Manajer Tim Esports: Penentu Kemenangan di Balik Layar

Industri esports yang bertumbuh pesat membuat banyak orang tertarik untuk terjun ke dunia ini. Kebanyakan orang biasanya tertarik untuk menjadi gamer profesional. Namun, tahukah Anda, persentase seseorang sukses sebagai pemain profesional tak lebih dari 1%? Berkarir sebagai gamer profesional memang tidak semudah kelihatannya. Tak hanya itu, karir pemain esports juga biasanya pendek.

Kabar baiknya, menjadi pemain profesional bukan satu-satunya tangga karir yang bisa Anda daki di dunia esports. Ada berbagai opsi pekerjaan di dunia esports yang bisa Anda pilih, mulai dari pekerjaan yang mengharuskan Anda turun langsung ke lapangan sampai karir sebagai orang di belakang layar. Salah satu opsi yang bisa Anda ambil adalah manajer tim esports.

 

Tugas Manajer Esports

Berbeda dengan gamer yang bermain hanya untuk hobi, seorang pemain profesional harus bisa memastikan bahwa dia dapat memberikan performa terbaik saat bertanding. Untuk itu, para pemain profesional dituntut untuk berlatih secara rutin, termasuk berdiskusi dengan rekan tim dan pelatih mereka. Tak hanya itu, mereka juga harus dapat menjaga kesehatan fisik mereka. Tentunya, mereka juga harus menyiapkan waktu untuk melakukan latih tanding dengan tim lain. Dan jika sebuah organisasi esports sudah punya sponsor, para pemain esports juga bisa diminta untuk tampil di video atau photo shoot.

Lalu, siapa yang bertanggung jawab agar para pemain bisa memenuhi semua tanggung jawab ini? Manajer. Salah satu tugas manajer tim esports adalah mengatur jadwal dari para pemain asuhannya. Tujuannya, agar para pemain esports bisa tetap fokus pada latihan tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka yang lain.

Ketika ditanya tentang tanggung jawab manajer, Brando Oloan, manajer tim Dota 2, BOOM Esports berkata, “Mengurus kebutuhan player, seperti mengatur jadwal latihan dan turnamen. Komunikasi dengan event organizer atau media dan kebutuan dalam bootcamp. Intinya, tugas kami adalah membuat player hanya perlu memikirkan how to win saja.”

Senada dengan Brando, CEO RRQ, Andrian Pauline juga mengungkap bahwa tugas utama seorang manajer adalah “mengatur jadwal anak-anak sehari-hari.”  Dia menambahkan, seorang manajer juga punya tanggung jawab untuk melakukan evaluasi tim bersama dengan pelatih dan pihak manajemen. Selain itu, memastikan para pemain profesional mematuhi peraturan yang ditetapkan di gaming house juga menjadi tugas seorang manajer.

Brando menjadi manajer untuk tim Dota 2 BOOM sejak November 2017. Sebelum menjadi manajer, dia merupakan seorang pemain profesional. Dia mengaku, pada awalnya, dia tidak tertarik untuk menjadi manajer. “Cuma shifting mimpi saja. Dulu, mau ke The International sebagai player,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Sekarang, tujuannya mau bantu players ke TI. Jadi orang di belakang layar.”

Brando mengungkap, pengalamannya sebagai pemain profesional cukup membantunya dalam mengerti sebagian besar dari apa yang para pemain butuhkan, walau tidak semua.

Lalu, apa semua manajer tim esports harus punya pengalaman sebagai pemain profesional? Memang, apa saja kualifikasi yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum melamar sebagai manajer tim esports?

 

Kualifikasi Sebagai Manajer Tim Esports

Kabar baiknya, Anda tidak harus punya pengalaman sebagai pemain profesional untuk menjadi manajer tim esports. Hanya saja, Anda tetap harus mengerti tentang game yang dimainkan oleh tim yang menjadi tanggung jawab Anda, seperti yang disebutkan oleh AP. Beberapa karakteristik lain yang dicari dari seorang manajer tim esports adalah jujur, tanggung jawab, sabar, dan dapat berkomunikasi yang baik. Selain itu, menurut AP, waktu yang fleksibel juga menjadi salah satu kualifikasi untuk menjadi seorang manajer.

Sementara menurut Brando, seorang manajer harus punya kemauan untuk belajar. Memang, esports adalah industri yang cepat berubah. Tidak hanya karena game esports terus mendapatkan update rutin dari developer, tapi juga karena esports adalah industri yang relatif baru. Jadi, para pelaku di dalamnya masih berusaha untuk menentukan metode terbaik dalam melakukan sesuatu. Misalnya, sampai saat ini, fokus bisnis dari masing-masing organisasi esports berbeda-beda. Ada organisasi esports yang memprioritaskan kemenangan di berbagai pertandingan, ada juga yang ingin menonjolkan sisi gaya hidup.

Ada banyak soft skills yang harus dikuasai seorang manajer. | Sumber: Gamingzion
Ada banyak soft skills yang harus dikuasai seorang manajer. | Sumber: Gamingzion

Soal kualifikasi edukasi, AP mengatakan, kebanyakan manajer tim di RRQ memiliki gelar S1. Hanya saja, saat ini, masih sangat jarang universitas yang menawarkan jurusan esports. Salah satunya adalah University of St Andrews di Skotlandia. Dalam situs resminya, mereka menjelaskan tentang mata kuliah apa saja yang akan diambil oleh para murid yang mengambil jurusan esports.

Selain mata kuliah terkait pendidikan secara umum, para mahasiswa juga akan mengambil mata kuliah terkait marketing, media sosial, dan komunikasi di bidang olahraga. St Andrews juga akan memberikan pelajaran tentang ekonomi, kepemimpinan, dan etika terkait dunia olahraga. Ada juga beberapa mata kuliah khusus esports, seperti pengenalan akan manajemen esports, analisa pemegang saham di dunia esports, serta riset dan tren di industtri esports.

Satu hal yang pasti, mencari manajer tim esports bukanlah perkara mudah. Salah satu alasannya karena sebagian besar kemampuan yang dibutuhkan dari manajer adalah soft skills, yang tidak mudah untuk diuji dalam sesi wawancara. Hal serupa diungkapkan oleh Angeline “Toska” Vivian, General Manager dari Morph Team. Dia menceritakan, cara yang Morph gunakan untuk memastikan bahwa manajer baru yang mereka pekerjakan memang baik adalah dengan menerapkan masa probasi.

“Waktu probasi kita tiga bulan,” ungkap perempuan yang akrab dengan panggilan Vivi ini. “Dalam waktu tiga bulan, kita akan monitor apakah pekerjaan seseorang bagus, bakal kita review. Setelah selesai probasi, dan telah dipastikan memang cocok, baru kita angkat jadi pegawai tetap.”

Setelah menjadi manajer di BOOM selama lebih dari tiga tahun, Brando bercerita, salah satu yang biasa dibuat oleh manajer baru adalah kurang teliti atau salah komunikasi. “Kebanyakan itu paling kurang teliti atau miscommunication, entah ke player, manajemen, atau EO,” ujarnya. Namun, dia menekankan, setiap orang punya gaya bekerja yang berbeda dalam beradaptasi. Jadi, pengalaman seorang manajer esports lain mungkin berbeda dari pengalamannya.

Tim Dota 2 BOOM ketika memenangkan Dota Summit 13. | Sumber: ESTNN
Tim Dota 2 BOOM ketika memenangkan Dota Summit 13. | Sumber: ESTNN

Tentu saja, bekerja sebagai manajer tim esports menawarkan suka-duka tersendiri. Bagi Brando, salah satu hal yang membuatnya bahagia sebagai manajer adalah ketika melihat tim yang dia asuh menang.

“Senang kalau melihat excitement pas mereka mau tanding, dan ketika mereka menang,” cerita Brando. “Dukanya, kalau mereka kalah. Kadang, masih bingung harus ngapain.” Dia menjelaskan, setiap pemain punya cara yang berbeda dalam menghadapi kekalahan. “Ada yang bisa langsung di-reach, ada yang butuh waktu. Ada yang butuh teman, ada yang perlu sendiri dulu,” ungkapnya. “Yang penting, be there when they need you.”

Sementara terkait tantangan yang dihadapi oleh seorang manajer, Brando berpendapat, menjadi jembatan antara para pemain dan pihak manajemen merupakan tantangan tersendiri.

Sama seperti pekerjaan sebagai gamer profesional, masih banyak miskonsepsi tentang tugas sebagai manajer tim esports. Vivi bercerita, ada banyak orang yang mencoba untuk berkarir di esports karena mereka berpikir bekerja di dunia esports sama seperti mendapatkan gaji hanya dengan bermain game.

Tak hanya itu, sebagian orang juga hanya tertarik dengan dunia esports karena industri competitive gaming kini tengah populer dan dirasa “lagi ada duit banyak.” Lebih lanjut, Vivi menjelaskan, “Kebanyakan tuh punya harapan yang tidak masuk akal. Menganggap kalau menjadi tim manajer itu cuma main-main game. Padahal, tim manajer itu harus bertanggung jawab.”

 

Seberapa Penting Peran Manajer?

Untuk mengetahui seberapa penting peran seorang manajer, saya bertanya pada AP kapan RRQ mulai mempekerjakan manajer. AP menjawab, “Peran manajer telah ada sejak awal RRQ berdiri. Kita merasa manajer penting karena untuk tugas sehari-hari. Owner tidak bisa selalu ada untuk para pemain,” ujarnya. “Dari mulai jadwal latihan sampai masalah di luar game, semua itu diurus sama manajer.”

Tak hanya itu, di RRQ, setiap tim esports punya manajer sendiri-sendiri. AP mengungkap, alasannya adalah karena setiap tim memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. “Dan sekarang kan sudah ada liga, latihan, ada jadwal endorsement, ada bikin konten buat sponsor,” akunya. “Memang ada beberapa yang digabung, tapi load-nya tidak tinggi. Tapi, kebanyakan dedicated.”

Namun, tidak semua organisasi esports menerapkan sistem yang sama. Misalnya, di Morph, Vivi menjelaskan, seorang manajer tidak bertanggung jawab atas satu tim, tapi sebuah divisi. “Divisi mobile sendiri, divisi PC sendiri,” ujarnya. Vivi mengatakan, mereka menggunakan metode ini karena Morph tidak memiliki terlalu banyak tim.

Namun, hal itu bukan berarti Morph menganggap remeh peran manajer. Sebaliknya, Vivi justru merasa, manajer tim esports merupakan salah satu pekerjaan di esports yang kurang dihargai, sama seperti kebanyakan peran di belakang layar. Dia tidak memungkiri, tim yang kuat memang memerlukan pemain yang mumpuni. Meskipun begitu, manajer juga punya peran dalam mendukung para pemain. “Mereka mengatur jadwal dan memberikan masukan pada pemain.”

Tim PUBG Mobile Morph di PMPL ID Season 2. | Sumber: One Esports
Tim PUBG Mobile Morph di PMPL ID Season 2. | Sumber: One Esports

Lalu, bagaimana soal gaji? Para pemain profesional di Mobile Legends Professional League bisa mendapatkan gaji sekitar Rp7,5 juta per bulan. Bisakah gaji manajer disandingkan dengan gaji pemain esports profesional? Ketika ditanya tentang hal ini, Vivi menyebutkan, gaji yang Morph berikan untuk manajer baru sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Untuk kawasan Jakarta — karena kebanyakan organisasi esports bermarkas di ibukota — UMP mencapai Rp4,4 juta. “Nggak mungkin di bawah itu,” ujar Vivi. “Gaji manajer juga bisa naik, tergantung timnya. Semakin sukses, semakin besar timnya, semakin besar gajinya.”

Morph juga menerapkan sistem insentif untuk para manajer. Namun, Vivi menjelaskan, setiap organisasi esports biasanya punya sistem insentif yang berbeda-beda. Ada organisasi yang menggunakan sistem persentase, ada juga yang menggunakan fixed price. “Misalnya, kalau fixed price, ketika tim juara 1 nasional, manajer akan mendapatkan sekian,” kata Vivi. “Bisa juga insentifnya berupa kenaikan gaji.”

 

Kesimpulan

Dalam sebuah tim esports, setiap pemain punya peran masing-masing. Misalnya, dalam Dota 2, ada pemain yang berperan sebagai Carry, ada yang berperan sebagai Support. Contoh lainnya, di PUBG Mobile, ada pemain yang menjadi Sniper, ada juga yang menjadi Scout atau Assaulter. Memang, ada peran yang akan terlihat lebih menonjol, layaknya striker dalam tim sepak bola. Meskipun begitu, sebuah tim hanya akan bisa tampil maksimal jika para pemainnya dapat bekerja sama dengan satu sama lain.

Begitu juga dengan pekerjaan-pekerjaan di dunia esports. Tidak usah berkecil hati jika tidak bisa menjadi pemain profesional. Memang tidak semua orang bisa menjadi gamer pro. Namun, hal itu bukan berarti seseorang tidak bisa membangun karir di dunia esports. Ada banyak pekerjaan lain di belakang layar yang tersedia. Walau peran sebagai manajer — atau pekerjaan manajemen lainnya — tidak gemerlap layaknya pemain esports, toh manajer tetap punya peran penting dalam memastikan keberlangsungan organisasi esports.

Esports Wild Rift di Mata Pelaku Esports Tanah Air: Pandangan, Tantangan, dan Harapan

League of Legends: Wild Rift yang hadir dalam fase beta pada September 2020 lalu tidak hanya dinanti oleh para pemain saja. Reputasi Riot Games sebagai “perusahaan esports” segera menciptakan gejolak bagi ekosistem esports lokal. Pemain yang belum dapat kesempatan di MOBA lain jadi segera push rank demi mendapat perhatian tim-tim besar. Para penggemar pun tak sabar, mulai bertanya-tanya soal rencana esports Wild Rift. Organisasi esports pun tak mau kalah, beberapa sudah memulai perekrutan; bahkan ada juga yang sudah memiliki roster.

Setelah rilis versi beta dan menjalankan gelaran Wild Rift SEA Pentaboom, lalu apa langkah Riot Games selanjutnya untuk Wild Rift? Pertanyaan tersebut mungkin bukan cuma saya saja yang menanyakan. Pemain, fans, dan organisasi esports bisa jadi punya pertanyaan serupa, tak sabar menunggu langkah selanjutnya dari Riot Games.

Untuk itu mari coba kita lihat dulu sudah sampai mana perkembangan esports Wild Rift di kancah lokal sejauh ini. Apa yang sedang dilakukan dan diharapkan oleh organisasi esports lokal terhadap Wild Rift? Apa yang seharusnya Riot Games lakukan terhadap esports Wild Rift nantinya? Mari coba kita bedah satu per satu.

 

Regional Beta, dan Wild Rift Pentaboom (Perkembangan dari sisi game)

Perkembangan game Wild Rift sudah cukup pesat selama kurang lebih 3 bulan perjalanannya. Jumlah Champion terus bertambah secara konsisten. Patch terus menerus digelontorkan guna memperbaiki dan melakukan balancing permainan.

Riot Games juga perlahan merilis Wild Rift di berbagai negara lain pasca regional beta pertama di 7 negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia) Oktober 2020 lalu. Namun selama 3 bulan perkembangannya, sempat ada satu fitur kunci yang diidam-idamkan namun tak kunjung hadir di dalam game. Fitur tersebut adalah Spectator Mode.

Tanpa fitur tersebut, geliat esports Wild Rift di beberapa bulan awal perilisannya jadi sedikit tersendat. Walau sudah bisa membuat custom room, namun komunitas jadi tidak bisa menayangkan pertandingan Wild Rift ke muka publik karena tidak ada Spectator Mode.

Beberapa penyelenggara tetap nekat menyelenggarakan dan menayangkan turnamen Wild Rift. Salah satunya adalah sosok kreator konten bernama Assassin Dave contohnya. Ia tetap menyelenggarakan Wild Rift Asia Brawl walau harus menerima kenyataan bahwa Wild Rift masih belum memiliki Spectator Mode beberapa pekan lalu. Hal tersebut tentu menjadi tantangan teknis tersendiri.

Selain turnamen yang digagas komunitas, turnamen yang digagas oleh Riot Games juga mengalami kesulitan serupa. Wild Rift Pentaboom adalah turnamen tersebut. Wild Rift Pentaboom juga menggunakan metode penayangan serupa, dengan cara cara mewajibkan peserta untuk melakukan stream dari layar smartphone ke internet agar dapat dilihat oleh khalayak ramai. Walaupun tetap bisa menayangkan pertandingan dan menghadirkan sosok-sosok streamer ternama di kancah MOBA, namun turnamen tersebut rasanya tetap kurang lengkap karena jadi kurang sedap ditonton.

Untungnya Riot Games cukup tanggap dengan situasi walaupun prosesnya terbilang cukup lama. Riot Games mengumumkan patch 2.1 pada tanggal 1 Februari 2021 kemarin. Patch tersebut akhirnya menyertakan fitur yang sudah didamba-damba, terutama ekosistem esports lokal secara keseluruhan. Fitur tersebut adalah Spectator Mode. Selain itu, patch tentu juga menyertakan konten-konten yang rutin hadir seperti Champion baru, balancing, juga skin baru.

 

Kondisi Ekosistem Esports Wild Rift di Indonesia Sejauh Ini

Setelah membahas perkembangan game Wild Rift, perkembangan minat tim esports lokal jadi pembahasan berikutnya. Pembahasan tersebut penting karena kehadiran tim ternama juga meningkatkan minat fans untuk menyaksikan pertandingan esports.

Dalam membahas Wild Rift pada konteks lokal, saya merasa ada empat tim yang perlu ditanyakan pendapatnya. Empat tim tersebut adalah EVOS Esports, Bigetron Esports, BOOM Esports, dan Alter Ego. Kenapa tim tersebut saya pilih? Akan saya jelaskan sembari membeberkan jawaban mereka seputar Wild Rift. Sebagai tambahan, saya juga mewawancara perwakilan dari Yamisok sebagai salah satu penyelenggara turnamen pihak ketiga yang sudah mengadakan turnamen Wild Rift pada 2 bulan ke belakang.

Pertama EVOS Esports. Sang macan biru sebenarnya belum terlihat melakukan pergerakan apapun terhadap esports Wild Rift. Belum ada open recruitment apalagi pengumuman roster. Namun para penggemar terlihat sangat mengharapkan EVOS Esports turut terjun ke Wild Rift nantinya. Apalagi setelah roster AOV (Wirraw, Pokka, Carraway, dan kawan-kawan) beberapa kali terlihat main bareng Wild Rift.

Aldean Tegar Gemilang selaku Head of Esports EVOS menjadi narasumber saya untuk menjawab pertanyaan terkait minat tim terhadap Wild Rift. Secara umum, Aldean mengatakan bahwa EVOS Esports masih dalam posisi “wait and see”. Posisi tersebut cukup wajar mengingat ekosistem Wild Rift yang belum terbentuk sempurna. Bahkan game-nya saja masih dalam tahap beta.

Sumber Gambar - YouTube Channel
Aldean Tegar, Head of Esports dari EVOS Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel Jonathan Liandi.

“Jujur kami belum punya rencana untuk masuk skena Wild Rift. Kami cenderung memilih untuk mengamati lebih dulu bagaimana Wild Rift berdampak terhadap perkembangan scene esports di Indonesia. Kalau memang dampaknya besar dan punya ekosistem yang menjanjikan, maka kami akan terjun ke dalamnya.” Aldean mengatakan.

Berhubung penasaran, saya juga bertanya soal kemungkinan roster AOV menjadi ujung tombak Wild Rift EVOS Esports. Apabila spekulasi tersebut benar, maka esports Wild Rift tentu akan jadi lebih seru. Jadi lebih seru karena mengingat prestasi roster AOV milik EVOS yang luar biasa. Aldean pun mengatakan, “kami masih no comment terkait hal tersebut. Jawabannya bisa jadi iya, bisa juga tidak.”

Selanjutnya ada Bigetron Esports. Sang robot merah putih adalah organisasi esports terdepan di skena Wild Rift sejauh ini. Mereka adalah tim pertama yang punya divisi Wild Rift di Indonesia. Roster mereka juga cukup menjanjikan karena menghadirkan sosok mantan pemain profesional League of Legends PC seperti Rully “Nuts” Sutanto sebagai salah satu contohnya.

Thomas Vetra selaku Head of Esports Bigetron adalah narasumber saya untuk menjawab bagaimana perjalanan tim tersebut di skena Wild Rift sejauh ini. “Kami sempat mengikuti turnamen level Asia yang bernama Wild Rift Asia Brawl. Kami mengakui hasilnya memang tergolong kurang maksimal sejauh ini.” Sejauh ini Bigetron Infinity (nama divisi Wild Rift Bigetron Esports) sudah berhasil lolos dari fase grup Wild Rift Asia Brawl dan sedang bertanding di babak Playoff.

Thomas Vetra, Head of Esports Bigetron. Sumber Gambar - Bigetron Esports.
Thomas Vetra, Head of Esports dari Bigetron Esports. Sumber Gambar – Bigetron Esports.

Karena Bigetron Esports cepat sekali mengumumkan divisi Wild Rift, saya jadi bertanya-tanya soal apa yang menjadi kegiatan tim dan juga bagaimana pandangan manajemen terkait keputusan yang dilakukan.

“Kalau soal kegiatan, saat ini para pemain kami wajibkan untuk berlatih di gaming house karena kebanyakan pemain memang merupakan pensiunan generasi terakhir dari esports League of Legends. Kalau soal turnamen, memang cukup sulit mencari ladang tanding tim Wild Rift dari apa yang saya perhatikan sejauh ini. Lalu kalau soal membuat tim saat ekosistemnya belum siap, saya merasa hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kerugian tapi ke arah sebuah investasi. Apalagi saya pribadi juga merasa Wild Rift punya peluang menjadi besar di pasar Asia dan kawasaln lainnya.” Tutur Thomas.

Berikutnya ada BOOM Esports. Tim dengan jargon #HungryBeast ini baru mengmumkan roster Wild Rift. Tidak sekadar mengumumkan roster saja, BOOM Esports cukup niat untuk menyajikan dokumentasi proses seleksi yang dilakukan. Bermodalkan insting Leonard “OMO” yang sudah malang melintang sebagai pelatih League of Legends di Asia, BOOM Esports menyaring 3000 lebih pendaftar sampai menyisakan 5 pemain muda berbakat yang diumumkan tanggal 1 Februari 2021 kemarin.

Untuk mengetahui lebih lanjut soal alasan BOOM Esports melakukan perekrutan divisi Wild Rift secara lebih dini, saya pun bertanya kepada Gary Ongko selaku Founder dan CEO BOOM Esports.

Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar - YouTube Channel HybridIDN.
Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel HybridIDN.

“Alasannya karena kami merasa League of Legends adalah franchise yang punya reputasi baik di kancah esports. Ditambah lagi kami juga melihat bagaimana MOBA di mobile laku keras di Indonesia. Karena hal tersebut kami jadi merasa bahwa Wild Rift punya potensi mencapai kesuksesan serupa bahkan mungkin dengan lingkup negara yang lebih luas.” Ucap Gary Ongko kepada saya.

Gary Ongko lalu juga bercerita soal proses seleksi yang dilakukan oleh BOOM Esports yang prosesnya berlangsung selama kurang lebih sekitar dua bulan.

“Bicara soal perekrutan, untungnya kami dibantu oleh coach OMO yang punya pengetahuan mendalam terhadap League of Legends. Berkat sang pelatih, kami bisa mendapatkan talenta berbakat. Pemain-pemain kami tergolong masih hijau, tapi saya merasa mereka punya potensi. Hasil scrim mereka juga cukup memuaskan dan sang pemain terlihat punya niat belajar tinggi; yang memang penting bagi seorang pemain profesional.” Gary menceritakan soal pemain-pemain terpilih dari 3000 lebih kontestan.

“Lalu kalau bicara soal challenge, salah satu yang sulit adalah mencari orang yang berkualitas di skena LoL. Menurut saya alasannya adalah karena game tersebut tidak sempat berkembang sangat besar di Indonesia. Karenanya jadi sulit mencari orang yang benar-benar expert sampai akhirnya kami memutuskan untuk merekrut OMO (pelatih LoL asal Singapura). Tantangan lain adalah situasi pandemi saat ini. Pada awalnya kami berencana melakukan bootcamp saat seleksi. Tapi karena pandemi, formatnya pun terpaksa kami ubah menjadi online saja.” Gary melanjutkan ceritanya membahas tantangan selama seleksi.

Terakhir ada Alter Ego. Tim ini juga tak kalah penting untuk disorot dibanding dengan tim lainnya. Pasalnya, Alter Ego bersama ONIC Esports baru saja menerima undangan langsung untuk bertanding di turnamen Wild Rift resmi Riot Games yang perdana yaitu Wild Rift SEA Icon Series: Preseason. Undangan tersebut cukup mengejutkan karena Alter Ego belum terlihat memiliki divisi Wild Rift sejauh ini.

Indra Hadiyanto selaku COO dan Co-Founder Alter Ego pun angkat bicara soal roster Wild Rift dan cerita Alter Ego diundang ke dalam turnamen Wild Rift Icon Series saat saya wawancara beberapa hari lalu (04/02).

“Soal kenapa Alter Ego diundang, mungkin organisasi kami ter-notice karena punya prestasi di skena VALORANT yang juga game dari Riot Games. Kalau ditanya kenapa Alter Ego diundang, pihak developer sebenarnya sudah punya kriteria tersendiri, mulai dari segi pemain, rank, dan mereka bahkan juga memberi pertanyaan-pertanyaan kepada manajemen sebelum akhhirnya diudang. Pada saat mengundang, Riot Games juga menjelaskan kepada kami (para pemilik tim) soal roadmap dari game-game mereka.” Tutur Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, COO dan Co-Founder Alter Ego.

Terkait roster, Indra pun menjelaskan. “Alter Ego memang belum melakukan announcement, tetapi kami memiliki roster Wild Rift yang sudah dikontrak sejak Desember 2020. Alasan kenapa belum diumumkan adalah karena kombinasi situasi pandemi COVID-19, gaming house Alter Ego yang sedang direnovasi, dan kondisi pemain Wild Rift kami yang berdomisili di luar Jakarta. Soal siapa roster-nya, kelima pemain kami berasal dari Indonesia yang beberapa merupakan mantan pemain League of Legends (PC). Divisi Wild Rift kami juga bisa dibilang cukup mendominasi skena kompetitif lokal yang ada sejauh ini. Salah satunya adalah turnamen komunitas bertajuk IEC yang berhasil kami menangkan pada beberapa kesempatan.”

Terakhir untuk melengkapi pandangan terhadap kondisi ekosistem Wild Rift Indonesia sejauh ini, saya juga mewawancara perwakilan dari penyelenggara turnamen pihak ketiga. Ada Putri Fauziah selaku Project Manager dari Yamisok, sebuah platform turnamen esports berbasis teknologi. Yamisok sudah rutin mengadakan turnamen walaupun Wild Rift belum bisa ditayangkan pada dua bulan lalu karena belum ada mode spectator.

“Ketidakhadiran mode spectator memang berpengaruh banget bagi komunitas. Karena enggak bisa live, kami jadi enggak bisa ajak para pemain berinteraksi. Padahal sejauh pengalaman saya, game-game baru biasanya ramai penonton apabila di-livestream. Apalagi kalau dilengkapi dengan giveaway sambil memberi unjuk bentuk tayangan pertandingan game baru tersebut kepada komunitas.” Tutur Putri menceritakan pengalamannya.

Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.
Putri Fauziah, Project Manager dari Yamisok.

“Lalu kalau ditanya soal antusiasme komunitas, saya melihat sejauh ini penerimaannya sangat baik. Banyak pemain tertarik untuk mengikuti turnamen. Ketika kami buka slot turnamen, pemain dan tim langsung mengerubungi dan mengisi slot tersebut. Bahkan apablia selang satu bulan saja tidak ada turnamen, maka beberapa pemain akan langsung bertanya-tanya. Soal siapa pesertanya, saya lihat ada beberapa pemain adalah eks-pemain LoL PC yang sekarang main Wild Rift. Mungkin karena turnamen LoL PC yang sudah semakin sedikit sekarang. Jadi sejauh pengamatan saya, Wild Rift memang memberi dampak yang baik kepada ekosistem karena antusiasme pemain dan juga karena menambah variasi game MOBA yang ada untuk dipertandingkan.” Putri melanjutkan ceritanya membahas antusiasme komunitas.

 

Segala Harapan Untuk Wild Rift di Tahun 2021.

Menutup obrolan, lima narasumber saya juga menyatakan beberapa harapan mereka terhadap scene Wild Rift ke depannya di tahun 2021.

“Kalau bicara dalam konteks lokal, saya berharap Riot Games punya strategi yang mantap agar komunitas bisa berkembang dan semoga bisa bersaing dengan MOBA Mobile yang sudah besar di Indonesia. Karena kalau dalam konteks SEA saya sebenarnya cukup yakin bahwa Wild Rift akan menjanjikan.” Aldean Tegar dari EVOS mengatakan.

“Menurut saya Riot Games mungkin bisa memanfaatkan pasar League of Legends dan memberikan turnamen berhadiah besar untuk level Asia terlebih dulu. Tapi di luar itu, saya merasa bahwa Riot Games seharusnya sudah sangat paham mengenai ekosistem esports.” Thomas dari Bigetron Esports mengatakan.

“Gue berharap Riot Games terus konsisten mempromosikan Wild Rift dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang gue berharap Riot Games bisa memberi support dan serius menggarap ekosistem esports Wild Rift. Tetapi berdasarkan apa yang gue lihat dari LoL dan VALORANT, gue cukup yakin Wild Rift juga akan digarap serius. Terakhir harapan gue mungkin adalah semoga Wild Rift tidak dibuat jadi semakin mudah. Kenapa? Supaya bisa membedakan antara pemain profesional dengan pemain casual.” Tutur Gary Ongko.

Worlds 2019
Kehadiran Worlds di skena League of Legends sudah menjadi fenomena tersendiri. Ketika Riot Games menyajikan Wild Rift, tidak heran kalau banyak orang berharap game tersebut juga bisa memiliki turnamen serupa. Sumber Gambar – Riot Games Official.

“Harapan gue mungkin lebih ke arah ekosistem lokal Indonesia. Berharap Indonesia bisa mendominasi kancah internasional Wild Rift nantinya. Apalagi saya juga memperhatikan bahwa Riot Games memberi kesempatan yang sangat besar kepada pemain dari SEA untuk game Wild Rift.” Indra dari Alter Ego menambahkan.

“Kalau dari saya sih, cuma berharap semoga ekosistem Wild Rift bisa berkembang dengan baik, bertahan lama, dan semoga game-nya tetap enteng dimainkan agar tetap bersahabat bagi gamers Indonesia.” Putri juga menambahkan.

League of Legends: Wild Rift sendiri masih berada dalam status beta sampai pada saat artikel ini ditulis. Ketika saya berbincang dengan tim pengembang Wild Rift bulan Oktober 2020 lalu, Brian Feeney selaku Design Director Riot Games juga menceritakan bagaimana membuat mobile games adalah proses yang menantang bagi mereka dan bagaimana pola kerja Riot Games juga cenderung mengutamakan pengembangan game lebih dulu baru menuju ke esports kemudian.

Berhubung game-nya belum bisa dibilang selesai, perkembangan ekosistem Wild Rift malah mungkin tergolong cepat jika berdasarkan dari apa yang kita lihat dari cerita-cerita di atas. Walaupun memang, kebanyakan inisiatifnya justru diumulai oleh pihak-pihak ketiga. Contohnya seperti tim-tim lokal yang sudah berani membuat tim walau Riot Games belum membeberkan rencana esports Wild Rift secara gamblang ataupun para penyelenggara pihak ketiga yang nekat melaksanakan turnamen untuk komunitas walau dengan segala keterbatasan.

Sumber: YouTube Channel League of Legends: Wild Rift
Dari sekitar 3 bulan Wild Rift beredar di pasaran, proses perkembangannya relatif cepat bagi developer dengan pengalaman pengembangan game mobile yang minim seperti Riot Games. Sumber Gambar –  YouTube Channel League of Legends: Wild Rift

Ke depannya, saya selaku pengamat merangkap penggemar sebenarnya punya harapan serupa seperti Gary Ongko; yaitu berharap Wild Rift punya turnamen dunia layaknya LoL dan berharap tim dari Indonesia turut berlaga di sana. Namun dari sudut pandang ekosistem, saya berharap Riot Games bisa belajar dari Tencent dalam mengelola PUBG Mobile.

Pendekatan dengan alur dari komunitas yang bermuara ke arah profesional bisa jadi alasan kenapa PUBG Mobile berhasil mengakar di Indonesia. Sepanjang perkembangannya, kita bisa melihat sendiri bagaimana ekosistem PUBG Mobile tidak hanya memperhatikan sisi kompetisi profesional saja. PUBG Mobile juga memperhatikan ekosistem esports lain yang ada di berbagai level.

Contoh nyatanya adalah kehadiran turnamen seperti PMCO (tingkat komunitas) sampai PMCC (tingkat Universitas) yang disertai dengan aktivitas seperti Caster Hunt dan Campus Ambassador. Karena bagaimanapun, ekosistem esports bukan cuma soal para profesional saja. Komunitas dan berbagai macam elemen di dalamnya juga memiliki fungsi penting sebagai akar yang menjaga agar ekosistem esports di tingkat teratas bisa tetap kokoh dan bertahan lama.

Sumber gambar utama – Official Riot Games

The Reasons Behind Watching Esports and Its Impact on Game Consumption

Lately, the growth of esports has cemented itself as an industry that looks really promising. Newzoo, one of the leading esports and gaming market research companies, predicts that esports will become an industry worth US$ 1.1 billion by 2020. Seeing this, it is not surprising that many people decide to venture into the esports business. In addition, the pandemic situation also boosted the popularity of gaming as everyone spends most of their time in their homes, and outdoor activities are prohibited.

However, we should realize that esports is considered a vertical development of the gaming industry. Although esports is predicted to become an enormous industry, not all gamers follow, understand, or have full knowledge about esports. Therefore, it begs to ask the following questions: why do people watch esports? And if the industry is expected to be incredibly successful, what makes esports so interesting for its many followers? Finally, how effective is esports at becoming a marketing tool for developers?

 

A Brief Discussion on the History of Using Esports Tournaments as a Means of Marketing

Before going to the main discussion, let’s take a step back in time to see the history of competitions in the realm of video games. Even though the esports scene may look very new or young, video game competition is a phenomenon that has been happening since the 1990s. If you want to know more, you can read the following articles discussing the history of esports on the international scale or the history of the development of Counter-Strike esports in Indonesia.

One aspect that distinguishes between today’s esports and the video game competitions in the ’90s is the purpose behind creating those competitions. Back then, video game competitions were held as a marketing tool for game developers and publishers. If you want to know this history from a western cultural perspective, I would advise you to watch the riveting Netflix documentary, High Score.

(Spoiler alert!) The documentary introduces the video game competition ecosystem in the 1990s USA. It started off with Nintendo, a game console company, creating a tournament called the Nintendo World Championship in the United States. Several years later, SEGA, another Japanese game console company, soon followed and created the SEGA World Championship.

Just a few years later, the video gaming competitions have matured into the full-fledged esports scene we see today. However, the essence and purpose of esports as a video game competition has not changed. But, slowly and surely, esports is experiencing a shift in its function. It developed from a simple marketing tool to an independent industry that will change gaming forever. We can see this from Riot Games, which makes esports a pillar of their business.

With these changes, esports is no longer tied to the monopoly of game developers. Today, many parties continue to cultivate the competitive side of gaming so that the esports industry can survive and keep developing. Therefore, in an effort to reach this goal, we must investigate the reasons behind why people watch esports.

Furthermore, what are the answers to the questions mentioned previously? Can esports still be an effective marketing tool? To answer this, let’s move to the next discussion.

 

Reasons Why People Watch Esports

To tackle this topic, we need to take a look at a scientific journal titled Does esports spectating influence game consumption (Tyrväinen, Pirkkalainen, and Hamari 2020). As the title suggests, the journal will give us insights into the correlation between watching esports and the consumption of video games.

More specifically, the journal tries to find out the relationship between the level of esports consumption and the level of in-game content purchases, as well as the relationship between the level of video game consumption and the level of in-game content purchases. Lastly, the journal also discusses the possible reasons why people watch esports.

The scientific journal mentions 9 possible reasons why people consume esports content. These factors were adapted from a theory called the Motivation Scale for Sport Consumption, often used in traditional sports.

Sumber: Official Riot Games
Credits: Official Riot Games

The first possible reason why people watch esports is to witness the highlights and achievements of our favorite team. The second reason is the acquisition of knowledge or our desire to gain information, techniques, and tips from the professional. Another reason is the aesthetic appreciation of the nuances and artistry of a competition.

The fourth reason is witnessing the drama occurring in the dynamic stories and relationships between professionals. People also use esports as an escape or a method to unwind from their routines. Friends and family can also influence someone to follow and watch esports. The study also found a positive association between physical attraction, or the admiration of professionals’ skills, and the desire to watch esports. Spectating and studying pro players’ skills can also be an incentive for many who watch esports. Lastly, people watch esports to benefit their social interactions as it can be an easy way to connect with other like-minded esports spectators.

The research used 222 respondents who were F2P game players. These players are gathered through social media and online forums. The research has succeeded in finding several correlations or positive associations from the indicators used. It found that watching esports is correlated with the desire to play the spectated game. However, the research has failed to find the association between watching esports and the desire to buy digital content from the games you watch. On the other hand, players with a drive to play games are most likely to purchase the games they desire.

Therefore, the research is relatively successful in answering our question at the beginning of the article. Undoubtedly, esports is still quite effective when used as a marketing tool. However, we know that purchasing digital content is not necessarily correlated with esports but rather the intensity or desire for playing games. Therefore, some tweaking will be needed for esports to have an impact on the sales of digital goods in-game (or in-app purchases).

So what makes someone watch esports? The research only found 3 of the 9 factors to have positive associations with esports watching intention. The three factors are the acquisition of knowledge, family and friends, and escape.

As mentioned previously, the acquisition of knowledge means that the audience watches esports to gain some knowledge or information about the game from the professionals. We can then use this newfound knowledge as our new in-game repertoire or share it with our friends.

In terms of the factor of family and friends, the research found that watching esports can be used as a method to strengthen social relationships. This finding is quite interesting because watching esports has either no or negative effects on social interactions, as many people claim. However, the research implies that one of the goals behind watching esports is strengthening existing relationships with people you know (family/friends) rather than making new relationships with new people. The last factor, escape, proposes that watch esports to relax from their daily routine fatigue.

Sumber: DSResearch
Credits: DSResearch

As we have seen from the scientific journal, there are a variety of reasons why people watch esports. Hybrid.co.id together with Dailysocial.id also conducted research related to the 2019 Esports Market Trend 2019. From this research, we found that the 3 biggest reasons people watch esports are for entertainment, supporting their favorite team, or their favorite player. Of the 1,445 participants of the research, 57.2 percent watched esports as a means of entertainment, 43.1 percent admitted to watching esports to support their favorite team, and 42.1 percent watched esports to support their favorite players.

Battlefy, an esports platform based in Canada, also conducted similar research shown in the figure above. 89 percent of the 345 respondents, the largest percentile, claimed to watch esports because they want to improve their gameplay. The second-largest percentile of the correspondents, 83 percent, watch esports as a means to participate (play and compete) in the esports games they spectate. Lastly, as many as 58% of the total respondents admitted to watching esports because they like the surrounding culture and community.

Sumber: Battlefy
Credits: Battlefy

Observing the results above, the reasons people watch esports can be narrowed to three things. First, people watch esports to learn how the professionals play and apply it in their own gameplay. Secondly, people watch esports for leisure and entertainment. Thirdly, watching esports is used to improve social life and interactions

If you are an esports industry practitioner, these three reasons might be things that you ask yourself before planning to make an esports show. Are your esports shows entertaining? Can your esports show be used as a learning tool for other players? Do your esports broadcasts encourage social interactions between the spectators?

I cannot say with full confidence that accommodating these factors is the right recipe for creating a successful esports event. However, at the very least, it can be used as a general guideline to make your esports event much more entertaining for the viewers.

Personally, I feel that one of the factors above accurately described my reasoning for watching esports. Let’s take my example of watching Worlds 2020. Even though League of Legends is not very popular in Indonesia, I still followed the Worlds 2020 event a few months ago simply because some of my friends participate in the League of Legends scene. As part of the FOMO (Fear of Missing Out), I try my best to follow League events. Fortunately, watching Worlds 2020 also helped inspire my work to discuss why South Korean youth are so good at playing League of Legends.

 

The Impact of Watching Esports on Game Consumption

How about the relationship between watching esports and the level of game consumption? To answer this question, we need to observe another study and example, this time from the PUBG Mobile scene.

From the data of the most popular esports broadcast in August 2020, PUBG Mobile ranks first with a record of 1.1 million peak viewers. We also see that the number of PUBG Mobile game players continues to grow as Tencent continues to improve the competitive aspect of the game. Data shows that PUBG Mobile has been downloaded 400 million times with a daily active player count of 50 million people in June 2019.

PUBG Mobile Global Championship
The cohesiveness of PUBG Mobile and its esports allows the game to dominate the market for years.

Of course, this figure alone cannot fully prove that esports broadcasts will attract new players. In fact, it could be argued that most PUBG Mobile esports viewers already played the game beforehand. But even with this argument, esports events can, at the very least, help the game developers keep their player base entertained.

Let’s now try to figure out the correlation of watching esports with the consumption of digital goods in games. Data from research has actually shown that there is indeed a positive association between the two subjects. Returning to PUBG Mobile as an example, we can see how the game has earned over US$3 billion after its 2-year run. Esports may not have an immediate impact on the sales, but it definitely has played a significant role in keeping it popular for years.

As we have seen from the studies previously, there are countless factors that incentivize someone to play games and buy in-game purchases. It is not easy to say how big of a role esports plays in this matter. On the one hand, we can see Ubisoft’s success Rainbow Six: Siege more attractive to players because of esports. But on the other hand, Mihoyo is able to successfully earn US$ 100 million through Genshin Impact without taking any initiatives on esports.

The genre of the game could be yet another additional variable that potentially complicates this discussion even further. In the end, I think it is safe to say that esports can create many opportunities in this modern era. Thanks to the massive technological advancements in the past few years, esports is no longer just a marketing tool but also an independent industry with a lot of potential and room to grow.

The Love-Hate Relationship between Esports Fans and Organizations

The esports industry has developed rapidly in recent years and is estimated to continue to grow in the future. One of the reasons why esports is expected to become a big industry — with a value of nearly US$ 1 billion — is that competitive gaming is believed to be the new form of entertainment in the future. Just like all forms of entertainment, fans also have a crucial role in the world of esports.

For esports organizations, winning tournaments is no longer their only objective. They must also be able to cultivate the loyalty and enthusiasm of their fans. Therefore, it is not a surprise when teams like EVOS Esports and FaZe Clan have exclusive entertainment divisions.

 

What Makes Someone a Fan of an Esports Organization?

Esports is now often juxtaposed with traditional sports, such as football. However, the reason someone chooses their favorite team is different in the world of esports and football. In football, fans will usually decide to support their local team.

When I lived in Jakarta, I often saw The Jakmania parade to Gelora Bung Karno when Persija was competing. When I was living in Yogyakarta, I often saw Slemania. Indeed, PSS Sleman is not considered a top team in the Indonesian League. However, that notion does not stop the people of Sleman from supporting their team.

The esports ecosystem is different from the world of traditional sports, such as football. In esports, almost all professional teams are based and established in Jakarta. Despite this, a large portion of RRQ or EVOS Esports’ fans still come from many regions outside of Jakarta.

Fans RRQ berasal dari berbagai kota. | Sumber: Indosport
RRQ fans come from various cities | Via: Indosport

Interestingly, according to the research on football fans conducted by John Williams, Associate Professor of Sociology at the University of Leicester, it is actually not a guarantee that today’s football fans support their local teams. With the existence of television and the internet, people today can effortlessly observe and find out about any football teams around the world. Williams said people today most likely will support football teams that are considered strong.

In esports, a team’s performance is definitely a factor that is taken into account before someone decides to support that team. The team that often wins in tournaments will usually have a larger following of fans. Apart from strength and performance, another aspect that encourages someone to become a fan of an esports team is the identity or image displayed by that team.

Alex Aune, a Cloud9 fan and moderator of the Cloud9 subreddit, said that he liked the organization because of its humble attitude. He also admires how Jack Etienne, owner of Cloud 9, treats esports athletes under his auspices.

Tim League of Legends Cloud9 pada 2018. | Sumber: The Esports Observer
League of Legends Cloud9 team in 2018 | Via: The Esports Observer

According to OpTic Gaming owner Hector “H3CZ” Rodriguez, the most effective way to attract fans is to create some intimacy between them and the organization. For that reason, he uploads daily videos that introduce his life and family to his viewers. According to Rodriguez, the videos provide an element of familiarity so that the viewers will, ultimately, be willing to support him and his team.

In addition, Rodriguez mentioned that esports organizations could also get fans by recruiting well-known figures to create content such as interviews or live streams. After a successful team builds a fanbase, they can then focus on strengthening their roster.

In Williams’ research, he also found that a person tends to support a team simply because their idol is in that team. For example, a person can be loyal to FC Barcelona because he likes Lionel Messi. In the world of esports, someone can become a fan of RRQ because they admire Muhammad “Lemon” Ikhsan. Moreover, in esports, a fan can easily communicate with their idol through social media.

Unfortunately, the ease of communication offered by social media and the internet can also act as a double-edged sword. On the one hand, professional esports teams can build a fanbase and communicate with them more easily. On the other hand, fans can also use social media to attack or send hate to teams losing teams.

 

The Characteristics of Esports Fans in Indonesia

In Indonesia, RRQ is one of the esports organizations that prioritize tournament wins or victories. As the name implies, RRQ wants to be the “king” of the Indonesian esports scene. This strategy has succeeded in attracting a lot of RRQ fans. Even the CEO of RRQ, Andraline Pauline, or AP, said that RRQ fans in Indonesia are quite loyal. However, there is a price that RRQ must pay in using this approach: they must be able to meet the high expectations of their fans.

“The greatest risk that a large team with a large fanbase has is the high amount of pressure set on their shoulders,” said AP. “If we do not perform well, the fans will never hesitate to criticize us. But, of course, all fans will always want their favorite team to win.”

The CEO of BOOM Esports, Gary Ongko, expressed a similar notion: esports fans in Indonesia are very loyal. “Mobile Legends fans are usually die-hard RRQ fans, similar to Dota 2 fans and BOOM Esports,” he said to Hybrid.co.id. “The same trend also occurs between Free Fire fans and Aura. The team will always have a large following of fans regardless if they win or lose in tournaments.

Furthermore, Gary revealed, “There are also fans who are loyal to players, like traditional sports. An example of such players is InYourDream. Another example is Khezcute; his fans will always support the organization he is playing in. If Khezcute decides to move to EVOS tomorrow, his fans will undoubtedly start supporting the EVOS organization.”

Alfi Syahrin Nelphyana alias Khezcute. | Sumber: Liquipedia
Alfi Syahrin Nelphyana A.K.A Khezcute. | Via: Liquipedia

However, Gary did not deny that there are also bandwagons in the esports ecosystem. These are individuals who only support a team when it is winning tournaments or is performing tremendously well. “Just like in traditional sports, when you win, people will support your team, or at least pretend to,” Gary said jokingly.

Despite their loyalty, Indonesian esports fans are quite demanding, according to Gary. When a team loses, it is not uncommon for fans to be critical of the team and feel like ‘they knew better’. However, Gary feels that this is not something too bizarre, considering the same phenomenon happens in the world of traditional sports. “When the team loses, their fans frequently pretend to be the team manager. However, they have to understand and realize that everyone in the organization always gives their best. These tournaments are consistently filled with competent and skillful teams. The difference between winning and losing is always incredibly slim,” he mentioned.

Furthermore, if a team chokes or loses in an expected win situation, their fans might also attack, send hate and flame them. Gary said that BOOM gets these threats quite often, especially when they are underperforming.

Gary explained that the players were asked to filter the messages and threats coming from these netizens. “It is very normal to have haters if you are successful. If you don’t have any haters, you are simply not yet successful.”

He added that the BOOM organization also reminds the players that they are very proud of their achievements. “We, the management, your family, and your friends, are 100% proud of you. You don’t have to listen to the haters out there.” Lastly, he revealed, the players would always be reminded that “Netizens are just netizens.”

Gary admitted that he didn’t really care about these sorts of threats. Unfortunately, threats and hate are commonplace in both sports and esports.

 

Case Example: T1

T1, an esports organization from South Korea, recently received some harassment from their fans. The reason behind this harassment is their failure to enter the League of Legends World Championship. Many fans see this failure to reach Worlds 2020 as a choke because they recently won the League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2020 tournament. They also have one of the best League of Legends players of all time, Lee “Faker” Sang-hyeok. T1 has also accumulated the most wins at Worlds, three to be exact. It is safe to say that T1 is not a team you expect to be absent from Worlds.

Tim League of Legends dari T1. | Sumber: InvenGlobal
T1’s League of Legends team. | Via: InvenGlobal

However, a good marksman may still miss; nobody is truly perfect. T1 lost to Afreeca Freecs in the LCK Summer Playoff in early September 2020, which means that they have to win the Regional Qualifiers to get a slot in Worlds 2020. Unfortunately, they fell short in their battle against Gen.G. As a result, T1 failed to participate in Worlds 2020.

According to Dexerto’s report, many of the fans’ protests started in August 2020 because T1 benched Faker. Unfortunately, T1’s defeat at the Regional Qualifiers further enrages the fans. Some of them vented their anger and disappointment by sending threats to the T1 staff and players. As an attempt to contain this problem, the organization decides to discuss this issue on Twitter.

“T1 does not tolerate harassment of any form between players, coaches, employees, League officials or fans. We value our community’s fandom and acknowledge that criticism comes with the territory of professional gaming,” T1 CEO Joe Marsh wrote on Twitter. “However, recent incidents have threatened our team’s health and safety – overstepping the lines of fandom with violent threats and hate speech”

Furthermore, Marsh revealed that they are willing to take legal action if the fans continue to attack the T1 team and staff, “The health and safety of our players remain our top priority,” said Marsh. “There’s no place for hate in esports.”

 

How Can Fans Become So Loyal To Their Favorite Team?

Whether we realize it or not, the definition of our identity is usually tied to several external factors, such as nationality, ethnicity and gender. Interestingly, according to various studies, the status of being a fan of a particular team can be part of a person’s identity. Daniel Wann, Professor of Psychology, Murray State University explained, fans of a sports team usually feel that they have some psychological attachment to their favorite team. Not only that, they sometimes believe that a team’s performance is self-relevant.

“People are tying up a lot of who they are in their identity as fans of X-team,” says Edward Hirt, Associate Professor of Psychological and Brain Sciences, Indiana University-Bloomington, quoted from Psychological Science. “A huge part of who they are, where they derive a lot of their positive and negative affect, is from what their team is doing.” Therefore, it is not a surprise that people have a tendency to support stronger teams.

However, all teams will eventually lose, no matter how strong they may seem. This fact applies in both the world of esports and traditional spots. I have frequently seen many championship teams lose in the finals or semifinals. But the real question that needs to be answered is how the fans can stay loyal even if their favorite team loses?

Para fans sepak bola di Indonesia. | Sumber: Kompas
Football fans in Indonesia | Via: Kompas

Based on the research Wann conducted, a person wants to be a fan because they want to get affiliated with their favorite team. When someone supports a local sports team, they can meet and socialize with other like-minded fans, which will benefit psychological health.

Wann also conducted various studies to determine the correlation between a person’s pride as a fan and their mental health. He found that people are less likely to feel lonely if they take pride as fans of their favorite team.

Moreover, the pride that someone takes in being a fan also affects their self-confidence. According to the study published in the Journal of Personality and Social Psychology in the early 1990s, a person can see the success of his favorite team as personal success, if their identity is closely tied to his status as a fan.

Meanwhile, Robert J. Fisher, Professor of Marketing at the University of Western Ontario, explained that personal identity is correlated with our self-perception. Given that the status as a fan also affects one’s identity, pride as a fan will also affect how someone views themselves. Moreover, supporting a sports team can also be a way for someone to showcase their identity.

“We’re always trying to find people or organizations that can reflect our identity or personality,” Fisher said. “We want people to see us as someone capable of making smart decisions and be proud of them.”

Therefore, it is not surprising to see football fans boasting about their team’s achievements. They do this to boost their confidence and pride towards the team. However, what happens if their favorite team loses?

Interestingly, sports team fans also have their own methods of remaining loyal and coping with defeats if their team is underperforming. For one, fans like to blame external or uncontrollable factors such as referees. Fans will also boast past achievements of their favorite team and neglect the current losses. However, some fans might also turn their backs against their favorite team and support the winning teams.

 

Conclusion

There is a saying that goes: there is a thin line between love and hate. Indeed, scientifically speaking, both love and hate emotions trigger the same part of the human brain, namely the insula and putamen. Consequently, love can effortlessly turn into hate and vice versa.

The love of a fan is undoubtedly different from romantic love. However, it cannot be denied that a fan’s passion for their favorite team is a very intense emotion. Therefore, just as romantic love can turn into hatred, so can fans’ love for their team.

Source: theScore esportsPsychological Science. Feat image: Riot Games. This article is translated by Ananto Joyoadikusumo.

Akankah Sim Racing Tetap Populer di 2021?

Tidak semua penggemar sepak bola mengikuti jalannya turnamen basket. Begitu juga sebaliknya, tidak semua fans basket akan menonton Liga Inggris atau Liga Champions. Di esports, setiap game esports juga punya fans sendiri-sendiri. Sebagian orang senang menonton PUBG Mobile, sementara sebagian yang lain lebih memilih untuk menonotn Dota 2.

Jika dibandingkan dengan game-game esports populer, sim racing layaknya anak tiri. Namun, pandemi virus corona pada 2020 menjadi ibu peri yang membuat sim racing menjadi lebih populer. Pandemi memaksa banyak negara untuk menetapkan lockdown, membuat banyak kompetisi balapan harus dibatalkan. Alhasil, Formula 1 dan NASCAR memutuskan untuk mengadakan balapan virtual. Tak hanya itu, ada banyak balapan lain yang akhirnya mengikuti jejak Formula 1 dan NASCAR untuk mengadakan kompetisi sim racing.

Semua ini membuat ekosistem sim racing tumbuh pesat. Namun, pada 2021, dunia mulai pulih dari pandemi COVID-19. Perlahan tapi pasti, keadaan mulai kembali ke kondisi sebelum pandemi. Kompetisi balapan pun kembali diadakan. Pertanyaannya, apakah ekosistem sim racing akan tetap bisa tumbuh?

 

Sim Racing Jadi Semakin Populer di 2020, Apa Iya?

Hampir semua pertandingan esports disiarkan melalui channel digital, seperti YouTube, Facebook, dan Twitch. Untuk mengukur popularitas sebuah game esports, metrik yang biasa digunakan beragam, mulai dari Average Minute Audience (AMA) sama Hours Watched (HW). Namun, pada 2020, ada beberapa kompetisi esports yang ditayangkan di TV untuk menggantikan siaran olahraga, termasuk kompetisi balapan virtual, seperti eNASCAR.

Saat disiarkan di FOX Sports, eNASCAR ditonton oleh 910 ribu orang. Memang, jika dibandingkan dengan jumlah penonton NASCAR — yang mencapai 3 juta orang — angka penonton balapan virtual itu masih kalah banyak. Meskipun begitu, jumlah penonton eNASCAR di FOX Sports tetap lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah penonton dari kompetisi balapan virtual biasanya, yang hanya mencapai 400 ribu orang.

“Kami mulai sadar bahwa balapan virtual bisa menjadi pengganti dari balapan NASCAR,” kata Brad Zager, Head of Productions and Operations, Fox Sports, seperti dikutip dari New York Times.

Kompetisi eNASCAR bukan satu-satunya balapan virtual yang disiarkan di TV, begitu juga dengan Formula 1. Virtual Bahrain Grand Prix, kompetisi sim racing pengganti Formula 1 pertama, mendapatkan 4 juta penonton di TV dan channel digital. Lagi, angka ini memang lebih rendah dari jumlah rata-rata penonton F1, yang mencapai 34 juta, tapi tetap lebih tinggi dari jumlah rata-rata penonton balapan virtual profesional, yang hanya mencapai 1,8 juta orang.

Virtual Bahrain Grand Prix. | Sumber: Dexerto
Virtual Bahrain Grand Prix. | Sumber: Dexerto

Sementara itu, Julian Tan, Head of Digital Business Initiatives and Esports, Formula 1, mengungkap, pada 2020, F1 Esports mendadak mendapatkan banyak eksposur. “Tingkat engagement di channel digital kami memecahkan rekor baru ketika kami kembali dari balapan secara live di Austria,” ujarnya. “Konten turnamen esports resmi kami juga memecahkan rekor baru.”

Melihat jumlah penonton eNASCAR dan Formula 1, terlihat jelas bahwa ada peningkatan signifikan selama pandemi. Tak hanya jumlah penonton, total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi balapan virtual juga menunjukkan tren naik. Pada 2018, hadiah yang ditawarkan oleh Formula 1 Esports Series hanyalah US$200 ribu. Angka ini naik menjadi US$500 ribu pada 2019 dan melonjak ke US$750 ribu pada 2020. Sementara itu, total hadiah dari eNASCAR Coca-Cola iRacing Series, yang diadakan pada 2020, mencapai US$300 ribu, tiga kali lipat dari total hadiah eNASCAR PEAK Antifreeze iRacing Series yang digelar pada 2019.

Berbanding lurus dengan total hadiah yang naik, viewership dari eNASCAR juga naik. Berdasarkan data dari Escharts, total hours watched dari eNASCAR pada 2019 mencapai 75 ribu jam, sementara air time dari kompetisi itu adalah 39 jam. Pada 2020, kompetisi eNASCAR memiliki air time 42 jam dan mendapatkan total hours watched hingga 220 ribu jam. Tak hanya itu, jumlah penonton rata-rata dari eNASCAR juga naik drastis. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata eNASCAR hanya mencapai 1,9 ribu orang. Angka ini naik menjadi 5,2 ribu orang pada 2020.

Data eNASCAR Coca-Cola iRacing Series 2020. | Sumber: Escharts
Data eNASCAR Coca-Cola iRacing Series 2020. | Sumber: Escharts

Motorsport Games, perusahaan di balik franchise game NASCAR Heat, juga diuntungkan oleh pandemi. Sepanjang 2020, mereka mengadakan lebih dari 50 kompetisi balapan virtual dengan total jumlah penonton mencapai 51 juta orang. Sebagai perbandingan, satu tahun sebelumnya, total jumlah penonton dari berbagai balapan virtual yang diadakan oleh Motorsport Games hanya mencapai 3,8 juta orang. Hal itu berarti, jumlah penonton pada 2020 naik hingga lebih dari 13 kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari semua balapan virtual yang diadakan oleh Motorsport Games, kompetisi sim racing yang paling sukses adalah Virtual Le Mans. Balapan adu endurance yang diadakan selama 24 jam itu berhasil menarik 14 juta penonton.

“Pada 2021, kami berencana untuk merilis beberapa game baru dan menjajaki platform game baru,” kata CEO Motorsport Games, Dmitry Kozko, menurut laporan Motorsport. “Fokus kami saat ini adalah untuk membawa NASCAR ke Nintendo Switch. Kami tidak sabar untuk melakukan hal itu karena demografi pemain Switch yang lebih muda.”

 

Interaksi di Media Sosial

Jumlah penonton TV memang bisa menjadi validasi bagi kompetisi sim racing atau pertandingan esports lainnya. Namun, jangkauan esports tak terbatas pada siaran di TV. Platform streaming dan media sosial justru menjadi home turf dari kompetisi esportsAnthony Gardner, President, iRacing.com Motorsport Simulation mengungkap, ketika adu balap virtual disiarkan di YouTube, Facebook, dan Twitch secara live, jumlah penonton bisa mencapai 400 ribu. Dan berbeda dengan TV yang menawarkan interaksi satu arah, channel digital memungkinkan para penonton untuk berinteraksi langsung dengan sebuah brand atau bahkan dengan satu sama lain.

“Interaksi di media sosial bisa mencapai jutaan dalam satu balapan,” kata Gardner. Selain berinteraksi dengan penonton, sebuah brand juga bisa menggunakan media sosial untuk mendapatkan data dari para penonton. Tak hanya itu, umur rata-rata penonton sim racing juga lebih muda dari fans NASCAR.

“Sangat sulit untuk bisa menjangkau penonton di umur 18-35 tahun,” kata Patrick Daugherty, yang bertanggung jawab atas sponsorship di Valvoline. penyedia oli dan layanan otomotif. Dia bercerita, sebelum pandemi merebak, Vavoline memutuskan untuk bekerja sama dengan Parker Kligerman, pembalap NASCAR yang juga punya tim esports balapan. Terkait kerja sama ini, Daughterty berujar, “Mereka berhasil mendapatkan jumlah penonton dan engagement yang melebihi perkiraan kami. Kami akan melanjutkan kerja sama dengan mereka.”

 

Potensi Sim Racing di 2021

Pandemi pada 2020 membuka jalan bagai komunitas sim racing untuk tumbuh. Kozko dari Motorsport Games percaya, ke depan, ekosistem sim racing masih akan tumbuh. Pasalnya, game balapan adalah salah satu tipe game yang bisa dimainkan bersama keluarga. “Berbeda dengan game balapan, Anda belum tentu bisa memainkan game tembak-tembakan bersama dengan kakek-nenek serta sepupu atau keponakan Anda,” kata Kozko. “Karena itu, kami percaya, ke depan, sim racing akan semakin digemari.”

Sementara itu, di Indonesia, ekosistem sim racing juga masih akan tumbuh. Setidaknya, begitulah menurut Andika Rama Maulana, kapten dari tim Legion of Racing dan pemenang dari Race for Frontliners, kompetisi sim racing di Filipina yang diadakan pada 2020.

“Menurut penerawanganku,” kata pria yang akrab dengan panggilan Rama ini saat dihubungi oleh Hybrid.co.id, “Yang main sim racing itu sebenarnya sudah cukup banyak, walau jangan dibandingkan dengan pemain mobile game. Sejak pandemi, di luar negeri tuh mulai gencar banget, mengadakan siaran live balapan mereka. Belum lagi balapan sebenarnya yang on hold karena pandemi. Jadi, mulai banyak kan tuh event balap beneran yang dibuat edisi sim racing-nya, macam F1 Virtual GP, iRacing Supercars, Virtual LeMans, dan lain-lain.”

Rama menjelaskan, pertumbuhan industri sim racing di tingkat global membuat ekosistem balapan virtual di Indonesia menggeliat. “Kita juga kena imbas positifnya. Mulai banyak lomba sim racing di sini. Contohnya, yang paling besar adalah Balap di Rumah, terus ada Reli di Rumah, dan ada juga kejuaraan nasional IDMC,” ujarnya. “Belum event-event komunitas, yang mulai ramai dan mulai di-livestreaming juga.”

Hal serupa diungkapkan oleh Indra Feriyanto, pemilik dari Alien Needs yang menjual simulator rig. “Animo dari digital motorsport memang bagus. Dan pengurus baru Ikatan Motor Indonesia (IMI) juga sangat mendukung digital motorsport, jadi perkembangannya justru akan semakin bagus,” ujarnya.

Salah satu kompetisi sim racing yang diselenggarakan oleh IMI pada tahun ini adalah Indonesia Digital Motorsport Championship (IDMC) 2020. Kejuaraan nasional yang memperebutkan Piala Ketua MPR RI itu mulai diselenggarakan pada 27 Desember 2020. Sementara test race dari putaran kedua IDMC 2020 akan diadakan pada Sabtu, 30 Januari 2021. Selain IMI, Indra percaya, komunitas digital motorsport juga akan membuat berbagai kompetisi balap virtual pada tahun ini.

Hadiah IDMC 2020. | Sumber: IMI
Hadiah IDMC 2020. | Sumber: IMI

Seiring dengan bertambahnya jumlah balapan virtual, Rama mengungkap, semakin bertambah pula jumlah penonton dan sim racers. “Nah, para sim racers, yang tadinya nggak punya lahan unjuk gigi, mulai pada bermunculan,” katanya. “Efeknya adalah banyak bibit-bibit baru muncul, mulai dari yang memang benar-benar baru atau yang memang ternyata sudah jago dari lahir. Secara nggak langsung, komunitasnya juga semakin besar. Komunitas semakin besar berarti persaingan semakin ketat, karena yang jago semakin banyak.”

Terkait hadiah yang ditawarkan pada setiap balapan, Rama mengaku tidak terlalu memedulikan masalah itu. Pasalnya, dia sadar, industri sim racing tidak sebesar ekosistem game esports lainnya. Kabar baiknya, pertumbuhan sim racing yang sangat pesat di tingkat internasional membuat sejumlah pihak tertarik untuk menjadi sponsor di dunia sim racing.

“Jadi, sekarang, kalau ada turnamen-turnamen begitu, hadiahnya sudah ada,” kata Rama. “Harapannya, pertumbuhan industri sim racing ini akan bisa buat industrinya menjadi semakin besar atau semakin meriah di masa depan.” Dia optimistis, di masa depan, industri esports balapan masih akan tumbuh. Salah satu alasannya, karena sim racing sangat mudah dimengerti.

“Sebenarnya sim racing atau balapan itu kan hal yang gampaaaaang banget untuk dimengerti,” ujar Rama. “Ibaratnya, kalau nonton Dota 2 atau Mobile Legends, yang nonton setidaknya harus mengerti dulu sama game-nya, hero-nya siapa saja, dan lain-lain. Kalau balapan, asal ada susul-susulan, para penonton bisa mengerti, ‘Wih, disalip nih!'”

Ketika ditanya tentang target pribadi yang hendak dia capai pada tahun nii, Rama menjawab, “Target saya sih, mencoba realistis dan semaksimal saya. Kalau saya ikut lomba, saya coba yang terbaik dulu.” Dia menyebutkan, tahun ini, ada banyak lomba balap virtual yang hendak dia ikuti. “Mulai dari yang lokalan, sampai yang lawannya bule-bule,” katanya sambil tertawa.

 

Kesimpulan

Dalam bahasa Inggris, terdapat pepatah, “Necessity is the mother of invention.” Pandemi pada 2020 memaksa berbagai kompetisi balapan untuk mengadakan kompetisi sim racing sebagai ganti dari balapan yang sebenarnya. Sementara ketiadaan siaran olahraga membuat sejumlah stasiun TV beralih ke konten esports. Dan ternyata, siaran sim racing cukup diminati. Jadi, tidak heran jika kompetisi sim racing tetap diadakan pada tahun ini.

Pada 26 Januari 2021, NASCAR mengumumkan bahwa bersama iRacing, mereka akan kembali mengadakan eNASCAR iRacing Pro Invitational. Mereka menyebutkan, balapan virtual ini akan menjadi pelengkap dari kompetisi balapan NASCAR di dunia nyata. Tak hanya itu, FOX Sport juga akan kembali menyiarkan balapan virtual tersebut. Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa momentum pertumbuhan sim racing masih akan berlanjut pada 2021.

Sumber header: iRacing

The Intertwined Fate Between the Esports and Football Organization

There is a saying that goes: if you can’t beat them, join them. This statement best describes what is currently happening with football clubs and the esports scene. Esports has become an enormous and legitimate industry, far different than what it was a long time ago. Capitalizing on this immense growth, football clubs have begun to enter the world of esports through various methods such as recruiting professional players, working with esports organizations, or even creating their own esports division. This phenomenon is also occurring in Indonesia today.

 

Which football clubs have explored esports?

According to The Esports Observer‘s report, the first-ever football club to dive into the world of esports is Turkey’s Besiktas Istanbul. They created the Besiktas e-Sports Club in January 2015. Unfortunately, the Besiktas esports division did not last very long and got disbanded just a year later. This tragedy, however, does not discourage other football clubs from trying to enter the world of esports.

Since then, many football clubs have attempted to enter the world of esports, each with their own unique approach. For example, VFL Wolfsburg – a football club that competes in the Bundesliga, Germany – chose to partner up with FIFA player Benedikt “Salz0r” Saltzer in 2015. Wolfsburg is not the only football club to have opted for this approach. In May 2016, West Ham United also teamed up with Sean “Dragonn” Allen. In the same year, Manchester City also partnered with professional FIFA player Kieran “Kez” Brown.


Most football clubs in Indonesia also adopted this approach. We can take PERSIJA or other clubs playing in the Indonesia Football e-League (IFeL), the virtual version of Liga 1, as an example. Moreover, most of the players recruited by these clubs have succeeded in making achievements in the PES esports scene, such as Rizal “Ivander” Danyarta, representing PERSIJA, Rizky Faidan, representing PSS Sleman, or LuckyMaarif representing PERSIK Kediri.

Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Bola
Rizky Faidan managed to qualify for the 2019 PES World Finals. | Source: Liga1PES

Another approach that football clubs usually take when they want to enter the esports world is to partner with an esports organization. If you are going to jump into a new industry that you haven’t explored, it’s easier to work with organizations or entities who are already experienced. Simply put, you won’t have to go through the trouble of building the whole infrastructure from the ground up. Therefore, this approach is much more strategic than the previous one (recruiting or partnering with a single esports player).

The first football club to use this strategy is Santos FC. In August 2015, the Brazilian club collaborated with Dexterity Team, which has rosters in League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, and Heroes of the Storm. The following year, Clube do Remo, also from Brazil, partnered up with Brave e-Sports. They have rosters in Hearthstone, Heroes of the Storm, and SMITE.

A couple of months ago, in November 2020, AC Milan announced their collaboration with the local esports team Qlash. Juventus also partnered with Astralis – one of the most acknowledged teams in all of CS: GO – to represent them in the eFootball PES league 2019/2020 season.

There are also football clubs that choose to form their own esports division, such as Arsenal. However, they do not manage their own esports division. Instead, Arsenal delegated the management of their esports division to the Esports Gaming League. Therefore, responsibilities such as talent searches, interviews, and signing player contracts are all accomplished by a separate entity.

Interestingly, the participation of these clubs in the esports industry is not limited to virtual football leagues. Several football clubs create teams which compete in other esports games besides FIFA and PES. An example of this is Schalke 04. The German team bought the European League of Legends team, Elements, in 2016. Until now (2020), the Schalke esports team is still competing in the League of Legends European Championship. At LEC Summer 2020, they managed to win fifth place and prize money of US$14,802.

Schalke 04 punya tim League of Legends.
Schalke 04’s League of Legend team.

Another example is Paris Saint-Germain. Currently, they have teams that compete in three esports games: Dota 2, League of Legends, and Brawl Stars. Previously, PSG had also tried to enter Mobile Legends by collaborating with RRQ. Unfortunately, this collaboration only lasted about a year and a half.

 

Why are football clubs interested in getting into esports?

Previously, Hybrid had discussed the importance of player regeneration in the world of esports. Similarly, in the world of football, the regeneration of players and fans is also equally important. The average age of a Premier League fan is 42 years old, according to marketing company CSM Sport & Entertainment. As a comparison, based on the research conducted by Paper Money Grading in 2018, the average age of an esports viewer is 26 years old. Therefore, for these football clubs, attracting the younger generation of viewers can be the primary motive to enter the esports world.

“The average age for a Premier League fan is 42 and rising, and no doubt is higher than 42 within developed fan markets like in the UK. This ageing fan base begs two questions to football clubs: How do the clubs ensure their longevity and remain relevant to the next generation of sports fans? And how do they ensure to keep the sponsors interested in their clubs?” Said Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell in the ESI Digital Summer, as quoted from Insider Sport. “Esports can provide the perfect channel for this. It’s a way that clubs can attract a younger audience to their core operations, i.e football, and it can help clubs to safeguard their future popularity and therefore their future profitability.”

The same notion was expressed by the Chairman of the European Club Association and Chairman of Juventus, Andrea Agnelli. Last year, he advised the football industry to be ready to compete with the gaming industry in capturing the interests of potential fans.

“Now, the habits of the fans are starting to change,” said Agnelli, from an article by Goal. We’re looking at ‘Generation Z’, the new digital natives who are turning into adulthood. We have to look at what is the behaviour of ‘Generation Z’. We should seriously start to think that the competitors are not clubs next door but League of Legends, e-sports, Fortnite. I think those are going to be the ones who are going to be our competitors going forward.

 

VIEWERS

Viewers and fans are not the only driving factor in entering the world of esports for football clubs. According to Gallagher-Powell, esports could be a major source of income for football clubs in the future. He realized that the franchise fees in large esports leagues are now in the price range of US$ 10-50 million, similar to the European soccer leagues around 20 years ago.

In 2018, slots in the League of Legends European Championship were valued at US$13 million. In the same year, Activision Blizzard set the price of the Overwatch League slot at US$20 million for the first 12 teams. They then offer an extra slot valued at around US$ 30-60 million.

Furthermore, football clubs can also use esports as a marketing tool, as suggested by Esports Insider’s Co-founder and Managing Director, Sam Cooke. In September 2019, Manchester City announced its partnership with the FaZe Clan. Through this collaboration, the two of them will make limited edition co-branded merchandise. Moreover, Manchester City will also have professional players representing them in Faze Clan’s FIFA matches, in the hopes of marketing their brand.

However, sports games like FIFA and PES are still less popular than MOBA and FPS games, such as Dota 2 or CS: GO. According to Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, the three most popular esports games right now are League of Legends, CS: GO, and Dota 2. In 2019, the total watched hours of the three games on Youtube and Twitch combined reached 845 million hours. As a comparison, FIFA 19’s total watched hours only reached 8 million hours, and FIFA 20 only reached 3 million hours.

“Fifa is a good game, many people play the game, but no hardcore esports fan will tell you, ‘I’ve been watching Fifa for years’,” said Carlos Rodriguez, the founder of G2 Esports, quoted from Financial Time.

The same idea was expressed by Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Indeed, being active in the FIFA and PES esports scene is not bad at all, as it may provide extra exposure to sponsors. However, the number of viewers of football esports games will never reach the heights of MOBA and FPS games.

Therefore, football clubs that wish to reach a much larger audience must explore the esports scene of more popular games, such as League of Legends and CS: GO. Several football clubs already took up this approach, such as Schalke 04, PSG, and FC Copenhagen. An example of a football team from Indonesia that has taken this approach is Bali United (IOG Esports); they have rosters in Free Fire and Mobile Legends.

“This route is naturally higher risk, but potential benefits are considerably greater,” said Gallagher-Powell. “The non-football or non-sports titles are the most-watched and most followed with fan numbers that dwarf that of FIFA or Rocket League. If a club wants to attract a large number of new fans, naturally, they’re better off using games with the largest followings.”

Substantial operating costs are also one of the obstacles that must be faced by football clubs if they want to create an esports team from a popular game. When a team wants to enter an esports league with a franchise system – as Schalke 04 does – they have to pay a considerable fee. Not only that, the salaries of esports players from League of Legends, Dota 2, or CS: GO are also significantly more expensive than FIFA or PES players. As an illustration, the salary of a high-end League of Legends player can fund an entire FIFA esports team, according to Gallagher.

 

How about Indonesia?

In Indonesia, football clubs and professional esports players are brought together in the Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL said, “the initial motive of creating the IFeL was our envy of neighbouring countries having their own virtual version of League 1. We want to create something similar to that. As a matter of fact, there are currently many Indonesian players in Thailand’s League 1. As proof, the top 5 teams in the League mostly consist of Indonesian players.”

Putra admitted that he was initially surprised by this phenomenon. He eventually realized that the football fanbase in Indonesia is not only massive but also very enthusiastic. He, and many others, even consider the football fans in Indonesia to be ‘fanatical’. From there, he then took the initiative to invite League 1 clubs to participate in IFeL. “The results and responses we received were beyond our expectations,” he said. “The number of viewers is quite massive, even far exceeding neighbouring leagues.”

Both football teams and professional players, of course, have their own separate fanbase. Putra revealed that IFeL’s viewers are a combination of the two fanbases. He also believes that the football and esports leagues can go hand in hand without any interferences, such as fighting over viewership or audiences. “The esports competition is usually conducted in the pre-event,” said Putra. “For example, if the soccer game commences at 7 pm, we’ll have an esports match at 5.”

Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.
Football fans in Indonesia tend to be fanatical.

According to Putra, cooperation between the football team and professional players can be considered as a mutualistic relationship. The esports industry, especially the virtual soccer scene, will benefit from the increasing amount of entities participating in the development of the industry.

“With the increasing number of football clubs entering the esports world, we hope that PSSI will finally recognize this industry,” he said. “In my opinion, this will become a massive leap for the virtual football industry as our country still extensively lags behind many neighbouring countries in terms of the development of the industry.”

The involvement of football clubs in the esports industry can benefit many players in the industry, said Rizki Darmawan, CEO and Founder of IVPL. That advantage is emotional bonding. The primary reason people watch football esports content is to get some knowledge of the game or support the content creator. They are actually less interested in the esports content of football itself.

The case is very different from football club fans, said Rizki. They usually have strong emotional ties to the club, so they will remain loyal and support their favourite team, regardless if that team wins or loses. Hopefully, this loyalty will translate towards the virtual football game if their respective favourite clubs decide to collaborate. For this reason, IVPL plans to collaborate with Liga 2 teams.

“We want to tap into League 2 to create emotional bonds. Football fans always stay loyal to their team even if they underperformed. We want to take advantage of this relationship between fans and their clubs to create something different,” said Rizki. He compared the emotional bond between a football club fan and a celebrity’s fan. “Fans of a particular celebrity always want to know what he or she is doing. That’s the exact formula we are going to use.”

The one aspect that distinguishes IFeL and IVPL is that IFeL focuses on 1v1 matches in PES, while IVPL focuses on 11v11 competitions in FIFA. Rizki revealed that his long-term goal is to create a virtual football national team.

There are plenty of benefits that football clubs can obtain if they enter the esports scene. Rizki revealed, “They will get new fans, new sources of income, and sell new merchandise.” He added that managing a virtual league is also much less demanding than a football league. For example, tournaments can be held online and watched from home. “You don’t have to go through the trouble of renting out a venue for the tournament, saving a tremendous amount of costs. You essentially only have to focus on managing the tournament itself,” he said.

Similar to Rizki’s views, Putra also said that getting into esports would allow the clubs to expand their market and reach out to the millennial or younger generation. “If they can make good use of this, esports can be a very profitable prospect for football clubs,” he said. “Unfortunately, not many football clubs in Indonesia understand the esports business model just yet.”

Putra further explained that the newly made football club esports teams will have no trouble participating in esports matches. “This can be a good source of income for the club,” he said. “It will also not be difficult for them to get sponsorship simply because their brands are already big and established.” He added that the club can also make a profit from selling or loaning their players.
Of course, there are still many clubs out there that are ignorant of the whole esports scene. However, Putra felt this problem could be resolved by opening the minds of football teams about the esports industry. “They are ignorant simply because they are not yet familiar with the esports business system. However, with the existence of IFeL, we can already see that several clubs have finally dive into the industry and open their own teams, such as PERSITA,” said Putra.

 

Conclusion

There are several reasons why football can be one of the most popular sports in the world. Firstly, the game itself is simple and easy to understand. Playing football also does not require any special equipment that is difficult to set up, such as a PC. All you need is the ball, ample space for the field, and of course, some friends to play together. However, these days, it is not really easy to obtain those things. On the flip side, everyone today pretty much has smartphones. Not only that, many games can be played for free. So don’t be surprised if some people prefer to play games over football.

However, football and esports leagues don’t have to fight for fans and viewership. Instead, the two of them can stand side by side and work together. We can see this partnership during the coronavirus pandemic where various football leagues were converted into virtual football matches, such as leagues in Singapore and Malaysia.

The collaboration between football clubs and esports players has also proven to be beneficial for both parties. So instead of trying to take over each other’s viewership like some zero-sum game, the esports and football industry should cooperate, support, strengthen each other, and use this opportunity to grow together.

This article is translated by Ananto Joyoadikusumo. Feat image: eFootball PES 2021 Season Update.

Polemik Seputar Kecanduan Game: Bias Substansi dan Solusi

Video game sering disebut sebagai sumber dari berbagai masalah, mulai dari membuat para murid malas belajar, para pria mengacuhkan kekasihnya, sampai penembakan massal di sekolah di Amerika Serikat. Tak hanya itu, game juga diklaim bersifat adiktif, membuat para pemainnya ingin terus bermain.

Sejatinya, game adalah media hiburan. Dan seperti yang disebutkan oleh Josh Bycer, pemilik Game-Wisdom, game memang didesain untuk membuat para pemainnya ingin terus bermain. Pada saat yang sama, para developer juga biasanya menerapkan mekanisme yang memudahkan para pemain untuk berhenti kapan pun mereka mau, misalnya fitur quick save/quick load.

Sama seperti kegiatan lain, seperti membaca buku atau berkebun, bermain game juga bisa membuat Anda lupa waktu. Hal ini membuat sebagian orang — khususnya orangtua — khawatir bahwa game menyebabkan kecanduan. Pertanyaannya: kapan bermain game menjadi berbahaya?

 

Klaim WHO dan Keraguan Para Ahli

Pada Juni 2018, World Health Organization menyatakan Internet Gaming Disorder (IGD) sebagai penyakit mental yang bisa didiagnosa. Meskipun begitu, tidak semua ahli kejiwaan serta-merta setuju dengan putusan WHO. Faktanya, sebagian dari mereka enggan untuk memasukkan gaming disorder ke dalam International Classification of Diseases (ICD), panduan standar yang digunakan dalam dunia kesehatan untuk menentukan penyakit yang diidap oleh pasien.

“Saya tidak mau orang-orang yang sebenarnya tidak punya gangguan kejiwaan dianggap memiliki masalah mental karena hal ini,” kata Nancy Petry, psikolog di University of Conneticut, pada WIRED. Kekhawatiran Petry bukannya tak berdasar. Dalam sebuah studi berjudul Mental Disordres: A Glamorous Attraction on Social Media? dijelaskan bagaimana generasi muda, yang tumbuh besar dengan internet dan media sosial, terkadang meromantisasi gangguan kejiwaan, seperti depresi dan anoreksia. Seolah itu tak cukup buruk, juga ada komunitas di media sosial serta situs yang mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal-hal berbahaya, seperti melukai diri sendiri. Jadi, masuk akal jika Petry serta para ahli psikologi lainnya tak ingin dengan gampang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan.

Di media sosial, generasi muda terkadang meromantisasi gangguan mental, seperti depresi. | Sumber: Deposit Photos
Di media sosial, generasi muda terkadang meromantisasi gangguan mental, seperti depresi. | Sumber: Deposit Photos

Pada 2013, Petry sempat memimpin subkomite dari American Psychiatric Association (APA) yang bertanggung jawabb untuk mempertimbangkan apakah IGD pantas masuk dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), buku panduan yang digunakan oleh tenaga kesehatan di Amerika Serikat dan berbagai negara lain untuk menentukan gangguan kejiwaan yang dialami oleh pasien. Ketika itu, grup yang dipimpin oleh Petry memutuskan, kecanduan game belum bisa dianggap sebagai gangguan mental karena kurangnya bukti yang menunjukkan gaming disorder sebagai gangguan jiwa. Sebagai gantinya, mereka mengklasifikasikan IGC ke bagian “Gangguan yang Memerlukan Studi Lebih Lanjut.”

Pada 2018, Petry kembali memimpin studi terkait kecanduan game. Saat itu, dia masih percaya, bukti untuk menjustifikasi klaim kecanduan game sebagai gangguan mental masih belum cukup. Para ahli psikologi setuju, efek bermain game, yang membuat para pemainnya ingin terus bermain, memang harus dipelajari lebih lanjut. Selain itu, mereka percaya, sebagian kecil gamer berpotensi untuk membangun kebiasaan bermain game yang bermasalah. Namun, mereka menganggap, jumlah riset terkait efek game pada para pemainnya masih belum memadai untuk menjadi bukti bahwa gaming disorder pantas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.

Selain jumlah studi terkait gaming disorder yang belum banyak, alasan lain para ahli psikologi enggan untuk mengategorikan IGD ke dalam gangguan kejiwaan adalah karena sebagian besar studi yang membahas kecanduan game tidak memiliki ukuran sampel yang besar. Tak hanya itu, biasanya, studi-studi itu tidak menyimpulkan apakah bermain game terus-menerus memang merupakan masalah psikologis atau merupakan pelampiasan dari masalah lain yang dihadapi oleh seseorang.

Sebagian ahli psikologi enggan untuk menjadikan IGD sebagai gangguan kejiwaan. | Sumber: Deposit Photos
Sebagian ahli psikologi enggan untuk menjadikan IGD sebagai gangguan kejiwaan. | Sumber: Deposit Photos

“Pada sebagian orang, bermain game merupakan coping mechanism untuk mengatasi masalah psikologis yang mereka alami,” kata Lennart Nacke, Director of the Human-Computer Interaction Games Group, University of Waterloo, seperti dikutip dari WIRED. Tanpa kriteria yang jelas untuk mendeskripsikan kecanduan game sebagai gangguan kejiwaan, WHO justru bisa membuat stigma baru pada para gamer. Jelas, menghabiskan waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu untuk bermain game adalah masalah. Namun, tidak sedikit orang yang menghabiskan belasan jam untuk bermain game setiap minggunya dan tetap bisa produktif.

 

WHO Nyatakan Gaming Disorder Sebagai Gangguan Kejiwaan

Meskipun sempat menuai protes dari para ahli psikologi, pada 2019, WHO akhirnya menetapkan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Tentu saja, hal itu tidak serta-merta membuat orang-orang yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game sebagai pengidap gaming disorder. Sama seperti orang yang merasa sedih tidak melulu depresi.

Faktanya, WHO menyebutkan bahwa lamanya waktu yang dihabiskan untuk bermain game bukanlah tolok ukur untuk menentukan apakah dia mengidap gaming disorder atau tidak. Menurut WHO, salah satu kriteria dari orang yang kecanduan game adalah mereka terus bermain game meski mereka sadar bahwa bermain game terus menerus mengacaukan aspek lain dari kehidupan mereka, mulai dari sekolah, pekerjaan, hubungan dengan teman dan keluarga, atau bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Seseorang bisa dianggap menjadi pecandu game jika gelaja ini bertahan selama setidaknya satu tahun.

Kepada Kompas, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading Jakarta Utara, dr Dharmawan AP, SPKJ menjelaskan, kecanduan game masuk dalam kategori behavior addiction. Kecanduan akan bermain game memiliki pengaruh yang sama dengan kecanduan obat atau substansi lainnya.

Memang, bagaimana kecanduan memengaruhi otak manusia? Seperti yang dijelaskan dalam How Stuff Works, reward system pada otak manusia punya peran penting dalam membuat manusia bisa bertahan hidup. Jadi, ketika kita melakukan sesuatu yang positif — seperti makan dan berolahraga — otak akan mengeluarkan dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Demi mendapatkan dopamin, kita akan mengulang kegiatan-kegiatan positif yang meningkatkan kemungkinan kita untuk bertahan hidup.

Candu membuat otak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar. | Sumber: Prezi
Candu membuat otak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar. | Sumber: Prezi

Setiap substansi punya pengaruh yang berbeda-beda pada sistem limbic. yang bertanggung jawab atas reward system. Namun, semua candu punya pengaruh yang sama, yaitu membuat sistem limbic mengeluarkan dopamin dalam jumlah banyak. Ketika seseorang mengonsumsi atau melakukan satu hal yang jadi candunya, dia bisa mendapatkan dopamin 2 hingga 10 kali lipat dari biasanya, yang membuatnya merasa “high“. Alhasil, demi mendapatkan dopamin itu, dia akan terus mengonsumsi candunya.

Masalahnya, ketika otak menghasilkan dopamin dalam jumlah yang tidak wajar, otak akan kesulitan untuk memulihkan keseimbangan kimianya setelah efek dari candu berakhir. Hal inilah yang membuat orang mengalami hangover atau withdrawal setelah mengonsumsi alkohol atau narkoba. Jika seseorang terus mengonsumsi candunya, maka otaknya akan berhenti memproduksi dopamin secara natural, yang memperburuk withdrawal. Jadi, untuk bisa mendapatkan dopamin, pecandu harus mengonsumsi candunya, yang semakin mengacaukan keseimbangan kimia pada otaknya. Pada akhirnya, hal ini justru menciptakan siklus tiada akhir.

Memang, hal ini serupa dengan apa yang dialami oleh orang yang kecanduan game, menurut Dharmawan. Dia menjelaskan, salah satu ciri orang yang kecanduan game adalah mereka tidak bisa mengendalikan diri dan terus bermain game meski mereka tahu bahwa hal itu tidak baik.

Sementara itu, American Addiction Centers (AAC) menyebutkan, gaming disorder punya beberapa gejala, baik fisik maupun emosional. Salah satu gejala fisik kecanduan game adalah seseorang sering merasa lelah dan lapar. Pasalnya, orang yang kecanduan game akan terus bermain game sampai melupakan kebutuhan dasar mereka, termasuk makan dan tidur. Orang-orang yang mengidap gaming disorder juga biasanya mengalami migrain atau mata lelah karena mereka fokus pada layar dalam waktu lama. Biasanya, mereka juga mengidap carpal tunnel syndrome karena memegang controller atau mouse selama berjam-jam.

Dari segi emosional, salah satu gejala kecanduan game adalah merasa mudah marah ketika tidak bisa bermain game. Seseorang yang mengidap gaming disorder juga biasanya hidup terisolasi, jauh dari teman dan keluarga. Tak jarang, mereka juga berbohong ketika ditanya tentang berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk bermain game.

 

Kenapa Masyarakat Takut akan Hal Baru?

WHO memang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Walaupun begitu, game juga sebenarnya punya dampak positif. Untungnya (atau sialnya, tergantung perspektif Anda), game bukanlah satu-satunya hal baru yang ditentang oleh masyarakat luas. Faktanya, berbagai inovasi teknologi pun pernah ditentang.

Menurut Harvard Business Review, salah satu alasan mengapa masyarakat menentang perubahan adalah karena terkadang, inovasi memang membawa dampak buruk pada kehidupan mereka. Contohnya, aplikasi transportasi online. Di satu sisi, keberadaan GoJek dan Grab memang menolong banyak orang. Namun, tak bisa dipungkiri, aplikasi transportasi online merupakan ancaman nyata untuk pengendara taksi atau ojek pangkalan. Pasalnya, pendapatan mereka jadi berkurang karena banyak orang yang memilih untuk menggunakan jasa GoJek dan Grab.

Keberadaan GoJek dan Grab sempat ditentang.
Keberadaan GoJek dan Grab sempat ditentang.

Hanya saja, alasan masyarakat untuk menolak perubahan tidak melulu rasional. Calestous Juma, profesor dari Kennedy School of Government, Harvard University menjelaskan, manusia biasanya memilih untuk mendukung atau melawan inovasi baru berdasarkan perasaan dan bukannya pemikiran rasional. Misalnya, sebelum kopi menjadi populer seperti sekarang, orang-orang pernah mengklaim bahwa meminum kopi bisa menyebabkan kemandulan.

Terdengar konyol memang. Tapi nyatanya, masih banyak orang-orang yang lebih percaya pada omongan di grup WhatsApp tanpa sumber yang jelas daripada penelitian ilmiah. Contoh: anti-vaxxer. Sudah ada banyak penelitian ilmiah bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme atau kelumpuhan. Namun, para anti-vaxxer tetap berkeras untuk tidak memvaksin keluarganya karena percaya vaksin akan menyebabkan autisme atau kelumpuhan.

Juma menyebutkan, tidak aneh jika masyarakat berpegang teguh pada argumen yang tidak rasional karena sejatinya, mereka hanya takut akan teknologi baru. “Orang-orang bereaksi berdasarkan intuisi mereka dan mereka mengumpulkan bukti berdasarkan apa yang mereka percaya,” kata Juma, seperti dikutip dari The Washington Post. “Mereka melihat satu hal baru dan bereaksi secara emosional karena keberadaan produk itu mengubah cara pandang mereka. Hal ini terjadi pada hampir semua fenomena baru.”

Lebih lanjut, Juma menjelaskan, terkadang, bukan teknologi baru yang menjadi momok bagi masyarakat, tapi perubahan yang muncul akibat perubahan tersebut. “Mereka khawatir, mereka akan kehilangan sesuatu,” kata Juma. Dalam kasus pengendara taksi dan transportasi online, kehilangan yang sopir taksi dan ojek pangkalan rasakan adalah penghasilan.

Selain pemasukan, hal lain yang orang-orang khawatir akan hilang karena teknologi adalah gaya hidup atau bahkan identitas mereka. Juma mengungkap, baik pemerintah dan perusahaan swasta bisa meminimalisir rasa takut ini dengan memahami sumber ketakutan orang-orang yang hidupnya terpengaruhi oleh keberadaan teknologi baru.

Merasa takut akan hal baru memang manusiawi. Meskipun begitu, hal itu bukan justifikasi untuk tidak mencoba hal baru, atau setidaknya, mencoba memahami inovasi baru yang muncul. Seperti yang disebutkan oleh Marie Curie, “Nothing in life is to be feared, it is only to be understood.” Semakin kita paham akan satu hal, semakin berkurang rasa takut kita akan hal itu.

 

Kesimpulan

Ketika saya masih menjadi mahasiswa IT, Google adalah teman baik saya. Setiap kali saya menemui masalah saat menulis kode, saya bisa menggunakan mesin pencari itu untuk menemukan solusi dari masalah saya. Hanya saja, tampaknya, hal ini tidak berlaku untuk masalah kesehatan. Ketika seseorang mencoba untuk mencari tahu penyakit yang dia alami dengan memasukkan sederet gejala ke Google, kemungkinan, hasil yang akan dia dapatkan adalah penyakit mematikan, seperti kanker.

Dari sini, saya menarik kesimpulan, mencoba melakukan diagnosa sendiri, tanpa memiliki keahlian di bidang kedokteran, bukanlah hal yang bijak. Hal yang sama juga berlaku untuk gangguan kejiwaan. Memang, WHO telah menyatakan bahwa gaming disorder termasuk gangguan mental. Namun, hal itu bukan berarti semua gamer mengidap gejala itu.

Satu hal yang pasti, kebanyakan orang memang ingin solusi mudah atas setiap persoalan. Kecanduan game? Larang game-nya. Padahal nyatanya, setiap kecanduan memiliki penyebab lain yang tak kalah substansif. Misalnya, seorang anak jadi kecanduan game karena orang tuanya tak mau/mampu menyediakan waktu atau perhatian lebih ke anak tersebut. Sebatas melarang bermain game, kemungkinan besar, tidak akan menyelesaikan persoalan jika mereka juga tidak mencoba memberikan waktu dan perhatian yang lebih besar ke anak-anaknya.

Esports and Startups: Similarities, Differences, and Learning from Each Other

Esports is currently growing at a fast pace, but it cannot be denied that this new industry has its own unique problems. The problem of talent regeneration and professionalism or the sustainability of the business model may be just a few of these unsolved problems in the esports ecosystem.

For this reason, the esports ecosystem should actually learn from its ‘big brother’, namely the startup ecosystem.

Startups and esports can be considered as two fields that intersect each other. Startup companies can have various fields, including esports, but not all esports companies can be classified as startup companies. Apart from that, what actually distinguishes the two? To answer that question, I also had a discussion with Amir Karimuddin.

Amir, or we call him ‘Mas Amir’, is a figure who has been in the startup ecosystem for a very long time. Today, he is the Head of Editorial and Research at Dailysocial.id, the sister company of Hybrid.co.id, which is a media that focuses on the Indonesian startup ecosystem. In explaining the definition of a startup, Amir said, “there are many definitions of a startup. I myself prefer to define a startup as a company that is founded with the mindset of developing a business that is validated and can grow (growth and scalability).

Amir Karimuddin
Amir Karimuddin / DailySocial

Amir also added that, apart from growth mindset and scalability, exposure to the technology sector is another characteristic that makes a company classified as a startup. “So as long as the concept is to build a platform with a growth mindset, then a company can be called a startup as well. In the case of the esports ecosystem, for example, a company with a goal to build an esports game platform that can be reached by millions of people that possesses a clear business model and a sustainable development plan. If a company has these 3 things, then the company can also be considered a startup. ”

However, for now, the esports/gaming ecosystem itself is divided into several more sectors. Two sectors that are commonly heard are gaming companies that focus on making and/or publishing games (game developers and publishers) and companies that focus on developing the competitive elements of a particular game (esports companies).

In this article, the part of the ecosystem that becomes the focal point of my discussion is esports companies such as ESL, LoL Esports, or Hybrid and RevivaLTV in the local context. Amir then mentions the similarities and differences between the startup ecosystem and the esports ecosystem.

“The similarities are that both have high exposure to technology and benefit from being online. Meanwhile, one of the differences between the two is the more diverse startup stakeholders, such as business people, consumers, regulators, and various support systems. From what I have observed, it seems that esports stakeholders are still dominated by the players. Besides that, esports also has elements of sport and business, while startups are purely just a business.” Said Amir.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Yabes Elia. Hybrid – Lukman Azis

In terms of making a profit, Yabes Elia, Chief Editor Hybrid.co.id also added that the source of income for the esports ecosystem is also ambiguous because it intersects with the gaming industry. “For example, in terms of people buying skins, are these considered as revenue from the esports ecosystem? Because, in reality, there are games that don’t have an esports scene but still get huge profits online, Genshin Impact, for example.” He said.

 

Two Ecosystems Where its People are Driven by Passion

The word passion is very critical in this internet era. Passion is the energy that drives both the startup and the esports ecosystem to become what it is today. “For startups, the biggest driving factor is solving problems that exist in society. There are, of course, role models, but maybe only in certain sectors such as e-commerce and ride-hailing.” Amir explaining the passion behind the startup ecosystem

If you are a “tech-savvy” person, you may remember a little about the success stories of local startups in the ecommerce and ride-hailing sector. In the ride-hailing sector, the problem of public transportation for ojek or taxi bikes, whose price and safety can be questionable at times, has become the basis for the creation of an online ojek business field now worth tens of billions of US$. Meanwhile, in the ecommerce sector, you may also remember that the issue of economic equality in Indonesia becomes the basis for creating a platform that serves as a medium for online shopping or transactions. As Amir said, both of them have the same passion, namely to alleviate problems that exist in society.

How about esports? The esports ecosystem is also driven by passion. The difference, however, is that the passion that exists in esports is competing and becoming the best. Although both are driven by passion, they develop in their own unique directions.

Hubungan baik Gojek dan transportasi publik
Although both are driven by passion, esports and startups are moving in different directions.

This difference may just be regarded as a stereotype that actually does not describe the population as a whole. Talking about the startup ecosystem, you might remember a brilliant, smart, and innovative figure like Nadiem Makarim. Then what about the esports ecosystem? JessNoLimit can be considered as one of the stereotypes of the esports ecosystem because he is both an entertainer and proficient at playing games.

But apart from these two things, no other impression is created by JessNoLimit. However, you cannot really blame those stereotypes because sport and entertainment are considered essentials in the esports ecosystem. If we use basketball as an analogy, someone like Nadiem Makarim cannot be a stereotypical ‘basketball player’. The stereotype of basketball players is, of course, NBA athletes who are proficient at basketball and are athletic, like LeBron James or James Harden.

“Actually, these stereotypes arise because of the intense competition in the startup ecosystem. Everyone wants to create the best investment and dominate the market. The target they want to achieve is incredibly high. This happens in almost all regions of the startup ecosystem because they look up on Silicon Valley as a role model.” Said Amir, discussing the stereotype of ‘startup kids’.

My vision is, more or less, similar to what Amir had explained. Since the startup ecosystem focuses on business and innovation, the competition is, therefore, to be the smartest and most innovative in the ecosystem.

Meanwhile, on the other hand, the focal point of the esports ecosystem is competition and entertainment. Thus, it is not surprising that the competition in esports is becoming the best and most proficient at the game. If you cannot be a pro, you can also be an entertainer to gain popularity, even though getting popular can sometimes be achieved in strange ways.

Sumber: Official Riot Games
Esports does lean towards competition and entertainment. But without qualified professional quality, esports will find it difficult to provide proper entertainment. Source: Official Riot Games

Unfortunately, the competition to be the best/most popular is sometimes not accompanied by the talents’ professionalism. In esports, finding people who are good at playing games or entertaining is relatively easy. However, the same thing cannot be said when finding exceptional talents with a high level of professionalism.

Our friends have also mentioned this problem several times to Hybrid.co.id. Muhammad Darmawan, a Free Fire shoutcaster, once mentioned the problem of Star Syndrome as one of the factors that causes the inconsistency of Free Fire Indonesian teams’ performance. Marzarian “Ojan” Sahita, General Manager of BOOM Esports, once shared about the difficulty of finding players with both great skills and attitude in the esports ecosystemYohannes Siagian, who previously served as Vice President of EVOS Esports, also gave a similar opinion when discussing the regeneration of esports players.

We have discussed the side of the players. What about the business and professional talent sections of the esports industry? I myself often hear stories from my friends about their difficulties when looking for professionals to work in the esports field. Most esports fans/gamers are passionate. However, it is merely just a passion for playing games with no arsenal of qualified work/professional experience. Hiring professionals from other industries is not necessarily a solution. Because being a professional in the esports industry is sometimes still not considered something serious by the general public.

I also remember the story of my friend who worked in an esports team about the difficulty of finding a video editor among esports fans. Most candidates who apply can only mention that they are fans of their team without showing their abilities as a video editor. Some applicants even do not understand how to construct a proper and correct job application, let alone get through the interview stage.

However, the importance of professionals or workers in the esports industry cannot be understated. Without them, there would be no entertaining live-stream, grand stages, nor any article/video/social media content reporting the achievements of esports athletes.

Sumber: Blizzard Official
Without professionals, the esports industry might not have a grand stage like this. Source: Blizzard Official

I then asked Amir about the state of today’s search for professional talent in the startup field. Amir also said, “when it comes to talent, the startup industry has a far greater demand than its existing supply. Talents and skills do exist, but they are starting to be overshadowed by massive recruitment, education, and knowledge transfers from many foreign talents.” Said Amir discussing the startup side.

“In terms of esports, maybe the industrial sector needs to be expanded. In addition, there may also need to be more role models from the successful industry sector. Transfer of knowledge from the businesses or professionals might also be a solution. But I myself have yet to fully understand if this practice can be executed in the esports industry. ” Amir expressed his opinion to alleviate the problem of professional talent in the esports industry.

Yabes also added, “the matter of knowledge transfer is crucial. According to my observation, most of the professionals/workers in the esports industry are young people who have great passion and enthusiasm but lack work experience or are just the same people all over. This is why I see that the development of knowledge of the esports industry professionals is still very limited. ”

Indeed, for now, being a pro at playing games and entertaining are two impressions that are closely attached to the esports ecosystem. Pros and entertainers are also said to get more ample financial rewards than smart and innovative individuals. Because of this, I see that the professional position of the esports industry seems to be just a bunch of ‘excess’ people who are neither good nor entertaining in the esports ecosystem.

Therefore, this could be one of the reasons why the quality of professionalism in the esports industry is still relatively mediocre. Those who have a passion for gaming may not be able to compete in other industrial fields. Meanwhile, those experienced individuals in other industries feel too proud to enter the esports industry, which tends to be considered trivial. Whereas on the other hand, it is true, as Amir and Yabes mentioned, that knowledge transfer is essential to solving this problem.

 

Seeing Esports and Startup Ecosystems as Two Growing Ecosystems.

For either esports or startups, you could say that both are ecosystems that still have room for growth. But is that true? The startup industry has a larger space to grow because the ecosystem can stand in any field.

“Indeed, some sectors are difficult to attract new players, for example, ecommerce and ride-hailing. But the space for startup growth is still quite large because there are still many sectors that have a low entry barrier as there are no big players there yet.” Amir shared his observations on the current condition of the startup ecosystem.

On the other hand, we can consider the esports ecosystem to be on the uprise if we look at news or predictions from industry analysis companies like Newzoo. But examining more closely, the choice of business fields to be pursued by the esports industry in the local scene is quite limited, at least from my observation.

Yabes also responded to this question, “the startup industry really needs a problem-solving mindset to become successful. For example, we can see the ride-hailing or ecommerce companies that can make life easier. But on the other hand, the esports industry is based on entertainment. It is imperative to realize that though entertainment is one of the basic needs of humans, there are other forms of entertainment besides esports. Even people who play games may have other alternative entertainments that they enjoy, such as watching movies. I think that is one of the differences between the startup and the esports industry.”

Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.
Genshin Impact becomes the mobile game with the second largest income in one week.

Apart from that, in my opinion, the esports ecosystem also has one other problem, namely the dependence on first-party actors, the game developer/publisher. I may have said this statement several times. But one thing to realize is that one of the biggest driving forces that have made the esports ecosystem so advanced these days is the developers themselves.

Imagine if Moonton decided to stop making games and change their business direction to become a food company. What will be the fate of the esports company that depends on Mobile Legends? Even so, one of the other advantages of the esports ecosystem is the large number of games that can be competed. But still, the third-party esports industry ecosystem is said to have a greater chance of falling than game developers who are first-party players.

Apart from this, Yabes also added that the problem-solving mindset is one of the necessary aspects for esports business players in Indonesia. “I agree with Amir’s problem-solving mindset. According to my observations, the esports industry in Indonesia tends to have a copycat mindset. For example, when the EO business is trending, everyone flocks to make EO businesses. Even though, in my opinion, esports still has many problems that are left unsolved and potentially become a business opportunity. ”

Amir then added a story about the condition of business people in the startup ecosystem. “Actually, there are non-mainstream startup players as well. Usually, these people focus on profit rather than growth. They are usually referred to as ‘cockroaches’ among startup players. But according to my observation, this group is still considered a minority.”

 

Conclusion

We can consider esports and startups as siblings of the new industries of this internet era. In the Indonesian context, esports, which can be said to be the “little brother”, has a lot to learn from the startup industry, the “big brother”, because it emerged beforehand.

From the conversation with Mas Amir, I strongly agree with the startup mindset that focuses on growth and problem-solving. I see that esports really needs this. After all, the esports business is a technology business that invariably needs innovation. The esports ecosystem might not last long if the typical business model is attracting masses and hoping for sponsorships. As Yabes said, esports business players must also learn to prioritize the problem-solving mindset instead of just copying the existing business model.

“In my opinion, the persistence and adaptation of players in each segment to continue to be relevant and develop should be everyone’s main focus.” Said Amir, expressing his opinion regarding the things that can be learned by the startup and esports industry while also closing our conversation to discuss the topic.

This article is translated by: Ananto Joyoadikusumo

Polemik dan Relevansi Esports untuk Pelajar dan Mahasiswa di 2021

Dalam regenerasi talenta olahraga, kompetisi khusus pelajar/mahasiswa sangat diperlukan. Dari apa yang saya lihat, salah satu alasannya adalah karena batasan fisik. Tetapi bagaimana dengan esports? Tak ada batasan fisik di dalam esports. Bocah berusia 13 tahun bisa saja mengalahkan mahasiswa ataupun pemain profesional apabila bocah tersebut cukup mahir bermain. Lalu apabila kita melihat ekosistem esports saat ini, bahkan beberapa pemain profesional pun masih berstatus sebagai pelajar ataupun mahasiswa; misalnya Wiraww (ex pemain profesional AOV di EVOS Esports) yang tahun lalu masih berstatus sebagai pelajar SMA.

Kalau keadaannya seperti demikian? Lalu apa gunanya turnamen khusus pelajar/mahasiswa? Memang jika kita melihat dari aspek bisnis, turnamen esports kelas pelajar/mahasiswa menjadi salah satu pasar yang menarik. Alasannya adalah karena turnamen esports kelas pelajar/mahasiswa adalah pasar yang belum tentu digarap oleh sang developer/publisher. Jadi disebut “belum tentu” mengingat ada beberapa developer/publisher menggarap esports tingkat kampus secara mandiri, PUBG Mobile contohnya.

Mengawali tahun 2021, saya merasa kita perlu mempertanyakan kembali terhadap apa-apa saja yang sudah dan perlu dilakukan terhadap ekosistem esports khusus mahasiswa. Akankah ekosistem esports tingkat pelajar/mahasiswa hanya sekadar menjadi ladang bisnis? Atau akan dapat menjadi wadah aktivitas positif bagi pelajar/mahasiswa yang menjanjikan jenjang karir menuju profesional? Simak pembahasan saya bersama dengan beberapa narasumber terkait.

 

Tumbuh Suburnya Turnamen Esports Khusus Pelajar/Mahasiswa di Tahun 2020

Pertandingan esports khusus pelajar/mahasiswa tumbuh pesat di tahun 2020 kemarin. Anda ingin turnamen tingkat mahasiswa yang resmi dari sang developer/publisher game? Ada PUBG Mobile Campus Championship contohnya. Anda ingin turnamen tingkat mahasiswa resmi dari pemerintah? Ada Piala Menpora Esports 2020 dan juga IEL University Series yang didukung oleh IESPA. Bahkan beberapa kampus kini punya pertandingan esports dalam lingkup internal apabila Anda mungkin masih belum berani keluar kandang.

Hadirnya beragam turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa sendiri bisa dibilang perkembangan tahap lanjut dari ekosistem esports Indonesia yang mulai bersemi kembali sekitar tahun 2017. Satu tahun setelahnya, High School League muncul menjadi salah satu pionir turnamen esports khusus pelajar. Pada tahun berikutnya (2019), IEL University Series muncul dan terbilang jadi pionir turnamen esports khusus mahasiswa universitas.

Sumber Gambar - Piala Menpora Esports Official Website.
Sumber Gambar – Piala Menpora Esports Official Website.

Seiring waktu dan pembuktian dari gelaran sebelumnya, turnamen-turnamen khusus pelajar/mahasiswa jadi mendapat lebih banyak perhatian sehingga berkembang seperti apa yang terjadi pada tahun 2020.

Pada tahun 2020, turnamen IEL University Series terus berlanjut bahkan kini dengan lebih banyak dukungan dari pihak swasta. Pada IEL University Series 2020, Universitas Negeri Jakarta keluar sebagai juara cabang Free Fire dan Universitas Gadjah Mada keluar sebagai juara dari cabang game Dota 2 setelah babak final usai diselenggarakan pada 11-12 Juni 2020 lalu.

Pada tanggal 3-4 Oktober 2020, babak grand final Piala Menpora Esports 2020 juga berlangsung dengan total hadiah sebesar Rp150 juta. Piala Menpora Esports 2020 agak sedikit unik karena turnamen tersebut mempertemukan pelajar SMP/SMA/SMK dengan mahasiswa universitas di dalam satu pertandingan. Binus University berhasil keluar menjadi juara setelah melewati tim dari sekolah SMA Institut Indonesia Semarang, MAN 3 Palembang, SMAN 1 Bintan Utara, serta dari Universitas Udayana, Institut Pertanian Bogor, Telkom University Bandung, dan Universitas Gunadarma jakarta.

Selain dua kompetisi yang diselenggarakan oleh pihak ketiga dengan dukungan pemerintah tersebut, tahun 2020 juga menjadi iterasi ketiga dari turnamen khusus mahasiswa yang diselenggarakan secara mandiri oleh sang developer game. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship. PMCC sendiri sudah berjalan sejak tahun 2018.

Pada tahun 2020 kemarin, gelaran puncak PMCC diselenggarakan pada tanggal 13 Desember. Memperebutkan total hadiah sebesar Rp200 juta, tim Universitas Sam Ratulangi Manado berhasil keluar sebagai juara dengan perbedaan poin yang tipis dengan Universitas Kristen Petra.

Beberapa turnamen esports kampus yang saya sebut mungkin baru sebagian dan hanya yang besar-besar saja. Belum lagi turnamen-turnamen esports internal kampus seperti BSSC Squarelypic 2020, UI Battlegrounds 2020, dan banyak turnamen khusus pelajar/mahasiswa lain lagi yang skalanya tidak sebegitu besar sehingga kurang terdengar ke muka publik.

Ingin tahu soal skena esports tingkat universitas, saya kebetulan sempat berbincang singkat Muhammad Fauzan selaku Project Officer dari turnamen esports intra-kampus, UI Battlegrounds 2020.

Fauzan menceritakan bahwa antusiasme mahasiswa di dalam UI sendiri terbilang cukup tinggi terhadap turnamen esports. Mempertandingkan Mobile Legends, PUBG Mobile, VALORANT, dan Dota 2, Fauzan lalu menceritakan, “UI punya 14 fakultas dan 1 program vokasi. Untuk MLBB lengkap semua 15 fakultas turut serta di dalam pertandingan. Sementara itu PUBG Mobile diikuti oleh 14 tim, VALORANT 13 tim, dan Dota 2 sebanyak 12 tim. Jadi total pemainnya kurang lebih ada 418 pemain yang turut serta.”

Tak hanya itu, turnamen internal seperti UI Battlegrounds ternyata cukup berhasil menarik perhatian penonton dan bahkan mungkin fanatisme fakultas di dalam Universitas Indonesia itu sendiri. “Pertandingan tersebut kami stream di channel YouTube UI Battlegrounds dan sempat ada yang tembus hingga 1,8k views. Sementara itu pertandingan Grand Final Mobile Legends dan VALORANT bahkan tembus hingga 3k views di channel Indonesia Gaming League.”

Dengan banyaknya kompetisi khusus pelajar/mahasiswa, tahun 2020 terbilang menjadi tahun menyenangkan bagi pelajar dan mahasiswa. Karena apabila kita mundur 6 tahun ke belakang, jangankan turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa, mendapatkan karir sebagai gamer kompetitif pun masih terasa gelap dan tidak jelas juntrungannya. Tapi walau sudah banyak turnamen khusus pelajar/mahasiswa di tahun 2020, bukan berarti ekosistem esports di Indonesia sudah sepenuhnya sempurna. Turnamen-turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa tersebut masih memiliki beberapa problematikanya tersendiri.

 

Masalah Dari Turnamen Khusus Pelajar/Mahasiswa

Seperti yang saya sebut di awal, ekosistem esports punya sifat alami yang berbeda dengan ekosistem olahraga. Dalam meniti karir sebagai pemain sepak bola misalnya, seorang anak SMA tidak mungkin bisa langsung bertanding di liga kasta satu. Dia harus bertanding di liga sepak bola tingkat SMA terlebih dahulu. Menurut pandangan saya, batasan fisik jadi salah satu alasannya. Tingkat kematangan psikis seorang anak SMA tentu berbeda jauh jika dibandingkan dengan pemain sepak bola profesional.

Tetapi dalam esports, anak SMA bisa dan boleh saja bertanding di dalam liga-liga profesional asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu karena tidak ada batasan fisik di dalam esports. Karena hal tersebut, polemik pun terjadi di dalam turnamen-turnamen esports antar pelajar/mahasiswa; setidaknya dari apa yang saya lihat.

Siapa saja yang boleh ikut dalam pertandingan esports khusus mahasiswa atau pelajar? Kalau jawabannya adalah semua mahasiswa atau pelajar, maka mahasiswa/pelajar yang telah dikontrak tim esports dan tergolong profesional boleh saja ikut ke dalam turnamen tersebut dong? Lalu muncul pertanyaan lagi. “Kalau begitu, pertandingannya jadi tidak adil dong?” Adil atau tidak adil, jawabannya kembali tergantung kepada peraturan serta apa yang jadi tujuan di balik dari sang penyelenggara dalam menyelenggarakan turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa.

Idealnya menurut apa yang ada di kepala saya, turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa adalah wadah bagi pemain yang ingin meniti karir di esports. Namun kenyataan memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang ideal.

Vyn dan Renbo yang turut bertanding di IEL University Series 2019 bersama dengan tim Binus University. Sumber Gambar - IEL Official Documentation.
Vyn dan Renbo yang turut bertanding di IEL University Series 2019 bersama dengan tim Binus University. Sumber Gambar – IEL Official Documentation.

Jika dilakukan sesuai idealisme saya, maka Vyn dan Renbo yang sudah menjadi bagian dari Bigetron Esports seharusnya tidak boleh mengikuti turnamen IEL University Series 2019. Jika dilakukan sesuai idealisme saya, maka Jeixy yang sudah bermain bersama EVOS Esports kala itu seharusnya tidak boleh membela Universitas Gunadarma di PMCC 2019 lalu. Tapi kembali lagi, semua hal yang saya tulis tersebut adalah keadaan “idealnya”. Keadaan yang tidak bisa ditampik adalah kenyataan bahwa penyelenggara yang tentu saja punya pikiran yang berbeda dengan saya.

“Turnamen kampus sebenarnya penting banget posisinya. Tapi balik lagi, antara penting dan efektif kadang tidak bisa berjalan berbarengan. Jadi turnamen kampus ini sebenarnya penting ada, tapi turnamen yang sudah terselenggara masih belum efektif. Menurut gue apabila turnamen kampus ingin menjadi efektif, cara terbaik adalah dengan melarang keikutsertaan pemain profesional. Bagaimanapun dunia esports collegiate dengan profesional itu sangat berbeda jauh.” tutur Wolfy saat saya tanyakan pendapatnya terkait turnamen pelajar/mahasiswa yang sudah ada di ekosistem esports Indonesia saat ini.

Florian George "Wolfy", sosok shoutcaster ternama di komunias PUBG Mobile. Sumber Gambar - MET Indonesia.
Florian George “Wolfy”, sosok shoutcaster ternama di komunias PUBG Mobile. Sumber Gambar – MET Indonesia.

Lalu bagaimana dengan IEL University Series? Saya juga berbincang dengan Eddy Lim yang merupakan Ketua Umum IESPA dan juga CEO Ligagame yang merupaakan penyelenggara turnamen tersebut. Dalam hal keterlibatan pemain profesional, Eddy mengatakan bahwa kompetisi IEL University Series memang tidak mencantumkan peraturan apapun terkait hal tersebut. “IEL University Series tidak mencantumkan peraturan apapun terkait pemain profesional. Semua pemain boleh ikut asalkan pemain tersebut adalah mahasiswa aktif dan resmi diutus oleh universitas terkait.” ucap Eddy.

Lebih lanjut membincangkan soal hal tersebut, Eddy juga menjelaskan bahwa IEL University Series memang berusaha mengedepankan urusan legalitas dibanding sekadar membuat turnamen untuk mahasiswa. “Kami bekerja sama dengan universitas terkait dalam pertandingan IEL University Series. Maka dari itu mahasiswa yang bertanding di dalam turnamen tersebut adalah mahasiswa aktif dari universitas terkait yang sudah mendapat izin dari rektorat untuk turut bertanding untuk membela nama universitas masing-masing.”

Sementara masih ada tumpang tindih antara profesional dan non-profesional di dalam turnamennya, organisasi esports profesional ternyata juga cenderung tidak terlalu meilirik pemain-pemain jebolan turnamen khusus pelajar/mahasiswa. Saya berbincang dengan Indra Hadiyanto selaku Co-Founder dan COO Alter Ego mendiskusikan soal hal tersebut. Indra mengatakan bahwa sebenarnya alasan dirinya tidak terlalu melirik jawara-jawara turnmaen antar-kampus bukanlah karena masalah turnamennya.

“Bukan karena turnamennya, tapi dari apa yang saya lihat, kebanyakan pemain dari turnamen kampus cenderung jarang terjun di komunitas gaming. Sementara pada sisi lain pemain yang memang sudah sering mengikuti turnamen (tidak harus antar-kampus) biasanya sudah memiliki koneksi dan terlihat sering bermain dengan pemain-pemain yang lebih senior sehingga lebih mudah diajak serta direkrut nantinya.” Tutur Indra.

Indra Hadiyanto, COO
Indra Hadiyanto, Co-Founder serta COO Alter Ego.

Lebih lanjut, Indra sendiri menceritakan secara singkat bagaimana Alter Ego bisa mendapatkan pemain baru dan apa yang jadi prioritas bagi manajemen timnya. “Dalam hal scouting, kami biasanya mencari lewat turnamen-turnamen tier 2 atau 3. Namun demikian, kebanyakan pemain yang kami ambil memang adalah pemain yang dikenalkan oleh player kami sendiri. Setelah proses scouting, biasanya head coach akan meninjau kembali potensi sang pemain. Apabila potensinya besar baru akan kami lakukan trial setelahnya.”

Indra lalu menjelaskan lebih lanjut soal apa yang dicari tim Alter Ego saat melakukan scouting terhadap pemain baru. “Ketika mencari pemain, kami memang tidak hanya sekadar melihat skill saja. Kami juga mencoba melihat aspek yang tak kalah penting yaitu latar belakang personal serta attitude sang pemain. Apabila pemain tersebut sudah banyak ikut turnamen dan punya banyak kenalan di dalam komunitas, tugas kami untuk menyaring dari sisi personalia terbilang jadi lebih mudah karena tinggal bertanya kepada pemain yang memang kenal dengan si calon pemain baru tersebut.

Jika memang tim profesional kurang tertarik terhadap pemain-pemain dari liga universitas, lalu apakah artinya kompetisi-kompetisi tingkat universitas sudah tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagai wadah regenerasi pemain? Ada satu opini yang menarik dari Eddy Lim terkait hal tersebut yang akan saya bahas di akhir artikel. Namun sebelum itu, mari coba kita lihat posisi turnamen esports khusus mahasiswa yang ternyata punya prospek bisnis yang cukup menjanjikan.

 

Melihat Peluang Bisnis Turnamen Esports Khusus Pelajar/Mahasiswa

Selain aspek ideal, saya merasa aspek bisnis adalah hal yang tak bisa kita lupakan. Bagaimanapun juga, sebuah turnamen esports tidak akan bisa berjalan apabila turnamen tersebut tidak memberikan keuntungan — finansial atau yang lainnya. Esports sendiri berkembang dari rasa haus akan kompetisi para gamers yang menurun menjadi keinginan melihat pemain-pemain terbaik beraksi dari gamers lainnya. Seiring jumlah orang yang tertarik jadi semakin banyak, pihak swasta pun mulai melirik fenomena tersebut dan menginvestasikan sebagian dananya untuk menjadi sponsor yang membuat esports menjadi semakin bertumbuh.

Lalu bagaimana dengan turnamen antar kampus? Apakah turnamen antar kampus memang punya daya tariknya tersendiri?

Mari kita coba intip mulai dari perkembangan IEL University Series. Satu hal yang patut diacungi jempol dari turnamen IEL University Series adalah konsistensinya yang berjalan sejak dari tahun 2019 lalu. Tak hanya itu, pertandingan juga berjalan dengan format liga yang hampir setiap hari pertandingannya disiarkan melalui kanal digital.

Apalagi IEL University Series juga menjadikan duet stand-up comedian Coki & Muslim sebagai caster dan pembawa acara yang membuat tayangan jadi semakin meriah. IEL University Series sempat meledak dan mencatatkan 1,8 juta views di YouTube Ligagame Esports TV. Tayangan yang berhasil mencatatkan rekor views tersebut adalah video yang berisi cuplikan kelakar Coki & Muslim pada saat sedang menjadi komentator serta membawakan acara IEL University Series.

Sementara itu jumlah views pertandingan sendiri terbilang cukup besar untuk ukuran turnamen antar-kampus. IEL University Super Series – Season 2 ditayangkan di Vidio.com selaku official broadcast platform turnamen tersebut. Pertandingan grand final hari pertama IEL University Super Series – Season 2 telah diputar sebanyak 10,2 ribu kali, sementara pertandingan grand final hari kedua telah diputar sebanyak 4 ribu kali.

Jumlah views yang didapatkan bahkan lebih banyak lagi pada musim sebelumnya karena tayangan turnamen masih disiarkan melalui YouTube. IEL University Series tahun 2019 berhasil mencatatkan 109 ribu views pada gelaran Grand Final hari pertama dan 291 ribu views pada gelaran hari kedua.

Masih membicarakan viewership, PUBG Mobile Campus Championship 2020 juga berhasil mengantongi catatan yang cukup baik. Rentetan acara PMCC 2020 berhasil mencatatkan ratusan ribu views dengan puncaknya yaitu sebanyak 402 ribu views di pertandingan grand final hari pertama dan 429 ribu views di pertandingan grand final hari kedua.

Sumber: Rilis Resmi Tencent
PUBG Mombil Campus Championship 2019 yang masih diselenggarakan secara offline ketika sebelum pandemi menyerant. Sumber Gambar – Rilis Resmi Tencent

Selain dari sisi viewership, turnamen-turnamen antar kampus ternyata juga berhasil menarik banyak perhatian pihak swasta. Hal tersebut salah satunya terlihat dari deretan sponsor. Dari sisi IEL University Super Series Anda bisa melihat sendiri entitas seperti Super Soccer, Vidio, ataupun Bukalapak turut mensponsori gelaran tersebut.

Sementara pada Piala Menpora Esports 2020 kita bisa melihat sendiri bagaimana brand-brand dari Axis, Samsung, hingga Insto, BCA, Kuku Bima, Caffino, Pop Mie, dan Chitato turut menjadi sponsor acara tersebut.

Dari perkembangannya di tahun 2020 kemarin, kita bisa melihat bagaimana ekosistem esports kampus telah berkembang dengan cukup pesat. Bahkan jika perkembangannya bisa terus dijaga, esports kampus mungkin bisa jadi berdiri sendiri. Turnamen seperti IEL University Series, PMCC, atau Piala Menpora Esports ibarat seperti turnamen primer-nya. Berbarengan dengan hal tersebut, turnamen esports seperti UI Battlegrounds bisa membantu mengembangkan skena esports tingkat grassroot di dalam kampusnya.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, lalu ke mana arah perkembangan esports tingkat pelajar/mahasiswa di tahun 2021 ini?

 

Akhir Kata…

Dalam membicarakan prediksi atau harapan perkembangan, satu hal yang kembali perlu diingat adalah usia perkembangan esports yang masih sangat belia. Jadi akan tidak masuk akal apabila kita langsung mengharapkan esports punya sistem layaknya liga bola basket NBA yang sudah berusia sekitar 74 tahun lebih.

Namun demikian, bisa dibilang ekosistem esports kampus sudah berjalan di jalan yang baik sejauh ini. Kehadiran turnamen seperti High School League ataupun IEL yang melibatkan pihak sekolah/universitas secara langsung menjadi salah satu jalan yang baik untuk melakukan transfer budaya esports kepada instansi-instansi sekolah/universitas yang cenderung lebih kolot dalam menerima perkembangan zaman.

Tetapi saya sendiri melihat, memang masih ada beberapa hal yang bisa membuat esports kampus jadi lebih baik lagi. Salah satu yang saya pikirkan adalah mendorong para pemain di skena esports kampus untuk tetap mendahulukan pendidikannya dengan cara memberikan hadiah turnamen dalam bentuk beasiswa. Kebanyakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa yang ada saat ini masih memberikan hadiahnya dalam bentuk uang tunai. Eddy Lim juga mengkonfirmasi bahwa IEL University Series kemarin masih menggunakan uang tunai sebagai hadiah utama.

Heroes of the Dorm, salah satu contoh turnamen esports yang berhadiah beasiswa sekolah. Sumbe Gambar - YouTube Channel Heroes of the Storm.
Heroes of the Dorm, salah satu contoh turnamen esports yang berhadiah beasiswa sekolah. Sumber Gambar – YouTube Channel Heroes of the Storm.

Kenapa hadiah beasiswa lebih baik daripada uang tunai? Bagaimanapun, pendidikan terbilang jadi jalur paling aman untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Walaupun karir sebagai pemain esports menjanjikan popularitas serta harta melimpah, tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa hanya segelintir orang saja yang bisa sukses besar di esports. Risikonya akan jadi sangat besar apabila seorang mahasiswa sampai-sampai meninggalkan pendidikannya cuma demi karir esports yang suksesnya belum bisa dipastikan. Apabila ia gagal, bagaimana nasib sang pemain tersebut tanpa memiliki bekal cadangan berupa pendidikan formal?

Hal kedua mungkin adalah kehadiran jenjang yang jelas menuju karir esports lewat ekosistem esports kampus.

Kembali menggunakan analogi liga bola basket NBA, pemain bola basket tingkat kampus punya jalur yang jelas apabila ia ingin bisa meniti karir di liga profesional. Hal tersebut yang mungkin masih belum ada di dalam ekosistem esports kampus Indonesia. Saya sempat membahas soal metode Draft pemain yang mungkin bisa menjadi jawaban atas hal ini. Namun kembali lagi, esports Indonesia sepertinya masih butuh beberapa tahun perkembangan lagi untuk bisa menghimpun kerja sama dari semua pihak agar sistem transfer pemain seperti Draft bisa dilakukan.

Lalu bagaimana dengan turnamen kampus yang turut diikuti oleh pemain-pemain profesional yang sudah dikontrak oleh tim esports? Terkait hal tersebut Eddy Lim punya opini yang terbilang menarik terkait pemain profesional di dalam pertandingan esports kampus.

“Saya sendiri memang cenderung lebih suka untuk menyelenggarakan sebuah turnamen dengan konsep terbuka (bisa diikuti oleh siapa saja). Kenapa? Dalam konsep terbuka, siapapun punya kesempatan melawan siapapun. Begitu juga dalam tingkat esports kampus.” Ucap Eddy.

Eddy Lim, Ketua Umum IESPA yang juga menjabat sebagai CEO Ligagame. Dokumentasi Hybrid - Novarurozaq Nur.
Eddy Lim, Ketua Umum IESPA yang juga menjabat sebagai CEO Ligagame. Dokumentasi Hybrid – Novarurozaq Nur.

“Semisal turnamen antar kampus dibatasi untuk non-profesional saja, mungkin pemain yang bertanding belum tentu dilirik tim besar. Tim esports mungkin jadi tidak memperhatikan turnamen tersebut. Mungkin tim esports akan berpikiran bahwa turnamen antar-kampus kalah kelas dan tidak kompetitif. Tapi semisal turnamennya berkonsep terbuka, pemain-pemainnya juga menjadi lebih kompetitif. Pemain-pemain yang mungkin tadinya minder dengan kemampuannya, bisa jadi semangat apabila ia berhasil memberi perlawanan terbaiknya terhadap para pemain yang tergolong profesional. Tapi dalam konteks pertandingan antar-kampus dan peraturan IEL, pemain profesional yang bisa turut bertanding di dalam kompetisi tentu hanyalah pemain yang tergolong sebagai mahasiswa aktif dan merupakan pemain yang diutus langsung oleh rektorat dari universitas terkait.” Eddy Lim memperjelas opininya soal keterlibatan pemain profesional di dalam turnamen antar kampus.

Harapan paling terakhir yang juga jadi harapan saya pribadi mungkin adalah konsistensi dari pihak-pihak terkait dalam mengadakan esports tingkat pelajar ataupun mahasiswa. Saya merasa esports di Indonesia tidak bisa bertahan lama apabila para pelakunya terlalu fokus terhadap pemain tingkat-tingkat profesional. Hal tersebut jadi ibarat membagun sebuah bangunan tanpa membuat pondasi terlebih dahulu.

Saya tahu di awal artikel saya mempertanyakan soal urgensi dari ekosistem esports kampus. Namun setelah berbincang dengan para narasumber dan melihat berbagai pencapaian yang telah dicapai oleh beberapa event tersebut, saya jadi merasa bahwa memang kenyataanya turnamen antar-kampus penting untuk menjadi pondasi ekosistem esports di Indonesia.

Segala Daya dan Upaya Seputar Digital Marketing Game dan Bahayanya

“Jika sebatang pohon tumbang di dalam hutan, tanpa ada manusia yang mendengarnya, apakah pohon itu tetap mengeluarkan suara?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan filosofis tentang apakah persepsi dan observasi manusia memengaruhi realitas. Namun, bukan filosofi yang akan saya bahas di sini. Artikel ini akan fokus pada pertanyaan yang jauh lebih duniawi: jika developer membuat game yang berkualitas, tapi tidak ada orang yang tahu soal game itu, apakah game tersebut masih akan laku?

Menurut Peter Drucker, seorang konsultan manajemen, perusahaan memiliki dua tugas utama, yaitu membuat inovasi dan memasarkan inovasi tersebut. Kebanyakan perusahaan dan startup saat ini tampaknya lebih fokus pada bagian inovasi. Namun, sebenarnya, kegiatan marketing tidak kalah penting. Pasalnya, sebuah produk tidak akan laku jika tidak ada orang yang tahu akan keberadaan atau kualitas dari produk tersebut.

Begitu juga dengan game. Misalnya, Among Us. Game tersebut sebenarnya telah diluncurkan pada Juni 2018 dan sempat menjadi populer di Korea Selatan dan Brasil pada 2019. Namun, Among Us baru menjadi fenomena global pada tahun 2020. Game tersebut populer setelah dimainkan oleh sejumlah streamers di Twitch. Hal ini membuktikan, sukses atau tidaknya sebuah game juga bergantung pada strategi marketing yang digunakan oleh developer dan publisher dari game itu.

Jadi, mari membahas tentang strategi marketing yang bisa digunakan oleh kreator game untuk membangun hype dari game mereka.

 

Bekerja Sama dengan Selebritas

Beberapa bulan sebelum peluncuran game, publisher biasanya sudah akan melakukan kegiatan marketing dengan tujuan untuk membangun hype. Salah satu hal yang bisa publisher game lakukan untuk menciptakan hype di kalangan para gamers adalah menjalin kerja sama dengan selebritas.

Salah satu publisher yang menggunakan strategi celebrity advertising ini adalah CD Projekt Red. Mereka menggandeng Keanu Reeves untuk mempromosikan game terbaru mereka, Cyberpunk 2077. Salah satu bentuk kerja sama keduanya berupa kehadiran Reeves di konferensi E3 2019 untuk mengumumkan tanggal rilis Cyberpunk 2077.

Kehadiran Reeves disambut dengan tepuk tangan meriah para penonton. Memang, pada 2019, Reeves tengah naik daun. Salah satu alasannya adalah peluncuran film John Wick: Chapter 3 – Parabellum. Di atas panggung E3, Reeves berhasil memenangkan hati para penonton. Salah satu dari mereka bahkan meneriakkan, “You’re breathtaking!” Reeves pun membalas pujian ini untuk para penonton. Interaksi ini kemudian menjadi pembicaraan hangat — dan meme — di internet. Tentu saja, pembicaraan netizen terkait Reeves di E3 tak lepas dari obrolan soal Cyberpunk 2077. Apalagi karena Reeves juga menjadi pengisi suara dari Johnny Silverhand, karakter dalam Cyberpunk 2077 yang didasarkan pada dirinya.

Crowd reaction to #KeanuReeves #XboxE3 @xbox@BeastFireTimdog⁩ ⁦@TMZACA80#Cyberpunk2077 pic.twitter.com/Q0qWZ2X0q0

Publisher lain yang menggunakan strategi celebrity advertising adalah Garena. Tahun lalu, mereka menunjuk Cristiano Ronaldo sebagai global brand ambassador dari Free Fire. Selain itu, mereka juga mengajak kerja sama selebritas lokal dari negara-negara yang menjadi pasar utama mereka. Misalnya, dari Indonesia, Garena menggandeng Joe Taslim.

Selain membangun hype, celebrity advertising juga punya manfaat lain. Salah satunya, menurut Small Business, adalah memungkinkan perusahaan untuk menjangkau konsumen baru. Dalam kasus CD Projekt Red, mereka bisa mengenalkan Cyberpunk 2077 pada fans Reeves. Selain itu, endorsement dari seorang selebritas juga bisa membuat konsumen menjadi lebih tertarik untuk membeli sebuah produk.

 

Mengusung Cerita/IP yang Sudah Populer

Sebelum meluncurkan produk, perusahaan seharusnya melakukan riset pasar untuk memastikan bahwa memang ada pasar untuk produk yang akan mereka luncurkan. Hal ini juga berlaku untuk developer game. Membuat game berdasarkan franchise atau intellectual property yang sudah dikenal bisa menjadi jalan pintas bagi developer untuk memastikan bahwa ada pasar untuk game mereka. Pasalnya, IP yang sudah bertahan lama pastinya punya fanbase tersendiri. Sebut saja fans Star Wars, Tomb Raider, atau Marvel.

Namun, menggunakan IP besar bukan jaminan sebuah game akan sukses. Misalnya, Marvel’s Avengers dari Square Enix. Meskipun Marvel Cinematic Universe merupakan franchise film dengan total pemasukan paling besar jika dibandingkan dengan franchise-franchise film lain, game Marvel’s Avengers gagal mencapai target penjualan. Berdasarkan laporan keuangan Square Enix, total penjualan Marvel’s Avengers hanya mencapai 60% dari target. Seolah hal itu tidak cukup buruk, analis industri game, David Gibson, memperkirakan, Square Enix mengalami kerugian sebesar 6,5 miliar yen (sekitar Rp883 miliar) akibat Marvel’s Avengers.

Franchise film dengan total pemasukan terbesar per November 2020. | Sumber: Statista
Franchise film dengan total pemasukan terbesar per November 2020. | Sumber: Statista

Selain itu, tidak semua developer punya dana untuk membeli lisensi IP besar atau berkesempatan untuk bekerja sama dengan pemegang IP populer, seperti yang Square Enix lakukan dengan Marvel. Untungnya, ada alternatif lain bagi developer indie yang ingin membuat cerita atau menampilkan karakter yang sudah dikenal masyarakat luas, seperti dongeng, mitos, atau urband legends. Selain tak harus membayar biaya lisensi, developer juga bisa memberikan sentuhan tersendiri pada cerita dongeng atau karakter legendaris yang mereka angkat.

Digital Happiness menerapkan strategi ini ketika mereka membuat DreadOut. Game horror tersebut menampilkan hantu khas Indonesia, seperti pocong atau kuntilanak. Tak hanya Digital Happiness, Agate International pun menggunakan strategi yang sama dalam Code Atma. Di game idle RPG itu, Agate menampilkan sejumlah makhluk gaib lokal, seperti jelangkung dan genderuwo. Karakter pocong juga tampil dalam game ini. Kontras dengan pocong di DreadOut, pocong di Code Atma terlihat manis dengan pita merah besar di atas kepalanya.

Pendiri dan CEO Digital Happiness, Rachmad Imron mengaku, kearifan lokal dalam DreadOut membantu mereka untuk melakukan marketing. Bagi masyarakat Indonesia, familiaritas bisa menjadi salah satu daya tarik DreadOut. Sebaliknya, bagi gamers global, hantu khas Indonesia di DreadOut justru membuat game itu tampil unik dari game-game horror lain.

 

Memanfaatkan Media Sosial

Saat ini, media sosial merupakan salah satu alat digital marketing yang tak memerlukan biaya besar. Bagaimana tidak, akun media sosial dapat dibuat dengan gratis. Biaya untuk beriklan di media sosial juga tidak mahal. Di Facebook misalnya, Anda bisa memasang iklan mulai dari harga US$5. Media sosial juga bisa digunakan untuk mengembangkan komunitas serta player base dari sebuah game. Karena itulah, developer biasanya punya seseorang yang bertugas sebagai community manager.

Menurut Enjin, tugas utama community manager adalah berinteraksi dengan fans, misalnya dengan menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Jadi, developer biasanya mencari orang yang mengerti game yang mereka buat sebagai community manager. Ketika sebuah developer menjadi semakin besar, biasanya mereka akan membutuhkan tim untuk menangani media sosial dan komunitas. Hal ini bukan masalah selama developer bisa menetapkan rambu-rambu yang jelas akan konten yang boleh ditampilkan di media sosial perusahaan. Mereka juga harus menentukan image seperti apa yang mereka tampilkan ke hadapan fans mereka.

Biaya untuk beriklan di Facebook sangat terjangkau. | Sumber: Deposit Photos
Biaya untuk beriklan di Facebook sangat terjangkau. | Sumber: Deposit Photos

Di Digital Happiness, ungkap Imron, media sosial yang biasa mereka gunakan adalah Facebook, Instagram, dan YouTube. Di sana, mereka akan membagikan konten berupa gambar, video gameplay serta trailer, atau GIF dari game buatan mereka. Sementara jika game mereka masih dalam pengembangan, mereka juga akan memberikan informasi tentang proses pengembangan dari game tersebut.

Sementara itu, Indie Game Planet menyebutkan, Twitter merupakan media sosial yang harus dimiliki oleh developer game indie. Pasalnya, melalui Twitter, developer tak hanya bisa membuat pengumuman tentang game mereka, tapi juga mendapatkan saran dan masukan langsung dari para pengikut mereka. Mereka juga bisa mengajukan ide untuk melihat reaksi dari para fans. Alasan lain mengapa Twitter dianggap penting adalah karena banyak developer serta publisher indie yang menggunakan media sosial itu untuk berinteraksi dan menjalin relasi.

 

Menggandeng Influencers/Streamers

Ketika meluncurkan Apex Legends pada 2019, Electronic Arts memutuskan untuk tidak melakukan kegiatan marketing sebelum game itu diluncurkan. Sebagai gantinya, mereka membayar sejumlah influencers/streamers populer untuk memainkan Apex Legends dalam program bernama Apex Partner.

Beberapa streamers yang EA gandeng antara lain Tyler “Ninja” BlevinsMichael “Shroud” Grzesiek, Jack “CouRage” Dunlop, dan Herschel “Dr. Disrespect” Beahm IV. Menurut narasumber Reuters, yang tak mau disebutkan namanya, EA membayar Ninja US$1 juta untuk menjadi bagian dari program Apex Partner. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar uang yang EA keluarkan untuk membayar streamer-streamer lainnya.

Strategi EA sukses. Meskipun Apex Legends tidak diiklankan sebelum peluncuran, ada lebih dari satu juta orang yang memainkan game itu pada hari pertama peluncuran, menurut laporan Business Insider. Sementara dalam waktu satu bulan setelah rilis, jumlah orang yang mencoba Apex Legends naik menjadi lebih dari 50 juta orang. Tak hanya itu, Apex Legends juga langsung masuk dalam daftar lima game yang paling populer di Twitch.

Menariknya, EA sebenarnya hanya meminta para streamers untuk memainkan Apex Legends selama dua hari, lapor Kotaku. Namun, setelah kontrak berakhir pun, masih ada streamers yang memainkan game battle royale tersebut, seperti Shroud dan Dr. Disrespect. Tak hanya itu, tagar #ApexPartner juga populer di kalangan pemain amatir dan semi-profesional.

Ketika EA merilis Apex Legends pada 2019, sebenarnya, genre battle royale bukanlah sesuatu yang baru. Sudah ada beberapa game battle royale yang juga populer, seperti PUBG dan Fortnite. Namun, EA tetap bisa sukses dengan strategi mereka untuk bekerja sama dengan para streamers. Salah satu kunci kesuksesan mereka adalah memilih streamers yang tepat. Saat Apex Legends diluncurkan, Ninja dikenal sebagai pemain Fortnite. Jadi, dengan menggandeng Ninja, EA secara langsung menargetkan fans dari streamer itu, yang kemungkinan besar memainkan Fortnite, pesaing Apex Legends.

 

Masalah yang Muncul Ketika Game Menjadi Overhype

Dalam hukum ekonomi, jika permintaan lebih tinggi dari ketersediaan, maka barang akan menjadi langka dan harga barang akan naik. Sebaliknya, ketika suplai terlalu banyak, sementara permintaan akan barang itu sedikit, maka harga justru akan turun. Saya rasa, peraturan serupa berlaku dalam membangun hype untuk sebuah game.

Jika developer dapat merilis game yang ternyata memiliki kualitas lebih baik dari ekspektasi para gamer, maka terjadi underhype. Sementara jika developer dapat membuat hype tinggi, tapi gagal memberikan game dengan kualitas sesuai harapan para pemain, maka hal itu merupakan overhype.

Cyberpunk 2077 terpaksa ditarik dari PlayStation Store karena banyak bug. Sumber: Twitter
Cyberpunk 2077 terpaksa ditarik dari PlayStation Store karena banyak bug. Sumber: Twitter

Cyberpunk 2077 merupakan contoh kasus overhype paling baru. Game buatan CD Projekt Red itu berhasil memecahkan beberapa rekor game single-player di Steam. Namun, versi PlayStation 4 dan Xbox One dari game itu memiliki begitu banyak bug sehingga Sony memutuskan untuk menarik game tersebut dari PlayStation Store dan Microsoft menawarkan refund bagi gamer yang telah terlanjur membeli game itu.

Menurut Imron, overhype hanya akan menjadi masalah jika game yang diluncurkan tidak sesuai ekspektasi para fans. “Apa yang dipasarkan tidak sesuai dengan hasil produknya,” ujarnya. Perkataan Imron ini disetujui oleh Pendiri dan CEO Toge Productions, Kris Antoni. Dia juga menganggap, sebuah game hanya akan dianggap overhype jika kualitas game lebih rendah dari yang ditunjukkan oleh developer sebelum peluncuran.

Lebih lanjut, Kris mengatakan, CD Projekt Red sebenarnya telah melakukan kegiatan marketing yang baik. Sayangnya, mereka gagal membuat game yang sesuai dengan janji mereka. “Kalau kasusnya Cyberpunk 2077, waktu pengembangannya kurang untuk polish dan memperbaiki bug. Manajemen sudah terlanjur pasang tanggal rilis, padahal game-nya belum kelar,” katanya. “Hal ini adalah kesalahan manajemen.”

Sayangnya, CD Projekt Red juga tidak bisa terus menunda peluncuran Cyberpunk 2077. Pasalnya, mereka telah menunda perilisan game itu beberapa kali. Tak hanya itu, Imron juga memperkirakan, CD Projekt Red mendapatkan tekanan dari para investor. “Sebaiknya, memang ditunda saja untuk versi konsol current gen. Karena versi konsol next gen kan tidak bermasalah,” jawabnya ketika ditanya tentang langkah apa yang seharusnya CD Projekt Red ambil.

Salah satu masalah yang disebabkan oleh overhype adalah para gamers menjadi kecewa karena merasa telah membeli game yang tak sesuai harapan. Tak tertutup kemungkinan, sebagian dari mereka akan melakukan refund. Namun, dampak negatif dari overhype tak berhenti sampai di situ. Ketika developer gagal memenuhi ekspektasi para fans, hal ini juga akan menodai reputasi mereka. Bisa jadi, di masa depan, orang-orang jadi enggan untuk membeli game buatan developer tersebut.

Itu tadi jika kita berbicara soal digital marketing game-game dari publisher ataupun developer yang punya reputasi baik. Di sisi lainnya, buat publisher atau developer yang bahkan tak peduli dengan nama baik, tak sedikit juga yang membuat iklan game ‘tipu-tipu — yang kami bahas beberapa waktu lalu.

 

Kesimpulan

Seorang gamer akan rela mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membeli sebuah game jika game itu memang sesuai dengan selera mereka. Game yang punya grafik memukau, misalnya, atau memiliki dunia open world yang bisa dijelajahi sesuka hati. Dan para gamers hanya bisa tahu tentang tampilan serta gameplay dari sebuah game jika sang developer mau memberikan sedikit bocoran dari game mereka, seperti screenshot atau video trailer dan gameplay.

Seperti kata pepatah: “Tak kenal, maka tak sayang.” Memangnya, siapa yang mau mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang mereka tidak tahu? Karena itulah, kegiatan marketing juga penting bagi developer. Dengan begitu, mereka bisa memamerkan keunggulan dari game yang mereka buat.