Pemerintah Siapkan Regulasi Perangkat IoT, Penyamaan Harga Sertifikasi Jadi Isu

Kementerian Komunikasi dan Informatika segera menandatangani regulasi mengenai perangkat IoT, sebagai lanjutan dari Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas untuk teknologi 4G LTE Advance Pro yang telah terbit pada awal April 2019.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemkominfo Ismail menerangkan, dalam membuat aturan ini pemerintah berusaha untuk tetap generik, tidak menunjuk untuk salah satu teknologi saja, sehingga bisa diaplikasikan untuk teknologi apapun yang sudah mempersiapkan diri menuju IoT.

Dia merinci aturan ini akan mengatur soal sertifikasi perangkat, yang salah satunya memuat mengenai harga. Sensor dan gateway pun akan ikut masuk dalam komponen perangkat yang akan disertifikasi. Harga sertifikasi akan relatif tidak jauh berbeda dengan perangkat radio biasa.

“Aturan akan diteken dalam waktu dekat, mudah-mudahan enggak sampai tengah tahun karena sudah hampir final,” terangnya, Selasa (23/4).

Sebelumnya, RPM menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas.

Mereka adalah Wireless Local Area Network (WLAN), peranti jarak dekat (Short Range Device), Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler), Dedicated Short Range Communication (DSRC), LAA. Serta, alat-alat yang beroperasi pada pita frekuensi radio yang digunakan berdasarkan izin kelas yang sejenis sesuai tingkat teknologi dan karakteristiknya.

4G LTE Advance Pro, lebih dikenal 4.9G atau satu tingkat di bawah 5G, menggunakan jaringan License Assisted Access (LAA). Jaringan ini memanfaatkan frekuensi tak berizin di rentang 5.150-5.350 MHz dan 5.725-5.825 MHz. Sehingga berdampak pemain non operator seluler dapat segera mengimplementasikan IoT secara lebih masif.

Wacana penyamaan harga jadi isu

Menanggapi wacana harga sertifikasi, sebenarnya pemerintah ikut melibatkan Asosiasi IoT Indonesia untuk diskusi bersama sehingga belum ada putusan akhir. Wakil Ketua Asosiasi IoT Andri Yadi agak menyayangkan dan terbebani apabila pemerintah memutuskan untuk menyamakan harga sertifikasi perangkat dengan radio biasa.

Pihaknya pernah membuat simulasi singkat bahwa harga sertifikasi untuk satu startup bisa memakan biaya hingga Rp25 juta. Hitungan tersebut belum mengikuti harga pasar apabila dijual ke konsumen.

“Tidak bisa disamakan [harganya]. Ambil contoh untuk ponsel 4G itu jual batangannya bisa sampai Rp10 juta, tapi bicara perangkat IoT itu bisa sampai Rp400 juta. Sebab di dalamnya itu ada banyak teknologi, seperti short range pakai bluetooth dan WiFi,” katanya.

Country Manager Qualcomm Indonesia Shannedy Ong menambahkan, meski perusahaan secara tidak langsung berdampak mengingat Qualcomm adalah penyedia teknologi, namun pada akhirnya ada dampak tidak langsung yang terasa apabila wacana tersebut terealisasi karena perusahaan termasuk dalam ekosistem.

“Kita ini bagian dari ekosistem sehingga harus kerja sama dengan industri dan asosiasi untuk memikirkan win win solution. Jangan sampai ada regulasi yang menghambat karena kita mau IoT ini bisa diakselerasi. Indonesia harus maju ke step berikutnya, ada solusi baru, komersialkan, dan konsumen bisa mendapatkan manfaatnya,” ujar Shannedy.

Menunggu putusan frekuensi 5G

Teknologi IoT ini sebenarnya bisa dijalankan lewat jaringan 4G, namun alangkah lebih sempurna apabila didukung oleh teknologi 5G. Pemerintah belum menetapkan frekuensi apa yang akan dipakai, lantaran menunggu World Radio Conference 2019 di Mesir yang akan berlangsung pada Oktober 2019 mendatang. Ini adalah konferensi empat tahunan yang digelar ITU (International Telecommunications Union).

Ismail menjelaskan, pada konferensi ini akan diputuskan frekuensi resmi yang digunakan untuk jaringan 5G secara global. Pemerintah akan berkiblat ke sana agar bersifat world wide platform, tidak khusus untuk Indonesia saja. Diharapkan hal ini akan membuat harga perangkat lebih murah dan memudahkan para pemain operator yang ingin berinvestasi ke 5G.

“WRC itu konferensi empat tahunan untuk menentukan pita frekuensi suatu teknologi baru. Jadi kita tunggu acara itu, kira-kira akan menentukan frekuensi 5G setelah acara tersebut,” terangnya.

Secara garis besar pemerintah sudah membuat perkiraaan ada tiga blok spektrum jaringan, yakni lower, middle, dan upper. Untuk upper, dia menjamin tidak ada masalah, karena frekuensinya tersedia dan belum digunakan untuk 26 GHz dan 28 GHz.

Sementara untuk middle, berjalan di frekuensi 3,5 GHz yang sudah dipakai oleh satelit. Sehingga pilihannya mau co-existing dengan satelit agar bisa digunakan bersama 5G. Belum ada perbincangan lebih lanjut soal ini karena pemerintah harus bicara lebih dalam para pemilik satelit, di antaranya Telkom dan Indosat Ooredoo.

Penentuan frekuensi 5G ini cukup genting untuk mendukung ekosistem IoT di Indonesia. Andri menambahkan frekuensi adalah basis awal bagi para pemain sebelum uji perangkat. Seberapa canggih perangkat yang sudah dibuat tapi apabila belum bisa terhubung karena ketiadaan frekuensi akan percuma.

Hal ini diamini Shannedy. Dia menerangkan antara IoT dan 5G memiliki hubungan yang erat. Ada beberapa use case yang bisa ditangani oleh IoT dengan bantuan jaringan 5G yang sangat berdampak untuk industri.

Operator telekomunikasi dan OEM (Original Equipment Manufacturer) skala global telah bermitra dengan perusahaan-perusahaan teknologi untuk menciptakan banyak solusi baru, berbasiskan IoT dan 5G, di industri pertanian, kota pintar, dan transportasi.

Asosiasi IoT Indonesia Segera Diresmikan

Indonesia akhirnya memiliki asosiasi yang mewadahi penggiat Internet of Things (IoT). Asosiasi merupakan transformasi dari Indonesia IoT Forum, kini menjadi Asosiasi IoT Indonesia (ASIoTI). Rencananya ASIoTI akan menyelenggarakan musyawarah nasional (Munas) pertama tanggal 13 Desember mendatang, sekaligus meresmikan struktur organisasi dan rancangan program kerja untuk satu tahun mendatang.

CEO Dycode Andri Yadi yang turut andil dalam lahirnya ASIoTI ini menyebutkan bahwa asosiasi ini merupakan wadah resmi bagi setiap insan yang memiliki visi untuk mengembangkan ekosistem IoT di Indonesia. Tidak hanya praktisi tetapi juga penggiat lain seperti akademisi, regulator, dan pihak lainnya; yang ingin bersama-sama membawa ekosistem IoT Indonesia lebih baik lagi.

Tujuan utama dari pendirian ASIoTI adalah membantu pemerintah dengan memberikan masukan-masukan terkait kebijakan IoT, termasuk membantu memberikan standardisasi dan sertifikasi untuk ekosistem IoT yang ke depan akan semakin banyak dibutuhkan.

“IoT ini kan baru, government juga masih meraba-raba, jadi tidak ada yang lebih tepat kecuali pemerintah ngobrol dengan industri. Nah untuk memudahkan makanya dibentuk sebuah wadah untuk memudahkan,” terang Andri.

Beberapa pihak yang nantinya bergabung di ASIoTI ini antara lain CEO Dycode Andri Yadi, Direktur & Chief Innovation Regulation Office Indosat Ooredoo Arief Musta’in, Direktur Network Telkomsel Bob Apriawan, CEO Prasimax Didi Setiadi, Bussiness Development Polytron Joegianto, Ketua Umum Mastel Kristiono, Managing Director Cisco Indonesia, Founder Indonesia IoT Forum Teguh Prasetya, dan lain-lain.

“Sebagai Project Coordinator untuk kampanye IoT Goes to Market yang diadakan di lima kota oleh Indonesia IoT Forum, saya merasa sudah waktunya forum ini untuk berkembang agar dapat memberikan lebih banyak manfaat,” ungkap perwakilan Indonesia IoT Forum (yang sekarang menjadi ASIoTI) Fita Indah Mulani.

Mengenai rencana asosiasi ke depan Fita menjelaskan beberapa sedang dimatangkan, baru akan diresmikan ketika munas dilangsungkan. Salah satu yang akan dilakukan adalah fokus pengembangan makers, transfer pengetahuan ke kampus dan SMK, dan beberapa program lainnya.

“Ada beberapa lagi godog [rencana ASIoTI], baru diketok palu di munas nanti. Tapi yang pasti kita mau fokus mengembangkan makers dan transfer knowledge ke kampus dan SMK. Terus ada sertifikasi juga. Ada program business matching dan support keluarnya regulasi terkait IoT,” imbuh Fita.