Pemerintah Tetapkan Deadline 31 Mei 2016 untuk Uber dan Grab

Kehadiran aplikasi kendaraan online Uber dan GrabCar di Indonesia sempat tersandung polemik regulasi. Pegawai taksi konvensional sempat melancarkan aksi demo untuk meminta pemerintah melarang kedua layanan tersebut beroperasi. Tak tinggal diam pemerintah dikabarkan akan segera mengeluarkan regulasi mengenai hal tersebut. Pemerintah sudah menyusun sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi layanan aplikasi kendaraan online agar sah secara hukum yang berlaku di Indonesia.

Menurut Direktur Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto Iskandar, syarat-syarat yang keluarkan pemerintah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) No 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek yang dikeluarkan pada 1 April 2016.

“Permen itu mengatur angkutan tidak dalam trayek, seperti taksi, angkutan sewa, pariwisata, dan lainnya,” Pudji seperti diberitakan Kompas, Rabu (20/4/2016).

Dalam pemberitaan lain, Pudji juga menuturkan bahwa dua layanan aplikasi kendaraan online (Uber dan Grabcar) diminta untuk memiliki izin penyelenggara angkutan umum. Antara lain dengan membuat badan usaha tetap yang bertanggung jawab terhadap operasional armada masing-masing dan membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Selain itu kedua perusahaan juga wajibkan untuk mendapatkan izin operasional. Salah satunya dengan cara memiliki minimal lima kendaraan yang dibuktikan dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama perusahaan, memiliki pool, adanya fasilitas perawatan, dan pengemudi dengan SIM umum. Dijelaskan Pudji, batas akhir pemenuhan persyaratan tersebut jatuh pada tanggal 31 Mei 2016 mendatang.

“Ya kita lihat dulu nanti tanggal 31 Mei. Apakah saat itu mereka sudah memenuhi persyaratan atau belum. Kalau belum ya tidak (ilegal),” ungkap Pudji.

Selain legalitas, pemerintah rencananya juga akan mengatur soal tarif angkutan berbasis aplikasi. Perusahaan dan koperasi diperbolehkan membahas tarif yang akan diberlakukan di layanan, tetapi keputusan untuk menerapkan tarif tersebut tetap harus berdasarkan kesepakatan pemerintah.

Dalam pemberitaan Kompas disebutkan Pemerintah berencana mengatur ulang batas tarif atas dan tarif bawah untuk angkutan berbasis aplikasi. Rencana ini juga akan diberlakukan pada perusahaan taksi konvensional. Nantinya, saat surge pricing karena permintaan yang sedang tinggi, bakal ada nilai maksimum batas atas yang ditetapkan Pemerintah.

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan bahwa penerapan batas baru berguna untuk menciptakan iklim usaha yang setara. Sehingga angkutan berbasis aplikasi tidak bisa seenaknya mengatur tarif.

Saat ini kebijakan tarif batas bawah dan atas masih belum selesai dibahas. Andri menjelaskan, pihaknya tengah mengajak berbagai pihak untuk berunding mengenai penetapan tarif ini. Termasuk mengajak para ahli teknik dan ekonomi untuk menemukan tarif yang wajar.

“Sekarang ini mereka (Uber dan GrabCar) belum bayar pajak jadi tarifnya bisa murah. Kalau sudah ada PPn 10 persen dan penentuan tarif pasti harganya berubah,” katanya.

Persyaratan mempengaruhi model bisnis

Sementara itu, dikutip dari pemberitaan Kontan, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kamadibrata menilai Permen No 32 tahun 2016 ini akan meresahkan pengemudi dan juga akan berpengaruh pada model bisnis yang ada di industri ride sharing selama ini.

Ridzki menjelaskan bahwa Grab sampai saat ini masih mempelajari soal detil-detil dalam Permen tersebut. Saat ini mereka sedang memastikan para mitra koperasinya memenuhi arahan pemerintah dengan merujuk pada peraturan sebelumnya.

“Kami akan selalu berusaha untuk memenuhi segala ketentuan dan aturan lokal yang berlaku, terutama terkait keamanan dan pajak,” terangnya.

Keresahan yang diutarakan Ridzki cukup masuk akal, terutama pada persyaratan mengenai keharusan STNK kendaraan harus atas nama perusahaan. Seperti diketahui layanan seperti Uber dan Grabcar selama ini hanya menyediakan aplikasi, kendaraan yang beroperasi adalah kendaraan milik mitra. Sebuah persyaratan yang mengganggu model bisnis.

Rencana Go-Jek Menggandeng Perusahaan Taksi Resmi Hadirkan Go-Car

Go-Jek berencana memperluas layanannya dengan menghadirkan layanan taksi berbasis aplikasi. Dijuluki dengan layanan Go-Car, konsep yang diusung akan berbeda dengan Uber dan Grab, karena Go-Jek akan menggandeng taksi resmi (konvensional) untuk menjadi rekanan pengemudi. Informasi ini pertama justru disampaikan Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah, kemarin pasca ditemui oleh CEO Go-Jek Nadiem Makarim dan tim.

Dari pemaparan Andri pihak Go-Jek meminta pendapat kepada pemerintah provinsi untuk skema terbaik mengusung kerja sama dengan perusahaan taksi resmi. Dan pihak pemerintah mengaku siap membantu inisiatif tersebut. Karena menurut Andri kerja sama ini sangat dimungkinkan menyusul tidak adanya pembatasan kuota operator dan angkutan umum oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.

Rencana pembentukan kerja sama Business to Business (B2B) ini juga diapresiasi oleh Organda. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) Adrianto Djokosoetono mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik rencana Go-Jek untuk menggandeng perusahaan taksi resmi guna melancarkan layanan barunya Go-Car. Pihak Organda mengaku siap membuka pintu lebar jika ingin bersinergi bersama guna mematangkan rencana tersebut.

Langkah Go-Jek dengan menggandeng armada resmi sekaligus menjadi penengah isu antara layanan berbasis aplikasi dan konvensional. Kehadiran layanan Go-Car tentu akan memberikan kenyamanan sama yang selama ini banyak dielukan oleh penikmat layanan berbasis aplikasi. Dari sisi regulasi juga menjadi lebih jelas, pasanya kedua belah pihak dari sisi perizinan sudah mengikuti apa yang digariskan Dinas Perhubungan. Namun tantangannya justru bagaimana menciptakan penawaran yang kompetitif untuk mengakuisisi pelanggan layanan lain sembari membangun traksi.

Konflik Taksi dan Layanan Pemesanan Transportasi Online Masuki Masa Transisi

Grab dan Uber dinyatakan harus memenuhi beberapa persyaratan dalam masa transisi yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Sementara ini kedua perusahaan tersebut berada dalam kondisi status quo yang masih beroperasi seperti sediakala, namun tidak dapat melakukan ekspansi.

Kericuhan panjang antara perusahaan taksi dan layanan pemesanan taksi online ini memaksa pemerintah selaku regulator sekaligus mediator menjalani serangkaian pertemuan untuk mencari solusi terbaik.

Sebagaimana yang telah diketahui dan dipercaya, Grab dan Uber sepakat untuk tetap menjadi perusahaan berbasis teknologi sebagai penyedia layanan. Hal tersebut dikabulkan. Kendati demikian, persyaratan lain yang muncul ialah izin penyelenggaraan armada dari kedua perusahaan tersebut, solusi yang ada yaitu menggandeng badan hukum (koperasi) yang akan bertindak sebagai pengelolanya.

“Bukan perusahaan aplikasinya ya, tapi kendaraannya apakah ini beroperasi secara legal atau tidak. […] Justru ini sangat efisien, saya malah mendorong semua transportasi publik pakai teknologi informasi,” papar Menteri Perhubungan Ignasius Jonan (22/3).

Dalam hasil rapat terbatas pada hari Rabu (23/3) kemarin, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menuturkan saat ini pemerintah sedang memberlakukan masa transisi guna memberikan kesempatan kepada armada jasa angkutan umum yang belum memiliki izin, menurut pemberitaan Kompas.

Masa transisi ini mewajibkan Grab dan Uber untuk segera menuntaskan kewajibannya untuk mengurus legalitas armada yang terdaftar di layanannya. Pembentukan koperasi melingkupi mengurus izin sebagai perusahaan penyelenggara angkutan umum, mengurus pendaftaran kendaraan, KIR, dan lainnya. SIM A Umum nampaknya juga menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengemudi.

Operasional akan berjalan seperti sedia kala, namun ada batasan penambahan armada yang diberlakukan.

“Selama masa transisi angkutan umum yang ada kita nyatakan dalam kondisi status quo. Artinya, yang sudah terdaftar sekarang sudah operasi, tetap beroperasi, tapi tidak melakukan ekspansi. […]Apabila dalam masa transisi itu tidak dipenuhi, maka berlaku lah ketentuan perundangan yang berlaku. Maka ada tindakan yang tegas,” ujar Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sugihardjo.

Menurut kami, solusi ini bukanlah yang terbaik, meskipun lebih baik daripada pemblokiran. Skema yang dijalani cenderung memaksakan inovasi dari para pelaku usaha (Grab dan Uber) untuk patuh dalam peraturan dan regulasi yang kaku. Menolak merevisi atau merumuskan regulasi baru, Jonan bersikukuh bahwa konflik ini bisa dipadamkan dengan peraturan yang ada.

“Saya rasa enggak ada regulasi yang perlu diubah, enggak perlu evaluasi undang-undang, itu salah dan pernyataan keliru,” tandas Jonan yang enggan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.