BenQ MOBIUZ EX2710S: Pilihan Terbaik Monitor Gaming 165Hz

Ada banyak monitor untuk gaming yang tersedia di pasar untuk dipilih bagi pada penikmat gadget. Namun, tidak banyak yang memiliki fitur-fitur untuk menolong penggunanya untuk berhasil dalam sebuah game. Untungnya, BenQ memiliki banyak pilihan untuk monitor yang seperti itu. Salah satunya adalah BenQ MOBIUZ EX2710S Gaming Monitor.

Dengan MOBIUZ EX2710S, BenQ menawarkan pengalaman bermain game untuk gamer enthusiast. Monitor yang satu ini menawarkan refresh rate hingga 165 Hz. Hal tersebut berbeda dengan saudaranya yang memiliki nama sama, namun tanpa akhiran “S”, yaitu EX2710 yang memiliki refresh rate hingga 144 Hz saja. Panelnya sendiri sudah menggunakan IPS.

BenQ MOBIUZ EX2710S datang pula dengan Motion Picture Response Time (MPRT) 1 ms. Selain itu, teknologi HDRi juga mampir pada layar yang satu ini untuk mengoptimalkan gambar untuk meningkatkan warna, kontras, dan detail. Layar  ini juga sudah mendukung standar dari AMD, yaitu Freesync Premium yang menawarkan latensi rendah.

Tidak hanya tampilan saja yang ditawarkan pada BenQ MOBIUZ EX2710S, layar ini juga memiliki speaker. Speakernya sendiri sudah menggunakan treVolo, yaitu lini speaker buatan BenQ dengan daya 2,5 watt sebanyak dua buah. BenQ juga sudah menanamkan chip DSP untuk menambah depth, clarity, definition, presence, dan pencitraan bidang stereo.

BenQ MOBIUZ EX2710S sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut:

Dimensi layar 27″
Rasio 16:9
Resolusi 1920×1080
Tipe panel IPS
Dimensi 539.6 x 614.1 x 216.7 mm
Berat total 6,2 KG
Port 2x HDMI 2.0 / Display Port 1.2 / audio jack‎‎‎
Response Time 1 ms MPRT
Kontras 1000:1
Speaker 2x 2,5 watt
Daya 55 watt

Tentunya, BenQ juga tidak ketinggalan untuk menyematkan teknologi eye care. Teknologi ini sendiri bakal membuat mata para penggunanya tidak lelah jika memakainya seharian. Monitor ini juga sudah bisa diatur tinggi rendahnya sehingga pengguna tidak akan sakit punggung akibat posisi kepalanya yang selalu terlalu ke atas atau ke bawah.

Unboxing

Selain monitor dan kakinya, inilah yang bisa didapatkan pada paket penjualan dari BenQ MOBIUZ EX2710S

Desain

BenQ MOBIUZ EX2710S datang dengan panel layar In-Plane Switching atau IPS. Monitor ini menawarkan response time yang cepat, yaitu 1 ms MPRT. MPRT (Moving Picture Response Time) berhubungan dengan berapa lama piksel tetap terlihat di layar. Semakin lama piksel tetap terlihat, semakin membuat blur atau trail gambar bergerak yang dihasilkan dari sebuah adegan.

Layarnya sendiri juga sudah mendukung refresh rate 165 Hz yang sejajar dengan dapat menampilkan 165 fps tanpa tearing. EX2710S ternyata juga sudah mendukung FreeSync Premium, yaitu standar tampilan gaming dari AMD.

Height Adjustable Monitor ini memang bisa diatur ketinggiannya sehingga pas dengan sudut pandang para penggunanya. Hal ini tentu saja membuat leher dan punggung menjadi tidak pegal. Monitor ini juga bisa diatur untuk “menengok” ke kanan mau pun ke kiri, sehingga posisinya bisa dengan nyaman untuk diatur.

Pada bagian belakang dari monitor ini sudah terdapat beberapa port, yaitu dua buah HDMI 2.0, sebuah Display Port 1.2, serta audio 3,5 mm. Selain itu, pada bagian kanannya terdapat beberapa tombol yang meliputi tombol menu, daya, serta sebuah tombol navigasi 4 arah. Pada bagian bawah terdapat sebuah sensor cahaya untuk mengendalikan fitur Brightness Intelligence secara otomatis. Speaker juga diposisikan pada bagian bawah dari layar monitor ini.

Berbicara mengenai tombol navigasi 4 arah, pada BenQ MOBIUZ EX2710S tentu sudah terdapat On Screen Display yang terdiri dari menu dan juga QuickOSD. Pada QuickOSD sendiri, pengguna dapat mengatur dan beralih ke pengaturan game yang sering digunakan dengan cepat. Dan Anda juga dapat mengatur setting layar ini langsung pada menunya.

HDRi

Saat ini, mungkin kebutuhan akan visual terhadap sebuah konten sudah merupakan keharusan. Bagian gambar dari sebuah gambar, video, mau pun game juga akan lebih baik berkat teknologi ini. HDR (High Dynamic Range) sendiri akan mengangkat bagian yang gelap menjadi lebih terlihat serta membuat warnanya tetap terjaga. Hal inilah yang ingin dipecahkan oleh BenQ.

BenQ telah mengembangkan teknologi miliknya sendiri untuk memenuhi kebutuhan ini, yaitu HDRi. Dengan demikian, pengguna bisa mendapatkan pengalaman visual yang lebih mendalam dengan detail yang jelas dan realistis dalam pemandangan gelap dengan mempertahankan kejernihan di layar. Fitur HDRi juga dapat meningkatkan konten SDR (Standard Dynamic Range) dengan fitur HDR yang diemulasi agar sangat mirip dengan HDR aslinya. BenQ membagi fitur ini untuk game dan cinema.

Pada Game HDRi, akan meningkatkan detail gambar seperti pada detail gelap serta menyeimbangkan tingkat kecerahan. Pada sebuah game, hasilnya akan lebih terlihat pada saat sedang berada di ruang gelap yang ditembus dengan seberkas sinar matahari. Sedangkan untuk Cinema HDRi, warna dan kontras akan ditingkatkan sehingga warna yang tersaturasi akan lebih baik, terutama pada warna kulit. Hal ini juga akan berpengaruh pada gambar yang tingkat kecerahan serta kontras yang tinggi.

Anda bisa melihat perbandingan atau perbedaan hasil antara yang menggunakan HDR dengan yang menggunakan HDRi pada dua foto berikut ini. 

Contoh perbandingan HDR dan HDRi Game:

Contoh perbandingan HDR dan HDRi Cinema:

treVolo

Mungkin bagi mereka yang belum menggunakan BenQ masih asing dengan treVolo. TreVolo sendiri merupakan merek BenQ yang memproduksi perangkat-perangkat audio. EX2710S dilengkapi dengan speaker 2.5W, yang dirancang dan dikalibrasi oleh treVolo. Hal tersebut menghasilkan suara akustik penuh dengan lima pengaturan suara dan mode suara preset secara maksimal.

Dengan menggunakan BenQ MOBIUZ EX2710S, pengguna tidak lagi membutuhkan sebuah speaker tambahan. Namun, jika pengguna ingin menggunakan headphone saat bermain, langsung saja tancapkan pada port audio 3,5 mm di bagian belakang monitor ini.

Menonton dan bermain: Layar enak dipandang dan tidak lelah

Masa pandemi COVID menyebabkan semua orang harus bekerja dan sekolah di rumah. Walaupun PPKM sudah diturunkan level-nya, namun sebagian besar, termasuk saya, masih cukup ngeri untuk pergi keluar rumah. Bermain game dan menonton video merupakan salah satu cara saya dan anak-anak untuk menghilangkan kebosanan di rumah. Dan menggunakan layar dengan dimensi 27 inci memang cukup pas untuk kedua kebutuhan tersebut.

Saat BenQ MOBIUZ EX2710S datang ke rumah saya sekitar dua minggu yang lalu, langsung saya buka dan rakit. Karena ini monitor yang diarahkan untuk bermain game, tentu saja saya tidak sabar untuk bermain game favorit saya dengan monitor dari BenQ Ini. 

Saya pun melakukan pengujian dengan menggunakan beberapa judul game. Game pertama yang saya mainkan adalah Valorant. Pengalaman yang didapatkan tentu saja sangat jauh berbeda ketika menggunakan game ini di 165 fps. Hasilnya memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan monitor 60 Hz yang saya gunakan sampai saat ini.

 

Dengan menggunakan HDRi Game, kecerahannya memang tidak setinggi HDRi Cinema. Akan tetapi, HDRi Game akan menjamin bahwa kita bisa melihat musuh pada tempat-tempat gelap. Hal ini cukup membantu saya saat bermain game action adventure seperti Shadow of The Tomb Raider. Hal tersebut juga berlaku pada saat bermain CS:GO di beberapa map.

Selain untuk teman bermain di PC, monitor BenQ MOBIUZ EX2710S juga akan cocok untuk gaming dengan perangkat lain, misalnya console generasi lanjut seperti PS5 dan Xbox terbaru.

Saya juga mencoba monitor ini untuk menonton beberapa video dari layanan streaming berbayar. Tentunya, saya ingin mencoba menggunakan HDRi dari BenQ dengan profile HDRi Cinema. Ternyata memang setiap video yang saya tonton menjadi lebih cerah dan tajam.

Semua video dengan tone gelap bisa saya lihat dengan lebih baik. Beberapa film superhero juga dapat saya tonton dengan lebih baik jika dibandingkan dengan HDR biasa. Pada monitor ini juga sudah ada HDR biasa yang warnanya sedikit lebih warm dibandingkan dengan HDRi. Tingkat ketajamannya pun juga berbeda.

Saat HDRi saya aktifkan, menu Eye Care pada OSD BenQ MOBIUZ EX2710S pun juga aktif. Hal ini berarti Brightness Intelligence pada layar ini juga bisa diaktifkan. Dan benar saja, menonton beberapa video tidak membuat mata saya lelah. Hal ini bahkan berlanjut hingga malam hari.

Menonton video dengan genre action juga sangat menyenangkan pada layar ini. Tidak ada lagi yang namanya ghosting atau blur saat adegan-adegan dengan kecepatan tinggi. Saya mencoba menonton film Batman v Superman pada adegan melawan Doomsday menjadi lebih nyaman karena memang tajam.

Berbicara mengenai film Zack Snyder yang satu ini, tentu tidak asing lagi dengan scene dark yang menyelimuti filmnya. Jika HDRi Cinema tidak mengangkat kecerahannya, BenQ sudah menyediakan fitur Light Tuner yang bisa mengangkat kecerahannya. Saya menggunakan Light Tuner sampai nomor 6 untuk meningkatkan kecerahannya. Dan film tersebut akan bisa dilihat dengan bagus.

Untuk mencoba refresh rate dari monitor ini, tentu saja Test Ufo masih menjadi salah satu benchmark yang saya unggulkan. Benchmark gratis ini bisa menampilkan refresh rate asli dari sebuah monitor. Dan benar saja, monitor ini langsung terdeteksi sebagai 165 Hz.

Saya juga mencoba menggunakan suara dari speaker yang ada. Saya menggunakan monitor yang satu ini didalam ruangan sekitar 4×3, sehingga suara yang dihasilkan memang sudah cukup untuk bermain dan menonton video. Walaupun begitu, suaranya memang akan terdengar lebih kecil jika digunakan pada ruang keluarga yang cukup terbuka.

Menggunakan tombol navigasi dari BenQ MOBIUZ EX2710S juga memudahkan saya dalam memilih pada menu OSD. Saat menyentuhnya, jari saya gerakkan ke arah yang sesuai dengan option yang ingin saya pilih. Untuk memilihnya, saya tinggal menekan tombol navigasi tersebut di tengah. BenQ sepertinya memang sudah memikirkan untuk navigasi OSD yang nyaman.

Terakhir, tentu saja monitor ini saya gunakan untuk menulis artikel. Sebagai informasi saja, artikel ini saya tulis dengan memakai BenQ MOBIUZ EX2710S sebagai layarnya. Memang sangat nyaman untuk mengetik sebuah artikel pada layar 27 inci dengan fitur kenyamanan mata yang dimiliki oleh BenQ. Biasanya saya harus mengistirahatkan mata sejenak saat menulis, namun sepertinya tidak berlaku untuk BenQ MOBIUZ EX2710S.

Tentunya, Anda harus mencobanya sendiri untuk menggunakan monitor BenQ MOBIUZ EX2710S. Pengalaman tersebut memang akan lebih baik jika langsung melihat dan merasakannya sendiri.

Verdict

Dengan banyaknya monitor gaming yang dijual di Indonesia, tentu membuat susah untuk memilih yang mana yang mau dibeli. Pastikan bahwa monitor tersebut memiliki fitur-fitur yang mampu membuat mata nyaman saat memandangnya. Tentunya, BenQ memiliki banyak solusi monitor yang bisa membuat penggunanya tidak lelah saat melihat layarnya seharian. Salah satunya adalah BenQ MOBIUZ EX2710S.

BenQ MOBIUZ EX2710S memiliki fitur kenyamanan untuk bermain serta menonton video. Dengan fitur HDRi, kualitas gambar yang ditampilkan akan menjadi semakin baik. Untuk bermain game, monitor ini sudah mendukung refresh rate 165 Hz serta mendukung AMD Freesync Premium. Tidak lupa, response time pada BenQ MOBIUZ EX2710S yang sudah 1 ms MPRT.

Selain menampilkan gambar yang baik, monitor ini juga memiliki speaker yang bagus pula. Dengan dua speaker dari treVolo membuat kita bisa mendengarkan suara dari sebuah konten dengan baik. Monitor ini juga sudah memiliki 2 HDMI 2.0 serta sebuah Display Port 1.2. Dan tentunya, monitor ini juga sudah menggunakan Height Adjustable Stand yang bisa membuat posisinya lebih fleksibel.

BenQ menjual MOBIUZ EX2710S pada harga Rp. 6.565.000. Tentunya harga ini tergolong terjangkau untuk sebuah monitor gaming dengan fitur melimpah. Monitor ini cocok untuk para gamer yang memiliki budget terbatas namun tidak ingin melihat tearing saat bermain game. BenQ juga memberikan 3 tahun garansi untuk panel, service, dan spare part.

Informasi Produk: BenQ MOBIUZ EX2710S

Link pembelian:  Tokopedia

Rangkuman keunggulan monitor BenQ MOBIUZ EX2710S

  • Layar yang nyaman untuk dipandang
  • Refresh Rate hingga 165 Hz
  • Mendukung AMD Freesync Premium
  • Menu OSD yang nyaman dan mudah untuk dinavigasi
  • Speaker dengan suara yang bagus dari treVolo
  • Teknologi HDRi yang membantu meningkatkan kualitas gambar untuk game dan video
  • Posisi layar yang adjustable

Disclosure: Artikel ini didukung oleh BenQ. 

 

Review Realme GT Master Edition: Flagship Killer buat Para Gamer?

Perkembangan teknologi memungkinkan kita mendapatkan perangkat yang lebih kencang dengan banderol harga yang lebih terjangkau setiap tahunnya. Prinsip ini seharusnya berlaku untuk semua perangkat teknologi, mulai dari kartu grafis (kecuali di era kelangkaan seperti sekarang), prosesor, sampai dengan ponsel yang ada di kantong Anda.

Berbicara soal ponsel, realme GT Master Edition adalah salah satu bentuk nyata dari perkembangan teknologi tadi. Dari banderol harganya, ponsel ini masih bisa masuk kelas menengah karena ada di kisaran Rp5 jutaan (tepatnya Rp5,3 juta). Namun demikian, ponsel ini dibekali dengan performa yang mumpuni dan sejumlah fitur canggih yang membuatnya bisa jadi idaman baru para gamer mobile.

Sebelum kita masuk ke pembahasan review realme GT Master Edition kali ini, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan. Pertama, realme mengirimkan ponsel ini ke saya. Namun, harapannya, hal tersebut tidak akan mempengaruhi penilaian saya. Kedua, berhubung saya memang gamer dan saya kebetulan sudah berkecimpung di industri gaming dari tahun 2008, tentu saja saya akan lebih condong menggunakan perspektif gaming saat mencicipi realme GT Master Edition yang satu ini.

Sekarang, tanpa panjang lebar lagi, mari kita langsung masuk ke review realme GT Master Edition.

Bodi dan Desain

Dari tampilannya, ponsel ini memang tidak kelihatan sebagai ponsel yang cocok untuk bermain game seperti beberapa pabrikan lainnya yang memang mengusung jenama gaming.

Ada satu hal unik yang ditawarkan dari desain realme yang satu ini. realme GT Master Edition bisa dibilang punya 2 varian desain, yaitu Voyager Grey dan warna lainnya. Varian Voyager Grey sungguh punya desain yang unik dan berbeda dari kebanyakan ponsel pintar zaman sekarang. Ia memiliki lekukan-lekukan layaknya koper dan didesain langsung oleh Naoto Fukasawa, seorang designer kelas dunia dari Jepang.

Namun sayangnya, varian warna lainnya tampil biasa saja seperti kebanyakan ponsel lain. Lebih disayangkan lagi, saya memang hanya kebagian varian warna Daybreak Blue. Jadi, saya tidak bisa merasakan langsung perbedaan desain yang disuguhkan varian Voyager Grey. Entahlah, saya juga tidak tahu apa tujuan realme menawarkan dua varian desain di satu seri. Padahal, dari tampilannya saja, desain Voyager Grey tak hanya terlihat lebih elegan namun juga mencuri perhatian.

Mungkin saja, mereka sedikit khawatir jika semua realme GT Master Edition bergaya koper mengingat selera desain setiap orang memang berbeda-beda. Makanya, mereka mungkin lebih memilih untuk bermain aman dengan varian desain yang plain.

Sekarang mari kita membahas bodinya. Ponsel yang tipis seperti realme kali ini mungkin memang terlihat lebih seksi dipandang namun, faktanya, buat bermain game, bodi yang lebih tebal lebih nyaman digenggam. Buktinya, game controler, baik untuk PC ataupun console, memang sengaja dibuat tebal dan mengikuti bentuk tangan saat menggenggam agar memberikan pengalaman yang lebih nyaman dalam waktu lama.

Dari spesifikasinya, selain varian Voyager Grey, ponsel ini punya bodi yang punya panjang 159.2mm, lebar 73.55mm, dan tebal 8mm. Sedangkan varian Voyager Grey memiliki bodi yang lebih tebal dengan 8.7mm.

Saat saya mencoba bermain game dengan ponsel ini, bagi saya ketebalan 8mm tadi terlalu tipis untuk jari dan tangan saya. Saya tidak bisa berlama-lama bermain game dengan ponsel ini karena bodinya yang tipis terasa lebih cepat menekan ke jari dan telapak tangan. Sebagai perbandingan, ponsel yang biasa saya gunakan sehari-hari punya ketebalan sebesar 11,5mm (ditambah hard case) dan saya bisa tahan lebih dari 2 jam bermain game di sini. Sedangkan dengan realme GT Master Edition, saya mulai merasakan nyeri di jari setelah 1 jam bermain.

Meski begitu, kekurangan tadi bisa disiasati dengan dua hal. Pertama, mungkin saya bisa beradaptasi dengan cara baru menggenggam ponsel yang lebih sesuai dengan bentuk realme GT Master Edition. Kedua, cara lainnya adalah dengan membeli case tambahan agar membuatnya lebih tebal dan lebih nyaman di genggaman.

Varian Voyager Grey dari realme GT Master Edition. Image credit: realme

Sebenarnya realme juga menyuguhkan silicon case dalam paket penjualan ponsel ini. Namun case tadi masih kurang dalam menambah ketebalan ponsel. Dengan case bawaannya, ketebalan realme ini jadi 9mm — masih 2,5mm lebih tipis dari ponsel (plus case) yang biasa saya gunakan sehari-hari.

Performa dan Baterai

Setelah bodi dan desain, mari kita ke bagian yang tak kalah penting. Buat yang belum tahu, realme GT Master Edition ini adalah ponsel resmi yang digunakan di PMPL Indonesia (ID) Season 4. PMPL ID adalah liga profesional untuk PUBG Mobile yang resmi digelar oleh Tencent selaku publisher-nya. Maka dari itu, seharusnya sudah tidak ada lagi keraguan dalam hal performa gaming dari realme yang satu ini.

Pasalnya, PUBG Mobile adalah salah satu game mobile yang dilengkapi dengan setting grafis lengkap yang membuatnya bisa ringan atau super berat saat dimainkan. realme GT Master Edition dijejali dengan komponen yang kencang dan lebih dari cukup menjalankan game-game berat sekalipun dengan mulus.

Jeroan yang digunakan di ponsel ini ada CPU Snapdragon 778G 5G yang sudah menggunakan fabrikasi 6nm (8 core dengan 2,4GHz), GPU Adreno 642L, RAM 8GB, dengan 2 varian internal storage, 128GB dan 256GB.

Image credit: realme

Saya pun mengujinya dengan bermain PUBG Mobile dengan setting grafis maksimal. Hasilnya, game berjalan mulus tanpa tersendat sedikitpun. Hanya saja, saat dimainkan dengan setting grafis maksimal tadi, ponsel ini jadi lebih cepat hangat di tangan. Meski untungnya, memang tidak ada gangguan performa karena kenaikan suhu tadi.

Performa yang terjaga tadi mungkin disebabkan oleh sistem pendinginan Vapor Chamber yang digunakan di ponsel ini. Sistem pendinginan lima lapis yang terdiri dari grafit, tembaga, paduan aluminium, silika gel, dan kawan-kawannya ini diklaim lebih efisien dan dapat mencakup 100% sumber panas inti.

Dari sisi speknya, salah satu fitur yang absen di sini adalah slot MicroSD yang bisa digunakan untuk menambah kapasitas penyimpanan. Namun demikian, slot MicroSD mungkin tidak lagi relevan bagi kebanyakan orang, mengingat kapasitas penyimpanan internalnya sudah besar. Misalnya, jika sekarang Anda menggunakan ponsel yang punya slot storage tambahan, berapa total kapasitas storage yang Anda punya? Apakah lebih dari 128GB atau 256GB?

Ponsel saya pribadi punya internal storage sebesar 64GB dan saya menambahkan MicroSDXC sebesar 64GB. Jadi, ruang penyimpanan 128GB juga sebenarnya sudah cukup buat ponsel saya. Meski begitu, saya tahu kebutuhan orang bisa jadi berbeda-beda. Aslinya, saya pribadi juga cukup boros storage, namun saya menyimpan banyak koleksi saya di PC yang dijejali dengan 4TB HDD dan 1TB NVMe SSD. Siapa tahu Anda lebih suka menyimpan koleksi video tugas kuliah Anda di ponsel. Jadi, saya kira saya tetap harus menyebutkannya di sini.

Sebelum kita beranjak ke bagian selanjutnya, saya juga ingin membahas soal baterai realme GT Master Edition. Dari sisi spesifikasinya, kapasitas baterainya sebenarnya sedikit menipu — meski positif. Ponsel pintar keluaran baru memang sudah banyak yang menawarkan kapasitas baterai lebih dari 5000mAh. Sedangkan realme GT Master Edition ini hanya menawarkan kapasitas baterai 4300mAh. Kapasitas ini mungkin jadi terlihat kecil namun, ajaibnya, saat saya mencobanya sendiri, ia dapat bertahan dengan durasi yang sama dengan ponsel pribadi saya yang kapasitas baterainya 5020mAh.

Dokumentasi: Hybrid

Meski begitu, penting dicatat, ponsel saya tadi sudah saya gunakan lebih dari satu tahun. Jadi, bisa saja kapasitas baterainya sudah menurun atau sistemnya sudah terlalu crowded sehingga menuntut lebih banyak sumber daya. Terlepas dari hal tersebut, saya kira efisiensi daya yang diberikan oleh realme GT Master Edition tetap layak diacungi 2 jempol.

Bicara soal baterai, satu lagi yang sangat memuaskan dari produk realme yang satu ini adalah kecepatannya saat mengisi daya. Meski ukuran charger-nya jadi lebih bongsor, kecepatannya mengisi dayanya jadi super cepat karena menggunakan teknologi yang diberi nama 65W SuperDart Charge. realme mengklaim bahwa ponsel ini bisa terisi hingga 100% dalam waktu 33 menit. Dari pengujian saya, saya mendapatkan kisaran durasi yang setara atau bahkan lebih cepat karena biasanya saya tidak mengisi daya sampai 100% — kecuali saat tidur.

Layar dan Kamera

Sekarang kita sampai ke bagian terakhir dari review kali ini. Mari kita bahas layarnya lebih dulu. realme GT Master Edition dibekali dengan layar Samsung AMOLED beresolusi 2400×1080 (FHD+) dengan refresh rate 120Hz dan 360Hz touch sampling rate.

Untuk kualitas layarnya, ponsel ini juga layak diacungi jempol. Berbekal 100% DCI-P3 Wide Color Gamut, layarnya membuat ponsel ini nyaman dipandang berlama-lama, baik saat bermain game, menonton video, ataupun sekadar browsing. Tingkat kecerahan layarnya juga cukup tinggi yang memungkinkannya tetap terlihat jelas di bawah terik matahari.

Layar ponsel ini juga dibekali dengan refresh rate 120Hz namun sayangnya sebagian besar game mobile yang ada sekarang ini memang belum mendukung sampai dengan 120fps. Namun jika game yang Anda mainkan sudah mendukung teknologi tersebut ataupun saat Anda mengaktifkannya di UI Android, 120Hz memang nyatanya terasa dan terlihat lebih mulus dan cepat.

Dokumentasi: Hybrid

Saya sendiri sebenarnya sudah wajib bermain game di atas 60fps di PC dengan monitor saya yang sudah mendukung refresh rate 165Hz. Jadi, saya tahu betul bagaimana signifikansi 120Hz saat bermain game. Karena itu, meski sekarang sebagaian besar game mobile belum mendukung 120fps, dengan memiliki ponsel berlayar 120Hz, Anda bisa langsung menikmati kemewahan ini ketika teknologi mobile game sudah berkembang lebih jauh lagi.

Dari yang saya coba, 360Hz touch sampling rate terasa lebih relevan saat ini. Pasalnya, saya merasa kendali saya di permainan jadi lebih cepat dan responsif. Saya mencoba bermain beberapa game di ponsel ini mulai dari PUBG Mobile, Mobile Legends, atau Angel Saga (yang memang sedang saya mainkan di luar kebutuhan review). Hasilnya, saya bisa lebih lincah bergerak ataupun lebih cepat membidik.

Meski demikian, patut dicatat, reflek dan kecermatan Anda tidak bisa serta merta jadi sekelas pro player hanya dengan menggunakan ponsel ini. Namun, jika reflek dan akurasi Anda sudah bagus, Anda tidak perlu khawatir respon layar ponsel Anda akan jadi penghalang menuju kemenangan dengan realme GT Master Edition.

Terakhir, kita akan membahas soal kamera realme GT Master Edition. Ponsel ini dilengkapi dengan kamera selfie 32MP Sony IMX615, aperture F2.45, FOV 85 derajat, resolusi 6560×4928. Sedangkan kamera utamanya berukuran 64MP, dengan lensa ultra lebar 119°, dan lensa makro 4cm. Selain itu, realme juga telah bekerja sama dengan sejumlah street photographer profesional yang akhirnya menghasilkan 5 preset foto yang mampu bercerita dan penuh emosi.

Saat saya mencobanya sendiri, kamera realme GT Master Edition ini dapat menangkap gambar yang cukup baik meski di kondisi kurang cahaya sekalipun. Berikut ini adalah hasil gambar realme GT Master Edition dengan kondisi cahaya yang berbeda-beda.

Jujur saja, saya tidak terlalu banyak tahu soal kamera namun setidaknya menurut saya hasilnya sudah lebih dari cukup untuk digunakan menangkap momen-momen istimewa saat Anda sedang tidak bermain game, kapanpun, di manapun.

Kesimpulan

Akhirnya, realme GT Master Edition mungkin memang belum sempurna karena ada beberapa catatan seperti absennya slot untuk MicroSD, speaker yang belum stereo, tak ada fitur dust & water resistant, ataupun yang lainnya — walaupun kalau ingin ponsel yang lebih lengkap, Anda harus rela membayar banderol harga yang lebih mahal. Anda juga harus kompromi mendapatkan ponsel yang lebih tipis agar terlihat lebih seksi meski harus mengorbankan sedikit kenyamanan bermain game. Ditambah lagi, ponsel pintar lainnya yang ada di kelas menengah saat ini juga bisa menawarkan performa dan fitur yang setara.

Meski demikian, dengan slogan Mastery Beyond Speed dan diposisikan sebagai smartphone 5G flagship killer paling stylish dan terjangkau, realme GT Master Edition memang menawarkan banyak fitur menggiurkan untuk para gamer mobile. Layarnya mampu mengizinkan Anda bereaksi lebih cepat, efisiensi dayanya juga layak diacungi jempol, dan performanya pun mumpuni untuk menjalankan gamegame mobile terbaru sekalipun.

First Impression Beta Rider Republic: Game Olahraga Ekstrim yang Bebas dan Menyenangkan

Usaha Ubisoft untuk menghidupkan kembali game bergenre olahraga ekstrim memang belum mendapatkan reaksi yang masif. Meskipun begitu ternyata Ubisoft tetap konsisten untuk mengembangkan genre olahraga ekstrim ini. Terlihat setelah 5 tahun merilis Steep, Ubisoft akhirnya merilis game baru serupa namun kini memiliki judul baru yaitu Riders Republic.

Pergantian nama ini kemungkinan besar dilakukan karena pergeseran tema dari yang awalnya berfokus pada ski dan snowboarding kini memiliki porsi besar kepada sepeda dan beragam aktivitas yang dapat dilakukan dengannya. Dan, bisa dibilang itulah hal terbaik yang ditawarkan dalam Riders Republic.

Ubisoft mengadakan sesi beta dari Riders Republic sejak tanggal 26 Agustus kemarin dan, harus diakui, game ini sangat menyenangkan untuk dimainkan karena membawa nostalgia game-game olahraga ekstrim di zaman PS1, sekaligus memiliki banyak potensi untuk menjadi salah satu game populer ketika dirilis nanti.

Dunia kaya dengan grafis ciamik

Salah satu perubahan positif yang dibawa Ubisoft ke dalam Riders Republic adalah membuat dunia open-world yang diusung lebih bervariatif dari Steep yang mayoritas didominasi oleh pegunungan bersalju yang monoton. Dunia taman bermain di Riders Republic memiliki berbagai macam variasi medan mulai dari ngarai dengan tebing-tebing terjalnya, hutan pinus yang lebat, hingga pegunungan bersalju.

Ubisoft benar-benar totalitas dalam menyediakan sebuah taman bermain lengkap yang mampu mengakomodasi keinginan berbagai macam pemain mulai dari melakukan aksi gila hingga sekadar berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan yang telah disediakan. Ubisoft juga menyuntikkan elemen eksplorasi lewat berbagai titik menarik yang bisa didatangi oleh para pemain.

Pilihan olahraga ekstrim yang variatif

Selanjutnya kita membicarakan inti utama dari game ini yaitu pada olahraga ekstrim yang diusung. Di awal, kita telah menyebutkan bahwa hadirnya sepeda ke dalam game ini memang membawa nyawa baru untuk Riders Republic. Akan ada beberapa variasi sepeda yang dapat pemain gunakan mulai sepeda downhill, sepeda balap, hingga sepeda unik seperti sepeda lipat hingga sepeda pengantar es krim yang bisa didapatkan lewat event khusus.

Selain sepeda, pemain juga bisa memilih olahraga ski dan snowboard, yang kurang lebih masih sama dengan apa yang digunakan pada Steep dahulu. Serta yang terakhir adalah wingsuit dan rocketwing, kedua olahraga terakhir ini memungkinkan pemain melayang di atas dunia Riders Republic dengan rocketwing — memungkinkan pemain untuk naik kembali ke atas layaknya jetpack.

Balapan kecepatan tinggi dengan trik-trik gila

Masuk ke dalam gameplay, mayoritas event yang dapat dinikmati berfokus pada trek downhill alias dari atas ke bawah kecuali untuk rocketwing yang memungkinkan jalur balapannya untuk turun dan naik. Dan di sinilah sisi nostalgia terhadap game-game olahraga klasik sangat terasa.

Acungan jempol harus diberikan kepada Ubisoft yang mampu membuat balapan di dalam game ini terasa cepat dan intens. Apalagi dengan kombinasi yang berimbang antara jalanan menurun cepat, belokan tajam, dan lompatan yang memberikan waktu bagi para pemain untuk melakukan trik-trik menakjubkan; yang terasa sangat memuaskan bila berhasil dilakukan.

Namun semua aksi tersebut bukan tanpa resiko. Karena, ketika pemain terjatuh ataupun melewatkan checkpoint maka mereka harus mundur kembali ke momen yang dilalui sebelumnya.

Dan sisi negatifnya adalah para pembalap lain akan terus melaju dan meninggalkan Anda. Hal ini membuat balapan semakin intens karena pemain tahu bahwa satu kesalahan saja memiliki konsekuensi besar yang bisa melemparkan mereka ke urutan belakang.

Bermain bersama maupun sendiri tidak masalah

Ubisoft memang kelihatannya terobsesi untuk membuat game open-world mereka mampu meleburkan antara pengalaman bermain sendiri dan multiplayer. Dan setidaknya mereka akhirnya berhasil menghadirkan pengalaman yang cukup merata baik bagi mereka yang bermain sendiri maupun bersama pemain lainnya dalam game ini.

Karena dunia Riders Republic sejak awal telah dipenuhi dengan pemain yang tersebar di seluruh map. Para ‘pemain’ ini memang hanyalah bot yang gerakannya diambil dari data gerakan pemain lainnya. Sehingga para pemain tersebut memang hanya akan memenuhi dunia menemani pemain. Namun sisi baiknya adalah setidaknya mereka membuat dunianya terasa lebih hidup.

Untuk benar-benar bermain dengan pemain lainnya, para pemain bisa mengikuti event multiplayer ataupun balapan masal yang biasanya diadakan setiap beberapa menit. Namun harus kami peringatkan bahwa seperti game-game multiplayer pada umumnya, event balapan melawan pemain lain ini akan cenderung kacau dan tidak terkontrol.

Karenanya, para pemain harus ekstra bersabar apalagi bila ingin menang dalam lomba tersebut. Selain balapan, pemain juga dapat mengikuti event trik untuk sepeda dan snowboard yang menguji kemampuan para pemain untuk melakukan trik akrobat dengan nilai tertinggi melawan pemain lainnya.

Verdict

Riders Republic adalah impian dari Ubisoft untuk mengembangkan game open-world seperti Forza Horizon untuk olahraga ekstrim. Dan dari beta yang telah kami jajal, Ubisoft bisa dibilang telah mampu memberikan pengalaman yang cukup solid dan menyenangkan.

Dunia yang ditawarkan cukup luas untuk dieksplorasi dan memang didesain untuk mengakomodasi para pemainnya untuk melakukan trik-trik akrobatik. Namun absennya mini-map yang digantikan dengan sistem layaknya kompas memang terkadang membingungkan.

Sayangnya, game ini tidak menyediakan daftar trik dengan kombinasi tombol apa yang bisa dilakukan. Jadi, cukup membingungkan bagi mereka yang baru pertama kali bermain untuk mengeluarkan trik spesifik yang terkadang merupakan misi opsional dalam game-nya.

Meskipun begitu, bila pemain memang mau menginvestasikan waktunya untuk mempelajari trik-trik dan menghafalnya, hal tersebut akan sangat memuaskan, ditambah dengan animasi gerakan dalam game-nya yang cukup luwes dan realistis.

Ubisoft bisa dibilang telah memiliki pondasi yang kuat untuk membuat game ini populer saat dirilis pada 28 Oktober nanti. Namun tugas besar tentunya menanti untuk memasarkan game ini kepada gamer yang lebih luas, karena game ini merupakan seri game baru yang terhitung masih di bawah radar para gamer.

Review Razer Hammerhead True Wireless X: Seri Hammerhead Paling Terjangkau

Razer memang memiliki sejumlah perangkat dengan seri Hammerhead mulai dari yang menggunakan kabel, Razer Hammerhead Duo dengan berbagai variannya, ataupun yang nirkabel, Hammerhead True Wireless (TWS).

Untuk yang nirkabel, Hammerhead juga punya beberapa varian yang diposisikan sebagai berikut:

  1. Razer Hammerhead True Wireless Pro
  2. Razer Hammerhead True Wireless
  3. Razer Hammerhead True Wireless X

Jadi, sama dengan berbagai perangkat Razer lainnya, akhiran “X” memang diberikan untuk seri terbawah dengan harga paling terjangkau.

Kali ini, saya kedatangan Razer Hammerhead True Wireless X untuk direview. Sebelum kita masuk ke ulasannya, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan terlebih dulu.

Pertama, Razer Indonesia yang meminjamkan produk ini ke saya untuk direview. Namun demikian, hal ini tidak akan memengaruhi penilaian saya — setidaknya saya berharap seperti itu… Kedua, seperti yang selalu saya katakan di setiap review gaming peripheral, penilaiannya akan selalu subjektif — tergantung siapakah reviewernya. Pasalnya, pengalaman, bentuk atau ukuran bagian tubuh, dan ekspektasi setiap orang itu berbeda-beda.

Image credit: Razer

Untuk audio peripheral seperti kali ini, kepekaan sang pengguna ataupun reviewer atas suara itu berbeda-beda. Perangkat yang biasa digunakan sehari-hari juga kemungkinan besar berbeda setiap orang. Kedua pertimbangan tadi akan saya gunakan saat membahas lebih detail di masing-masing bagian.

Pada review kali ini, saya menggunakan ponsel saya, Redmi Note 9 Pro, untuk mencobanya. Pasalnya, bagi saya, produk TWS memang lebih cocok buat ponsel ketimbang PC (laptop ataupun desktop). Razer sendiri juga memasukkan Hammerhead di kategori Mobile, bukan PC atau Console, di website resmi mereka. Perangkat audio yang masuk di kategori PC di website resmi mereka misalnya adalah seri Razer Barracuda, Blackshark, ataupun Kraken.

Oh iya, Razer Hammerhead TWS X ini dibanderol dengan harga Rp1,2 juta.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah review Razer Hammerhead Truewireless X.

 

Desain dan Kenyamanan

Jika berbicara soal tampilan, saya kira perangkat besutan Razer tak perlu lagi diperdebatkan — meski memang selera setiap orang juga bisa sangat berbeda-beda. Namun saya pribadi selalu menyukai penampilan yang diusung di setiap produk Razer — apapun itu bentuk ataupun serinya. Tak terkecuali tampilan dari Hammerhead TWS X yang satu ini.

Produk ini memiliki tampilan yang elegan di semua aspek. Earbuds-nya terlihat keren dan tidak norak dengan lampu berlogo Razer. Case-nya juga dibalut dengan lapisan dof yang membuatnya sangat nyaman digenggam. Dari tampilannya, saat Anda membawanya bepergian, orang-orang di sekitar Anda harusnya tahu bahwa produk ini bukan produk murahan.

Saya kira faktor tampilan ini jadi krusial karena TWS memang umumnya dibawa ke mana-mana. Jadi, Anda tidak mau mengenakan produk yang desainnya memalukan atau terlalu norak.

Dokumentasi: Hybrid

Sayangnya, TWS X ini belum menggunakan desain in-ear seperti yang ditawarkan oleh Hammerhead TWS Pro. Karena desainnya seperti itu, saya tidak bisa berlama-lama menggunakan TWS ini. Mungkin karena memang saya lebih terbiasa menggunakan headset dengan desain over ear (yang menutup semua bagian, termasuk daun telinga), telinga saya sakit saat cukup lama menggunakan TWS X. 1,5 jam adalah durasi terlama saya betah menggunakannya. Sebagai perbandingan, saya bisa menggunakan headset HyperX CloudX Flight (yang biasa saya gunakan sehari-hari) bahkan sampai 6 jam lebih.

Untuk urusan kenyamanan, TWS X memang jadinya sedikit disayangkan karena saya tahu ada banyak produk alternatif yang sudah menawarkan desain in-ear meski dibanderol dengan kisaran harga yang sama.

 

Kualitas Suara

Jika desainnya sudah sesuai dengan ekpektasi saya sebelumnya, kualitas audio yang ditawarkannya justru di atas ekspektasi saya. Meski memang kedengarannya hiperbolis, namun suara yang ditawarkan oleh Hammerhead TWS X bahkan bisa mendekati CloudX Flight saya — terlepas dari ukurannya yang jauh lebih mungil.

Hammerhead yang satu ini dapat menghantarkan suara bass yang tebal dengan detail-detail suara yang masih terdengar dengan jelas. Saya sangat suka dengan warna suara semacam itu. Saya mencobanya dengan memutar sejumlah lagu di YouTube. Sebelum Anda mencibir, saya memang punya alasan sendiri kenapa menggunakan YouTube meski memang tidak bisa menawarkan kualitas audio dengan resolusi tertinggi seperti file looseless.

Dokumentasi: Hybrid

Hasil mixing audio di berbagai video di YouTube itu memang berbeda-beda. Ada yang memang kualitas suaranya jeleknya minta ampun tapi ada yang sangat berguna (setidaknya bagi saya) untuk menguji kualitas perangkat audio. Salah satu yang sering saya gunakan adalah video bass cover dari Valter Kabas. Saya juga memutar lagu dari berbagai channel seperti milik James Adam, Denny Caknan, Scary Pockets, ataupun yang lainnya untuk mencoba berbagai kualitas mixing audio.

Selain itu, saya realistis saja. Lebih banyak pengguna yang menggunakan YouTube untuk berbagai kebutuhan ketimbang menggunakan file looseless baik di video ataupun audio.

Saat saya mendengarkan lagu, berhubung kebetulan juga saya bermain beberapa alat musik, saya mencoba mencari suara-suara alat musik yang spesifik dan mendengarkannya dengan seksama. Misalnya, saya mencari suara drum di satu lagu dan saya harus bisa membayangkan apa saja yang diketuk dari suara yang saya dengar. Jika saya tidak bisa menemukan suara-suara instrumen tertentu lewat sebuah perangkat audio, bagi saya, produk tersebut tidak layak dipuji.

Dengan TWS X ini, seperti yang saya tuliskan sebelumnya, suara yang saya dengarkan sungguh layak diacungi jempol karena ia mampu menyuguhkan detail yang kaya dan bass yang empuk.

 

Performa

Sayangnya, jika TWS X ini memiliki kualitas audio yang layak dibanggakan, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk urusan performa.

Pertama, jika berbicara soal urusan performa, saya mengalami delay audio saat menggunakan TWS ini untuk bermain game. Saya bahkan sudah mengaktifkan mode Game Mode-nya yang diklaim dapat mempersingkat latency. Saya mencoba beberapa game di Android dan memang ada beberapa game yang delay-nya terobati dengan mengaktifkan Game Mode. Namun, ada juga gamegame lainnya yang tetap delay suaranya meski sudah menggunakan Game Mode. Lucunya, memang tidak semua game yang saya coba mengalami delay audionya. Meski begitu, jika kebetulan game yang delay audionya adalah game yang sedang asyik Anda mainkan, Anda harus merelakan untuk tidak menggunakan TWS ini.

Dokumentasi: Hybrid

Hal ini sungguh sangat disayangkan karena Razer adalah brand yang identik dengan gaming. Meski saya tidak mengalami delay saat mendengarkan lagu ataupun menonton video, tetap saja ekspektasi orang ketika membeli produk Razer adalah kebutuhan gaming.

Selain soal gaming yang kurang memuaskan, saya juga mengalami kendala saat menggunakan produk ini untuk meeting menggunakan Zoom. Namun, berbeda kendala dengan gaming, saya tidak merasakan delay namun audionya kerap terdengar patah-patah di beberapa kesempatan.

Untuk kasus ini, saya tidak tahu apakah memang kendalanya ada di Zoom nya atau bukan karena saya tidak pernah merasakan audionya patah-patah saat telepon menggunakan Whatsapp ataupun jaringan seluler. Namun saya juga tidak pernah mengalami audio yang patah-patah di Zoom saat menggunakan headset lainnya.

Dokumentasi: Hybrid

Meski begitu, sebagai catatan, Redmi Note 9 Pro memang hanya dibekali dengan Bluetooth 5.0. Sedangkan Hammerhead TWS X ini sudah menggunakan Bluetooth 5.2. Jadi, mungkin Anda perlu menggunakan ponsel yang sudah mendukung Bluetooth 5.2 untuk memaksimalkan TWS ini.

 

Aplikasi dan Daya Tahan Baterai

Di bagian terakhir, saya ingin membahas soal aplikasi yang disertakan. Berhubung saya menggunakan Razer Basilisk V2 setiap hari sebagai mouse kesayangan, saya sudah tidak asing dengan Razer Synapse. Namun saya terkejut dengan aplikasi Razer Audio untuk Android yang bisa digunakan untuk menemani TWS X ini.

Screenshot Razer Audio

Aplikasinya sangat berguna karena selain dapat menunjukkan sisa kapasitas baterai, ada beberapa setting seperti Equalizer dan Gesture remapping yang bisa Anda ganti-ganti sesuai selera dan kebutuhan. Sayangnya, starting up aplikasinya cukup lama setiap kali Anda membukanya.

Sedangkan untuk daya tahan baterainya, TWS X ini diklaim mampu bertahan selama 24 jam (6 jam untuk earbuds + 18 jam untuk casenya) dengan lampu menyala dan 28 jam (7+21) tanpa lampu. Saat saya mencobanya sendiri, daya tahan baterainya memang mampu bertahan dengan durasi yang mendekati klaim Razer tadi.

 

Penutup

Razer Hammerhead True Wireless X ini sebenarnya memang sangat layak diacungi jempol untuk urusan kualitas audio yang ditawarkan. Tampilannya pun elegan dan tidak memalukan. Ia juga dilengkapi dengan aplikasi yang cukup baik untuk mengatur banyak konfigurasi. Sayangnya, produk ini juga memiliki kekurangan yang juga layak jadi catatan.

Dokumentasi: Hybrid

Kekurangan terbesarnya, bagi saya, adalah soal kenyamanannya yang tidak maksimal. Andaikan Razer juga sudah menggunakan desain in-ear di TWS X ini, saya kira produk ini akan jauh lebih menggoda untuk lebih banyak orang. Di sisi lain, soal urusan performa, sayangnya memang kebanyakan ponsel juga masih menggunakan Bluetooth 5.0. Jadi, Anda mungkin harus rela jika salah satu game yang Anda mainkan ternyata masih delay audionya dengan TWS X ini.

Lalu, untuk siapakah Hammerhead TWS X ini ditujukan? Menurut saya, jika Anda lebih suka mendengarkan musik dan mencari TWS dengan kualitas audio jauh di atas rata-rata namun tidak bermasalah dengan desain earbuds, TWS X ini cukup layak untuk dijadikan salah satu pertimbangan untuk Anda bawa pulang.

Review ROG Keris dan Keris Wireless: Gaming Mouse Juara di Harga Terjangkau?

Jika sebelumnya saya kedatangan ROG Chakram Core, kali ini saya kedatangan ROG Keris dan ROG Keris Wireless. Seri ROG Keris dibanderol dengan harga yang sangat murah jika melihat brand ASUS ROG di belakangnya. Namun, apakah harganya yang terjangkau akan menjadi daya tarik utamanya? Atau justru karena harganya yang terjangkau, ROG jadi mengorbankan banyak hal di produk ini?

Sebelum kita masuk ke pembahasan, seperti biasa, ada beberapa hal yang harus saya jelaskan. Pertama, ASUS Indonesia meminjamkan dua mouse yang saya review kali ini. Namun demikian, sebisa mungkin saya tetap memberikan penilaian yang lebih jujur. Kedua, seperti semua review peripheral, review kali ini juga sangat subjektif yang sangat bergantung pada pengalaman dan pengetahuan sang reviewernya.

Dengan penjelasan tadi, mari kita langsung masuk ke pembahasan.

Build Quality

Membawa nama besar ASUS ROG, ROG Keris dan Keris Wireless menyuguhkan build quality yang sesuai ekspektasi. Tidak ada yang bisa saya keluhkan jika berbicara build quality yang ditawarkan kedua mouse ini. Tidak ada juga perbedaan kualitas bahan dan finishing antara versi wireless dan yang berkabel.

Seperti yang saya tuliskan tadi, seri ROG Keris adalah seri yang diposisikan di kelas low-end karena harganya yang terjangkau. ROG Keris dibanderol dengan harga Rp860 ribuan. Sedangkan ROG Keris Wireless dibanderol dengan harga Rp1,4 jutaan. Bandingkan saja dengan harga ROG Chakram yang sebelumnya saya bahas. ROG Chakram Core, yang wired, dibanderol dengan harga yang sama dengan ROG Keris yang wireless. Sedangkan ROG Chakram, yang wireless, dibanderol di harga Rp2,5 jutaan.

Meski begitu, saya tidak merasa ada kompromi yang terlalu jauh jika kita berbicara soal build quality-nya.

Bodi kedua mouse ini menggunakan bahan plastik yang cukup baik. Namun, lebih hebatnya lagi, ASUS ROG menggunakan bahan PBT di bagian klik kiri dan kanannya. Alhasil, dengan bahan PBT, selain membuatnya lebih awet, permukaannya juga bertekstur sehingga tidak akan jadi masalah bagi Anda yang kerap berkeringat saat menggunakan mouse.

Sayangnya, mungkin karena dibanderol dengan harga yang terjangkau, ASUS ROG jadi tidak menggunakan bahan PBT di keseluruhan bodinya. Saya rasa jika mouse ini menggunakan bahan PBT di semua bagian, ia akan terasa lebih solid dan nyaman digunakan.

Jika kita berbicara soal mouse gaming, salah satu momok yang biasanya menghantui adalah masalah dobel klik. Untungnya, kebanyakan, jika tidak semua, mouse ROG harusnya tidak akan lagi berurusan dengan masalah menyebalkan tadi. Jika berbicara soal durabilitas, Anda tak perlu lagi membeli mouse baru jika mouse ROG Anda (seperti Keris dan Chakram) bermasalah dengan switch klik kanan ataupun kirinya. Hal ini akan saya bahas nanti di bagian fitur uniknya.

Satu hal yang pasti, jika berbicara soal build quality, ROG Keris dan Keris Wireless memang layak menyandang nama besar ASUS ROG.

 

Performa dan Kenyamanan

Jika Anda melihat bodi seri ROG Keris, bentuknya memang lebih sederhana. Karena itu, mouse ini harusnya lebih mudah untuk adaptasi berbagai orang dengan berbagai ukuran tangan yang berbeda-beda. Namun begitu, buat saya pribadi, seri ROG Keris terlalu pendek atau kurang lebar; mengingat saya tipe pengguna yang menggunakan gaya palm dalam menggenggam mouse dengan ukuran telapak tangan sedang (tak terlalu besar, namun tidak kecil juga).

Jujur saja, saya lebih cocok dengan ukuran ROG Chakram Core ataupun Razer Basilisk V2 (yang saya gunakan sehari-hari). Selain lebih besar ukurannya, kedua mouse tadi juga lebih berat dibanding ROG Keris ataupun Keris Wireless. Razer Basilisk berbobot 92g dan ROG Chakram Core berbobot 111g. Sedangkan ROG Keris memiliki berat sebesar 62g dan ROG Keris Wireless sebesar 79g.

Di bagian inilah kenapa saya mengatakan review mouse akan sepenuhnya subjektif. Saya kebetulan saja lebih suka mouse gaming yang lebih besar dan lebih berat. Namun, saya tahu ada banyak pengguna lain yang justru lebih suka mouse yang lebih ringan dan lebih kecil ukurannya.

Image Credit: Hybrid

Selain soal kenyamanan, tolak ukur performa tentunya berbeda-beda juga setiap orang karena akan tergantung dengan skill aiming sang reviewer misalnya. Dengan ROG Keris dan Keris Wireless saya tidak menemukan masalah apapun dengan akurasi dan akselerasinya saat menggunakan kabel. Sayangnya, saat saya mencoba dengan mode wireless-nya, saya merasakan ada sedikit delay baik saat menggunakan Bluetooth ataupun 2.4GHz.

Meski begitu, jika Anda bukan pemain esports profesional, Anda mungkin tidak akan terlalu terganggu dengan delay-nya. Lagipula, menurut saya, bagaimanapun juga koneksi wireless memang lebih cenderung delay karena rentan dengan interferensi.

Untuk ROG Keris Wireless, ASUS mengklaim jika daya tahan baterainya bisa bertahan hingga 78 jam tanpa lampu dan 52 jam dengan lampu mode breathing. Saat saya mencobanya sendiri, mouse ini memang bisa bertahan hingga sekitar 3 hari tanpa lighting — tidak jauh dari yang diklaim.

 

Fitur

Jika berbicara soal fitur, mungkin di bagian inilah ROG Keris sedikit ketinggalan dibanding ROG Chakram. Pasalnya, seri Chakram memiliki joystik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan Anda. Sedangkan di seri Keris, Anda hanya akan mendapatkan 2 tombol di bagian kiri seperti kebanyakan mouse gaming lainnya.

Selain itu, sama seperti seri Chakram, mouse ini juga dapat dengan mudah dibersihkan. Namun, ia sedikit lebih merepotkan untuk dibuka karena Anda tetap butuh obeng untuk membuka sekrup yang ada di bagian bawah mouse. Untuk seri Chakram, Anda bahkan tidak butuh alat apapun untuk membuka mouse tersebut. Untungnya, sekrupnya tidak disembunyikan di bawah mouse feet seperti kebanyakan gaming mouse lainnya. Hal tersebut berarti Anda tak perlu khawatir mouse feetnya akan rusak atau tidak terpasang dengan sempurna saat membuka dan memasangkannya kembali.

Image Credit: Hybrid

Seperti yang saya sempat sebutkan tadi, Anda tak perlu khawatir dengan masalah doble klik karena switch klik kanan dan kirinya menggunakan sistem hotswap. Jadinya, Anda tak perlu menyolder switch jika ingin mengganti atau malah membuang mouse saat sudah doble klik. Saya pun mencoba menghitung sendiri waktu yang dibutuhkan untuk mengganti switch di Keris Wireless. Karena saya harus menggunakan obeng, saya butuh waktu sekitar 7 menitan untuk membuka, mengganti switch, dan memasang kembali. Di ROG Chakram, waktunya bisa 2x lebih cepat karena saya tak perlu berurusan dengan obeng dan sekrup.

 

Software dan Kelengkapan

Selain koneksi nirkabel, Keris Wireless juga memberikan kelengkapan tambahan ketimbang versi kabelnya. Anda akan mendapatkan 2 pasang side button tambahan dengan warna berbeda. Jadi, totalnya, Anda akan mendapatkan 3 pasang side button yang bisa Anda ganti-ganti sesuka hati.

Untungnya, memang perbedaan kelengkapan yang berarti antara versi Wireless dan kabelnya hanya di situ tadi. Anda tetap bisa mendapatkan 2 Omron switch dan mouse feet tambahan untuk cadangan di versi kabelnya.

Screenshot: Armoury Crate

Sayangnya, ada satu hal yang membuat saya sangat tidak suka dengan peripheral gaming dari ASUS ROG, yaitu softwarenya. Saya sangat tidak suka dengan Armoury Crate karena ada beberapa alasan. Pertama, saya sempat bermasalah dengan instalasinya saat pertama kali menginstallnya saat mengulas ROG Chakram, bahkan sampai harus reset Windows alias install ulang. Untungnya, hal tersebut tak terjadi lagi di kemudian hari.

Kedua, ada terlalu banyak hal yang dijejalkan ke dalam Armoury Crate seperti berita gamegame launcher, dan juga toko yang menawarkan berbagai deals. Saya tidak butuh itu semua dari sebuah software peripheral gaming dan jadinya malah mengganggu juga saat digunakan.

Ketiga, fitur makro yang justru lebih penting sebagai sebuah software gaming peripheral malah tidak berjalan mulus dan lengkap di sini. Bagi saya yang sangat membutuhkan software buat perlengkapan gaming saya (mouse dan keyboard), kekurangan ini jadi deal breaker.

 

Kesimpulan

Jujur saja, saya sebenarnya suka dengan ROG Keris ataupun Keris Wireless karena menawarkan fitur-fitur menarik dengan harga yang sangat terjangkau. Fitur hotswap, dapat dibongkar pasang dengan mudah, bahan dan finishing yang berkualitas adalah hal-hal yang membuat saya menyukai seri Keris.

Saya hanya berharap ASUS lebih memahami bagaimana baiknya membuat software gaming peripheral dan bukannya menjejalkan terlalu banyak fitur tidak penting ke dalamnya. Namun tetap saja, jika Anda tidak butuh software tapi butuh mouse gaming berkualitas dengan fitur-fitur menarik tadi dan harga yang sangat ramah di kantong, seri Keris cukup layak dipertimbangkan untuk dipinang.

ROG Flow X13, Laptop Seri ROG Keren di Sisi Desain, Powerfull dari Prosesor

Salah satu  hal atau kita bisa sebutnya ambisi dalam teknologi adalah membuat sebuah perangkat yang powerfull dalam bentuk yang kecil.

Entah itu memasukkan sistem komputasi dalam genggaman, menambahkan kemampuan kamera dan komunikasi di jam tangan atau ‘menjejalkan’ spesifikasi tinggi dalam komputer personal mobile alias laptop. Untuk yang ketiga ini, ASUS ROG Flow X13 sepertinya bisa disematkan sebagai salah satu ambisi pabrikan dalam menghadirkan perangkat powerfull sebagai bisa. 

ASUS ROG Flow X13 merupakan laptop convertible alias 2 in 1 yang sejatinya adalah laptop namun bisa diubah menjadi tablet. Dalam prakteknya, pengguna bisa menggunakan dalam 4 mode, laptop, stand mode, tent mode dan tablet. Laptop layar ini adalah layar sentuh jadi kita bisa menggunakan jari untuk bernavigasi atau pen untuk menggambar misalnya. Yang membuat menarik salah satunya adalah disematkannya prosesor powerfull untuk perangkat laptop.

Di artikel ini akan kita bahas tentang ASUS ROG Flow X13 yang telah dilengkapi prosesor Ryzen™ 9 5980HS dan grafis NVIDIA® GeForce® GTX 1650.

Overall

Sebelum membahas beberapa bagian secara spesifik, saya akan bahas dulu pengalaman secara general untuk laptop ini. Kalau ditempatkan sebagai laptop gaming (karena nama ROG), perangkat ini mungkin jadi salah satu laptop gaming yang keren yang pernah saya coba. Pengalaman penggunaannya bisa disejajarkan dengan laptop premium untuk produktivitas semacam seri Dell XPS atau HP yang seri Spectre. Namun dengan kelebihan, ini adalah laptop di segmen gaming. 

Beberapa pengalaman seru yang saya dapatkan dari laptop ini antara lain adalah display-nya yang unggul untuk menikmati konten, keyboard yang cukuop nyaman, desain yang sangat menarik dari pilihan bahan elemen desain seperti logo ROG atau rugged feeling di area palm rest

 

Sebagai perangkat yang masuk ke seri ROG tetapi convertible memang agak mengernyitkan dahi. Namun ROG Flow ini X13 ini sejatinya memiliki perangkat pelengkap yaitu mobile GPU terpisah (sayang unit yang saya coba tidak menyertakan ini) – XG Mobile eGPU sampai dengan GeForce RTX 3080. Jadi jika keraguan muncul karena laptop gaming tapi convertible, maka GPU terpisah ini adalah yang membuatnya menjadi lebih powerfull. 

Batasan antar kegunaan laptop gaming pun kini memang telah melebar. Ada banyak rekan saya dari industri kreatif (non gamers) yang kini lebih memilih laptop gaming sebagai sarana kerja mereka karena bisa diandalkan dari sisi performa. Biasaya standar benchmark gaming dipakai sebagai yang paling mentok kanan, jadi kalau bisa maksimal untuk gaming, akan bisa digunakan secara aman untuk pekerjaan grafis atau editing video. Meski tidak selalu demikian, tapi mindset ini sudah cukup menempel di pengguna.

Oleh karenanya ROG Flow X13 menjadi menarik karena dia convertible, perangkat ini bisa sekaligus menyasar berbagai segmen; gaming, creative user (karena layar sentuh jadi bisa digunakan dengan stylus/pen), bahkan pengguna yang ingin menikmati konten saja (leisure) tetapi dengan spesifikasi laptop premium. 

Desain

Sebagai permulaan untuk membahas lebih dalam lagi perangkat ini mari kita mulai dengan desain. 

Pengalaman saya berinteraksi dengan perangkat ini menjadi salah satu pengalaman dengan laptop yang cukup berkesan. Meski dalam waktu singkat, laptop ini membawa kesan tersendiri. Tampilannya sedikit banyak khas ROG minus RGB, dengan image kokoh, industrial dan minimalis. 

Menggunakan ROG Flow X13 ini selalu mengingatkan saya pada laptop premium yang Spectre dan XPS dari Dell, seperti yang saya jelaskan di atas. Feel premiumnya sangat dapat dan bagi Anda yang suka dengan tampilan desain misterius, minimalis dan totally black color. Laptop ini sangat bisa jadi pilihan. Bahkan lampu backlit keyboard pun ikutan minimalis, hanya satu warna tanpa RGB, padahal ini laptop gaming. 

Meski laptop ukuran kecil ini memang terasa ringan, namun pilihan materialnya memberikan kesan kokoh. Termasuk ketiga dipakai bermain game, rasanya seperti ajeg di meja tempat saya bermain. 

Dari sisi layar memang kecil hanya 13.4 inci saja, untuk gaming bisa jadi ini terlalu kecil, namun desain hampir bezel-less membuatnya serasi dengan desain body. Ukuran kecil juga terbayar dengan kualitas layar yang sampai 4K atau WQUXGA (3840 x 2400) 16:10.

Bagian trackpad juga bagi saya cukup untuk laptop. Beberapa reviewer ada yang mengeluhkan ukurannya namun jika diperbandingkan dengan ukuran keseluruhan bagi saya sudah cukup, selain itu trackpad juga bisa digunakan dengan tanpa masalah. Trackpad yang tidak terlalu besar justru menyisakan palm rest yang cukup luas, terutama ketika mengetik atau bermain game. 

Salah satu kekurangan dari sisi desain bagi saya adalah penempatan port. Karena ukurannya yang kecil, tentu saja jumlah port akan jadi permasalahan dasar karena sedikit. Namun letaknya harusnya bisa didesain sedemikian rupa agar membuat nyaman. Salah satu keluhan adalah port USB type A yang terletak di bagian kanan (biasanya digunakan untuk external hard drive, external hub atau mouse). Karena port di laptop ini terbatas maka tentu saja akan menggunakan USB hub, dan ketika port-nya ada di kanan maka itu sedikit mengganggu penggunaan mouse. Terutama di area meja yang besarnya terbatas. 

Untuk layar sentuh sendiri, saat mencobanya hampir tidak ada masalah, meski displaynya adalah mode glossy display. Mungkin ini dikarenakan layar sentuh jadi agak glossy. Salah satu persoalan ketika menggunakan ROG Flow X13 dengan mode tablet adalah beratnya yang cukup lumayan, lebih cocok diletakan di meja. Atau jika ingin menonton, gunaka tent mode

Jika harus disimpulkan tentang desain, ROG FLow X13 ini adalah produk yang sangat menarik untuk digunakan. Laptop gaming yang minimalis ini memang tidak untuk semua gamers, namun tren perangkat gaming yang minimalis non RGB juga sedang bermunculan. Apalagi seiring dengan tren pamer working desk di Instagram. 

Dari sisi user experience juga kesan yang saya dapatkan cukup baik. Desain fisik bisa blending dengan penggunaan laptop sehingg menjadi kenyamanan yang menyeluruh. Untuk urusan keyboard, bisa jadi akan sesuai dengan selera, namun tipe Backlit Chiclet yang disematkan di laptop ini cocok untuk profil seperti saya (meski mungkin tidak cocok untuk pengguna lain). Untuk mengetik enak, tipis tapi tetap terasa feedback-nya, untuk gaming FPS juga saya tidak menemukan masalah. 

Spesifikasi

Untuk spesifikasi laptop yang saja ujo coba, rangkuman data teknis di atas kertas ASUS ROG Flow X13 sebagai berikut: 

Prosesor AMD Ryzen™ 9 5980HS Processor 3.1 GHz (16M cache, up to 4.8GHz)
Graphics NVIDIA® GeForce® GTX 1650
With ROG Boost up to 1255MHz at 35W
4GB GDDR6
Memory/Storage 16GB*2 LPDDR4X on board
Max Capacity : 32GB1TB M.2 2230 NVMe™ PCIe® 3.0 SSD
Display 13.4-inch
WQUXGA (3840 x 2400) 16:10
glossy display
sRGB: 116%
Adobe: 86%
DCI-P3: 85%
Touch Screen
Refresh Rate: 60Hz
IPS-level
Pantone Validated: Yes
Port 1x 3.5mm Combo Audio Jack
1x HDMI 2.0b
1x USB 3.2 Gen 2 Type-A
1x ROG XG Mobile Interface
2x Type C USB 3.2 Gen 2 with Power Delivery and Display Port
Baterai/keyboard 62WHrs, 4S1P, 4-cell Li-ion

Backlit Chiclet Keyboard

Kamera/audio 720P HD camera

Smart Amp Technology
DAC
Audio by Dolby Atmos
AI mic noise-canceling
Built-in array microphone
2x 1W speaker with Smart Amp Technology

Dimensi/bobot 29.9 x 22.2 x 1.58 ~ 1.58 cm (11.77″ x 8.74″ x 0.62″ ~ 0.62″)

1.30 Kg (2.87 lbs)

Power supply TYPE-C, 100W AC Adapter, Output: 20V DC, 5A, 100W, Input: 100~240V AC, 50/60Hz universal

 

Spesifikasi di atas yang paling menarik tentu saja Prosesor AMD Ryzen™ 9 5980HS. Generasi paling baru Ryzen yang disematkan untuk perangkat PC mobile alias laptop. Kalau dari sisi grafis memang tidak terlalu istimewa, salah satunya bisa jadi dikarenakan sebenarnya laptop ini dipasangkan dengan dedicated GPU sendiri.

Pengalaman Penggunaan

Mari kita bahas inti artikel kali ini yaitu pengalaman penggunaan. 

Untuk pengalaman terkait desain, sepertinya saya tidak perlu mengulang terlalu banyak karena sudah bisa dirasakan di bagian tentang desain di atas. Pengalaman penggunaan pertama yang akan saya bahas adalah penggunaanya untuk kegiatan sehari-hari. 

Kegiatan sehari-hari di sini termasuk juga melakukan pekerjaan di rumah karena kantor saya menjalankan WFH. Jadi kegiatan sehari-hari termasuk menjelajah internet, juga hiburan dengan menonton Youtube dan mencoba merasakan beberapa mode yang tersedia di perangkat ini, termasuk pengalaman sentuh. 

Display adalah yang pertama kali mencuri perhatian saya ketika menggunakan laptop ini. Mengetik, menonton konten atau menjelajah internet jadi terasa sebuah pengalaman yang cukup menyenangkan. Teks terasa sangat jelas dan menonton konten 2K sampai 4K akan sangat menyenangkan 

Dukungan prosesor dan spesifikasi juga membantu untuk kelancaran dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari, berpindah antara hiburan dan kerjaan bisa dijalankan dengan mulus. 

Dari sisi suara, laptop ini juga menurut saya memiliki nilai lebih. Sebagai perangkat gaming tentunya suara menjadi pelengkap yang nilainya harus di atas rata-rata. Dan sebagai produk laptop, speaker dari perangkat ini sudah memberikan pengalaman yang cukup baik. Audio yang dihasilkan mendapat dukungan dari Dolby Atmos.

Jujur, karena beratnya yang tidak ringan untuk mode tablet (meski cukup ringan sebagai laptop), saya agak jarang menggunakan laptop ini dengan mode tanpa meletakkannya di meja. Entah itu laptop mode atau tent mode rata-rata penggunaan selalu diletakan di alas tertentu. Hanya sedikit penggunaan dengan mode tablet tanpa diletakan di meja. 

Untuk pengalaman layar sentuhnya, saya memang tidak mencobanya menggunakan stylus, hanya dengan sentuhan jari saja. Dari pengalaman singkat, tidak ada masalah yang saya temukan. Tap di layar laptop memang tidak terlalu digunakan karena trackpad dari laptop ini cukup bisa memberikan pengalaman yang menyenangkan saat digunakan. Kecuali ketika mode tent, untuk berpindah tab atau scrolling web, maka sentuhan akan memudahkan untuk navigasi. 

Beralih ke pengalaman gaming. Cerita pengalaman bermain game dengan perangkat ini akan saya gabungkan beberapa informasi spesifkasi dan hasil test menggunakan aplikasi uji perangkat.

Untuk game yang saya mainkan, karena waktu peminjaman perangkat serta ada kendala saat harus mengunduh game yang rata2 di atas 30 GB, saya hanya menggunakan dua game bergenre FPS, yaitu Valorant dan Super Mecha Champions (SMC). Yang pertama karena ramah dengan spesifikasi PC bawah dan menengah, dah yang kedua cukup menantang untuk PC karena grafis dan elemen-elemen yang ada di permainan. 

Pengalaman bermain SMC atau Super Mecha Champions cukup menyenangkan, karena grafis bisa dinikmati dengan penuh. Saya coba dengan pengaturan mentok kanan untuk semua pengaturan dan untuk pengaturan FPSnya mentok di 60Hz (pengaturan tertinggi yang tersedia di game saat saya mainkan), kondisi laptop dicolokkan ke pengisi daya dan menggunakan pengaturan ROG lewat tools Armoury Crate dari ASUS di mode ‘turbo’. FPS yang bisa dicapai maksimal adalah 58. Namun pengalaman bermain hampir tanpa kendala, grafisnya menyenangkan dan detail tampilan di game juga baik. 

Salah satu kekhawatiran adalah tentang suhu laptop. Kalau melihat data lewat Armoury Crate memang ‘hanya’ 83 derajat (sempat menyentuh 91 derajat). Namun kalau disentuh menggunakan jari, panasnya terasa cukup berlebihan, malah sampai tidak bisa disentuh lama karena panas. Tapi selama digunakan, meski panas tidak ada masalah berarti. Posisi laptop di letakan di meja dan tanpa ada objek di bagian belakang atau sisi yang menghalangi sirkulasi. 

Beberapa reviewer menyarankan untuk mengubah mode jadi bukan mode laptop, misalnya tent mode, agar sirkulasi udara lebih baik dan laptop bisa lebih dingin. Tetapi karena pengujian ingin merasakan pengalaman game tanpa tambahan monitor jadi saya menggunakannya dengan mode laptop.

Dari sisi keyboard juga saya tidak menemukan masalah berarti saat bermain. Bisa jadi ini masalah selera, kebetulan selain mechanical keyboard, untuk laptop desain dan spesifikasi keyboard laptop seperti yang ada di ROG Flow X13 ini memang sesuai tipe saya. 

Beralih ke Valorant, saya memainkan game ini dengan beberapa kondisi. Ketika awal bermain kondisi baterai habis dan plug ke listrik dan FPS hanya mentok di 88. Lalu ketika terisi 40%-an dan pengaturan sudah bisa dioptimasi lebih tinggi, bisa menembus paling tinggi fps 198 dengan pergerakan antara 58 – 198 fps. Saya mengunakan layar tambahan ketika mencoba game ini.

Pengalaman display maupun audio hampir tidak ada keluhan ketika memainkan game, untuk Valorant memang audio biasanya terkoneksi dengan headphone/earphone tetapi untuk yang SMC saya mencobanya menggunakan speaker bawaan, langkah kaki atau tembakan masi bisa terdengar arahnya dari mana meski memang tidak sedetail ketika menggunakan headphone atau earphone.

Untuk hasil test bisa dilihat di beberapa informasi di bawah ini:

Penutup

ROG Flow X13 adalah perangkat laptop yang cukup menarik. Terutama dari sisi penggunaan prosesornya serta build quality yang dihadirkan. Perpaduan dengan mobile eGPU juga jadi salah satu yang pembeda. Namun untuk urusan harga perangkat ini memang cukup premium, ditambah dengan eGPU jadinya akan lebih mahal lagi. Kurang lebih ditotal bisa mencapai 40 jutaan (tergantung versi mana yang dipilih). Apalagi ukuran layar laptop ini memang cukup kecil, jadi ada kemungkinan untuk para gamers akan menggunakan layar tambahan jika menggunakannya di rumah.

Agak aneh memang jadinya, ketika membahas laptop ini di media gaming tetapi pada akhirnya saya akan menyarankan laptop ini untuk penggunaan non-gaming (hiburan, desain atau bahkan buat pamer aja :D), yang membutuhkan prosesor laptop yang bisa diandalkan, build quality keren serta kemudahan fungsi karena convertible, serta sesekali bisa digunakan untuk bermain game.

Seperti yang saya sebut di awal tulisan, saya malah berpikir bahwa laptop ini bukan disandingkan dengan laptop gaming lain untuk perbandingan, tetapi malah dengan laptop bisnis premium yang spesifikasi tinggi dan fokus pada desain serta material yang premium seperti seri XPS dari Dell atau Spectre dari HP.

Galeri lengkap foto produk bisa dinikmati di sini:

6 Factors You Must Consider Before Getting a Compact Mechanical Keyboard

60% mechanical keyboards or smaller keyboard layouts provide far more compactness than full-sized (104 keys) or TKL (87 keys) layouts.  I initially got into 60-65% mechanical keyboards because I find them quite eye-catching. Furthermore, 60% layout is incredibly standardized (shapes or bodies don’t differ much between brands), so modifying the keyboard will not be much of a hassle.

Big gaming brands are also starting to get into the smaller form factor trend. Razer is one of the big gaming brands that already released a 60% mechanical keyboard called the Huntsman Mini. Ducky, one of the more well-known brands among keyboard enthusiasts, also has several mini-sized keyboards, such as the Ducky One 2 Mini, Mecha Mini, or Mecha SF. Apart from Ducky and Razer, Cooler Master also has several options for compact-sized keyboard products such as the SK622 or SK621. This year, Cooler Master also announced the release of another variant called the MK721. HyperX also recently released its own compact-sized keyboard with HyperX Alloy Origins 60.

Unfortunately, you can’t only consider the appearance of a keyboard when you are purchasing one. Blindly following the trend of small mechanical keyboards is not always a wise choice either. In fact, there are several other considerations that you need to think about before getting a 60% or other compact-sized mechanical keyboards. 

 

1. The Number of Keys

GK61. Source: Hybrid

This is the first thing you should consider when buying a compact mechanical keyboard. You might think that you will never use keys such as Del, F1-F12, numbers on the Numpad, or Arrow Keys (up, down, left, right).).

However, it is important that you closely reconsider the use of each button. The last thing you want is missing keys or functionalities that you will need to use frequently in your activities.

For example, I recently started to frequently use the Rename function, which needs to be accessed using the F2 key. The F5 key is also commonly used for Quick Save in many RPGs. Unfortunately, these keys are missing on 60% and 65% keyboards. 

If you are still in college or have a job that requires a lot of typing (such as journaling or blogging), using the arrow keys will greatly speed up your work. Therefore, using a 61-key keyboard like the GK61 will not be optimal for you.

Source: Hybrid

The buttons in the Numpad section are also very useful for those of you who often work with spreadsheets (Excel, Google Sheets, etc.). I even frequently use spreadsheets for playing games to track in-game stats. I also play a lot of games using ReShade, which uses weird shortcuts like Insert or Home.

Again, you need to carefully consider the buttons you currently use or might use in the future. 

As a side note, compact mechanical keyboards usually have different variants of size and number of keys. At the end of this article, I will discuss these specific variants and recommend the best option for each variant in the current market.

 

2. Mechanical Keyboard Layout

Source: Hybrid

As mentioned previously, compact mechanical keyboards have several variants in their specification. One of these variants is the keyboard layout. The keyboard layout is a crucial factor to consider when picking a keyboard as it will highly affect how you use the keyboard.

Take my unfortunate experience when selecting a keyboard layout as an example. I have a 68% keyboard with 73 keys called the GK73, which has a fairly unique layout. I was extremely careless when buying the keyboard and forgot to consider the missing keys in the GK73 layout.

The GK73 looks very slick and is incredibly ergonomic to use at first glance. The build was relatively small but still manages to include the Numpad. However, if you closely pay attention, the GK73 has several missing keys on the main part of the keyboard.

Take a look at your keyboard now. In the second row at the top, after the number 0, the standard keyboard has 2 more keys before the Backspace key. On the right side of the P key, there are “[“, “]”, and “\” respectively. Below that, following the L key, there are 2 more keys before the Enter key. Below that again, there are 3 keys between M and right Shift.

The Weird GK73 layout

Some of these keys are missing in the GK73, which bothered me quite a lot when using the keyboard. Nevertheless, I was forced to spend a lot of time and effort to adapt to this weird layout

Besides GK73, I also have 2 other 60% keyboards: GK61 and GK64. These two keyboards have the same size or dimensions, but only have a different number of keys. The GK61 has a standard layout like a full-sized keyboard with a reduced number of keys. On the other hand, GK64 includes the arrow keys, which means that several other keys must be excluded or reduced in size. For example, in the GK64, the right ALT and CTRL keys are missing, while the right Shift key length is only 1u. In contrast, the right Shift key on a standard keyboard layout has a length of 2.75u.

Fortunately, I rarely used the right Shift key, which allowed me to adapt more quickly to the GK64. Plus, I also use the arrow keys way more than the right Shift key. The GK64 also includes the Del button that can be incredibly useful when tidying up your files. Sadly, the GK64 also slightly shrinks the left Shift key, which can be annoying when I type for an extended period of time. To reassert, you need to carefully consider keyboard layouts before purchasing one because it greatly affects your typing experience.

That was the story of how I adapt to 3 different keyboard layouts. As a reminder, layout preferences and adaptation processes will differ for each person, so don’t take my opinions that I mentioned for granted.

Anne Pro 2. Source: Annepro.net

Lastly, it is important to note that missing keys are sometimes accessible using key combinations. For example, some 60% keyboards with 61 keys can access the arrow keys using a combination with the Fn key. However, key combinations like these will not be as effective as simply pressing a single key. You will also need to memorize these combinations, which just adds another layer of difficulty in the adaptation process.

If you want to adapt to your new keyboard quickly and effortlessly, make sure to pick a suitable and ergonomic layout for your usage.

 

3. Mechanical Keyboard Software

The GK6X Plus software created by makebyself

There probably aren’t many people who like to tinker with keyboard software such as Synapse from Razer or SteelSeries Engine. However, keyboard software is crucial for compact size keyboards since there is usually an incomplete number of keys, as we have established previously.

Moreover, everyone has their own needs and habits when using their keyboard. I, for example, really need to use the arrow keys and function keys. However, you might not ever use these keys, and so you can remap them using an appropriate software.

I once modified my GK61 and GK64 using Makebyself’s GK6x Plus software. Though the software is not very intuitive to use at first, the functionality it provides is quite complete. You can use the software to set key combinations and access the missing keys on the keyboard. For example, I created a key combination between the Fn key with numbers to access the function keys (Fn + 1 will access F1, and so on).

The macro functions of VIA / QMK can be difficult to use for ordinary users

The macro functions in the GK6x Plus are also relatively easy to use, unlike the macro functions from QMK / VIA which requires you to do some coding. From my experience, the GK6x Plus is by far one of the most sophisticated keyboard software out there and can also be paired with Razer Synapse.

Take the Rexus Daxa M71 Pro 65% keyboard, which is currently quite popular in the market, as another example. This keyboard does have arrow keys and several other keys such as Insert, Home, Delete, End, Pause, Page Up, and Page Down. More importantly, however, the tilde (`) button – usually used to activate Console Commands in games – is missing from the M71.

Without any keyboard software, you might have trouble accessing the tilde key. Using keyboard software, on the other hand, allows you to remap keys that are rarely used (such as Insert) to the tilde key. 

Control recoils with the Razer Synapse macro function

Indeed, software from third parties such as AutoHotkey, Sharpkeys or others can be used as well. But I generally prefer to use the built-in software since it is much easier to use – those of you who have used AutoHotKey may understand what I mean.

 

4. Separate Numpad / Macropad

If you want a compact-sized keyboard but also really need the numpad as well, you can just purchase a separate numpad. You can even go further and buy a macropad that can be remapped with various other functions.

Magic Force 21

Purchasing numpads is usually not much of a problem since there are a lot of them, such as Magic Force 21 that has mechanical switches. There are also a lot of other cheaper options for numpads.

As for macropads, they are usually much more expensive and difficult to find, since they provide more sophisticated functionalities. However, there are several options you can try if you really want to find a macropad. First, you can buy it from abroad. Unfortunately, the shipping processes can be expensive and time-consuming. Secondly, you can buy used macropads from previous enthusiasts. The last and probably the most ideal method of getting a macropad is to order a customized one.

I once ordered a custom macropad at this link, and the results are quite satisfactory. Unfortunately, my custom macropad also has several flaws. For one, it has no backlight. The software also uses QMK / VIA, which can be difficult to use for beginners, as I mentioned before. Despite these flaws, I still prefer getting a custom macropad rather than ordering one from abroad since I do not have to worry about the shipping process.

Macrodpad custom 5×5. Source: Hybrid.

If you order a custom macropad, you can even make special requests to modify the shape, layout, or number of keys. I strongly believe that a custom macropad is considered a must-have if you want to switch to a compact mechanical keyboard.

A minor thing you need to consider when it comes to an external macropad is the cable issue. Most macropads out there are wired, and so you will have an additional cable lying on your desk. 

 

5. Specific Reasons or Needs Behind Getting a Smaller-Sized Mechanical Keyboard

This section will help you determine if you really should switch to a compact mechanical keyboard. If you do not have any specific needs (that I will mention later) to purchase a compact keyboard, I think that sticking to a full-sized keyboard or TKL will be a much safer (and cheaper) option.

Source: Hybrid

One of the primary reasons why most people buy a smaller keyboard is their desk size. A full-sized keyboard has a relatively wide body and might not fit a small table. Interestingly, it might be a better option to actually buy a wider table than it is to shrink the size of your keyboard, since it is potentially a cheaper alternative. Furthermore, getting a bigger table means that you do not have to go through the keyboard adaptation process. A bigger table also accommodates extra space that can be used to put an additional monitor, for example.  If you desperately need more space (because your mouse constantly hits your keyboard, for example), then I recommend getting TKLs. It has a smaller body compared to full-sized keyboards and is much more adaptable than the smaller form factors. 

Another reason why most people buy a compact mechanical keyboard is its portability. If you want a keyboard that can easily be carried around, getting a smaller keyboard will be your only solution.  Compact mechanical keyboards are usually wireless or have detachable wires. It is also perfect for laptop users who often do not find the same level of comfortability when typing on their laptop keyboard.

Hotswapability is another specific feature that most compact mechanical keyboard users want to have. As far as I know, not many full-sized keyboards are hotswapable. Tecware Phantom Elite is perhaps the only full-sized keyboard variant that offers a hotswap feature in Indonesia. However, Tecware Phantom Elite only has a 3-pin hotswap (or plate mounts), while most premium / high-end switches (such as Durock, Gateron Ink, Tealios, Zealios) often use 5 pins (PCB mount). You do have the option to cut out 2 out of the 5 plastic pins, but that will undoubtedly take some extra time and effort.

 

A 5-pin Durock Linear Switch

If you are really interested in trying out various high-end switches, you have 2 choices to choose from. If you have a large budget, purchasing a compact-sized keyboard with a 3/5 pin hotswappable PCB will be a more effective option. However, if you want a cheaper alternative, you will need to spend some time modifying the 5 pin switch.

Some say that using a compact keyboard is much more comfortable because the distance between the mouse and keyboard is shortened. However, I personally never felt much of a difference in this regard.

Some people also get a smaller keyboard due to their more slick or simple design. Others simply want to experience the feel of a 60% keyboard. If you really think that a smaller keyboard will fulfill your specific needs and is worth your budget, then you should probably go ahead and get one.

Source: Hybrid

 

6. Mechanical Keyboard Size and Layout Variants

In the last part of this article, I would like to tell you the different keyboard form factors and the best current best options for each of them in the market.

60% 

Razer Huntsman Mini. Source: Razer

The 60% form factor is one of the smallest and commonly used layouts out there. There is actually a 40% form factor. However, as you may have expected, it has a lot of missing keys, and the use is pretty niche. As you have seen previously, a 60% keyboard usually has two variants: the 61-key or 64-key. The 61-key uses a standard full-sized layout with the numpads, function keys, F-rows, and arrows keys cut out. The 64-key, on the other hand, normally includes arrow keys with the exception of a shrinkage of several other keys.

65% and 68%

Rexus Daxa M71 Pro, one of the most popular 65% keyboards in Indonesia. Source: Rexus

Above 60%, the 65% form factor usually includes between 68 to 71 keys. It is considered the ideal form factor for most users since it always includes the arrow keys. Furthermore, there are a lot of good options for 65% keyboards in the market, so it is much easier to get.

With regards to the 68% form factors like the GK73, you really have to inspect which buttons are present or missing. These usually vary a lot between different brands or products. 

84 and 87 Keys

Keychron K2. Source: Keychron

There are also 84-key keyboards such as Keychron K2, AKKO 3084, KC84, and Iqunix A80. A keyboard with 84 keys has a 75% form factor and includes all the keys present in the 65% with the added bonus of the function keys. The 75% form factor is very similar to TKLs but is only more dense or compact in size. Although I do not have an 84-key keyboard myself, I am very interested in trying out this layout since it has a complete set of buttons while preserving a fairly small size. Unfortunately, this form factor is one of the most difficult form factors to find in the market.

A keyboard with 87 keys is more commonly known as TKL. This variant is the safest option to choose if you want a relatively compact keyboard that has an easily adaptable layout.

96 keys

Iqunix F96. Source: Iqunix

The 96 key variant is possibly the rarest variant of the mechanical keyboard. This variant is essentially a full-sized keyboard with all the spaces between the keys removed. The layout is quite interesting since it includes all the possible keys in a keyboard but is only 1u wider than a TKL.

I, unfortunately, could not find many good recommendations for 96-key keyboards. The Leopold FC980M, Iqunix F96, Epomaker GK96, or Keychron K4 are perhaps the only best ones in the market currently.

 

Conclusion

Source: Hybrid

Those were some of the factors that you might need to consider before purchasing a compact-sized keyboard. However, compact-sized keyboards are more difficult to find than full-sized or TKL keyboards. Their price is also much more expensive, especially if you get them from abroad.

Nevertheless, after using my 60% mechanical keyboard, I think that the experience is highly comfortable (as long as there is an external macropad). The sound of compact mechanical keyboards is pretty satisfying to hear as well, and is something that you cannot find in regular keyboards. 

All in all, if you do think that getting a smaller keyboard is considered beneficial for your needs, then there is most likely no fault in purchasing one. 

Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Review ASUS ROG Delta S: Headset Gaming Premium dengan Teknologi QUAD DAC

Jika sebelumnya ASUS ROG mengirimkan ROG Chakram Core ke saya, kali ini mereka mengirimkan satu gaming peripheral baru yaitu sebuah headset gaming yaitu ASUS ROG Delta S.

Seperti biasa, saya harus mengatakan jika review gaming peripheral itu akan selalu subjektif apalagi jika kita berbicara soal headset. Telinga masing-masing sang reviewer yang akan menjadi pembeda utama dari setiap review. Maka dari itu, saya harus menyebutkan bahwa telinga saya sudah terbiasa mendengar suara dari HyperX Cloud Flight yang saya biasa gunakan setiap hari dari bulan Oktober 2020. Sebelum itu, saya juga sudah menggunakan dan mencicipi berbagai gaming headset lain mulai dari besutan SteelSeries, Logitech, Razer, dan kawan-kawannya sejak saya mulai bekerja di media game dari 2008.

Selain itu, seperti yang saya tuliskan tadi ASUS Indonesia yang mengirimkan ROG Delta S ini namun demikian hal tersebut tidak akan mengubah hasil review atas headset gaming yang satu ini.

Tanpa panjang lebar lagi, mari kita masuk ke review ASUS ROG Delta S kali ini.

 

Desain dan Build Quality

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

ASUS ROG Delta S dibanderol dengan harga yang tinggi untuk sebuah gaming headset yang masih pakai kabel. Saat saya menulis artikel ini, saya menemukan headset ini dibanderol dengan harga Rp3,2 – 3,7 jutaan di berbagai toko online. Meski begitu, bulid quality yang disuguhkan produk ASUS ini sepadan dengan harga yang harus Anda bayarkan. Bodinya solid dan finishing-nya sungguh terkesan premium di semua bagian (dari headbad, earcup, sampai kabelnya). Sesuai dengan ekspektasi saya dari brand ROG — dibanderol dengan harga di atas rata-rata namun selalu menawarkan build quality yang bisa dibanggakan.

Mekanisme headband yang digunakan di headband ROG ini juga sangat nyaman digunakan, tidak melorot tapi juga tidak terlalu ketat. Apalagi ditambah dengan bobotnya yang ringan (hanya 300g), saya bisa berjam-jam menggunakan headset ini tanpa terasa.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Dari sisi konektor, saya merasa ada kelebihan dan kekurangan dari headset ini. Defaultnya, headset ini menggunakan konektor USB Type-C. Jadi, kemungkinan besar, Anda akan membutuhkan konverter Type-C ke Type-A (USB biasa) karena kebanyakan motherboard mungkin tidak memiliki colokan USB Type-C. Untungnya, ASUS memberikan konverter itu dalam paket penjualannya. Jadi Anda sebenarnya tak perlu risau. Meski demikian, dengan konverter yang terpisah tadi, jika Anda teledor suka meletakkan barang sembarangan, konverternya bisa hilang dan Anda harus membeli konverter baru sebelum bisa menggunakannya kembali.

Jika berbicara soal konektor, hal tersebut tidak akan jadi masalah jika konektor default-nya adalah 3.5mm — sebelum terhubung ke DAC yang berakhir jadi interface USB 2.0, misalnya. Karena setidaknya, Anda bisa menggunakannya tanpa konverter jika defaultnya 3.5mm.

Meski begitu, jika saya harus memilih, saya lebih memilih konektor USB Type-C seperti yang ditawarkan ASUS. Pasalnya, sebelum-sebelumnya, headset saya yang menggunakan konektor 3.5mm seringnya berakhir dengan konektor yang aus sehingga akan mengeluarkan suara-suara mengganggu saat konektornya bergeser sedikit saja. Dengan USB Type-C, permasalahan konektor yang aus tadi harusnya hilang — atau setidaknya bisa jauh bertahan lebih awet ketimbang konektor 3.5mm.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Terakhir, yang ingin saya bahas dari sisi desain adalah bentuk earcups. Sama seperti kebanyakan headset besutan ROG, Delta S juga menggunakan earcups yang berbentuk segitiga (D-shaped). Meski memang masih sangat nyaman digunakan dan ASUS pun memberikan 2 set ear cushion di paket penjualannya, saya lebih suka earcups yang berbentuk bulat ataupun kotak.

Kenapa? Karena headset untuk audiophile juga kebanyakan menggunakan earcups berbentuk bulat atau kotak. Dengan begitu, saya bisa membeli sepasang ear cushion baru yang sebenarnya ditujukan untuk headset audiophile — seperti yang saya lakukan di HyperX Cloud Flight saya. Dengan opsi yang lebih mudah untuk mengganti ear cushion, saya bisa mengubah warna suara headset ataupun menggantinya jika ear cushion nya sudah tak lagi nyaman digunakan satu saat nanti.

 

Performa dan Kualitas Suara

Jika berbicara soal kualitas suaranya, saya sempat terkejut saat menggunakan headset ini pertama kali karena suaranya jelek sekali dan sangat tidak pantas untuk sebuah headset yang dibanderol dengan harga di kisaran Rp3,5 jutaan.

Namun demikian, ternyata saya yang keliru karena belum menginstall softwarenya (Armoury Crate). Setelah saya menginstall Armoury Crate, saya menemukan banyak opsi premium yang baru bisa menyuguhkan kualitas headset ini yang sesungguhnya.

Hal ini memang sedikit berbeda dari yang biasanya saya alami. Kebanyakan headset gaming memang sudah menyuguhkan kualitas audio yang optimal out-of-the-box. Barulah ketika saya ingin bermain-main dengan equalizer ataupun fitur lainnya, saya akan menggunakan software.

Armoury Crate ROG Delta S
Armoury Crate ROG Delta S

Sistem seperti ini mungkin memang mungkin kurang ideal karena Anda jadi terpaksa menginstall software, apalagi saya sempat bermasalah saat menginstall Armoury Crate saat mencoba ROG Chakram Core.

Meski begitu, untungnya memang saya tak bermasalah saat menginstall softwarenya saat saya menguji headset ini. Lagipula, opsi yang disuguhkan lewat softwarenya sungguh lengkap dan Anda mungkin bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencoba berbagai kombinasi setting di sini.

Sayangnya, dibandingkan dengan suara HyperX Cloud Flight, saya lebih suka warna suara headset itu. Fidelity yang disuguhkan HyperX Cloud Flight bahkan di kondisi default/out-of-the-box (tanpa software) sudah lebih baik. Bass yang dihasilkan pun lebih smooth.

Sebaliknya, warna suara yang dihasilkan oleh ROG Delta S ini masih kalah dalam hal fidelity — meski cukup detail juga. Suara bass yang dihasilkan pun sebenarnya garang dan tajam tapi kurang smooth. Entahlah, mungkin saya saja yang kurang berhasil menemukan kombinasi setting yang saya mau meski saya menghabiskan waktu berjam-jam dengan softwarenya.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Jadi, headset ini mungkin masih kalah jika digunakan untuk musik. Namun, karena memang ditujukan untuk gaming, headset ini memang layak diacungi 2 jempol. Suara ambience-nya benar-benar terasa dan fitur surround-nya pun menggelegar. Detail seperti langkah kaki dan arah suara tembakan pun bisa terdengar jelas di sini. Dengan begitu, selain untuk bermain game, headset ini juga sangat cocok untuk menonton film.

 

Fitur Tambahan

Dengan banderol harga premiumnya, ROG Delta S ini dibekali dengan berbagai fitur premium juga. ROG Delta S dibekali dengan Hi-Res ESS 9281 QUAD DAC dan MQA Technology. Sayangnya, seperti yang saya bahas tadi, hasil kualitas audionya mungkin kurang cocok dengan telinga saya. Atau sayanya saja yang tidak berhasil menemukan setting ideal yang saya inginkan.

Meski begitu, tetap saja, jika Anda cukup berpengalaman dengan DAC, Anda mungkin bisa mendapatkan kualitas audio yang lebih optimal.

Selain itu, ROG Delta S juga dilengkapi dengan ASUS AI Noise-Canceling microphone yang sangat berguna jika Anda bermain di warnet ataupun ruang keluarga yang biasanya penuh dengan keributan. Hasil microphonenya pun juga sangat jernih meski mungkin bukan yang terbaik yang pernah saya coba.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Sayangnya, jika kita berbicara soal fitur yang absen di headset harga premium ini adalah koneksi wireless. Seperti tadi yang saya bilang, saya sudah terbiasa menggunakan HyperX Cloud Flight S yang tanpa kabel. Saat saya kembali menggunakan Delta S yang masih pakai kabel selama beberapa pekan, saya jadi merasa riweh dengan kabel-kabel yang menjuntai. Ditambah lagi, saya juga sebenarnya sudah terbiasa jalan-jalan atau duduk di balkon saat sedang telepon lewat Discord jika menggunakan wireless headset. Padahal Cloud Flight S dibanderol dengan harga sekitar Rp1 jutaan lebih murah ketimbang ROG Delta S.

Tetapi, jika Anda suka dengan RGB, ROG Delta juga cocok untuk Anda karena ia bisa dikustomisasi dengan begitu mudah lewat softwarenya. Sayangnya, memang tak banyak area lampu RGB yang ada di headset ini — meski memang RGB untuk headset biasanya tidak seheboh RGB untuk mechanical gaming keyboard.

 

Kesimpulan

Akhirnya, ROG Delta S sebenarnya produk yang cukup menarik. Ia punya build quality yang sangat solid, suara yang galak dengan berbagai setting software yang lengkap, dan sangat nyaman digunakan.

Sayangnya, bagi saya, ia masih jauh dari kata sempurna. Saya tidak berhasil menemukan warna suara yang saya inginkan meski saya sudah menghabiskan waktu berjam-jam mencari setting terbaik — yang bisa saya dapatkan dari headset saya out-of-the-box. Dengan harga Rp3,5 jutaan, ia juga masih belum menawarkan koneksi wireless sedangkan saya sudah tidak terbiasa dengan kabel.

Bentuk earcups-nya juga kurang ideal karena Anda mungkin akan kesulitan mencari ear cushion dari pihak ketiga. Terakhir, meski memang cukup ideal digunakan untuk bermain game dan menonton film, sayangnya saya sendiri memang setiap hari mendengarkan musik. Jadi, saya pribadi lebih suka dengan headset yang bisa cukup balanced untuk semua kebutuhan baik itu bermain game, mendengarkan musik, ataupun menonton film.

Review Razer Blackshark V2 Pro Wireless: Lebih Garang Dari Razer Biasanya

Menjadi yang terbaik di ranah gaming kompetitif terkadang bukan hanya butuh kemampuan saja. Apabila sudah punya bekal kemampuan bermain yang hebat, melengkapi diri dengan berbagai perlengkapan terbaik juga tak kalah penting untuk mengurangi peluang kekalahan. Ibaratnya, tentara dengan kemampuan paling hebat tentu akan butuh persenjataan yang lebih baik juga.

Ketika bicara gaming kompetitif, kebutuhan perangkat terbaik bukan hanya dari sisi mouse atau keyboard saja. Produk audio yang mumpuni juga tak kalah penting, mengingat bermain game adalah kegiatan yang tidak hanya mengutamakan respon visual tapi juga respon audio. Kali ini saya dipinjamkan satu unit headset gaming Razer Blackshark V2 Pro. Kira-kira, sebagus apa headset yang diberi julukan sebagai “The Sound of Esports” ini?

Setelah beberapa saat saya menggunakannya untuk berbagai aktivitas gaming dan produktivitas sehari-hari, jujur saya cukup kagum dengan kemampuan reproduksi suara ataupun kualitas produk ini secara keseluruhan. Lebih lengkap dan tanpa berlama-lama lagi, berikut hasil ulasan saya untuk Razer Blackshark V2 Pro.

 

Produk Razer yang Terasa “Kurang Razer”

Apa yang Anda ingat apabila saya mengatakan produk peripheral gaming buatan Razer? Warna hijau mencolok dan LED RGB warna-warni yang manis dari teknologi Razer Chroma mungkin jadi dua hal paling khas yang akan Anda ingat dari produk buatan Razer. Menariknya, dua hal tersebut tidak hadir sedikitpun di dalam Razer Blackshark V2 Pro. Karenanya saya mengatakan bahwa produk ini terasa kurang Razer.

Razer Blackshark V2 Pro ini seperti ingin menunjukkan kesan serius dan terlihat ingin menyasar segmentasi gamer esports. Pada Razer Blackshark V2 X dan Razer Blackshark V2, Anda masih bisa melihat elemen warna hijau khas Razer pada kabel ataupun earcup. Namun Razer Blackshark V2 Pro memberi warna seluruh material headset dengan warna hitam doff, mulai dari bagian headband yang terbuat dari kulit sintetis, kabel-kabel yang bersifat detachable, hingga bagian earcup yang terbuat dari plastik. Walau berwarna hitam doff, kedua bagian tersebut tetap memiliki branding Razer berupa logo ular khas yang dibuat reflektif pada bagian earcup dan tulisan Razer di bagian headband.

Branding Razer yang terselubung di bagian headband dari Razer Blackshark V2 Pro. Foto oleh Akbar Priono - Hybrid.co.id
Branding Razer yang terselubung di bagian headband dari Razer Blackshark V2 Pro. Foto oleh Akbar Priono – Hybrid.co.id

Lalu apa kabar dengan LED RGB? Elemen tersebut juga absen dari headset ini. Satu-satunya bagian yang memancarkan cahaya lampu hanyalah indikator on-off yang ada di bawah kiri headset saja, warnanya bahkan biru standar bukan hijau khas Razer.

Seperti yang saya sebut barusan, headset ini terlihat ingin menyasar gamer esports profesional. Karena segmentasi yang dikejar, Blackshark V2 Pro tampil sangat serius bahkan sampai-sampai menghilangkan warna hijau yang jadi ciri khas. Bentuknya sekilas juga mirip seperti headset untuk komunikasi di dalam helikopter yang mungkin tidak keren bagi beberapa kalangan gamers.

Walaupun headset Blackshark V2 Pro terlihat kurang keren, namun Razer menyajikan material solid yang membuatnya terasa premium ketika dipegang. Lalu bagaimana rasa material-material tersebut ketika dikenakan. Kesan saya saat pertama kali menggunakan headset tersebut adalah niqmaaat

Beberapa kontrol yang ada di sisi kiri headset. (Dari atas ke bawah) ada tombol power, on-off microphone, micro-usb untuk charging, jack 3.5mm untuk audio output, dan jack 3.5mm untuk detachable mic.
Tampak dekat bantalan headset dan beberapa kontrol yang ada di sisi kiri. (Dari atas ke bawah) ada tombol power, on-off microphone, micro-usb untuk charging, jack 3.5mm untuk audio output, dan jack 3.5mm untuk detachable mic. Foto oleh Akbar Priono – Hybrid.co.id.
Sisi kiri headset tanpa mic.
Sisi kiri headset tanpa mic.
Sisi kiri headset dengan mic.
Sisi kiri headset dengan mic.

Terlepas dari bentuknya yang garang, headset ini ternyata terasa ringan saat dikenakan di kepala. Usut punya usut, Razer memang merancang Blackshark V2 Pro jadi bersifat lightweight dengan bobot sebesar 320 gram saja. Pelapis cushion atau bantalan headset terbuat dari kain. Mengutip dari laman resmi Razer, kain tersebut dirancang menggunakan teknologi Flowknit untuk meminimalisir rasa panas yang terasa apabila kita menggunakan headset dalam jangka waktu lama.

Setelah saya mencobanya, ternyata benar. Saya sempat mengenakan headset selama kurang lebih 5 jam non-stop. Selama durasi tersebut, saya tidak merasakan panas ataupun clamping (rasa terjepit di area kepala) yang berlebihan. Panas tetap ada, begitupun rasa berat di telinga setelah penggunaan durasi yang lama. Tapi seperti yang saya bilang, rasanya tidak berlebihan dan masih sangat bisa ditoleransi. Dalam hal clamping, Razer sendiri memang menggunakan memory foam sebagai isi bantalan headset yang membuatnya terasa empuk di telinga.

Tampak jelas dari apa saja yang ada di dalam box Razer Blackshark V2 Pro. (Dari kiri ke kanan) Micro-USB untuk charging, unit headset, USB Wireless 2.4 Ghz, dan detachable 3.5mm untuk audio output.
Tampak jelas dari apa saja yang ada di dalam box Razer Blackshark V2 Pro. (Dari kiri ke kanan) Micro-USB untuk charging, unit headset, USB Wireless 2.4 Ghz, dan detachable 3.5mm untuk audio output.

Selain itu isolasi yang diberikan headset cushion juga tergolong cukup kedap. Ketika saya menggunakan headset, suara di sekitar jadi berkurang mungkin sekitar 30% dari biasanya. Suara yang besar akan tetap tembus ke dalam headset, tetapi suara kecil seperti suara hujan di luar kamar cenderung jadi tidak terdengar dengan isolasi yang diberikan oleh bantalan headset.

Sedikit kekurangannya mungkin adalah posisi headset yang kadang melorot apabila digunakan dalam durasi waktu yang lama. Tetapi patut diketahui bahwa hal tersebut terjadi bukan semerta-merta hanya gara-gara headset-nya saja. Bisa jadi memang ukuran kepala saya yang cenderung lebih kecil, sehingga hal tersebut terjadi. Melorotnya headset juga tergolong tidak berlebihan, hanya perlu menaikkan sedikit saja headset-nya.

Setelah mengulas soal material dan kulit luar si Blackshark V2 Pro, mari kita beralih ke urusan suara Blackshark V2 Pro.

 

Suara Menggelegar THX Spatial Audio dan Razer Triforce Titanium

Kalau harus menjelaskan bagaimana suara Razer Blackshark V2 Pro dalam satu kalimat, jawaban saya adalah “suaranya sangat membohongi”. Sebelum menjelaskannya, satu yang patut diketahui juga bahwa Razer menawarkan dua jenis audio output.

Anda bisa menggunakan jack 3.5mm untuk menikmati audio output driver sang headset yaitu Razer Triforce Titanium 50mm. Anda juga bisa menggunakan USB Wireless 2,4 Ghz untuk bisa menikmati audio output dari DAC eksternal milik Razer dan bantuan software THX Spatial Audio. Selain itu sebagai tambahan informasi juga, sejujurnya ini adalah kali pertama saya menulis ulasan sebuah produk audio. Walaupun begitu, saya mengamati betul kualitas produk audio yang saya miliki dan juga sedikit banyak mengikuti perkembangan hobbyist audio melalui beberapa forum.

Oke, saatnya kembali ke pembahasan. Lalu kenapa suaranya membohongi? Maksud bohong di sini bukan dalam artian negatif, tetapi maksudnya begini. Sesaat setelah menerimanya unit review-nya, saya langsung menggunakan si Blackshark V2 Pro untuk mendengarkan musik sembari menyelesaikan artikel-artikel saya di Hybrid.co.id.

Razer Hyperspeed Wireless yang menggunakan teknologi radio 2.4 Ghz.
USB untuk menghubungkan headset dengan PC yang menggunakan Razer Hyperspeed Wireless berteknologi radio 2.4 Ghz.

Pada percobaan pertama, jujur saja, rasanya kecewa berat mendengar kualitas reproduksi suara yang dihasilkan Razer Blackshark V2 Pro. Kualitas suaranya tidak jelek, hanya saja tidak mencerminkan banderol harga Rp2,999 juta yang ditawarkan oleh headset tersebut. Ketika baru keluar dari kotak, reproduksi suara yang dihasilkan cenderung v-shape, hanya kuat di sisi bass dan treble, cempreng, dan cenderung lemah dari sektor suara mid (biasanya suara vokal).

Hari demi hari berlalu, saya pun mulai merasa “dibohongi” karena suaranya berubah ke arah yang lebih baik. Seiring dengan waktu, treble cempreng yang menusuk jadi terkendali. Kini sektor mid mulai mengimbangi sehingga suara artikulasi vokal jadi semakin jelas. Sektor bass tetap kuat, namun berkat sektor mid yang meningkat, suara bass-nya jadi bergaung nikmat (sedikit boomy) namun tetap mendentum (tetap punchy) pada saat mendengarkan musik-musik rock keras yang punya suara bass drum cepat.

Deskripsi suara di atas saya rasakan pada saat saya menggunakan audio output berupa jack 3.5mm (ke laptop ataupun smartphone) dan menggunakan Razer Hyperspeed Wireless 2.4 Ghz untuk mendengar musik. Lalu bagaimana dengan gaming? Blackshark V2 Pro pun kembali membuat saya kagum pada saat digunakan untuk gaming.

Saya mencobanya dalam dua skenario. Skenario pertama adalah gaming di PC dengan menggunakan USB wireless. Skenario kedua adalah gaming di mobile dengan menggunakan jack 3.5mm.

Selain untuk gaming PC, Razer Blackshark V2 Pro juga menyediakan output jack 3.5mm yang bisa digunakan untuk gaming mobile ataupun konsol.
Selain untuk gaming PC, Razer Blackshark V2 Pro juga menyediakan output jack 3.5mm yang bisa digunakan untuk gaming mobile ataupun konsol.

Untuk gaming PC, saya mencoba memainkan game VALORANT sembari menggunakan teknologi THX Spatial Audio. Pada percobaan skenario pertama, awalnya saya berpikir bahwa software tidak akan sebegitu signifikan membantu memberi pengalaman audio yang imersif saat bermain game. Ternyata saya salah besar. THX Spatial Audio tidak hanya membuat reproduksi suara jadi lebih menggelegar, tetapi juga memberi reproduksi titik suara yang akurat.

Hanya bermodal audio dari Blackshark V2 Pro, saya segera bisa mengetahui di mana posisi musuh berdasarkan dari suara step yang mereka keluarkan. Reprduksi suara tidak hanya memberi informasi dari arah mana (kiri/kanan/depan/belakang) lawan akan datang, tetapi juga bisa memberi informasi jarak (jauh atau dekat) posisi lawan. Selain itu, bantuan software pada Blackshark V2 Pro Wireless juga tergolong terasa natural, tidak artificial seperti penambahan gaung-gema berlebihan seperti pada beberapa headset gaming pada kelas harga low-end.

Lalu bagaimana dengan skenario percobaan yang kedua? Untuk percobaan kedua saya mencoba bermain PUBG Mobile di smartphone dengan menggunakan jack 3.5mm. Saya pun kembali berdecak kagum kedua kalinya saat mencoba Blackshark V2 Pro untuk bermain PUBG Mobile. Kemampuan headset untuk memberi informasi arah serta jarak musuh ternyata tetap bertahan walaupun menggunakan jack 3.5mm berarti hanya mengandalkan driver milik headset saja.

Biasanya suara langkah musuh akan saling bertabrakan apabila saya bermain PUBG Mobile dengan menggunakan audio output dari earphone atau IEM. Blackshark V2 Pro dengan driver Razer Triforce Titanium 50mm ternyata berhasil mengatasi masalah tersebut. Walaupun saya melakukan hot-drop (turun di kota ramai seperti Pochinki) Blackshark V2 Pro berhasil membagi suara dengan detil. Karena headset yang saya gunakan, saya jadi tahu kondisi sekitar dengan cukup detil, berapa orang musuhnya, di mana dan seberapa jauh posisinya.

Terakhir soal mikrofon. Masih dari laman resmi Razer, dikatakan bahwa Blackshark V2 Pro menggunakan teknologi Hyperclear Supercardio Mic. Pada saat saya mencobanya, ternyata mikrofon dari Razer ini tergolong tidak sebegitu istimewa walau suaranya sebenarnya tetap bagus. Selama masa work from home, saya rutin ngobrol online dengan kawan menggunakan Discord. Ketika berganti ke Blackshark V2 Pro, saya bertanya kepada kawan-kawan saya bagaimana suaranya, dan banyak yang mengatakan bahwa hasil suaranya tidak sebegitu beda jauh. Memang agak sulit dalam membicarakan kualitas suara yang dihasilkan dari mikrofon, karenanya Anda bisa melihat video dari reviewer di bawah ini untuk mengetahui bagaimana hasil suara mikrofon dari Razer Blackshark V2 Pro.

Bagaimana dengan teknologi wireless-nya? Jawabannya satu kata, “flawless”! Saya hampir tidak pernah merasa ada delay sedikitpun pada saat menggunakan Blackshark V2 Pro, baik saat digunakan untuk mendengarkan musik ataupun bermain game. Jarak wireless-nya juga cukup jauh. Saya sempat mencoba meletakkan laptop di ruangan yang berbeda dengan posisi saya dan suara ke headset masih jelas, lancar, dan tidak putus-putus.

 

Razer Synapse dan Beragam Kustomisasinya

Seperti biasanya, selain dari segi hardware, Razer juga menawarkan kecanggihan dari sisi software lewat Razer Synapse. Walaupun tidak ada LED RGB pada headset ini, namun Razer Synapse tetap menawarkan kustomisasi yang sangat luar biasa terhadap audio output ataupun input dari Blackshark V2 Pro.

Anda bisa edit sendiri arah suara hasil reproduksi software THX Spatial Audio apabila Anda masih merasa kurang cocok dengan pengaturan default. Selain edit sendiri, Razer Synapse juga menyajikan beberapa preset untuk Anda yang tidak mau pusing. Selain itu Razer Synapse juga memberikan pengguna kebebasan untuk menentukan bagaimana output suara dari si headset. Ada fitur Enhance Bass, Normalization, Voice Clarity, dan Equalizer yang masing-masing bisa diatur kuantitasnya. Saya sempat mencoba fitur Voice Clarity, namun suara headset justru jadi cenderung kurang nikmat. Suara treble kembali menusuk tajam. Walau hal tersebut membantu kita untuk bisa mendengar suara orang berbicara dengan lebih jelas, tetapi cenderung terasa tidak enak jika digunakan untuk gaming.

Dari sisi audio input, Anda bisa mengkustomisasi volume mikrofon, Enhancement Vocal Clarity, bahkan juga punya mic equalizer. Fitur ini juga sempat saya coba-coba, tetapi kebanyakan kawan Discord saya malah mengatakan suara saya cenderung tidak berubah banyak ketika saya menggunakan fitur-fitur tersebut.

Walau Razer Synapse punya berbagai kustomisasi, jujur saya merasa Razer Blackshark V2 Pro sudah sangat baik kualitas suaranya tanpa tambahan kustomisasi apapun. Namun demikian, saya rasa kustomisasi dari Razer Synapse tetap jadi nilai tambah yang bagus

 

Kesimpulan

Apakah Razer Blackshark V2 Pro sudah mencerminkan kualitas dari banderol harga sebesar Rp2,999 juta yang ditawarkan? Jawabannya adalah iya, mulai dari sisi material yang digunakan, hingga reproduksi suara yang dihasilkan baik dari sisi DAC eksternal (USB Wireless) serta THX Spatial Audio sebagai software enchancement eksternal ataupun suara murni dari Razer Triforce Titanium 50mm Drivers.

Tetapi kalau pertanyaannya apakah Blackshark V2 Pro ini patut dibeli, jawabannya tetap tergantung dari prefrensi Anda masing-masing.

Dalam ranah competitive gaming, saya merasa Blackshark V2 Pro ini jadi patut dibeli karena menciptakan reproduksi suara yang sangat luar biasa ketika digunakan untuk gaming. Seperti yang saya ceritakan di atas, Blackshark V2 Pro mampu pinpoint arah dan jarak suara dengan akurat.

Kemampuannya untuk pinpoint arah dan jarak suara bahkan tidak terbatas hanya saat digunakan dengan USB Wireless saja, tetapi juga ketika digunakan dengan jack 3.5mm di smartphone. Razer Blackshark V2 Pro juga tergolong sudah cukup enak digunakan untuk mendengarkan musik, walau kualitasnya bisa jadi kalah dengan headset atau headphone yang memang diciptakan untuk pecinta audio.

Walau punya material kokoh dan reproduksi suara yang bagus, Blackshark V2 Pro memang bisa jadi kurang apik penampilannya. Bagi sebagian orang, headset hitam polos tanpa ornamen led RGB itu bisa jadi jelek. Bentuknya juga tergolong kuno bagi sebagian orang karena terlihat seperti headset untuk berkomunikasi di helikopter. Tapi apabila Anda memang suka dengan penampilan minimalis nan profesional, bentuk dan warna hitam doff Blackshark V2 Pro itu justru bagus dan elegan.

Sekian ulasan saya terhadap Razer Blackshark V2 Pro Wireless. Semoga ulasan ini dapat membantu untuk menentukan headset yang akan Anda beli untuk memenuhi kebutuhan gaming ataupun produktivitas sehari-hari.

Review Rexus Daxa M84 Pro: Paling Asyik Karena Minim Saingan

Pasar keyboard mechanical di Indonesia memang mungkin masih sangat terbatas variannya jika dibanding dengan pasar Tiongkok. Pasalnya, kebanyakan mechanical keyboard yang tersedia di Indonesia adalah yang berukuran standar alias full-sized (104 keys) ataupun TKL (87 keys). Rexus pun nampaknya menangkap peluang tersebut dan memanfaatkannya dengan baik, termasuk dengan mengeluarkan keyboard yang satu ini.

Setelah sebelumnya cukup sukses dengan Rexus Daxa M71 Pro (dan Classic), Rexus kembali menjadi pusat perhatian dari komunitas keyboard mechanical di Indonesia dengan mengeluarkan varian 75%. Saya pun membeli satu unit Rexus Daxa M84 Pro dan telah menggunakannya selama beberapa hari.

Sebelum kita masuk ke reviewnya, mungkin saya perlu menceritakan pengalaman pribadi saya soal keyboard mechanical — sebagai justifikasi review kali ini karena faktanya review gaming peripheral akan sangat subjektif tergantung pengalaman sang reviewer. Pertama, saya memang sudah kerap review gaming peripheral saat masih menulis di majalah cetak beberapa tahun silam. Saya sudah mencoba dan mengulas puluhan gaming peripheral kala itu, mulai dari mouse, keyboard, mousepad, ataupun gaming headset.

Rexus Daxa M84. Dokumentasi: Hybrid
Rexus Daxa M84. Dokumentasi: Hybrid

Selain itu, belakangan saya juga sedikit kecanduan dan belanja impulsif sejumlah gaming peripheral. Saat ini, saya bahkan punya 7 mechanical keyboard yaitu SteelSeries Apex 7 (full-sized), Dareu EK840 (full-sized), Razer Blackwidow V3 (wiredfull-sized), GK61 (60%, 61 keys), GK64 (60%, 64 keys), GK73 (65%, 73 keys), Rexus Daxa M84 Pro (75%, 84 keys).

Itu tadi sedikit cerita tentang saya yang mungkin bisa jadi sedikit justifikasi dan pertimbangan Anda dalam membaca review Rexus Daxa M84 Pro kali ini.

 

Build Quality

Rexus Daxa M84 Pro sebenarnya tidak memiliki build quality yang terlalu istimewa alias biasa saja. Tidak seperti Dareu EK840 yang benar-benar solid, berbobot berat, dan sungguh bisa dibanggakan kualitas fisiknya di segala aspek — mulai dari bodi bahkan sampai keycaps yang disertakannya.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Sebaliknya, M84 memiliki bodi yang biasa saja. Bottom case-nya tipis seperti yang disuguhkan Razer Blackwidow. Case dan plate yang digunakan pun tidak setebal yang ditawarkan GK61, GK64, ataupun GK73. Di bagian dalamnya, karena saya juga langsung membukanya, PCB nya pun tidak istimewa — tidak tebal dan memiliki beberapa lapisan seperti yang saya temukan di GK61, GK64, ataupun GK73. Namun demikian, untuk beberapa bagian tadi, saya masih bisa memakluminya karena memang banderol harga M84 yang sangat terjangkau. M84 Pro dibanderol dengan harga Rp950 ribu — bandingkan dengan Razer Blackwidow V3 yang sama-sama tipis case-nya tapi dibanderol dengan harga Rp2,2 juta.

Sayangnya, ada satu bagian yang tidak bisa saya toleransi dari M84 ini. Keycaps-nya sungguh jelek bukan main dan saya langsung buang ke tong sampah. Dari semua keyboard yang pernah saya pegang, keycaps M84 adalah yang paling tipis yang pernah saya temui. Jadi, pastikan saja Anda menyediakan dana tambahan untuk membeli keycaps yang lebih baik jika berniat membeli M84 Pro.

Di bawah keycaps yang berukuran panjang, Anda akan melihat stabilizer dengan lube yang sangat berlebihan. Meski memang jadi aneh dilihatnya namun setidaknya hal ini membuatnya terasa cukup stabil — tidak seperti stabilizer dari Razer Blackwidow V3 yang jeleknya bukan main.

 

Switch dan Hotswap Socket

Jujur saja, tanpa fitur hotswap 3/5 pin, saya tidak akan membeli keyboard ini. Karena saya benar-benar merasa fitur hotswap harusnya sudah jadi standard buat mechanical keyboard keluaran 2021 atau yang lebih baru. Fitur hotswap akan membuat Anda terbebas dari switch yang bermasalah satu saat nanti tanpa harus membeli keyboard baru atau belajar dan membeli peralatan solder ataupun desoldering.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Apalagi saya sebelumnya bermasalah dengan salah satu switch yang stuck di SteelSeries Apex 7. Memang M84 ini sudah menggunakan switch Gateron yang mungkin relatif lebih awet ketimbang keluaran Outemu. Namun, tetap saja, switch dari Cherry MX yang biasanya ditemukan di keyboard-keyboard usianya lebih dari 5 tahun. Meski Cherry MX memang mungkin lebih baik dalam hal durabilitas, switch Gateron menawarkan feel yang lebih smooth untuk kelas linearnya. Saya punya 2 keyboard dengan Gateron Yellow serta 1 keyboard dengan Gateron Red dan saya sangat menyukai feel yang ditawarkan dari switch linear besutan Gateron — meski memang masih kalah smooth dengan switch Durock L2 yang ada di keyboard saya satu lagi.

M84 memang menawarkan beberapa pilihan switch gateron seperti Red, Yellow, Brown, dan Blue. 4 opsi sebenarnya juga sudah cukup lengkap namun saya sebenarnya berharap mereka ada varian juga untuk switch yang kalah mainstream seperti Gateron Black. Meski demikian, karena M84 ini menyuguhkan fitur hotswap 3/5 pin, Anda tetap bisa mengganti switch dengan mudah layaknya mengganti keycaps.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Fitur hotswap 3/5 pin ini juga layak diacungi jempol karena beberapa keyboard hotswap lainnya, seperti Tecware Phantom Elite saya, hanya menawarkan hotswap 3 pin (atau plate mount). Dengan hotswap 5 pin (alias PCB mount), Anda bisa menggunakan switch yang kelasnya lebih tinggi seperti Durock, NovelKeys, Gateron Ink, Tealios, Tangerine, dan kawan-kawannya.

 

Layout dan Ukuran

Di bagian inilah Rexus M84 Pro menyuguhkan kelebihan utamanya. Pasalnya, seperti serinya, M84 ini menawarkan layout 75% dengan 84 tombol. Saya pribadi juga sangat menyukai layout 84 tombol ini karena ada beberapa alasan.

Pertama, layout 84 tombol ini bisa dibilang setara dengan TKL — hanya selisih 3 tombol karena TKL punya 87 tombol — namun dengan bodi yang lebih compact dan membuat layout-nya tampil lebih rapih. Di TKL, tombol arah dan bagian Ins, Home, dkk. jadi punya banyak ruang kosong. Namun di layout 84 tombol, ruang kosong tersebut dihilangkan sehingga membuatnya lebih enak dilihat — setidaknya menurut saya.

Perbandingan ukuran antara GK61 dan M84.
Perbandingan ukuran antara GK61 dan M84.

Kedua, dibanding dengan keyboard 60% dengan 61 tombol, keyboard ini punya lebih banyak tombol yang mungkin akan sangat berguna bagi Anda. Tombol F2 misalnya akan sangat berguna jika Anda ingin merapihkan dan menamai ulang koleksi ehm… tugas kuliah yang biasanya namanya hanyalah 4 huruf konsonan diikuti 3 angka (IYKWIM). Keyboard dengan 61 tombol juga biasanya tidak memiliki arrow keys yang akan sangat berguna buat para penulis seperti saya.

Di layout 84 tombol, benar-benar bagian Numpad saja yang mungkin Anda rasakan hilang — jika Anda sering berkutat dengan angka-angka dan Spreadsheet.

Ketiga, jika dibandingkan dengan GK64 (60% tapi 64 tombol), saya juga lebih suka M84 ini karena di sini ukuran Shift sebelah kiri masih standard (2.25u). Sedangkan di GK64 ukuran Shift jadi lebih kecil sehingga mungkin akan menyebabkan Anda pegal-pegal saat mengetik lama dan sudah terlalu biasa menggunakan keyboard full-sized ataupun TKL.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Jika berbicara soal ukuran keycaps, karena harus mengecilkan ruang, tetap ada beberapa tombol modifier kanan yang dikecilkan di layout 84 tombol seperti Shift kanan, Alt kanan, Ctrl kanan, dan Fn. Lucunya, meski saya sendiri tidak pernah menggunakan modifier kanan, saya tetap merasa ada yang berbeda dengan beberapa tombol yang ukurannya mengecil tadi. Saya lebih merasa cepat pegal dibanding saat menggunakan GK61 yang ukurannya benar-benar standard di semua tombol.

Ditambah lagi, berkat keycaps-nya yang amit-amit jeleknya, Anda berarti harus mencari set keycaps yang punya tombol non-standard seperti Alt 1u ataupun Shift 1.75u (untuk di kanan). Keycaps yang harganya lebih murah biasanya hanya menawarkan 104 tombol yang ukurannya standard. Sedangkan keycaps yang memberikan sampai 130 tombol misalnya dibanderol dengan harga yang lebih mahal.

Meski begitu, menurut saya, layout 84 tombol ini masih berada di tengah-tengah jika berbicara soal adaptasi dan kenyamanan penggunaan. Ia masih kalah nyaman dibanding dengan keyboard yang semua keycaps-nya standard (104, 87, dan 61) namun lebih nyaman dibanding dengan keyboard yang mengubah ukuran Shift kiri (seperti GK64).

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Lucunya, menurut saya, jika Anda memang hanya butuh F2 ataupun F5 (yang bisa di-remap dengan software bawaannya), Rexus M71 sebenarnya mungkin lebih nyaman digunakan karena bagian utama keyboardnya memiliki ukuran yang full standard, termasuk modifier kanan dan kiri, namun juga menawarkan tombol arrow.

Seperti yang saya bilang tadi, layout inilah yang membuat Rexus M84 jadi sangat menggoda karena tidak banyak varian 84 tombol yang mudah Anda dapatkan di Indonesia, selain Keychron K2. Namun sayangnya Keychron tidak memiliki software bawaan yang akan merepotkan jika Anda ingin fitur remapping ataupun fungsi makro. Selain K2 tadi, VortexSeries juga sebenarnya punya layout 84 tombol yaitu VX8 namun barangnya sangat langka — setidaknya saat artikel ini ditulis.

Selain pilihan-pilihan tadi, jika memang ingin mencari layout 84 tombol, Anda mungkin harus membeli sendiri dari Tiongkok seperti dari AliExpress (meski dengan resiko uang refund-nya tidak ada kejelasan seperti saya atau pengiriman gratis yang lamanya minta ampun). Opsi lain yang lebih baik juga ada, dengan menunggu beberapa importir eceran yang memasukkan barang dari luar namun biasanya jumlah yang bisa mereka bawa masuk memang tidak sedikit.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

 

Software

Sekarang kita ke software. Sampai hari ini saya sudah mencoba beberapa software bawaan mulai dari Razer Synapse, Logitech G Hub, SteelSeries Engine, software dari Tecware, dari Rexus, VIA untuk QMK, ataupun software GK6X Plus Driver (yang biasanya digunakan untuk produk Skyloong, Geek Customized, atau Epomaker).

Menurut saya, software dari Rexus ada di tingkat yang sama dengan milik Tecware. Fungsinya memang tidak selengkap yang ditawarkan Razer Synapse ataupun GK6X Plus Driver (keduanya adalah yang terbaik bagi saya dalam hal kelengkapan fitur) namun sudah sangat cukup buat mayoritas gamer dan sangat mudah digunakan. Anda bisa remapping semua tombol yang ada di keyboard ini jadi tombol ataupun fungsi lainnya.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Membuat fungsi makro juga tidak seribet dengan menggunakan VIA untuk QMK karena Anda tinggal merekam tombol-tombolnya. Meski sayangnya, software-nya tidak mengizinkan fungsi remapping kombinasi tombol Fn seperti yang ada di Synapse (dengan menggunakan fungsi Hypershift) ataupun GK6X Plus Driver. Misalnya, FN+Shift jadi Num Lock atau jadi makro.

 

Fitur Tambahan

Terakhir kita akan membahas beberapa fitur tambahan yang dimiliki oleh M84 ini. Meski memiliki case dan plate yang cukup tipis, untungnya, Rexus memberikan frame di bagian atas yang membuat keyboard ini terasa lebih solid. Jika Anda mau, Anda juga bisa melepas frame atasnya untuk membuat keycaps-nya terlihat floating meski saya lebih suka menggunakannya dengan frame tadi karena selain lebih solid tampilannya pun jadi lebih rapih.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Keyboard ini juga dilengkapi dengan fungsi wireless dengan menggunakan Bluetooth. Saya pribadi jujur malas mencobanya namun jika saya harus memilih fungsi wirelss saya akan memilih koneksi 2.4GHz. Namun dengan koneksi Bluetooth, keyboard ini juga mudah jika ingin digunakan dengan ponsel Anda.

Fitur tambahan terakhir adalah magnetic feet yang akan membuat keyboard ini miring dan lebih nyaman digunakan — berhubung saya memang kurang suka dengan keyboard yang rata. Magnetic feet-nya memang goyang-goyang jika dipasangkan namun ia menempel cukup kuat saat digunakan dan saya belum pernah mengalami copotnya feet tersebut meski sering menggeser keyboard.

 

Kesimpulan

Rexus Daxa M84 Pro ini memang sangat menarik untuk dimiliki karena menawarkan jumlah tombol yang cukup lengkap namun tak terlalu sempit, fitur hot-swap, dan software yang cukup lengkap dan intuitif. Sayangnya, build quality nya memang tak bisa dibanggakan meski tak bisa dibilang jelek juga — kecuali keycaps-nya.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid

Dibanding dengan beberapa saingan yang sama-sama menawarkan layout 84 tombol seperti Keychron K2 ataupun VortexSeries VX8, M84 juga lebih menarik karena menawarkan software bawaan (dibanding Keychron) dan stoknya mudah didapat (dibanding VX84).

Meski begitu, menurut saya saingan terberat M84 Pro ini justru datang dari saudaranya sendiri, M71 Pro. M71 Pro menawarkan ukuran keycaps yang standard di area utama keyboard, sehingga Anda tak perlu pusing mencari keycaps ataupun lebih cepat pegal-pegal karena beradaptasi dengan layout yang sedikit berbeda. Saya sendiri juga sebenarnya tidak butuh tombol F rows semuanya (hanya F2 dan F5 — buat Quick Save) namun lebih butuh arrow keys yang tersedia di M71. Saya yakin mayoritas kebanyakan pengguna juga mungkin tak butuh semua 12 tombol dari F rows.

Meski begitu, jika Anda benar-benar mencari keyboard setara TKL namun dengan layout dan bodi yang lebih ramping, Rexus Daxa M84 Pro ini sungguh layak buat dibawa pulang — pastikan saja Anda beli keycaps baru…