esports.

Selain Skystar Capital, ada satu tim lagi yang mendapatkan dana dari VC yang biasa berinvestasi di startup, yaitu EVOS, namun VC itu berasal dari negara tetangga bukan VC lokal.

Ada banyak hal yang menarik untuk didiskusikan terkait investasi di ekosistem esports lokal, namun sepertinya harus dilakukan di artikel lain. Untuk sementara, kita tempatkan informasi Skystar Capital yang berinvestasi ke tim esports lokal di sini, dan kita tunggu perkembangan selanjutnya, termasuk informasi publik nama timnya.

Telaah Kelayakan Profesi Atlet Esports Sebagai Mata Pencaharian Umum

Atlet esports dewasa ini telah menjadi profesi yang menjanjikan. Sama seperti atlet-atlet olahraga seperti sepak bola atau bola basket, seorang pemain profesional yang berkompetisi di level tinggi bisa memiliki penghasilan yang luar biasa besarnya, bahkan dielu-elukan sebagai seorang selebritas. Apalagi bila mereka bermain di negara-negara maju yang sudah punya ekosistem esports mapan, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau Korea Selatan.

Akan tetapi terkadang mungkin kita lupa keberhasilan meraih ketenaran besar dan menjadi miliarder itu tidak dimiliki oleh semua orang. Di antara sekian banyak pemain esports, hanya segelintir yang bisa menjadi top player dan bermain di level tertinggi. Sebagian lainnya yang bermain di tim kecil tentu akan mendapat penghasilan kecil juga, bahkan di beberapa kasus malah tidak mendapat bayaran.

Mirip seperti profesi industri hiburan ataupun profesi atlet olahraga lainnya, esports bisa dibilang termasuk mata pencaharian yang “high risk high reward”. Seberapa besar risikonya, dan bagaimana nasib para pemain yang tidak termasuk dalam jajaran top player tadi? Untuk memahami kenyataan di lapangan secara lebih jelas, kita dapat melihat terlebih dahulu penghasilan atlet esports di berbagai negara. Berikut ini beberapa datanya.

Amerika Serikat

Mencari data tentang penghasilan setiap atlet esports secara pasti adalah hal yang cukup sulit karena pada umumnya organisasi tidak mau membuka informasi tersebut ke publik. Namun sesekali ada beberapa tim, pemain, atau lembaga survei yang mau membeberkannya dalam acara khusus. Contohnya di bulan April 2019 kemarin, ketika Komisaris League of Legends Championship Series (LCS) Chris Greeley mengungkap gaji para atlet esports di liga Amerika Serikat tersebut.

Riot Games menerapkan aturan dalam LCS di mana setiap tim peserta harus menggaji atletnya sebesar minimal US$75.000 (Rp1,1 miliar) per tahun. Akan tetapi secara rata-rata, pemain-pemain profesional LCS memiliki gaji sekitar US$320.000 (Rp4,6 miliar). Data ini hanya berupa gaji pokok, tidak termasuk bonus atau uang hadiah turnamen.

Overwatch League (OWL) juga memiliki aturan gaji serupa, namun batas minimalnya lebih kecil yaitu US$50.000 (Rp715,9 juta). Sementara itu pemain OWL terkenal bisa mendapat gaji US$150.000 (Rp2,15 miliar) per tahun, seperti yang diterima sinatraa (Jay Won) ketika bergabung dengan tim NRG.

Sebagai perbandingan, gaji rata-rata penduduk Amerika serikat di tahun 2019 ini menurut U.S. Bureau of Labor Statistics adalah sekitar US$46.644 per tahun, atau kurang lebih Rp667,9 juta. Dapat kita lihat bahwa baik di LCS ataupun OWL, gaji minimum yang ditawarkan sudah lebih tinggi dari penghasilan penduduk rata-rata negeri Paman Sam.

Korea Selatan

Korsel adalah negara yang maju di dalam bidang esports. Ini dapat dilihat dari pendapatan para atletnya yang bisa mencapai angka sangat tinggi. Sebagai contoh, atlet-atlet yang bermain di League of Legends Championship Korea (LCK) rata-rata memperoleh gaji tahunan senilai 175.000.000 Won (Rp2,1 miliar), bahkan pemain paling top bisa meraih sampai 500.000.000 Won per tahun (Rp6,1 miliar).

League of Legends - Mata
Mata (Cho Se-hyeong), atlet LoL Korsel yang sempat “merumput” di Tiongkok | Sumber: The Rift Herald

Akan tetapi raihan gaji sedemikian besar hanya dirasakan segelintir orang, sekitar 5% dari jumlah pemain keseluruhan. Sebagian besar atlet (37,2%) justru hanya memiliki pendapatan antara 20.000.000 – 50.000.000 Won. Ini bahkan lebih rendah daripada rata-rata penghasilan penduduk Korsel yang nilainya adalah sekitar 63.000.000 Won (Rp770 juta) per tahun).

Korsel juga sempat dikabarkan memiliki masalah di cabang StarCraft II, di mana tim-tim esports sepakat untuk memberikan gaji tidak lebih dari 75.000.000 Won (Rp913,7 juta) kepada para atletnya. Akan tetapi kabar ini muncul di tahun 2016, jadi bisa saja sekarang kondisinya sudah berubah.

Tiongkok

Dengan populasi dan pangsa pasar begitu besar, Tiongkok dikenal sebagai salah satu negara top di bidang esports. Bahkan sangat sering ada atlet dari luar negeri yang bermain untuk tim Tiongkok karena tergiur dengan gaji yang ditawarkan. Beberapa waktu lalu, JD Gaming yang merupakan tim untuk League of Legends Pro League (LPL) sempat buka-bukaan tentang gaji atlet mereka.

Pemain baru yang bermain di tim akademi JD Gaming (Joy Dream) akan mendapat gaji minimal 250.000 Yuan (Rp524,2 juta). Ini masih berada di bawah gaji rata-rata penduduk Tiongkok yang ada di angka 293.000 Yuan (Rp614,6 juta), akan tetapi perbedaannya tidak sedrastis Korsel. Sementara itu atlet di tim inti JD Gaming memiliki gaji minimal 500.000 Yuan, alias Rp1,05 miliar per tahun.

Bila berbicara top player di Tiongkok, hanya langit yang menjadi batasnya. Contoh saja Vici Gaming, pemain paling mahal di divisi Dota 2 mereka dapat menerima gaji hingga 8.000.000 Yuan per tahun (Rp16,8 miliar), dan ini di tahun 2016. JD Gaming di tahun 2019 menawarkan gaji maksimum yang menyentuh angka 10.000.000 Yuan (Rp20,1 miliar). Ini angka yang fantastis.

Indonesia

Kita sudah melihat gambaran kehidupan atlet esports di beberapa negara maju. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Pertama-tama kita harus tahu dulu berapa gaji rata-rata penduduknya. Badan Pusat Statistik di akhir tahun 2018 menyatakan bahwa gaji rata-rata buruh laki-laki Indonesia ada di angka Rp3.060.000 per bulan. Sementara buruh perempuan mendapat rata-rata Rp2.400.000 juta per bulan.

Salah satu tim Indonesia yang pernah membuka nilai nominal gaji adalah EVOS Esports. Dalam sebuah wawancara di tahun 2018, General Manager EVOS Esports Indonesia Aldean Tegar (sekarang menjabat Assistant Vice President) menyebut bahwa gaji pokok tim Dota 2 EVOS adalah sekitar Rp5.000.000 – 6.000.000 per bulan. Laporan dari TribunNews juga menyebutkan gaji pokok Rp6.000.000 untuk divisi Mobile Legends, tapi kemudian ditambah Rp4.000.000 dari pihak Mobile Legends Professional League (MPL), dan bonus sebesar Rp1.000.000 setiap kali mereka mengikuti turnamen.

Di luar EVOS, Donkey (Yurino Putra) yang merupakan pemain Mobile Legends asal Surabaya pernah membeberkan gaji beberapa tim lain. Salah satunya Louvre yang ia sebut sebagai tim dengan penawaran tertinggi, yaitu Rp35.000.000 per bulan. Ia juga menyebut bahwa tim REVO eSports menawarkan gaji di atas Rp5.000.000 per bulan, tapi tidak memberi angka pastinya.

Mobile Legends - Donkey
Donkey dikenal sebagai pemain yang ahli di posisi Tank | Sumber: Donkey

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa profesi atlet esports di Indonesia layak dijadikan mata pencaharian. Namun di sisi lain, salah satu mantan pemain Team NXL yaitu Afrindo “G” Valentino pernah mengungkap fakta yang cukup miris. Dalam wawancara bersama Tirto, ia mengaku hanya mendapat Rp500.000 per bulan sebagai gaji pokoknya. Ini ditambah dengan bonus Rp2.000.000 bila berhasil masuk top global ranking, serta Rp3.900.000 per minggu dari pihak Moonton yang dibagi dengan rekan-rekan setimnya.

Kesenjangan jadi masalah utama

Seperti badan usaha pada umumnya, tim esports pun pada dasarnya adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk mencari untung. Besaran gaji yang dapat mereka keluarkan sebagai biaya operasional pun sangat tergantung dari kesuksesan serta ketenaran tim itu sendiri.

Newzoo melaporkan bahwa sebagian besar (82%) revenue di bidang esports datang dari investasi brand yang terdiri atas sponsorship, hak media, serta iklan. Jadi penghasilan ini berkaitan sangat erat dengan exposure, alias jumlah publikasi yang bisa didapatkan oleh suatu tim.

Masalahnya, tidak semua tim bisa mendapatkan exposure yang sama. Tim-tim terkenal yang sering juara turnamen tentu akan mendapat exposure lebih besar. Begitu pula tim-tim yang bertanding di liga dan turnamen besar, seperti OWL, LCK, atau MPL. Namun jumlah tim yang bisa tampil di liga-liga besar ini terbatas. MPL misalnya, hanya bisa diikuti oleh 12 tim tiap musimnya. Sementara AOV National Championship (ANC), meski jumlah slotnya lebih banyak, tetap saja terbatas pada 32 tim.

Layaknya atlet-atlet sepak bola yang bermain bukan di divisi utama, tim-tim yang tidak lolos ke liga esports terbesar harus puas dengan exposure terbatas dan gaji terbatas pula. Memang ada jalan lain untuk memperoleh penghasilan, misalnya dari streaming, penciptaan konten, hingga menjadi brand ambassador suatu produk. Tapi jalur-jalur ini pun bergantung pada popularitas. Selain kemampuan bermain, kepribadian di depan kamera hingga penampilan fisik juga jadi aset penting yang harus dimanfaatkan secara maksimal.

Tingginya minat masyarakat terhadap esports seolah jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, semakin banyak peminat artinya pasar semakin luas, dan itu akan membuat semakin banyak brand tertarik untuk berinvestasi dalam industri ini. Di sisi lain, pertumbuhan ini juga akan memunculkan lebih banyak pemain-pemain “biasa”, yang dalam perjalannya, mungkin tidak akan pernah meraih kesuksesan finansial besar seperti JessNoLimit.

Bukan bermaksud mematahkan kepercayaan bahwa impian itu pasti akan jadi nyata bila kita mau berusaha. Namun kenyataan memang tidak bisa memfasilitasi semua orang secara merata. Tidak mungkin tim Mobile Legends yang ada di Indonesia masuk ke dalam MPL semua. Dalam sepak bola yang usianya sudah berabad-abad pun banyak pemain profesional yang seumur hidupnya tidak pernah jadi juara Premier League. Lalu bagaimana nasib atlet-atlet level “biasa” seperti ini?

Saudara e-Sports | Robox
Saudara e-Sports (SES), salah satu tim esports yang memulai dari bawah  | Sumber: Garena

Memandang atlet esports sebagai profesi secara utuh

Bila kita kembali ke tujuan awal dari sebuah profesi, sebetulnya sederhana saja. Seseorang menjalani sebuah profesi pastilah untuk bisa mencari makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlepas dari pada akhirnya ia jadi kaya raya atau tidak, setidaknya tujuan yang satu ini merupakan hal wajib yang tidak bisa dilepaskan.

Dengan berkaca pada tujuan dasar tadi, maka tujuan industri esports berikutnya sudah jelas, yaitu membuat para atlet profesional setidak-tidaknya dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seminimal mungkin gaji seorang atlet esports hendaknya setara dengan nilai Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tempat ia berdomisili.

Di sinilah pemerintah memiliki peran penting. Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia mengatur bahwa setiap badan usaha wajib memberikan upah sesuai nilai minimum yang telah ditetapkan. Tim-tim esports besar memang pada umumnya sudah memberikan gaji di atas UMK, namun kita tidak tahu sebanyak apa atlet-atlet “underpaid” yang tak terekspos. Pengakuan negara terhadap status atlet esports sebagai sebuah profesi serta penerapan aturan ketenagakerjaan dapat menjadi dukungan besar bagi perlindungan kesejahteraan para atlet ini.

Developer dan penerbit game, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kompetisi resmi, juga punya andil besar. Bila kita lihat dalam data di atas, sudah ada beberapa liga yang menerapkan aturan soal gaji minimum para atletnya, seperti OWL dan LCS. Sebagai kompensasi, liga-liga tersebut memberikan komitmen berupa wadah kompetisi jangka panjang kepada tim partisipan.

Ini juga menguntungkan para brand, karena kompetisi jangka panjang artinya mereka mendapat ruang untuk beriklan lebih banyak. Apalagi di OWL setiap tim juga merupakan perwakilan dari suatu kota, mirip seperti liga sepak bola. Artinya brand punya kesempatan untuk memanfaatkan keunikan kota tersebut sebagai pendukung metode periklanan. Brand lokal tiap kota juga punya peluang besar untuk beriklan, karena mereka memiliki basis pasar yang sangat dekat.

Esports butuh wadah kompetisi kelas menengah

Penciptaan wadah kompetisi jangka panjang dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah sistem franchising, seperti yang dilakukan OWL. Cara kerja sistem ini adalah dengan membuka slot bagi tim-tim yang ingin berkompetisi di OWL dengan syarat pendaftaran berupa pembayaran sejumlah uang. Kompetisi berbayar sekilas memang terdengar negatif, tapi dengan cara ini, komitmen tim dengan OWL menjadi lebih kuat. OWL juga berhak menerapkan kewajiban-kewajiban lain kepada tim selain soal gaji minimum, misalnya kewajiban untuk mempromosikan ekosistem esports lokal, program akademi dan regenerasi, dan sebagainya.

Overwatch League - New York Excelsior
Overwatch League sudah lama memperhatikan masalah sustainability | Sumber: Blizzard

Untuk memfasilitasi atlet-atlet yang belum bisa bermain di level kompetisi tertinggi, Blizzard juga memiliki program kompetisi kelas menengah yang disebut Overwatch Contenders. Dalam kompetisi ini, tim-tim besar yang merupakan partisipan OWL diberi kesempatan untuk mendirikan divisi Academy untuk bertanding di Overwatch Contenders. Sambil menyelam minum air, kompetisi ini bisa membantu para atlet esports yang belum menjadi top player untuk mendapat exposure, memperoleh penghasilan, sekaligus mengasah kemampuan bermain.

Cara kedua adalah cara yang dilakukan oleh Ubisoft dalam Rainbow Six: Siege Pro League. Liga ini menerapkan pendaftaran terbuka, namun menyediakan wadah kompetisi bagi tim-tim yang masih berada di level bawah—bukan hanya kualifikasi, tapi juga kejuaraan sendiri yang bernama Challenger League. Ibarat sepak bola divisi 2, liga ini menawarkan hadiah walau jumlahnya tak besar, dan setiap tim memiliki kesempatan untuk mendapatkan exposure.

Tim-tim terbaik Challenger League nantinya berhak mendapatkan promosi ke Pro League yang merupakan liga utama, begitu pula tim-tim Pro League bisa saja degradasi ke liga bawahnya. Sistem ini memunculkan dinamika yang menarik karena popularitas sebuah tim bisa naik turun secara lebih luwes, meskipun tentunya tetap ada beberapa tim mainstay yang hampir tak mungkin sampai terdegradasi.

Peran lain developer/penerbit game terhadap kesejahteraan atlet juga bisa datang dari program revenue sharing. Perputaran uang di industri esports begitu besar, dan developer game populer bisa mendapat pemasukan hingga jutaan dolar tiap harinya. Para pelaku industri esports ini sebetulnya bisa dipandang sebagai “alat marketing” juga bagi para developer, jadi sudah sewajarnya mereka turut dapat bagian karena telah membantu membuat suatu game jadi lebih populer.

Beberapa game besar seperti Dota 2 dan Rainbow Six: Siege sudah menerapkan program revenue sharing itu. Caranya yaitu dengan menciptakan in-game item yang berhubungan dengan atlet atau tim esports tertentu. Pasar yang hendak diraih tentulah para penggemar atlet/tim yang bersangkutan, dan hasil penjualan berbagai item ini nantinya akan dibagi sesuai dengan suatu perjanjian kerja sama. Game yang sudah memiliki ekosistem esports cukup besar dan stabil hendaknya memiliki program revenue sharing seperti ini agar dapat membantu meningkatkan kesejahteraan atlet-atlet esports di bawahnya.

Sustainability demi jaminan masa depan

Industri esports saat ini diprediksi masih akan terus berkembang, setidaknya hingga tahun 2021. Akan tetapi pasti akan tiba masanya perkembangan itu terhenti, dan industri esports masuk ke tahap kedewasaan. Bila sudah demikian, fokus industri esports harus bergeser dari mengincar pertumbuhan menjadi mengincar keberlanjutan (sustainability). Lagi pula, bila esports terbukti hanya merupakan sebuah bubble, dampaknya bagi industri esports sendiri akan buruk karena dapat membuat para stakeholder enggan terjun dan berinvestasi.

Industri yang sustainable juga penting agar para gamer muda yang ingin menjadi atlet esports di masa depan dapat mengejar impian mereka dengan lebih yakin. Tanpa adanya sustainability, dan tanpa adanya jaminan kesejahteraan untuk level kompetisi menengah, esports akan jadi profesi elit yang manfaatnya hanya dapat dinikmati oleh segelintir top player saja. Padahal dengan nilai revenue global yang mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,8 triliun), potensi untuk persebaran kesejahteraan itu jelas ada.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rasanya developer dan penerbit game adalah kunci dari penanganan masalah kesenjangan ini. Merekalah yang dapat mencetuskan program-program dengan sifat mengikat kuat, seperti sudah dilakukan OWL. Tinggal apakah mereka mau melakukannya, dan kapan?

Menilik Geliat dan Perkembangan Esports R6S di Indonesia

Buat yang memang peduli dengan ekosistem esports Indonesia, sebenarnya masih banyak komunitas game tertentu yang termarginalkan seperti Fighting Game Community, komunitas PES, Hearthstone, FIFA, CS:GO, Sim Racing, dan yang lain-lainnya. Kali ini, kita akan membahas satu lagi yaitu komunitas esports R6S (Rainbow Six: Siege) di Indonesia.

Saya pribadi dan Hybrid sendiri memang menolak untuk hanya membahas apa yang sedang ramai di Indonesia. Kenapa? Karena saya tahu betul bagaimana rasanya dipinggirkan… Plus, sudah banyak juga media-media lain yang membahas game dan esports yang sedang jadi tren saat ini.

Jadi, tanpa basa basi lagi, mari kita berkenalan lebih dekat dengan salah satu komunitas esports yang mungkin kecil dari sisi jumlah namun dewasa dan ambisius, R6 IDN.

Kali ini, saya ditemani oleh Bobby Rachmadi Putra yang merupakan Community Leader untuk R6S di Indonesia untuk menjadi narasumber kita.

Awal Mula dan Cerita Komunitas R6S di Indonesia

Sumber: Komunitas R6S Indonesia
Sumber: Komunitas R6S Indonesia

Sebelum komunitas ini bermukim di Facebook Group, menurut cerita Bobby, sudah ada komunitas R6S di KASKUS sejak trailer pertama R6S dirilis untuk E3 2013. Namun demikian, saat game ini dirilis di Desember 2015, thread starter di forum digital terbesar tadi justru tidak membeli game-nya. Karena itulah, Bobby bersama 3 orang lainnya (Izzan, DarkTangoCat, dan Harris) membuat komunitas Discord untuk R6S.

Di saat yang sama, ternyata Bobby pun menemukan sudah ada yang membuat grup di Facebook untuk R6S. 2 komunitas dari platform yang berbeda ini pun bergabung.

Kegiatan komunitas R6S di grup Facebook ini pun sudah beragam mulai dari diskusi alias tanya jawab seputar tips dan trik R6S, membantu pihak Ubisoft menyelesaikan masalah bug in-game, nonton bareng turnamen internasional, gathering di event offline (kala itu ESL Clash of Nation), ataupun Art Competition (cosplay dan fan art). Satu hal yang menarik, Ubisoft sendiri yang menyediakan hadiah (total Rp3,5 juta) untuk Art Competition komunitas ini.

Satu hal yang saya sendiri kagumi dengan komunitas R6S ini adalah anggotanya yang boleh dibilang cukup dewasa soal perilakunya. Kebetulan saja, saya sendiri juga moderator untuk 2 game esports populer di Indonesia saat ini; jadi saya tahu betul bagaimana perbandingannya. Saya tak perlu sebutkan nama game-nya ya berhubung saya takut dihujat warganya; yang jelas 2 game esports (mobile) tersebut adalah 2 dari 3 game esports paling ramai saat ini.

Sayangnya, kebanyakan pelaku industri esports Indonesia saat ini masih hanya memperhatikan jumlahnya semata, tanpa memperhatikan kedewasaan perilaku para pemainnya. Sayangnya, memang kebanyakan pelaku industri esports Indonesia masih terjebak pada soal volume sebagai satu-satunya tolak ukur. Mungkin lain kali, kita akan bahas lebih jauh soal ini.

Tentang Ajang Kompetitif R6S di Indonesia

R6 IDN Star League S1 - Poster
Sumber: R6 IDN

Meski bisa dibilang kecil dari sisi jumlah, komunitas R6 IDN cukup rajin dalam memberikan ruang kompetitif.

Sebelum kita membahas turnamen-turnamennya yang ada saat ini, mari kita melihat ke belakang sejenak untuk melihat perkembangan ekosistem esports R6S dari waktu ke waktu.

Bobby bercerita bahwa turnamen R6S pertama yang mereka buat adalah kompetisi 17an di tahun 2016. Kala itu, hadiah turnamennya masih berupa kaos custom. Di tahun ini, masih belum ada turnamen lainnya meski memang komunitas ini kerap bermain bersama (random fun match).

Tahun 2017, komunitas ini kembali menggelar kompetisi 17an namun dengan peserta yang lebih banyak. Di tahun ini, R6 IDN juga menggelar turnamen rutin mereka yang diberi nama Indonesian Series League (kala ini masih disebut Indonesian Tournament Series).

Untuk turnamen pertama mereka ini, total hadiahnya sebesar Rp3 juta yang didapat dari biaya pendaftaran dan iuran para pengurus komunitas. Turnamen ini dimulai saat itu karena mereka melihat komunitasnya sudah mulai ramai. Selain itu, tujuan turnamen ini adalah untuk menggaet lebih banyak pemain R6S untuk bergabung bersama komunitasnya.

Di tahun 2018, R6 IDN pun membuat turnamen baru yang jenjangnya lebih rendah, yang diberi nama Community Cup.

Sumber: R6IDN Official Media
Sumber: R6IDN

Indonesian Series League (ISL) pun berlanjut di awal tahun (sekitar bulan April) 2018. Namun, ISL kedua ini masuk dalam rangkaian turnamen Run N Gun 4 Nations. Kala itu, ISL 2 berfungsi sebagai kualifikasi untuk menentukan siapa wakil Indonesia yang bisa berlaga di turnamen yang melibatkan peserta dari 4 negara, Indonesia, Thailand, Singapura, dan Filipina.

Di bulan April 2018 ini juga, Bobby pun mengaku sudah cukup intens berkomunikasi dengan pihak Ubisoft. Kita akan membahas lebih jauh tentang dukungan Ubisoft ke R6 IDN di bagian selanjutnya.

ISL 3 adalah turnamen pertama R6 IDN yang mendapatkan dukungan langsung dari Ubisoft. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen ini pun mencapai Rp10 juta. Kala itu, ISL 3 juga sudah diikuti oleh 32 tim (satu tim berisikan 5 orang pemain). Bulan Desember 2018, ISL 4 pun digelar.

Di 2019 ini, R6 IDN sudah merencanakan jenjang kompetitif yang lebih rapih dari sebelumnya. ComCup masih ada (sampai artikel ini ditulis, sudah sampai ComCup ke 12) dan menjadi turnamen dengan jenjang terendah. R6 IDN juga menyesuaikan beberapa peraturan untuk ComCup di awal tahun ini agar lebih sesuai dengan jenjangnya.

Di atas ComCup, ISL juga masih dipertahankan untuk menjadi turnamen dengan jenjang yang lebih tinggi. Selain ComCup dan ISL yang sudah ada di tahun sebelumnya, R6 IDN juga memperkenalkan 2 turnamen baru yang ditujukan untuk jenjang yang lebih tinggi lagi: Star League dan Major Event.

Star League sendiri sudah berjalan dari awal tahun (Januari) 2019. Turnamen ini diposisikan di atas ISL karena memang ada kualifikasinya dan dibagi jadi 2 kelas. Untuk Major Event, Bobby masih belum bisa banyak bercerita tentang ini. Namun yang pasti, Major Event ini akan menjadi kulminasi dari semua ajang kompetitif R6S di Indonesia.

Dari penjelasan tadilah, saya kira memang komunitas ini bisa disebut ambisius. Pasalnya, setidaknya dari yang saya tahu, tidak banyak scene esports game lainnya yang punya jenjang kompetitif yang rapih seperti yang yang coba ditawarkan oleh R6 IDN. R6 IDN ini punya jenjang kompetitif dari tingkat rookie (ComCup), semi-pro (ISL), dan profesional (Star League); hingga kulminasi dari semua jenjang kompetitif tadi (Major Event).

Padahal, R6 IDN memang hanya komunitas biasa (bukan perusahaan EO ataupun publisher) meski memang mereka dapat dukungan langsung dari Ubisoft; yang bisa dibilang sebagai salah satu publisher game terbesar di dunia saat ini.

Bentuk Dukungan Ubisoft ke R6 IDN dan Rencana Mereka

Seperti cerita Bobby tadi, Ubisoft sendiri sebagai publisher R6S sudah memberikan dukungan langsung ke komunitas dan esports scene R6S di Indonesia. Namun seperti apa sebenarnya dukungan mereka?

Menurut cerita Bobby, semua kegiatan dari komunitas R6 IDN mendapatkan dukungan dari Ubisoft. Bentuk dukungan tersebut meliputi prize pool (uang tunai untuk hadiah kompetisi, termasuk art competition-nya), in-game currency (R6S Credits), ataupun merchandise (seperti kaos, gantungan kunci, dan kawan-kawannya).

Saat awal dukungan, Ubisoft juga mengirimkan dana yang dapat digunakan untuk komunitas ini membeli perlengkapan streaming.

Lalu apa sebenarnya tujuan Ubisoft memberikan dukungan langsung ke komunitas ini? Bobby pun bercerita bahwa tujuan Ubisoft adalah untuk mendukung semua kegiatan komunitas R6S, sekaligus meningkatkan popularitas game ini di Indonesia. Rencana Ubisoft ini sebenarnya tak hanya untuk Indonesia tapi juga untuk Asia Tenggara dan Asia secara keseluruhan.

Rencana konkret Ubisoft sendiri sebenarnya sudah cukup banyak untuk Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia. Namun hal tersebut masih tak dapat dibuka untuk publik. Semoga saja, Ubisoft dan sejumlah rekanannya dapat turut meramaikan kembali esports PC di Indonesia ya!

Scene Esports & Notable Teams R6S di Indonesia

Jika tadi saya sudah menjelaskan kompetisi-kompetisi R6S di Indonesia dan jenjangnya, sekarang mari kita lihat kondisi scene esports R6S di Indonesia.

Saat ini, menurut data dari ComCup terakhir, ada 30 tim yang ikut serta turnamen tersebut. Ada belasan tim lain juga yang sudah sering terdengar di berbagai kompetisi garapan R6 IDN. Sayangnya, berhubung akan jadi terlalu panjang, saya tak bisa menyebutkan semuanya.

Meski demikian, ada beberapa notable tim R6S yang yang patut diceritakan. Pertama, ada tim yang bernama iNation. iNation merupakan salah satu tim R6S tertua di Indonesia. Selain itu, saat artikel ini ditulis, pemilik tim iNation (yang juga punya bisnis warnet) juga punya 3 tim lagi selain iNation.

Selain iNation, ada tim Ferox. Tim Ferox juga salah satu tim tertua di sejarah kompetisi R6S di Indonesia. Istimewanya, tim ini memiliki para pemain yang punya skill individu dan gameplay yang unik. Permainan mereka bisa saja berubah tergantung dari siapa lawan yang dihadapi.

Setelah itu, ada yang namanya tim Scrypt. Scrypt bisa dibilang sebagai tim R6S Indonesia yang paling baik catatan prestasinya. Pasalnya, tim ini pernah mewakili Indonesia bertanding di ajang ESL Pro League APAC Finals tahun 2018. Kala itu, tim ini juga diakuisisi oleh Aerowolf, organisasi esports Indonesia yang bisa dibilang paling fokus mengejar esports PUBG.

Sudah berpisah dengan Scrypt, Aerowolf sekarang juga masih punya tim R6S sebenarnya. Namun tim R6S Aerowolf saat ini terdiri dari para pemain asal Singapura. Aerowolf, Scrypt, dan Ferox, ketiganya masuk ke dalam ESL Pro League kawasan APAC untuk musim ini.

Klasemen sementara R6 Pro League Wilayah APAC-SEA. Sumber: Pro League
Klasemen sementara R6 Pro League Wilayah APAC-SEA. Sumber: Pro League

Jika berbicara soal jumlah pemain atau penonton, R6S sendiri mungkin memang masih kalah dibanding Dota 2; apalagi dibanding esports game mobile. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat, pemain ataupun penggemar R6S tadi mungkin memang tak akan mungkin mengalahkan jumlah esports mobile.

Kenapa? Karena R6S sendiri memang game berkelas, jika tak mau dibilang mahal. Saat artikel ini ditulis, R6S masih dibanderol dengan harga Rp229 ribu di Steam. Itu pun versi paling murahnya. Ada versi Deluxe-nya yang di harga Rp345 ribu dan versi paling lengkapnya (Ultimate Edition) yang mencapai nominal Rp1,149 juta.

Itu tadi masih harga game-nya, belum harga komponen (PC) yang dibutuhkan untuk bermain R6S dengan nyaman. Rekomendasi sistem minimal yang dicantumkan di Steam ataupun website resmi mereka memang cukup terjangkau namun spesifikasi tersebut belum ideal untuk kelas esports-nya.

Bobby dan saya setuju bahwa kartu grafis minimal yang dibutuhkan untuk bermain R6S dengan nyaman adalah GeForce GTX 1060 atau yang setara. Belum lagi, saya tahu betul gamer FPS di PC itu adalah yang paling rewel soal monitor yang refresh rate-nya di atas 60Hz. Saya pun mencoba membuat simulasi spek PC yang dibutuhkan agar nyaman bermain R6S. Hasilnya? Saya butuh lebih dari Rp20 juta untuk mendapatkan sebuah desktop gaming untuk R6S. Disclaimer, standar spek PC saya mungkin sedikit lebih tinggi dari kebanyakan gamer; jadi mungkin spek desktop di harga belasan juta bisa dikompromikan untuk yang sedikit lebih terbatas.

Karena itulah, pasar esports R6S, termasuk di Indonesia, memang mungkin tidak akan bisa masif layaknya game ponsel namun para gamer R6S sebenarnya bisa dikategorikan ke dalam pasar menengah atas. Pasar ini bisa jadi cocok untuk target pemasaran produk-produk mahal (jika menghitung perkiraan daya beli gamer R6S). Namun sayangnya, sepertinya masih belum banyak para pelaku industri esports Indonesia yang memperhitungkan daya beli pasarnya. Lain kali, mungkin saya akan mencoba membahas soal ini lebih detail.

Scene Esports R6S Internasional

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Lalu bagaimana dengan scene esports R6S di dunia internasional? Barangkali ada juga tim-tim lain seperti BOOM ID yang lebih tertarik untuk mengejar prestasi internasional, ijinkan saya sedikit bercerita sedikit tentang ini.

Di dunia internasional, R6S sendiri mungkin memang masih di bawah Dota 2 ataupun LoL dari sisi popularitas ataupun prize pool turnamen. Namun demikian, R6S di sana, menurut saya, sudah sangat mendekati CS:GO (berhubung CS:GO memang tak punya jenjang rapih seperti The International ataupun World Championship).

Di tingkat internasional, R6S punya 2 turnamen utama, yaitu ESL Pro League dan R6 Invitational. Sistem kompetisinya mungkin lebih mirip dengan LoL ketimbang Dota 2. ESL Pro League dapat diibaratkan seperti LCS, LCK, LPL, ataupun liga-liga LoL tiap-tiap kawasan. Pasalnya, Pro League R6S juga dibagi jadi 4 kawasan (Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Asia Pasifik), setidaknya sampai artikel ini ditulis.

Sedangkan R6 Invitational adalah gelaran puncak dari esports R6S di dunia. Turnamen ini bisa diibaratkan seperti World Championship-nya LoL. Selain 2 kompetisi utama tadi, R6S juga punya sejumlah turnamen kelas Minor seperti yang ada di DreamHack 2017 dan 2018. Terakhir kali, G2 yang menjadi juara untuk turnamen paling bergengsi di R6S dan membawa pulang hadiah sebesar US$800K.

Penutup

R6S. Courtesy of Ubisoft.
R6S. Courtesy of Ubisoft.

Akhirnya, Bobby dan kawan-kawan komunitas R6S Indonesia memang punya harapan kepada kawan-kawan media, tim esportsevent organizer, ataupun sponsor untuk turut memeriahkan esports R6S di Indonesia.

Saya pribadi sebenarnya juga tertarik melihat masa depan esports R6S di Indonesia. Pasalnya, bisa dibilang R6S adalah salah satu game esports termahal yang ada di Indonesia (yang bisa mengalahkannya, dari sisi harga perangkat, mungkin hanya dari Sim Racing). Jika R6S bisa populer di Indonesia, hal ini akan mematahkan anggapan banyak orang, lokal ataupun internasional, yang mengatakan bahwa Indonesia hanya cocok untuk pasar low-end.

Plus, di sisi industri esports-nya sendiri, bagi saya pribadi; lebih sehat saja jika industrinya punya target pasar yang berbeda-beda kelas ekonominya. Ponsel saja punya klasifikasi target pasar dari yang kelas bawah sampai kelas sultan. Demikian juga dengan industri-industri subur lainnya, seperti pendidikan, properti, F&B, dkk, semuanya punya klasifikasi pasar yang berbeda-beda.

Sedangkan di esports Indonesia, sepertinya belum banyak yang menyadari hal ini karena kebanyakan pelakunya masih mengejar volume masif yang biasanya memang hanya bisa ditawarkan kelas low-end

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN)

Kisah Hidup Tokido, Legenda Street Fighter yang Dijuluki “Sang Iblis”

Musim panas 2017 adalah masa yang tak terlupakan bagi pemuda bernama Victor Woodley. Tak lama menjelang datangnya turnamen fighting game terbesar dunia, Evolution Championship Series (EVO), Woodley yang saat itu masih berusia 18 tahun baru saja menandatangani kontrak profesional bersama tim esports Panda Global. CEO Panda Global, Alan Bunney, berkata bahwa Woodley akan menjadi salah satu “kuda hitam” di tahun 2017, dan itu bukan tanpa alasan.

Performa Woodley memang sedang hebat-hebatnya. Ia baru saja memenangkan tiga turnamen bergengsi berturut-turut, menumbangkan sederet nama besar dunia Street Fighter seperti Justin Wong, Yusuke Momochi, dan Fuudo. Setelah bergabung bersama Panda Global, Woodley pun langsung memenangkan satu turnamen lagi, yaitu ELEAGUE Street Fighter V Invitational 2017 yang memberikannya hadiah sejumlah US$150.000 (sekitar Rp2,1 miliar).

Sepak terjang si darah muda menimbulkan badai di komunitas fighting game. Sebagian terkesima dengan permainannya, tapi sebagian lainnya justru tak suka karena Woodley punya kebiasaan melakukan trashtalk—sesuai dengan nickname yang ia pakai, “Punk”. Orang pun mulai bertanya-tanya. Apakah Victor Woodley merupakan pemain jenius yang akan jadi legenda baru Street Fighter? Lagi pula bila para mantan juara EVO saja bertekuk lutut, siapa yang bisa menghentikannya?

Punk
Victor “Punk” Woodley, pemain Street Fighter paling ditakuti di tahun 2017 | Sumber: Gamereactor

Untuk sejenak mereka lupa, bahwa jauh sebelum karier Punk melejit, pernah ada seorang jenius lain dari seberang dunia. Jenius yang memenangkan turnamen EVO ketika ia baru berusia 17 tahun—bahkan lebih muda dari Punk.

The Beginning

Jenius itu adalah seorang pria asal Jepang bernama Hajime Taniguchi. Lahir di Okinawa pada tanggal 7 Juli 1985 dari pasangan dokter gigi Hisashi Taniguchi dan Yukiko Taniguchi, Hajime sejak kecil tergolong anak yang pintar. Ia tidak punya banyak teman di sekolah karena keluarganya sering berpindah rumah, jadi waktu luangnya kebanyakan dihabiskan untuk bermain game. Sang ayah, mendukung hobi putranya namun tetap perhatian pada edukasi, selalu berjanji akan membelikan game terbaru bila Hajime berhasil meraih nilai yang baik di sekolah.

Hajime mulai mengenal game dari judul keluaran Nintendo yang sangat populer di akhir era 80an, yaitu Super Mario Bros. Namun menginjak bangku sekolah dasar, ia bertemu dengan game yang akan mengubah hidupnya di masa depan: Street Fighter II. Hajime sebetulnya menyukai segala jenis game. Ia merupakan penggemar judul-judul JRPG, seperti seri Final Fantasy dan Dragon Quest. Tapi sejak mencoba Street Fighter II di rumah seorang teman, benih jiwa kompetitif Hajime mulai tumbuh.

Street Fighter II - 30th Anniversary Collection
Tokido menyukai fighting game sejak era Street Fighter II | Sumber: Capcom

Ia mulai menghabiskan banyak waktu untuk bermain Street Fighter II sendirian, di samping berbagai game lainnya. Namun sesekali, ketika keluarganya pulang kampung ke Okinawa, Hajime punya kesempatan untuk bertanding melawan sepupunya yang lebih tua—dan selalu kalah. Dalam wawancaranya dengan theScore esports, Hajime pun mengakui bahwa sepupunya itu adalah seorang pemain fighting game yang sangat baik.

Tidak puas dengan kekalahan itu, Hajime terus-menerus berlatih, bukan hanya di Street Fighter namun juga fighting game lainnya. Hingga akhirnya suatu hari, Hajime berhasil menang dari sepupunya dalam pertandingan Virtua Fighter 2. Kemenangan itu membuatnya lebih percaya diri dan lebih mendedikasikan diri untuk mengasah keahlian di genre game yang sangat disukainya.

Enter Tokido

Menginjak usia SMP, kegemaran Hajime bermain fighting game telah berubah menjadi kegiatan yang lebih sosial. Ia lebih sering bertanding bersama teman, juga berpartisipasi di turnamen-turnamen. Selama era SMP hingga SMA inilah Hajime mulai membangun reputasi sebagai salah satu pemain fighting game yang kuat di Jepang.

Virtua Fighter 2
Virtua Fighter 2, revolusioner pada masanya | Sumber: Emuparadise

Ada satu ciri khas dari gaya permainan Hajime yang sebetulnya efektif namun membuat banyak orang kesal, yaitu kebiasaannya untuk selalu memainkan karakter maupun strategi paling optimal demi kemenangan. Tidak peduli apa game yang ia mainkan, tidak peduli se-cheesy (murahan) apa pun sebuah taktik, ia sama sekali tidak sungkan karena ia sangat haus akan kemenangan. Toh ia tidak melakukan perbuatan curang.

Gaya permainan ini sangat mencolok ketika ia memainkan King of Fighters. Mengandalkan karakter Iori Yagami—yang dalam ceritanya pun merupakan tokoh jahat—Hajime selalu bermain dengan spamming tiga gerakan terus-menerus. Seorang kakak kelas Hajime kemudian menyematkan nickname padanya. “Tokido”, yang merupakan singkatan dari tiga gerakan itu: Tonde (melompat), Kick (menendang), dan Doushita (kalimat yang dilontarkan Iori Yagami ketika mengeluarkan fireball). Hajime tidak keberatan menerima nickname tersebut. Sejak saat itu, ia pun menyebut dirinya sebagai Tokido.

The King of Fighters XIII - Iori Yagami
Iori Yagami, karakter yang memunculkan nickname “Tokido” | Sumber: Steam Card Exchange

Momen besar dalam hidup Tokido terjadi di tahun 2002. Saat itu ia sedang berusia 17 tahun, dan sedang duduk di tingkat terakhir bangku SMA. Esports belum populer seperti sekarang, jadi impian untuk menjadi gamer profesional pun tak terbayangkan di benaknya. Rencana hidup Tokido adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, mengambil gelar S2, kemudian mencari pekerjaan mapan.

Dengan rencana hidup demikian, Tokido sadar bahwa ia tidak bisa bermain game selamanya. Di saat yang bersamaan, ia mendengar kabar akan adanya turnamen fighting game tingkat dunia di Los Angeles yang bernama Evolution Championship Series (EVO). Merasa bahwa mungkin inilah turnamen terakhir yang bisa ia ikuti, Tokido kemudian meminta izin pada ayahnya untuk pergi ke Los Angeles, dengan janji bahwa sepulang dari kejuaraan tersebut ia akan fokus pada pendidikan.

Father

Hisashi Taniguchi adalah ayah yang serius, bahkan kaku. Yang tidak banyak orang tahu, semasa mudanya Hisashi pernah punya impian untuk menjadi musisi. Apalagi waktu itu instrumen synthesizer sedang booming. Hisashi sangat menyukai synthesizer, namun sayangnya instrumen tersebut sangat mahal dan Hisashi sendiri merasa tidak begitu berbakat dalam bermain musik. Ia akhirnya memilih jalur karier sebagai dokter gigi, namun kecintaannya pada bidang musik tak pernah padam.

Tokido - Family
Tokido bersama keluarganya | Sumber: ELEAGUE via theScore esports

Minat besar pada musik bahkan membantu kariernya di dunia kedokteran. Salah satu riset yang pernah ia lakukan adalah tentang cara membantu pasien kanker yang harus menjalani pelepasan rahang saat perawatan. Pemahaman Hisashi akan suara, serta keahliannya di bidang prosthetic (anggota tubuh buatan), merupakan bekal untuk membantu para pasien tersebut belajar berbicara kembali. Dengan uang yang dikumpulkannya sebagai dokter gigi pun, Hisashi akhirnya dapat menggapai impiannya untuk membeli synthesizer dan menggubah musik sendiri.

Pengalaman hidup itu diperkuat lagi dengan posisi Hisashi yang sedang menjabat sebagai wakil presiden sebuah universitas. Ia kerap mendengar keluhan dari para mahasiswanya, termasuk berbagai konflik antara mahasiswa dan orang tua yang terjadi saat sedang merencanakan masa depan. Karena itu, ketika Tokido meminta izin untuk berkompetisi di turnamen dunia, ia langsung tahu apa yang harus dilakukan.

“Oh, kamu ingin pergi ke Amerika Serikat untuk ikut turnamen video game? Oke, ayah akan bayari,” kata Hisashi pada Tokido. Jawaban yang membuat Tokido sendiri terkejut, karena ia tak menyangka ayahnya yang kaku itu akan mau membiayainya untuk bermain game. Tokido pun berangkat ke EVO 2002 sebagai kontestan termuda asal Jepang (juga satu-satunya pemain Jepang yang bisa berbahasa Inggris). Oleh-oleh yang dibawanya pulang, adalah gelar juara dunia untuk game Capcom vs. SNK 2: Mark of the Millennium 2001, uang hadiah senilai US$1.500, serta sebuah kebanggaan besar.

Seluruh uang hadiah itu kemudian habis, digunakan oleh Tokido untuk bermain game lebih sering lagi di arcade center.

Tokido - EVO 2002 Champion
Tokido ketika menjuarai EVO 2002 | Sumber: James Chen via Reddit

Professional

Apa yang Anda lakukan setelah meraih gelar juara dunia? Bagi Tokido, tidak ada yang banyak berubah. Rencana hidupnya tetap sama. Ia melanjutkan pendidikan di salah satu kampus paling prestisius di Jepang, The University of Tokyo alias Todai, dengan jurusan teknik kimia material. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, Tokido masih tetap menekuni fighting game sebagai hobi. Ia juga beberapa kali datang kembali ke turnamen EVO, bahkan meraih gelar juara lagi di tahun 2007 untuk cabang Super Street Fighter II Turbo.

Tahun 2008, Tokido lulus dari Todai, kemudian mulai melakukan persiapan untuk ujian masuk program magister. Namun sayangnya ia merasa kesulitan dalam ujian itu dan mendapat hasil yang sangat buruk. Rencana hidup Tokido harus berubah. Ia berada di persimpangan jalan, tak yakin apa yang harus dilakukan berikutnya.

Saat itu yang terbayang di Tokido adalah mencari pekerjaan, dan Jepang punya kultur kuat dalam hal ini. Di Indonesia kita mungkin sudah terbiasa melihat karyawan berpindah-pindah perusahaan, namun di Jepang umumnya ketika seseorang sudah mendapat pekerjaan penuh waktu, ia akan bertahan di pekerjaan itu untuk jangka yang lama—bahkan seumur hidup. Jadi bagi Tokido ini adalah keputusan yang sangat besar.

Tokido mengaku sempat ingin mencari pekerjaan di pemerintahan. Stereotype pekerjaan ini adalah gaji yang tidak begitu tinggi namun sangat stabil, dan ia akan punya waktu serta kesempatan berlibur untuk menjalankan hobinya yaitu bermain fighting game. Tapi kemudian santer kabar yang cukup menghebohkan komunitas fighting game Jepang. Daigo Umehara, sang legenda Street Fighter yang sempat “banting setir” menjadi pemain mahyong, memutuskan untuk kembali ke dunia fighting game sebagai gamer profesional. Untuk pertama kalinya di Jepang, atlet esports—khususnya esports fighting game—terlihat punya potensi sebagai sebuah profesi.

Kembalinya Daigo, ditambah dengan popularitas Street Fighter IV yang waktu itu baru saja dirilis, membuat ekosistem fighting game tumbuh bergairah. Tidak hanya di Jepang, namun juga di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat. Tokido yang waktu itu berusia 24 tahun kemudian berkonsultasi kepada ayahnya tentang kemungkinan untuk menjadi gamer profesional seperti Daigo. Sama seperti enam tahun sebelumnya ketika Tokido meminta izin pergi ke EVO, kali ini pun sang ayah langsung mengizinkan.

Midas

Karier profesional Tokido telah dimulai, namun saat itu ia masih belum mendapat sponsor. Untuk memenuhi kebutuhannya Tokido mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu, tapi semua itu ia lakukan semata-mata untuk mendukung aktivitasnya di dunia fighting game. Di era inilah Tokido mulai meraih reputasi sebagai seorang pemain jenius. Bagai raja Midas yang mampu mengubah benda apa pun yang ia sentuh menjadi emas, Tokido menunjukkan bahwa ia dapat berkompetisi di level sangat tinggi, apa pun game yang ia mainkan.

Tokido - Murderface
Tokido selalu berwajah serius saat bertanding | Sumber: Karaface

Di periode 2008 – 2015, Tokido berhasil menjuarai kompetisi di segudang game berbeda. Mulai dari Tekken, Soulcalibur, The King of Fighters, Tekken, Street Fighter x Tekken, Marvel vs. Capcom, BlazBlue, hingga Persona 4 Arena. Setiap kali ada turnamen fighting game besar, rasanya aneh jika nama Tokido tidak masuk ke babak Top 16, bahkan ia juga langganan tampil di Grand Final.

Seiring berjalannya waktu reputasi Tokido semakin melesat, dan ia mulai memperoleh beberapa nickname lain dari para penggemarnya. Salah satu yang paling terkenal adalah “Murderface”, karena Tokido selalu menunjukkan wajah sangat serius ketika ia bermain. Tokido juga mendapat julukan “The Demon” sebab karakter andalannya adalah Akuma.

Sebetulnya Tokido pertama kali memilih untuk memainkan Akuma atas saran dari Daigo Umehara, karena menurutnya Akuma adalah karakter kuat yang lebih mudah digunakan dibanding karakter lain, misalnya Ryu. Tapi di tangan Tokido, Akuma bukan hanya kuat namun juga menjadi sangat cheesy. Tokido bahkan menciptakan sebuah taktik bernama Tokido Vortex, yaitu taktik yang memanfaatkan banyak gerakan salto (Demon Flip) sehingga lawan bingung bagaimana harus merespons dan pasti terkena damage.

Meski terkenal tak punya belas kasihan terhadap lawan, di balik gaya bermainnya yang kejam itu Tokido juga disukai banyak orang karena ia memiliki kepribadian yang ramah dan eksentrik. Ia adalah orang yang humoris dan sering melakukan hal-hal aneh di atas panggung. Bahkan ada masa di mana setiap kali akan bertanding, Tokido selalu mengukur jarak ideal antara wajahnya dengan layar monitor menggunakan meteran!

Tahun 2011 merupakan tahun yang penting bagi Tokido. Di tahun inilah ia akhirnya bergabung dengan tim Mad Catz, bersama dengan Daigo Umehara. Bersama dengan salah satu pemain veteran Jepang lainnya yaitu Mago (Kenryo Hayashi), Tokido juga menjadi host untuk acara streaming yang disebut Topanga TV. Dalam acara ini mereka bermain secara rutin dan membagikan berbagai tips fighting game pada pemirsa, sekaligus mengadakan pertandingan-pertandingan eksibisi antara pemain-pemain top. Sepanjang era Street Fighter IV, karier Tokido berkembang pesat dan ia telah masuk ke zona nyaman seorang atlet esports. Hanya saja, ada satu masalah.

Tokido tidak pernah menjadi juara EVO.

Tokido - Ruler
Tokido memanfaatkan segala cara demi kemenangan | Sumber: TokidoFans

Focus Attack

Ketika kita berbicara tentang legenda di dunia Street Fighter, nama yang pertama kali mencuat pastilah Daigo Umehara. Hal ini bukan tanpa alasan. Daigo memang punya sejarah prestasi yang luar biasa, serta berbagai catatan rekor yang sulit disaingi. Di luar kariernya sebagai atlet fighting game Daigo juga memiliki usaha clothing line sendiri, telah menjadi penulis buku, bahkan menjadi trainer dalam seminar-seminar bisnis.

Bukan berarti Daigo tak pernah kalah sama sekali. Di berbagai turnamen langkah Daigo sempat terhenti oleh jawara-jawara lainnya. Tapi itu tak menggoyahkan status Daigo sebagai “The Beast”, sang pemain buas namun karismatik yang menjadi wajah terdepan dunia Street Fighter. Berada dalam satu tim yang sama, Tokido semakin menyadari betapa jauhnya perbedaan kemampuan antara Daigo dan dirinya.

Tokido tidak puas dengan kondisi seperti ini. Ia tidak puas hanya menjadi seorang pemain hebat. Ia ingin menjadi yang terhebat, karena ia tahu bahwa hanya pemain-pemain terhebat saja yang bisa bertahan di dunia fighting game. Untuk meraih tujuan tersebut, ketika Street Fighter V dirilis pada tahun 2016, Tokido memutuskan meninggalkan semua fighting game lainnya dan fokus pada Street Fighter saja.

Tokido and Daigo
Tokido sempat menjadi kawan satu tim Daigo Umehara | Sumber: CEOGaming via Kusa3k

Di awal perilisan Street Fighter V, Akuma yang menjadi andalan Tokido belum masuk ke dalam jajaran karakter yang bisa dimainkan. Sebagai pengganti, Tokido memilih Ryu dan mulai berlatih keras. Setelah sempat gugur di Grand Final beberapa kali, Tokido akhirnya meraih gelar juara di turnamen bergengsi, Community Effort Orlando (CEO) 2016. Turnamen ini merupakan rematch antara dirinya dengan Infiltration (Lee Seon-woo), juara Street Fighter V yang mengalahkannya di beberapa Grand Final sebelumnya.

Sepak terjang Tokido meraih momentum yang tinggi, tapi lalu terjadi sebuah masalah. Organisasi Mad Catz yang menaungi Tokido harus melepaskan divisi esports fighting game mereka karena kendala finansial. Sempat menjadi free agent beberapa lama, Tokido kemudian bergabung dengan tim Echo Fox, bersama sederet nama besar fighting game lain termasuk Justin Wong, Momochi, dan SonicFox (Dominique McLean). Sementara Daigo Umehara bergabung dengan tim di bawah bendera Red Bull.

Memasuki tahun 2017, Akuma akhirnya hadir di Street Fighter V, dan Tokido pun segera beralih ke karakter favoritnya itu. Karena baru berganti karakter wajar saja bila performa Tokido di turnamen sedikit menurun di masa-masa ini. Hingga pertengahan tahun Tokido masih berusaha beradaptasi, sementara di belahan dunia lain sebuah ancaman baru tengah mengintai. Ancaman yang bernama Punk.

Carnage

Apa yang membuat seseorang diakui sebagai legenda? Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari keahlian, prestasi, reputasi, atau lainnya. Tokido sudah memiliki beberapa di antaranya, tapi masih ada sesuatu yang kurang. Ia belum punya suatu momen ikonik yang menahbiskan statusnya sebagai seorang legenda, seperti EVO Moment #37 milik Daigo Umehara yang sangat terkenal. Dan di tanggal 16 Juli 2017, momen ikonik itu akhirnya terjadi.

Tokido hanyalah salah satu dari sekian banyak veteran fighting game yang turut berkompetisi dalam EVO 2017. Daigo Umehara, Momochi, Bonchan, Justin Wong, MenaRD, Infiltration, Haitani, Dogura, Mago, GamerBee, Nemo, Ricki Ortiz, Fuudo, dan masih banyak lagi, juga menjadi partisipan di turnamen fighting game terbesar dunia itu. Di antara nama-nama besar tersebut, Tokido dan Punk termasuk di dalam jajaran pemain yang lolos ke babak Top 8, tapi ada perbedaan besar di antara keduanya.

Bila Punk adalah rising star yang punya rekam jejak gemilang menjelang EVO, Tokido justru terlihat masih agak kesulitan beradaptasi dengan karakter barunya. Bila Punk melenggang ke Top 8 lewat Winners’ Bracket dan mendominasinya, Tokido justru harus merangkak di Loser’s Bracket dengan ancaman eliminasi. Bila Punk digadang-gadang sebagai kandidat paling kuat untuk jadi juara, banyak orang bahkan tidak memperhitungkan kemungkinan Tokido yang akan meraihnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Tokido sebenarnya sudah pernah kalah dari Punk di turnamen EVO ini. Mereka sempat bertemu di babak Top 32, dan saat itu Punk menang meyakinkan dengan skor 0-2. Punk-lah orang yang mengirim Tokido ke Losers’ Bracket, dan bila Tokido ingin jadi juara, Punk jugalah yang harus ia kalahkan di Grand Final.

Perjalanan Tokido di babak Top 8 adalah perjalanan yang mengagumkan. Bagai kerasukan iblis, satu-persatu kandidat kuat juara ia paksa berkemas pulang. Ia mengalahkan Filipino Champ, yang dikenal sebagai pemain Dhalsim terbaik dunia. Ia mengalahkan NuckleDu, ahli Guile yang sebelumnya juara Capcom Cup 2016. Ia mengalahkan Itabashi Zangief, salah satu pemain pertama yang meraih peringkat Master di Capcom Fighters Network (CFN) saat itu. Ia mengalahkan Kazunoko, kandidat kuat lain yang meraih juara 3 di Capcom Cup 2016. Jalan Tokido di EVO 2017 adalah sebuah “pembantaian besar”, dan pembantaian itu masih belum berakhir.

Raging Demon

Berhadapan kembali dengan Punk di Grand Final, Tokido mengamuk. Segala macam kejadian menghebohkan yang mungkin terjadi di sebuah pertandingan fighting game, dapat Anda temukan di sini. Di bawah sorotan kamera, disaksikan ratusan ribu penonton di seluruh dunia, dan memikul beban sebagai wakil dari dua negara yang telah lama bersaing di dunia fighting game, kekuatan mental kedua pemain benar-benar diuji. Lalu di tengah ketegangan yang kian memuncak, apa yang dilakukan oleh Tokido?

Ia melakukan Taunt Combo. Melawan Punk. Di Grand Final EVO.

Tokido sebetulnya bisa menang dengan cara biasa, tapi itu tidak cukup. Ia juga melakukannya dengan gaya. Taunt Combo adalah sebuah pernyataan dari Tokido bahwa di panggung turnamen terbesar dunia ini ia tidak hanya ingin menang dari Punk—ia ingin menghancurkannya. Tak sekadar menghajar karakter yang ada di layar, Tokido juga menghantam mental Punk dengan telak, seolah mengingatkannya agar tidak sombong karena semakin tinggi seseorang terbang, semakin keras pula jatuhnya.

Ketika Tokido berhasil melakukan bracket reset, sorak sorai penonton begitu gegap gempita. Diikuti langsung oleh sebuah ronde dengan kemenangan Perfect, rasanya sulit untuk percaya bahwa Tokido sebelumnya bahkan tidak dianggap favorit juara. Lalu ketika Tokido menghabisi Punk dengan jurus pamungkas Raging Demon, saat itulah semua orang sadar. Mereka sedang menyaksikan sebuah momen bersejarah di dunia fighting game.

Tokido - Winning Pose
Pose kemenangan Tokido di EVO 2017 | Sumber: ESPN

Sepuluh tahun. Selama itulah Tokido menunggu. Berlatih, bertanding, dan mengejar kembali gelar juara dunia yang dulu pernah diraihnya. Dan ia berhasil, setelah melalui proses yang luar biasa. Kemudian bukannya sombong atau membanggakan diri. Ketika ia diwawancara di atas panggung, ia menutup hari dengan sebuah pesan: “Fighting game is something so great.”

Another Beginning

“Fighting game is something so great.” Fighting game adalah sesuatu yang hebat. Apa makna ungkapan tersebut? Di kemudian hari Tokido menjelaskan, bahwa menurutnya, fighting game adalah salah satu hal di dunia ini yang pasti akan memberikan hasil sesuai dengan usaha kita. Lagi pula, dalam pertarungan satu lawan satu, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali diri kita sendiri ketika kita gagal. Sebaliknya, bila kita mau bekerja keras, maka impian kita pasti akan terwujud.

Tokido - EVO 2017 Champion
Juara dunia setelah sepuluh tahun lamanya | Sumber: Capcom Fighters

EVO 2017 seolah menjadi titik balik dalam karier Tokido. Sejak saat itu ia telah memenangkan sejumlah gelar bergengsi lainnya, seperti SEA Major 2017, ELEAGUE Street Fighter V Invitational 2018, Canada Cup 2018, dan banyak lagi. Dalam sirkuit kompetisi Capcom Pro Tour 2018, Tokido juga menjadi pemimpin klasemen dengan perolehan poin yang sangat jauh dibandingkan saingan terdekatnya. Dan kini, tak ada lagi yang meragukan kemampuan Tokido sebagai salah satu atlet Street Fighter terbaik dunia—bahkan mungkin yang terbaik.

Semangat untuk selalu menyempurnakan kemampuan dan memperbaiki diri, serta kepercayaannya pada kekuatan kerja keras, membuat Tokido sangat cocok dengan profesinya sebagai atlet esports fighting game. Setelah menjuarai EVO pun ia tak berhenti membuktikan diri, termasuk menantang Daigo Umehara dalam acara duel yang disebut Kemonomichi (Way of the Beast).

Di pertarungan berformat First to 10 (alias Best of 20) itu, The Demon harus tunduk kepada The Beast dengan skor 5-10. Tokido sadar, meski sudah menjadi juara dunia, jalan panjang masih terbentang di hadapannya. Tujuan akhir Tokido bukan “hanya” juara dunia. Bukan “sekadar” jadi pemain terkuat. Ia ingin sesuatu yang lebih dari itu. Ia ingin melampaui Daigo Umehara. Seperti mantan teman satu timnya itu, suatu hari nanti, ia ingin menjadi seorang legenda.

Satu yang mungkin Tokido tak sadar, adalah bahwa sebenarnya, ia sudah seorang legenda

Cerita Hendry ‘Jothree’ Handisurya tentang Pertarungannya Lolos Kualifikasi Hearthstone Masters Las Vegas

Akhir pekan kemarin, selain Rizky Faidan dan tim WANI yang jadi juara di Jepang dalam gelaran PES Asia Finals 2019, kabar baik datang dari atlet Hearthstone Indonesia. Adalah Hendry ‘Jothree’ Handisurya, pemain Hearthstone dari TEAMnxl>,  yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya dalam kualifikasi Hearthstone Master Las Vegas.

Di kualifkasi dengan pendaftar sekitar 300 orang ini, Jothree harus berhadapan dengan pemain-pemain Hearthstone (HS) kelas dunia. Di babak finalnya, Jothree bahkan harus berhadapan dengan salah satu top player Hearthstone kelas dunia, Sebastian ‘Ostkaka’ Engwall asal Swedia mantan pemain organisasi esports besar, Na’Vi.

Sebelumnya, Jothree juga lolos kualifikasi untuk WCG 2019. Sumber: TEAMnxl
Sebelumnya, Jothree juga lolos kualifikasi untuk WCG 2019. Sumber: TEAMnxl

Saya pun menghubungi Jothree untuk memintanya berbagi cerita tentang kualifikasi Hearthstone Masters Las Vegas ini.

Hybrid (H): Boleh diceritain dulu kah soal turnamennya, buat mereka-mereka yang tidak familiar dengan esports Hearthstone? 

Jothre (J): “Jadi, HS Master Las Vegas itu salah satu program baru dari Blizzard tahun ini yang paling bergengsi buat nyari World Champion 2019 singkatnya. Detailnya, bisa dibaca di artikel dari Variety ini. Yang gua ikutin kemarin itu salah satu qualifier untuk ke Las Vegasnya ini tanggal 14-17 Juni 2019 nanti.”

H: Siapa saja lawan-lawan berat yang dihadapi kemarin dan kenapa?

J: “Ada sekitar 300 orang yang daftar kemarin sih; dan ada banyak banget nama-nama besar yg ikut kaya yoitsflo, innovatioN, Cosmo, dan, yang paling noticeable itu Ostkaka yang notabene Hearthstone World Champion asal Swedia.”

H: Boleh diceritain kah salah satu atau dua pertandingan yang paling berkesan?

J: “Pas fase Swiss awal lancar banget perjalanannya. Di situ gua lolos di peringkat 1 dengan score 8 0. Kalo yang paling berkesan mungkin pas grand finalnya. Karena di situ gua harus lawan salah satu idola gua dan mungkin hampir semua player-player HS di dunia wkwkwk, Ostkaka! Di situ gua menang 2 1. Pertandingannya juga ketat banget.”

H: Gimana peluangnya nanti di Las Vegas? Kira-kira bisa sampai mana nih?

J: “Kalo bicara peluang sih gua rasa pemain-pemain yang udah berhasil lolos ke sana itu udah pasti kelas-kelas berat semua ya. Tapi yang pasti sih gua bakal berusaha sebaik mungkin buat bawa nama Indonesia dan South East Asia di sana.”

H: Siapa lawan-lawan berat yang akan dihadapi nanti? Kenapa?

J: “Hahaha semuanya lawan berat di sana. Soalnya ya semua yang lolos ke Vegas itu cuma satu orang dari sekian banyak banget yang ikutan qualifier-nya.”

Itu tadi perbincangan singkat kami dengan Hendry. Buat yang tidak mengikuti esports Hearthstone Indonesia, Hendry sendiri merupakan salah satu pemain HS Indonesia terbaik bersama dengan Novan ‘Nexok40’ Kristianto, Reza ‘Rezdan’ Sevia, dan Rama ‘DouAhou’ Akbar. Hendry juga menjadi wakil Indonesia dalam pertandingan ekshibisi esports Asian Games 2018 dan menjadi juara kedua. Bersama dengan 3 rekannya tadi, Hendry juga bertanding mewakili Indonesia dalam kejuaraan HS bergengsi di dunia, Hearthstone Global Games 2018.

Jothree saat menerima penghargaan berkat kemenangannya di Asian Games 2018.
Jothree saat menerima penghargaan berkat kemenangannya di Asian Games 2018. Sumber: TEAMnxl

Kemenangannya kemarin memang boleh dibilang sangat gemilang sekaligus mengejutkan. Pasalnya, Ostkaka merupakan salah satu dari 20 pemain HS dengan penghasilan terbesar di dunia. Meski demikian, pemain legendaris yang menjadi juara dunia HS tahun 2015 ini mungkin sudah bukan jadi pemain paling ditakuti sekarang ini. Lawan-lawan lebih berat siap menanti Hendry di Las Vegas.

Bagaimana kiprah Jothree di Hearthstone Masters Las Vegas tanggal 14-16 Juni 2019 yang memperebutkan total hadiah US$250.000 ini nanti? Kita dukung dan doakan saja ya!

Indonesia Pesta Kemenangan di PES Asia Finals 2019

20-21 April 2019 ini berlangsung sebuah kualifikasi bergengsi untuk esports Pro Evolution Soccer (PES) tingkat Asia, yaitu Final Regional Asia PES League 2019 (PES Asia Finals).

Di kualifikasi yang berlangsung di Tokyo, Jepang, Indonesia sendiri memang mengirimkan 7 pemainnya sekaligus; berkat performa gemilang para pemain tersebut. Rizky Faidan, pro player PES asal Bandung yang memang sedang berada di puncak performanya belakangan, pun lolos ke ajang ini untuk dua kategori; 1vs1 dan Co-Op (3vs3).

Performa gemilang Rizky pun kembali terjadi di PES Asia Finals kali ini. Pasalnya, ia kembali jadi juara di 2 kategori tadi. Rizky menjuarai PES Asia Finals untuk kategori 1vs1 dan 3vs3 (bersama tim WANI).

Di kategori Co-Op (3vs3), tim WANI yang berisikan Rizky FaidanMuchamad Lucky Ma’arif, dan Rio Dwi Septiawan, berhasil melenggang ke babak final untuk berhadapan dengan tim Beginners dari Jepang. Di pertandingan final ini, tim Wani memang cukup mudah mendominasi di awal jalannya pertandingan. Trio pemain Indonesia berhasil memimpin skor dengan 2-0 di akhir babak pertama.

Namun para pemain Jepang nyaris mengejar ketinggalan saat berhasil memanfaatkan kesalahan pemain kita dan mencetak 1 gol. Skor pun berubah jadi 2-1. Untungnya, WANI berhasil melesatkan bola ke gawang untuk yang ketiga kalinya. Skor sementara 3-1. Beginners pun kembali berhasil memanfaatkan peluang setelah kombinasi umpan-umpan cantik mereka dan menjadikan skor 3-2.

Skor 3-2 pun bertahan sampai peluit terakhir dibunyikan dan tim WANI berhasil jadi juara kategori 3vs3 di PES Asia Finals ini.

Tim WANI saat juara kategori 3vs3 PES Asia Finals. Sumber: Liga1PES
Tim WANI saat juara kategori 3vs3 PES Asia Finals. Sumber: Liga1PES

Di kategori 1vs1, Indonesia sebenarnya sudah mengamankan 1 kursi untuk ke World Finals yang rencananya akan digelar bulan Juni 2019 dari babak perempat final. Pasalnya, di babak tersebut, 2 pemain Indonesia (Rizky Faidan dan Akbar Paudie) bertemu untuk memperebutkan slot ke babak semi final dan ada 4 pemain terbaik di Asia Finals ini yang akan langsung mendapat kursi ke jenjang selanjutnya.

Rizky pun mengalahkan Paudie dan melenggang sampai ke babak final. Di babak pamungkas ini, Rizky harus berhadapan dengan Mayageka dari Jepang. Kedua pemain pun bertarung keras dan cukup berimbang. Sampai menit 75, skor pun masih sama 2-2. Namun, lewat serangan balik cepat dari Rizky, ia berhasil mencetak 1 gol dan membuat skor berubah jadi 3-2. Skor 3-2 pun berakhir sampai akhir pertandingan.

Rizky pun berhasil meraih piala keduanya di turnamen ini. Rizky, yang saya hubungi setelah kemenangannya, menyempatkan diri untuk memberikan komentarnya. “Titip salam dan makasih buat semua yang udah dukung aku, tim aliban, zeus, temen temen pes indonesia, sama semua yang udah support lewat IG dan YouTube.” Ujar Rizky.

Dari kemenangan mereka di final tingkat Asia ini, tim WANI dan Rizky Faidan akan kembali lagi berlaga di World Final PES League 2019 melawan tim-tim terbaik dari regional Eropa dan Amerika.

Saya lalu bertanya kepada Valentinus SanusiFounder Liga1PES dan dedengkot komunitas PES Indonesia, tentang peluang Indonesia di World Finals nanti. Menurutnya, Indonesia akan menjadi tim kuda hitam di gelaran kompetitif PES paling bergengsi di dunia.

Rizky Faidan. Sumber: Liga1PES
Rizky Faidan. Sumber: Liga1PES

“Untuk pemain yang lolos saat ini dengan Tim WANI & Rizky, saya yakin Indonesia bakal menjadi “kuda hitam” di WF (World Finals) nanti. Karena bisa lolos & tampil ke WF aja udah menjadi pencapaian yang luar biasa buat Indonesia. Jadi kita akan tampil tanpa beban, tapi yang pasti kita juga punya motivasi sendiri untuk memberi “perlawanan” dan menunjukkan kemampuan pemain-pemain Indonesia melawan dunia, termasuk sang juara bertahan.” Ungkap Valentinus.

Oh iya, menurut cerita Valentinus, kemenangan Rizky ini mungkin adalah yang pertama kali di dunia. “Belum pernah ada yang juara di regional manapun di 2 kategori berbeda. Bahkan di regional Eropa aja, juara dunia tahun lalu, Ettorito cuma juara regional Eropa di Co-Op. Di 1vs1 nya, ia bukan juaranya.

Bagaimanakah nanti perjuangan kawan-kawan kita di World Finals ya? Apakah kawan-kawan kita nanti berhasil jadi juara dunia? Kita dukung terus saja ya!

Menelaah Kondisi League of Legends di Tahun 2019 Lewat Data dan Fakta

Bagaimana kabar League of Legends di tahun 2019? Di kalangan penggemar esports, game PC, maupun MOBA, pertanyaan demikian kerap kali dilontarkan. Maklum, dewasa ini memang League of Legends semakin banyak punya saingan. Mulai game satu genre seperti Arena of Valor atau Mobile Legends, hingga pembawa tren baru seperti Fortnite dan PUBG, sementara jumlah pasar gamer dunia jelas ada batasnya.

Riot Games sendiri belakangan juga terkesan enggan membuka data. Terakhir kali mereka menyatakan bahwa League of Legends memiliki 100 juta pengguna aktif bulanan (monthly active users), tapi itu sudah lama sekali, yaitu tahun 2016. Data Statista di tahun 2017 menunjukkan bahwa game ini dimainkan oleh 100 juta orang, meskipun ada juga yang menyebutkan angka 111 juta pemain dari Tiongkok saja. Selepas itu kita belum melihat adanya data resmi terbaru.

Marc Merrill dan Brandon Beck, para co-founder Riot Games, dalam wawancara bersama Polygon memang pernah mengatakan bahwa mereka benci berbicara tentang angka. “Sulit untuk dijelaskan, tapi pada akhirnya, angka-angka itu bahkan tidak terasa nyata,” kata Beck. “Hal yang paling keren adalah ketika kita berada di acara live dan dapat bertemu dengan penggemar secara langsung. Saat itulah baru terasa nyata. Selain itu, semuanya hanya angka-angka di atas layar di berbagai penjuru dunia.”

Tapi sebagai orang-orang yang berada di posisi konsumen, sikap seperti ini mungkin kurang memuaskan. Kita tentu ingin tahu juga seperti apa kondisi pasar game ini sebenarnya, terutama bila kita memang merupakan penggemar setia. Beruntung, banyak data lain selain angka active users yang bisa kita telaah untuk mengukur sesehat apa kondisi League of Legends saat ini, dan apakah game tersebut masih sedang tumbuh, stagnan, atau justru sedang mengalami penurunan.

Viewership

Data pertama dan paling dekat adalah data resmi dari Riot Games tentang League of Legends World Championship 2018, alias Worlds 2018. Dalam artikel yang diterbitkan bulan Desember 2018, Riot Games menyatakan bahwa babak final Worlds 2018 berhasil mendatangkan 99,6 juta unique viewers, dengan puncak concurrent viewers sebesar 44 juta pemirsa. Concurrent viewers di sini adalah jumlah penonton yang menyaksikan acara secara bersamaan.

Worlds 2018 - Viewership
Sumber: Riot Games

Jumlah tersebut sangat fantastis, bukan hanya karena angkanya yang besar tapi juga karena pertumbuhannya yang sangat tinggi dari tahun sebelumnya. Data Worlds 2016 menunjukkan bahwa babak final ditonton oleh sebanyak 43 juta orang, sementara final Worlds 2017 disaksikan 58 juta orang. Artinya jumlah penonton Worlds 2018 naik sekitar 85% dari tahun sebelumnya, dan peak concurrent viewers Worlds 2018 lebih tinggi daripada total unique viewers Worlds 2016.

Tidak hanya turnamen Worlds yang punya angka viewership tinggi, namun juga tayangan-tayangan lain yang lebih kecil. Menurut laporan dari The Esports Observer, tayangan esports League of Legends sempat merajai Twitch di awal tahun 2019, dengan total waktu menonton hingga 3,46 juta jam dalam seminggu. Sejak saat itu peringkat Twitch ini sempat mengalami pergeseran, contohnya ketika Apex Legends dirilis. Tapi League of Legends konsisten terus menempati peringkat tinggi, bahkan ketika artikel ini ditulis, sedang bertengger di peringkat satu.

Angka tersebut memang tidak menggambarkan secara langsung berapa jumlah orang yang memainkan League of Legends saat ini. Tapi ada dua hal yang bisa kita simpulkan dari sana. Pertama, bahwa jumlah penggemar League of Legends itu sendiri masih sangat banyak, dan kedua, bahwa minat masyarakat terhadap esports League of Legends dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan drastis.

Prize Pool Turnamen

Berbeda dari angka viewership yang terus melesat, prize pool dari turnamen Worlds itu sendiri justru sempat menurun. Total hadiah Worlds 2016 berhasil mencapai US$5.070.000, dengan US$2.130.000 di alamnya berasal dari Riot Games dan sisanya dari kontribusi penggemar. Sementara di Worlds 2017 total hadiahnya justru mengecil, yaitu US$4.946.970. Padahal di tahun tersebut Riot Games sudah menaikkan hadiah awalnya menjadi US$2.250.000.

Untungnya, prize pool ini meningkat lagi sangat jauh di tahun berikutnya. Worlds 2018 menawarkan total hadiah hingga kurang lebih US$6.450.000. Hadiah awal dari Riot sendiri sama dengan tahun lalu yaitu US$2.250.000, namun kontribusi penggemar ternyata sangat besar, sekitar US$4.200.000. Itu artinya terjadi peningkatan kontribusi penggemar sebesar kurang lebih 55%.

Terlepas dari jumlahnya sendiri, yang lebih menarik adalah Riot Games mengambil langkah baru dalam distribusi hadiah itu. Kontribusi penggemar di prize pool turnamen Worlds biasanya mengambil 25% dari penjualan skin eksklusif yang telah ditentukan. Namun di tahun 2018, hanya 12,5% hasil penjualan itu yang jadi hadiah berdasarkan performa tim di Worlds. Sisa 12,5% lainnya dibagikan secara merata kepada seluruh tim yang lolos kualifikasi ke Worlds. Sistem distribusi ini dilakukan untuk memberi apresiasi lebih tinggi pada para tim yang lolos.

Worlds 2018 - Prize Pool Distribution
Sumber: Riot Games

Revenue

Riot Games boleh bangga dengan tingginya angka viewership dan prize pool di turnamen, akan tetapi ada satu pertimbangan yang tak kalah krusial, yaitu revenue secara keseluruhan. Dalam laporan yang diterbitkan oleh SuperData (Nielsen), revenue League of Legends di 2018 rupanya hanya mencapai angka US$1,4 miliar. Turun drastis dari tahun 2017 yang mencapai US$2,1 miliar, bahkan lebih rendah dari pencapaian tahun 2016 yaitu US$1,7 miliar.

Mungkin inilah penyebab utama yang memunculkan kekhawatiran seolah-olah League of Legends sedang sekarat. Mengacu pada data yang diterbitkan Statista, revenue tahun 2018 ini adalah revenue terendah League of Legends sejak tahun 2014. Setelah tiga tahun terus mengalami kenaikan, akhirnya di tahun 2018 League of Legends harus “tumbang”.

Mengapa revenue League of Legends turun sedemikian drastis? Ada beberapa pendapat. Sebagian orang menganggap penyebabnya adalah hubungan yang kurang baik antara Riot Games dengan Tencent yang merupakan pemilik saham terbesar Riot.

Konflik ini salah satunya berakar dari keengganan Riot Games untuk mengembangkan League of Legends versi mobile, padahal Tencent tahu bahwa ada potensi besar di ranah itu. Hasilnya, Tencent pun merilis game mobile mereka sendiri yang menyerupai League of Legends, yaitu Arena of Valor. Kini Arena of Valor justru menjadi saingan League of Legends, padahal keduanya berada di bawah induk yang sama yaitu Tencent.

Arena of Valor

Ongkos Penyelenggaraan Event

Penyebab lain yang turut berkontribusi terhadap revenue adalah ongkos untuk menggelar acara turnamen esports yang semakin lama semakin tinggi. Riot Games sempat menerima banyak kritik di tahun 2018 karena beberapa turnamen yang mereka gelar terkesan kurang anggaran. Tapi kemudian mereka menjawab dalam sebuah forum Reddit bahwa sebetulnya mereka tidak serta-merta memangkas ongkos, namun menyesuaikan anggaran dengan potensi pemasukan.

Hingga pertangahan 2018, Riot telah menginvestasikan kurang lebih US$100.000.000 per tahun untuk menggelar turnamen esports. Hasilnya memang mereka berhasil menciptakan turnamen-turnamen megah, tapi sebetulnya mereka sedang berada dalam fase “startup” dan belum memikirkan sustainability. Dengan kata lain, bisnis esports di Riot Games masih belum balik modal. 2018 menjadi penting karena di tahun inilah mereka mulai mengganti strategi lebih menuju profitability dan sustainability di bidang esports.

Worlds 2018 - Invictus Gaming
Sumber: Riot Games

Benar bahwa Riot sempat memangkas anggaran untuk beberapa turnamen, namun itu sebetulnya merupakan sebuah eksperimen saja tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk menekan anggaran. Daripada menurunkan anggaran, Riot lebih ingin meningkatkan revenue, jadi itulah yang akan mereka fokuskan selama tiga tahun ke depan. Apabila revenue berhasil meningkat dalam jangka waktu tiga tahun, anggaran esports Riot Games tidak akan berubah, bahkan bisa meningkat. Tapi bila tidak berhasil maka anggaran itu akan diturunkan.

Ancaman Persaingan

Meski revenue League of Legends di tahun 2018 adalah yang terendah sejak 2014, bukan berarti angka tersebut jelek. Dalam laporan SuperData, League of Legends masih menempati urutan ketiga dalam peringkat top free-to-play games sepanjang tahun 2018. Mengalami penurunan memang benar, tapi mungkin terlalu berlebihan bila League of Legends dikatakan “sekarat”.

Bila League of Legends peringkat tiga, lalu siapa peringkat satunya? Anda pasti bisa menebaknya dengan mudah. Benar sekali, revenue tertinggi free-to-play 2018 ada di tangan sang raja battle royale, Fortnite. Karya Epic Games tersebut berhasil meraih revenue senilai US$2,4 miliar.

Fortnite

Ancaman dari Fortnite ini bukan main-main. Dalam laporan keuangan yang diterbitkan di bulan Januari 2019, Netflix menyatakan bahwa saingan mereka bukan hanya platform video seperti HBO, Amazon, atau Apple, tapi juga video game. Bahkan sebagaimana dilansir Forbes, ancaman terhadap Netflix datang lebih besar dari Fortnite daripada dari HBO.

Kalau Netflix—yang bukan perusahaan game—saja begitu tergerus oleh Fortnite, dampaknya terhadap League of Legends tentu lebih besar lagi. Ingat, Netflix dan Fortnite pada dasarnya cuma berebut screen time. Sementara League of Legends dan Fortnite bukan hanya berebut screen time tapi juga berebut play time.

Pengeluaran pengguna untuk Netflix sifatnya flat karena menggunakan sistem berlangganan, sementara Fortnite dan League of Legends sama-sama menjual in-game item sehingga jumlah pemasukan per orang bisa berubah-ubah. Setiap gamer tentu memiliki batasan akan berapa jumlah uang yang mau ia keluarkan untuk game free-to-play. Jumlah uang yang ia keluarkan akan proporsional dengan game yang paling sering ia mainkan.

Menunggu Hasil Diversifikasi

League of Legends sudah mencapai kesuksesan yang luar biasa, dan kini mungkin sudah waktunya sang raja menyerahkan takhtanya. Revenue yang turun setelah sekian lama menunjukkan bahwa tampaknya League of Legends sudah menyelesaikan fase pertumbuhan (growth) dan kini berada di fase kedewasaan (maturity). Dari sini, fokus Riot Games harus berubah, bukan lagi mencari pertumbuhan sebanyak-banyaknya, tapi mempertahankan League of Legends menjadi produk yang sustainable sebelum akhirnya masuk ke fase penurunan (decline). Strategi Riot Games dalam mengatur anggaran esports mencerminkan hal itu.

Menengok ke belakang, sebetulnya kondisi League of Legends tahun ini sudah diantisipasi oleh para pendiri Riot Games sejak dua tahun ke belakang. Menjelang akhir tahun 2017 lalu, Marc Merrill dan Brandon Beck menyatakan pengunduran dirinya dari posisi manajemen untuk kembali ke tim developer dan mengembangkan game baru. Seperti apa game baru itu, kita masih belum tahu. Yang jelas, Riot Games telah sadar bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan satu produk selamanya. Tidak hanya Riot, Valve pun beberapa waktu lalu telah melakukan upaya serupa dengan merilis Artifact, meskipun keberhasilannya masih menjadi tanda tanya.

Game baru Riot Games ini sekarang masih berada dalam pengembangan. Riot Games telah membuka lowongan untuk developer di bulan Februari lalu, dan menurut cuitan dari Katie Chironis (Senior Game Designer di Riot Games), tim developer untuk game ini berjumlah kecil tapi sangat beragam. Belum detail yang diungkap oleh Riot mengenai produk baru ini, dan mungkin kita masih harus menunggu lama sebelum melihat hasilnya. Tapi yang jelas, langkah Riot untuk fokus pada sustainability di League of Legends sambil melakukan diversifikasi produk bisa dikatakan sudah tepat.

Rencana ke Depan

Di tahun 2019 ini, Riot Games melakukan beberapa langkah untuk membuat ekosistem esports League of Legends semakin rapi. Salah satunya yaitu pemisahan yang lebih jelas antara esports di Amerika Serikat dengan Eropa. Dulu League of Legends Championship Series (LCS) terbagi menjadi dua, yaitu NA LCS dan EU LCS. Akan tetapi mulai tahun ini Eropa memiliki liga sendiri dengan nama League of Legends European Championship (LEC). Sementara di Amerika, nama LCS tetap digunakan.

Riot juga meluncurkan situs baru yang menjadi pusat akan segala informasi yang berhubungan dengan esports League of Legends. Bila dulu penggemar harus membuka berbagai situs berbeda bila ingin membaca artikel, menonton pertandingan, dan mencari tiket event, kini semua disatukan dalam satu wadah yang disebut Nexus. Riot juga meluncurkan situs khusus untuk membeli merchandise, termasuk jersey tim-tim profesional yang berlaga di LCS.

Riot juga semakin mengembangkan liga mereka di level mahasiswa. Salah satu program yang diluncurkan tahun ini yaitu program College Season Streamer. College Season sendiri merupakan liga League of Legends yang diikuti oleh lebih dari 350 kampus, dan lewat program ini, Riot ingin menggaet para shoutcaster (baik amatir ataupun profesional) untuk menyiarkan pertandingan-pertandingan secara live streaming. Esports level mahasiswa ini sangat penting dalam memunculkan talenta-talenta baru yang memastikan ekosistem bisa berjalan secara berkelanjutan.

LEC 2019 Spring - G2
Sumber: lolesports

Selain itu, sejalan dengan keinginan Riot untuk meningkatkan revenue dari esports, sejak tahun 2018 mereka semakin gencar menjalin partnership dengan berbagai pihak. Beberapa sponsor yang kini terlibat meliputi SK Telecom, Mastercard, Dell/Alienware, SecretLab, hingga Nike. Kerja sama dengan Mastercard yang terjadi pada bulan September 2018 punya posisi yang cukup spesial, karena mereka menempati posisi sebagai Global Partner pertama bagi esports League of legends. Apalagi kerja sama ini diumumkan sebagai kerja sama jangka panjang. Mastercard sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi sponsor dalam industri olahraga maupun hiburan, dan lewat kerja sama ini, Mastercard akan menghadirkan berbagai inovasi untuk membuat pengalaman esports League of Legends semakin unik dan tak terlupakan.

League of Legends sepanjang 2018 telah berhasil menjadi esports paling banyak ditonton di seluruh dunia. Di tahun 2019 ini, Riot tampaknya ingin fokus dalam menghadirkan pengalaman yang secara keseluruhan lebih nyaman kepada para penggemarnya. Esports League of Legends sudah berhasil menjadi yang terbesar. Kini saatnya Riot memastikan bahwa esports League of Legends adalah yang terbaik.

Kesimpulan

Apakah League of Legends sedang sekarat? Jawabannya, jelas tidak. Terjadi penurunan di beberapa aspek memang iya, dan itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi walau dengan penurunan itu pun sebetulnya posisi League of Legends masih sangat kuat. Game ini masih merupakan raksasa dengan viewership tertinggi di dunia dan revenue tertinggi ketiga di dunia, jadi secara gambaran global, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Di beberapa daerah, minat masyarakat terhadap League of Legends bahkan semakin meningkat. Contohnya di Amerika Serikat. Dalam turnamen North America League of Legends Championship Series (NA LCS) Spring Split 2019, jumlah penonton babak final di Twitch dan YouTube mencapai 600.000 orang. Ini meningkat dari NA LCS Spring Split 2018 yang ditonton kurang lebih 520.000 orang. Jumlah penonton yang datang langsung ke venue pun melebih 10.000 orang, dan diprediksi akan meningkat di masa depan.

Jumlah penonton Worlds 2018 yang mencapai 99,6 juta orang itu bahkan lebih tinggi daripada penonton Super Bowl yang “hanya” 98 juta penonton. Padahal Super Bowl merupakan kejuaraan American Football tahunan yang selalu menghebohkan dan digandrungi masyarakat. Perbandingan ini, ditambah dengan prediksi bahwa pangsa pasar esports masih akan terus tumbuh hingga 2021, menunjukkan bahwa di tengah persaingan yang begitu ketat pun League of Legends masih mampu menjaga keberlangsungan ekosistemnya dengan sangat baik.

Di tahun 2009 ini League of Legends akan merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Selama sepuluh tahun ini League of Legends telah berhasil menjadi hiburan, tontonan, bahkan mata pencaharian bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia. Stakeholder game ini bukan lagi hanya Riot Games, tapi juga para sponsor, atlet, caster, organizer, dan segala pihak lain yang terlibat di dalamnya. Tidak ada yang abadi di dunia ini memang, dan League of Legends suatu hari pun pasti akan mati. Tapi selama seluruh stakeholder di atas mampu bekerja sama menciptakan ekosistem yang sustainable, saya rasa League of Legends masih akan tetap jaya untuk waktu yang lama.

Beginner’s Guide – Tips Rainbow Six Siege untuk Para Pemula

Rainbow Six Siege (R6S) adalah sebuah game FPS (First Person Shooter) kompetitif yang unik dan berbeda dengan kebanyakan FPS kompetititf lainnya. Muasalnya, R6S merupakan sebuah game FPS yang tak hanya mengandalkan refleks dan ketepatan membidik (yang biasanya jadi kebutuhan terbesar game FPS) tetapi juga menuntut kecerdikan berpikir strategis.

Karena pembagian keterampilan bermain dan kecerdikan berpikir yang sama-sama 50% inilah yang biasanya membuat para pemain FPS ataupun pemain lainnya sedikit kebingungan saat awal bermain R6S. Maka dari itu, artikel ini kami buat untuk membantu Anda para pemula agar dapat bermain R6S lebih efektif.

Jujur saja, berhubung saya pribadi memang lebih lama bermain seri Counter Strike, Borderlands, Far Cry, atau malah BioShock, saya mengajak kawan-kawan saya dari komunitas R6 Indonesia / R6 IDN untuk berbagi ilmu mereka. Ada Bobby Rachmadi PutraAjie Zata Amani, dan Fauzan Yuzarli yang membantu saya kali ini.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, mari kita bahas bersama-sama.

1. Kuasai Dasar Permainan (Gameplay) FPS

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Berhubung R6S masih tetap sebuah FPS, ada banyak dasar permainan FPS yang wajib Anda kuasai terlebih dahulu; yang akan kita bahas terlebih sebelum masuk ke tips yang spesifik untuk R6S.

Movement

Ada banyak sekali hal soal pergerakan kita yang menjadi dasar permainan FPS sebenarnya. Namun, agar jadi tidak terlalu panjang, saya hanya akan menyebutkan beberapa dasar soal ini.

Pertama, kebanyakan pemula biasanya melakukan kesalahan dengan bukaan yang terlalu lebar. Bukaan di sini maksudnya adalah soal pergerakan kita saat ingin berbelok. Para pemain pro atau yang lebih biasa bermain sudah tahu bahwa mereka tak boleh terlalu jauh dengan tembok terdekat saat berbelok (ataupun temboknya habis). Kenapa bukaan terlalu lebar itu buruk? Karena badan Anda jadi lebih banyak terekspos dan lebih mudah ditembak saat bukaan terlalu lebar.

Jadi, yang bisa Anda sadari dan biasakan soal ini adalah mencoba mengintip dan menempel tembok sedekat mungkin sebelum belok. Di CS:GO, trik ini biasanya dikenal dengan istilah Shoulder Peek. Di R6S juga ada fitur leaning (Q untuk leaning ke kiri dan E untuk leaning ke kanan) yang bisa Anda manfaatkan untuk mengintip. Jangan lupa sadari dan biasakan hal ini setiap kali Anda bermain FPS, termasuk R6S.

Selain itu, pergerakan di FPS juga biasanya bisa dibagi jadi 2 kategori, jalan dan lari atau lari dan sprint. Buat yang sudah terbiasa bermain FPS, mereka tahu untuk tidak terlalu banyak lari atau sprint karena suara langkah tadi membuat kita ketahuan posisinya.

Aiming

Meski aiming (ketepatan dan kecepatan membidik) di R6S mungkin memang tidak sepenting di Counter Strike, namun tetap saja ada banyak kesempatan saat Anda harus berhadapan langsung dengan satu lawan atau lebih di game ini. Karena itulah, aiming juga merupakan salah satu faktor dasar penting yang wajib dipelajari di sini.

Skill dasar aiming yang wajib Anda ketahui adalah soal recoil control. Setiap senjata akan terdorong ke atas setiap kali ditembakkan (recoil), karena itulah Anda wajib mengarahkan mouse ke arah yang berlawanan dari dorongan senjata tadi. Misalnya, senjata A bergeser ke atas sejauh 2-3 pixel setiap kali ditembakkan, yang harus Anda lakukan adalah menggeser mouse ke bawah (ke belakang) sejauh 2-3 pixel setiap kali menembak untuk menetralisir recoil tadi.

Jujur saja, hal ini memang tak mudah dilakukan dan butuh waktu untuk menyesuaikan dengan senjata yang berbeda-beda. Namun, jika berhasil dikuasai, trik ini akan jadi pembeda terbesar Anda dengan pemain amatiran lainnya. Plus, trik ini juga dapat digunakan untuk semua game shooter (selama Anda sudah bisa menghitung seberapa besar recoil-nya di senjata yang ingin digunakan).

2. Kenali Roles dalam R6S

Sekarang kita masuk ke dalam aspek yang spesifik untuk R6S. Buat yang sudah pernah mencoba memainkan R6S, Anda pasti menyadari ada perbedaan besar antara R6S dengan seri Counter Strike. Di seri Counter Strike, karakter yang Anda gunakan tidak punya perbedaan apapun selain tampilannya. Sedangkan di R6S, masing-masing karakter (yang disebut Operator) memiliki skill, gadget, senjata, dan tugas yang berbeda-beda.

Di Counter Strike sendiri memang ada roles berbeda-beda (Entry Fragger, Sniper, Support, dkk.) namun hal tersebut benar-benar bergantung pada pemainnya. Sedangkan di R6S, roles ini juga bergantung pada Operator yang Anda mainkan dan tipe Anda sebagai seorang pemain FPS.

Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan dasar Operator (yang akan kita bahas di lain waktu), mari kita pelajari lebih jauh tentang roles yang ada di R6S. Untuk memudahkan memahami roles di sini, saya akan membaginya ke dua bagian: Attackers dan Defenders.

Attackers

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Attackers di R6S merupakan kubu yang harus mendapatkan Objective. Karena itu, ada 4 peran (roles) yang biasanya ditemukan di kubu Attackers. Inilah keempat peran tersebut dan penjelasannya.

Entry Fragger: Peran ini juga sebenarnya ada di Counter Strike ataupun di game-game FPS kompetitif lainnya. Sama seperti di game-game FPS kompetitif lainnya tadi, seorang Entry Fragger bertugas untuk menjadi pembunuh terbanyak di sebuah tim.

Karena itulah, pemain yang cocok untuk peran ini adalah para pemain yang punya kemampuan membidik (aiming) yang baik dan refleks yang cepat. Ia juga harus bernyali untuk bermain agresif. Jika di MOBA, peran ini mungkin dapat diibaratkan sebagai posisi Carry alias Pos 1/2.

Selain itu, layaknya Carry, seorang Entry Fragger juga harus tahu Operator lawan seperti apakah yang harus ia bunuh terlebih dahulu. Buat yang ingin mengambil peran ini, disarankan untuk memainkan Operator yang memiliki Speed 3.

Support: Peran ini juga sebenarnya ada di game FPS kompetitif lainnya. Namun mungkin perbedaan besarnya ada di apa saja yang bisa dilakukan. Tugas inti dari seorang pemain Support adalah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin di setiap Round. Karena sekarang kita membahas kubu Attackers, pemain Support adalah pemain yang biasanya handal mengendalikan Drone.

Sama seperti namanya, pemain Support tidak boleh pemain yang egois dan mau menjadi pengasuh Entry Fragger. Pasalnya, pemain Support ini yang biasanya menemani Entry Fragger. Layaknya di MOBA, posisi Support atau Pos 5 adalah para pemain yang besar hati dan senang melihat Carry-nya tampil maksimal.

In-Game Leader (IGL) / Flank Watcher: Peran ini juga sebenarnya ditemukan di game-game FPS kompetitif lainnya. Seperti namanya, IGL adalah seorang pemain yang mampu memberikan komando ke timnya. Karena itulah, menurut saya, pemain IGL adalah seseorang yang seharusnya punya paling banyak pengetahuan/knowledge tentang game-nya dan mampu membaca situasi secara makro; seperti mengidentifikasi skill individu masing-masing pemain di tim sendiri ataupun tim lawan.

Breacher: Peran inilah yang mungkin tak ditemukan di game-game kompetitif lainnya. Pasalnya, di R6S, ada tembok-tembok yang bisa dihancurkan alias di-breach. Karena itu, Breacher menjadi salah satu peran paling krusial di game ini.

Breacher di sini juga bisa dibagi lagi jadi 2 kategori, yaitu: Soft Breach dan Hard Breach. Soft Breach adalah Breacher yang bisa menghancurkan penghalang yang tidak di-reinforce. Sedangkan Hard Breach adalah Breacher yang bisa menghancurkan penghalang yang sudah di-reinforce oleh Defenders.

Kedua tipe Breacher ini punya kesamaan pada tugasnya yaitu membuka jalan baru. Namun, perbedaannya, Soft Breach biasanya bisa lebih agresif ketimbang Hard Breach.

Itu tadi 4 peran di Attackers. Komposisi tim yang disarankan oleh kawan-kawan saya dari komunitas R6 IDN untuk Attackers adalah:

  • 1 Hard Breach
  • 1 Soft Breach
  • 2 Support
  • 1 Entry Fragger

Defenders

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Di sisi yang berlawanan dengan Attackers adalah kubu Defenders. Defenders adalah kubu yang harus mempertahankan Objective. Di kubu ini juga bisa dibagi menjadi beberapa tipe roles. Berikut ini adalah peran-peran yang biasanya ditemukan di kubu Defenders:

Anchor: Anchor merupakan pemain yang bertahan di area sekitar Objective. Karena dia yang menjadi lini pertahanan terakhir, pemain yang berperan sebagai Anchor harusnya adalah pemain yang sabar. Ia harus bisa tahan godaan untuk tidak terlibat pertempuran dari awal permainan. Jika di sepak bola, anggaplah seorang Anchor seperti layaknya seorang penjaga gawang.

Roamer: Seperti namanya, Roamer adalah tipe peran yang harus keluar dari area Objective dan berkeliling map.  Tugas utama peran ini adalah memperlambat kubu Attacker untuk masuk ke area Objective. Kenapa? Karena waktu permainan berpihak pada kubu Defenders. Jika para Defenders bisa bertahan hidup dan menahan kubu Attackers tidak mendapatkan Objective, mereka dapat memenangkan Round tersebut.

Hal ini juga berarti seorang Roamer adalah pemain yang berani agresif dan paling hafal dengan map match tersebut.

Support: Seorang Support di kubu Defenders harus bekerja tandem dengan Roamer. Namun demikian, ia juga biasanya berperan sebagai Anchor kedua. Seorang Support di kubu Defenders juga disarankan bagi para pemain yang cukup handal memainkan Gadget.

Flex: Flex yang dimaksud di sini adalah flexibel, fleksibel, alias bisa mengisi berbagai peran. Pemain dengan role ini bisa berubah-ubah perannya, menjadi Anchor ataupun Semi-Roamer. Karena itulah, peran ini juga menuntut para pemainnya untuk bisa menghafalkan peta pertempuran.

Itulah tadi 4 peran dari kubu Defenders. Komposisi peran untuk kubu Defenders yang disarankan oleh tim R6 IDN adalah sebagai berikut:

  • 2 Roamer
  • 1 Support
  • 1 Anchor
  • 1 Flex

3. Speed dan Armor

Sumber: Lexsor920 via Reddit
Sumber: Lexsor920 via Reddit

Selain peran yang berbeda-beda tadi, setiap Operator juga memiliki stats yang berbeda. Stats di R6S hanya ada 2 yaitu Speed dan Armor. Dari namanya saja, kedua stats ini cukup mudah dipahami.

Speed itu menentukan kecepatan berlari seorang Operator. Sedangkan Armor yang menjadi penentu seberapa banyak/lama seorang Operator bisa menerima tembakan. Meski pemahamannya sederhana, ada beberapa hal yang bisa Anda pelajari dari stats Speed dan Armor ini.

  • Armor dan Speed di setiap Operator biasanya berbanding terbalik. Semakin besar Armor, biasanya semakin kecil Speed-nya. Jadi, tidak akan mungkin ada Operator yang punya Speed 3 dan Armor 3. Opsi paling balanced adalah Speed 2 dan Armor 2.
  • Seperti yang tadi saya tuliskan Armor menentukan seberapa banyak tembakan di badan yang bisa diterima sebelum tewas. Menurut cerita dari kawan-kawan saya di komunitas R6 IDN, seorang Operator dengan Armor 3 biasanya baru tewas dengan 4-5 tembakan (di badan). Sedangkan Operator dengan Armor 1 bisa langsung tewas hanya dengan 1-3 tembakan (di badan).
  • Selain menentukan sedikit atau banyak tembakan yang bisa diterima, Armor juga menentukan suara yang dikeluarkan. Maksudnya, semakin tinggi Armor dari seorang Operator, semakin berisik pula suara yang ia hasilkan saat bergerak.
  • Terakhir, yang paling penting tapi juga paling mudah dipahami, di R6S juga menggunakan konsep yang biasanya di RPG disebut Glass Cannon. Konsep ini maksudnya, semakin mudah satu karakter membunuh lawannya, semakin mudah juga ia dibunuh. Di R6S, hal ini berarti senjata Operator dengan Armor 3 biasanya memang tidak menyakitkan alias tidak mudah digunakan untuk membunuh lawan.

4. Map Knowledge

Map knowledge alias penghafalan peta pertempuran adalah salah satu aspek wajib yang harus dimiliki oleh para pemain R6S yang ingin naik level di atas pemula. Sebelumnya, map knowledge ini juga tidak bisa dikuasai dalam waktu singkat.

Satu-satunya cara untuk menguasai soal ini adalah dengan cara banyak bermain namun sembari benar-benar memperhatikan dan menghafalkan letak dan lokasi peta pertempuran. Hal ini penting untuk disadari karena banyak bermain saja tidak akan efektif untuk menguasai map knowledge. Selain itu, berikut ini ada beberapa tips dari R6 IDN soal map knowledge yang bisa Anda gunakan untuk mempercepat proses Anda.

Default (Security) Camera

Hafalkan lokasi setiap Default Camera yang tersebar di setiap medan pertempuran (map). Kenapa hal ini jadi aspek paling penting di map knowledge? Karena Default Camera dapat memberikan informasi lokasi pemain Attackers dan informasi lokasi bisa jadi penentu kemenangan ataupun kekalahan di setiap Round.

Kenapa menghafal lokasinya menjadi penting? Karena kubu Attackers harus menghancurkannya agar lokasi mereka tak terdeteksi oleh kubu Defenders. Sebaliknya, pemain Defenders yang sudah hafal dengan lokasi Default Camera dapat memprediksi seberapa jauh posisi musuh dengan area Objective ataupun lokasi Roamer.

Buat yang ingin menghafalkan lokasi kamera-kamera tadi, ada contekan yang bisa Anda lihat di Steam Community Guide yang dibuat oleh Stokedx.

Breachable Walls and Floors

Setelah Default Camera tadi, hal berikutnya yang penting disadari dan dipelajari oleh para pemula R6S adalah soal lokasi Breach; baik untuk Defenders ataupun Attackers. Dengan mengetahui lokasi Breach, para Defenders dapat mengetahui dari mana saja entry point yang mungkin terbuka dan mana saja yang sebaiknya di-reinforce. Sebaliknya, para Attackers juga perlu tahu untuk menyusun strategi yang lebih efektif.

Idealnya, mengetahui titik/lapisan mana yang bisa dijebol (di-breach) dan mana yang tidak bisa dapat dipelajari dengan jam terbang bermain dan menghafalkan peta. Namun, ada beberapa tips yang bisa digunakan untuk para pemula dalam mempelajarinya.

  • Pertama, penghalang yang terbuat dari kayu (baik itu tembok atau lantai) biasanya bisa dijebol. Selain itu penghalang berbahan tipis alias drywall (gipsum dkk.) juga bisa dikategorikan sebagai softwall yang bisa dijebol oleh Operator Soft Breacher.
  • Anda juga bisa menggunakan lampu penanda Breach Charge untuk mengetahui mana yang bisa dijebol atau tidak. Jika lampu penanda Breach Charge berwarna hijau, penghalang itu bisa dihancurkan sepenuhnya. Jika berwarna kuning atau oranye, penghalang itu bisa dihancurkan sebagian. Jika berwarna merah, penghalang itu tak bisa dihancurkan.

Map Callout

Bagian selanjutnya di soal map knowledge ini adalah soal map callout. Map callout adalah menyebutkan alias mengomunikasikan lokasi map ke rekan satu tim setiap ada kejadian penting. Kejadian penting ini misalnya saat Anda bertemu lawan ataupun saat Anda mati.

Buat para pemula, nama lokasi tersebut ada di bagian bawah layar, sebelah kanan kompas.

Nama lokasi map bisa ditemukan di sebelah kanan kompas. Sumber: Jäger Main via Reddit
Nama lokasi map bisa ditemukan di sebelah kanan kompas. Sumber: Jäger Main via Reddit

Map callout ini memiliki 2 fungsi penting. Pertama, buat para pemula, hal ini membantu Anda menghafalkan medan pertempuran. Dengan membiasakan diri menyebut lokasi, Anda bisa lebih mudah menghafalkan map-nya juga. Kedua, buat permainan casual ataupun kompetitif, sekali lagi, informasi lokasi bisa jadi penentu kemenangan ataupun kekalahan sebuah Round. Jadi, map callout ini penting sekali untuk dibiasakan.

Spawn Peek/Kill

Terakhir, ada tips penting dari kawan-kawan R6 IDN yang harus diketahui buat para pemula. Hati-hatilah dengan yang namanya spawn peekSpawn peek/kill ini maksudnya Anda bisa langsung dibunuh sesaat setelah spawn (muncul) di medan pertempuran di lokasi-lokasi tertentu.

Jadi, Anda wajib memerhatikan pintu atau jendela yang terlihat saat Anda baru saja tiba di map. Anda juga bisa melihat contekan lokasi dan cara mengatasinya yang telah dibuat oleh 117x di Steam Community Guide.

5. Preparation Phase Tips

Satu elemen pembeda terbesar yang ada di R6S, yang tak ada di seri Counter Strike ataupun kebanyakan game FPS lain, adalah adanya fase persiapan (preparation phase).

Karena itulah, mungkin ada banyak pemula yang tak tahu apa yang sebaiknya dilakukan saat preparation phase ini. Berikut adalah tips dari R6 IDN tentang apa yang sebaiknya dilakukan saat fase tersebut:

  1. Buat kubu Attackers, fase ini juga bisa disebut sebagai Drone Phase. Jadi, manfaatkan sebaik mungkin drone yang Anda punya di fase ini. Setiap Operator di kubu Attacker akan memiliki 2 drone dan salah satu akan secara otomatis digunakan saat fase ini. Ada beberapa tujuan yang bisa Anda kejar saat Drone Phase (45 detik) yaitu, mencari lokasi Objective, mengidentifikasi Defenders, ataupun mencari lokasi untuk menyembunyikan drone agar bisa digunakan sebagai kamera tambahan saat action phase.
  2. Buat kubu Defenders, fase ini bisa digunakan untuk melakukan reinforcement ke beberapa titik soft breach. Namun ingat, jangan semua entry point juga di-reinforce karena hal tersebut akan membatasi ruang gerak Roamer.
  3. Lakukan setup unique gadget dari setiap Operator dengan efisien alias jangan terlalu lama. Tidak sedikit juga para pemula (biasanya Roamer) yang bahkan lupa men-deploy unique gadget mereka.

Penutup

Terakhir, satu hal yang pasti, sebanyak apapun tulisan atau video tips, guide, ataupun trik yang Anda baca ataupun tonton; Anda tak akan bisa bermain lebih bagus tanpa jam terbang tinggi. Bagaimanapun juga, latihan adalah satu-satunya jalan untuk menuju level permainan yang lebih tinggi.

Namun demikian, guide dan tips & trik seperti ini bisa membantu Anda mempersingkat waktu untuk menuju level selanjutnya. Jangan lupa juga, Anda bisa bertanya ke komunitas R6S jika Anda punya pertanyaan ataupun kesulitan. Berikut ini adalah 3 tempat untuk Anda bertanya yang bisa saya sarankan:

  1. Komunitas R6S Indonesia di Facebook
  2. Komunitas R6S di Steam
  3. /r/Rainbow6 di Reddit (pakai VPN)

Jadi, selamat berlatih untuk mengasah kemampuan dan jangan malu bertanya ya…

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN)

Hybrid Day: Berbagi Berbagai Pengalaman Esports di Tingkat Internasional

Kehebatan Indonesia di kancah esports Internasional sebenarnya tidak bisa dipandang remeh. Pada masanya, nama Indonesia sempat muncul di berbagai kompetisi Internasional DotA ataupun Counter Strike. Zaman sekarang, tradisi prestasi tersebut pun masih terus berusaha dipertahankan.

Namun untuk bisa bertanding dan menjadi juara di kancah esports internasional tentu tidak semudah itu. Dalam Hybrid Day yang diadakan di Binus Square pada 11 April 2019 kemarin, kita berbincang-bincang dan berbagi pengalaman tentang ajang esports internasional serta pengalamannya.

Siapa saja narasumber yang mengisi bincang-bincang yang bertemakan “International Esports Experience” kali ini? Mari kita berkenalan terlebih dahulu.

Ariyanto “Lakuci” Sony – Mantan Pemain DotA Profesional

Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata

Kalau Anda mengikuti napak tilas kancah esports Dota Indonesia sejak dahulu kala, nama ini harusnya tidak asing lagi di telinga Anda. Sosok ini sudah mencapai tingkat legenda di kancah esports Indonesia, karena prestasi yang berhasil ia torehkan saat masih berkarir sebagai pemain Defense of the Ancient (DotA) profesional.

Saat bermain untuk tim XCN beberapa tahun silam, kemampuan Lakuci dan kawan-kawan diakui oleh komunitas esports DotA Internasional. Sampai-sampai Lakuci dan kawan-kawan sempat diakuisisi oleh salah satu organisasi esports terkenal asal Eropa, Fnatic. Terakhir kali bermain pada tahun 2008 lalu, kini Lakuci sudah tidak lagi aktif menjadi atlet esports.

Brando Oloan – BOOM.ID Dota 2 Team Manager

Sumber: Twitter @dotasltv
Sumber: Twitter @dotasltv

Setelah Mobile Legends menjadi sangat populer di Indonesia, kini hanya segelintir organisasi esports saja yang masih fokus pada divisi Dota 2. BOOM.ID merupakan salah satunya, yang masih sangat fokus untuk mendapatkan hasil yang terbaik di kancah Dota 2 internasional. Sampai saat ini, BOOM.ID masih bisa dibilang sebagai salah satu tim Dota 2 terkuat di Indonesia.

Tak terkalahkan di kancah lokal, mereka sudah hampir 3 kali berturut-turut mewakili Indonesia di kancah internasional bertanding dalam gelaran Minor. Kesuksesan divisi Dota BOOM.ID terjadi salah satunya berkat asuhan tangan dingin Brando Oloan selaku manajer divisi Dota 2 BOOM.ID. Brando di sini bertugas memberikan berbagai saran kepada para pemain agar bisa bermain lebih maksimal, serta memastikan kebutuhan para pemain dipenuhi.

Annisa Apriliana Purwaningtyas – Marketing PR Mineski Event Team Indonesia

Sumber: Dokumentasi Pribadi Annisa Amalia
Sumber: Dokumentasi Pribadi Annisa Apriliana

Nama Mineski selama ini besar sebagai salah satu pelopor tim esports di Asia Tenggara. Berdiri sejak tahun 2004 sebagai sebuah tim esports, kini bisnis Mineski mencakup berbagai hal yang ada di ekosistem esports; termasuk: iCafe lewat branding Mineski Infinity, event organizer di bawah bendera Mineski Event Team (MET), media esports di bawah bendera mineski.net, bahkan esports peripheral yang membawa nama Mineski Gear.

Berbasis di Filipina, Mineski mengembangkan bisnisnya ke Indonesia lewat Mineski Infinity dan MET. Annisa Apriliana Purwaningtyas merupakan perwakilan MET yang menjabat sebagai Marketing PR. Dengan pengalaman hampir 3 tahun di bidang PR, Lia bertugas untuk mengurus berbagai hal seputar Public Relation seperti: media relationreputation management, serta mengatur strategi publikasi dari Mineski Event Team.

Bertanding di Luar Negeri? Bagaimana Rasanya?

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Sebagai gamers, ini mungkin jadi salah satu hal yang selalu diimpikan: bisa bertanding di luar negeri, bertemu komunitas esports internasional, dan berhadapan langsung dengan pemain-pemain yang sebelumnya mungkin adalah idola Anda. Beruntung Lakuci dan Brando bersama dengan BOOM.ID sudah bisa merasakan hal tersebut.

Pertanyaan pertama untuk membuka obrolan ini adalah, bagaimana rasanya bertanding di luar negeri?

Sebelum bicara soal rasanya bertanding di luar negeri, Lakuci sedikit curhat soal keadaan kompetisi DotA kala itu. Masalah utama ketika itu menurutnya adalah soal koneksi internet. Walau sudah ada kompetisi game, namun nyatanya kompetisi online ketika itu masih cukup sulit. Jadi jika ingin berlatih, Lakuci hanya bisa mengandalkan pertandingan LAN antar pemain di warnet tempat ia main.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Karena tidak bisa bertemu pemain-pemain di cakupan wilayah yang lebih luas, Lakuci merasa senang sekali ketika mendapat kesempatan bertanding di kancah internasional. “Jadi dulu tuh kita malah seneng banget, excited. Jelang tanding, kita malah udah nggak sabar ingin unjuk gigi di hadapan pemain-pemain internasional, dan ingin mengalahkan mereka”. Cerita Lakuci kepada khalayak di Binus Square.

Sementara Brando, yang juga sempat menjadi pemain, menceritakan hal yang serupa dengan apa yang dikatakan Lakuci. Ketika ia masih aktif bermain Dota kompetitif, ia juga sama semangatnya ketika akan bertemu dengan pemain-pemain internasional.

Kini sebagai manajer BOOM.ID, satu hal yang dirasakan Brando adalah pemain yang kini mendapat fasilitas yang lengkap. “Wah, perasaannya sih yang pasti sekarang tuh kalau mau tanding pemain itu sangat nyaman. Fasilitasnya lengkap, jadi nggak perlu mikirin hal lain lagi”. Kata Brando menceritakan pengalamannya.

Lebih lanjut soal perasaan ketika bertanding, Brando juga menceritakan sedikit pengamatannya terhadap para pemain BOOM.ID. “Kalau akan bertanding, kita sih nggak pernah ada merasa grogi atau gimana. Jadi kalau udah di atas panggung, kita fokusnya ya main aja”. Lebih lanjut, Brando juga bercerita, menurut pengamatannya, lighting, suasana panggung serta acara, sebenarnya tidak banyak mengganggu para pemain.

Lokal vs Internasional, Apa Bedanya?

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Kalau dari tadi kita sudah melihat event internasional dari sudut pandang pemain, sekarang mari kita coba melihat sudut pandang dari penyelenggara event, yaitu Mineski. Kalau dari sudut pandang penyelenggara, maka pertanyaan yang muncul adalah, apa perbedaan persiapan event tingkat nasional dengan event tingkat internasional?

Lia, sapaan akrab Annisa, menjawab bahwa sebenarnya Mineski sudah punya standar dalam penyelenggaraan event. Jadi baik lokal atau internasional, ada beberapa standar tertentu yang tetap sama, tidak ada bedanya. “Tapi kalau event internasional, bisa jadi ada beberapa pemain yang tidak bisa bahasa inggris. Untuk keadaan khusus, tentunya butuh perlakuan khusus, yaitu dalam bentuk seorang translator yang bertugas membantu tim tersebut berkomunikasi.” Jawab Lia.

Bagi Anda yang mungkin ketinggalan dengan sepak terjang BOOM.ID, tim berlogo serigala ini sebenarnya sudah tidak terkalahkan di kancah lokal. Bahkan Brando saja sampai lupa kapan terakhir mereka kalah di kompetisi lokal, ketika ditanyakan oleh Yabes Elia, Senior Editor kami selaku Moderator acara Hybrid Day.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Namun di kancah internasional, BOOM.ID masih banyak ketinggalan. Setelah dua kali Minor, BOOM.ID masih cukup kesulitan melawan tim dari regional lain. Jadi sebenarnya apa perbedaan bertanding melawan tim lokal dengan tim internasional?

Brando pun menjawab bahwa perbedaan melawan tim lokal dengan tim internasional ada pada pengertian atas META permainan. Ia mengatakan bahwa tim-tim Eropa memiliki pemahaman META yang lebih mendalam. “Tantangannya adalah, ketika kami coba terapkan ilmu tersebut untuk bertanding di SEA, hasilnya kami malah keteteran.”

“Sebab, memang sejauh pengamatan saya, permainan tim SEA dengan tim-tim barat itu berbeda. Jadi butuh penyesuaian tertentu ketika mau mencoba mengalahkan tim SEA dengan strategi barat.” Ujar Brando menjelaskan. Maka dari itu, demi meningkatkan jam terbang para pemain BOOM.ID, salah satu yang sedang diusahakan oleh Brando dan manajemen adalah memberi pemain akses untuk bermain di server China.

Berprestasi Secara Internasional, Apa Rahasianya?

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Lakuci pada tahun 2000-an berhasil berprestasi di kancah Dota internasional. Satu dekade berlalu, ternyata pemain-pemain Dota di Indonesia masih belum bisa mengulang masa kejayaan tersebut. Bertanding di tingkat Minor memang sebuah pencapaian bagi BOOM.ID. Namun mereka sendiri masih belum bisa mengulang masa kejayaan Lakuci, dengan memenangkan atau setidaknya masuk semi-final Minor.

Melihat keadaan ini, pertanyaan yang muncul adalah, apa rahasianya? Apa resep rahasia Lakuci bisa menang di kancah internasional? Menurut Lakuci, resep rahasianya ada 3 elemen, trust, respect, dan care. Ketiga elemen tersebut harus diterapkan di dalam keseharian tim agar mencapai sinergi tingkat tinggi, yang membuat strategi permainan bisa berjalan lancar.

Lakuci lalu melanjutkan ceritanya. Pada masanya, timnya menang bukan karena timnya yang terhebat. “Kita dulu menang bukan karena hebat, tapi karena kita kompak. Strategi mungkin bisa dibilang faktor kedua dari kemenangan tim kami ketika itu.” Lakuci menjelaskan. Ia juga mengingatkan kepada khalayak di Binus Square, bahwa perilaku toxic adalah sesuatu yang wajib dihindari.

“Jangan saling ledek, hal tersebut bisa memengaruhi performa tim, apalagi jika ada anggota tim yang biasa memendam emosi. Keluarkan kata-kata yang bersifat membangun, jangan menghina sesama anggota tim, dorong semua anggota tim agar sama-sama jadi jago. Kalau sudah sinergi, strategi apapun gampang diterapkannya.” Kata Lakuci sembari menasihati.

Membawa International Esports Experience ke Indonesia, Apa Mungkin?

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Kita sedari tadi sudah banyak membahas soal pertandingan dari sudut pandang pemain. Topik berikutnya yang menjadi pembahasan adalah, membawa international esports experience ke Indonesia, baik itu dari sudut pandang penyelenggara event ataupun sudut pandang manajemen tim.

Kalau Anda adalah penggemar esports garis keras, Anda mungkin sudah tahu bahwa sudah ada banyak sekali event esports di Indonesia. Dalam setahun, jumlahnya mungkin sudah bisa mencapai puluhan. Namun jumlah event tingkat internasional di Indonesia masih cukup minim, walau jumlahnya meningkat.

Beberapa event internasional yang saya ingat pernah diselenggarakan di Indonesia adalah GESC Dota 2 Indonesia Minor 2018, Asian Games Esports 2018, dan ESL Clash of Nations 2019. Menanggapi hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menjadi hambatan bagi penyelenggara event esports untuk menyelenggarakan event kelas internasional?

Menjawab hal ini, Annisa Apriliana dari Mineski Event Team menjelaskan bahwa kendala utamanya adalah dari persoalan sponsor. Walau nilai industri esports internasional diprediksi akan mencapai nilai sebesar US$1,1 miliar, namun dalam konteks Indonesia, jumlahnya mungkin hanya sebagian kecil dari prediksi tersebut.

Lia mengatakan salah satu hambatannya adalah karena kebanyakan brand lokal belum butuh exposure internasional. “Banyak brand dalam negeri yang mengedepankan exposure lokal terlebih dahulu. Jadi budget yang diberikan setidaknya budget tingkat nasional.” Tambah Lia.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Lebih lanjut, Lia mencoba menjelaskan sambil memosisikan diri dari perspektif sponsor. Menurutnya, investasi event internasional itu sangat besar, jadi para sponsor tentunya akan berpikir berkali-kali untuk mendanainya. Dengan investasi yang besar, mereka tentu mengharapkan bisa mendapat timbal balik yang juga besar. Beberapa timbal balik tersebut seperti seberapa jauh event tersebut menjangkau para fans esports, baik lewat streaming ataupun datang langsung, yang akan melihat brand sponsor.

Lalu jika permasalahannya adalah soal menjangkau lebih banyak fans esports, apakah konten-konten bahasa inggris, seperti shoutcaster berbahasa inggris atau postingan media sosial dengan bahasa inggris, mungkin bisa menjadi solusi? Tanya Yabes Elia, melanjutkan topik pembahasan tadi sambil mencoba membahas solusinya.

Lia lalu mengatakan bahwa di era digital ini, postingan media sosial ibarat perpanjangan tangan dari event itu sendiri. “Apa yang terjadi di offline itu harus ada juga di online, supaya kita bisa menjangkau khalayak yang lebih banyak. Saya rasa, konten berbahasa inggris bisa jadi salah satu solusi untuk menjangkau khalayak internasional.” Ujar Lia.

Beralih ke sisi organisasi esports, arti menghadirkan international esports experience salah satunya bisa lewat menghadirkan pemain-pemain terbaik untuk mengisi roster sebuah tim. Walau beberapa tim sudah mulai mencoba, namun beberapa organisasi esports lainnya masih mengandalkan talenta lokal dalam usahanya mendapatkan prestasi gemilang di kancah internasional.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

BOOM.ID juga melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pertanyaan yang muncul adalah, apakah mungkin untuk memasukkan pemain internasional atau mengambil roster dari luar negeri bagi sebuah manajemen esports di Indonesia? Brando, selaku manajer divisi Dota 2 BOOM.ID, mengatakan bahwa sebenarnya mungkin-mungkin saja melakukan hal tersebut.

“Namun kalau saya sendiri sebenarnya merasa talenta Indonesia masih banyak yang berpotensi. Terlebih, menggabungkan talenta internasional dengan para pemain lokal bisa jadi menciptakan masalah baru, yaitu masalah language barrier. Masalah tersebut bisa jadi membuat kerjasama tim jadi kurang mantap. Kalau saya punya anggaran sebesar itu untuk mendatangkan pemain dari luar negeri, mungkin saya lebih memilih mendatangkan coach untuk memberi insight dan pengetahuan kepada para pemain yang akan meningkatkan kemampuan para pemain lokal.” Kata Brando.

Membicarakan soal talenta esports di Indonesia, Lakuci pun kembali menambahkan. Menurutnya, Indonesia tidak pernah kehabisan talenta berbakat. Tetapi masalahnya menurut dia adalah pengelolaan pemain tersebut yang mungkin masih kurang maksimal. “Indonesia tidak pernah kekurangan gamers berbakat, tetapi saya rasa yang kita alami saat ini adalah krisis pengelolaan talenta berbakat tersebut.” Lakuci menambahkan.

Sekian bincang-bincang kami membahas seputar International Esports Experience bersama dengan para narasumber, dalam gelaran Hybrid Day yang diselenggarakan di Binus Square. Hybrid Day akan hadir kembali di kampus atau sekolah lainnya di waktu yang akan datang.

NXL Esports Center: Konsep Gaming House yang Terbuka untuk Publik

TEAMnxl> mungkin bisa dibilang sebagai organisasi esports tertua di Indonesia yang masih eksis sampai hari ini. Tim yang berdiri tahun 2006 dan digawangi oleh Richard Permana ini baru saja (12 April 2019) meresmikan NXL Esports Center yang bertempat di The Breeze, BSD City.

Konsep NXL Esports Center ini memang sangat menarik dan berbeda. Realisasi konsep ini juga mungkin bisa dibilang yang pertama di Indonesia. Pasalnya, NXL Esports Center ini sama seperti gaming house klub esports lainnya namun terbuka untuk umum.

Richard Permana. Dokumentasi: Hybrid
Richard Permana. Dokumentasi: Hybrid

Gaming house tim esports itu adalah tempat para pro player berlatih dan bertanding (online) namun tempat ini biasanya tertutup dan tak bisa diakses oleh publik atau para fans mereka. NXL Esports Center mencoba menawarkan sesuatu yang baru. Menurut Richard Permana, CEO dari TEAMnxl>, hal ini dilakukan karena mereka ingin para pemainnya dapat berinteraksi langsung dengan para penggemarnya.

“Para pengunjung bisa menonton langsung tim kita saat berlatih ataupun bertanding. Jika jadwalnya memungkinkan, mereka juga bahkan bisa bermain bersama dengan pro player kita.” Ujar Richard di saat peresmiannya. Para pengunjung yang ingin melihat dan berinteraksi langsung di sini bisa membayar harga tiket masuk (HTM) sebesar Rp19.900. HTM tersebut berlaku untuk satu hari penuh, dari mulai buka (jam 10 pagi) sampai tutup (jam 10 malam).

TEAMnxl yang sekarang punya 3 divisi kompetitif, CS:GO, Hearthstone, dan Mobile Legends ini, juga akan mengadakan berbagai event di NXL Esports Center nantinya. Tak lupa juga mereka pun punya NXL Angels yang berisikan sejumlah gamer girls cantik jelita. Jadi, buat para jomlo, kalian bisa next level kepo dengan mengunjungi NXL Center (ketimbang hanya sekadar stalking di media sosial).

NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid
NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid

NXL Esports Center ini juga merupakan bagian dari program Sinar Mas Digital Hubs, seperti Techpolitan yang beberapa waktu lalu baru diresmikan. Sinar Mas Digital Hubs adalah usaha mereka untuk menumbuhkan ekosistem digital Indonesia dari berbagai lini. Sinar Mas sendiri juga merupakan salah satu dari grup konglomerasi terbesar di Indonesia, seperti Salim Group ataupun grup GDP (Djarum).

Lalu, bagaimanakah rencana ke depan Sinar Mas di esports; mengingat dua grup konglomerasi Indonesia tadi sudah lebih dulu terjun? Apakah mereka juga akan memulai bisnis lain di esports? Irawan HarahapGroup CEO Associate Sinar Mas Land dan Digital Hub Project Leader Coordinator yang juga turut hadir dalam peresmian NXL Esports Center mengatakan bahwa saat ini mereka masih sedang dalam tahap penjajakan dan riset tentang industri esports. Jika mereka sudah yakin dengan peluang industri ini, mereka baru akan terjun ke esports lebih jauh.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Terakhir, NXL Esports Center mungkin memang implementasi dari konsep unik yang pertama di Indonesia. Namun, tak dapat dipungkiri, lokasinya mungkin lebih mudah dijangkau untuk para gamer di sekitar BSD (ketimbang yang di Jakarta). Jadi, ramai atau tidaknya tempat ini bisa jadi sebuah tolak ukur baru tentang pasar gamer / esports di sekitar BSD dan seberapa jauh para fans esports rela bepergian demi bertemu idola ataupun berkumpul bersama komunitasnya.