Project OpenWatch Bisa Menjadi Cikal Bakal Sistem Operasi Smartwatch Alternatif Terhadap Wear OS

Kecuali Anda Apple, Samsung atau Fitbit, sulit rasanya mengembangkan sistem operasi sendiri demi menandingi Wear OS (Android Wear) besutan Google. Seperti yang kita tahu, ketiga pabrikan besar itu punya OS smartwatch-nya sendiri-sendiri: watchOS (Apple), Tizen (Samsung), dan FitbitOS (Fitbit).

Namun ketika opsi yang tersedia secara luas (Wear OS) menjadi hambatan atas inovasi Anda, upaya untuk mengembangkan sistem operasi sendiri mau tidak mau harus dilakukan. Itulah yang menjadi motivasi bagi pengembang smartwatch Blocks, yang harus berusaha sendiri karena tidak ada OS yang tersedia yang mendukung konsep modular mereka.

Yang patut diapresiasi, Blocks tidak egois. Belum lama ini mereka meluncurkan Project OpenWatch, sebuah proyek open-source yang bertujuan untuk memudahkan developer lain dalam mengembangkan sistem operasi smartwatch-nya sendiri. Basisnya adalah Android Oreo, namun untuk sekarang baru satu jenis chipset yang didukung, yaitu MediaTek MTK6580M yang digunakan oleh Blocks.

Project OpenWatch

Sejauh ini sudah ada dua developer yang cukup tenar yang mengembangkan OS-nya dengan memanfaatkan Project OpenWatch, yakni pengembang CarbonROM dan LineageOS (penerus CyanogenMod). Sayang keduanya belum berani mengumumkan jadwal perilisannya.

Blocks melihat Project OpenWatch sebagai solusi bagi mereka yang tertarik mengembangkan smartwatch kelas budget, spesifiknya yang berharga kurang dari $100. Bagi konsumen, proyek ini berpeluang melahirkan sejumlah sistem operasi baru sebagai alternatif dari Wear OS.

Pertanyaannya, apakah kita benar-benar butuh OS smartwatch baru? Kalau dalam kasus Blocks, kehadiran OS baru sangat masuk akal mengingat konsep modular yang ditawarkan memang tergolong baru. Semoga saja OS baru yang terlahir nantinya bisa mengatasi problem-problem Wear OS, dan bukan sekadar mengandalkan interface baru yang lebih chic atau fancy.

Sumber: Liliputing dan The Verge.

Motion Stills, Aplikasi GIF Camera Buatan Google, Kini Dilengkapi Mode Augmented Reality

Pertengahan tahun lalu, Google merilis aplikasi Motion Stills untuk Android setelah lebih dulu meluncurkan versi iOS-nya setahun sebelumnya. Kelebihan Motion Stills dibanding aplikasi GIF camera lain adalah kemampuannya menciptakan GIF yang begitu stabil, seakan-akan direkam menggunakan ponsel yang terpasang di atas tripod.

Google baru-baru ini meng-update Motion Stills versi Android untuk menambahkan mode augmented reality (AR). Ini berarti pengguna bisa menambatkan beragam objek virtual, mulai dari ayam sampai dinosaurus, pada GIF maupun video buatannya. Yang istimewa, mode AR ini rupanya memanfaatkan teknologi instant motion tracking.

Mengapa harus ada motion tracking? Supaya objek virtual beserta pergerakannya dapat terlihat alami. Semisal Anda meletakkan seekor ayam virtual di atas telapak tangan, posisinya di situ tidak akan berubah meski tangan Anda gerak-gerakkan. Hal yang sama juga berlaku untuk permukaan horizontal lainnya, seperti meja atau bahkan daun pada tanaman.

Lebih istimewa lagi, mode AR ini tidak bergantung pada ARCore, dan bisa dinikmati oleh perangkat Android apapun yang memiliki gyroscope tanpa harus dikalibrasi lebih dulu. Teknologi motion tracking ini memiliki fondasi yang sama dengan teknologi dipakai YouTube untuk menyensor (blur) objek bergerak, hanya saja di sini Motion Stills memanfaatkan data yang berasal dari accelerometer dan gyroscope milik perangkat.

Usai merekam, tentu saja hasilnya bisa dibagikan ke mana pun Anda mau. Juga menarik adalah bagaimana Google memanfaatkan produk lain mereka untuk mewujudkan fitur baru ini: objek-objek 3D yang tersedia pada mode AR Motion Stills berasal dari Poly, yang pada dasarnya merupakan platform berbagi objek-objek 3D yang dibuat menggunakan Blocks (juga buatan Google).

Sumber: Engadget dan Google.

Application Information Will Show Up Here

Google Umumkan Poly, Semacam Portal untuk Saling Berbagi Aset 3D untuk AR dan VR

Bulan Juli lalu, Google meluncurkan aplikasi VR untuk 3D modeling bernama Blocks. Ide di balik Blocks adalah memberikan kemudahan untuk menciptakan objek 3D, yang kemudian dapat digunakan pada konten augmented reality maupun virtual reality.

Baru-baru ini, Google mengumumkan Poly, semacam portal untuk saling berbagi aset 3D. Poly sengaja dirancang agar terintegrasi ke Blocks maupun Tilt Brush, sehingga kreator dapat langsung mengunggah hasil karyanya dan saling menginspirasi satu sama lain.

Integrasinya tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa objek 3D di Poly ada yang mengemas tag “Remixable”, yang berarti kreator lain bisa meng-import dan memodifikasinya secara langsung di Blocks atau Tilt Brush. Saat hasil modifikasinya diunggah, Poly otomatis akan mencantumkan kredit dan tautan menuju kreator aslinya.

Google Poly

Pencantuman kredit ini penting mengingat semua objek 3D yang tersimpan di Poly dapat digunakan secara cuma-cuma. Di samping karya komunitas, Google tentunya tidak lupa menyelipkan sejumlah objek 3D hasil karya tim internalnya.

Sepintas Poly terdengar hanya bermanfaat bagi kalangan developer saja. Namun sebenarnya siapapun bebas mengakses Poly untuk menikmati koleksi objek 3D-nya di browser perangkat desktop maupun mobile. Suka dengan model tertentu, Anda bisa lanjut mengamatinya menggunakan VR headset atau membagikannya ke pengguna lain dalam format GIF.

Sumber: Google.

Blocks Adalah Aplikasi untuk Menciptakan Objek 3D dalam VR Persembahan Google

Augmented reality dan virtual reality tidak akan begitu berkesan tanpa adanya objek 3D di dalamnya. Proses menciptakan objek 3D, atau yang biasa dikenal dengan istilah 3D modeling, jelas bukan hal yang mudah. Kompleksitasnya pun akan semakin terasa saat harus mengerjakannya di layar 2D.

Menurut Google, 3D modeling akan jauh lebih mudah apabila dilakukan dalam lingkup 3D juga, spesifiknya VR. Maka dari itu, mereka pun menciptakan sebuah aplikasi untuk HTC Vive dan Oculus Rift bernama Blocks.

Google Blocks

Ini bukan pertama kalinya Google merilis aplikasi VR dengan tujuan untuk mengasah kreativitas para penggunanya. Jauh sebelum ini sudah ada Tilt Brush, tapi tujuan yang ingin dicapai Google dengan Blocks sejatinya lebih spesifik karena hanya melibatkan 3D modeling saja. Lebih lanjut, kalau Tilt Brush berbayar, Blocks gratis.

Yang justru lebih istimewa, Google mengklaim bahwa Blocks sangat mudah digunakan, bahkan oleh pengguna yang tidak punya pengalaman 3D modeling sebelumnya. Lebih mirip Lego atau mainan sejenisnya ketimbang software 3D modeling kalau kata Google.

Google Blocks

Pengguna awalnya hanya akan berhadapan dengan bangun ruang biasa. Lalu dengan bantuan sejumlah tool dan palet warna, pengguna bisa menciptakan objek 3D apapun yang mereka mau, mulai dari sebatas buah semangka, robot ala Gundam yang lebih kompleks, sampai satu pemandangan perkotaan atau hutan sekaligus.

Selanjutnya, semua objek 3D yang diciptakan menggunakan Blocks bisa di-export untuk digunakan dalam aplikasi AR atau VR. Pengguna pun bisa saling berbagi dan menginspirasi lewat vr.google.com/objects, dan Blocks sendiri sudah bisa didapat secara cuma-cuma lewat Oculus Store maupun Steam.

Sumber: Google.

Blocks, Wearable Device Modular yang Serba Bisa

Masih ingat dengan Google Project Ara? Atau PuzzlePhone yang mencoba menyainginya? Keduanya merupakan konsep smartphone modular yang diharapkan dapat mengatasi baik masalah selera maupun finansial konsumen yang berbeda-beda. Continue reading Blocks, Wearable Device Modular yang Serba Bisa